Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

Otitis Media Akut, Rhinitis Alergi dan Septum deviasi

Penyusun :

Ricko (112019055)

Dokter Pembimbing :

dr. Riza Rizaldi,Sp. THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat
Periode 6 Januari – 8 Febuari 2020

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN


KASUS
2

NAMA : Ricko (112019055)

PERIODE : 6 Januari 2020 – 8 Febuari 2020

JUDUL : Otitis Media Akut, Rinitis Alergi dan Septum deviasi

TANGGAL PRESENTASI : 23 Januari 2020

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Riza Rizaldi , Sp. THT-KL

Jakarta, 22 Januari 2020

Yang Mengesahkan,

dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL


3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan-Nya, sehingga
laporan kasus ini dapat diselesaikan. Laporan kasus dengan judul “Otitis Media Akut, Rinitis Alergi
dan septum defiasi ” ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mengikuti dan
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit
Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan doa dari
berbagai pihak, laporan kasus ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Riza Rizaldi Sp. THT-KL, selaku dosen pembimbing di Bagian SMF Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan yang telah
membimbing kami menyelesaikan tugas ini,
2. Para Pegawai dan Perawat di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
3. Rekan-rekan sejawat dokter muda di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
4. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat bermanfaat bagi penulis demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 22 Januari 2020

Yang Mengesahkan,

dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL


4

DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................... 1

Lembar Pengesahan ................................................................................................... 2

Kata Pengantar ........................................................................................................... 3

Daftar Isi ..................................................................................................................... 4

BAB I. Pendahuluan .............................................................................................. 5

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 5

1.2 Maksud Penulis ..................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulis ...................................................................................... 6

BAB II. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 7

2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga ....................................................... 7

2.2 Anatomi Hidung .............................................................................. 9

2.3 Otitis Media Akut ............................................................................ 12

2.4 Rinitis Alergi ................................................................................... 15

2.5 Septum Deviasi…………………………………...………………… 24

2.6 Faring ................................................................................................ 28

BAB III. Laporan Kasus............................................................................................ 29

BAB IV. Kesimpulan................................................................................................ 38

Daftar Pustaka ............................................................................................................... 39


5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah otitis media merupakan peradangan telinga tengah yang terutama disebabkan oleh
virus atau bakteri dan berhubungan erat dengan dengan infeksi hidung dan tenggorokan. Otitis
media paling banyak terjadi karena kuman bermigrasi ke telinga tengah yang menyebabkan
obstruksi pada saluran tuba eustachius. Kadang-kadang otitis media yang dapat disebabkan oleh
jamur (Candida,Aspergillus) atau patogen lainnya, seperti virus herpes. Dalam situasi ini,
biasanya terdapat masalah dengan fungsi kekebalan tubuh atau ada lubang (perforasi) pada
gendang telinga. Otitis media memiliki beberapa jenis, tetapi yang tersering adalah otitis media
akut.1

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan olehreaksi alergi pada
pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan
allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme
pelepasan mediatorkimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen yang serupa.

Deviasi septum nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan di masyarakat.
Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago septum, yaitu struktur yang
memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum biasanya disebabkan oleh trauma, walaupun
terdapat beberapa kasus yang merupakan bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi.
Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya obstruksi nasal unilateral maupun bilateral, yang
bermanifestasi sebagai gangguan pernapasan melalui hidung, tidur mendengkur, sakit kepala,
infeksi sinus rekuren, ataupun perdarahan hidung yang rekuren.

1.2 Maksud Penulis


6

Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai Otitis media
akut, Rhinitis alergi dan Septum Deviasi dengan harapan pembaca dapat mengerti dan
memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit ini berdasarkan teori dan membandingkannya
dengan kasus yang ditemukan di lapangan.

1.3 Tujuan Penulis


Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan Jakarta.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi Telinga

2.1.1 Anatomi Telinga

2.1.1.1 Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan
dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu
pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga
bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius
eksternus terdapat sendi temporal mandibular. Kanalis auditorius eksternus panjangnya
sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat
tempat kulit melekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit
tipis.Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani.Kulit dalam kanal
mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti
lilin yang disebut serumen.

2.1.1.2 Telinga tengah

Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah
pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa
saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian
luar dan sirkuler di bagian dalam. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang
pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes.Tulang
pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.Prosesus longus maleus melekat
pada membrana timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada
stapes.Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan dengan koklea.Hubungan
8

antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk


dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

2.1.1.3 Telinga Dalam

Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat.Bagian dalam
sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis
membranasea.Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala vestibuli dan
skala timpani.Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang disebut helikotrema.
Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir pada foramen
rotundum.Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea kearah perifer
membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut membrana Reissner yang
memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis). Duktus koklearis
berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung
periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan organ Corti. Duktus
koklearis berhubungan dengan sakulus dengan perantaraan duktus Reuniens. Organ Corti
terletak di atas membrana basilaris yang mengandung organel-organel yang penting
untuk mekanisma saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut
dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira
12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu
jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen
menempel pada ujung bawah sel rambut.Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia
yang melekat pada suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana
tektoria.Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh limbus.

