Anda di halaman 1dari 59

IS AL LAPORAN KASUS

RINIT ERGI PERSISTEN SEDANG/BERAT,


FARINGITIS KRONIS HIPERPLASIA DAN
DEVIASI SEPTUM NASI DEXTRA

Nama : Abdul Siddiq Bin Rahani


NIM : 11-2017-116

Pembimbing:
dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan Jakarta Pusat

1
LEMBAR PENGESAHAN
Periode 23 April – 26 Mei 2018

NAMA : Abdul Siddiq Bin Rahani (11-2017-116)

PERIODE : 23 April – 26 Mei 2018

JUDUL : Rinitis Alergi Persisten Sedang/Berat,


Faringitis Kronis Hiperplasia Dan Deviasi
Septum Nasi Dextra

TANGGAL PRESENTASI : 15 Mei 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

Jakarta, 15 Mei 2018


Yang Mengesahkan,

Dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan ridho-NYA saya dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul ” RINITIS ALERGI PERSISTEN

SEDANG/BERAT, FARINGITIS KRONIS HIPERPLASIA DAN DEVIASI


SEPTUM NASI DEXTRA”.
Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui tentang dengan lebih mendalam
mengenai infeksi kronis pada hidung dan tenggorokan serta penatalaksanaanya.
Saya menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan dan
masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang
lingkup Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan
laporan kasus ini.
Saya mengucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di Departemen THT
RSUD Tarakan Jakarta Pusat, atas ilmu dan bimbingannya selama ini. Semoga laporan kasus
ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 17 Mei 2018.

3
BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik
dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain lain. Virus dan bakteri melakukan
invasi ke faring dan meninbulkan reaksi inflamasi lokal. 2 Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis
kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di
faring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap
yang meransang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik
adalah pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rogga hidung tetapi pada orang dewasa
biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak
akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada
satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi. 1

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

2.1.1. Anatomi Faring


Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :
1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole,
ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. 1 Nasofaring
yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting
misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang
disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba
eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan
nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris
dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.1

2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah
tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum. 1

a. Dinding Posterior Faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus. 1

b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat
suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan

5
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi
oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-
benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.1

c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. 1
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus.
Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri
dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi dapat terjadi di
antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum
mole sebagai abses peritonsilar. 1

3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat
ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada
tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago
tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior

6
adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di
bawahnya terdapat muara esophagus. 1
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa
orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak
menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan
laring pada tindakan laringoskopi langsung. 1

2.1.2. Fungsi Faring


1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral, fase
faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke
faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu
transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja
(involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltic di esofagus menuju lambung. 1
2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-
mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine
bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring
m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai
dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of)
Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam mekanisme,

7
yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m,palatofaring (bersama
m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin
kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang
berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pda periode fonasi, tetapi ada
pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum. 1

2.1.3. Anatomi Esofagus


Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke lambung.
Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari batas bawah tulang rawan
krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan sepanjang leher, mediastinum superior dan
posterior, di depan vertebra servikal dan torakal, dan berakhir pada orifisium kardia lambung
setinggi vertebra Th.XI. Melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi vertebra Th.X.1
Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan memiliki
dua sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus atas merupakan daerah
bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago krikoid. Fungsinya
mempertahankan tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa dan muntah. Meskipun sfingter
esofagus atas bukan merupakan barrier pertama terhadap refluks, namun dia berfungsi juga
untuk mencegah refluks keluar dari esofagus proksimal menuju ke hipofaring.1
Sfingter bawah esophagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-3 cm pada
pernafasan normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam, merupakan daerah
bertekanan tinggi yang berada setinggi diafragma. Sfingter ini berfungsi mempertahankan
tonus waktu menelan dan relaksasi saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung serta
mencegah refluks. Relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa.
Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen :1
1) Segmen servikalis 5-6 cm ( C.VI-Th. I )
2) Segmen torakalis 16-18 cm ( Th. I-V )
3) Segmen diafragmatika 1-1,5 cm ( Th. X )
4) Segmen abdominalis 2,5-3 cm ( Th. XI )
Esofagus memiliki beberapa daerah penyempitan :
1) Daerah krikofaringeal, setinggi C. VI
Daerah ini disebut juga Bab el Mandeb / Gate of Tear, merupakan bagian yang paling
sempit, mudah terjadi perforasi sehingga paling ditakuti ahli esofagoskopi.

8
2) Daerah aorta, setinggi Th. IV
3) Daerah bronkus kiri, setinggi Th. V
4) Daerah diafragma, setinggi Th. X .

2.1.4. Fisiologi Menelan :


Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegah
terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat masuknya bolus makanan
ke dalam faring pada saat respirasi, (4) mencegah masuknya maknan dan minuman ke dalam
nasofaring dan laring, (5) kerjasama yang baik dari otot-otot rongga mulut untuk mendorong
bolus makanan ke arah lambung, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses
menelan di mulut, faring dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara
berkesinambungan.3

Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : fase oral, fase faringeal dan fase esofageal.
A. Fase Oral
Fase oral terjadi secara “sadar”. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan
liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum
lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah. 3
Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah
diperluas, palatum mole terangkat dan pada bagian atas dinding posterior faring (Passavants
ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli
palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium
tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut. 3

B. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi
m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring. 3
Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepiglotika
dan m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini juga terjadi penghentian aliran udara ke laring
karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke
9
dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena
valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus. 3

Gambar 1. Fisiologi Menelan.3

C. Fase Esofageal
Fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke lambung.
Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus
makanan pada akhir fase faringal, maka terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus
esophagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esophagus.
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi
tonus introitus esophagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke
faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.
Gerak bolus makanan di esophagus bagian atas masih dipenngaruhi oleh kontraksi m.
konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus mkanan akan didorong
ke distal ole gerakan peristaltic esophagus.
Dalam keadaan istirahat sfingter esophagus bagian bawah selalu tertutup dengan
tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi
regurgitasi isi lambung.
Pada akhir fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara reflek ketika dimulainya
peristaltik esophagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah
bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.3

10
2.1.5. Anatomi Hidung
2.1.5.1. Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar
seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6)
lubang hidung (nares anterior). 1 Hidung terhubug dengan os frontale dan maksila melalui
pangkal hidung yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada
dasar hidung dan memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada
keadaan rhinophyma.2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) ,
2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior
kartilago septum. 1

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung.2

2.1.5.2. Anatomi Hidung Dalam


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian

11
dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror,
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 4
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
1
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 1
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. 1

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi.2


Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus

12
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan
os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 1

2.1.6. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara
(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleks nasal. 1

13
2.2. Penyakit-penyakit

2.2.1. Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.Virus dan bakteri melakukan
invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bakteri group A
Streptokokus B hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena
bakteri ini melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik,
kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut. Bakteri ini banyak menyerang anak usia
sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi
melalui sekret hidung dan ludah.1
Faktor risiko dari faringitis yaitu:
 Cuaca dingin dan musim flu
 Kontak dengan pasien penderita faringitis karena penyakit ini dapat menular melalui
udara
 Merokok, atau terpajan oleh asap rokok
 Infeksi sinus yang berulang
 Alergi

2.2.1.1. Faringitis Akut


2.2.1.1.1. Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis.1
2.2.1.1.1.1. Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda faringitis viral adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorokan, sulit menelan.Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.Virus
influenza, coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.Coxachievirus
dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa mauclopapular
rash.Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak.Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang
disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.Terdapat pembesaran kelenjar limfa di
seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.Faringitis yang disebabkan
HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam.Pada

14
pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan
pasien tampak lemah.

2.2.1.1.1.2.Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika jika perlu dan
tablet isap. Antivirus metisoprinol diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5
tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari. 1

2.2.1.1.2. Faringitis Bakterial


Infeksi grup A streptokokus  hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).1
2.2.1.1.2.1.Gejala
Nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang
tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring.Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri
pada penekanan. 1
2.2.1.1.2.2.Terapi
Antibiotik diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A streptokokus 
hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB IM dosis tunggal, atau amoxicillin 50
mb/kgBB dosis dibagi 3x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x 500 mg selama 6-10 hari
atau eritromisin 4x 500 mg/ hari.1

2.2.1.2. Faringitis Kronik


Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
Faktor predisposisi poses radang kronik di faring ini ialah
1. Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik, mukus purulen
secara konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber infeksi yang konstan. Tonsilitis
kronik dan sepsis dental juga bertanggung jawab dalam menyebabkan faringitis kronik
dan odinofagia yang rekuren.
2. Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos faring ke udara
yang tidak difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga
menyebabkan lebih mudah terinfeksi. Bernapas melalui mulut biasa disebabkan oleh :

15
a. Obstruksi hidung
b. Obstruksi nasofaring
c. Gigi yang menonjol
d. Kebiasaan. 1
3. Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau, peminum minuma
keras. Makanan yang sangat pedas
4. Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap industri
5. Faulty voice production. 1

2.2.1.2.1. Faringitis Kronik Hiperplasia


Pada faringitis kronik hiperplasia terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasia.Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.
2.2.1.2.1.1. Gejala
Rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari tenggorokan. Batuk serta
perasaan mengganjal di tenggorokan.
2.2.1.2.1.2. Terapi
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan
nitras argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet
isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.Penyakit di hidung
dan sinus paranasal harus diobati. 1

2.2.1.2.2. Faringitis Kronik Atropi


Faringitis kronik atropi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring. 1
2.2.1.2.2.1. Gejala
Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau.Pada pemeriksaan
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.1
2.2.1.2.2.2. Terapi
Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi
ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.1

16
2.2.2. Rhinitis Alergi

2.2.2.1 Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (von Pirquet, 1986).3
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.3
Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini
diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun
bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma,
konjungtivitis dan rhinosinusitis.4

2.2.2.2 Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik
memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 –
30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka
risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi
yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara
genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen
inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain. 3

2.2.2.3 Prevalensi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi, diperkirakan mencapai
prevalensi 5-22%.4Rhinitis alergi telah menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai
lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama
pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan
banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang
tidak terhitung pada survey resmi.4

17
2.2.2.4 Faktor risiko untuk Rhinitis Alergi (RA) dan sensitisasi allergen
 Studi Populasi Genetik
Meskipun basis genetik AR telah dievaluasi secara intensif, seluruh profil herediter AR
belum sepenuhnya diklarifikasi karena penyakit alergi akibat interaksi yang kompleks
antara gen dan lingkungan serta umur yang terpapar [mis. untuk gen GSTP1]. Studi harus
memiliki ukuran sampel yang lebih besar untuk mendeteksi efek interaksi gen-gen dan
peran lingkungan dalam ekspresi penyakit. Dalam studi kohort longitudinal, frekuensi alel
dari 39 tunggal polimorfisme nukleotida (SNPs) diselidiki hubungan dengan fenotip alergi
yang tepat dari tiga genomewide metastudies di Swedia . Di antara mereka, 12 SNPs
ditemukan berhubungan dengan AR. Lokus TLR6-TLR1 mungkin memiliki peran sentral
dalam pengembangan penyakit alergi. Hubungan antara variasi genetik dalam Lokus
SSTR1-MIPOL1 dan TSLP-SLC25A46 saat usia onset adalah laporan pertama tentang
efek onset on-onset pada AR. Studi lain menemukan hubungan yang signifikan antara
lima SNP di lokas kerentanan penyakit 17m21, rs9303277, rs7216389, rs7224129,
rs3744246, dan rs4794820, dan AR di Jepang. Dua studi populasi di Jepang menunjukkan
bahwa mutasi FLG (faktor predisposisi penting untuk dermatitis atopik) adalah faktor
predisposisi yang signifikan untuk demam dengan OR 2,01 (95% CI 1,027-3,936, P
<0,05) (18); dan varian (rs9303277, rs7216389, rs7224129, rs3744246, dan rs4794820)
pada lokus kerentanan penyakit 17q21 juga terkait dengan AR. Selain itu, ekspresi dari
mRNA gen ORMDL3 pada lokus ini secara signifikan meningkat di epitel hidung.
Banyak variasi genetik lainnya, meliputi DNA, atau perubahan profil ekspresi miRNA
telah dilaporkan di hubungan dengan atopi, asma dan atopic dermatitis , yang belum
direplikasi dalam AR.5

 Variasi sensitivitas alergen antar letak geografis yang berbeda


Variasi global yang besar dalam pola sensitisasi alergi menunjukkan bahwa lingkungan
merupakan penentu penting dalam sensitisasi. Studi tentang migrasi memberikan tes
lakmus untuk teori ini sebagai manifestasi alergi harus berubah sebagai Pasien bergerak di
antara area yang berbeda secara geografis. Variasi geografis dalam konsentrasi dari
tungau debu rumah (HDM) alergen di debu rumah, dengan tingkat yang lebih rendah di
daerah yang lebih dingin dan lebih kering dan lebih hangat dan daerah yang lebih lembab
di Eropa. . Toppila-Salmi et al menegaskan bahwa sensitisasi HDM dalam bahasa
Finlandia populasi asma secara signifikan lebih rendah (kurang dari 10% baik pada
penderita asma maupun kontrol sehat), sedangkan sensitivitas poli lebih menonjol

