Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

ASKEP ANAK DENGAN ATRESIA BILLIAR

DOSEN PENGAMPU:

Ns. Siti Aisyah Nur, M.Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:

NIKEN SELVI WAHYUNI 1902012

RATNA SOFIANTI 1902014

WIDYA RAHMAH 1902020

WINDA YULIANTI 1902021

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN

STIKes SYEDZA SAINTIKA PADANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Kami haturkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah “ASKEP ANAK DENGAN ATRESIA BILLIAR” ini dapat selesai
tepat waktu.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-ide sehingga makalah ini dapat disusun dengan
baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi kita
semua. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Padang, 13 Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I ............................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

A. Latar belakang ...................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2

C. Tujuan ................................................................................................................... 3

BAB II ........................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4

A. Konsep Dasar Penyakit ........................................................................................ 4

A.1. Anatomi dan Fungsi Sistem Biliaris.............................................................. 4

A.2. Definisi ........................................................................................................ 12

A.3. Epidemiologi ............................................................................................... 13

A.4. Etiologi ........................................................................................................ 14

A.5. Patofisiologi ................................................................................................ 15

A.6. Pathway ....................................................................................................... 16

A.7. Manifestasi Klinis ....................................................................................... 16

A.8. Klasifikasi ................................................................................................... 17

A.9. Pemeriksaan Diagnostik .............................................................................. 19

A.10. Penatalaksanaan ........................................................................................ 22

BAB III ....................................................................................................................... 26


ii
ASUHAN KEPERAWATAN ..................................................................................... 26

A. Konsenp Dasar Asuhan Keperawatan ................................................................ 26

1. Pengkajian ....................................................................................................... 26

2. Diagnosa keperawatan .................................................................................... 30

3. Intervensi ......................................................................................................... 31

4. Implementasi ................................................................................................... 55

5. Evaluasi ........................................................................................................... 55

BAB IV ....................................................................................................................... 57

PENUTUP ................................................................................................................... 57

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 57

B. Saran ................................................................................................................... 57

DAFRTAR PUSTAKA............................................................................................... 58

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan
fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya
akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi
karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada
duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu.
Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih
kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani
pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah
empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif
tetap terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan
memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam
25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik
kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996;
Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari
100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris
dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000
kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000
kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di
Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih
100 institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam
(20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang
namun jumlah penderita atresia bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo
1
(RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi
berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo
Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di
Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan
fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung
empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran
empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan
perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka
empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit
dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan
kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai
terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab
efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila
dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik
adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain
itu,terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita
atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar
pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota
keluarga pasien. (Donna L. Wong, 2008)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penyakit atresia bilier ?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier ?

2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit atresia bilier.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Penyakit

A.1. Anatomi dan Fungsi Sistem Biliaris

1. Anatomi Sistem Biliary

Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen


daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi
empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang
membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi
unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan
ke luar hati sangat penting dalam penyelenggaran fungsi hati.

4
Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara
lobulus hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang
membawanya ke saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan
membentuk duktus hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus
dari kandung empedu bergabung untuk membentuk duktus koledokus
(commom bile duct) yang akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum.
Aliran empedu ke dalam intestinum di kendalikan oleh sfingter Oddi yang
terletak pada tempat sambungan (junction) di mana duktus koledokus
memasuki duodenum.

Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah


pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm,
terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati
dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun
dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus
lewat duktus sistikus.

a. Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah
pear,memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat
terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah
lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi
hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi
menjadi 4 area secara anatomi yaitu fundus, leher, corpus, dan
infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi
batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan
korpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya

5
membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar
membentuk Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung
kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu
dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa
infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan
korpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh
lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan
oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna. Perimuskular
subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah,
limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali
bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu
dibedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari
lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari
cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi namun
hampir selalu di temukan di segitiga hepatosistica, yaitu area yang dibatasi
oleh Ductus sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas hepar (segitiga
Calot). Ketika arteri sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu,
akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena
kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju
vena besar sistika menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan
menuju kelenjar limfe pada bagian leher.
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang
simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya
adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus
biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic
memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus

6
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan
hepar.

b. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan
dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama
tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida
serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang berati
beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta garam-garam
empedu. Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu
untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila diperlukan bagi
pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin
dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh
garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah
terjadi konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan
glisin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan
kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak
dalam intestinum. Proses ini sangat penting untuk proses pencernaan dan
penyerapan yang efisien. Kemudian garam empedu akan diserap kembali,
terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal untuk kembali ke hati
dan sekali lagi diekskresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit
empedu intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi
enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh
garam empedu yang masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil
yang akan diekskresikan ke dalam feses. Keadaan ini menurunkan
kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.

7
c. Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-
sel Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah
dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam
glukoronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang
encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam
kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke
duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang
sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi
lewat mukosa intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari
urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan
diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterehepatik).
Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan diekskresikan
oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu
menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat
penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu
dalam saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah
yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki
intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.

d. Fungsi Kandung Empedu


Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu.
Di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang
diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama
penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding

8
kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat
lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat diekskresikan pertama
kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi
kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini
diantarai oleh sekresi hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari
dinding usus.

