Anda di halaman 1dari 22

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT

TALASEMIA PADA ANAK

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Anak II


Dosen Pembimbing
Yusi Sofiyah, M.Kep., Ns., Sp.Kep.An.

Kelompok 2
Aprilia Sartika Suratman 302018064
Salsa Yustikarani 302018067
Dhoni Moch Insan Maulana 302018068
Majid Nugraha 302018069
Fikri Nurul Padhli 302018071
Chikal Senjadea 302018072
Indah Fitriyani Sahroni 302018073
Aini Novitasari 302018111

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
JL. KH. Ahmad Dahlan (Banteng Dalam) No. 6 Bandung
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat yang tiada terhitung
jumlahnya. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tercurahkan ke pada Nabi
Muhammad SAW. Khususnya kepada penyusun serta selalu memberikan hidayah
dan inayahnya sehingga penyusun dapat membuat makalah ini dengan penuh rasa
syukur dan dapat mengumpulkan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah yang penyusun buat ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Anak II. Dalam penyusunanya pun penyusun mendapat dukungan
dari staf dosen, teman-teman, referensi buku, dan yang bersangkutan.
Adapun makalah yang penyusun buat belum sepenuhnya sempurna, sehingga
penyusun dengan lapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun sehingga dikemudian hari penyusun dapat membuat makalah
jauh lebih baik dari makalah ini.
Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca serta
menjadi inspirasi bagi pembaca. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
pembuatan makalah ini.

Bandung, 02 Desember 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Talasemia merupakan salah satu penyakit kelainan darah genetik yang cukup
banyak diderita oleh masyarakat di dunia. Indonesia termasuk salah satu negara
dalam sabuk talasemia dunia, artinya negara dengan frekuensi gen (angka
pembawa sifat) talasemia yang tinggi. Saat ini, terdapat lebih dari 10.531 pasien
talasemia di Indonesia, dan diperkirakan 2.500 bayi baru lahir dengan talasemia
setiap tahunnya di Indonesia. Tahun 2016, prevalensi talasemia mayor di
Indonesia berdasarkan data UKK Hematologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
mencapai jumlah 9.121 orang. Berdasarkan data Yayasan Talasemia
Indonesia/Perhimpunan Orang Tua Penderita (YTI/POPTI) diketahui bahwa
penyandang talasemia di Indonesia mengalami peningkatan dari 4.896
penyandang di tahun 2012 menjadi 9.028 penyandang pada tahun 2018. Angka
kejadian pembawa sifat talasemia banyak terdapat di daerah-daerah seperti
Mediterania, Timur Tengah, Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan Cina Selatan.
Migrasi penduduk dari daerah-daerah pembawa sifat tersebut ke daerah lainnya
akan menyebabkan peningkatan jumlah penyandang talasemia dengan pesat.
(KEMENKES, 2019)

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut.
Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di
daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan
pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau
eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama
penemunya (Ganie, 2005).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat
membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak
atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H.
2008 dan Tamam.M. 2009). Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah
merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga
memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari
persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah
suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia
normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2
= 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).
Talasemia adalah penyakit bawaan dimana sistem tubuh penderitanya tidak
mampu memproduksi hemoglobin yang normal (Pudjilestari, 2003). Sindrom
talasemia merupakan kelompok heterogen kelainan mendelian yang ditandai oleh
defek yang menyebabkan berkurangnya sintesis rantai α- atau β-globin (Mitcheel,
2009).
B. Etiologi
Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orang tua kepada
anaknya. Anak yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu orang tua dan gen
normal dari orang tua lain adalah seorang pembawa (carries). Anak yang mewarisi
gen dari kedua orang tuanya menderita thalasemia sedang sampai berat. (Muncie
& Campbell, 2009)
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang
diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari
kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya
menjadi pembawa tetapi tidakmenunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena 2jenis
yang utama adalah:
1. Alfa – Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa – Thalasemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam
(25%minimal membawa 1 gen).
2. Beta – Thalasemia (melibatkan rantai beta)
Beta – Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara.
C. Klasifikasi
1. Talasemia minor
Pada talasemia β minor, terdapat sebuah gen globin β yang normal dan
sebuah gen abnormal. Elektroforesis hemoglobin (Hb) normal, tetapi
hemoglobin A2 (hemoglobin radimeter yang tidak diketahui fungsinya)
meningkat dari 2% menjadi 4-6%.
Pada talasemia α minor, elektroforesis Hb dan kadar HbA2 normal.
Dianosis ditegakkan dengan menyingkirkan talasemia β minor dan defisiensi
besi.
Kedua keadaan minor ini mengalami anemia ringan (Hb 10.0-12.0 g/dL dan
MCV = 65-70 fL). Pasangan dari orang-orang dengan talasemia minor harus
diperiksa. Karena kerier minor pada kedua pasangan dapat menghasilkan
keturunan dengan talasemia mayor.
2. Talasemia mayor
Talasemia mayor adalah penyakit yang mengancam jiwa. Talasemia mayor
β disebabkan oleh mutasi titik (kadang-kadang delesi) pada kedua gen globin
β, menyebabkan terjadinya anemia simtomatik pada usia 6-12 bulan, seiring
dengan turunnya kadar hemoglobin fetal. Anak-anak yang tidak diterapi
memiliki postur tubuh yang kurus, mengalami penebalan tulang tengkorak,
splenomegali, ulkus pada kaki, dan gambaran patognomonik „hair on end‟
pada foto tengkorak. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia
mikrositik berat, terdapat sel terget dan sel darah merah berinti pada darah
perifer, dan titik terdapat HbA. Transfusi darah, untuk mempertahankan kadar
hemoglobin normal dan menekan produksi sel darah merah Kadar hemoglobin
normal dan menekan produksi sel darah merah abnormal, akan menghasilkan
perkembangan fisik yang normal. Kelebihan besi karena seringnya transfusi
menyebabkan kecacatan serius dan kematian pada usia 25 tahun, kecuali bila
dicegah dengan menggunakan desferioksamin. Kebanyakan pasien talasemia
yang diterapi dengan baik bertahan sampai usia 30 dan 40 tahun. Tranplantasi
sumsum tulang depat dipertimbangkan jika ditemukan donor saudara kandung
yang cocok.
Talasemia α mayor hydrops fetalis) sering kali berakhir dengan kematian
intauterin dan disebabkan oleh delesi keempat gen globin α. Kadang-kadang,
diagnosis ditegakkan lebih awal, jika transfusi darah intrauterin dapat
menyelamatkan hidup. Transfusi seumur hidup penting seperti pada talasemia
β.
3. Talasemia intermedia
Tingkat keparahan dari talasemia berada diantara talasemia minor dan
talasemia mayor. Beberapa kelainan genetik yang berada mendasari keadaan
ini. Yang paling sering adalah talasemia β homozigot di mana satu atau kedua
gen masih memproduksi sejumlah kecil HbA. Delesi pada tiga dari empat gen
globin α (penyakit HbH) menyebabkan gambaran serupa, dengan anemia yang
agak berat sekitar 7-9 s/dL dan splenomegali. Secara definisi, penderita
talasemia intermedia tidak tergantung kepada transfusi. Splenektomi dapat
dilakukan untuk mengurangi anemia (Patrick, 2005).
D. Tanda dan Gejala
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi.
Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk yang lebih
berat, misalnya beta-thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka
terbuka di kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum
tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalandan pembesaran tulang,
terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan
mudah patah. Anak-anak yang menderita thalasemia akan tumbuh lebih lambat
dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang
normal.
Gejala Klinis Thalasemia mayor, gejala klinik telah terlihat sejak anak baru
berumur kurang dari 1 tahun, yaitu:
1. Jaundice
2. Splenomegali
3. Tulang frontal menonjol
4. Berat badan kurang
5. Tidak dapat hidup tanpa transfuse

Thalasemia intermedia ditandai oleh anemia mikrositik, bentuk heterozigot.


Thalasemia minor/ thalasemia trait ditandai oleh splenomegali, anemia berat,
bentuk homozigot. Pada anak yang sering dijumpai adanya:

