I. Analisis Masalah
Keluhan Utama:
Soni, seorang anak laki-laki, usia 1 tahun, dibawa ibunya ke poli anak karena demam sejak 3
hari yang lalu.
a. Bagaimana etiologi demam pada kasus?
Demam pada anak ini merupakan reaksi dari adanya infeksi saluran kemih yang disebabkan
oleh E.coli.
b. Bagaimana sifat demam pada kasus? Apakah fisiologis atau tidak? Bagimana kriteria
demam yang bersifat fisiologis?
Menurut Febry dan Marendra (2010) Demam dikatakan sebagai demam fisiologis jika
penyebab demam adalah karena adanya gangguan fisiologis pada tubuh seseorang, misal
karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara terlalu panas serta kelelahan setelah
bermain di siang hari. Pada kasus ini, demam terjadi selama tiga hari tanpa adanya gangguan
fisiologis dan lebih merujuk ke demam karena infeksi. Demam infeksi adalah demam yang
disebabkan oleh masukan patogen, misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang
kecil lainnya ke dalam tubuh.
e. Bagaimana system imun yang terlibat dengan keluhan yang dialami anak pada
kasus?
Pirogen eksogen menginduksi produksi sitokin pro-inflamasi, seperti interleukin 1β (IL-1β)
dan 6 (IL-6), interferon (INF) -α, dan tumor necrosis factor (TNF). Selanjutnya, yaitu masuk
ke sirkulasi hipotalamus, merangsang pelepasan prostaglandin lokal dan mengulang setpoint
termal hipotalamus.
f. Apakah ada kaitan dengan imunisasi yang lengkap serta pemberian asi pada anak di
kasus ini?
Menurut hasil yang saya dapat, tidak ada kaitan langsung antara imunisasi dan ISK pada
kasus. Untuk pemberian asi sendiri, jika anak kurang mengonsumsi air minum, air seni akan
terbendung dialam kandung kemih dan menyebabkan pertumbuhan kuman. Namun
pemberian imunisasi yang lengkap serta asi eksklusif juga sangat penting untuk
meningkatkan daya tahan tubuh dan memperkuat sistem imun anak dalam menghadapi
serangan mikroba yang masuk ke tubuh.
g. Apa saja imunisasi yang perlu diberikan pada anak dibawah 1 tahun?
Tabel 1. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0-18 Tahun (IDAI, 2017)
Preputium yang tidak dapat ditarik pada bayi sebenarnya dapat berupa fimosis fisiologis
maupun patologis.
Meatus urethra externus yang hiperemis dapat disebabkan oleh terjadinya infeksi pada ujung
penis sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan terjadilah hiperemis.
- Hasil normal, klien tidak merasakan nyeri, jika terdapat nyeri mengindikasikan adanya batu
atau pyelonephritis
f. Apakah ada perbedaan dalam pemeriksaan fisik dewasa dan anak? Jika ada, bagaimana?
Pemeriksaan fisik pada anak berbeda dengan dewasa, ada beberapa hal yang tidak boleh
diabaikan dan cara pemeriksaan harus disesesuaikan dengan umur anak/bayi. Suasana harus
tenang dan nyaman karena jika anak ketakutan, kemungkinan dia akan menolak untuk
diperiksa. Untuk anak usia 1 – 3 tahun, kebanyakan diperiksa dalam pelukan ibu, sedangkan
pada bayi usia 6 bulan, biasanya bisa diperiksa di atas meja periksa.
Tata cara dan urutan pemeriksaan fisik pada anak tetap dimulai dengan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
Inspeksi, ditujukan untuk melihat perubahan yang terjadi secara umum dengan membandingkan
tempat yang diperiksa dengan daerah sekitarnya atau organ yang sama pada sisi yang berbeda.
Palpasi, dilakukan dengan telapak tangan dan atau jari-jari tangan. Palpasi diperlukan untuk
menentukan bentuk, ukuran, tepi, permukaan dan untuk mengetahui intensitas nyeri serta
konsistensi. Palpasi dapat dilakukan dengan kedua tangan, terutama untuk mengetahui adanya
cairan atau ballottement.
Perkusi, ditujukan untuk mengetahui perbedaan suara ketukan sehingga dapat ditentukan batas-
batas organ atau massa abnormal. Suara perkusi dibagi menjadi 3 macam yaitu sonor (perkusi
paru normal), timpani (perkusi abdomen), dan pekak (perkusi otot). Suara lain yang terdapat
diantara dua suara tersebut seperti redup (antara sonor dan pekak) dan hipersonor (antara sonor
dan timpani).
Auskulatasi, pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop untuk mendengar suara pernafasan,
bunyi dan bising jantung, peristaltic usus dan aliran darah dalam pembuluh darah.
Laboratory Examination
Hematologi: Hb: 11 g/dl, lekosit: 16.000/mm3, hitung jenis 0/1/4/80/13/2, LED 25 mm/jam.
Urinalisis: warna kuning, agak keruh, lekosit 20-30/lpb, eritrosit 1-2/lpb, lekosit esterase
positif, nitrit positif.
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium?
meningkat menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit. Pada infeksi, makrofag akan
teraktivasi untuk memfagosit bakteri yang menginfeksi sel-sel di jaringan. Makrofag juga
akan mengeluarkaan IL-8 sebagai kemotaksis neutrofil sehingga banyak neutrofil yang
terekrut ke jaringan yang mengalami infeksi. Neutrofil yang banyak terekrut adalah neutrofil
matur (neutrofil segment) sehingga persentase neutrofil segmen menjadi tinggi, akibatnya
persentase sel leukosit lain akan menurun seperti limfosit dan neutrofil batang.
Adanya leukosit di dalam urin akan memberikan hasil positif, yang kemungkinan menandakan
adanya ISK. Pemeriksaan 57-96% sensitif and 94-98% spesifik. Guna enzim ini pada leukosit
adalah disintegrasi esters menjadi alcohol dan asam.
LED Meningkat
Pada saat terjadi infeksi, leukosit yang teraktivasi akan mengeluarkan sitokin-sitokin
proinflamasi seperti IL-1 dan IL-6. Kedua interleukin ini akan menstimulasi hepar untuk
meningkatkan produksi fibrinogen yang merupakan salah satu komponen pembekuan darah.
Peningkatan fibrinogen ini akan mengakibatkan semakin banyak eritrosit-eritrosit yang
menggumpal sehingga eritrosit menjadi semakin berat dan mudah menendap.
Nitrit (+)
Karena bakteri yang menginfeksi kandung kemih mengubah nitrat menjadi nitrit
Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase, enzim yang terdapat di
dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin.
Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam keadaan
normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit
oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat
mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin.
Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit.
Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai sebagai
indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah
dalam diagnosis ISK.
Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan kreatinin
urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-carrier-protein
yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan komponen imunitas innate yang
memberikan respon terhadap infeksi bakteri. Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr
>30ng/mg merupakan tanda ISK.
Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan mikrokop fase
kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap
lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin,
sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan
mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop
fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.Anti coated bacteri (ACB) dalam urin
yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan
tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda, namun tidak mampu laksana pada anak.
b. Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan tersebut tidak
spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju endap darah (LED),
C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas. Kadar
prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut
pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan
protein kecil yang penting dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori
(TNF-α; IL-6; IL-1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.
c. Kultur urin
i. Cara pengambilan spesimen urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat, mudah dilakukan untuk
semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan peralatan sederhana. Sayangnya tidak ada
teknik yang memenuhi persyaratan ini. Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat
dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan
menggunakan urine collector.
Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan aspirasi suprapubik,
dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk biakan urin. Kateterisasi urin
merupakan metode yang dapat dipercaya terutama pada anak perempuan, tetapi cara ini
traumatis. Teknik pengambilan urin pancar tengah merupakan metode non-invasif yang bernilai
tinggi, dan urin bebas terhadap kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat
diambil dengan memakai kantong penampung urin (urine bag atau urine collector).
Pengambilan sampel urin dengan metode urine collector, merupakan metode yang mudah
dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu hingga 80%.
Child Health Network (CHN) guideline (2002) hanya merekomendasikan 3 teknik pengambilan
sampel urin, yaitu pancar tengah, kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan
pengambilan dengan urine bag tidak digunakan.
Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat perhatian karena bila
sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari 1⁄2 jam, maka kuman dapat membiak
dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur
dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di
dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemar es pada suhu 40C selama 48-72 jam sebelum
dibiak.
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah kuman ≥
105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, Dengan kateter urin, Garin dkk., (2007)
menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna dan pendapat lain
menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL dan ada yang menggunakan
kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. (2010) menggunakan
batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan
midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105
cfu/mL, dan Baerton dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil
dengan urine bag.
Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak faktor
yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis jelas ditemukan
ISK.
Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara biakan
urin yang dapat dilakukan setiap saat dan dimana saja, tetapi cara ini hanya dapat menunjukkan
ada tidaknya kuman, sedang identifikasi jenis kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan
cara konvensional.
d. Penanda biokimia
Penanda yang paling sering digunakan adalah nitrit dan leukosit esterase yang dikombinasikan
dalam uji dipstik. Uji dipstik bermanfaat untuk mengeksklusi ISK dengan cepat dan terpercaya
bila uji nitrit dan leukosit esterase adalah negatif. Jika hasil tes positif, maka perlu
mengkonfirmasikan hasil dalam kombinasi dengan gejala klinis dan uji lainnya.
Data studi kolaboratif pada 7 rumah sakit institusi pendidikan dokter spesialis anak di
Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1989) memperlihatkan insidens kasus baru ISK
pada anak berkisar antara 0,1%-1,9% dari seluruh kasus pediatri yang dirawat. Di RSCM
Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995) didapatkan 212 kasus ISK, rata-rata 70 kasus baru
setiap tahunnya.
e. Bagaimana etiologi dan faktor risiko pada kasus ini?
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK serangan
pertama. Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga menunjukkan hasil yang
sama. Kuman lain penyebab ISK. yang sering adalah Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia,
Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan
Morganella morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus.
Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti Pseudomonas,
golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis. Haemofilus influenzae
dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab ISK pada anak. Kuman ini tidak dapat tumbuh
pada media biakan standar sehingga sering tidak diperhitungkan sebagai penyebab ISK.6 Bila
penyebabnya Proteus, perlu dicurigai kemungkinan batu struvit (magnesium- ammonium-
fosfat) karena kuman Proteus menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi
amonium, sehingga pH urin meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa
elektrolit seperti kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.
Faktor risiko
- Wanita memiliki risiko besar mengalami infeksi ginjal dari pada laki-laki. Ini dikarenakan
wanita memiliki uretra lebih pendek daripada laki-laki sehingga bakteri mudah mencapai ginjal.
- Personal hygiene yang kurang
- System imun yang lemah
- Kurang minum
- Sering menahan BAK
- Kerusakan syaraf disekitar kandung kemih.
- Penggunaan kateter dalam jangka waktu lama
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh infeksi asending berupa kolonisasi
uretra dan daerah introitus vagina yang disebabkan oleh Escherichia coli (Adib,M. 2011).
Mikroorganisme juga dapat menginvasi ke kandung kemih. Bakteri yang menyerang saluran
kemih disebut dengan bakteri uropatogen dan dapat berkolonisasi dan atau pada uroepitel
untuk melakukan pengerusakan terhadap epitel saluran kemih (Semaradana,W.G.P. 2014).
Komplikasi infeksi saluran kemih tergantung dari tipe yaitu infeksi saluran kemih tipe
sederhana (uncomplicated) dan tipe berkomplikasi (complicated).
1. Infeksi saluran kemih sederhana (uncomplicated)
Infeksi saluran kemih akut tipe sederhana (sistisis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan
hamil merupakan penyakit ringan (self limited disiase) dan tidak menyebabkan akibat lanjut
jangka lama.
2. Infeksi saluran kemih berkomplikasi (complicated)
- Infeksi saluran kemih selama kehamilan
- Infeksi saluran kemih pada diabetes melitus.
Child Health Network (CHN) guideline (2002) hanya merekomendasikan 3 teknik pengambilan
sampel urin, yaitu pancar tengah, kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan
pengambilan dengan urine bag tidak digunakan.
Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat perhatian karena bila
sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari 1⁄2 jam, maka kuman dapat membiak
dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur
dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di
dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemar es pada suhu 40C selama 48-72 jam sebelum
dibiak.
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah kuman ≥
105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, Dengan kateter urin, Garin dkk., (2007)
menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna dan pendapat lain
menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL dan ada yang menggunakan
kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. (2010) menggunakan
batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan
midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105
cfu/mL, dan Baerton dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil
dengan urine bag.
Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak faktor
yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis jelas ditemukan
ISK.
Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara biakan
urin yang dapat dilakukan setiap saat dan dimana saja, tetapi cara ini hanya dapat menunjukkan
ada tidaknya kuman, sedang identifikasi jenis kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan
cara konvensional.
Pencitraan
Pencitraan yang ideal adalah pemeriksaan yang relatif tidak mahal, tanpa rasa sakit, aman dan
memiliki radiasi minimal atau tanpa radiasi, serta memiliki kemampuan dalam mendeteksi
anomali struktural yang signifikan. USG sangat bermanfaat pada anak karena aman, cepat dan
memiliki akurasi tinggi dalam identifikasi anatomi dan ukuran parenkim ginjal dan collecting
system. Teknik ini subyektif dan tergantung pada operator, serta tidak memberikan informasi
mengenai fungsi ginjal. Jaringan parut bisa diidentifikasi, meski tidak sebaik dengan
menggunakan sidik Tc- 99m DMSA.
Infeksi saluran kemih menjadi dasar terjadinya sistitis yang diikuti peradangan pada mukosa
dan muskulus detrussor kandung kemih. Pemeriksaan USG dapat mengidentifikasi proses
infeksi karena pada pemeriksaan USG dapat jelas terlihat adanya perbedaan echostruktur
mukosa dengan echostruktur muskulus detrussor. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan
pilihan karena mudah dilakukan, relatif murah, tersedia hampir disemua pelayanan kesehatan,
non invasif dan bebas radiasi sehingga aman dilakukan pada anak, wanita hamil maupun
penderita yang mobilitasnya terbatas (Jecquier, S., 1987).
d. Bagaimana patofisiologi E.coli yang bisa sampai ke saluran kemih dan berada di urin?
Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih
adalah faktor anatomi, faktor tekanan urin pada waktu miksi, manipulasi uretra atau pada
hubungan kelamin, perubahan hormonal waktu menstruasi, kebersihan alat kelamin bagian luar,
adanya bahan antibakteri dalam urin,dan pemakaian obat kontrasepsi oral (Tessy & Suwanto,
2001).
Sistitis biasanya terjadi karen adanya kolonisasi mukosa periuretra oleh bakteri dari flora feses
atau vagina dan naiknya patogen tersebut ke kandung kemih. Uropathogens memiliki faktor
virulensi mikroba yang memungkinkan mereka meloloskan diri dari pertahanan host dan
menyerang jaringan host di saluran kemih.
Learning Issue
Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Saluran Kemih pada Anak
Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih
Menurut Duane R. Hickling el al. Sistem saluran kemih manusia adalah sistem organ
berongga yang fungsi utamanya adalah untuk mengumpulkan, mentransportasi,
menyimpan, dan mengeluarkan urin secara berkala dan dengan cara yang sangat
terkoordinasi dan selaras. Dalam melakukan fungsinya, sistem saluran kemih
memastikan fungsinya dalam pembuangan produk metabolisme dan limbah beracun
yang dihasilkan tubuh terjadi di ginjal. Proses aliran urin yang terus menerus di
saluran kemih bagian atas dan eliminasi secara berkala dari saluran kemih bagian
bawah juga memainkan peran yang sangat penting dalam membersihkan saluran
kemih dan mengeliminasi mikroba yang sudah masuk ke sistem saluran kemih. Saat
sedang tidak mengeluarkan urin, saluran kemih bertindak secara efektif sebagai
sistem yang tertutup dan tidak dapat diakses oleh mikroba. Sistem saluran kemih
sendiri dari proximal ke distal, terdiri dari papila ginjal, pelvis ginjal, ureter, kandung
kemih, dan uretra, setiap komponen saluran kemih memiliki ciri anatomi yang
berbeda dan menjalankan fungsi yang sangat krusial.
Tedapat dua ginjal yang berada didalam dinding posterior abdomen, lebih spesifiknya
berada di luar rongga peritoneum. Setiap ginjal, orang dewasa, besarnya kira-kira
seukuran kepalan tangan dan kira-kira seberat 150 gram. Sisi medial setiap
ginjal berupa lekukan yang disebut dengan hilum dimana arteri renalis, vena renalis,
saraf, pembuluh limfatik dan ureter yang membawa urine akhir dari ginjal untuk
disimpan di kandung kemih. Karena ginjal memiliki struktur dalam yang rapuh, organ
ini dibungkus oleh kapsul fibrosa yang keras untuk melindunginya.
Gambar 3. Anatomi Ginjal (Guyton, A. 2014)
Saat ginjal dibelah dua secara vertikal, terdapat dua daerah utama yang dapat dilihat
yaitu daerah medula di bagian dalam dan korteks di bagian luar. Medula ginjal terbagi
menjadi 8 sampai 10 massa jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal.
Awal atau permukaan dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan
medula serta berakhir di papila, bagian yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal,
yang merupakan sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong.
Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut
kalises atau calyx mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises atau
calyx minor, yang mengumpulkan urine dari tubulus di tiap papila. Pada dinding
calyx, pelvis, dan ureter terdapat bagian kontraktil yang mendorong urine menuju
kandung kemih, tempat urine disimpan sampai dikeluarkan melalui miksi.
Unit fungsional ginjal disebut dengan nefron, dan tiap ginjal manusia terdiri atas
800.000-1.000.000 nefrom yang masing-masing memiliki kemampuan untuk
membentuk urin. Karena ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, Ketika terjadi
trauma ginjal, penyakit ginjal atau proses penuaan, jumlah nefrom juga akan
berkurang secara bertahap. Setiap nefron terdiri atas kumpulan kapiler yang disebut
glomerulus, yang akan memfiltrasi sejumlah besar cairan dari darah, dan tubulus
panjang tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju
pelvis ginjal. Glomerulus sendiri tersusun dari kapiler glomerulus yang nantinya
bercabang dan beranastomosis, yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira
60 mm Hg). Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel, dan keseluruhan
glomerulus dibungkus oleh kapsula Bowman.
Kandung kemih adalah suatu ruang otot polos yang terdiri atas dua bagian utama
yaitu bagian korpus, yang merupakan bagian utama kandung kemih, dan tempat
dikumpulkannya urin. dan bagian leher yang berbentuk corong, merupakan
perpanjangan bagian korpus kandung kemih, berjalan ke bawah dan ke depan menuju
segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian bawah leher kandung
kemih disebut juga uretra posterior karena bagian ini berhubungan dengan uretra.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala
arah, dan ketika berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan di dalam kandung kemih
hingga 40-60 mmHg. Kontraksi dari otot detrusor ini merupakan tahap utama
pada proses pengosongan kandung kemih.
Panjang leher kandung kemih (uretra posterior) sendiri 2-3 cm, dan dindingnya terdiri
dari otot detrusor yang dijalin dengan sejumlah besar jaringan elastis. Otot pada lokasi
ini disebut sfingter interna. Normalnya, tonus menyebabkan leher kandung kemih dan
uretra posterior tidak mengandung urine dan, dengan demikian, mencegah
pengosongan kandung kemih hingga tekanan pada bagian utama kandung kemih
meningkat melampaui nilai ambang. Setelah melewati uretra posterior, uretra berjalan
melalui diafragma urogenital, yang memiliki lapisan otot yang disebut sfingter
eksterna kandung kemih. Otot ini sendiri merupakan otot rangka volunter, berbeda
dengan otot pada bagian korpus dan leher kandung kemih, yang seluruhnya
merupakan otot polos. Otot sfingter eksterna berada di bawah kendali volunter sistem
saraf berfungsi untuk mencegah miksi secara sadar bahkan ketika sistem saraf
involunter berusaha untuk mengosongkan kandung kemih.
Gambar 4. Anatomi Bladder (Guyton, A. 2014)
Permukaan ginjal ditutupi oleh kapsul dari jaringan ikat atau penyambung, terdiri dari
dua lapisan yaitu lapisan luar (fibroblast dan serat kolagen) dan lapisan dalam
(myofibroblast).Kontraktilitas myofibroblast berperan dalam volume sisa dan variasi
tekanan ginjal sehingga mempengaruhi fungsi ginjal. Fungsi spesifik kapsul ini tidak
jelas. Kapsul masuk ke hilum dan membentuk jaringan penyambung yang menutupi
sinus yang akan berlanjut membentuk dinding kaliks dan pelvis ginjal.
Korteks ginjal,berwarna merah gelap dan bergranula, menutupi seluruh medula dan
meluas kedalam medula membentuk "kolumna renalis Bertini" yang berjalan diantara
pyramid ginjal. Korteks mengandung tubulus kontortus proksimal dan distal,
glomeruli dan medullary ray atau radius medullaris. Disini terdapat arteri
interlobularis dan vena interlobularis.
Medulla ginjal, memiliki tebal 2 kali korteks, terdiridari bagian seperti kerucut yang
lebih pucat dari korteks disebut "piramid ginjal" yang dipisahkan oleh kolumna
renalis Bertini. Dasar piramid ginjal berbatasan dengan korteks, bagian apikalnya
berupa "papila renalis" menonjol menuju kaliks minor yang berbentuk seperti
cerobong, tiap kaliks minor menerima 1-4 papila renalis. Piramid ginjal terdapat
dalam lobus yang membagi ginjal, terdapat sekitar 5-11 lobus. Terdapat garis radier
yang berjalan dari dasar piramid ke papila, urine keluar dari ginjal melalui papila
renalis yang mempunyai lubang-lubang kecil sekitar 250 lubang yang merupakan
lubang dari duktus koligentes, daerah berlubang pada papila renalis ini disebut "area
kribrosa".
Unit fungsional ginjal disebut nefron yang jumlahnya lebih dari satu juta pada tiap
ginjal, tubulus uriniferus menyusun parenkim ginjal dan tersusun padat, hanya
dipisahkan oleh jaringan ikat interstitial (mengandung serat kolagen) yang berisi
pembuluh darah, pembuluh limfe dan serat saraf.Tiap tubulus uriniferus terdiri dari
nefron dan duktus koligentes. Nefron terdiri dari korpuskel renalis, tubulus
proksimalis dan distalis serta ansa henle. Korpuskel ginjal merupakan bagian pertama
dari nefron, yang menyebabkan korteks renalis tampak granular pada ginjal.
Korpuskel renalis memiliki dua kutub, yaitu kutub urinarius atau tubular yang
berhubungan langsung dengan tubulus proksimalis, dan kutub vaskuler, sebagai
tempat masuknya arteriol afferent dan keluarnya arteriol efferent.. Selain itu,
korpuskel renalis memiliki dua bagian, yaitu lapisan luar disebut kapsula Bowman
yang disebut lapisan parietalis, sedangkan bagian dalamnya adalah glomerulus, yaitu
kumparan yang terdiri dari kapiler-kapiler yang berasal dari arteriol afferent dan
keluar menjadi arteriol efferent. Glomerulus terdiri dari sel yang disebut podosit yang
mengandung inti dan sitoplasma di sekeliling inti terdapat retikulum endoplasma
kasar dan apparatus golgi yang berkembang dengan baik. Pada sitoplasma terdapat
juluran sitoplasma pertama sehingga disebut juluran sitoplasma primer. Juluran
primer ini memiliki juluran kedua yang disebut juluran sitoplasma sekunder yang
disebut sebagai pedikel yang berhubungan erat dengan pori-pori kapiler darah yang
disebut celah filtrasi.
Tubulus proksimalis terdiri dari 2 segmen yaitu segmen yang jalan berkelok-kelok
kontorta) dan segmen yang jalan lurus merupakan bagian akhir tubulus proksimalis
dan juga akan melanjutan diri membentuk segmen awal dari lengkungan Henle.
Semua segmen kontorta terdapat pada korteks ginjal, dalam perjalanannya akan
membentuk beberapa gulungan dekat dengan korpuskel ginjal lalu melanjutan diri ke
bagian lurus. Mikroskopis tubulus proksimalis adalah terdiri dari dua jenis epitel,
epitel selapis kubis rendah dan selapis kubis tinggi, bersifat asidofil, inti bulat di
tengah, setiap tubulus dibentuk oleh 3-5 sel, terdapat brush border, memiliki proses
interdigitasi, sitoplasma mengandung lisosom yang besar, vakuola banyak pada apikal
sel, mitokondria pada basal dan tegak lurus membrane basalis, apparatus golgi ada
sekitar inti.
Mikroskopis Ansa Henle adalah dibentuk oleh epitel selapis kubis dekat korteks dan
selapis gepeng lebih kea rah medulla, inti sel gepeng, memiliki sitoplasma menonjol
ke lumen dengan proses interdigitasi lateral sel, zonula okluden pada apikal sel,
sitoplasma mengandung sedikit organel.
Tubulus distalis terdiri dari 3 bagian yaitu bagian lurus, merupakan lanjutan dari pars
ascending ansa Henle, makula densa, dan bagian kontorta, bagian berkelok-kelok.
Mikroskopik bagian lurus tubulus distalis adalah sel kubis rendah, sitoplasma asidofil,
mitokondria tersusun vertikal, aparatus Golgi apical inti dan retikulum endoplasma
kasar / halus disekitar inti.Makula Densa merupakan lempeng selular memanjang
yang dibentuk oleh sel-sel tubulus distalis pada tempat peralihan dari bagian yang
berjalan lurus ke bagian yang berjalan berkelok-kelok, berdekatan dengan daerah
mesangium disebelah luar glomeruli pada daerah pola vaskuler diantara vas aferen
dan eferen.
Sistitis Akut
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada
anak selain infeksi saluran nafas atas dan diare. ISK perlu mendapat perhatian para
dokter maupun orangtua karena berbagai alasan, antara lain ISK sering sebagai tanda
adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih yang serius seperti refluks vesiko-
ureter (RVU) atau uropati obstruktif, ISK adalah salah satu penyebab utama gagal
ginjal terminal, dan ISK menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan bagi pasien.
Menurut Lambert (2003) diperkirakan 20% kasus konsultasi pediatri terdiri dari kasus
ISK dan pielonefritis kronik.
Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan tergantung pada umur, mulai dengan
asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak terdeteksi baik oleh
tenaga medis maupun oleh orangtua. Kesalahan dalam menegakkan diagnosis
(underdiagnosis atau overdiagnosis) akan sangat merugikan. Underdiagnosis dapat
berakibat penyakit berlanjut ke arah kerusakan ginjal karena tidak diterapi.
Sebaliknya overdiagnosis menyebabkan anak akan menjalani pemeriksaan dan
pengobatan yang tidak perlu. Bila diagnosis ISK sudah ditegakkan, perlu ditentukan
lokasi dan beratnya invasi ke jaringan, karena akan menentukan tata laksana dan
morbiditas penyakit. Diagnosis dan tata laksana ISK yang adekuat bertujuan untuk
mencegah atau mengurangi risiko terjadinya komplikasi jangka panjang seperti parut
ginjal, hipertensi, dan gagal ginjal kronik.
Etiologi
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK
serangan pertama. Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga
menunjukkan hasil yang sama. Kuman lain penyebab ISK. yang sering adalah
Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris,
Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii,
Stafilokokus, dan Enterokokus.
Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti
Pseudomonas, golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis.
Haemofilus influenzae dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab ISK pada
anak. Kuman ini tidak dapat tumbuh pada media biakan standar sehingga sering tidak
diperhitungkan sebagai penyebab ISK.6 Bila penyebabnya Proteus, perlu dicurigai
kemungkinan batu struvit (magnesium- ammonium-fosfat) karena kuman Proteus
menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi amonium, sehingga pH
urin meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa elektrolit seperti
kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.
Diagnosis
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. ISK serangan pertama umumnya
menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya.
Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin
dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam merupakan gejala dan
tanda klinik yang sering dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada
anak.
Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh sebab
itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis.
Manifestasi klinis
Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi
peradangan, letak infeksi(ISK atas dan ISK bawah),dan umur pasien.Sebagian ISK
pada anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada anak umur
sekolah, terutama anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening
programs). ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan
prognosis jangka panjang baik.
Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus
atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidakmau minum, oliguria, iritabel,
atau distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu tinggi dan sering tidak
terdeteksi. Kadang-kadang gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-
abuan (grayish colour).
Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat
badan, gagal tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus,
dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi
dapat disertai kejang.
Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak
besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala
klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol,
sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran
cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat
ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang.
Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis, yang merupakan
nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia lobar.
Pada sistitis, demam jarang melebihi 38 O C, biasanya ditandai dengan nyeri pada
perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu
berkemih, rasa diskomfort suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin, dan
enuresis.
Dari sudut pandang klinis, ISK ringan atau parah harus dibedakan karena hingga
tingkatan tertentu derajat keparahan menunjukkan tingkatan kedaruratan dengan
menentukan investigasi dan pengobatan yang harus dilakukan (Tabel 1)
Tabel 2. Klasifikasi klinis ISK anak
Diagnostik Evaluasi
I. Pemeriksaan fisik
Harus diperiksa ada atau tidak fimosis, sinekia/ adhesi labia, tanda-tanda
pielonefritis, epididimo-orkitis dan tanda khas dari spina bifida, seperti anal dimple,
tonjolan lunak, dan hairy patch di kulit sakrum. Tidak adanya demam tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya proses infeksi.
g. Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan
darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak
dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada
anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya
leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa
leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada
infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan Ureaplasma urealitikum.
Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase, enzim yang
terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam
urin.
Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam
keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat
diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa
kuman Gram positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit
positif berarti terdapat kuman dalam urin. Urin dengan berat jenis yang tinggi
menurunkan sensitivitas uji nitrit.
Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai
sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas
yang rendah dalam diagnosis ISK.
Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan
kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-
carrier-protein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan komponen
imunitas innate yang memberikan respon terhadap infeksi bakteri. Peningkatan
uNGAL dan rasio uNGAL/Cr >30ng/mg merupakan tanda ISK.
Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan mikrokop
fase kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman
pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 107
cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB
pemeriksaan mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika
dengan mikroskop fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.Anti coated
bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-labeled
anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda,
namun tidak mampu laksana pada anak.
b. Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan
tersebut tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan
laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator
non-spesifk ISK atas. Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai
prediktor yang valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile
urinary tract infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan protein kecil yang penting
dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori (TNF-α; IL-6; IL-
1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.
c. Kultur urin
h. Cara pengambilan spesimen urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat, mudah
dilakukan untuk semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan peralatan
sederhana. Sayangnya tidak ada teknik yang memenuhi persyaratan ini. Pengambilan
sampel urin untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik,
kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine collector.
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah
kuman ≥ 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, Dengan kateter urin,
Garin dkk., (2007) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna
dan pendapat lain menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL dan
ada yang menggunakan kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL.
Paschke dkk. (2010) menggunakan batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103
cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan midstream/clean catch, sedangkan
pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL, dan Baerton
dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil dengan
urine bag.
Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak
faktor yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis
jelas ditemukan ISK.
Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara
biakan urin yang dapat dilakukan setiap saat dan dimana saja, tetapi cara ini hanya
dapat menunjukkan ada tidaknya kuman, sedang identifikasi jenis kuman dan uji
sensitivitas memerlukan biakan cara konvensional.
a. Penanda biokimia
Penanda yang paling sering digunakan adalah nitrit dan leukosit esterase yang
dikombinasikan dalam uji dipstik. Uji dipstik bermanfaat untuk mengeksklusi ISK
dengan cepat dan terpercaya bila uji nitrit dan leukosit esterase adalah negatif. Jika
hasil tes positif, maka perlu mengkonfirmasikan hasil dalam kombinasi dengan gejala
klinis dan uji lainnya.
n. Pencitraan
Pencitraan yang ideal adalah pemeriksaan yang relatif tidak mahal, tanpa rasa sakit,
aman dan memiliki radiasi minimal atau tanpa radiasi, serta memiliki kemampuan
dalam mendeteksi anomali struktural yang signifikan. Beberapa pemeriksaan
pencitraan yang diperlukan sebagai pemeriksaan penunjang adalah sebagai berikut:
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada anak karena aman, cepat dan memiliki akurasi
tinggi dalam identifikasi anatomi dan ukuran parenkim ginjal dan collecting system.
Teknik ini subyektif dan tergantung pada operator, serta tidak memberikan informasi
mengenai fungsi ginjal. Jaringan parut bisa diidentifikasi, meski tidak sebaik dengan
menggunakan sidik Tc- 99m DMSA.
b. Radionuklida
Tc-99m DMSA membantu menentukan massa ginjal fungsional dan memastikan
jaringan parut kortikal dengan menunjukkan area-area hipoaktivitas, yang
mengindikasikan kurangnya fungsi. Adanya ISK akan memberikan gambaran defek
pada area parenkim ginjal. Defek yang berbentuk seperti bintang dalam parenkim
ginjal bisa mengindikasikan pielonefritis akut. Defek fokal dalam korteks ginjal
biasanya mengindikasikan lesi kronis atau sebuah jaringan parut ginjal. Ransley dan
Risdon telah melaporkan bahwa Tc-99m DMSA menunjukkan sebuah spesifisitas
100% dan sensitivitas 80% untuk jaringan parut ginjal.
Penggunaan Tc-99m DMSA scanning bisa sangat bermanfaat dalam diagnosis awal
pielonefritis akut. Sekitar 50-85% anak menunjukkan hasil positif dalam minggu
pertama. Sidik Tc-99m DMSA lebih sensitif daripada pemeriksaan pielografi
intravena/ intravenous pyelography (IVP) dan USG dalam pendeteksian jaringan
parut ginjal.
d. Pencitraan tambahan
Manfaat IVP pada diagnostik ISK masih diperdebatkan. Kerugian utama pada bayi
adalah risiko efek samping dari pemaparan terhadap kontras dan radiasi. Pemeriksaan
CT urografi dan MRI semakin banyak dilakukan, namun indikasi untuk digunakan
dalam diagnosis ISK masih terbatas.
Tatalaksana
Untuk periode awal 24-36 jam, terapi parenteral antimikroba dengan spektrum luas
dapat digunakan pada anak yang lebih tua, kecuali tetrasiklin (karena mempengaruhi
warna gigi). Fluorinated quinolone dapat menghasilkan toksisitas kartilago, tetapi jika
diperlukan bisa digunakan sebagai terapi lini kedua dalam penanganan infeksi berat.
Ketika anak menjadi afebris dan bisa minum, terapi dapat diberikan secara oral untuk
melengkapi 10-14 hari perawatan, yang bisa dilanjutkan dalam rawat jalan. Cara ini
mempunyai dampak yang positif, seperti efek psikologis yang lebih kecil dan
memberikan kenyamanan buat pasien, tidak membutuhkan biaya yang terlalu mahal,
dapat ditoleransi dan pada akhirnya bisa mencegah infeksi oportunistik. Antimikroba
oral yang banyak digunakan antara lain: trimetoprim (TMP), kotrimoksazol (TMP &
sulfametoksazol), sefalosporin oral, atau amoksisilin/asam klavulanat. Namun,
indikasi pemberian TMP semakin menurun karena resistensi antibiotik yang semakin
meningkat.
Pada anak usia kurang dari 3 tahun dan yang memiliki kesulitan dalam mengkonsumsi
obat oral, perawatan parenteral selama 7-10 hari lebih disarankan. Jika terdapat
kelainan traktus urogenital (misalnya VUR atau obstruksi), intervensi urologi yang
tepat harus diperhitungkan. Jika terdeteksi jaringan parut ginjal, pasien akan
membutuhkan follow-up yang seksama oleh dokter anak dalam antisipasi gejala
lanjutan seperti misalnya hipertensi, kerusakan fungsi ginjal dan ISK berulang.
Fimosis
Menurut Rukiyah (2010), Fimosis (Phimosis) merupakan salah satu gangguan yang
timbul pada organ kelamin bayi laki-laki, yang dimaksud dengan fimosis adalah
keadaan dimana kulit kepala penis (preputium) melekat pada bagian kepala (glans)
dan mengakibatkan tersumbatnya lubang di bagian air seni, sehingga bayi dan anak
kesulitan dan kesakitan saat kencing, kondisi ini memicu timbulnya infeksi kepala
penis (balantis). Jika keadaan ini dibiarkan dimana muara saluran kencing di ujung
penis tersumbat maka dokter menganjurkan untuk disunat. Tindakan ini dilakukan
dengan membuka dan memotong kulit penis agar ujungnya terbuka.
Menurut Muslihatun (2010), Fimosis adalah keadaan kulit penis (preputium) melekat
pada bagian kepala penis dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran air kemih,
sehingga bayi dan anak jadi kesulitan dan kesakitan saat kencing. Sebenarnya yang
berbahaya bukanlah fimosis sendiri, tetapi kemungkinan timbulnya infeksi pada uretra
kiri dan kanan, kemudian ke ginjal. Infeksi ini dapat menimbulkan kerusakan pada
ginjal.
Phimosis merupakan kondisi penis dengan kulit yang melingkupi kepala penis (glans)
tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh bagian kepala penis
(kulup,prepuce, preputium, foreskin). Preputium terdiri dari dua lapis, bagian dalam
dan luar, sehingga dapat ditarik ke depan dan belakang pada batang penis. Pada
fimosis, lapis bagian dalam preputium melekat pada glans penis. Kadangkala
perlekatan cukup luas sehingga hanya bagian lubang untuk berkemih (meatus urethra
externus) yang terbuka.
Etiologi
Fimosis fisiologis adalah keadaan yang normal pada bayi laik-laki yang baru lahir.
Preputium yang melekat pada kepala penis ini akan terpisah seiring berjalannya waktu
dan usia anak. Upaya untuk menarik prepution dengan paksa pada anak dengan
phimosis fisiologis dapat menyebabkan robekan kecil, infeksi, dan perdarahan dengan
jaringan parut sekunder dan terjadinya phimosis patologis. Kebersihan yang buruk
,infeksi kelenjar penis berulang, posthitis atau radang kulup, atau keduanya dapat
menyebabkan kesulitan dalam pengangkatan preputium dan mengakibatkan phimosis
sejati. Diabetes melitus merupakan predisposisi infeksi ini karena kandungan glukosa
urin yang tinggi, dan kondusif untuk proliferasi bakteri. Phimosis patologis mungkin
juga disebabkan oleh balanitisxerosisobliterans (BXO), bentuk genital dari lichen
sclerosus et atrophicus. Kondisi ini mempengaruhi laki-laki baik anak maupun
dewasa. Etiologinya tidak diketahui, namun infeksi, inflamasi, dan hormonal
diimplikasikan dapat menyebabkan philosis. Phimosis dapat menunjukan keadaan
premalignant. Kateterisasi berulang juga dapat menyebabkan phimosis.
Gambaran Klinis
Insiden phimosis patologis terjadi pada 0.4 per 1000 anak laki-laki tiap tahunnya atau
0.6% anak laki-laki mengalaminya sebelum berumur 15 tahun. Kasus patologis sangat
sedikit dibandingkan phimosis fisiologis, yang umum pada anak dengan umur muda
dan akan menghilang seiring bertambahnya umur.
Fimosis fisiologis hanya meliputi foreskin yang non-rektaktil. Terkadang ada
penggembungan saat urinasi, namun, untuk nyeri, dysuria dan infeksi local tidak
terlihat pada phimosis fisiologis. Bahkan jika memang terdapat Infeksi saluran Kemih
(ISK), hal itu tidak disebabkan oleh phimosisnya. Pada phimosis fisiologis , kerutan
preputium dan jaringan di atasnya berwarna merah muda dan sehat. Pada phimosis
patologis, biasanya terdapat nyeri, iritasi kulit, infeksi lokal, perdarahan, disuria,
hematuria, episode infeksi saluran kemih yang sering, nyeri preputial, nyeri saat
ereksi dan hubungan seksual, dan aliran urin yang lemah. Kadang-kadang, enuresis
atau retensi urin juga terjadi. Lubang meatal kecil dan jaringan di depan kulup
berwarna putih dan fibrotik. Fimosis akibat BXO akan lebih parah dengan terlihat
adanya stenosis meatal, lesi glanular, atau keduanya.
Tingkat keparahan phimosis pada anak laki-laki dan dewasa dapat bervariasi. Meuli
dkk. telah menilai tingkat keparahan phimosis menjadi 4 tingkatan sebagai berikut,
yaitu, Meuli et al. mengklasifikasikan fimosis sesuai derajat keparahan :
Grade I: preputium dapat diretraksi penuh dengan cincin stenotik pada shaft
Grade II: retraksi parsial dengan glans tampak sebagian
Grade III: retraksi parsial dan hanya terlihat meatus
Grade IV: tidak dapat diretraksi
Ada klasifikasi lain dari keparahan phimosis yang ditemukan oleh Kikiros et al., Yaitu
sebagai berikut:
Skor 1: retraksi penuh preputium, dengan bagian yang sempit di belakang glans
Skor 2: glans dapat terlihat sebagian
Skor 3: retraksi parsial: meatus dapat terlihat
Skor 4: sedikit retraksi, tetapi meatus atau pun glans tidak dapat terlihat
Skor 5: preputium tidak dapat diretraksi sama sekali.
Diagnosis
Phimosis sendiri utamanya didiagnosis klinis dan tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan dalam penegakan diagnosisnya. Tapi pemeriksaan ini
mungkin diperlukan untuk melakukan diagnosis pada infeksi saluran kemih atau
infeksi kulit disekitar tractus urinarius. Dokter yang merawat juga harus mampu
mengenai perkembangan non-retractability dari phimosis patologis.
Mengklasifikasikan derajat keparahan phimosis juga harus dilakukan. Penentuan
etiologi phimosis, jika memungkinkan, harus dilakukan.
Manajemen
Ketika seorang anak dibawa dengan riwayat preputium tidak dapat diretraksi sama
sekali. penting untuk memastikan apakah itu fisiologis atau patologis.
Penatalaksanaan tergantung pada usia anak, jenis nonretraksi, keparahan phimosis,
penyebab, dan kondisi morbid terkait. Modalitas nonsurgical terbaru seperti steroid
topikal dan adhesiolysis efektif, aman, dan murah untuk phimosis pada anak-anak.
