Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN BELAJAR MANDIRI

Blok 12 – Skenario A – Diabetes Melitus tipe 1

Nama: Nissa Daradinanti


NIM: 04011181823022
Kelas: Alpha 2018

Diabetes Melitus

1. Diagnosis
Kadar glukosa darah secara normal dipertahankan pada jarak sangat sempit, biasanya
antara 70 hingga 120 mg/ dL. Diagnosis diabetes ditegakkan dengan peningkatan
glukosa darah melalui satu dari tiga kriteria di bawah ini:
1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu 200 mg/dL atau lebih, dengan tanda dan gejala
klasik (dibahas kemudian)
2. Konsentrasi glukosa puasa 126 mg/dL atau lebih pada lebih dari satu kesempatan.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) abnormal, yang konsentrasi glukosanya adalah
200 mg/dL atau lebih, 2 jam setelah pemberian beban karbohidrat standar (75 g
glukosa).

Prediabetes:
Pasien dengan glukosa puasa serum lebih dari 110 mg/dL namun kurang dari 140
mg/dL, atau nilai TTGO lebih besar dari 110 tetapi kurang dari 126 Mg/dL., disebut
memiliki toleransi glukosa terganggu􀍕 yang dikenal juga sebagai prediabetes􀍘
Sejalan dengan berjalannya waktu, orang dengan gangguan toleransi glukosa
memiliki risiko bermakna untuk berkembang menjadi diabetes yang nyata, sekitar 5%
hingga 10%. Berlanjut menjadi diabetes melitus penuh per tahun. Selain itu, mereka
dengan toleransi glukosa terganggu berisiko menderita penyakit kardiovaskular,
sebagai konsekuensi dari metabolism karbohidrat yang abnormal dan adanya faktor
risiko lain secara bersamaan.
2. Klasifikasi

Walaupun semua bentuk diabetes melitus memiliki gambaran umum hiperglikemia,


penyebab yang mendasarinya sangat bervariasi. sebagian besar kasus diabetes
termasuk pada salah satu dari dua kelompok besar:
 Diabetes tipe 1 (DT1) ditandai oleh defisiensi absolut sekresi insulin yang
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, biasanya akibat suatu serangan
autoimun. Diabetes tipe 1 ini mencakup sekitar 10% seluruh kasus.
 Diabetes tipe 2 (DT2) disebabkan oleh gabungan dari resistensi perifer
terhadap kerja insulin dan respons sekresi insulin kompensatorik yang tidak
adekuat oleh sel beta pankreas (defisiensi insulin relative). Sekitar 80% hingga
90% pasien diabetes melitus adalah diabetes tipe 2.
Diabetes melitus lainnya, disebabkan oleh berbagai sebab lain yang monogenik dan
sekunder. Hal yang penting adalah bahwa walaupun tipe utama diabetes timbul dari
mekanisme patogenik yang berbeda, komplikasi jangka panjang di ginjal, mata, saraf,
dan pembuluh darah sama dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas.

3. Insulin
homeostasis glukosa normal diatur dengan ketat oleh tiga proses yang saling
berhubungan:
(1) produksi glukosa di hati,
(2) uptake glukosa dan penggunaannya oleh jaringan perifer, terutama otot
skeletal, dan
(3) kerja insulin dan hormon pengatur yang berlawanan (counter regulatory)
(contoh, glukagon).
Fungsi metabolik utama insulin adalah meningkatkan laju transportasi glukosa ke
dalam sel tertentu di dalam tubu.
Sel yang dimaksud ini adalah sel otot serat lintang (termasuk sel miokardium) dan
lebih sedikit adiposit yang merupakan hampir dua per tiga dari seluruh berat badan.
Uptake glukosa pada jaringan perifer lain, terutama otak, bergantung pada insulin.
Pada sel otot, glukosa akan disimpan sebagai glikogen atau dioksidasi untuk
menghasilkan adenosin trifosfat (ATP). Pada jaringan lemak, glukosa disimpan
terutama sebagai lemak. Selain meningkatkan sintesis lemak (lipogenesis), insulin
juga menghambat degradasi lemak pada adiposity (lipolisis). Demikian juga, insulin
meningkatkan uptake asam amino dan sintesis protein sambil menghambat degradasi
protein. Olleh karena itu, efek metabolik insulin dapat disimpulkan sebagai anabolik,
dengan meningkatkan sintesis dan mengurangi degradasi glikogen, Lemak, dan
protein. Selain efek metabolik ini, insulin memiliki beberapa fungsi mitogenik, antara
lain inisiasi sintesis DNA pada sel tertentu serta merangsang pertumbuhan dan
diferensiasinya.

Insulin mengurangi produksi glukosa hati, Insulin dan glucagon memiliki efek
pengaturan yang berlawanan pada homeostasis glukosa. Selama keadaan puasa, kadar
insulin yang rendah dan glukagon yang tinggi memfasilitasi glukoneogenesis dan
glikogenolisis (penghancuran glikogen) hati sambil menurunkan sintesis glikogen,
sehingga mencegah hipoglikemia. Oleh karena itu, kadar glukosa plasma puasa
ditentukan terutama oleh luaran glukosa hati. Setelah makan, kadar insulin meningkat
dan kadar glukagon turun sebagai respons terhadap masukan beban glukosa yang
banyak. Stimulus paling penting yang memicu pelepasan insulin adalah glukosa itu
sendiri yang menginisiasi sintesis insulin di sel beta pancreas. Pada jaringan perifer
(otot skeletal dan jaringan lemak), insulin yang disekresi berikatan dengan reseptor
insulin. memicu sejumlah respons intraseluler yang meningkatkan uptake glukosa dan
penggunaan glukosa postprandial, sehingga mempertahankan homeostasis glukosa.
Abnormalitas pada berbagai titik sepanjang kaskade pengisyaratan yang kompleks ini,
dari sintesis dan pelepasan insulin oleh sel beta hingga interaksi
dengan reseptor insulin di jaringan perifer, dapat menyebabkan fenotipe diabetes.

4. Komplikasi

Diabetes Melitus Tipe 1

a. Epidemiologi

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik dengan insiden yang semakin
meningkat di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi
juga pada anak. Diabetes mellitus ditandai dengan peningkatan kadar gula darah
akibat gangguan produksi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya.
Berdasarkan penyebabnya, DM dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu DM tipe-1,
DM tipe-2, DM tipe lain dan diabetes pada kehamilan atau gestasional. Pada anak,
jenis DM tersering adalah tipe-1, terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan sel
kelenjar pankreas oleh proses autoimun. Masalah utama DM tipe-1 di Indonesia
adalah kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan yang kurang sehingga banyak
pasien tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tata laksana adekuat.

Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2018, tercatat
1220 anak penyandang DM tipe-1 di Indonesia. Insiden DM tipe-1 pada anak dan
remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta
penduduk pada tahun 2000 dan 2010.2-4 Data tahun 2003-2009 menunjukkan pada
kelompok usia 10-14 tahun, proporsi perempuan dengan DM tipe 1 (60%) lebih tinggi
dibandingkan laki-laki (28,6%).4 Pada tahun 2017, 71% anak dengan DM tipe-1
pertama kali terdiagnosis dengan Ketoasidosis Diabetikum (KAD), meningkat dari
tahun 2016 dan 2015, yaitu 63%.2 Diduga masih banyak pasien DM tipe-1 yang tidak
terdiagnosis atau salah diagnosis saat pertama kali berobat ke rumah sakit.

b. Patogenesis
Diabetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun dengan kerusakan pulau Langerhans
terutama disebabkan oleh sel efektor imun yang bereaksi terhadap antigen sel beta
endogen. Diabetes tipe 1 paling sering berkembang pada masa anak-anak,
bermanifestasi pada pubertas, dan memburuk sejalan dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan pasien diabetes tipe 1 bergantung pada insulin eksogen untuk bertahan
hidup; tanpa insulin mereka akan mengalami komplikasi metabolik serius, seperti
ketoasidosis dan koma.

Walaupun onset klinis diabetes tipe 1 jelas, penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh
serangan autoimun menahun pada sel beta yang biasanya sudah dimulai bertahun-
tahun sebelum penyakit menjadi nyata. Manifestasi klasik penyakit (hiperglikemia
dan ketosis) terjadi pada stadium lanjut, setelah lebih dari 90% sel beta telah
dihancurkan. Abnormalitas imun yang mendasar pada diabetes tipe I adalah
kegagalan tolerasi diri pada sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh
beberapa kombinasi dari delesi klonal sel T self-reactive yang defektif di timus, dan
defek pada fungsi pengaturan sel T atau resistensi sel T efektor terhadap supresi oleh
sel pengatur. Sehingga, sel T yang autoreactive tidak hanya bertahan hidup namun
juga berespons terhadap antigen diri. Tidak mengherankan,autoantibodi terhadap
sejumlah antigen sel beta, termasuk insulin dan enzim sel beta dekarboksilase asam
glutamat, dideteksi dalam darah pada 70 % hingga 80 % pasien. Pada kasus jarang di
mana lesi pankreatik telah diperiksa pada awal proses penyakit, pulau Langerhans
menunjukkan nekrosis sel beta dan infiltrasi limfositik (disebut insulitis).

Seperti halnya kebanyakan penyakit autoimun lain, pathogenesis diabetes tipe 1


meliputi interaksi dari kerentanan genetik dan faktor lingkungan. Penelitian terkait
genome wide telah mengidentifikasi lebih dari 20 lokus kerentanan terhadap diabetes
tipe 1. Lokus kerentanan utama untuk diabetes tipe 1 terdapat pada regio kromosom
yang mengkode molekul MHC kelas ii pada 6p21 (HLA-D).

Banyak faktor yang berkontribusi dalam patogenesis DM tipe-1, di antaranya faktor


genetik, epigenetik, lingkungan, dan imunologis. Namun, peran spesifik masing-
masing faktor terhadap patogenesis DM tipe-1 masih belum diketahui secara jelas.
Risiko untuk mengalami DM tipe-1 berhubungan dengan kerusakan gen, saat ini
diketahui lebih dari 40 lokus gen yang berhubungan dengan kejadian DM tipe-1.
Riwayat keluarga jarang dijumpai, hanya 10%-15% pasien memiliki keluarga derajat
pertama dan kedua dengan DM tipe-1. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan
DM tipe-1, antara lain, infeksi virus dan diet. Sindrom rubella kongenital dan infeksi
human enterovirus diketahui dapat mencetuskan DM tipe-1. Konsumsi susu sapi,
konsumsi sereal dini, dan vitamin D maternal diduga berhubungan dengan kejadian
DM tipe-1, tetapi masih dibutuhkan investigasi lebih lanjut. Pada beberapa pasien
dengan awitan baru DM tipe- 1, sebagian kecil sel β _belum mengalami kerusakan.
Dengan pemberian insulin, fungsi sel β _yang tersisa membaik sehingga kebutuhan
insulin eksogen berkurang. Periode ini disebut sebagai periode bulan madu atau
honeymoon period di mana kontrol glikemik baik. Umumnya, fase ini diawali pada
beberapa minggu setelah mulai terapi sampai 3-6 bulan setelahnya, pada beberapa
pasien dapat mencapai dua tahun.

c. Gejala

Gejalanya sama dengan yang terjadi pada pasien dewasa yaitu:


1. Poliuria
2. Polifagia
3. Nokturia
4. Polidipsia
5. Luka yang sukar sembuh
6. Penurunan berat badan
Kriteria diagnosis DM (Ikatan Dokter Anak Indonesia, diadaptasi dari American
Diabetes Association)
Memenuhi salah satu kriteria :
11. Gejala klasik diabetes atau hiperglikemi dan glukosa plasma ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L),
atau
22. Glukosa puasa plasma ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L), atau
33. Glukosa 2 jam postprandial 200 mg/dL (11,1 mmol/L) dengan Uji Toleransi Glukosa
Oral, atau
44. HbA1c > 6,5% sesuai standar National Gylcohemoglobin Standardization Program
(NGSP) pada laboratorium tersertifikasi

d. Tata-laksanan
Diabetes merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, akan tetapi dengan tata
laksana dan pemantauan yang adekuat anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik.
Tujuan dari terapi pada DM tipe-1 adalah mencapai kontrol metabolik yang optimal,
mencegah komplikasi akut, mencegah komplikasi jangka panjang mikrovaskular dan
makrovaskular, serta membantu psikologis anak dan keluarga.
Lima pilar tata laksana DM tipe-1 pada anak adalah
1. injeksi insulin,
Regimen insulin bersifat individual, yaitu menyesuaikan usia, berat badan, lama
menderita, target kontrol glikemik, pola hidup, dan komorbiditas. Regimen yang
disarankan adalah basal bolus yang diberikan dengan pompa atau insulin subkutan
minimal 2 kali/hari dengan menggunakan insulin basal dan insulin kerja cepat atau
pendek karena paling menyerupai sekresi insulin fisiologis.

2. pemantauan gula darah,


3. nutrisi,
4. aktivitas fisik,
5. serta edukasi.
Dalam menangani DM tipe-1, dibutuhkan pendekatan holistik dari tim tenaga kesehatan
terintegrasi yang terdiri atas dokter anak endokrinologi, ahli gizi, psikiater atau psikolog
dan, edukator DM.

Anda mungkin juga menyukai