18
daripada monosensitisasi. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah sensitisasi HDM
akan terjadi peningkatan pada orang yang bermigrasi dari garis lintang Utara ke benua
tropis. Andiappan dkk. menunjukkan bahwa 70-80% Singapura-atau orang Cina kelahiran
Malaysia dan kurang dari 20% dari jumlah yang belum lama ini migran dari China peka
terhadap HDM. Monosensitisasi untuk HDM (lebih dari 80%) adalah fenotip khas di
Singapura- atau orang Cina kelahiran Malaysia kurang dari 30% dari jumlah tersebut juga
memiliki sIgE untuk alergen lainnya dan beberapa HDM-sIgEnegative individu bereaksi
terhadap alergen lainnya. Menariknya, migran ke Singapura, sebuah kota tropis semakin
bertambah menjadi peka terhadap HDM dan semakin ditunjukkan gejala AR dan asma.
Lebih dari 40% migrant dari China yang tinggal lebih dari 8 tahun di Singapura memiliki
SPT positif untuk HDM sementara kurang dari 20% dari mereka yang Tinggal selama <3
tahun peka. Gas, debu dan asap, terpapar pekerjaan, dapat bertindak sebagai bahan
pembantu yang memfasilitasi sensitisasi terhadap tungau, dan tungau-peka individu
mungkin sangat rentan terhadap efek inhalasi berbahaya . Post et al menunjukkan sinyal
Ca2 + memainkan peran penting dalam disfungsi penghalang dan pro-inflamasi epitel
bronchial Paparan HDM dan karenanya memiliki implikasi penting untuk perkembangan
asma alergi. Adenosin yang berasal dari serbuk sari, seorang mediator dalam serbuk sari
ragweed, ternyata sangat penting kofaktor pada ragweed-pollen-induced allergic airway
inflammation

 Kontroversi dalam 'atopic march'


Manifestasi penyakit alergi yang umum adalah eksim, AR / rhinokonjungtivitis, dan asma.
Hal ini cenderung muncul pada urutan temporal yang dikenal sebagai 'atopic march', yang
klasik dimulai dengan eksim pada anak usia dini diikuti oleh munculnya asma dan AR di
kemudian hari. Ini mengarah untuk pertanyaan apakah eksim adalah faktor penyebab di
perkembangan penyakit atopik berikutnya, atau apakah ini kondisi klinis manifestasi dari
IgE yang berubah respon sebagai sistem kekebalan tubuh matang. Analisis MeDALL
(Mekanisme Pembangunan) dari ALLergy) yang melibatkan 17 209 anak-anak berusia 4
tahun dan 14.558 anak-anak berusia 8 tahun dari tujuh orang Eropa kohort lahir, secara
statistik mempartisi anak-anak kelompok dan dianalisis pada periode usia kedua. Dua
kelompok diidentifikasi di mana eksim, AR dan asma memiliki signifikan prevalensi yang
lebih tinggi di Grup 2 dibandingkan dengan Kelompok 1 (pada 8 tahun: 27,5%, 49,0% dan
36,9% berbanding 8,0%, 1,8% dan 1,1%). Setelah stratifikasi oleh sensitisasi IgE,
prevalensinya dipertahankan. Studi ini memberikan bukti statistic bahwa trio atopik klasik

19
memang sekelompok komorbiditas alergi namun, pengelompokan trio atopik tidak
tersedia jawaban atas pertanyaan apakah salah satu langkah dari 'March' adalah faktor
penyebab untuk langkah selanjutnya. Penyebabnya Teori itu menarik, karena menyiratkan
bahwa menghentikan langkah pertama 'march' dapat menghambat perkembangan tahap
selanjutnya. Membuktikan hipotesis kausalitas, terutama yang serumit ini, membutuhkan
beberapa pendekatan, termasuk bukti epidemiologis, bukti molekuler dan fisiologis, dan
studi intervensi yang menunjukkan penangkapan perkembangan. Dharmage dkk
melakukan review terhadap 17 longitudinal studi. Studi ini sesuai dalam menunjukkan hal
itu Pasien yang terkena eksim pada masa bayi memiliki kemungkinan lebih tinggi
mengembangkan AR dan asma kemudian, memberikan kuat bukti statistik membuktikan
hubungan temporal dari pawai atopik, tapi itu bukan merupakan bukti kausalitas.
Hipotesis yang berlaku tentang kausalitas eksim sampai selanjutnya Langkah-langkah
berpusat di sekitar penghalang epitel yang rusak yang menyebabkan penetrasi dan
sensitisasi dini terhadap alergen, memulai pawai, hipotesis penghalang kulit). Kita
Menantikan studi mendatang mengenai topik menarik ini.5

 Faktor risiko orang tua


Rinitis alergi (AR) parental terisolasi meningkatkan kemungkinan AR (OR 2.2, 95% CI
1.6-3.2), sedangkan asma terpisah atau eksim tidak memiliki ketiga kondisi atopik (AR,
eksim, dan asma) memberikan peluang tertinggi untuk keturunan AR (OR 5.6, 95% CI
3.8-8.4) dan rhinitis nonallergik (NAR) (OR 4,9, 95% CI 2,8-8,4). Prevalensi AR tertinggi
(37,5%) ada pada anak-anak yang orang tuanya memiliki AR dan NAR. Atopi ayah dan
ibu mengandung kemungkinan atopi yang sama dalam keadaan offsprings Fuertes dkk.
ditemukan dari dua orang besar Jerman kohort kelahiran studi bahwa bahkan jika orang
tua berkembang kondisi atopik ini setelah kelahiran anak, ada Juga merupakan hubungan
positif dengan anak yang sedang berkembang atopic kondisi terutama untuk asma (dan
kurang konsisten begitu untuk AR dan eksim), dan efek dari asosiasi serupa untuk orang
tua dengan atopi prebirth. Andersson dkk. (mengkaji 16 penelitian (25 analisis)
menyelidiki stres ibu prenatal dan menemukan bahwa 21 analisis menunjukkan hubungan
positif antara prenatal stres ibu dan atopi. Dari empat analisis yang dihadapi AR, tiga
ditemukan asosiasi positif dengan OR yang disesuaikan (AOR) berkisar antara 0,96 dan
2,38. Merokok ibu dan tidak adanya menyusui ditemukan menjadi prediktor yang lebih
kuat dari NAR, sedangkan wheeze dan eksim saat ini prediktor kuat AR. Menariknya,
HDM (Der p 1) Alergen ditemukan pada susu manusia dan prima karena alergi sensitisasi

20
pada model tikus asma. Penelitian ini adalah awal studi masa depan untuk
mengidentifikasi dan menentukan apakah Faktor-faktor dalam ASI berkontribusi terhadap
sensitisasi alergi.5

21
 Faktor risiko lain untuk AR dan manifestasi atopik
Kadar serum 25 (OH) D <50 nM adalah terkait dengan peningkatan kejadian AR pada
pria (AOR 2,55, 95% CI 1,01-6,49) dengan masing masing 25 nM reduksi 25 (OH) D
dikaitkan dengan AOR 1,84 (CI 95% 1,18-2,87). Menariknya, asosiasi ini bertolak
belakang wanita, dengan AOR 0,83 (95% CI 0,66-1,05) untuk masing-masing Penurunan
25 nM pada level 25 (OH) D. Tingkat serum vitamin D adalah berbanding terbalik dengan
eksim pada anak-anak dan remaja di Jerman. Data ini bisa mendukung teori vitamin D
memiliki sifat imunomodulator, yaitu juga dilaporkan pada tikus. Sebuah tinjauan
sistematis menemukan bahwa Suplementasi vitamin D mungkin efektif untuk
mencegahnya eksaserbasi asma, namun temuannya perlu dikonfirmasi oleh uji klinis
karena heterogenitas yang signifikan di antara penelitian. Suplementasi vitamin A
neonatal ditemukan dikaitkan dengan peningkatan risiko atopi dan mengi, terutama pada
anak perempuan. Dalam multicentre Eropa studi kohort kelahiran, konsentrasi vitamin E
serum pada 1 tahun Usia tidak berhubungan dengan alergi atau asma pada usia 6 tahun.
Hipotesis keanekaragaman hayati mendalilkan bahwa penurunan eksposur anak untuk
mikrobiota lingkungan akibat kehilangan ruang hijau dan kebersihan yang ditingkatkan
berdampak pada keanekaragaman hayati commensal dan pengaruhnya terhadap toleransi
kekebalan tubuh. Ruokolainenet al. mempelajari hubungan antara jumlah hijau ruang
(kawasan hutan dan pertanian) di sekitar anak-anak yang adalah subyek penelitian dalam
tiga studi Finlandia dan Estonia, dan atopi. Mereka menemukan daerah hijau itu berjarak
2-5 km dari rumah itu berbanding terbalik dan terbalik dengan atopic sensitisasi pada anak
usia 6 tahun ke atas. Ini dapat menunjukkan efek lingkungan pada commensal mikrobiota,
yang juga telah ditunjukkan pada eksim atopik. Ekspresi lahan dan tren waktu di masa
kanak-kanak ditemukan mempengaruhi metilasi DNA terkait asma dan alergi. Di
Polandia, pertanian telah menunjukkan perlindungan efek terhadap ukuran obyektif atopi
dan ini berpotensi terkait dengan kontak dengan gandum atau kegiatan peternakan terkait.
Selanjutnya Sozanska dkk. menunjukkan bahwa efek perlindungan dari ukuran keluarga
yang lebih besar dan urutan kelahiran Atopi jauh lebih kuat pada anak daripada pada
orang dewasa dan di antara mereka yang tinggal di sebuah desa. Hahm dkk. data yang
diambil dari studi ISAAC di Korea Selatan dan menemukan bahwa tinggal di rumah yang
baru dibangun pada masa bayi dikaitkan dengan kemungkinan pengembangan AR yang
lebih tinggi. Pada usia 7-8 tahun (OR 3,09, 95% CI 1,71-5,57). Mereka mendalilkan hal
ini bisa disebabkan oleh konsentrasi bahan kimia yang lebih tinggi, termasuk bahan kimia
organik yang mudah menguap, di bangunan baru. Kelembaban dan jamur di rumah juga

22
terkait dengan AR (OR 1,31, 95% CI 1,07-1,61). Selain itu, paparan traffic-polusi udara
terkait, terutama PM2.5, ditemukan terkait dengan eksim dan demam. Ekspos terhadap
kimia antimikroba, triklosan, dalam produk perawatan pribadi, dikaitkan dengan penyakit
alergi di Norwegia. Merokok dikaitkan dengan tingginya prevalensi penyakit kronis rinitis
pada kedua jenis kelamin namun prevalensi AR rendah pada pria..Rhinitis dikaitkan
dengan penyakit arteri perifer, predictor kejadian serebrovaskular dan kardiovaskular di
masa depan, terlepas dari adanya atopi.5

Gambar 4. Faktor risiko Rinitis Alergi.

2.2.2.5 Patofisiologi

Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-self"
yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh melibatkan limfosit
T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar
sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam
mediator. Gell dan Coombs menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung,
sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi
(rangsangan antibodi dan antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis
alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena
berbagai terapi modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk
memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.5

23
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.3

Gambar 5. Patofisiologi terjadinya reaksi alergi.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofagatau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen PresentingCell/APC) akan menangkap alergen yang menempel
di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5,
dan IL 13.3
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, PlateletActivating Factor (PAF)

24
dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilahyang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 3
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selainhistamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1(ICAM 1).3
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major
Basic Protein (MBP), danEosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen),iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 3

2.2.2.6 Gambaran Histopatologik


Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukaninfiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.3
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1

25
Gambar 6. Cara masuknya alergi.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:3


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan. Misalnya: tungau debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan. Misalnya: susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan. Misalnya: penisilin dan
sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa. Misalnya: bahan
kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial
dan rhinitis alergi.3 Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari:3
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier

26
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

2.2.2.7 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:3
 Rinitisalergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4
musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena
itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak
ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

 Rinitisalergi sepanjangt ahun (perenial)


Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun.Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah
(indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan
jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi :3
 Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
 Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :3
 Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
 Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
27
2.2.2.8 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 3
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi
sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien. 1Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’,
berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.4

Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.3

Gambar 7. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi.

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan
punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
sebagai allergic crease.3

28
Gambar 8. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute.

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue).

Gambar 8. Facies Adenoid.

Gambar 9. Geographic Tongue.

Pemeriksaan Penunjang

29
 In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE
total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada
bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay
Test).3 Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 3

 In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (³Challenge Test´).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama
5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.3

2.2.2.9 Tatalaksana

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.1

 Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

30
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara
lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang
dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat
lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada
efek pada SSP minimal (non-sedatif).1,4 Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan
cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase
lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai
efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi
jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan
bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.1,4 Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun
pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa.1

Tabel 1 . Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

31
Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat topikal
jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis
medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.4
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan
Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis
obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,
diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia
dan iritabilitas.4

c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor.1

d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat
dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit

32
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan
sebagai profilaksis.1

e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.1
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa pseudoephedrine
dan montelukastmemiliki efek yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas
hidup pasien.8

 Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat1
 Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual.1

33
Gambar 10: Alur tatalaksana rhinitis alergi.

34
2.2.3. Rhintis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang
disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk dalam penyakit
rinitis kronis selain rinitis alergika. 8
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang disebabkan
oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis
menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di
9
hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus yang encer. Rinitis
vasomotor dikatakan juga sebagai kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di hidung
menjadi membengkak sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi
hipersekresi. 8

2.2.3.1. Epidemiologi
Sebanyak 30 – 60 % dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun
demikian insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3 – 4. Secara
umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 –21%.8
Dalam suatu penelitian dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non – alergi
dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi
dari kelompok non – alergi dijumpai pada dekade ke 3.8

2.2.3.2. Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 8
 Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
 Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi dan bau yang merangsang.
 Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
 Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

35
2.2.3.3. Patofisiologi
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan
terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf otonom
mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri
hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula
dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler).
Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh
pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial
dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi
dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya
rinorea yang eksesif. 1
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang dikeluarkan sel-
sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin, dan kinin.
Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang
menyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada
sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan
dari peptida ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus
rhinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa
hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rhinitis
vasomotor. Banyak kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi
tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah
perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap
rokok, debu, polusi udara, dan stres (fisik dan psikis). 1
Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara
langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang sel-sel
olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan
berakhir secara primer maupun sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu
daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian
anterior hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang
kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi
dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan
manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor. 1

36
Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem
adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol vaskularisasi
pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita memahami mekanisme
bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga koana
membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis
servikalis menimbulkan vasokonstriksi hidung. 1
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas
mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika. Rinopati
vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi
vasomotor. Reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi
simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai edema
dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rhinitis alergik
dengan rhinitis vasomotor, maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi
dengan pelepasan mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai
peningkatan permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung
serta gejala bersin dan rasa gatal.1
Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar dan meningkatkan sekresi,
sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi
sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja
simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai
peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini
menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal.
Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan
peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada reaksi alergi dan
disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada
reaksi alergi, disebabkan interaksi antigen-antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor
disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom. 1

2.2.3.4. Gejala
Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin. Biasanya penderita
rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin berulang seperti “ staccato“. Biasanya ia
tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis vasomotor. Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi
sistem saraf autonom, tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat

37
disebabkan oleh faktor iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif
terhadap pengaruh hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan
dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada kehamilan segera
menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan dengan keseimbangan hormon.
Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada keluarganya.
Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa. Jarang terjadi bersin dan
rasa gatal. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien.
Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin dan
tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.1

Tabel 3. Perbedaan rhintis alergi dengan rhinitis vasomotor.2

2.2.3.5. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya
rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesa dicari faktor yang
mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis vasomotor dibuat dengan menyingkirkan
kemungkinan lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik pada hidung dengan rinoskopi
anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula
pucat, edema mukosa hidung dan permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada
golongan rinore sekret yang ditemukan serosa yang banyak jumlahnya. 1
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena
dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes
cukit kulit biasanya negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto rontgen,
penebalan membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis.
Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik. 1

38
2.2.3.6. Penatalakasanaan
 Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan
pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa nasal secara
periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan menggunakan semprotan
larutan saline atau alat irigator seperti Grossan irigator. 1
 Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien
dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga
efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah antagonis muskarinik.
Obat yang disarankan seperti Ipratropium bromida, juga terdapat formula topikal dan
atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus
dihindari pada pasien dengan takikardi dan glaukoma sudut sempit. 1
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea
dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh vasoaktif
mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi aktivitas reseptor
asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak
bisa segera, tapi dengan penggunaan jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum
hasil yang diinginkan tercapai. Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason,
Flunisolide dan Fluticasone. Efek samping dengan steroid yaitu edema mukosa dan
eritema ringan. 1
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung
tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang diformulasikan
dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin,
Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta Oxymetazoline (semprot hidung). Obat
ini merupakan agonis reseptor α dan baik untuk meringankan serangan akut. Pada
penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa
yaitu rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari.
Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat
serta tekanan darah yang labil. 1

 Bedah
Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur
pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang

39
berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang
cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya
hidung tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi.
Neurectomi n.vidianus merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa
sehingga dapat menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO 3 atau elektrik
cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih
dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan submukosa.
Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik. 1

2.2.3.7. Komplikasi
Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah polip hidung
dan terjadinya sinusitis. 1

Gambar 10. Alogaritma penatalaksanan Rhinitis vasomotor.1

40
2.2.4 Deviasi Septum Nasi
Septum nasi jarang terletak pada posisi lurus di tengah rongga hidung, namun derajat
deviasi yang besar akan menyebabkan obstruksi aliran udara nasal. Pada banyak kasus,
keadaan ini dapat dikoreksi dengan pembedahan, dengan hasil yang memuaskan.4

2.2.4.1 Klasifikasi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas
beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu :1
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.1

Gambar 11. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina.4

Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :


1. Spina dan Krista
Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat terjadi pada
pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya.

41
Bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan
pipih disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan
kompresi vertikal.
2. Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang dapat
terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai kartilago maupun
tulang.
3. Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke salah
satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada struktur
sekitarnya.
4. Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di hadapannya.
Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.1

Septum deviasi berdasarkan berat atau ringannya keluhan :


1. Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
2. Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
3. Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.1

2.2.4.2 Etiologi

Penyebab paling sering dari deviasi septum nasi adalah trauma dan kesalahan perkembangan
septum nasi.

1. Trauma

Pukulan di bagian lateral hidung dapat menyebabkan pergeseran letak dari kartilago
septum dari alur vomerine dan puncak maksila. Sedangkan pukulan berat dari arah depan

42
akan menyebabkan lekukan, lilitan, fraktur, dan duplikasi dari septum nasi. Trauma
hidung sering terjadi pada anak-anak.10

Trauma juga dapat terjadi saat kelahiran dengan kesulitan melahirkan, ketika hidung
tertekan selama melewati jalan lahir. Trauma lahir harus diberikan perawatan segera. 10

2. Kesalahan pada perkembangan

Septum nasi dibentuk oleh proses tektoseptal yang berasal dari pertemuan dua bagian dari
perkembangan palatum di garis tengah tubuh. Selama perkembangan gigi,
perkembangannya kebih lanjut berada di palatum yang menurun dan melebar untuk
mengakomodasi gig-gigi.

Pertumbuhan yang tidak sama antara palatum dan dasar dari tengkorak dapat
menyebabkan lekukan septum nasi. Pada keadaan mulut yang diam, seperti pada
hipertropi adenoid, palatum sering melengkung sangat tinggi sehingga septum mengalami
deviasi.

Deviasi septum nasi juga dapat ditemukan pada kasus dengan bibir dan palatum sumbing
dan pasien dengan abnormalitas dentis.10

3. Pada manusia dengan ras Caucasian lebih sering terjadi dibandingkan dengan Negro.

4. Faktor herediter

5. Kongenital

6. Septum nasi dapat mengalami deviasi akibat tumor, massa, atau polip di hidung.10

2.2.4.3 Gejala Klinis

Keluhan yang paling sering pada penderita deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung.
Sumbatan biasanya unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka
hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka hipertrofi, sebagai mekanisme
kompensasi.1

43
Keluhan lainnnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Penciuman dapat
terganggu hingga anosmia, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.

Pasien juga dapat mengeluhkan gejala rinitis berulang, akibat ostruksi yang
menyebabkan stagnasi dari sekresi hidung.

Epistaksis daat terjadi akibat fleksus Kiesselbach terpapar dengan atmosfer, yang
menyebabkan mukosa kering, sehingga mukosa mudah terkupas. 1

2.2.4.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan berupa koreksi septum hanya dilakukan bila pasien mengalami gejala yang
persisten dan berulang.10

Terdapat dua jenis tindakan operatif, yaitu reseksi submukosa (Submucous Resection
of the Nasal Septum) dan septoplasti. 1

Reseksi submukosa dilakukan dengan cara mukoperikondrium dan mukoperiosteum


kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang tulang
rawan dari septum diangkat, sehingga mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan
kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Tindakan ini memiliki banyak komplikasi,
seperti pendarahan, kerusakan di jaringan sekitarnya, rinore cairan serebrospinal, perforasi
septum, sinekia, infeksi, hematoma septum, dan lain-lain. 1

Indikasi dilakukan reseksi submukosa adalah:

a. Hidung tersumbat total

b. Infeksi saluran nafas atas berulang

c. Sinusitis berulang

d. Epistaksis berulang

e. Nyeri kepala

f. Infeksi telinga tengah

g. Deformitas hidung memerlukan rinoplasti disamping reseksi submukosa.

44
Septoplasti dilakukan dengan cara mereposisi tulang rawan yang bengkok. Prosedur
ini merupakan operasi konservatif. Operasi ini sangat menolong dilakukan pada anak-anak
seta meminimalisasi komplikasi yang timbul bila dilakukan reseksi submukosa. 1

2.2.4.5 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada deviasi septum nasi adalah:

1. Sinusitis berulang

2. Infeksi telinga tengah

3. Pernafasan mulut, menyebabkan infeksi faring, laring, dan tracheobronchial tree


berulang.

4. Asma

5. Rinitis atropi. 1

45
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Rabu / 9 September 2015
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Abdul Siddiq Bin Rahani


NIM : 11-2016-116
Tandatangan
Dokter Pembimbing/
Penguji : dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R. F. N Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 22 tahun Agama : Katolik
Pekerjaan : Mahasiswa Pendidikan : S1
Alamat : Jakarta Barat Status menikah : Belum menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 11 Mei 2018 Jam : 13.00 WIB

Keluhan utama
Hidung berasa gatal dan berair sejak 3 hari SMRS.

Keluhan tambahan
Sering bersin-bersin terutama ketika berada di ruangan yang dingin dan tenggorokan berasa
gatal sejak 1 minggu yang lalu. Telinga kiri dan kanan juga berasa berdenging, terus menerus
sejak 6 tahun yang lalu.

46
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke poli THT RSUD Tarakan dengan keluhan hidung berasa gatal dan
berair sejak 3 hari SMRS. Gatal yang dirasakan hilang timbul, disertai hidung tersumbat
namun lebih berat pada waktu awal pagi dan malam. Pasien mengatakan sering menggunakan
AC di rumah dan suhu ruanganya sekitar 22oC. Pasien juga mengeluh sering bersin-bersin
terutama saat berada di ruangan yang dingin dan terpapar dengan debu. Pasien mengatakan
keluhan bersin-bersin ini sudah dirasakan lebih dari 4 bulan, timbul hampir setiap hari dan
pasien mengeluh aktivitas hariannya seperti aktivitas belajar pada pagi hari terganggu. Pasien
mengaku hidung sering tersumbat namun tidak terpengaruh dengan posisi pasien pada saat
itu. Pasien mengatakan di keluarganya tidak memiliki riwayat alergi dan riwayat asma. Pasien
menyangkal adanya demam, nyeri di dahi, di daerah pipi, di pangkal hidung dan gangguan
penghidu. Keluhan gigi berlubang juga tidak ada pada pasien saat ini.
Pasien juga mengeluh tenggorok berasa gatal sudah lama. Pasien mengeluh sering
batuk-batuk, tenggorok terasa kering dan sering “mendehem” yang hilang timbul. Keluhan
yang dirasakan tidak terlalu berat menurut pasien. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi
setiap hari dan sering mengkonsumsi makanan-makanan pedas. Riwayat minum minuman
alkohol dan merokok disangkal oleh pasien
Pasien mengeluh telinga berasa berdenging. Telinga berdenging yang dirasakan pada
kedua telinga secara menetap namun lebih terdengar saat pasien berada di ruangan yang
hening/sepi. Keluhan yang dirasakan ini sudah sejak 6 tahun yang lalu tidak bertambah kuat
atau melemah, namun tidak menganggu aktivitas seharian pasien. Pasien menyangkal adanya
keluhan keluar cairan dari telinga, nyeri di telinga, rasa berputar dan penurunan pendengaran.
Pasien mengakui sering mendengar musik dengan menggunakan “headset” dengan rata-rata
pemakaian 4 jam sehari dengan volume musik sekitar 50%. Pasien menyangkal adanya
pengambilan obat-obat ototoksik dalam jangka waktu yang lama, infeksi pada telinga dan
operasi pada telinga sebelum ini.

47
Reflux Symptom Index (RSI)

Reflux Symptom Index (RSI)


Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu 0 = tidak,
menderita
5 = sangat berat
1. Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5

2. Clearing your throat (sering 0 1 2 3 4 5


mengeluarkan lender
tenggorok/mendehem)

3. Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5

4. Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5

5. Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5

6. Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5

7. Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5

8. Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5

9. Heartbun, rasa nyeri di dada, gangguan 0 1 2 3 4 5


pencernaan, regurgitasi asam

Hasil Skor RSI = 9

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengakui mempunyai riwayat alergi terhadap udara dingin, asap, debu dan
juga makanan laut (seafood). Riwayat asma, diabetes mellitus, penyakit jantung, serta riwayat
operasi disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit keluarga


Di keluarga pasien, riwayat alergi terhadap debu, udara dingin dan seafood disangkal
oleh pasien. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus juga disangkal.

48
Pemeriksaan Fisik

Telinga
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-), atresia (-), fistula (-), anotia (-), atresia (-), fistula (-),
bat’s ear (-), lop’s ear (-), bat’s ear (-), lop’s ear (-),
cryptotia (-), satyr ear (-) cryptotia (-), satyr ear (-)
Tanda Radang, Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-), hiperemis
Tumor (-), edema (-) (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
telinga
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),
abses (-), sikatriks (-), massa abses (-), sikatriks (-), massa
(-), hiperemis (-), nyeri (-), (-), hiperemis (-), nyeri (-),
edema edema
(-) (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri Hiperemis (-), massa (-), nyeri
(-), edema (-), abses (-) (-), edema (-), abses (-)
Liang telinga Lapang, edema (-), stenosis (-), Lapang, edema (-), stenosis (-),
atresia (-), furunkel (-), jar. atresia (-), furunkel (-), jar.
granulasi (-), hiperemis (-), granulasi (-), hiperemis (-),
secret (-), serumen(+), laserasi secret (-), serumen(+), laserasi
(-), hifa (-), perdarahan aktif (-), hifa (-), perdarahan aktif (-),
(-), clotting (-), debris (-), tanda clotting (-), debris (-), tanda
trauma (-), benda asing (-) trauma (-), benda asing (-)
Membran Timpani Intak (+), suram (-), Reflek Intak (+), suram (-), Reflek
cahaya (+) arah jam 5, cahaya (+) arah jam 7,
hiperemis (-), retraksi (-), hiperemis (-), retraksi (-),
buldging (-) buldging (-)

49
Tes Penala
Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : Tidak ada kelainan tuli sensorineural dan konduktif pada tes penala dengan frekuensi
512 Hz pada kedua telinga pasien.

Hidung
Dextra Sinistra

Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
atresia nares anterior (-), tidak atresia nares anterior (-), tidak
ada deformitas. ada deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa Hiperemis (-), nyeri (-), massa
(-) (-),
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-),
maxillaris krepitasi (-) krepitasi (-)
Vestibulum Tampak bulu hidung (+), Tampak bulu hidung (+),
laserasi (-), sekret (-), furunkel laserasi (-), sekret (-), furunkel
(-), krusta (-), hiperemis (-), (-), krusta (-), hiperemis (-),
nyeri (-), massa (-), benda asing nyeri (-), massa (-), benda asing
(-) (-)
Cavum Nasi Sempit, mukosa hiperemis (-), Lapang, mukosa hiperemis (-),
sekret (+) warna bening sekret (+) warna bening
konsistensi cair, massa (-), konsistensi cair, massa (-),
krusta (-), benda asing (-) krusta (-), benda asing (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), atropi (-), Hipertrofi (-), atropi (-),
hiperemis (-), livide (+), edema hiperemis (-), livide (+), edema
(+) (+)
Meatus nasi inferior Sekret (-), massa (-), sempit (-) Sekret (-), massa (-), sempit (-)
Konka Medius Edema (-), atropi (-), hipertrofi Edema (-), atropi (-), hipertrofi
(-), hiperemis (-), livide (-), (-), hiperemis (-), livide (-),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius Sekret (-), massa (-), sempit (-) Sekret (-), massa (-), sempit (-)
Septum nasi Deviasi (+), spina (-), Deviasi (-), spina (-), hematoma
hematoma (-), abses (-), (-), abses (-), perforasi (-), crista
perforasi (-), crista (-) (-)
Rinopharing
 Koana : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
 Septum nasi posterior : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif

50
 Muara tuba eustachius : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
 Torus tubarius : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
 Post nasal drip : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif

Pemeriksaan Transiluminasi
 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan
 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

51
TENGGOROKAN

Faring
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (+), ulkus (-), perdarahan
aktif (-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), eritema (-). edema
(), ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T2-T2, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-).
Gigi : caries (-).

Laring
Epiglottis : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Plica aryepiglotis : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Arytenoids : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Ventricular band : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Pita suara : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Rima glotis : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Cincin trachea : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif
Sinus Piriformis : Sulit dilakukan karena pasien kurang kooperatif

52
RESUME
Anamnesis
Pasien datang ke poli THT RSUD Tarakan dengan keluhan hidung berasa gatal
hilang timbul dan berair sejak 3 hari SMRS. Keluhan disertai hidung tersumbat namun lebih
berat pada waktu awal pagi dan malam, saat berada di ruangan yang dingin dan pada saat
terpapar dengan debu. Keluhan ini dialami oleh pasien sudah lebih dari 4 bulan, timbul
hampir setiap hari dan pasien mengeluh aktivitas hariannya terganggu. Keluhan hidung
tersumbat pada pasien menetap dan tidak terpengaruh dengan posisi pasien pada saat itu.
Pasien tidak mempunyai keluhan seperti demam, nyeri di bagian dahi, daerah pipi, pangkal
hidu dan gangguan penghidu.
Pasien juga mengeluh tenggorok berasa gatal sudah lama. Pasien mengeluh sering
batuk-batuk, tenggorok terasa kering dan sering “mendehem” yang hilang timbul. Pasien
memiliki kebiasaan minum kopi setiap hari dan sering mengkonsumsi makanan-makanan
pedas. Riwayat minum minuman alkohol dan merokok disangkal oleh pasien.
Pasien mengeluh telinga berasa berdenging. Telinga berdenging yang dirasakan pada
kedua telinga secara menetap sejak 6 tahun yg lalu namun tidak mengganggu aktivitas harian
pasien, tidak bertambah kuat atau melemah sampai saat ini. Rasa berdenging lebih terdengar
saat pasien berada di ruangan yang hening/sepi. Pasien menyangkal adanya keluar cairan dari
telinga, gangguan pendengaran, rasa nyeri di telinga dan rasa berputar.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan telinga menemukan membrane timpani aurikula dekstra sinistra bentuk
daun telinga normotia, liang telinga lapang serumen (+), hiperemis (-), massa (-) dan
membrane timpani utuh, warna putih mengkilat dan refleks cahaya (+). Tes penala didapatkan
kesan tidak ada kelainan tuli sensorineural dan konduktif pada tes penala dengan frekuensi
512 Hz pada kedua telinga pasien.
Pemeriksaan hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan mukosa konka inferior
kanan dan kiri edema (+), lividae (+). Cavum nasi kanan dan kiri tampak mukosa tidak
hiperemis tetapi terdapat sekret (+) berwarna bening dan konsistensi cair.
Pemeriksaan rongga faring didapatkan dinding posterior faring tampak hiperemis (+),
bergranul (+). Arcus faring anterior dan posterior kanan kiri hiperemis (-). Tonsil kanan dan
kiri tampak hiperemis, ukuran T2-T2, tidak hiperemis, kriptae tidak melebar. Uvula letak di
tengah, hiperemis (-).

53
Working diagnosa (WD)

1. Rinitis Alergi Persisten Sedang/Berat


Dasar yang mendukung:
Anamnesis
 Hidung sering gatal dan sering keluar cairan bening dan encer dari hidung
 Riwayat bersin jika terkena debu dan udara dingin dan bersin hampr tiap
hari
Pemeriksaan Fisik :
 Pada rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior tampak basah,
livide dan edem. Di kavum nasi terliat cairan yang encer dan bening.

2. Faringitis Kronik Hiperplastik


Dasar yang mendukung :
Anamnesis
 Tenggorokan sering kering dan gatal.
 Sering batuk
Pemeriksaan Fisik :
 Pemeriksaan faring dinding posterior tidak rata dan tampak granul, serta
hiperemis.

3. Deviasi Septum Nasi Dextra


Dasar yang mendukung :
Anamnesis
 Jika mengalami pilek, hidung terasa tersumbat lebih berat di sebelah kanan
Pemeriksaan fisik
 Pada rhinoskopi anterior terdapat septum deviasi ke kanan

54
Differential Diagnosis

 Rhinitis vasomotor
Dasar yang mendukung:
Anamnesis
 Riwayat bersin di pagi hari dan hidung tersumbat
 Keluhan muncul saat terpapar cuaca dingin

Pemeriksaan fisik
 Konka kanan dan kiri hiperemis

Dasar yang tidak mendukung :


 Hidung tersumbat yang tidak tergantung posisi pasien

Rencana pemeriksaan lanjutan


 Skin Prick Test – untuk menilai lebih lanjut pajanan alergi pasien.
 Audiometri dan Timpanometri untuk menilai lebih lanjut penyebab dari gangguan tinnitus
pada pasien.

55
Penatalaksanaan

Medikamentosa :

Loratadine tablet 10 mg, 1 kali sehari.


Budesonid nasal spray. 2 semprot kedalam tiap hidung 2 kali sehari.

Nonmedikamentosa

 Hindari allergen pencetus


 Menggunakan masker saat melakukan perkerjaan yang kontak dengan debu
 Menjaga kebersihan hidung dan mulut
 Menjaga kesehatan tubuh dengan meminum vitamin dan makanan bergizi
 Istirahat cukup

Prognosis

Rinitis Alergi Sedang Berat


Ad vitam : Dubia
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Faringitis Kronik Hiperplastik


Ad vitam : Dubia
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

56
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa pasien menderita


rinitis alergi persisten sedang/berat, deviasi septum nasi dextra dan faringitis kronis
hiperplastik eksaserbasi akut.
Diagnosa tersebut didukung dengan adanya keluhan bahwa pasien sering bersin jika
terkena debu dan udara dingin, mengalami pilek saat pagi hari dengan sekret yang bening dan
cair disertai gatal dan gejala tersebut dan bisa sampai mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada
pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior tampak livide dan
edem. Di kavum nasi terlihat skcret being dan encer. Untuk masalah rinitis alergi. Pasien di
berikan obat kortikosteroid topikal. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari
alergen pemicu.
Untuk gejala faringitis kronik hiperpastik eksaserbasi akut, tenggorokan sering kering
dan gatal yang hilang timbul. Pada pemeriksaan faring dinding posterior tidak rata dan
tampak granul, serta hiperemis. Diberikan obat kumur dan obat batuk antitusif atau
ekspektoran.
Keluhan hidung terasa lebih sempit di sebelah kanan saat pilek disertai ditemukan
pada pemeriksaaan rinoskopi anterior adanya deviasi septum nasi kanan menunjukkan pasien
mengalami deviasi septum nasi kanan. Namun, pada pasien ini deviasi septum nasinya dalam
kategori tingkat ringan yang tidak mengganggu kehidupan sehariannya.

57
BAB V

KESIMPULAN

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di
udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus
cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu: berair, kemerahan dan gatal. RA
merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.
Faringitis kronis adalah kondisi inflamasi dalam waktu yang lama pada mukosa faring
dan jaringan sekitarnya. Faringitis kronis terbagi menjadi faringitis kronis
hiperplastik (granular) dan faringitis kronis atropi atau kataralis. Faringitis kronis bisa
disebabkan karena induksi yang berulang-ulang faringitis akut atau karena iritasi faring akibat
merokok berlebihan dan penyalahgunaan alkohol, sering konsumsi minuman ataupun
makanan yang panas, dan batuk kronis karena alergi. Faringitis kronis akibat gangguan
pencernaan pada lambung juga mungkin terjadi.
Deviasi septum nasi dapat berupa kelainan bawaan sejak lahir atau paling sering
terjadi akibat trauma. Terapi konservatif untuk obstruksi nasal dapat dilakukan dengan
pemberian obat-obatan untuk mengatasi gejala pada pasien. Namun untuk mengkoreksi
deviasi septum, tindakan pembedahan sangat penting.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan


leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 118-310.
2. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
3. Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam Saluran
Pencernaan. Dalam : Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGC.
Jakarta. 2007. Hal. 821-831
4. Kridel RWH, Kelly PE, MacGregor AR. The nasal septum. In: Cummings, C.W., et
al. Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philadelphia: Mosby; 2005. P.1001.
5. Adams G. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC 1997.h. 210-11.
6. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012 Mar
(23): 1-298.
7. Departemen Kesehatan RI. HTA Indonesia: Functional endoscopic sinus surgery di
Indonesia. 2006. Diunduh dari buk.depkes.go.id, 14 Maret 2015.
8. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam: Lalwani
KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery
second edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p. 112-117.
9. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
10. Dhingra PL. The Septum and its deseases. In: Dhingra, PL. Diseases of Ear, Nose, adn
Thorat 4th ed. India: Elsevier; 2003. p140-3.

59

Anda mungkin juga menyukai