1. Gizi buruk
a. Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
b. Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati
(Hepatomegali ), Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma
ringan saja.
2. Gejala khas adalah:
a. Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak
antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
b. Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi
kelabu.
E. Patofisiologi
Konsekuensi berkurangnya sintesis salah satu rantai globin berasal dari kadar
hemoglobin intrasel yang rendah (hipokromia) maupun kelebihan relatif rantai
lainnya.
1. Talasemia-β:
Dengan berkurangnya sintesis β-globin, rantai  tak terikat yang berlebihan
akan membentuk agregat yang sangat tidak stabil dan terjadi karena kerusakan
membran sel; selanjutnya, prekursor sel darah merah dihancurkan dalam
sumsum tulang (eritropoiesis yang tidak efektif) dan sel-sel darah merah yang
abnormal dihilangkan oleh fagosit dalam limpa (hemolisis). Anemia yang berat
menyebabkan ekspansi kompensatorik sumsum eritropoietik yang akhirnya
akan mengenai tulang kortikal dan menyebabkan kelainan skeletal pada anak-
anak yang sedang tumbuh. Eritropoiesis yang tidak efektif juga disertai dengan
absorpsi besi yang berlebihan dari makanan; bersama dengan transfusi darah
yang dilakukan berkali-kali, absorpsi besi yang berlebihan ini akan
menimbulkan kelebihan muatan besi yang berat.
2. Talasemia-alfa
Disebabkan oleh ketidakseimbangan pada sintesis rantai alfa dan non-alfa
(rantai alfa pada bayi; rantai alfa setelah bayi berusia 6 bulan). Rantai alfa yang
bebas akan membentuk tetramer ini akan merusak sel-sel darah merah serta
prekursornya. Rantai alfa yang bebas akan membentuk tetramer yang stabil
(HbBars) dan tetramer ini mengikat oksigen dengan kekuatan (aviditas) yang
berlebihan sehingga terjadi hipoksia jaringan (Mitcheel, 2009).
F. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi
darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam
darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti
hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi
alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma
ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti
leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan
gagal jantung.
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis
hepatis, diabetesmelitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada
hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin.
G. Penatalaksanaan
1. Transfusi darah rutin
2. Splenektomi
3. Transplantasi sel induk hemopoietik merupakan satu-satunya pilihan kuratif
(hanya direkomendasikan untuk anak yang memiliki donor saudara yang
sesuai).
4. Risiko kerusakan organ akibat kelebihan beban zat besi setelah transfusi
rutin dapat diminimalkan dengan pemberian jangka panjang obat kelasi,
seperti desferioksamin, yang berikatan dengan zat besi dan memungkinkan
zat besi diekskresikan kedalam urine (Brooker, 2009).
Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia.
Transfusi darah diberikan bila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g/dl) atau bila
anak mengeluh tidak mau makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari
jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu desferal secara intramuskular
atau intravena.
Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum
didapatkan tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah
tampak, maka splenektomi tidak berguna. Sesudah splenektomi, frekuensi
transfusi darah biasanya menjadi lebih jarang. Diberikan pula bermacam-macam
vitamin, tetapi preparat yang mengandung besi merupakan indikasi kontra
(Rusepno, 1985).
Dilaboratorium klinik, kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan berbagai
cara: diantaranya dengan cara kolorimetrik seperti cara sianmethemoglobin
(HiCN) dan dengan cara oksihemoglobin (HbO2). International committee for
standardization in Haematology (ICSH) menganjurkann pemeriksaan kadar
hemoglobin cara sianmethemoglobin. Cara ini mudah dilakukan, mempunyai
standar yang stabil dan dapat mengukur semua jenis hemoglobin kecuali
sulfhemoglobin. Metoda sahli yang berdasarkan pembentukan hematin asam tidak
dianjurkan lagi, karena mempunyai kesalahan yang sangat besar, alat tidak dapat
distandardisasi dan tidak semua jenis hemoglobin diubah menjadi hematin asam,
seperti karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin.
1. Laboratorium
Kelainan morfologi erotrosit pada penderita thalassemia beta homozigot
yang tidak di transfusi adalah eksterm di samping hipokronia dan
mikrositosis berat., banyak ditemukan poikilosit yang terfrakmentasi, aneh
(bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah
tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intra eritrositik, yang merupakan
presipitasi dari kelebihan rantai alfa, juga dapat terlihat paska splenektomi.
Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dl kecuali jika
transfusi di berikan. Kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi meningkat.
Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat besi. Gambaran
biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam
eritrosit. Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap terutama
paska splenektomi.
2. Terapi
Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10
g/dl. Regimen hiper transfusi ini mempunyai keuntungan yang memungkinkan
aktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan
masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-tulang
muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis. Transfusi dengan
dosis 15-20 ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya di perlukan
setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah alloimunisasi
dan mencehag reaksi transfusi. Lebih baik di gunakan PRC yang relatif segar
(kurang dari 1 minggu dalam antikoagulan CPD) walaupun dengan ke hati-
hatian yang tinggi, reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat di
minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari darah beku
atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum
transfusi. Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang, yang
tidak dapat di hindari karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg
besi ke jaringan yang tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis. Siderosis
miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan dalam kematian
awal penderita. Hemosiderosis dapat di turunkan atau bahkan di cegah dengan
pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating drugs) deferoksamin,
yang membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam urin. Kadar
deferoksamin darah yang di pertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi
yang memadai. Obat ini diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan
menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6 malam/minggu
penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin
serum kurang dari 1000 ng/mL yang benar-benar di bawah nilai toksik.
Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan
efektif serupa dengan deferoksamin. Terapi hipertransfusi mencegah
splenomegali masif yang di sebabkan oleh eritropoesis ekstra medular. Namun
splenektomi akhirnya di perlukan karena ukuran organ tersebut atau karena
hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah
sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas
dan harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi
adalah meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur
hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya
merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk
mempertimbangkan splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin
hepatitis B, vaksin Hinfluensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus
diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum
tulang (CST) adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan
yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima transfusi
sangat banyak. Prosedur ini membawa resiko morbiditas dan mortalitas dan
biasanya hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung
yang sehat (yang tidak terkena) yang histokompatibel.
H. Pemeriksaan penunjang
1. Rjwayat keluarga dan klinis
2. Hb, MCV, MCH, hitung eritrosit, apus darah
3. Tes solubilitas untuk HbS
4. Elektroforesis Hb: kadar HbS dan HbA2. (Jack, 2003)
5. Darah tepi:
a. Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
b. Gambaran morfologi eritrosit: mikrositik hipokromik, sel target,
anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi,
basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target.
Gambaran ini lebih kurang khas.
c. Retikulosit meningkat.
6. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis):
a. Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis
asidofil.
b. Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
7. Pemeriksaan khusus: Hb F meningkat: 20%-90% Hb total
a. Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
b. Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor
merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb
total).
8. Pemeriksaan lain:
a. Foto Ro tulang kepala: gambaran hair on end, korteks menipis, diploe
melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks.
b. Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang
sehingga trabekula tampak jelas.
BAB III
ASUSAHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah
(mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri,
thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit
darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia
minor yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada
umur sekitar 4 – 6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi
sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia
jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor.
Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan
dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan
ketiak. Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis
thalasemia minor sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.
7. Riwayat kesehatan
Keluarga Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah
orang tua yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita
thalassemia, maka anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena
itu, konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk
mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.
8. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat.
Apabila diduga faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko
yang mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan
diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
9. Data keadaan fisik
Anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
a. Keadaan umum Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta
tidak selincah aanak seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka Anak yang belum/tidak mendapatkan
pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk
mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung,
jarak kedua mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
e. Dada Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat
adanya pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik
f. Perut Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran
limpa dan hati (hepatosplemagali). Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil
untuk umurnya dan BB nya kurang dari normal. Ukuran fisik anak
terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
g. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas Ada
keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan
rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat
mencapai tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
h. Kulit Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering
mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi
akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
O2 dan kebutuhan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna
makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah normal.
4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat,
penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
C. Intervensi
1. Dx: Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel
Kriteria hasil:
a. Tidak terjadi palpitasi
b. Kulit tidak pucat
c. Membran mukosa lembab
d. Keluaran urine adekuat
e. Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
f. Tidak terjadi perubahan tekanan darah
g. Orientasi klien baik.
Intervensi:
a. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran
mukosa, dasar kuku.
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada
pasien dengan hipotensi).
c. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
d. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan
memori, bingung.
e. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh
hangat sesuai indikasi.
f. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
g. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
h. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
2. Dx: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil:
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi,
pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas.
b. Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
c. Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
d. Berikan lingkungan yang tenang.
e. Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
f. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
g. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
h. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
i. Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
j. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas
sesuai toleransi.
k. Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
3. Dx: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna
makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah normal.
Kriteria hasil:
a. Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
b. Tidak ada malnutrisi.
Intervensi:
a. Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
b. Observasi dan catat masukan makanan pasien.
c. Timbang BB tiap hari.
d. Beri makanan sedikit tapi sering.
e. Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang
berhubungan.
f. Pertahankan higiene mulut yang baik.
g. Kolaborasi dengan ahli gizi.
h. Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin,
Protein, dll.
i. Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian
Fe tidak dianjurkan.
4. Dx: Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi
dan neurologis.
Kriteria hasil:
Kulit utuh
Intervensi:
a. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna,
aritema dan ekskoriasi.
b. Ubah posisi secara periodik.
c. Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
5. Dx: Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat,
penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil:
a. Tidak ada demam
b. Tidak ada drainage purulen atau eritema
c. Ada peningkatan penyembuhan luka
Intervensi:
a. Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b. Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c. Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d. Pantau dan batasi pengunjung.
e. Pantau tanda-tanda vital.
f. Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
6. Dx: Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
Kriteris hasil:
a. Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana
pengobatan.
b. Mengidentifikasi faktor penyebab.
c. Melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi:
a. Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.
b. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya
thalasemia.
c. Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara
psikologis.
d. Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan
janin melalui air ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk
tidak menikah dengan sesama penderita thalasemia, baik mayor maupun
minor.

BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Suryanah. 1996. Keperawatan Anak untuk Siswa SPK. Jakarta : EGC


Muscari, Mary E. 2005. Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Pudjilestari, Indrijati. 2003. Merawat Balita Sampai Lima Tahun. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mitcheel, Kumar dkk. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
Brooker, Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC
Insley, Jack. 2003. Vade-mecum Pediatri. Jakarta : EGC
Sudayo, Aru. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ( Ed.5, Jilid II ). Jakarta :
Interna Publishing.
Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi ( Ed.4 ). Jakarta : EGC.
Mehta, Atul. B. 2006. At a Glance Hematologi. Jakarta : Erlangga.
Long, Barbara. C. Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses
keperawatan). Bandung : YIAPKP.
Smeltzer, Suzanne.C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Bruner &
Suddarth. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai