Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

1. PENGERTIAN

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren/ persepsi palsu.
Halusinasi adalah gangguan persepsi yang menyebabkan seseorang melihat,
mendengar, atau mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi bisa
disebabkan oleh gangguan mental, penyakit tertentu, atau efek samping obat-
obatan.
Halusinasi juga bisa disertai oleh delusi, yaitu keyakinan terhadap sesuatu
yang tidak ada atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Misalnya,
seseorang merasa memiliki kekuasaan dan sangat dekat dengan orang-orang
terkenal, padahal pada kenyataannya tidak. Halusinasi yang disertai delusi
biasanya dialami oleh penderita psikosis dan skizofrenia.
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah dan
dapat didefenisikan sebagai terganggunya proses sensori seseorang, dimana
tidak terdapat stimulus.

2. RENTANG RESPON

Menurut Stuart dan Laraia (2011), halusinasi merupakan salah satu respon
maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pikiran logis: yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2. Persepsi akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra
yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang
sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3. Emosi konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek
keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung
tidak lama.
4. Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan
budaya umum yang berlaku.
5. Hubungan social harmonis: yaitu hubungan yang dinamis menyangkut
hubungan antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam
bentuk kerjasama.
6. Proses pikir kadang terganggu (ilusi): yaitu menifestasi dari persepsi
impuls eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran
sensorik pada area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan
kejadian yang telah dialami sebelumnya.
7. Emosi berlebihan atau kurang: yaitu menifestasi perasaan atau afek
keluar berlebihan atau kurang.
8. Perilaku tidak sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa tindakan
nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma
social atau budaya umum yang berlaku.
9. Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata
dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma
sosial atau budaya umum yang berlaku.
10. Menarik diri: yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
11. Isolasi sosial: menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam
berinteraksi.
3. FAKTOR PREDISPOSISI

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:


a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah
frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku
psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung
oleh otopsi (post-mortem).

b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana
alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Stuart (2011), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.

5. MANIFESTASI KLINIS

1. Bicara, senyum dan tertawa sendiri.


2. Mengatakan mendengar suara, melihat, mengecap, mencium dan merasa
sesuatu tidak nyata.
3. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
4. Tidak dapat membedakan hal nyata dan tidak nyata.
5. Tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi.
6. Pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal.
7. Sikap curiga.
8. Menarik diri, menghindar dari orang lain.
9. Sulit membuat keputusan, ketakutan.
10. Tidak mampu melakukan asuhan mandiri.
11. Mudah tersinggung dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
12. Muka merah dan kadang pucat.
13. Ekspresi wajah tenang.
14. Tekanan Darah meningkat, Nadi cepat dan banyak keringat.

6. PSIKODINAMIKA
Menurut Isaacs (2012) Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru
dan melibatkan panca indera. Sedangkan Nasution (2013) berpendapat bahwa
halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan
dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya
rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari
luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap
rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat
dibuktikan.
Halusinasi dikatakan dengan gangguan atau perubahan persepsi
dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan
yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren:
persepsi palsu.

Halusinasi berkembang melalui empat fase menurut Stuart (2007),yaitu


sebagai berikut :
1. Fase Pertama
Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap
ini masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik dari fase ini adalah
klien mengalami stress, cemas , perasaan perpisahan, atau bersalah, kesepian
yang memuncak dan dapat di selesaikan. Klien mulai melamun dan
memikirkan hal-hal yang menyenangkan , cara ini menolong sementara.
Perilaku klien meliputi tersenyum atau tertawa tidak sesuai, menggerakan
bibir tanpa suara, penggerak mata cepat, respon verbal yang lambat jika
sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.

2. Fase ke dua
Disebut dengan fase condemming yaitu halusinasi menjadi
menjijikan.Termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik dari fase ini
pengalaman sensori yang menjijikan dan menakutkan kecemasan meningkat,
melamun dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai ada bisikan yang tidak
jelas, klien tidak ingin orang lain tahu dan dapat mengontrolnya.

3. Fase ke tiga
Adalah fase controlling yaitu pengalaman sensori menjadi kuasa.Termasuk
dalam gangguan psikotik. Karakteristik difase ini bisikan, suara, isi halusinasi
semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa
dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku klien difase ini
kemampuan dikendalikan halusinasinya, rentang perhatian lainya beberapa
menit dan detik. Tanda-tanda fisik berup klien berkeringat, tremor, dan tidak
mampu memantau perintah.

4. Fase ke empat
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien kabur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik difase ini halusinasi berubah
menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut,
tidak berdaya, hilang control, dan tidak dapat berhubungan secara nyata
dengan orang lain dilingkungan. Perilaku klien difase ini adalah perilaku teror
akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri,
atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak
mampu berespon lebih dari satu orang.

Jenis-jenis Halusinasi
1. Halusinasi pendengaran
Klien mendengar suara dan bunyi yang tidak berhubungan dengan
stimulus yang nyata dan orang lain tidak mendengarnya.

2. Halusinasi Penglihatan
Klien melihat gambaran yang jelas atau samar -samar tanpa stimulus yang
nyata dan orang lain tidak melihatnya.
3. Halusinasi Penciuman
Klien mencium bau-bau yang muncul dari sumber-sumber tertentu tanpa
stimulus yang nyata dan orang lain tidak menciumnya.
4. Halusinasi Pengecapan
Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan rasa
nyaman atau tidak enak.
5. Halusinasi Perasaan
Klien merasa sesuatu pada kulit tanpa stimulus yang nyata dan orang lain
tidak merasakannya.

7. MEKANISME KOPING
1. Adaptif :
a. Klien berbicara dengan orang lain
b. Klien dapat melakukan teknik relaksasi dan akktifitas konstruktif.

2. Maladaptif :
a. Menghindar masalah
b. Mengamuk
c. Mencederai orang lain

8. SUMBER KOPING
Koping meliputi :
1. Aset ekonomi
2. Kemampuan dan keahlian
3. Tehnik defensif
4. Sumber sosial
5. Motivasi
6. Kesehatan dan energi
7. Kepercayaan
8. Kemampuan memecahkan masalah
9. Kemampuan sosial
10. Sumber sosial dan material
11. Pengetahuan
12. Stabilitas budaya

Sumber koping yang dapat dilakukan pasien dengan halusinasi adalah:


1. Personal ability : Ketidakmampuan memecahkan masalah, ada gangguan
dari kesehatan fisiknya, ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain.
2. Social support : Hubungan antara individu, keluarga, kelompok,
masyarakat tidak adekuat, komitmen dengan jaringan sosial tidak adekuat.
3. Material asset : Ketidakmampuan mengelola kekayaan, misalnya boros
atau pelit, tidak mempunyai uang untuk berobat tidak ada tabungan, tidak
memiliki kekayaan dalam bentuk barang, tidak ada pelayanan kesehatan
dekat tempat tinggal.

9. PENATALAKSANAAN
Terapi dalam jiwa bukan hanya meliputi pengobatan dan farmakologi,
tetapi juga pemberian psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan
gejala atau penyakit klien yang akan mendukung penyembuhan klien jiwa.
Pada terapi tersebut juga harus dengan dukungan keluarga dan sosial akan
memberikan peningkatan penyembuhan karena klien akan merasa berguna
dalam masyarakat dan tidak merasa diasingkan dengan penyakit yang di
alaminya (Kusmawati & Hartono, 2010).

1. Psikofarmakologis
Farmakoterapi adalah pemberian terapi dengan menggunakan obat.
Obat yang digunakan untuk gangguan jiwa disebut dengan psikofarmaka
atau psikotropika atau pherentropika. Terapi gangguan jiwa dengan
menggunakan obat-obatan disebut dengan psikofarmakoterpi atau
medikasi psikotropika yaitu obat yang mempunyai efek terapeutik
langsung pada proses mental penderita karena kerjanya pada otak / sistem
saraf pusat. Obat bias berupa haloperidol, Alprazolam, Cpoz,
Trihexphendyl.

2. Terapi Somatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
ganggua jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladatif menjadi
perilaku adaptif dengan melakuakn tindakan yang di tujukan pada kondisi
fisik kien.Walaupun yang di beri perilaku adalah fisik klien,tetapi target
adalah perilaku klien. Jenis somatic adalah meliputi pengingkatan, terapi
kejang listrik,isolasi, dan fototerapi.
a. Pengikatan
Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk
melindungi cedera fisik sendiri atau orang lain.
b. Terapi kejang listrik / Elekrto convulsive Therapy (ECT)
Adalah bentuk terapi pada klien dengan menimbulkan kejang
(grandma) dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2- 8joule)
melalui elektroda yang ditempelkan beberapa detik pada pelipis kiri /
kanan (lobus frontal) klien (Stuart, 2007).

3. Terapi Modalitas
Terapi Modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan
jiwa. Tetapi diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dan perilaku
yang maladaftif menjadi perilaku adaftif.Jenis terapi modalitas meliputi
psikoanalisis, psikoterapi.terapi perilaku kelompok, terapi keluarga, terapi
rehabilitas, terapi psikodrama, terapi lingkungan (Stuart, 2007).

10. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan sensori persepsi : Halusinasi pendengaran
2. Defisit perawatan diri

11. FOKUS INTERVENSI

1. Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi Pendengaran


a. Tum : Klien dapat mengontrol terjadinya halusinasi
b. Tuk :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengenal halusinasi.
3) Klien dapat mengontrol halusinasi.
4) Klien memilih cara mengatasi seperti yang telah di diskusikan.
5) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
6) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

c. Intervensi
1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip
komunikasi terapeutik.
2) Sapa klien dengan ramah.
3) Perkenalkan diri dengan sopan.
4) Tanya nama lengkap klien.
5) Jelaskan tujuan pertemuan.
6) Jujur dan tepati janji.
7) Tunjukan sikap empati.
8) Beri perhatian pada klien.
9) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasi.
10) Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi.
11) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang di lakukan jika
terjadi halusinasi.
12) Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian.
13) Diskusikan cara lain memutus mengontrol halusinasi.
14) Bantu klien melatih cara memutuskan halusinasi.
15) Beri kesempatan untuk melakukan cara yang di latih
16) Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami
halusinasi.
17) Diskusikan dengan keluarga pada saat berkunjung tentang gejala
halusinasi yang di alami.
18) Cara yang dapat dilakukan klien memutuskan halusinasi.
19) Cara merawat halusinasi di rumah, beri kegiatan, jangan biarkan
sendiri.
20) Beri informent karena sudah berinteraksi.
21) Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis,frekeunsi dan
manfaat obat.
22) Anjurkan klien meminta obat sendiri pada perawat dan merasakan
manfaat.
23) Anjurkan klien bicara minta pada dokter tentang manfaat,efek
samping obat.
24) Bantu klien minum obat.

Daftar Pustaka
Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Maramis, W.f. 2013. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga
University Press.
Rasmun. 2011. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan
Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2016. Buku Saku Keperawatan
Jiwa (Terjemahan). Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai