Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN BELAJAR MANDIRI

Blok 164– Skenario BB– Rhinosinusitis Sistitis Akut

Nama: Nissa Daradinanti


NIM: 04011181823022
Kelas: Alpha 2018

I. Analisis Masalah

Keluhan Utama:
Soni, seorang anak laki-laki, usia 1 tahun, dibawa ibunya ke poli anak karena demam sejak 3
hari yang lalu.
a. Bagaimana etiologi demam pada kasus?
Demam pada anak ini merupakan reaksi dari adanya infeksi saluran kemih yang disebabkan
oleh E.coli.

b. Bagaimana sifat demam pada kasus? Apakah fisiologis atau tidak? Bagimana kriteria
demam yang bersifat fisiologis?
Menurut Febry dan Marendra (2010) Demam dikatakan sebagai demam fisiologis jika
penyebab demam adalah karena adanya gangguan fisiologis pada tubuh seseorang, misal
karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara terlalu panas serta kelelahan setelah
bermain di siang hari. Pada kasus ini, demam terjadi selama tiga hari tanpa adanya gangguan
fisiologis dan lebih merujuk ke demam karena infeksi. Demam infeksi adalah demam yang
disebabkan oleh masukan patogen, misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang
kecil lainnya ke dalam tubuh.

c. Bagaimana patofisiologi demam pada kasus?


Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah
zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi kepada dua yaitu pirogen eksogen dan
pirogen endogen pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien.
Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin
lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah
pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Pirogen
eksogen telah terbukti menginduksi produksi sitokin pro-inflamasi, seperti interleukin 1β
(IL-1β) dan 6 (IL-6), interferon (INF) -α, dan tumor necrosis factor (TNF).Seterusnya, yaitu
masuk ke sirkulasi hipotalamus, merangsang pelepasan prostaglandin lokal dan mengulang
setpoint termal hipotalamus. Tindakan sitokin pirogenik dapat ditentang oleh sitokin lainnya
seperti zat arginin vasopressin , IL-10, glukokortikoid dan melanosit-stimulating hormone,
yang semuanya memiliki sifat antipiretik, sehingga dapat membatasi magnitud dan durasi
demam. TNF telah terbukti memiliki sifat pirogenik dan antipiretik, tergantung pada kondisi
percobaan. Pada akhirnya, jumlah dari interaksi sitokin pirogenik dan antipiretik berefek
kepada derajat dan durasi respon demam ( Dalal , Zhukovsky,2006 )
d. Bagaimana hubungan usia dengan demam yang diderita anak?
Menurut Lambert (2003) diperkirakan 20% kasus konsultasi pediatri terdiri dari kasus ISK
dan pielonefritis kronik. American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi
bahwa pada bayi umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK
dan perlu dilakukan biakan urin.

e. Bagaimana system imun yang terlibat dengan keluhan yang dialami anak pada
kasus?
Pirogen eksogen menginduksi produksi sitokin pro-inflamasi, seperti interleukin 1β (IL-1β)
dan 6 (IL-6), interferon (INF) -α, dan tumor necrosis factor (TNF). Selanjutnya, yaitu masuk
ke sirkulasi hipotalamus, merangsang pelepasan prostaglandin lokal dan mengulang setpoint
termal hipotalamus.

f. Apakah ada kaitan dengan imunisasi yang lengkap serta pemberian asi pada anak di
kasus ini?
Menurut hasil yang saya dapat, tidak ada kaitan langsung antara imunisasi dan ISK pada
kasus. Untuk pemberian asi sendiri, jika anak kurang mengonsumsi air minum, air seni akan
terbendung dialam kandung kemih dan menyebabkan pertumbuhan kuman. Namun
pemberian imunisasi yang lengkap serta asi eksklusif juga sangat penting untuk
meningkatkan daya tahan tubuh dan memperkuat sistem imun anak dalam menghadapi
serangan mikroba yang masuk ke tubuh.
g. Apa saja imunisasi yang perlu diberikan pada anak dibawah 1 tahun?
Tabel 1. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0-18 Tahun (IDAI, 2017)

h. Apa makna klinis terjadi demam selama 3 hari?


Bahwa terjadi infeksi akut pada anak dan terjadi reaksi sistem imun dalam melawan infeksi
tersebut.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak kira-kira 1 minggu sebelumnya ibu memperhatikan anak tampak sakit setiap mau buang
air kecil. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal.
a. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi sistem saluran kemih pada anak?
Dijawab pada LI di bawah
b. Bagaimana etiologi rasa sakit setiap buang air kecil pada kasus?
Utamanya, penyebab disuria bisa dibagi menjadi dua kategori, infeksius dan non-infeksius.
Penyebab pada disuria infeksius adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK), urethritis, infeksi ginjal
dan prostat, infeksi vagina, dan PMS. Untuk penyebab disuria non-infeksius termasuk juga
penyakit kulit, benda asing atau batu ginjal pada tractus urinarius, trauma, BPH dan tumor juga
sistitis interstitial, pengobatan0pengobatan tertentu,
Infeksi yang terjadi di sistem kemih merupakan etiologi yang paling sering terjadi pada dysuria
atau rasa sakit setiap buang air kecil. Infeksi pada sistem kemih ini paling sering disebabkan
oleh bakteri.
c. Bagaimana patofisiologi rasa sakit setiap buang air kecil pada kasus?
Disuria yang disebabkan oleh inflamasi seperti Infeksi Saluran Kemih dihasilkan oleh kontraksi
otot kemih dan peristalsis ureteral, yang menyebabkan urin bersentuhan dengan dinding mukosa
yang mengalami peradangan. Kontak ini menyebabkan rangsangan sensorik dan reseptor nyeri
yang menyebabkan nyeri bersamaan dengan rasa terbakar, menyengat, atau gatal. Sensitivitas
pada reseptor-reseptor ini dapat meningkat selama proses inflamasi atau neuropatik. Terkadang
inflamasi dari organ-organ disekitar seperti colon juga dapat menyebabkan disuria.
d. Bagaimana diagnosis banding rasa sakit tiap buang air pada kasus?
 ISK
 Batu ginjal
 Infeksi Prostat
 PMS
 Kista Ovarium
 Infeksi Vagina
 Kanker
e. Apakah ada hubungan antara demam dan rasa sakit setiap buang air kecil, jika ada
bagaimana hubungannya?
Terdapat hubungan antara demam dan rasa sakit setiap buang air kecil, dimana demam ini
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital: kesadaran compos mentis, suhu: 38,5oC, nadi: 100 x/mnt, pernafasan: 28 x/mnt,
TD: 90/60 mmHg. BB = 9 kg, TB = 75 cm.
Keadaan spesifik: mata cekung tidak ada, edema tidak ada. Toraks: paru dan jantung dalam
batas normal. Abdomen: datar, lemas, hepar/lien tidak teraba, bising usus normal, nyeri ketok
costovertebral dan nyeri tekan suprapubik sulit dinilai. Genitalia eksterna: kulit yang
melingkupi kepala penis tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh bagian kepala
penis, tampak meatus urethra externus yang hiperemis. Ekstremitas: edema tidak ada, akral
teraba hangat.
a. Bagaimana interpretasi (IMT) dari hasil pemeriksaan fisik?

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi


Kesadaran Compos Mentis Compos Mentis Normal
BBI 9 kg BBI = 2n + 8 Normal
= 2(1)+8
= 10 kg atau
(umur/2) + 3 = 12/2 +3
= 9kg
12 bulan = 29,75 inch
Panjang Badan
75cm konversi Normal
75,7 cm
Denyut Nadi 100x/ menit 98-140 x/ menit Normal
Frekuensi Napas 28x/menit 24-40x/menit Normal
TD 90/60 mmHg 80-100/55-55 mmHg Normal
Suhu 38,5 oC 36,6 – 37,2 oC Febris
Mata cekung (-) (-) Normal
Edema (-) (-) Normal
Genitalia
Eksterna
Preputium Tidak dapat ditarik Dapat ditarik Abnormal
Meatus Urethra Hiperemis Tidak Hiperemis Terdapat Infeksi
Externus
Ektremitas
-Edema (-) (-)
Akral Abnormal
-Akral (-) Hangat

b. Bagaimana patofisiologi dari hasil pemeriksaan fisik yang abnormal?


Demam terjadi karena Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang
terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus.

Preputium yang tidak dapat ditarik pada bayi sebenarnya dapat berupa fimosis fisiologis
maupun patologis.

Meatus urethra externus yang hiperemis dapat disebabkan oleh terjadinya infeksi pada ujung
penis sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan terjadilah hiperemis.

c. Apa saja jenis pemeriksaan fisik pada kasus?


Inspeksi Abdomen, Palpasi Abdomen, Perkusi Abdomen, Auskultasi sudut kostovertebral
dan kuadran atas abdomen, Pemeriksaan Ginjal Secara Keseluruhan, Pemerisaan Vesika
Urinaria dan Pemeriksaan Meatus.
d. Bagaimana cara pemeriksaan fisik pada kasus?
Langkah pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan Inspeksi
Posisi pasien terlentang. Inspeksi pada abdomen, catat ukuran, kesimetrisan, warna kulit,
tekstur, turgor kulit, adanya massa atau pembengkakan, distensi, dan luka. Kulit dan membran
mukosa yang pucat, indikasi gangguan ginjal yang menyebabkan anemia. Penurunan turgor
kulit merupakan indikasi dehidrasi. Edema, indikasi retensi dan penumpukkan cairan.
Pemeriksaan Auskultasi
Gunakan diafragma/bel stetoskop untuk mengauskultasi bagian atas sudut kostovertebral dan
kuadran atas abdomen. Jika terdengar bunyi bruit (bising) pada aorta abdomen dan arteri
renalis, maka indikasi adanya gangguan aliran darah ke ginjal (stenosis arteri ginjal).
Pemeriksaan Ginjal
1. Palpasi Ginjal
 Ginjal kanan
- Atur posisi klien supinasi, palpasi dilakukan dari sebelah kanan.
- Letakkan tangan kiri di bawah costa 12
- Letakkan tangan kanan dibagian atas, sedikit di bawah lengkung iga kanan
- Anjurkan pasien nafas dalam dan tangan kanan menekan ke bawah sementara tangan
kiri mendorong ke atas. Pada puncak inspirasi tekan tangan kanan kuat dan dalam. Raba ginjal
kanan antara 2 tangan. Tentukan ukuran, nyeri tekan.
 Ginjal kiri
Prinsipnya sama dengan ginjal kanan, bedanya :
- Pemeriksa pindah ke sisi kiri penderita
- Gunakan tangan kanan untuk menyangga dan mengangkat dari belakang
- Letakkan tangan kiri di kuadran kiri atas
- Anjurkan pasien nafas dalam dan tangan kiri menekan ke bawah sementara tangan
kanan mendorong ke atas. Pada puncak inspirasi tekan tangan kiri kuat dan dalam. Raba ginjal
kanan antara 2 tangan. Tentukan ukuran, nyeri tekan. Normalnya jarang teraba.
2. Perkusi Ginjal
Perkusi ginjal dilakukan untuk mengkaji adanya nyeri. Perkusi ginjal dilakukan pada akhir
pemeriksaan.
Perkusi costovertebral ginjal (costovertebral angle)
- Atur posisi klien berbaring dengan posisi miring/duduk
- Letakkan telapak tangan kiri di atas sudut
costovertebral/costovertebral angel (setinggi vertebra torakalis 12 dan lumbal 1) dan perkusi
dengan tangan kanan yang mengepal. Lakukan kanan dan kiri. Lakukan perkusi ginjal dengan
cukup kekuatan sampai pasien dapat merasakan pukulan.

- Hasil normal, klien tidak merasakan nyeri, jika terdapat nyeri mengindikasikan adanya batu
atau pyelonephritis

Pemeriksaan Vesika Urinaria


1. Palpasi Vesika Urinaria
Palpasi vesika urinary untuk memeriksa adanya kesimetrisan, lokasi, ukuran, dan sensasi.
Dalam kondisi normal, vesika urinaria tidak teraba. Adanya distensi/pembesaran vesika urinaria
dapat dipalpasi di area antara simfisi pubis dan umbilical. Langkah-langkah palpasi vesika
urianaria:
- Atur posisi pasien supinasi
- Lakukan palpasi di bawah umbilikus ke arah bawah
mendekati simfisis.
- Palpasi adanya distensi kandung kemih/vesika urinaria.

2. Perkusi Vesika Urinaria


Secara normal, vesika urinaria tidak dapat diperkusi, kecuali volume urin di atas 150 ml. Jika
terjadi distensi, maka kandung kemih dapat diperkusi sampai setinggi umbilicus. Sebelum
melakukan perkusi vesika urinaria, lakukan palpasi untuk mengetahui fundus vesika urinaria.
Setelah itu lakukan perkusi di atas area suprapubic. Jika vesika urinaria penuh atau sedikitnya
volume urin 500 ml, maka akan terdengar bunyi dullness (redup) di atas simphysis pubis.
Langkah-langkah perkusi vesika urinaria:
- Atur posisi pasien supinasi
- Lakukan perkusi dimulai dari suprapubic sampai ke area umbilicus.Vesika urinaria
dalam keadaan penuh akan terdengar “dullness”.
Pemeriksaan Meatus
Pemeriksaan meatus bukan pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan fisik system perkemihan.
Pemeriksaan ini sering dilakukan pada pasien dengan gangguan system perkemihan infeksi.
Langkah-langkah pemeriksaan dengan inspeksi pada meatus
1. Pada pasien laki-laki
- Atur pasien dalam posisi duduk atau berdiri
- Gunakan sarung tangan
- Pegang penis dengan dua tangan, tekan ujung gland penis untuk membuka meatus
urinary. Lihat meatus adanya kemerahan, pembengkakan, discharge/cairan, luka,
pada meatus.
2. Pada pasien perempuan
- Atur pasien dalam posisi litotomi
- Gunakan sarung tangan
- Buka labia mayora dengan tangan yang dominan, lihat meatus adanya kemerahan,
pembengkakan, discharge/cairan, luka, pada meatus.

e. Apakah perlu dilakukan pemeriksaan tambahan (alternatif) apabila pemeriksaan sulit


dinilai? Khusus nya pada nyeri ketok costovertebral dan nyeri tekan suprapubic?
Jika nyeri ketok sulit dinilai, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan berupa USG untuk melihat
adanya kelainan pada sistem saluran kemih pasien.

f. Apakah ada perbedaan dalam pemeriksaan fisik dewasa dan anak? Jika ada, bagaimana?
Pemeriksaan fisik pada anak berbeda dengan dewasa, ada beberapa hal yang tidak boleh
diabaikan dan cara pemeriksaan harus disesesuaikan dengan umur anak/bayi. Suasana harus
tenang dan nyaman karena jika anak ketakutan, kemungkinan dia akan menolak untuk
diperiksa. Untuk anak usia 1 – 3 tahun, kebanyakan diperiksa dalam pelukan ibu, sedangkan
pada bayi usia  6 bulan, biasanya bisa diperiksa di atas meja periksa.

Tata cara dan urutan pemeriksaan fisik pada anak tetap dimulai dengan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
Inspeksi, ditujukan untuk melihat perubahan yang terjadi secara umum dengan membandingkan
tempat yang diperiksa dengan daerah sekitarnya atau organ yang sama pada sisi yang berbeda.
Palpasi, dilakukan dengan telapak tangan dan atau jari-jari tangan. Palpasi diperlukan untuk
menentukan bentuk, ukuran, tepi, permukaan dan untuk mengetahui intensitas nyeri serta
konsistensi. Palpasi dapat dilakukan dengan kedua tangan, terutama untuk mengetahui adanya
cairan atau ballottement.
Perkusi, ditujukan untuk mengetahui perbedaan suara ketukan sehingga dapat ditentukan batas-
batas organ atau massa abnormal. Suara perkusi dibagi menjadi 3 macam yaitu sonor (perkusi
paru normal), timpani (perkusi abdomen), dan pekak (perkusi otot). Suara lain yang terdapat
diantara dua suara tersebut seperti redup (antara sonor dan pekak) dan hipersonor (antara sonor
dan timpani).
Auskulatasi, pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop untuk mendengar suara pernafasan,
bunyi dan bising jantung, peristaltic usus dan aliran darah dalam pembuluh darah.
Laboratory Examination
Hematologi: Hb: 11 g/dl, lekosit: 16.000/mm3, hitung jenis 0/1/4/80/13/2, LED 25 mm/jam.
Urinalisis: warna kuning, agak keruh, lekosit 20-30/lpb, eritrosit 1-2/lpb, lekosit esterase
positif, nitrit positif.
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium?

Jenis Hasil Nilai normal Interpretasi


Hematologi
Hb 15,5 mg/dl 10,5-13,0 mg/dL Meningkat
Leukosit dalam
Leukosit 16.000 mm3 6000-17000 mm3
batas normal
Neutrofil batang
Basofil 0-1 %
sedikit menurun
Eosinofil 0-3%
dan Neutrofil
N-Batang 5-11%
Hitung jenis 0/1/4/80/13/2 segmen meningkat,
N-Segmen 15-35%
limfosit menurun
Limfosit 45-76%
dan monosit sedikit
Monosil 3-6%
menurun.
LED 25mm/jam 3-13mm/jam LED meningkat
Urinalisis
Kekeruhan urin
dapat
Warna Kuning agak keruh Kuning jernih
mengindikasikan
adanya infeksi
Meningkat,
Leukosit 20-30/lpb <5/lbp
kemungkinan piuria
Eritrosis 1-2/lpb < 3/lpb normal
Menunjukan
adanya sel darah
Leukosit esterasi (+) (-)
putih pada saluran
kemih
Terdapat bakteri
Nitrit (+) (-) yang mengubah
nitrat menjadi nitrit
b. Bagaimana patofisiologi dari hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal?

 Neutrofil Segmen dan Leukosit meningkat

meningkat menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit. Pada infeksi, makrofag akan
teraktivasi untuk memfagosit bakteri yang menginfeksi sel-sel di jaringan. Makrofag juga
akan mengeluarkaan IL-8 sebagai kemotaksis neutrofil sehingga banyak neutrofil yang
terekrut ke jaringan yang mengalami infeksi. Neutrofil yang banyak terekrut adalah neutrofil
matur (neutrofil segment) sehingga persentase neutrofil segmen menjadi tinggi, akibatnya
persentase sel leukosit lain akan menurun seperti limfosit dan neutrofil batang.

 Leukosit esterase (+)

Adanya leukosit di dalam urin akan memberikan hasil positif, yang kemungkinan menandakan
adanya ISK. Pemeriksaan 57-96% sensitif and 94-98% spesifik. Guna enzim ini pada leukosit
adalah disintegrasi esters menjadi alcohol dan asam.

 LED Meningkat

Pada saat terjadi infeksi, leukosit yang teraktivasi akan mengeluarkan sitokin-sitokin
proinflamasi seperti IL-1 dan IL-6. Kedua interleukin ini akan menstimulasi hepar untuk
meningkatkan produksi fibrinogen yang merupakan salah satu komponen pembekuan darah.
Peningkatan fibrinogen ini akan mengakibatkan semakin banyak eritrosit-eritrosit yang
menggumpal sehingga eritrosit menjadi semakin berat dan mudah menendap.

 Nitrit (+)

Karena bakteri yang menginfeksi kandung kemih mengubah nitrat menjadi nitrit

c. Bagaimana cara pemeriksaan laboratorium pada kasus?


a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah.
Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak dipakai sebagai
patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak dengan ISK (80-90%)
pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK.
Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu
dipertimbangkan pada infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan Ureaplasma
urealitikum.

Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase, enzim yang terdapat di
dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin.

Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam keadaan
normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit
oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat
mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin.
Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit.

Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai sebagai
indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah
dalam diagnosis ISK.

Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan kreatinin
urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-carrier-protein
yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan komponen imunitas innate yang
memberikan respon terhadap infeksi bakteri. Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr
>30ng/mg merupakan tanda ISK.

Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan mikrokop fase
kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap
lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin,
sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan
mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop
fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.Anti coated bacteri (ACB) dalam urin
yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan
tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda, namun tidak mampu laksana pada anak.

b. Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan tersebut tidak
spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju endap darah (LED),
C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas. Kadar
prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut
pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan
protein kecil yang penting dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori
(TNF-α; IL-6; IL-1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.

c. Kultur urin
i. Cara pengambilan spesimen urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat, mudah dilakukan untuk
semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan peralatan sederhana. Sayangnya tidak ada
teknik yang memenuhi persyaratan ini. Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat
dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan
menggunakan urine collector.

Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan aspirasi suprapubik,
dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk biakan urin. Kateterisasi urin
merupakan metode yang dapat dipercaya terutama pada anak perempuan, tetapi cara ini
traumatis. Teknik pengambilan urin pancar tengah merupakan metode non-invasif yang bernilai
tinggi, dan urin bebas terhadap kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat
diambil dengan memakai kantong penampung urin (urine bag atau urine collector).
Pengambilan sampel urin dengan metode urine collector, merupakan metode yang mudah
dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu hingga 80%.

Child Health Network (CHN) guideline (2002) hanya merekomendasikan 3 teknik pengambilan
sampel urin, yaitu pancar tengah, kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan
pengambilan dengan urine bag tidak digunakan.

Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat perhatian karena bila
sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari 1⁄2 jam, maka kuman dapat membiak
dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur
dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di
dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemar es pada suhu 40C selama 48-72 jam sebelum
dibiak.

ii. Interpretasi biakan urin


Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media McConkey. Beberapa bakteri yang
tidak lazim menyebabkan ISK, tidak dapat tumbuh pada media yang sering digunakan dan
memerlukan media kultur khusus. Interpretasi hasil biakan urin bergantung pada teknik
pengambilan sampel urin, waktu, dan keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan sampel urin
dengan cara aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa
bakteriuriabermaknaadalahjikaditemukankumandenganjumlah berapa pun. Namun untuk teknik
pengambilan sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat kriteria yang
berbeda-beda.

Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah kuman ≥
105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, Dengan kateter urin, Garin dkk., (2007)
menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna dan pendapat lain
menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL dan ada yang menggunakan
kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. (2010) menggunakan
batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan
midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105
cfu/mL, dan Baerton dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil
dengan urine bag.

Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak faktor
yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis jelas ditemukan
ISK.

Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara biakan
urin yang dapat dilakukan setiap saat dan dimana saja, tetapi cara ini hanya dapat menunjukkan
ada tidaknya kuman, sedang identifikasi jenis kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan
cara konvensional.

d. Penanda biokimia
Penanda yang paling sering digunakan adalah nitrit dan leukosit esterase yang dikombinasikan
dalam uji dipstik. Uji dipstik bermanfaat untuk mengeksklusi ISK dengan cepat dan terpercaya
bila uji nitrit dan leukosit esterase adalah negatif. Jika hasil tes positif, maka perlu
mengkonfirmasikan hasil dalam kombinasi dengan gejala klinis dan uji lainnya.

d. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk kasus?


 Kultur urin,
 penanda biokimia,
 USG,
 Radionuklida,
 VCUG (Voiding Cystourethrography),
 pencitraan tambahan.
Hipotesis
Soni, seorang anak laki-laki, usia 1 tahun, mengalami infeksi saluran kemih berupa sistitis akut
dan fimosis.
a. Apa diagnosis kerja pada kasus ini?
infeksi saluran kemih berupa sistitis akut dan fimosis.
b. Apa diagnosis banding pada kasus ini?
ISK pada anak memiliki diagnosis banding:
Demam pada neonatus dan anak usia muda
Nefrolitiasis
Apendisitis pediatrik
Gastroenteritis pediatrik
Infeksi cacing kremi (pinworms)
Obstruksi saluran kemih
Vaginitis
Vulvovaginitis
c. Bagaimana algoritma penegakan terkait kasus?
Gambar 1. Guidelines UTI (British Infection Association, 2015)

d. Bagaimana epidemiologi pada kasus ini?


ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK tergantung pada umur
dan jenis kelamin. Prevalensi ISK pada neonatus berkisar antara 0,1% hingga 1%, dan
meningkat menjadi 14% pada neonatus dengan demam, dan 5,3% pada bayi. Pada bayi
asimtomatik, bakteriuria didapatkan pada 0,3 hingga 0,4%.13 Risiko ISK pada anak sebelum
pubertas 3-5% pada anak perempuan dan 1-2% pada anak laki. Pada anak dengan demam
berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%.

Data studi kolaboratif pada 7 rumah sakit institusi pendidikan dokter spesialis anak di
Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1989) memperlihatkan insidens kasus baru ISK
pada anak berkisar antara 0,1%-1,9% dari seluruh kasus pediatri yang dirawat. Di RSCM
Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995) didapatkan 212 kasus ISK, rata-rata 70 kasus baru
setiap tahunnya.
e. Bagaimana etiologi dan faktor risiko pada kasus ini?
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK serangan
pertama. Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga menunjukkan hasil yang
sama. Kuman lain penyebab ISK. yang sering adalah Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia,
Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan
Morganella morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus.

Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti Pseudomonas,
golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis. Haemofilus influenzae
dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab ISK pada anak. Kuman ini tidak dapat tumbuh
pada media biakan standar sehingga sering tidak diperhitungkan sebagai penyebab ISK.6 Bila
penyebabnya Proteus, perlu dicurigai kemungkinan batu struvit (magnesium- ammonium-
fosfat) karena kuman Proteus menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi
amonium, sehingga pH urin meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa
elektrolit seperti kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.

Faktor risiko
- Wanita memiliki risiko besar mengalami infeksi ginjal dari pada laki-laki. Ini dikarenakan
wanita memiliki uretra lebih pendek daripada laki-laki sehingga bakteri mudah mencapai ginjal.
- Personal hygiene yang kurang
- System imun yang lemah
- Kurang minum
- Sering menahan BAK
- Kerusakan syaraf disekitar kandung kemih.
- Penggunaan kateter dalam jangka waktu lama

f. Bagaimana patofisiologi pada kasus ini?


Infeksi saluran kemih dapat ditimbulkan melalui dua jalur infeksi, yaitu infeksi hematogen
dan infeksi asending. Infeksi hematogen biasanya terjadi pada pasien dengan daya tubuh
yang rendah, karena menderita penyakit kronik atau pada pasien yang mendapatkan
imunosupresif. Penyebaran hematogen juga bisa timbul akibat adanya fokus infeksi di salah
satu tempat. Misalnya infeksi Staphylococcus aureus pada ginjal bisa terjadi akibat
penyebaran hematogen dari infeksi tulang, kulit, endotel, atau di tempat lain. Salmonella,
Pseudomonas, dan Proteus merupakan bakteri yang menginfeksi secara hematogen (Adib,M.
2011).

Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh infeksi asending berupa kolonisasi
uretra dan daerah introitus vagina yang disebabkan oleh Escherichia coli (Adib,M. 2011).
Mikroorganisme juga dapat menginvasi ke kandung kemih. Bakteri yang menyerang saluran
kemih disebut dengan bakteri uropatogen dan dapat berkolonisasi dan atau pada uroepitel
untuk melakukan pengerusakan terhadap epitel saluran kemih (Semaradana,W.G.P. 2014).

g. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus ini?


Pada kasus ini manifestasi klinis yang sudah terlihat adalah demam, disuria, anak juga
kemungkinan mengalami kesakitan pada palpasi ginjal.
h. Bagaimana tatalaksana pada kasus ini?
Berdasarkan rekomendasi NICE pada bayi > 3 bulan dengan sistitis di berikan antibiotik oral
selama 3 hari berdasarkan pola resistensi setempat. Karena anak masih sensitive terhadap
cotrimoxazole dan gentamycin. Anak dapat diberikan

i. Bagaimana pencegahan dan edukasi pada kasus ini?


- Jaga kebersihan
- Kegiatan membasuh alat kelamin si kecil, yaitu dengan gerakan satu arah. Artinya
bilsa sudah kena anus, tidal boleh kembali arah uretra. Dan gunaka kapas berbeda
untuk masing-masing bagian – depan dan belakang.
- Pakai air bersih, dan kapas untuk membasuh alat kelamin dan airnya harus bersih.
- Tidak usah diberikan bedak.
- Setiap BAB harus diganti, jangan biarkan feses terlalu lama di celana atau pospak.
- Jangan mandi berendam.

j. Apa saja komplikasi pada kasus ini?

Komplikasi infeksi saluran kemih tergantung dari tipe yaitu infeksi saluran kemih tipe
sederhana (uncomplicated) dan tipe berkomplikasi (complicated).
1. Infeksi saluran kemih sederhana (uncomplicated)
Infeksi saluran kemih akut tipe sederhana (sistisis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan
hamil merupakan penyakit ringan (self limited disiase) dan tidak menyebabkan akibat lanjut
jangka lama.
2. Infeksi saluran kemih berkomplikasi (complicated)
- Infeksi saluran kemih selama kehamilan
- Infeksi saluran kemih pada diabetes melitus.

k. Bagaimana prognosis pada kasus ini?


Prognosis pada kasus ini baik, dengan pengobatan antibiotik yang tepat maka penderita dapat
sembuh sempurna.
l. Apa KDU (kompetensi dokter umum) pada kasus ini?
Menurut SKDI 2012, Infeksi Saluran Kemih termasuk dalam Tingkat Kemampuan 4:
mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.
m. Apa gold standart pemeriksaan pada kasus?
Urinalysis untuk menilai jumlah leukost dan nitrit pada urin serta USG untuk mengevaluasi
infeksi, dan fungsi ginjal.
Pemeriksaan Tambahan:
Kultur urin:
E.coli: > 100.000/ul
sensitif dengan cotrimoxazole (+) dan gentamycin (+)
USG: dinding mukosa buli-buli tampak menebal dan tampak debris dalam buli -buli
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan diatas?
Terjadi infeksi saluran kemih karena E.coli serta pasien dapat diberikan antibiotic berupa
cotrimoxazole dan gentamycin karena masih sensitif. Pemeriksaan USG juga menunjukkan
adanya inflamasi pada dinding mukosa buli-buli

b. Bagaimana prosedur pemeriksaan diatas?


Kultur urin
- Cara pengambilan spesimen urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat, mudah dilakukan untuk
semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan peralatan sederhana. Sayangnya tidak ada
teknik yang memenuhi persyaratan ini. Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat
dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan
menggunakan urine collector.
Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan aspirasi suprapubik,
dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk biakan urin. Kateterisasi urin
merupakan metode yang dapat dipercaya terutama pada anak perempuan, tetapi cara ini
traumatis. Teknik pengambilan urin pancar tengah merupakan metode non-invasif yang bernilai
tinggi, dan urin bebas terhadap kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat
diambil dengan memakai kantong penampung urin (urine bag atau urine collector).
Pengambilan sampel urin dengan metode urine collector, merupakan metode yang mudah
dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu hingga 80%.

Child Health Network (CHN) guideline (2002) hanya merekomendasikan 3 teknik pengambilan
sampel urin, yaitu pancar tengah, kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan
pengambilan dengan urine bag tidak digunakan.

Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat perhatian karena bila
sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari 1⁄2 jam, maka kuman dapat membiak
dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur
dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di
dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemar es pada suhu 40C selama 48-72 jam sebelum
dibiak.

- Interpretasi biakan urin


Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media McConkey. Beberapa bakteri yang
tidak lazim menyebabkan ISK, tidak dapat tumbuh pada media yang sering digunakan dan
memerlukan media kultur khusus. Interpretasi hasil biakan urin bergantung pada teknik
pengambilan sampel urin, waktu, dan keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan sampel urin
dengan cara aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa
bakteriuriabermaknaadalahjikaditemukankumandenganjumlah berapa pun. Namun untuk teknik
pengambilan sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat kriteria yang
berbeda-beda.

Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah kuman ≥
105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, Dengan kateter urin, Garin dkk., (2007)
menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna dan pendapat lain
menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL dan ada yang menggunakan
kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. (2010) menggunakan
batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan
midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105
cfu/mL, dan Baerton dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil
dengan urine bag.

Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak faktor
yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis jelas ditemukan
ISK.

Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara biakan
urin yang dapat dilakukan setiap saat dan dimana saja, tetapi cara ini hanya dapat menunjukkan
ada tidaknya kuman, sedang identifikasi jenis kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan
cara konvensional.

Pencitraan
Pencitraan yang ideal adalah pemeriksaan yang relatif tidak mahal, tanpa rasa sakit, aman dan
memiliki radiasi minimal atau tanpa radiasi, serta memiliki kemampuan dalam mendeteksi
anomali struktural yang signifikan. USG sangat bermanfaat pada anak karena aman, cepat dan
memiliki akurasi tinggi dalam identifikasi anatomi dan ukuran parenkim ginjal dan collecting
system. Teknik ini subyektif dan tergantung pada operator, serta tidak memberikan informasi
mengenai fungsi ginjal. Jaringan parut bisa diidentifikasi, meski tidak sebaik dengan
menggunakan sidik Tc- 99m DMSA.

c. Bagaimana gambaran USG pada kasus?


Gambar 2. Acute bacterial Cystitis (FK Unissula)

Infeksi saluran kemih menjadi dasar terjadinya sistitis yang diikuti peradangan pada mukosa
dan muskulus detrussor kandung kemih. Pemeriksaan USG dapat mengidentifikasi proses
infeksi karena pada pemeriksaan USG dapat jelas terlihat adanya perbedaan echostruktur
mukosa dengan echostruktur muskulus detrussor. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan
pilihan karena mudah dilakukan, relatif murah, tersedia hampir disemua pelayanan kesehatan,
non invasif dan bebas radiasi sehingga aman dilakukan pada anak, wanita hamil maupun
penderita yang mobilitasnya terbatas (Jecquier, S., 1987).
d. Bagaimana patofisiologi E.coli yang bisa sampai ke saluran kemih dan berada di urin?
Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih
adalah faktor anatomi, faktor tekanan urin pada waktu miksi, manipulasi uretra atau pada
hubungan kelamin, perubahan hormonal waktu menstruasi, kebersihan alat kelamin bagian luar,
adanya bahan antibakteri dalam urin,dan pemakaian obat kontrasepsi oral (Tessy & Suwanto,
2001).

Sistitis biasanya terjadi karen adanya kolonisasi mukosa periuretra oleh bakteri dari flora feses
atau vagina dan naiknya patogen tersebut ke kandung kemih. Uropathogens memiliki faktor
virulensi mikroba yang memungkinkan mereka meloloskan diri dari pertahanan host dan
menyerang jaringan host di saluran kemih.

Learning Issue
Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Saluran Kemih pada Anak
Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih
Menurut Duane R. Hickling el al. Sistem saluran kemih manusia adalah sistem organ
berongga yang fungsi utamanya adalah untuk mengumpulkan, mentransportasi,
menyimpan, dan mengeluarkan urin secara berkala dan dengan cara yang sangat
terkoordinasi dan selaras. Dalam melakukan fungsinya, sistem saluran kemih
memastikan fungsinya dalam pembuangan produk metabolisme dan limbah beracun
yang dihasilkan tubuh terjadi di ginjal. Proses aliran urin yang terus menerus di
saluran kemih bagian atas dan eliminasi secara berkala dari saluran kemih bagian
bawah juga memainkan peran yang sangat penting dalam membersihkan saluran
kemih dan mengeliminasi mikroba yang sudah masuk ke sistem saluran kemih. Saat
sedang tidak mengeluarkan urin, saluran kemih bertindak secara efektif sebagai
sistem yang tertutup dan tidak dapat diakses oleh mikroba. Sistem saluran kemih
sendiri dari proximal ke distal, terdiri dari papila ginjal, pelvis ginjal, ureter, kandung
kemih, dan uretra, setiap komponen saluran kemih memiliki ciri anatomi yang
berbeda dan menjalankan fungsi yang sangat krusial.

Tedapat dua ginjal yang berada didalam dinding posterior abdomen, lebih spesifiknya
berada di luar rongga peritoneum. Setiap ginjal, orang dewasa, besarnya kira-kira
seukuran kepalan tangan dan kira-kira seberat 150 gram. Sisi medial setiap
ginjal berupa lekukan yang disebut dengan hilum dimana arteri renalis, vena renalis,
saraf, pembuluh limfatik dan ureter yang membawa urine akhir dari ginjal untuk
disimpan di kandung kemih. Karena ginjal memiliki struktur dalam yang rapuh, organ
ini dibungkus oleh kapsul fibrosa yang keras untuk melindunginya.
Gambar 3. Anatomi Ginjal (Guyton, A. 2014)

Saat ginjal dibelah dua secara vertikal, terdapat dua daerah utama yang dapat dilihat
yaitu daerah medula di bagian dalam dan korteks di bagian luar. Medula ginjal terbagi
menjadi 8 sampai 10 massa jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal.
Awal atau permukaan dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan
medula serta berakhir di papila, bagian yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal,
yang merupakan sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong.
Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut
kalises atau calyx mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises atau
calyx minor, yang mengumpulkan urine dari tubulus di tiap papila. Pada dinding
calyx, pelvis, dan ureter terdapat bagian kontraktil yang mendorong urine menuju
kandung kemih, tempat urine disimpan sampai dikeluarkan melalui miksi.

Unit fungsional ginjal disebut dengan nefron, dan tiap ginjal manusia terdiri atas
800.000-1.000.000 nefrom yang masing-masing memiliki kemampuan untuk
membentuk urin. Karena ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, Ketika terjadi
trauma ginjal, penyakit ginjal atau proses penuaan, jumlah nefrom juga akan
berkurang secara bertahap. Setiap nefron terdiri atas kumpulan kapiler yang disebut

glomerulus, yang akan memfiltrasi sejumlah besar cairan dari darah, dan tubulus
panjang tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju
pelvis ginjal. Glomerulus sendiri tersusun dari kapiler glomerulus yang nantinya
bercabang dan beranastomosis, yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira
60 mm Hg). Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel, dan keseluruhan
glomerulus dibungkus oleh kapsula Bowman.
Kandung kemih adalah suatu ruang otot polos yang terdiri atas dua bagian utama
yaitu bagian korpus, yang merupakan bagian utama kandung kemih, dan tempat
dikumpulkannya urin. dan bagian leher yang berbentuk corong, merupakan
perpanjangan bagian korpus kandung kemih, berjalan ke bawah dan ke depan menuju
segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian bawah leher kandung
kemih disebut juga uretra posterior karena bagian ini berhubungan dengan uretra.

Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala
arah, dan ketika berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan di dalam kandung kemih
hingga 40-60 mmHg. Kontraksi dari otot detrusor ini merupakan tahap utama
pada proses pengosongan kandung kemih.

di dinding posterior kandung kemih, spesifiknya di atas leher kandung kemih,


terdapat daerah yang disebut trigonum berbentuk segitiga kecil. Pada bagian terendah
apeks trigonum, leher kandung kemih membuka ke arah uretra posterior, dan kedua
ureter memasuki kandung kemih di bagian atas apeks trigonum. Trigonum dapat
dikenali karena mukosanya, lapisan dalam kandung kemih licin, berbeda dengan
mukosa di bagian lain kandung kemih yang berlipat-lipat membentuk rugae. Setiap
ureter, saat memasuki kandung kemih, berjalan miring melintasi otot detrusor dan
kemudian berjalan lagi 1 sampai 2 cm di bawah mukosa kandung kemih sebelum
mengosongkan urine ke kandung kemih.

Panjang leher kandung kemih (uretra posterior) sendiri 2-3 cm, dan dindingnya terdiri
dari otot detrusor yang dijalin dengan sejumlah besar jaringan elastis. Otot pada lokasi
ini disebut sfingter interna. Normalnya, tonus menyebabkan leher kandung kemih dan
uretra posterior tidak mengandung urine dan, dengan demikian, mencegah
pengosongan kandung kemih hingga tekanan pada bagian utama kandung kemih
meningkat melampaui nilai ambang. Setelah melewati uretra posterior, uretra berjalan
melalui diafragma urogenital, yang memiliki lapisan otot yang disebut sfingter
eksterna kandung kemih. Otot ini sendiri merupakan otot rangka volunter, berbeda
dengan otot pada bagian korpus dan leher kandung kemih, yang seluruhnya
merupakan otot polos. Otot sfingter eksterna berada di bawah kendali volunter sistem
saraf berfungsi untuk mencegah miksi secara sadar bahkan ketika sistem saraf
involunter berusaha untuk mengosongkan kandung kemih.
Gambar 4. Anatomi Bladder (Guyton, A. 2014)

Histologi Sistem Saluran Kemih


Sistem urinarius terdiri dari sepasang ginjal, sepasang ureter, vesika urinaria dan
uretra. Sistem ini membantu mempertahankan homeostasis melalui berbagai proses
yang bersifat komples meliputi filtrasi (penyaringan) sisa buangan sel dari darah,
reabsorpsi (penyerapan kembali) selektif air dan metabolitnya, dan ekskresi
(pengeluaran) sisa buangan dan keluar dalam bentuk urin.

Permukaan ginjal ditutupi oleh kapsul dari jaringan ikat atau penyambung, terdiri dari
dua lapisan yaitu lapisan luar (fibroblast dan serat kolagen) dan lapisan dalam
(myofibroblast).Kontraktilitas myofibroblast berperan dalam volume sisa dan variasi
tekanan ginjal sehingga mempengaruhi fungsi ginjal. Fungsi spesifik kapsul ini tidak
jelas. Kapsul masuk ke hilum dan membentuk jaringan penyambung yang menutupi
sinus yang akan berlanjut membentuk dinding kaliks dan pelvis ginjal.

Korteks ginjal,berwarna merah gelap dan bergranula, menutupi seluruh medula dan
meluas kedalam medula membentuk "kolumna renalis Bertini" yang berjalan diantara
pyramid ginjal. Korteks mengandung tubulus kontortus proksimal dan distal,
glomeruli dan medullary ray atau radius medullaris. Disini terdapat arteri
interlobularis dan vena interlobularis.

Medulla ginjal, memiliki tebal 2 kali korteks, terdiridari bagian seperti kerucut yang
lebih pucat dari korteks disebut "piramid ginjal" yang dipisahkan oleh kolumna
renalis Bertini. Dasar piramid ginjal berbatasan dengan korteks, bagian apikalnya
berupa "papila renalis" menonjol menuju kaliks minor yang berbentuk seperti
cerobong, tiap kaliks minor menerima 1-4 papila renalis. Piramid ginjal terdapat
dalam lobus yang membagi ginjal, terdapat sekitar 5-11 lobus. Terdapat garis radier
yang berjalan dari dasar piramid ke papila, urine keluar dari ginjal melalui papila
renalis yang mempunyai lubang-lubang kecil sekitar 250 lubang yang merupakan
lubang dari duktus koligentes, daerah berlubang pada papila renalis ini disebut "area
kribrosa".

Unit fungsional ginjal disebut nefron yang jumlahnya lebih dari satu juta pada tiap
ginjal, tubulus uriniferus menyusun parenkim ginjal dan tersusun padat, hanya
dipisahkan oleh jaringan ikat interstitial (mengandung serat kolagen) yang berisi
pembuluh darah, pembuluh limfe dan serat saraf.Tiap tubulus uriniferus terdiri dari
nefron dan duktus koligentes. Nefron terdiri dari korpuskel renalis, tubulus
proksimalis dan distalis serta ansa henle. Korpuskel ginjal merupakan bagian pertama
dari nefron, yang menyebabkan korteks renalis tampak granular pada ginjal.
Korpuskel renalis memiliki dua kutub, yaitu kutub urinarius atau tubular yang
berhubungan langsung dengan tubulus proksimalis, dan kutub vaskuler, sebagai
tempat masuknya arteriol afferent dan keluarnya arteriol efferent.. Selain itu,
korpuskel renalis memiliki dua bagian, yaitu lapisan luar disebut kapsula Bowman
yang disebut lapisan parietalis, sedangkan bagian dalamnya adalah glomerulus, yaitu
kumparan yang terdiri dari kapiler-kapiler yang berasal dari arteriol afferent dan
keluar menjadi arteriol efferent. Glomerulus terdiri dari sel yang disebut podosit yang
mengandung inti dan sitoplasma di sekeliling inti terdapat retikulum endoplasma
kasar dan apparatus golgi yang berkembang dengan baik. Pada sitoplasma terdapat
juluran sitoplasma pertama sehingga disebut juluran sitoplasma primer. Juluran
primer ini memiliki juluran kedua yang disebut juluran sitoplasma sekunder yang
disebut sebagai pedikel yang berhubungan erat dengan pori-pori kapiler darah yang
disebut celah filtrasi.

Dalam melakukan fungsinya sebagai homeostasis, glomerulus berfungsi sebagai


barrier filtrasi, yang dilakukan oleh tiga komponen yaitu sel endotel kapiler glomeruli,
lamina basalis glomeruli dan sel podosit. Barrier ini berfungsi menahan elemen-
elemen darah dan molekul- molekul yang lebih besar, sedangkan molekul-molekul
kecil dan air dapat lewat. Sel endotel kapiler glomeruli memiliki banyak aquaporin-1
(AQP-1) water channel yang melewatkan air secara cepat melalui epitel. Molekul
yang memiliki berat molekul lebih besar dari 70.000 dalton, seperti albumin atau
hemoglobin difiltrasi oleh lamina basalis glomerulus. Lamina basalis glomerulus ini
merupakan komponen terpenting barrier filtrasi. Celah filtrasi melewatkan ultrafiltrat
dari darah memasuki ruangan Bowman. Pedikel pada sel podosit memiliki filamen
aktin yang berfungsi untuk mengatur ukuran celah filtrasi tersebut.Beberapa gram
protein dapat melewati sawar filtrasi ini, namun protein ini kemudian direabsorpsi
pada tubulus kontortus proksimal secara endositosis.

Tubulus proksimalis terdiri dari 2 segmen yaitu segmen yang jalan berkelok-kelok
kontorta) dan segmen yang jalan lurus merupakan bagian akhir tubulus proksimalis
dan juga akan melanjutan diri membentuk segmen awal dari lengkungan Henle.
Semua segmen kontorta terdapat pada korteks ginjal, dalam perjalanannya akan
membentuk beberapa gulungan dekat dengan korpuskel ginjal lalu melanjutan diri ke
bagian lurus. Mikroskopis tubulus proksimalis adalah terdiri dari dua jenis epitel,
epitel selapis kubis rendah dan selapis kubis tinggi, bersifat asidofil, inti bulat di
tengah, setiap tubulus dibentuk oleh 3-5 sel, terdapat brush border, memiliki proses
interdigitasi, sitoplasma mengandung lisosom yang besar, vakuola banyak pada apikal
sel, mitokondria pada basal dan tegak lurus membrane basalis, apparatus golgi ada
sekitar inti.

Mikroskopis Ansa Henle adalah dibentuk oleh epitel selapis kubis dekat korteks dan
selapis gepeng lebih kea rah medulla, inti sel gepeng, memiliki sitoplasma menonjol
ke lumen dengan proses interdigitasi lateral sel, zonula okluden pada apikal sel,
sitoplasma mengandung sedikit organel.

Tubulus distalis terdiri dari 3 bagian yaitu bagian lurus, merupakan lanjutan dari pars
ascending ansa Henle, makula densa, dan bagian kontorta, bagian berkelok-kelok.
Mikroskopik bagian lurus tubulus distalis adalah sel kubis rendah, sitoplasma asidofil,
mitokondria tersusun vertikal, aparatus Golgi apical inti dan retikulum endoplasma
kasar / halus disekitar inti.Makula Densa merupakan lempeng selular memanjang
yang dibentuk oleh sel-sel tubulus distalis pada tempat peralihan dari bagian yang
berjalan lurus ke bagian yang berjalan berkelok-kelok, berdekatan dengan daerah
mesangium disebelah luar glomeruli pada daerah pola vaskuler diantara vas aferen
dan eferen.

Sistitis Akut

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada
anak selain infeksi saluran nafas atas dan diare. ISK perlu mendapat perhatian para
dokter maupun orangtua karena berbagai alasan, antara lain ISK sering sebagai tanda
adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih yang serius seperti refluks vesiko-
ureter (RVU) atau uropati obstruktif, ISK adalah salah satu penyebab utama gagal
ginjal terminal, dan ISK menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan bagi pasien.
Menurut Lambert (2003) diperkirakan 20% kasus konsultasi pediatri terdiri dari kasus
ISK dan pielonefritis kronik.

Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan tergantung pada umur, mulai dengan
asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak terdeteksi baik oleh
tenaga medis maupun oleh orangtua. Kesalahan dalam menegakkan diagnosis
(underdiagnosis atau overdiagnosis) akan sangat merugikan. Underdiagnosis dapat
berakibat penyakit berlanjut ke arah kerusakan ginjal karena tidak diterapi.
Sebaliknya overdiagnosis menyebabkan anak akan menjalani pemeriksaan dan
pengobatan yang tidak perlu. Bila diagnosis ISK sudah ditegakkan, perlu ditentukan
lokasi dan beratnya invasi ke jaringan, karena akan menentukan tata laksana dan
morbiditas penyakit. Diagnosis dan tata laksana ISK yang adekuat bertujuan untuk
mencegah atau mengurangi risiko terjadinya komplikasi jangka panjang seperti parut
ginjal, hipertensi, dan gagal ginjal kronik.

Definisi dan terminologi


Beberapa istilah yang sering digunakan dalam ISK.
1. Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna.
2. Bakteriuria ialah terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria bermakna
bila ditemukannya kuman dalam jumlah bermakna. Pengertian jumlah
bermakna tergantung pada cara pengambilan sampel urin. Bila urin diambil
dengan cara mid stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut
bermakan bila ditemukan kuman 105 cfu (colony forming unit) atau lebih
dalam setiap mililiter urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi
supra pubik, disebutkan bermakna jika ditemukan kuman dalam jumlah berapa
pun.
3. Bakteriuria asimtomatik (asymptomatic bacteriuria, covert bacteriuria) adalah
terdapatnya bakteri dalam saluran kemih tanpa menimbulkan manifestasi
klinis. Umumnya diagnosis bakteriuria asimtomatik ditegakkan pada saat
melakukan biakan urin ketika check-up rutin/uji tapis pada anak sehat atau
tanpa gejala klinis.
4. ISK simtomatik adalah ISK yang disertai gejala dan tanda klinik. ISK
simtomatik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu infeksi yang menyerang
parenkim ginjal, disebut pielonefritis dengan gejala utama demam, dan infeksi
yang terbatas pada saluran kemih bawah (sistitis) dengan gejala utama berupa
gangguan miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency).
5. ISK non spesifik adalah ISK yang gejala klinisnya tidak jelas. Ada sebagian
kecil (10-20%) kasus yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau
sistitis, baik berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang yang
tersedia.
6. ISK simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI) adalah infeksi pada saluran
kemih yang normal tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran
kemih yang menyebabkan stasis urin.
7. ISK kompleks (complicated UTI) adalah ISK yang disertai dengan kelainan
anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun
aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran
kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, kista ginjal, buli- buli neurogenik,
benda asing, dan sebagainya.

8. Pielonefritis akut adalah infeksi yang menyebabkan invasi bakteri ke parenkim


ginjal.
9. Sistitis akut adalah infeksi yang terbatas pada invasi kandung kemih.
10. Pielonefritis kronik. Istilah ini sebaiknya dipakai untuk kepentingan
histopatologik kelainan ginjal dengan ditemukannya proses peradangan kronis
pada interstisium ginjal dan secara radiologik ditemukan gambaran parut
ginjal yang khas pada kalises yang tumpul. Lebih dikenal dengan istilah
nefropati refluks, meskipun tidak selalu ditemukan refluks pada saat parut
ginjal terdeteksi.
11. ISK kambuh (relaps) yaitu bakteriuria yang timbul kembali setelah
pengobatan dengan jenis kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin
pertama kalinya. Kekambuhan dapat timbul antara satu sampai 6 minggu
setelah pengobatan awal.
12. Reinfeksi yaitu bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan
jenis kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama.
13. Infeksi persisten yaitu ISK yang timbul dalam periode pengobatan maupun
setelah selesai terapi.
14. Febrile UTI atau ISK febris atau ISK demam adalah ISK dengan biakan urin
dengan jumlah kuman bermakna yang disertai demam dengan suhu > 38 oC
ISK demam sering ditemukan pada bayi atau anak kecil, dan sekitar 60-65%
ISK demam merupakan pielonefirits akut.
15. ISK atipik adalah ISK dengan keadaan pasien yang serius,diuresis sedikit,
terdapat massa abdomen atau kandung kemih, peningkatan kreatinin darah,
septikemia, tidak memberikan respon terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta
disebabkan oleh kuman non E. coli.
16. ISK berulang berarti terdapat dua kali atau lebih episode pielonefritis akut atau
ISK atas, atau satu episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu atau
lebih episode sistitis atau ISK bawah, atau tiga atau lebih episode sistitis atau
ISK bawah.

Etiologi
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK
serangan pertama. Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga
menunjukkan hasil yang sama. Kuman lain penyebab ISK. yang sering adalah
Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris,
Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii,
Stafilokokus, dan Enterokokus.
Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti
Pseudomonas, golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis.
Haemofilus influenzae dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab ISK pada
anak. Kuman ini tidak dapat tumbuh pada media biakan standar sehingga sering tidak
diperhitungkan sebagai penyebab ISK.6 Bila penyebabnya Proteus, perlu dicurigai
kemungkinan batu struvit (magnesium- ammonium-fosfat) karena kuman Proteus
menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi amonium, sehingga pH
urin meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa elektrolit seperti
kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.

Diagnosis
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. ISK serangan pertama umumnya
menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya.
Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin
dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam merupakan gejala dan
tanda klinik yang sering dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada
anak.

Pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan darah, pengukuran antropometrik,


pemeriksaan massa dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra, pemeriksaan
neurologik ekstremitas bawah, tulang belakang untuk melihat ada tidaknya spina
bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK. Genitalia eksterna diperiksa untuk melihat
kelainan fimosis, hipospadia, epispadia pada laki-laki atau sinekie vagina pada
perempuan.

Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh sebab
itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis.

American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa pada bayi


umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK dan perlu
dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam yang
tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan
biakan urin, dan anak ditata laksana sebagai pielonefritis.
Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP membuat patokan
sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu:
1. suhu tubuh 39oC atau lebih,
2. demam berlangsung dua hari atau lebih,
3. ras kulit putih,
4. umur di bawah satu tahun,
5. tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya.
Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk
kemungkinan ISK mencapai 95% dengan spesifisitas 31%.

Manifestasi klinis
Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi
peradangan, letak infeksi(ISK atas dan ISK bawah),dan umur pasien.Sebagian ISK
pada anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada anak umur
sekolah, terutama anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening
programs). ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan
prognosis jangka panjang baik.

Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus
atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidakmau minum, oliguria, iritabel,
atau distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu tinggi dan sering tidak
terdeteksi. Kadang-kadang gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-
abuan (grayish colour).

Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat
badan, gagal tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus,
dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi
dapat disertai kejang.

Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak
besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala
klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol,
sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.

Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran
cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat
ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang.
Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis, yang merupakan
nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia lobar.

Pada sistitis, demam jarang melebihi 38 O C, biasanya ditandai dengan nyeri pada
perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu
berkemih, rasa diskomfort suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin, dan
enuresis.

Klasifikasi ISK pada Anak


Klasifikasi ISK bisa dibagi menjadi ISK pertama atau berulang/ rekuren, atau
disesuaikan dengan derajat keparahan (ringan atau berat). Infeksi saluran kemih
berulang bisa diklasifikasikan lagi menjadi tiga kelompok:
• Infeksi yang belum tuntas: akibat pemberian dosis antimikroba subterapeutik,
ketidakpatuhan dengan perawatan, malabsorpsi, atau patogen resisten
• Infeksi yang menetap: bisa jadi disebabkan oleh sumber infeksi persisten dalam
saluran kemih. Pembedahan atau perawatan medis untuk kelainan saluran kemih
mungkin akan diperlukan.
• Infeksi ulang: tiap episode adalah infeksi baru yang diperoleh dari periuretra,
perineum, atau rektum.

Dari sudut pandang klinis, ISK ringan atau parah harus dibedakan karena hingga
tingkatan tertentu derajat keparahan menunjukkan tingkatan kedaruratan dengan
menentukan investigasi dan pengobatan yang harus dilakukan (Tabel 1)
Tabel 2. Klasifikasi klinis ISK anak

Diagnostik Evaluasi
I. Pemeriksaan fisik
Harus diperiksa ada atau tidak fimosis, sinekia/ adhesi labia, tanda-tanda
pielonefritis, epididimo-orkitis dan tanda khas dari spina bifida, seperti anal dimple,
tonjolan lunak, dan hairy patch di kulit sakrum. Tidak adanya demam tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya proses infeksi.

g. Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan
darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak
dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada
anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya
leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa
leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada
infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan Ureaplasma urealitikum.

Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase, enzim yang
terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam
urin.

Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam
keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat
diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa
kuman Gram positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit
positif berarti terdapat kuman dalam urin. Urin dengan berat jenis yang tinggi
menurunkan sensitivitas uji nitrit.

Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai
sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas
yang rendah dalam diagnosis ISK.

Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan
kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-
carrier-protein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan komponen
imunitas innate yang memberikan respon terhadap infeksi bakteri. Peningkatan
uNGAL dan rasio uNGAL/Cr >30ng/mg merupakan tanda ISK.

Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan mikrokop
fase kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman
pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 107
cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB
pemeriksaan mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika
dengan mikroskop fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.Anti coated
bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-labeled
anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda,
namun tidak mampu laksana pada anak.

b. Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan
tersebut tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan
laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator
non-spesifk ISK atas. Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai
prediktor yang valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile
urinary tract infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan protein kecil yang penting
dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori (TNF-α; IL-6; IL-
1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.
c. Kultur urin
h. Cara pengambilan spesimen urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat, mudah
dilakukan untuk semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan peralatan
sederhana. Sayangnya tidak ada teknik yang memenuhi persyaratan ini. Pengambilan
sampel urin untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik,
kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine collector.

Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan aspirasi


suprapubik, dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk biakan urin.
Kateterisasi urin merupakan metode yang dapat dipercaya terutama pada anak
perempuan, tetapi cara ini traumatis. Teknik pengambilan urin pancar tengah
merupakan metode non-invasif yang bernilai tinggi, dan urin bebas terhadap
kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat diambil dengan memakai
kantong penampung urin (urine bag atau urine collector). Pengambilan sampel urin
dengan metode urine collector, merupakan metode yang mudah dilakukan, namun
risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu hingga 80%.

Child Health Network (CHN) guideline (2002) hanya merekomendasikan 3 teknik


pengambilan sampel urin, yaitu pancar tengah, kateterisasi urin, dan aspirasi supra
pubik, sedangkan pengambilan dengan urine bag tidak digunakan.

Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat perhatian


karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari 1⁄2 jam, maka
kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif palsu.
Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus
dikirim dalam termos es atau disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam
lemar es pada suhu 40C selama 48-72 jam sebelum dibiak.

ii. Interpretasi biakan urin


Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media McConkey. Beberapa
bakteri yang tidak lazim menyebabkan ISK, tidak dapat tumbuh pada media yang
sering digunakan dan memerlukan media kultur khusus. Interpretasi hasil biakan urin
bergantung pada teknik pengambilan sampel urin, waktu, dan keadaan klinik. Untuk
teknik pengambilan sampel urin dengan cara aspirasi supra pubik, semua literatur
sepakat bahwa bakteriuriabermaknaadalahjikaditemukankumandenganjumlah berapa
pun. Namun untuk teknik pengambilan sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin
pancar tengah, terdapat kriteria yang berbeda-beda.

Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah
kuman ≥ 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, Dengan kateter urin,
Garin dkk., (2007) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna
dan pendapat lain menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL dan
ada yang menggunakan kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL.
Paschke dkk. (2010) menggunakan batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103
cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan midstream/clean catch, sedangkan
pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL, dan Baerton
dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil dengan
urine bag.

Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak
faktor yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis
jelas ditemukan ISK.

Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara
biakan urin yang dapat dilakukan setiap saat dan dimana saja, tetapi cara ini hanya
dapat menunjukkan ada tidaknya kuman, sedang identifikasi jenis kuman dan uji
sensitivitas memerlukan biakan cara konvensional.

a. Penanda biokimia
Penanda yang paling sering digunakan adalah nitrit dan leukosit esterase yang
dikombinasikan dalam uji dipstik. Uji dipstik bermanfaat untuk mengeksklusi ISK
dengan cepat dan terpercaya bila uji nitrit dan leukosit esterase adalah negatif. Jika
hasil tes positif, maka perlu mengkonfirmasikan hasil dalam kombinasi dengan gejala
klinis dan uji lainnya.
n. Pencitraan
Pencitraan yang ideal adalah pemeriksaan yang relatif tidak mahal, tanpa rasa sakit,
aman dan memiliki radiasi minimal atau tanpa radiasi, serta memiliki kemampuan
dalam mendeteksi anomali struktural yang signifikan. Beberapa pemeriksaan
pencitraan yang diperlukan sebagai pemeriksaan penunjang adalah sebagai berikut:

a. Ultrasonografi
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada anak karena aman, cepat dan memiliki akurasi
tinggi dalam identifikasi anatomi dan ukuran parenkim ginjal dan collecting system.
Teknik ini subyektif dan tergantung pada operator, serta tidak memberikan informasi
mengenai fungsi ginjal. Jaringan parut bisa diidentifikasi, meski tidak sebaik dengan
menggunakan sidik Tc- 99m DMSA.

b. Radionuklida
Tc-99m DMSA membantu menentukan massa ginjal fungsional dan memastikan
jaringan parut kortikal dengan menunjukkan area-area hipoaktivitas, yang
mengindikasikan kurangnya fungsi. Adanya ISK akan memberikan gambaran defek
pada area parenkim ginjal. Defek yang berbentuk seperti bintang dalam parenkim
ginjal bisa mengindikasikan pielonefritis akut. Defek fokal dalam korteks ginjal
biasanya mengindikasikan lesi kronis atau sebuah jaringan parut ginjal. Ransley dan
Risdon telah melaporkan bahwa Tc-99m DMSA menunjukkan sebuah spesifisitas
100% dan sensitivitas 80% untuk jaringan parut ginjal.

Penggunaan Tc-99m DMSA scanning bisa sangat bermanfaat dalam diagnosis awal
pielonefritis akut. Sekitar 50-85% anak menunjukkan hasil positif dalam minggu
pertama. Sidik Tc-99m DMSA lebih sensitif daripada pemeriksaan pielografi
intravena/ intravenous pyelography (IVP) dan USG dalam pendeteksian jaringan
parut ginjal.

c. Voiding Cystourethrography (VCUG)


Voiding cystourethrography (VCUG) wajib dilakukan untuk evaluasi ISK pada anak
usia kurang dari 1 tahun. Kekurangan utamanya adalah risiko infeksi, peru
pemasangan kateter/ feeding tube untuk pengisian kandung kemih dengan kontras dan
pengaruh buruk yang disebabkan oleh radiasi terhadap anak. Dalam beberapa tahun
belakangan, VCUG fluoroskopik berdosis rendah yang disesuaikan telah digunakan
untuk evaluasi VUR pada anak perempuan dalam rangka meminimalkan pemaparan
radiasi.

d. Pencitraan tambahan
Manfaat IVP pada diagnostik ISK masih diperdebatkan. Kerugian utama pada bayi
adalah risiko efek samping dari pemaparan terhadap kontras dan radiasi. Pemeriksaan
CT urografi dan MRI semakin banyak dilakukan, namun indikasi untuk digunakan
dalam diagnosis ISK masih terbatas.
Tatalaksana

Algoritme Penatalaksanaan ISK untuk Dokter Layanan Primer Alur investigasi

Penapisan terhadap bayi untuk bakteriuria asimptomatik cenderung kurang efektif.


Hanya sebagian kecil anak dengan ISK yang memiliki dasar gangguan urologi,
Namun, pada pasien anak yang mempunyai kelainan urologi, ISK dapat menyebabkan
morbiditas yang tinggi. Sehingga, setelah maksimal dua episode ISK pada anak
perempuan dan satu episode pada anak lelaki, investigasi perlu dilakukan, kecuali
kasus bakteriuria asimptomatik. Perlunya scanning DTPA/MAG-3 ditentukan oleh
hasil temuan USG, khususnya jika terdapat kecurigaan adanya lesi obstruktif.

Gambar 5. Algoritme Investigasi ISK pada Anak

Penatalaksanaan pada ISK memiliki empat tujuan utama:


- Menghilangkan gejala dan bakteriuria dalam episode akut
- Pencegahan pembentukan jaringan parut ginjal
- Pencegahan ISK berulang
- Koreksi terhadap kelainan urologi
ISK Ringan
ISK ringan dianggap sebagai infeksi berisiko rendah pada anak. Pengobatan oral yang
direkomendasikan adalah dengan TMP, sefalosporin oral atau amoksisilin/ asam
klavulanat, dengan tetap menyesuaikan dengan pola resistensi kuman. Durasi
perawatan dalam ISK tanpa komplikasi dirawat secara oral harus mencapai 5-7 hari.
obat yang rendah dan saluran kemih tidak ditemukan kelainan. Jika responnya buruk
atau timbul komplikasi, anak harus dirawat inap untuk perawatan parenteral.
ISK Berat
ISK berat akan membutuhkan rehidrasi parenteral dan terapi antimikroba yang tepat,
biasanya dengan cefalosporin (generasi ketiga). Pada ISK gram positif,
aminoglikosida memberikan hasil yang baik bila dikombinasi dengan ampisilin atau
amoksisilin/asam klavulanat. Pengobatan antimikroba harus dimulai dari antibiotik
lini yang lebih rendah, namun harus disesuaikan dengan hasil kultur sesegera
mungkin. Pada pasien yang alergi terhadap sefalosporin, aztreonam atau gentamisin
dapat digunakan. Ketika aminoglikosida diperlukan, level serum harus dimonitor
untuk penyesuaian dosis.

Untuk periode awal 24-36 jam, terapi parenteral antimikroba dengan spektrum luas
dapat digunakan pada anak yang lebih tua, kecuali tetrasiklin (karena mempengaruhi
warna gigi). Fluorinated quinolone dapat menghasilkan toksisitas kartilago, tetapi jika
diperlukan bisa digunakan sebagai terapi lini kedua dalam penanganan infeksi berat.
Ketika anak menjadi afebris dan bisa minum, terapi dapat diberikan secara oral untuk
melengkapi 10-14 hari perawatan, yang bisa dilanjutkan dalam rawat jalan. Cara ini
mempunyai dampak yang positif, seperti efek psikologis yang lebih kecil dan
memberikan kenyamanan buat pasien, tidak membutuhkan biaya yang terlalu mahal,
dapat ditoleransi dan pada akhirnya bisa mencegah infeksi oportunistik. Antimikroba
oral yang banyak digunakan antara lain: trimetoprim (TMP), kotrimoksazol (TMP &
sulfametoksazol), sefalosporin oral, atau amoksisilin/asam klavulanat. Namun,
indikasi pemberian TMP semakin menurun karena resistensi antibiotik yang semakin
meningkat.

Pada anak usia kurang dari 3 tahun dan yang memiliki kesulitan dalam mengkonsumsi
obat oral, perawatan parenteral selama 7-10 hari lebih disarankan. Jika terdapat
kelainan traktus urogenital (misalnya VUR atau obstruksi), intervensi urologi yang
tepat harus diperhitungkan. Jika terdeteksi jaringan parut ginjal, pasien akan
membutuhkan follow-up yang seksama oleh dokter anak dalam antisipasi gejala
lanjutan seperti misalnya hipertensi, kerusakan fungsi ginjal dan ISK berulang.
Fimosis
Menurut Rukiyah (2010), Fimosis (Phimosis) merupakan salah satu gangguan yang
timbul pada organ kelamin bayi laki-laki, yang dimaksud dengan fimosis adalah
keadaan dimana kulit kepala penis (preputium) melekat pada bagian kepala (glans)
dan mengakibatkan tersumbatnya lubang di bagian air seni, sehingga bayi dan anak
kesulitan dan kesakitan saat kencing, kondisi ini memicu timbulnya infeksi kepala
penis (balantis). Jika keadaan ini dibiarkan dimana muara saluran kencing di ujung
penis tersumbat maka dokter menganjurkan untuk disunat. Tindakan ini dilakukan
dengan membuka dan memotong kulit penis agar ujungnya terbuka.

Menurut Muslihatun (2010), Fimosis adalah keadaan kulit penis (preputium) melekat
pada bagian kepala penis dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran air kemih,
sehingga bayi dan anak jadi kesulitan dan kesakitan saat kencing. Sebenarnya yang
berbahaya bukanlah fimosis sendiri, tetapi kemungkinan timbulnya infeksi pada uretra
kiri dan kanan, kemudian ke ginjal. Infeksi ini dapat menimbulkan kerusakan pada
ginjal.

Phimosis merupakan kondisi penis dengan kulit yang melingkupi kepala penis (glans)
tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh bagian kepala penis
(kulup,prepuce, preputium, foreskin). Preputium terdiri dari dua lapis, bagian dalam
dan luar, sehingga dapat ditarik ke depan dan belakang pada batang penis. Pada
fimosis, lapis bagian dalam preputium melekat pada glans penis. Kadangkala
perlekatan cukup luas sehingga hanya bagian lubang untuk berkemih (meatus urethra
externus) yang terbuka.

Perkembangan Penis dan Anatomi


Pembentukan penis dimulai dari minggu ke-7 kehamilan dan selesai pada minggu ke-
17. Integumen penis di bagian depan akan dengan sendirinya melipat dan membentuk
preputium atau foreskin. Yang akan menyelimuti kelenjar penis dan meatus kemih.
Lapisan kulit ini memiliki banyak fungsi; terutama sebagai proteksi, imunologis, dan
sebagai stimulasi seksual. Membrane mukosa bagian dalam dari preputium ini akan
menyatu dengan glans penis. Foreskin ini akan melekat di permukaan bawah glans
penis melalui jaringan yang sangat sensitif yang disebut frenulum atau "little bridle".
perputium kaya akan vaskularisasi dan persarafan. Reseptor sentuhan halus ada
berlimpah di preputium. Sunat konvensional akan menghilangkan sebagian besar area
sensitive yang kaya akan saraf ini. Berbeda dengan preputium, glans penis hanya
memiliki reseptor tekanan dan tidak ada reseptor sentuhan halus. Terdapat kelenjar di
preputium dan glans penis yang memproduksi sekret, membantu pelumasan dan
pertahanan melawan infeksi. Lisozim dalam sekresi ini bekerja melawan
mikroorganisme berbahaya. Cathepsin B, kimotripsin, elastase neutrofil, sitokin, dan
feromon seperti androsteron juga diproduksi. Sel Langerhans hadir dalam preputium
dan tampaknya memberikan resistansi terhadap infeksi HIV. Saat lahir dan beberapa
tahun pertama kehidupan seorang anak, bagian dalam preputium akan melekat pada
glans dan non-retraktil. Preputium akan berpisah dari glans penis seiring berjalannya
usia dan waktu secara bertahap dan lama kelamaan menjadi retraktil.

Etiologi
Fimosis fisiologis adalah keadaan yang normal pada bayi laik-laki yang baru lahir.
Preputium yang melekat pada kepala penis ini akan terpisah seiring berjalannya waktu
dan usia anak. Upaya untuk menarik prepution dengan paksa pada anak dengan
phimosis fisiologis dapat menyebabkan robekan kecil, infeksi, dan perdarahan dengan
jaringan parut sekunder dan terjadinya phimosis patologis. Kebersihan yang buruk
,infeksi kelenjar penis berulang, posthitis atau radang kulup, atau keduanya dapat
menyebabkan kesulitan dalam pengangkatan preputium dan mengakibatkan phimosis
sejati. Diabetes melitus merupakan predisposisi infeksi ini karena kandungan glukosa
urin yang tinggi, dan kondusif untuk proliferasi bakteri. Phimosis patologis mungkin
juga disebabkan oleh balanitisxerosisobliterans (BXO), bentuk genital dari lichen
sclerosus et atrophicus. Kondisi ini mempengaruhi laki-laki baik anak maupun
dewasa. Etiologinya tidak diketahui, namun infeksi, inflamasi, dan hormonal
diimplikasikan dapat menyebabkan philosis. Phimosis dapat menunjukan keadaan
premalignant. Kateterisasi berulang juga dapat menyebabkan phimosis.

Gambaran Klinis
Insiden phimosis patologis terjadi pada 0.4 per 1000 anak laki-laki tiap tahunnya atau
0.6% anak laki-laki mengalaminya sebelum berumur 15 tahun. Kasus patologis sangat
sedikit dibandingkan phimosis fisiologis, yang umum pada anak dengan umur muda
dan akan menghilang seiring bertambahnya umur.
Fimosis fisiologis hanya meliputi foreskin yang non-rektaktil. Terkadang ada
penggembungan saat urinasi, namun, untuk nyeri, dysuria dan infeksi local tidak
terlihat pada phimosis fisiologis. Bahkan jika memang terdapat Infeksi saluran Kemih
(ISK), hal itu tidak disebabkan oleh phimosisnya. Pada phimosis fisiologis , kerutan
preputium dan jaringan di atasnya berwarna merah muda dan sehat. Pada phimosis
patologis, biasanya terdapat nyeri, iritasi kulit, infeksi lokal, perdarahan, disuria,
hematuria, episode infeksi saluran kemih yang sering, nyeri preputial, nyeri saat
ereksi dan hubungan seksual, dan aliran urin yang lemah. Kadang-kadang, enuresis
atau retensi urin juga terjadi. Lubang meatal kecil dan jaringan di depan kulup
berwarna putih dan fibrotik. Fimosis akibat BXO akan lebih parah dengan terlihat
adanya stenosis meatal, lesi glanular, atau keduanya.

Tingkat keparahan phimosis pada anak laki-laki dan dewasa dapat bervariasi. Meuli
dkk. telah menilai tingkat keparahan phimosis menjadi 4 tingkatan sebagai berikut,
yaitu, Meuli et al. mengklasifikasikan fimosis sesuai derajat keparahan :
Grade I: preputium dapat diretraksi penuh dengan cincin stenotik pada shaft
Grade II: retraksi parsial dengan glans tampak sebagian
Grade III: retraksi parsial dan hanya terlihat meatus
Grade IV: tidak dapat diretraksi
Ada klasifikasi lain dari keparahan phimosis yang ditemukan oleh Kikiros et al., Yaitu
sebagai berikut:
Skor 1: retraksi penuh preputium, dengan bagian yang sempit di belakang glans
Skor 2: glans dapat terlihat sebagian
Skor 3: retraksi parsial: meatus dapat terlihat
Skor 4: sedikit retraksi, tetapi meatus atau pun glans tidak dapat terlihat
Skor 5: preputium tidak dapat diretraksi sama sekali.

Diagnosis
Phimosis sendiri utamanya didiagnosis klinis dan tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan dalam penegakan diagnosisnya. Tapi pemeriksaan ini
mungkin diperlukan untuk melakukan diagnosis pada infeksi saluran kemih atau
infeksi kulit disekitar tractus urinarius. Dokter yang merawat juga harus mampu
mengenai perkembangan non-retractability dari phimosis patologis.
Mengklasifikasikan derajat keparahan phimosis juga harus dilakukan. Penentuan
etiologi phimosis, jika memungkinkan, harus dilakukan.

Manajemen
Ketika seorang anak dibawa dengan riwayat preputium tidak dapat diretraksi sama
sekali. penting untuk memastikan apakah itu fisiologis atau patologis.
Penatalaksanaan tergantung pada usia anak, jenis nonretraksi, keparahan phimosis,
penyebab, dan kondisi morbid terkait. Modalitas nonsurgical terbaru seperti steroid
topikal dan adhesiolysis efektif, aman, dan murah untuk phimosis pada anak-anak.
Orang tua harus mengetahui langkah-langkah ini untuk mengobati phimosis. Jika
operasi memang diperlukan, teknik bedah plastik konservatif harus dilakukan
dibandingkan dilakukannya sunat tradisional. Hal ini akan membantu pasien, keluarga
mereka, dan perawatan kesehatan serta masyarakat secara keseluruhan.

Disuria
Menurut Jack W. McAninch (2008) dysuria dalah rasa sakit atau nyeri saat buang air
kecil yang biasanya berkaitan dengan inflamasi akut kandung kemih, uretra atau
prostat. Kadang rasa sakitnya digambarkan sebagai rasa ‘terbakar’ saat buang air kecil
dan biasanya berkolasi di uretra distral pada laki-laki. Pada perempuan, rasa sakit nya
terasa di uretra. Rasa sakit ini hanya muncul saat berkemih dan menghilang segera
setelah buang air kecil. Nyeri yang lebih parah terkadang terjadi di kandung kemih
saat di akhir buang air kecil, yang menunjukkan kemungkinan adanya peradangan
kandung kemih. Nyeri juga dapat mungkin lebih terasa pada awal atau selama buang
air kecil.

Etiologi
Dysuria sendiri adalah gejala pertama yang menunjukkan infeksi saluran kemuh dan
sering dikaitkan dengan keinginan dan frekuensi untuk buang air kecil. Utamanya,
penyebab disuria bisa dibagi menjadi dua kategori, infeksius dan non-infeksius.
Penyebab pada disuria infeksius adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK), urethritis,
infeksi ginjal dan prostat, infeksi vagina, dan PMS. Untuk penyebab disuria non-
infeksius termasuk juga penyakit kulit, benda asing atau batu ginjal pada tractus
urinarius, trauma, BPH dan tumor juga sistitis interstitial, pengobatan0pengobatan
tertentu, Infeksi yang terjadi di sistem kemih merupakan etiologi yang paling sering
terjadi pada dysuria atau rasa sakit setiap buang air kecil. Infeksi pada sistem kemih
ini paling sering disebabkan oleh bakteri.

Patofisiologi
Disuria yang disebabkan oleh inflamasi seperti Infeksi Saluran Kemih dihasilkan oleh
kontraksi otot kemih dan peristalsis ureteral, yang menyebabkan urin bersentuhan
dengan dinding mukosa yang mengalami peradangan. Kontak ini menyebabkan
rangsangan sensorik dan reseptor nyeri yang menyebabkan nyeri bersamaan dengan
rasa terbakar, menyengat, atau gatal. Sensitivitas pada reseptor-reseptor ini dapat
meningkat selama proses inflamasi atau neuropatik. Terkadang inflamasi dari organ-
organ disekitar seperti colon juga dapat menyebabkan disuria.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis Riwayat pasien secara mendetail sangat penting ketika seseorang datang
dengan keluhan disuria. Pemeriksaan klinisi harus dilakukan untuk menentukan
waktu, keparahan, durasi, dan persistensi gejala. Riwayat awal harus mencakup
gambaran kemungkinan penyebab dari daerah lokalis , yang dapat menyebabkan
disuria, seperti iritasi pada vagina atau uretra. Juga, riwayat mengenai faktor risiko
seperti kehamilan, adanya batu, trauma, tumor, melakukan prosedur urologi baru-baru
ini, dan kemungkinan obstruksi urologi perlu dipertimbangkan. Riwayat pasien harus
mencakup informasi mengenai gejala terkait seperti demam, menggigil, nyeri
pinggang, nyeri punggung bawah, mual, muntah, nyeri sendi, hematuria, nokturia,
urgensi, frekuensi, dan inkontinensia. Pada pasien usia lanjut, riwayat perubahan
keadaan mental diperlukan karena gejala paling umum dari infeksi saluran kemih
pada orang dewasa yang lebih tua adalah kebingungan (confusion). Riwayat
mengenai adanya gejala berulang juga diperlukan, dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh harus dilakukan.

Pemeriksa juga harus mencari temuan fisik berupa demam, ruam, nyeri tekan
langsung pada area kandung kemih, dan nyeri sendi. Temuan fisik berupa
peningkatan suhu, peningkatan denyut nadi, tekanan darah rendah dengan adanya
disuria dapat mengindikasikan infeksi sistemik. Obstruksi urologi akibat batu atau
tumor dapat menyebabkan temuan hematuria, penurunan buang air kecil, dan kejang
kandung kemih. Semua temuan fisik ini harus dicari dengan cermat. Riwayat aktivitas
seksual baru-baru ini juga sangat penting pada pasien dewasa. Pada wanita, penting
untuk menanyakan riwayat mengenai keluhan keputihan, riwayat menstruasi, dan
apakah pasien menggunakan kontrasepsi. Laki-laki dapat datang dengan gejala yang
berbeda dari perempuan dan mungkin mengalami nyeri perineum atau gejala
obstruktif bersamaan dengan disuria, yang dapat disebabkan oleh prostatitis.

Diagnosis
Evaluasi adanya disuria dimulai dengan anamnesis rinci dan pemeriksaan fisik
menyeluruh. Tanda dan gejala terkait yang terdiri dari hematuria, nyeri suprapubik,
frekuensi kencing, urgensi, demam, menggigil, mual, muntah, nyeri punggung bawah,
nyeri sendi, ruam, dan lainnya memerlukan tindak lanjut yang tepat. Urinalisis adalah
tes yang paling penting untuk menyusun tindakan selanjutnya pada pasien disuria.
Urinalisis positif untuk nitrit memberikan nilai prediksi yang tinggi dari kultur urin
positif. Selain itu, pemeriksaan urin dapat menunjukkan leukosit dengan nilai prediksi
yang sama dengan keberadaan nitrit. Ketika keduanya ada, nilai prediksi adanya
infeksi menjadi lebih tinggi. Jika pasien hanya memiliki leukosit esterase atau bakteri
saja ada urinalisis, maka disuria mungkin menunjukkan bahwa pasien menderita
uretritis.

Jika pasien memiliki faktor risiko terhadap infeksi saluran kemih yang complicated
tanpa adanya pengobatan awal, pasien juga harus menjalani kultur urin dan uji
sensitivitas. Penting juga untuk memeriksa hitung darah lengkap dan panel metabolik,
termasuk kreatinin serum jika dicurigai adanya infeksi sistemik, terutama jika pasien
mengalami mual, muntah, demam, atau kedinginan. Kultur darah perlu dilakukan jika
ada kecurigaan penyebaran infeksi sistemik. Dalam kasus yang parah, rawat inap juga
dapat dipertimbangankan.

Wanita yang memiliki gejala infeksi vagina, keputihan, dilakukannya pemeriksaan


pada vagina juga diperlukan. Jika dicurigai adanya penyakit menular seksual, maka
pemeriksaan uretra atau vagina harus dilakukan, dan sampel harus diambil untuk
mendiagnosis terjadinya infeksi Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis.
Pada pasien pria yang diduga mengalami prostatitis kronis, pijat prostat lembut dapat
dilakukan untuk mendapatkan kultur urin. Jika pasien mengalami hematuria dan
diduga mengalami kanker kandung kemih, sitologi urin dapat membantu penegakan
diagnosis. Pencitraan seperti ultrasonografi atau CT scan mungkin dilakukan dalam
kasus disuria di mana pasien menunjukkan tanda-tanda mengalami infeksi saluran
kemih yang rumit, obstruksi, abses, batu, atau tumor. Dalam kasus tertentu, sistoskopi
dapat dilakukan untuk mengevaluasi gejala disuria kronis, yang dapat dikaitkan
dengan kanker kandung kemih atau hematuria.

Tatalaksana
Tatalaksana disuria tergantung dari penyebabnya. Penyebab disuria yang paling
umum adalah infeksi saluran kemih. Terapi antibiotik empiris berdasarkan riwayat
dan gejala pasien biasanya merupakan terapi yang paling sering digunakan karena
menghemat biaya. Evaluasi lebih lanjut tidak diperlukan jika disuria dicurigai berasal
dari infeksi saluran kemih tanpa komplikasi. Jika dokter mencurigai infeksi saluran
kemih berjenis complicated, dengan adanya gejala penyerta seperti mual, muntah,
demam, atau menggigil, memulai antibiotic secara bersamaan, pengujian tambahan
seperti kultur darah, panel metabolik, atau hitung darah lengkap merupakan
tatalaksana yang dapat dilakukan. Dalam kasus batu atau adanya obstruksi, pencitraan
dengan ultrasonografi atau CT scan dapat menjadi pangkah penegakan diagnosis.

Bergantung pada faktor risiko, dokter juga harus memperhatikan kemungkinan


adanya resistensi antimikroba, dan antibiotik yang optimal harus diberiksan
berdasarkan kemungkinan jenis patogennya. Pilihan antibiotik harus ditentukan
berdasarkan pola resistensi lokal dan biaya pengobatannya. Ketika disuria terjadi
karena prostatitis kronis pada pria, antibiotik oral perlu dipertimbangkan setelah
mendapatkan hasil kultur urin. Jika penyebab disuria adalah batu ginjal, maka
berbagai pilihan pengobatan dapat dipertimbangkan tergantung pada ukuran dan
lokasi batu ginjal. Batu yang lebih kecil dari 5 mm biasanya keluar dengan sendirinya,
dan pasien harus diminta untuk menghidrasi diri mereka sendiri dan menyaring urin
untuk mendokumentasikan bukti adanya batu yang keluar. Batu yang lebih besar dari
5 mm dapat diobati melalui berbagai modalitas, termasuk extracorporeal shock wave
lithotripsy (ESWL) atau perkutaneus nephrolithotomy (PCNL) atau operasi terbuka.
Baru dipertimbangkan untuk pemberian antibiotic.

Ketika pasien datang dengan disuria dan dicurigai terdapat abses perinefrik, maka
pasien harus dievaluasi terlebih dahulu dengan pemeriksaan pencitraan seperti
ultrasonografi atau CT scan. Setelah dipastikan adanya abses, pasien harus dirawat di
rumah sakit, dan antibiotik intravena harus mulai diberikan, yang dapat diikuti dengan
drainase bedah terbuka atau drainase kateter perkutan atau keduanya. Jika penyebab
disuria adalah hipertrofi prostat jinak, maka pengobatan medis dengan alpha-blocker
atau 5-alpha reductase inhibitor harus dipertimbangkan. Jika pasien tidak mengalami
perbaikan gejala setelah mencoba terapi medis, maka pilihan bedah untuk reseksi
transurethral prostat harus dipertimbangkan.

Farmakologi Obat-obat dan Antibiotik Saluran Kencing

Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien, lokasi
infeksi,gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan
pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda. Keterlambatan pemberian
antibiotik merupakan faktor risiko penting terhadap terjadinya jaringan parut pada
pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin
untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikroba. Penanganan ISK pada anak
yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih
lanjut.

Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK pada anak, dan
masih terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa protokol penanganan
ISK telah dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter berupa uji klinis dan meta-
analisis, meskipun terdapat beberapa perbedaan tetapi protokol penanganan ini saling
melengkapi. Secara garis besar, tata laksana ISK terdiri atas:
1. Eradikasi infeksi akut,
2. Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran
kemih, dan
3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang.

1. Eradikasi infeksi akut


Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah terjadinya
urosepsis dan kerusakan parenkhim ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK, berikan
antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai sambal menunggu hasil biakan
urin, dan terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan antibiotik
harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau lokal, dan bila tidak ada
dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat dalam literatur.

Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Bila dalam
waktu tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak
sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat
diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan.

Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada sistitis menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam outcome anak dengan pemberian antibiotik jangka pendek
dibandingkan dengan jangka panjang. Oleh karena itu, pada sistitis diberikan
antibiotik jangka pendek.

Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik per oral selama 7 hari,
tetapi ada penelitian yang melaporkan pemberian antibiotik per oral dengan waktu
yang lebih singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama dengan pemberian selama 7
hari.
NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut, sebagai berikut:
1. Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokterspesialis
anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
2. Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas:
• Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
• Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang resistensinya
masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti sefalosporin atau
ko-amoksiklav.
• Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan
antibiotikparenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari
dilanjutkan dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10 hari.
3. Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:
• Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman
setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan
trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.
• Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali,
dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan
kepekaan terhadap obat.

Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang tinggi terhadap


ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol,26 sedangkan sensitivitas sebagian besar
kuman patogen dalam urin mendekati 96% terhadap gentamisin dan seftriakson.
Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang
diberikan secara oral maupun parenteral, seperti terlihat pada tabel dibawah.

Tabel 2. Pilihan antimikroba oral pada infeksi saluran kemih

Tabel 3. Pilihan antimikroba parenteral pada infeksi saluran kemih

Pengobatan Sistitis Akut


Anak dengan sistitis diobati dengan antibiotik per oral dan umumnya tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit,namun bila gejala klinik cukup berat misalnya
rasa sakit yang hebat, toksik, muntah dan dehidrasi, anak harus dirawat di rumah sakit
dan diberi pengobatan parenteral hingga gejala klinik membaik. Lama pengobatan
umumnya 5 – 7 hari, meskipun ada yang memberikan 3-5 hari, 6 atau 7 hari.

Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti trimetoprim-


sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilin- klavulanat, sefaleksin, dan
sefiksim. Golongan sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk menghindari
resistensi kuman dan dicadangkan untuk terapi pielonefritis. Menurut Garin dkk.,
(2007), pemberian sefiksim pada sistitis akut terlalu berlebihan. ISK simpleks
umumnya memberikan respon yang baik dengan amoksisilin, sulfonamid,
trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin.

Pengobatan pielonefritis
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi
yang baik ke jaringan karena pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum
ada penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada pielonefritis akut, tetapi
umumnya antibiotik diberikan selama 7-10 hari, meskipun ada yang menuliskan 7-14
hari. atau 10-14 hari.

Pemberian antibiotik parenteral selama 7 - 14 hari sangat efektif dalam mengatasi


infeksi pada pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan
berbagai permasalahan seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, pasien
memerlukan perawatan, biaya pengobatan yang relatif mahal, dan ketidaknyamanan
bagi pasien dan orangtua, sehingga dipikirkan untuk mempersingkat pemberian
parenteral dan diganti dengan pemberian oral. Biasanya perbaikan klinis sudah
terlihat dalam 24-48 jam pemberian antibiotik parenteral. sehingga setelah perbaikan
klinis, antibiotik dilanjutkan dengan pemberian antibiotik per oral sampai selama 7-14
hari pengobatan.

Secara teoritis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada anak mempunyai
keuntungan antara lain efek samping obat lebih sedikit dan kemungkinan terjadinya
resistensi kuman terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus, antibiotik
parenteral dapat dilanjutkan dengan oral setelah 5 hari pengobatan bila respons klinik
terlihat dengan nyata atau setidak-tidak nya demam telah turun dalam 48 jam pertama.
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pengobatan 14 hari lebih efektif atau dapat
mengurangi risiko kekambuhan. Dianjurkan pemberian profilaksis antibiotic setelah
pengobatan fase akut sambil menunggu hasil pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata
kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi)
maka pengobatan profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.

Berbagai penelitian untuk membandingkan pemberian antibiotik parenteral dengan


antibiotik per oral telah dilakukan. Hoberman dkk. melakukan penelitian multisenter,
uji klinik tersamar (randomized clinical trial) pada 306 anak dengan ISK dan demam,
yang diterapi dengan sefiksim oral dan dibandingkan dengan sefotaksim selama 3 hari
yang dilanjutkan dengan sefiksim per oral sampai 14 hari, dan hasil pengobatan tidak
berbeda bermakna. Disimpulkan bahwa sefiksim per oral dapat direkomendasikan
sebagai terapi yang aman dan efektif pada anak yang menderita ISK dengan demam.
Montini dkk., melaporkan penelitian pada 502 anak dengan diagnosis pielonefritis
akut, yang diterapi dengan antibiotik ko-amoksiklav peroral (50 mg/kgbb/hari dalam
3 dosis) selama 10 hari dibandingkan dengan seftriakson parenteral (50 mg/kgbb/hari
dosis tunggal) selama 3 hari, dilanjutkan dengan pemberian ko-amoksiklav peroral
(50 mg/kgbb/hari dalam 3 dosis) selama 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada pielonefritis akut, efektivitas antibiotik parenteral selama 10 hari sama dengan
antibiotik parenteral yang dilanjutkan dengan pemberian per oral.

Pengobatan ISK pada neonatus


Pada masa neonatus, gejala klinik ISK tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia,
ikterus, gagal tumbuh, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria,
iritabel, atau distensi abdomen. Kemampuan neonatus mengatasi infeksi yang belum
berkembang menyebabkan mudah terjadi sepsis atau meningitis, terutama pada
neonatus dengan kelainan saluran kemih. Pengobatan terutama ditujukan untuk
mengatasi infeksi bakteri Gram negatif. Antibiotik harus segera diberikan secara
intravena. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada umumnya cukup memadai.
Lama pemberian antibiotik pada neonatus dengan ISK adalah 10-14 hari. Pemberian
profilaksis antibiotik segera diberikan setelah selesai pengobatan fase akut.
Bakteriuria asimtomatik
Pada beberapa kasus ditemukan pertumbuhan kuman > 105 cfu/mL dalam urin tanpa
gejala klinik, baik gejala klinik ISK bawah (disuria, urgency, dan frekuensi) ataupun
gejala klinik ISK atas seperti demam, menggigil, nyeri sekitar ginjal.

Bakteri pada bakteriuria asimtomatik biasanya bakteri dengan virulensi rendah dan
tidak punya kemampuan untuk menyebabkan kerusakan ginjal meskipun kuman
tersebut mencapai ginjal.
Secara umum disepakati bahwa bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan terapi
antibiotik, malah pemberian antibiotik dapat menambah risiko komplikasi antara lain
meningkatkan rekurensi pada 80% kasus. Kuman komensal dan virulensi rendah pada
saluran kemih dapat menghambat invasi kuman patogen, dengan demikian kuman
komensal tersebut dianggap berfungsi sebagai profilaksis biologik terhadap kolonisasi
kuman patogen.

Pengobatan suportif
Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga perlu
diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan harus
adekuat untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar dapat disuruh
untuk mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene perineum perlu
ditekankan terutama pada anak perempuan. Untuk mengatasi disuria dapat diberikan
fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan dosis 7 – 10 mg/ kgbb/hari. Perawatan dirumah
sakit diperlukan bagi pasien sakit berat seperti demam tinggi, muntah, sakit perut
maupun sakit pinggang.

Pemberian profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah
digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap berulangnya
pielonefritis akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada
anak risiko tinggi seperti RVU, uropati obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi
lainnya. Namun demikian, efektivitas antibiotik profilaksis ini sering dipertanyakan
dan masih kontroversial.
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah
terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas antibiotik
profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari
50% yang mengalami infeksi berulang selama pengamatan 5 tahun. Antibiotik
profilaksis dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam
urin tetapi dengan efek yang minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa
antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis.

Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan
yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya reaksi simpang (gangguan
saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-
Johnson), dan tidak nyaman untuk pasien.
Beberapa penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa pada RVU derajat rendah,
tidak terdapat perbedaan bermakna dalam risiko terjadinya ISK pada kelompok yang
mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati. Dengan demikian,
antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah.

The International VUR Study of Children melakukan penelitian untuk


membandingkan efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan
tindakan operasi pada anak dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah penurunan
fungsi ginjal. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua
kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal dan komplikasinya. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada RVU derajat tinggi
ternyata efektif.

Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai penelitan tentang
pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa kesimpulan, meskipun masih
banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik profilaksis tidak
terindikasi pada ISK demam yang pertama kali (first febrile UTI) yang tidak disertai
RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap kesimpulan ini yaitu: a.
penelitian metaanalisis menunjukkan tidak ada keuntungan pemberian antibiotik
profilaksis. b. terdapat risiko meningkatnya resistensi terhadap bakteri. c. frekuensi
terjadinya reinfeksi rendah. 2. Untuk refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil
kesimpulan yang jelas, dengan alasan: a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU
derajat III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis
membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan yang
bermakna pada kelompok ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian
tersebut tidak mencukupi.

NICE (2007) merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis tidak rutin diberikan


pada bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis
dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK berulang. Selain itu
direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antiboitik profilaksis
mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang berbeda dan tidak
dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.

Belum diketahui berapa lama sesungguhnya jangka waktu optimum pemberian


antibiotik profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis diberikan selama
RVU masih ada dan yang lain mengusulkan pemberian yang lebih singkat. Pada ISK
kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3 - 4 bulan. Bila ternyata kasus
yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi) maka
pemberian profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.

Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis:

 Trimetoprim :1-2 mg/kgbb/hari


 Kotrimoksazol
 -  Trimetoprim : 1-2 mg/kgbb/hari
 -  Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
 Sulfisoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
 Sefaleksin : 10-15 mg/kgbb/hari
 Nitrofurantoin : 1 mg/kgbb/hari
 Asam nalidiksat : 15-20 mg/kgbb/hari
 Sefaklor : 15-17 mg/kgbb/hari
 Sefiksim : 1-2 mg/kgbb/hari
 Sefadroksil : 3-5 mg/kgbb/hari
 Siprofloksasin : 1 mg/kgbb/hari.

Selain antibiotik, dilaporkan penggunaan probiotik sebagai profilaksis yaitu


Lactobacillus rhamnosus dan Laktobasilus reuteri (L. fermentum); serta cranberry
juice.

Resistensi
Resistensi adalah kegagalan antibiotik membunuh bakteri sehingga bakteri masih
berkembang di dalam tubuh dan bakteri tidak mampu berubah menjadi inaktif
(Kuswandi, 2011). Penggunaan antibiotik yang sering akan mempengaruhi
perkembangan bakteri. Bakteri pada pasien ISK akan menghasilkan beta laktamase
yang berakibat pada resistensi bakteri. Faktor virulensi berperan pada interaksi antara
Escherichia coli dan inangnya, faktor virulensi sebagai kolonisasi, proliferasi, dan
masa transisi untuk infeksi yang berat (Pobiega et al., 2013). Resistensi dapat terjadi
selama pengobatan dengan antibiotik karena bakteri memilki gen resisten. Bakteri
memiliki gen resisten yang berasal dari:

a. Mutasi spontan merupakan proses internal, yaitu perubahan gen normal bakteri itu
sendiri (mengalami mutasi).
b. Bakteri yang mampu memproduksi antibiotik sendiri.
c. Gen resisten dari hewan.
d. Gen resisten dari lingkungan.
e. Gen resisten manusia pindah dari satu tempat ke tempat lain (Kuswandi, 2011).
Penyebab resistensi bakteri dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ekspresi gen yang meningkat akan menghasilkan protein yang sangat banyak.
Misalnya, bakteri yang telah resisten terhadap penisilin dan turunannya mengandung
beta laktamase yang tinggi, tetapi jumlah yang diproduksi oleh mutan-mutan tidak
sama antara mutan satu dengan mutan lainnya.
b. Ekspresi gen yang ditekan menyebabkan produk protein yang dikode oleh gen
tersebut akan menjadi sedikit. Sebaliknya sel akan memproduksi protein baru lebih
banyak dilihat dari profil protein penyusun dinding sel (Kuswandi, 2011).

Menurut Brooks et al. (2001) mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap


antibiotik sebagai berikut:
a. Bakteri mampu memproduksi enzim dan merusak obat yang aktif.
b. Bakteri merubah permeabilitas dinding sel terhadap obat.
c. Bakteri mengubah struktur target obat.
d. Bakteri mulai mengembangkan jalur baru untuk menghindarkan diri dari
jalur yang biasa dihambat oleh obat.
e. Bakteri mulai memproduksi enzim baru dan melakukan fungsi metabolitnya
tetapi sedikit dipengaruhi oleh obat.
Sumber:

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 304-308

Ikatan Ahli urologi Indonesia (IAUI), 2015, Guideline Penatalaksanaan Infeksi


Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2015 edisi 2. Ikatan Ahli Urologi
Indonesia, Surabaya, 3.

Unit Kerja Koordinator Nefrologi IDAI, 2011, Buku Konsensus Infeksi Saluran
Kemih pada Anak, Unit Kerja Koordinator Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.

Jack W, McAninch. 2008. Symptoms of Disorders of the Genitourinary Tract. In:

Tanagho EA, McAninch JW (eds). Smith’s General Urology. 17th Edition.


New York: The Mc. Graw-Hill Companies. 35.

Indonesia, K. K. (2012). Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Indonesia


Medical Council.

Hickling, D., Sun, T. and Wu, X., 2015. Anatomy and Physiology of the Urinary
Tract: Relation to Host Defense and Microbial Infection. Microbiology
Spectrum, 3(4).

Li, R. and Leslie, S., 2020. Cystitis. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:


<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482435/> [Accessed 25 August 2020].

Mehta, P. and Reddivari, A., 2020. Dysuria. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:


<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549918/> [Accessed 25 August 2020].

Shahid, S., 2012. Phimosis in Children. ISRN Urology, 2012, pp.1-6.

UNISSULA, P. F. (n.d.). Retrieved Agustus 24, 2020

Anda mungkin juga menyukai