Orang tua harus mengetahui langkah-langkah ini untuk mengobati phimosis. Jika
operasi memang diperlukan, teknik bedah plastik konservatif harus dilakukan
dibandingkan dilakukannya sunat tradisional. Hal ini akan membantu pasien, keluarga
mereka, dan perawatan kesehatan serta masyarakat secara keseluruhan.
Disuria
Menurut Jack W. McAninch (2008) dysuria dalah rasa sakit atau nyeri saat buang air
kecil yang biasanya berkaitan dengan inflamasi akut kandung kemih, uretra atau
prostat. Kadang rasa sakitnya digambarkan sebagai rasa ‘terbakar’ saat buang air kecil
dan biasanya berkolasi di uretra distral pada laki-laki. Pada perempuan, rasa sakit nya
terasa di uretra. Rasa sakit ini hanya muncul saat berkemih dan menghilang segera
setelah buang air kecil. Nyeri yang lebih parah terkadang terjadi di kandung kemih
saat di akhir buang air kecil, yang menunjukkan kemungkinan adanya peradangan
kandung kemih. Nyeri juga dapat mungkin lebih terasa pada awal atau selama buang
air kecil.
Etiologi
Dysuria sendiri adalah gejala pertama yang menunjukkan infeksi saluran kemuh dan
sering dikaitkan dengan keinginan dan frekuensi untuk buang air kecil. Utamanya,
penyebab disuria bisa dibagi menjadi dua kategori, infeksius dan non-infeksius.
Penyebab pada disuria infeksius adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK), urethritis,
infeksi ginjal dan prostat, infeksi vagina, dan PMS. Untuk penyebab disuria non-
infeksius termasuk juga penyakit kulit, benda asing atau batu ginjal pada tractus
urinarius, trauma, BPH dan tumor juga sistitis interstitial, pengobatan0pengobatan
tertentu, Infeksi yang terjadi di sistem kemih merupakan etiologi yang paling sering
terjadi pada dysuria atau rasa sakit setiap buang air kecil. Infeksi pada sistem kemih
ini paling sering disebabkan oleh bakteri.
Patofisiologi
Disuria yang disebabkan oleh inflamasi seperti Infeksi Saluran Kemih dihasilkan oleh
kontraksi otot kemih dan peristalsis ureteral, yang menyebabkan urin bersentuhan
dengan dinding mukosa yang mengalami peradangan. Kontak ini menyebabkan
rangsangan sensorik dan reseptor nyeri yang menyebabkan nyeri bersamaan dengan
rasa terbakar, menyengat, atau gatal. Sensitivitas pada reseptor-reseptor ini dapat
meningkat selama proses inflamasi atau neuropatik. Terkadang inflamasi dari organ-
organ disekitar seperti colon juga dapat menyebabkan disuria.
Pemeriksa juga harus mencari temuan fisik berupa demam, ruam, nyeri tekan
langsung pada area kandung kemih, dan nyeri sendi. Temuan fisik berupa
peningkatan suhu, peningkatan denyut nadi, tekanan darah rendah dengan adanya
disuria dapat mengindikasikan infeksi sistemik. Obstruksi urologi akibat batu atau
tumor dapat menyebabkan temuan hematuria, penurunan buang air kecil, dan kejang
kandung kemih. Semua temuan fisik ini harus dicari dengan cermat. Riwayat aktivitas
seksual baru-baru ini juga sangat penting pada pasien dewasa. Pada wanita, penting
untuk menanyakan riwayat mengenai keluhan keputihan, riwayat menstruasi, dan
apakah pasien menggunakan kontrasepsi. Laki-laki dapat datang dengan gejala yang
berbeda dari perempuan dan mungkin mengalami nyeri perineum atau gejala
obstruktif bersamaan dengan disuria, yang dapat disebabkan oleh prostatitis.
Diagnosis
Evaluasi adanya disuria dimulai dengan anamnesis rinci dan pemeriksaan fisik
menyeluruh. Tanda dan gejala terkait yang terdiri dari hematuria, nyeri suprapubik,
frekuensi kencing, urgensi, demam, menggigil, mual, muntah, nyeri punggung bawah,
nyeri sendi, ruam, dan lainnya memerlukan tindak lanjut yang tepat. Urinalisis adalah
tes yang paling penting untuk menyusun tindakan selanjutnya pada pasien disuria.
Urinalisis positif untuk nitrit memberikan nilai prediksi yang tinggi dari kultur urin
positif. Selain itu, pemeriksaan urin dapat menunjukkan leukosit dengan nilai prediksi
yang sama dengan keberadaan nitrit. Ketika keduanya ada, nilai prediksi adanya
infeksi menjadi lebih tinggi. Jika pasien hanya memiliki leukosit esterase atau bakteri
saja ada urinalisis, maka disuria mungkin menunjukkan bahwa pasien menderita
uretritis.
Jika pasien memiliki faktor risiko terhadap infeksi saluran kemih yang complicated
tanpa adanya pengobatan awal, pasien juga harus menjalani kultur urin dan uji
sensitivitas. Penting juga untuk memeriksa hitung darah lengkap dan panel metabolik,
termasuk kreatinin serum jika dicurigai adanya infeksi sistemik, terutama jika pasien
mengalami mual, muntah, demam, atau kedinginan. Kultur darah perlu dilakukan jika
ada kecurigaan penyebaran infeksi sistemik. Dalam kasus yang parah, rawat inap juga
dapat dipertimbangankan.
Tatalaksana
Tatalaksana disuria tergantung dari penyebabnya. Penyebab disuria yang paling
umum adalah infeksi saluran kemih. Terapi antibiotik empiris berdasarkan riwayat
dan gejala pasien biasanya merupakan terapi yang paling sering digunakan karena
menghemat biaya. Evaluasi lebih lanjut tidak diperlukan jika disuria dicurigai berasal
dari infeksi saluran kemih tanpa komplikasi. Jika dokter mencurigai infeksi saluran
kemih berjenis complicated, dengan adanya gejala penyerta seperti mual, muntah,
demam, atau menggigil, memulai antibiotic secara bersamaan, pengujian tambahan
seperti kultur darah, panel metabolik, atau hitung darah lengkap merupakan
tatalaksana yang dapat dilakukan. Dalam kasus batu atau adanya obstruksi, pencitraan
dengan ultrasonografi atau CT scan dapat menjadi pangkah penegakan diagnosis.
Ketika pasien datang dengan disuria dan dicurigai terdapat abses perinefrik, maka
pasien harus dievaluasi terlebih dahulu dengan pemeriksaan pencitraan seperti
ultrasonografi atau CT scan. Setelah dipastikan adanya abses, pasien harus dirawat di
rumah sakit, dan antibiotik intravena harus mulai diberikan, yang dapat diikuti dengan
drainase bedah terbuka atau drainase kateter perkutan atau keduanya. Jika penyebab
disuria adalah hipertrofi prostat jinak, maka pengobatan medis dengan alpha-blocker
atau 5-alpha reductase inhibitor harus dipertimbangkan. Jika pasien tidak mengalami
perbaikan gejala setelah mencoba terapi medis, maka pilihan bedah untuk reseksi
transurethral prostat harus dipertimbangkan.
Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien, lokasi
infeksi,gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan
pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda. Keterlambatan pemberian
antibiotik merupakan faktor risiko penting terhadap terjadinya jaringan parut pada
pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin
untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikroba. Penanganan ISK pada anak
yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih
lanjut.
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK pada anak, dan
masih terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa protokol penanganan
ISK telah dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter berupa uji klinis dan meta-
analisis, meskipun terdapat beberapa perbedaan tetapi protokol penanganan ini saling
melengkapi. Secara garis besar, tata laksana ISK terdiri atas:
1. Eradikasi infeksi akut,
2. Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran
kemih, dan
3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang.
Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Bila dalam
waktu tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak
sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat
diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan.
Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada sistitis menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam outcome anak dengan pemberian antibiotik jangka pendek
dibandingkan dengan jangka panjang. Oleh karena itu, pada sistitis diberikan
antibiotik jangka pendek.
Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik per oral selama 7 hari,
tetapi ada penelitian yang melaporkan pemberian antibiotik per oral dengan waktu
yang lebih singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama dengan pemberian selama 7
hari.
NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut, sebagai berikut:
1. Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokterspesialis
anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
2. Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas:
• Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
• Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang resistensinya
masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti sefalosporin atau
ko-amoksiklav.
• Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan
antibiotikparenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari
dilanjutkan dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10 hari.
3. Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:
• Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman
setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan
trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.
• Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali,
dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan
kepekaan terhadap obat.
Pengobatan pielonefritis
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi
yang baik ke jaringan karena pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum
ada penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada pielonefritis akut, tetapi
umumnya antibiotik diberikan selama 7-10 hari, meskipun ada yang menuliskan 7-14
hari. atau 10-14 hari.
Secara teoritis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada anak mempunyai
keuntungan antara lain efek samping obat lebih sedikit dan kemungkinan terjadinya
resistensi kuman terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus, antibiotik
parenteral dapat dilanjutkan dengan oral setelah 5 hari pengobatan bila respons klinik
terlihat dengan nyata atau setidak-tidak nya demam telah turun dalam 48 jam pertama.
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pengobatan 14 hari lebih efektif atau dapat
mengurangi risiko kekambuhan. Dianjurkan pemberian profilaksis antibiotic setelah
pengobatan fase akut sambil menunggu hasil pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata
kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi)
maka pengobatan profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.
Bakteri pada bakteriuria asimtomatik biasanya bakteri dengan virulensi rendah dan
tidak punya kemampuan untuk menyebabkan kerusakan ginjal meskipun kuman
tersebut mencapai ginjal.
Secara umum disepakati bahwa bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan terapi
antibiotik, malah pemberian antibiotik dapat menambah risiko komplikasi antara lain
meningkatkan rekurensi pada 80% kasus. Kuman komensal dan virulensi rendah pada
saluran kemih dapat menghambat invasi kuman patogen, dengan demikian kuman
komensal tersebut dianggap berfungsi sebagai profilaksis biologik terhadap kolonisasi
kuman patogen.
Pengobatan suportif
Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga perlu
diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan harus
adekuat untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar dapat disuruh
untuk mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene perineum perlu
ditekankan terutama pada anak perempuan. Untuk mengatasi disuria dapat diberikan
fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan dosis 7 – 10 mg/ kgbb/hari. Perawatan dirumah
sakit diperlukan bagi pasien sakit berat seperti demam tinggi, muntah, sakit perut
maupun sakit pinggang.
Pemberian profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah
digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap berulangnya
pielonefritis akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada
anak risiko tinggi seperti RVU, uropati obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi
lainnya. Namun demikian, efektivitas antibiotik profilaksis ini sering dipertanyakan
dan masih kontroversial.
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah
terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas antibiotik
profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari
50% yang mengalami infeksi berulang selama pengamatan 5 tahun. Antibiotik
profilaksis dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam
urin tetapi dengan efek yang minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa
antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis.
Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan
yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya reaksi simpang (gangguan
saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-
Johnson), dan tidak nyaman untuk pasien.
Beberapa penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa pada RVU derajat rendah,
tidak terdapat perbedaan bermakna dalam risiko terjadinya ISK pada kelompok yang
mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati. Dengan demikian,
antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah.
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai penelitan tentang
pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa kesimpulan, meskipun masih
banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik profilaksis tidak
terindikasi pada ISK demam yang pertama kali (first febrile UTI) yang tidak disertai
RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap kesimpulan ini yaitu: a.
penelitian metaanalisis menunjukkan tidak ada keuntungan pemberian antibiotik
profilaksis. b. terdapat risiko meningkatnya resistensi terhadap bakteri. c. frekuensi
terjadinya reinfeksi rendah. 2. Untuk refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil
kesimpulan yang jelas, dengan alasan: a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU
derajat III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis
membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan yang
bermakna pada kelompok ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian
tersebut tidak mencukupi.
Resistensi
Resistensi adalah kegagalan antibiotik membunuh bakteri sehingga bakteri masih
berkembang di dalam tubuh dan bakteri tidak mampu berubah menjadi inaktif
(Kuswandi, 2011). Penggunaan antibiotik yang sering akan mempengaruhi
perkembangan bakteri. Bakteri pada pasien ISK akan menghasilkan beta laktamase
yang berakibat pada resistensi bakteri. Faktor virulensi berperan pada interaksi antara
Escherichia coli dan inangnya, faktor virulensi sebagai kolonisasi, proliferasi, dan
masa transisi untuk infeksi yang berat (Pobiega et al., 2013). Resistensi dapat terjadi
selama pengobatan dengan antibiotik karena bakteri memilki gen resisten. Bakteri
memiliki gen resisten yang berasal dari:
a. Mutasi spontan merupakan proses internal, yaitu perubahan gen normal bakteri itu
sendiri (mengalami mutasi).
b. Bakteri yang mampu memproduksi antibiotik sendiri.
c. Gen resisten dari hewan.
d. Gen resisten dari lingkungan.
e. Gen resisten manusia pindah dari satu tempat ke tempat lain (Kuswandi, 2011).
Penyebab resistensi bakteri dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ekspresi gen yang meningkat akan menghasilkan protein yang sangat banyak.
Misalnya, bakteri yang telah resisten terhadap penisilin dan turunannya mengandung
beta laktamase yang tinggi, tetapi jumlah yang diproduksi oleh mutan-mutan tidak
sama antara mutan satu dengan mutan lainnya.
b. Ekspresi gen yang ditekan menyebabkan produk protein yang dikode oleh gen
tersebut akan menjadi sedikit. Sebaliknya sel akan memproduksi protein baru lebih
banyak dilihat dari profil protein penyusun dinding sel (Kuswandi, 2011).
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 304-308
Unit Kerja Koordinator Nefrologi IDAI, 2011, Buku Konsensus Infeksi Saluran
Kemih pada Anak, Unit Kerja Koordinator Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
Hickling, D., Sun, T. and Wu, X., 2015. Anatomy and Physiology of the Urinary
Tract: Relation to Host Defense and Microbial Infection. Microbiology
Spectrum, 3(4).