2. Sistem Bilier terbagi atas :


a. Intrahepatik
Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan
duktuli biliaris intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel
kuboid atau sel epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya
jaringan konektif fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin
besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya.
Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus
melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang
berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
b. Ekstrahepatik
Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang
berada di dalam ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis
terdiri atas sel epitel kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain
itu juga terdapat jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas
sejumlah serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh darah dan saraf.
Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari :
1) Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika
dari kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang

9
dari duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-2,5 cm.
Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih
mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di bagian distal.
2) Duktus Hepatikus Komunis
Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus
hepatikus kiri dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 %
kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di bawah dari porta
hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam hepar.
3) Duktus sistikus
Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan
bergabung dengan duktus hepatika komunis. Panjang duktus
sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata 1-3
mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan
seperti bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister.
Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau
kolaps dari vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus
sistikus dan berfungsi dalam menghambat masuknya batu empedu
ke dalam duktus koledokus.
4) Duktus Koledokus
Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus
dengan duktus hepatikus komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5
cm, namun juga dapat bervariasi tergantung dari panjang duktus
sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter sekitar 6
mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal,
retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal.
Segmen supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan berada
di batas kanan dari ligamentum hepatoduodenal, yaitu pada bagian

10
anterior dari vena porta dan sebelah kanan dari arteri hepatika
komunis ascendens.
Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian pertama
duodenum dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini berjalan
sepanjang permukaan inferior duodenum, kemudian berpindah dari
kanan ke kiri dan berada tepat di kanan dari arteri gastroduodenal.
Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang dari
batas bawah dari bagian awal duodenum ke dinding posteromedial
dari bagian kedua duodenum, dimana duktus masuk ke dalam
dinding duodenum.
Segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan berjalan
miring sepanjang dinding duodenum bersama dengan duktus
pankreatikus.
5) Ampula vateri
Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus
koledokus dengan duktus pankreatikus. Panjang ampula ini
bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 %
kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada
pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus
pada 29 % kasus.
6) Sphingter Oddi
Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula
dikelilingi oleh lapisan serabut otot polos yang dikenal
sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan kelompok
serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus.
Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini
dan terjadi relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan
parasimpatis.

11
c. Sistem Vaskularisasi
Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari
beberapa tempat, diantaranya; Duktus hepatis dan segmen
supraduodenal dari duktus koledokus mendapat aliran darah dari
cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari duktus
koledokus disuplai oleh cabang retroduodenal dan posterosuperior dari
arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan intraduodenal
divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.

A.2. Definisi
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam
pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke
kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik
atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau
lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan
ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai
sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta.
(Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/
saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke
kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran.
12
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel
yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau
sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)

A.3. Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang
terjadi, prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada
anak-anak asia dan anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap
tahunnya dengan kondisi atresia billiaris. Bentuk janin-embrio yang ditandai
dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu pertama kehidupan, dan
menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-saluran
empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak
telah dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi,
atresia usus, dan anomali jantung, antara lain.
Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia
bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi
jumlah penderita atresia bilier yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo
(RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162
bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di Instalasi
Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-2001 dari
19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning
gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia
bilier didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%),
Asia (4,2) dan Indian Amerika (1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak
5/100.000 kelahiran hidup di belanda, 5/100.000 kelahiran hidup di perancis,
6/100.000 klahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelhiran hidup di Texas,
7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA,
13
dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang. Faktor risiko pada atresia biliaris
diantaranya:
1. Atresia bilier adalah penyebab paling umum penyakit hati kronis pada
neonatus.
2. Atresia bilier terjadi sekali dalam setiap 10.000 sampai 20.000 kelahiran.
3. Populasi Asia adalah yang paling sering terpengaruh. Afrika Amerika yang
terkena sekitar dua kali lipat Kaukasia.

Atresia bilier menyebabkan kerusakan hati dan mempengaruhi proses


penting banyak yang memungkinkan tubuh untuk berfungsi secara normal. It is
a life-threatening disease and is fatal without treatment. Ini adalah penyakit
yang mengancam jiwa dan fatal tanpa pengobatan.

A.4. Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya
kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21, serta terdapatnya anomali organ pada
30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa
atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa
karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk
janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa,
atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar
identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup
janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup
satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
1. Infeksi virus atau bakteri

14
2. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
3. Komponen yang abnormal empedu
4. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
5. Hepatocelluler dysfunction

A.5. Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun
mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa
atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek dan
Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada
akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu
beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan
menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau
ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis
dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang
menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan
ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam
usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu
dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga
mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
(Parakrama, 2005).
15
A.6. Pathway

A.7. Manifestasi Klinis


Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran
serupa dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar akan
membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi lemak.
Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
Air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah dengan
16
konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin), tinja berwarna pucat / acholic (karena
kurangnya bilirubin yang diserap), kulit berwarna kuning, berat badan tidak
bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat, hati membesar.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
Gangguan pertumbuhan, gatal-gatal, rewel, tekanan darah tinggi pada vena porta
(pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang
menyebabkan warna kuning pada kulit dan bagian putih mata.. Jaundice
disebabkan oleh hati tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah.
Biasanya, bilirubin diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam empedu. Namun,
penyumbatan saluran empedu menyebabkan bilirubin dan elemen lain dari
empedu terakumulasi dalam darah. Bayi akan menunjukan kondisi normal pada
saat lahir tetapi dalam perkembangannya menunjukan jaundice (kulit dan sclera
mata berubah menjadi kuning), warna aurin yang pekat, dan warna feses yang
cerah dalam minggu pertama kehidupan. Setiap bayi dengan jaundice, setelah
berumur 1 bulan dapat dipastikan terkena atresia biliaris dengan pemeriksaan
darah (diantaranya: tipe bilirubin, bilirubin konjugasi dan bilirubin tak
terkonjugasi). Peningkatan bilirubin pada bayi dikarenakan kekurangan drainase ,
abdomen menjadi sangat tegang, dan perbesaran dikarenakan peningkatan
ukuran hati. Jika hal ini terjadi, bayi akan menjadi rentan dan kehilangan berat
badan (meskipun pertambahan cairan akan menutupinya ).

A.8. Klasifikasi
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
1. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari
saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
2. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
17
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-
akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati
radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.

Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:

1. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis,
segmen proksimal paten
2. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis,
duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
3. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus, kandung empedu normal
4. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke
hilus

Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable)


sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non
correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.

18
A.9. Pemeriksaan Diagnostik
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya
diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik.
Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu
pemeriksaan :
1. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui
fungsi hati (darah,urin, tinja).
2. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai
parenkim hati.
3. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang
diagnosis atresia bilier.

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan
kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari
hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah
tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk <
4 mg/dl tidak sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih
mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan
SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih
mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan
gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan
alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan
atresia bilier.

19
1) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya
pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam
urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran
empedu total.
2) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi
warna pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena
adanya sumbatan.
3) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan :
protombin time, partial thromboplastin time.
b. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa
pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja.
Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu
hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah
60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum
dapat menentukan adanya atresia bilier.

2. Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77%
dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase,
yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum. Bila pada
saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia
bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi
abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan
meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia
bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak

20
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I
/ distal.
b. Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5
hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan
pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi
ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain
pihak, pada kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak akan
ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan
penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung),
pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat
digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis
sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi
atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan
USG dan sintigrafi.
c. Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA
(Hepatobiliary Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan
pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan
bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d. Pemeriksaan kolangiografi

21
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna
untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis
intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai
saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.

3. Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat
diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95%, sehingga dapat membantu pengambilan
keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan
untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi
Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus
hati. Bila diameter duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu
dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen
section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah
portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini.
Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler
(gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi
tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak
dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

A.10. Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
22
a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :
1) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
2) Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk
mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-
450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi
aliranempedu).
Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam
empedu sekunder

b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat,


310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per oral. Asam ursodeoksikolat
mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.

2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme.
Disamping itu, metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera
dikonversi menjadi energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot,
ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang
mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega, minyak kelapa, dan
lainnya.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin
A, D, E, K
3. Terapi bedah

23
a. Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang
mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan
pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung
menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang
disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan
pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan
hati.
b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk
atresia bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara
dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-
satunya yang bisa bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya
akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier
sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai
anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan
kemungkianan untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan
atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang dapat
digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-baru
ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang
dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk
transplantasi pada anak dengan atresia bilier. Berdasarkan treatment yang
diberikan :
1) Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan
mempertahankan fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan hati.
2) Supportive treatment

24
a) Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang berperan
dalam pembekuan darah dan apabila kekurangan vitamin K dapat
menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam
penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada selada, kubis, kol, bayam,
kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua adalah sumber
terbaik vitamin ini.
b) Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan atresia
bilier mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam usus sehingga
menyebabkan lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi.
Oleh karena itu diberikan makanan yang mengandung medium
chain triglycerides (MCT) seperti minyak kelapa.
c) Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi toksik
yang menyebar ke dalam darah dan kulit yang mengakibatkan gatal
(pruiritis) pada kulit.
d) Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga
turut membantu dalam memberikan stimulasi perkembangan dan
pertumbuhan klien.

25
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsenp Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
1) Pengumpulan data
a. Identitas
Identitas meliputi nama klien, usia, jenis kelamin.
b. Keluhan utama :
Terdapat keluhan yaitu jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Anak dengan Atresia Billiary intra hepatik setelah usia 6 tahun terjadi
gangguan neuromuskuler seperti tidak ada reflek-reflek tendo dalam,
kelemahan memandang ke atas, ketidakmampuan berjalan akibat parosis
kedua tungkai bawah serta kehilangan rasa getar.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kesehatan lalu meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita,
riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat imunisasi.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit
yang sama dengan klien, keturunan dan lainnya. Menentukan apakah ada
penyebab herediter atau tidak.
f. Pemeriksaan Fisik
BI :Sesak nafas, RR meningkat
B2:Takikardi,berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin
K).

26
B3:Gelisah atau rewel
B4:Urine warna gelap dan pekat
B5:Distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat,
anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun,
lingkar perut 52 cm.
B6:Ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan
gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi
b) Nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
c) Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim
hati akibat bendungan empedu yang luas
d) Tidak ada urobilinogen dalam urine
e) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase
alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi
lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab
kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran
empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan
duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat
berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui
kemampuan hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke
saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak

27
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi
katresia intra hepatic
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan
dan noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75%
penderita tidak ditemukan lumen yang jelas

h. Pemeriksaan tingkat perkembangan


1) Tahap Tumbuh Kembang umur 6-9 Bulan
a) Duduk (sikap tripoid-sendiri)
b) Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan
c) Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
d) Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
e) Memungut dua benda, masing-masing tangan pegang satu benda
pada saat yang bersamaan
f) Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
g) Bersuara tanpa arti, misalnya ,mamama, bababa, papapa
h) Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
i) Bermain tepuk tangan atau ciluk ba
j) Bergembira dengan melempar benda
k) Makan kue sendiri
2) Umur 9-12 bulan
a) Mengangkat badannya ke posisi berdiri
b) Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi
c) Dapat berjalan dengan di tuntun
d) Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan/gambar yang
diinginkan
e) Menggenggam erat pensil

28
f) Memasukkan benda ke mulut
g) Mengulang menirukan bunyi yang didengar
h) Menyebut 2-3 suku kata yang sama tanpa arti
i) Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja
j) Bereaksi terhadap suara perlahan/bisikan
k) Senang diajak bermain “ ciluk ba”
l) Mengenal anggota keluarga, takut kepada orang yang belum
dikenal
3) Umur 12-18 bulan
a) Berdiri sendiri tanpa berpegangan
b) Membungkuk memungut mainan kemudian berdiri kembali
c) Berjalan mundur 5 langkah
d) Memanggil ayah dengan kata “papa”, memanggil ibu dengan
kata “mama”. Tergantung mengajarinya, kalau diajari
memanggilnya “ayah” ya akan dipanggil “ayah.

i. Pola fungsi kesehatan


1) Aktivitas istirahat
Gejala : Letargi atau kelemahan
Tanda : Gelisah atau rewel
2) Sirkulasi
Tanda : Takikardia, berkeringat, ikterik pada sklera kulit dan membran
mukosa.
3) Eliminasi
Tanda :Distensi abdomen, asites
Urine :Warna gelap, pekat
Feses :Warna dempul, steatorea, diare/konstipasi dapat terjadi
4) Integritas Ego

29
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda : Takut, cemas, gelisah , menari diri
5) Makanan/ Cairan
Gejala : Anoreksia, tidak mau makan, mual/muntah tidak toleran
terhadap lemak dan makanan pembentuk gas, regurgitasi berulang.
6) Higyene
Tanda : Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala: Otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan..
8) Pernapasan
Gejala: Peningkatan frekuensi pernafasan
9) Keamanan
Tanda : Ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus), kecenderungan
perdarahan (kekurangan vitamin K), oedem perifer, jaundice, kerusakan
kulit.

2. Diagnosa keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus atau bakteri, kerusakan
progresif pada duktus bilier, inflamasi progresi.
2. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
obstruksi aliran dari hati kedalam, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
di absrobsi, kekurangan vitamin larut lemak (A,D,E,K).
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses peradangan pada hati,
hepatomegali, distensi abdomen, menekan diafragma.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ekskresi bilirubin
ke usus terhambat, gangguan penyerapan lemak dan vitamin larut lemak,
malnutrisi.
30
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan malnutrisi, perut terasa
penuh, mual muntah.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan bilirubin,
priuritis, ikterus.
7. Cemas berhubungan dengan peningkatan bilirubin, urine berwarna gelap,
tinja berwarna coklat.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan kasai

3. Intervensi

N Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


o
1 Hipertermia berhubungan NOC NIC
dengan infeksi virus atau Thermoregulation Fever treatment
bakteri, kerusakan progresif Kriteria Hasil : - Monitor suhu
pada duktus bilier, inflamasi  Suhu tubuh dalam sesering
progresif rentang normal mungkin.
Definisi : Peningkatan suhu  Nadi dan RR dalam - Monitor
tubuh diatas kisaran normal. rentang normal IWL.
Batasan Karakteristik :  Tidak ada perubahan - Monitor
 Konvulsi warna kulit dan warna dan
 Kulit kemerahan tidak ada pusing suhu kulit.
 Kejang - Monitor

 Takikardi tekanan

 Takipnea darah, nadi

 Kulit terasa hangat dan RR.

Factor yang Berhubungan - Monitor

31
: WBC, Hb,
 Anastesia dan Hct.
 Penurunan respirasi - Selimuti
 Dehidrasi pasien.

 Medika - Kompres

 Trauma pasien pada


lipat paha
dan aksila.
- Tingkatkan
sirkulasi
udara.
Temperature
regulation
- Monitor suhu
minimal tiap
2 jam.
- Monitor
TD,nadi dan
RR.
- Monitor
warna dan
suhu kulit.
- Monitor
tanda–tanda
hipertermi.
- Tingkatkan
intake cairan
dan nutrisi.

32
- Selimuti
pasien untuk
mencegah
hilangnya
kehangatan
tubuh.
- Berikan
antipiretik
jika perlu.
Vital Sign
Monitoring
- Monitor TD,
nadi, suhu
dan RR.
- Catat adanya
fluktuasi
tekanan
darah.
- Monitor
kualitas dari
nadi.
- Monitor
suara patu.
- Monitor
sianosis
perifer.
- Identifikasi
penyebab

33
dari
perubahan.
2 Keterlambatan pertumbuhan NOC NIC
dan perkembangan  Grownt and Peningkatan
berhubungan dengan Development, perkembangan
obstruksi aliran dari hati Delayed anak dan remaja
kedalam, lemak dan vitamin  Nutrition Imbalance - Kaji faktor
larut lemak tidak dapat di Less Than Body penyebab
absrobsi, kekurangan  Requirements: gangguan
vitamin larut lemak Kriteria Hasil: perkembanga
(A,D,E,K).  Anak berfungsi n anak
Definisi: optimal sesuai - Identifikasi
Penyimpangan/kelainan dari tingkatannya dan gunakan
aturan kelompok usia  Keluarga dan anak sumber
Batasan karakteristik : mampu pendidikan
 Gangguan menggunakan untuk
pertumbuhan fisik koping terhadap memfasilitasi
 Penurunan waktu tantangan karena perkembanga
respon adanya n anak yang
 Terlambat dalam ketidakmampuan optimal
melakukan  Keluarga mampu - Berikan
keterampilan umum mendapatkan perawatan
kelompok usia sumber-sumber yang

 Kesulitan dalam sarana komunikasi konsisten

melakukan  Kematangan fisik : - Tingkatan

keterampilan umum - Wanita: perubahan komunikasi

kelompok usia fisik normal pada verbal dan

 Afek datar wanita yang terjadi stimulasi

34
 Ketidakmampuan dengan transisi dari taktil
melakukan aktivitas masa kanak-kanak - Berikan
perawatan diri yang ke dewasa instruksi
sesuai dengan usia - Pria: perubahan fisik berulang dan
 Ketidakmampuan normal pada pria sederhana
aktivitas yang terjadi dengan - Berikan
pengendalian dan transisi dari masa reinforcemen
perawatan diri yang kanak-kanak ke t positif atas
sesuai dengan dewasa hasil yang
usianya  Status nutrisi dicapai anak
 Lesu/tidak seimbang - Dorong anak
bersemangat  Berat badan melakukan
Faktor yang berhubungan perawatan
: sendiri

 Efek ketidak - Manajemen

berdayaan fisik perilaku anak

 Defisiensi yang sulit

lingkungan - Dorong anak

 Pengasuhan yang melakukan

tidak adekuat sosialisasi


dengan
 Reponsivitas yang
kelompok
tidak konsisten
- Ciptakan
 Pengabaian
lingkungan
 Pengasuh ganda
yang aman
 Ketergantungan yang
Nutritional
terprogram
Management:
 Perpisahan dari
- Kaji
orang yang dianggap
35
penting keadekuatan
 Defisiensi stimulasi asupan
nutrisi
(misalnya
kalori, zat
gizi)
- Tentukan
makanan
yang disukai
anak
- Pantau
kecenderunga
n kenaikan
dan
penurunan
berat badan
Nutrition
Theraphy:
- Menyelesaika
n penilaian
gizi,
memantau
makanan/cair
an tertelan
dan
menghitung
asupan kalori
harian

36
- Memantau
kesesuaian
perintah diet
untuk
memenuhi
kebutuhan
gizi sehari-
hari
- Kolaborasi
dengan ahli
gizi, jumlah
kalori dan
jenis nutrisi
yang
dibutuhkan
untuk
memenuhi
persyaratan
gizi yang
sesuai
- Pilih
suplemen
gizi
- Dorong
pasien untuk
memilih
makanan
semisoft, jika

37
kurangnya air
liur
menghalangi
menelan
- Mendorong
asupan
makanan
tinggi
kalsium
- Mendorong
asupan
makanan dan
cairan tinggi
kalium,
pastikan
bahwa diet
termasuk
makanan
tinggi
kandungan
serat untuk
mencegah
konstipasi
- Memberikan
pasien
dengan tinggi
protein,
tinggi kalori,

38
makanan dan
minuman
bergizi dari
yang dapat
mudah
dikonsumsi
3 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan
berhubungan dengan proses keperawatan selama….x nafas
peradangan pada hati, 24jam klien menunjukan (Airway
hepatomegali, distensi pola nafas efektif, management)
abdomen, menekan dibuktikan dengan status - Atur posisi
diafragma. respirasi: Ventilasi adekuat klien untuk
dengan kriteria: memaksimal
 Klien menunjukan kan ventilasi.
kedalaman dan - Lakukan
kemudahan fisioterapi
bernafas. dada sesuai
 Ekspansi dada kebutuhan.
simetris. - Dorong klien
 Tidak ada untuk
penggunaan otot bernafas
bantu pernafasan. pelan dan
 Tidak ada bunyi dalam.
nafas tambahan. - Auskultasi
 Tidak ada nafas bunyi nafas,
pendek. area
penurunan
ventilasi atau

39
tidak adanya
ventilasi dan
adanya bunyi
nafas
tambahan.
- Kelola
pemberian
bronchodilat
or sesuai
kebutuhan.
- Ajarkan klien
bagaimana
menggunaka
n inhaler.
- Atur posisi
klien untuk
mengurangi
dypsneu.
- Monitor
status
respirasi dan
oksigen
sesuai
kebutuhan.
Terapi oksigen
(Oxigen therapy):
- Pertahankan
kepatenan

40
jalan nafas.
- Siapkan
perlengkaan
O2 dan atur
system
humidifikasi.
- Berikan
tambahan
oksigen
sesuai
permintaan.
- Monitor
aliran
oksigen
- Berikan
oksigen
sesuai
kebtuhan
- Monitor
posisi
pemberian
oksigen.
- Berikan O2
sesuai
kebutuhan.
- Monitor
kefektifan
terapi

41
oksigen
- Monitor
kemampuan
klien dalam
mentoleransi
perpindahan
O2 ketika
makan.
- Monitor
tingkat
kecemasan
klien
berhubungan
dengan
kebutuhan
terapi
oksigen.
Monitor Respirasi
(Respiratory
monitoring).
- Monitor
kecepatan,
irama,
kedalaman
respirasi.
- Catat
pergerakan
dada,

42
kesimetrisan,
penggunaan
otot nafas
tambahan
dan adanya
retraksi otot
intercosta.
- Monitor pola
nafas:
bradypneu,
tachyoneu,
hiperventilasi
, pernaasan
kusmaul,
cheynes
stokes, biot
dan apneu.
- Palpasi
ekspansi
paru.
- Perkusi
thoraks
anterior dan
posterior
bagian apeks
dan dasar
kedua paru-
paru.

43
- Auskultasi
bunyi paru
setelah
pemberian
pengobatan.
- Monitor
penongkatan
kegelisaan
dan
kecemasan.
- Monitor
kemampuan
klien untuk
batuk efektif.
- Monitor hasil
pemeriksaan
foto thoraks.
4 Nutrisi kurang dari NOC: NIC
kebutuhan tubuh Status gizi: tingkat zat gizi - Pengelolaan
berhubungan dengan yang tersedia untuk gangguan makan
ekskresi bilirubin ke usus memenuhi kebutuhan - Pengelolaan nutrisi
terhambat, gangguan metabolic
penyerapan lemak dan - Bantu menaikkan
Status gizi: asupan makanan BB
vitamin larut lemak,
dan cairan: jumlah makanan
malnutrisi - Aktivitas
dan cairan yang di
keperawatan:
konsumsi tubuh selama
waktu 24 jam - Timbang BB klien
pada interval yang

44
Status gizi: nilai gizi: sesuai
keadekuatan zat gizi yang - Tentukan BB idea
dikonsumsi tubuh klien

- Berikan informasi
Tercapai setelah menjalani menyangkut
perawatan selama 3 hari sumber-sumber
yang tersedia .
seperti: konseling
Kriteria hasil:
diet,program
 Klien akan latihan.
mempertahankan
- Diskusikan dengan
berat badan ideal
klien tentang
 Klien menyatakan kondisi medis yang
toleransi terhadap mempengaruhi BB
diet ang dianjurkan
- Diskusikan tentang
 Mempertahankan risiko yang
massa tubuh dan berkaitan dengan
berat badan dalam kelebihan atau
batas normal kekurangan BB
 Melaporkan - Bantu klien dalam
keadekuatan tingkat mengembangkan
energy rencana makan
yang seimbang dan
konsisten dengan
tingkat
penggunaan energi

45
5 Kekurangan volume NOC NIC
cairan berhubungan  Fluid Balance Fluid management
dengan malnutrisi, perut  Hydration - Timbang
terasa penuh, mual  Nutritional status: food popok/pembalut
muntah. and fluid intake jika diperlukan
Definisi: Kriteria hasil: - Pertahankan
penurunan cairan  Tekanan darah, nadi, cacatan intake dan
intravaskular, interstisial, suhu tubuh dalam batas output yang akurat
dan atau intraseluler. Ini normal - Monitor status
mengacu pada dehidrasi,  Tidak ada tanda-tanda hidrasi jika
kehilangan cairan saa dehidrasi diperlukan
tanpa perubahan pada  Elastisitas turgor kulit - Monitor vital sign
natrium baik, membran mukosa - Monitor masukan
Batasan karakteristik : lembab, tidak ada rasa makanan/cairan
 Perubahan status haus yang berlebihan dan hitung intake
mental kalori harian
 Penurunan - Kolaborasi
tekanan darah pemberian cairan
 Penurunan IV
tekanan nadi - Monitor status

 Penurunan nutrisi

volume nadi - Berikan cairan IV

 Penurunan turgor pada suhu ruangan

kulit - Dorong masukan

 Penurunan turgor oral

lidah - Berikan
penggantian
 Penurunan
nesogatrik sesuai
pengeluaran urine

46
 Penurunan output
pengisisan vena - Dorong keluarga
 Membran mukosa untuk membantu
kering pasien makan
 Kulit kering - Tawarkan snack

 Peningkatan (jus buah, buah

hematokrit segar)

 Penungkatan suhu - Kolaborasi dengan

tubuh dokter

 Peningkatan - Ataur

frekuensi nadi kemungkinan


transfusi
 Peningkatan
- Persiapan untuk
konsentrasi urine
transfusi
 Penurunan berat
Hypovolemia
badan
management:
 Haus
- Monitor status
 Kelemahan
cairan termasuk
Faktor yang
intake dan output
berhubungan :
cairan
 Kehilangan cairan
- Pelihara IV line
aktif
- Monitor tingkat Hb
 Kegagalan
dan hematokrit
mekanisme
- Monitor tanda vital
regulasi
- Monitor respon
pasien terhadap
penambahan cairan
- Monitor berat

47
badan
- Dorong pasien
untuk
menambahkan
intake oral
- Pemberian cairan
IV monitor adanya
tanda dan gejala
kelebihan volume
cairan
- Monitor adanya
tanda gagal ginjal
6 Kerusakan integritas kulit NOC NIC
berhubungan dengan  Tissue Integrity Pressure
peningkatan bilirubin,  Membranes Management
priuritis, ikterus  Hemodyalis akses - Anjurkan pasien
Definisi : perubahan / Kriteria Hasil : untuk
gangguan epidermis dan  Integritas kulit yang menggunakan
dermis. baik bisa saja pakaian yang
Batasan karakteristik : dipertahankan. longgar
 Kerusakan lapisan  Tidak ada luka/lesi - Hindari kerutan
kulit ( dermis ) pada kulit pada tempat tidur
 Gangguan  Perfusi jaringan - Jaga kebersihan
permukaan kulit ( baik kulit agar tetap
epidermis )  Menunjukkan bersih dan kering
 Invasi struktur tubuh pemahaman dalam - Mobilisasi pasien
Faktor yang berhubungan proses perbaikan setiap dua jam
: kulit dan mencegah sekali

48
 Eksternal terjadinya sedera - Monitor kulit akan
- Zat kimia, radiasi berulang adanya kemerahan
- Usia yang ekstrim  Mampu melindungi - Oleskan lotion atau
- Hipertermia kulit dan minyak/baby oil
- Medikasi mempertahankan pada daerah yang
- Lembab kelembaban kulit tertekan
- Imobilisasi fisik dan perawatan - Monitor aktivitas
 Internal alami dan mobilisasi
- Perubahan status pasien
cairan - Monitor status
- Perubahan turgor nutrisi pasien
- Penurunan sirkulasi - Memandikan
- Tonjolan tulang pasien dengan
- Gangguan sensasi sabun dan air
hangat
Insision site care
- Membersihkan,
memantau dan
meningkatkan
proses
penyembuhan pada
luka yang ditutup
dengan jahitan,
klip atau straples
- Monitor proses
kesembuhan area
insisi
- Monitor tanda dan

49
gejala infeksi area
insisi
- Bersihkan area
sekitar jahitan atau
straples,
menggunakan lidi
kapas steril
- Gunakan preparat
antiseptic, sesuai
program
- Ganti balutan pada
interval waktu
yang sesuai atau
biarkan luka tetap
terbuka sesuai
program

7. Cemas berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan Menurunkan kecemasan


peningkatan bilirubin, urine keperawatan selama ….x (Anxiety reduction):
berwarna gelap, tinja 24jam orang tua klien - Gunakan ketenangan
berwarna coklat. mampu mengontrol cemas dalam pendekatan untuk
(Anxiety control) dengan menenangkan klien.
kriteria : - Jelaskan seluruh prosedur
- Klien melaporkan tindakan kepada klien dan
tidak ada manivestasi perasaan yang mungkin
kecemasan secara fisik. muncul pada saat
- Klien melaporkan melakukan tindakan.
manifestasi prilaku akibat - Berusaha memahami

50
kecemasan: tidak ada keadaan klien situasi setres
- Klien dapat yang di alami klien.
meneruskan aktivitas yang - Berikan informasi tentang
di butuhkan meskipun ada diagnosa, prognosis dan
kecemasan. tindakan.
- Klien menunjukan - Temani klien untuk
kemampuan untuk berfokus memberikan kenyamanan
pada pengetahuan dan dan mengurangi ketakutan.
keterampilan yang baru. - Dorong keluarga untuk
- Klien dapat enemani klien sesuai
mengidentifikasi gejala kebutuhan.
yang merupakan indicator - Dorong klien untuk
kecemasan. mengungkapkan perasaan,
pengharapan dan
ketakutan.
- Identifikasi tingkat
kecemasan klien klien
- Berikn aktivitas hiburan
untuk mengurangi
ketegangan.
- Bantu klien untuk
mengidentifikasi situasi
yang menyebabkan
kecemasan.
- Control stimulus sesuai
kebutuhan klien.
- Dengarkan dengan penuh
perhatian.

51
- Ciptakan hubungan saling
percaya.
- Bantu klien untuk
mengungkapkan hal hal
yang membuat cemas.
- Tentukan kemampuan
klien dalam menentukan
keputusan.
- Ajarkan klien tehnik
relaksasi.
- Observasi gejala verbal
dan non verbal dari
kecemasan.
8 Resiko infeksi berhubungan NOC NIC
dengan pembedahan kasai Immune status knoeledge : Infection control (kontrol
Definisi : mengalami Infection Control Risk infeksi)
peningkatan resiko terserang control  Bersihkan lingkungan
organism patogenetik Kreteria hasil : setelah dipakai pasien lain
Faktor-faktor resiko:  Klien harus bebas dari  Pertahankan teknik isolasi
 Penyakit kronis tanda dan gejala infeksi  Batasi pengunjung, bila
- Diabetes militus  Mendeskripsikan perlu
- Obesitas proses penularan penyakit,  Instruksikan pengunjung
 Pengetahauan yang fakto yang mempengaruhi untuk mencuci tangan saat
tidak cukup untuk penularan serta berkunjung dan sesudah
menghindari penatalaksanaannya berkunjung meninggalkan
pemanjaan pathogen  Menunjukkan pasien
 Pertahanan tubuh kemampuan untuk mencegah  Gunakan sabun anti
primer yang tidak tumbulnya infeksi mikroba untuk cuci tangan

52
adekuat  Jumlah leukosit dalam  Cuci tangan etiap sebelum
- Gangguan peristalsis batas normal dan sesudah tindakan
- Kerusakan integritas  Menunjukkan perilaku  Gunakan baju, sarung
kulit (pemasangan hidup sehat tangan sebagai alat
Kateter intravena, pelindung
invasive)  Pertahankan lingkungan
- Perubahan sekresi PH aseptic selama pemasangan
- Penurunan kerja alat
siliaris  Ganti leta IV perifer dan
- Pecah ketuban dini line central dan dressing
- Pecah ketuban lama sesuai petunjuk umum
- Merokok  Gunakan kateter intermiten
- Statis cairan tubuh untuk menurunkan infeksi
- Trauma jaringan kencing
 Ketidak adekuatan  Tingkatkan intake nutrisi
perthanan sekunder  Berikan terapi antibiotic,
- Penurunan bila perlu infection
hemoglobin protection (proteksi

- Imunosupresi terhadap infeksi)

 Vaksinasi tidak  Monitor tanda dan gejala

adekuat infeksi sistemik dan local

 Peminjaman terhadap  Monitor hitung granulosit,

pathogen WBC

 Lingkingan meningkat  Monitor kerentanan


terhadap infeksi
- Wabah
 Batasi pengunjung
 Prodedur invasive
 Sharing kepada pengunjung
 Malnutrisi
mengenai penyakit menular

53
 Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
 Pertahankan teknik isolasi
k/p
 Berikan perawatan kulit
pada bagian epidema
 Inspeksi kulit dan
membrane mukosa terhadap
kmerahan, panas, drainase
 Inspeksi kondisinluka dan
insisi bedah
 Dorong masukan nutrisi
yang cukup
 Dorog masukan cairan
 Dorong masukan istrirahat
 Instruksikan pasien
meminum antibiotic sesuai
resep
 Ajarkan pasien dan
keluarga pasien tanda dan
gejala infeksi
 Ajarka cara menghindari
infeksi
 Laporkan kecurigaan
infeksi
 Laporkan kultur positif

54
4. Implementasi
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan.

5. Evaluasi
1. Diagnosa Hipertermia :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing.
2. Diagnosa Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan :
a. Anak berfungsi optimal sesuai tingkatannya
b. Keluarga dan anak mampu menggunakan koping terhadap tantangan
karena adanya ketidakmampuan
c. Keluarga mampu mendapatkan sumber-sumber sarana komunikasi
3. Diagnosa Pola nafas tidak efektif :
a. Klien menunjukan kedalaman dan kemudahan bernafas.
b. Ekspansi dada simetris.
c. Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan.
4. Diagnosa Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh :
a. Klien akan mempertahankan berat badan ideal
b. Klien menyatakan toleransi terhadap diet ang dianjurkan
c. Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
5. Diagnosa Kekurangan volume cairan:
a. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
b. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
c. Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan
6. Diagnosa Kerusakan integritas kulit :
a. Integritas kulit yang baik bisa saja dipertahankan.
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit
55
c. Perfusi jaringan baik
7. Diagnosa cemas :
a. Klien melaporkan tidak ada manivestasi kecemasan secara fisik.
b. Klien melaporkan manifestasi prilaku akibat kecemasan: tidak ada
c. Klien dapat meneruskan aktivitas yang di butuhkan meskipun ada
kecemasan.
8. Diagnosa Resiko infeksi :
a. Klien harus bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, fakto yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah tumbulnya infeksi

56
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)

Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih
dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus
persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis
biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus
Kedokteran Dorland, 2006)

B. Saran
Adapun saran yang dapat kelompok sampaikan bagi pembaca khususnya
mahasiswa/i Jurusan Keperawatan , hendaknya memberikan asuhan keperawatan
anak dengan benar dan tepat sehingga dapat sesuai dengan evaluasi yang
diharapkan.

57
DAFRTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi


Edisi 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2.


(Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan


Hepatobilier. Salemba Medika

Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta : EGC

Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta
:Penebar Swadaya

Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta:
FKUI.

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir
yang berkepanjangan.

Wong, D.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2.
Jakarta : EGC

58
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis
proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.

Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed. 3. Jakarta : EGC

59

Anda mungkin juga menyukai