2.1.2 Fisiologi Pendengaran

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai
membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang
pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale
yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli.Getaran diteruskan melalui membrana
Reissner yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam
9

skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar .Pada waktu
istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel
rambut itu menjadi lurus.Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya
perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis.
Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat
yang ada di lobus temporalis.2

2.2 Anatomi dan Fisiologi Hidung

2.2.1 Anatomi Hidung

2.2.1.1 Anatomi Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung
(nares anterior). 1 Hidung terhubung dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung
yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan
memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis
os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 3
10

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung.2

2.2.1.2 Anatomi Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala
nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 3
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang
adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina.
1
Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung. 1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan
yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter. 1
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. 1
11

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi.2


Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid,
prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu
celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk
oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 1

2.2.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara
(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleks nasal. 1

2.3 Otitis Media Akut (OMA)

2.3.1 Definisi
12

Otitis media akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan
tuba eustachius merupakan faktor utama dari otitis media. Karena fungsi tuba terganggu,
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke
dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Pencetus OMA adalah infeksi saluran napas atas.

Kuman penyebab utama OMA ialah bakteri piogenik seperti Streptokokus hemolitikus,
stafilokokus aureus,dan Pneumokokus mengakibatkan perubahan mukosa pada telinga tengah
sebagai akibat dari infeksi.

2.3.2 Stadium OMA1

a. Stadium oklusi tuba eustachius


Ditandai dengan retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam
telinga tengah. Kadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi
mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Pengobatan bertujuan membuka kembali
tuba eustachius, sehingga diberikan tetes hidung HCL efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis
(anak<12 tahun) atau HCL efedrin 1% dalam larutan fisiologis (>12 tahun), selain itu
sumber infeksi harus diobati dengan antibiotik bila penyebabnya adalah kuman.
b. Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi)
Tampak pelebaran pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh
membran timpani terlihat hipremis disertai edema. MTP ada stadium hiperemis dapat
diberikan antibiotik, dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.Bila pasien alergi tehadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi
dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam 3 dosis .
c. Stadium supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta
terbentuknya eksudat yang purulen di kavum tipani menyebabkan membran timpani buldging
ke arah liang telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa
nyeri hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang akan terjadi iskemia
13

hingga mengakibatkan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis terlihat dengan warna
kekuningan dan lembek sehingga sangat rapuh untuk terjadinya ruptur. Pengobatan
dilakukan dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan
apabila terjadi ruptur, maka perforasi tidak mudah menutup kembali.
d. Stadium perforasi
Terlambatnya pemberian antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi dapat terjadi ruptur
membran timpani dan nanah keluar ke liang telinga luar. Sering terlihat sekret banyak keluar
dan berdenyut. Anak merasa tenang, suhu badan turun dan dapat tidur nyenyak. Pengobatan
yang diberikan adalah H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam waku 7-10 hari.
e. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka membran timpani perlahan lahan akan normal
kembali. Stadium ini bergantung terhadap daya tahan tubuh pula. OMA dapat berubah
menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang
timbul. Bila tidak terjadi resolusi, sekret keluar terus. Keadaan demikian, pemberian
antibiotika dilanjutkan hingga 3 minggu. Bila setelah 3 minggu, sekret masih tetap banyak,
kemungkinan telah terjadi mastoiditis.

2.3.3 Gejala Klinis

Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang
sudah dapat bicara, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan lain bisa saja suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya, kebanyakan kasus anak terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecill
gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak
gelisah, sukar tidur, tiba- tiba menjerit waktu tidur, diare, kejang- kejang dan kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi rupture membrane timpani, maka secret akan megalir
ke liang telinga, suhu tubuh akan turun dan anak tertidur tenang.

2.3.4 Terapi
14

Pengobatan tergantung pada stadium penyakitnya:

1. Stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali saluran tuba
eustachius sehingga tekanan negatif di teling tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes
hidung, HCl efedrin 0,5% dalam larutanfisiologis (anak 12 tahun) atau HCl efedrin 1%
dalam larutan fisiologis untuk yang berumur diatas 12 tahun dan pada orang dewasa.
Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab penyakit
adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
2. Stadium hiperemis / pre-supurasi diberikan antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika.
Antibiotika yang dianjurkan adalah golongan penisilin atau ampisilin. Terapi awal
diberikan peinsilin intramuscular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam
darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendegaran sebagai
gejala sisa, dan kekambuhan. Pemberiann antibiotic dianjurkan minimal 7 hari. Bila
pasien alergi terhadap penisilin, maka boleh diberikan eritromisin. Pada anak- anak,
ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis, atau
amoksilin 40 mg/kgBB/hari diibagi dalam 3 dosis atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
3. Stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan
miringotomi, bila membrane timpani masih utuh. Dengan miringotomi, gejala- gejala
klinis lebih cepat hilang dan rupture dapat dihindari.
4. Stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dan kadang terlihat sekret keluar
secara berdenyut/ pulsasi. Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3%
selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilan dan perforasi
akan menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
5. Stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan
perforasi membrane timpani menutup.

Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membrane timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlaanjutnya edema
mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan sudah
terjadi mastoiditis. Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari dari telinga tengah lebih
dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut Otitis media supuratif subakut. Bila perforasi
15

menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka keadaan
ini disebut otitis media supuratif kronik. Pada pengobatan OMA terdaat beberapa factor
resiko yang dapat menyebabkan gagalnya terapi. Resiko tersebut digolongkan menjadi resiko
tinggi dan resiko rendah.

2.3.5 Komplikasi

Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menimbulkan komplikasi yaitu abses subperiosteal
sampai komplikasi yang berat, meningitis dan abses otak. Sekarang setelah ada antibiotic,
semua jenis komplikasi biasanya didapatan sebagai komplikasi Otitis Media Supuratif
Kronik.

2.4 Rinitis Alergi

2.4.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.4
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetic dari
individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.

2.4.2 Etiologi

Etiologi rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien
sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
16

berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoidesfarinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko
untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan
faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca. 4
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang.
 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

2.4.3 Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.4
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
17

0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13


dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-
CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 1
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan
udara yang tinggi.
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
18

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan
Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi.
19

Gambar 7 : Patofisiologi Rinitis Alergi

2.4.4 Klasifikasi

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora
jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena
gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai
lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen
inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah
alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi
yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan
perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.
20

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi: 4
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.4.5 Gejala Klinis

Gejala klinik rinitis alergi, yaitu: Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut
juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat
sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan
edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan
sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva,
lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal
termasuk suara serak dan edema pita suara.
21

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
2.4.6 Diagnosis Klinis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:5


1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada
RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena
itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul
tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala
spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal,
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok
hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
22

(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).

3. Pemeriksaan Penunjang6
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan
RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET),
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu
pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap
kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
23

2.4.7 Penatalaksanaan7

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

Gambar 9. .Logaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititif ARIA.

2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)
dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal.
Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
24

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat
dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor.
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau triklor asetat.
c. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.

2.4.8 Komplikasi

1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-
sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia
epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa,
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus

2.5 Septum Deviasi

2.5.1 Definisi

Septum nasi jarang terletak pada posisi lurus di tengah rongga hidung, namun derajat
deviasi yang besar akan menyebabkan obstruksi aliran udara nasal. Pada banyak kasus, keadaan
ini dapat dikoreksi dengan pembedahan, dengan hasil yang memuaskan.8
25

2.5.2 Klasifikasi

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari letaknya
yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi
berdasarkan letak deviasi, yaitu :9
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Gambar 11. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina. 4

Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :


1. Spina dan Krista
Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat terjadi pada
pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila
memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih
disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi
vertikal.
2. Deviasi
26

Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang dapat terjadi
pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai kartilago maupun tulang.
3. Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke salah satu
lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada struktur sekitarnya.
4. Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di hadapannya.
Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.1

Septum deviasi berdasarkan berat atau ringannya keluhan :


1. Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
2. Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
3. Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung. 1

2.5.3 Etiologi10

Penyebab paling sering dari deviasi septum nasi adalah trauma dan kesalahan perkembangan
septum nasi.
1. Trauma
Pukulan di bagian lateral hidung dapat menyebabkan pergeseran letak dari kartilago septum
dari alur vomerine dan puncak maksila. Sedangkan pukulan berat dari arah depan akan
menyebabkan lekukan, lilitan, fraktur, dan duplikasi dari septum nasi. Trauma hidung sering
terjadi pada anak-anak.
Trauma juga dapat terjadi saat kelahiran dengan kesulitan melahirkan, ketika hidung
tertekan selama melewati jalan lahir. Trauma lahir harus diberikan perawatan segera.
27

2. Kesalahan pada perkembangan


Septum nasi dibentuk oleh proses tektoseptal yang berasal dari pertemuan dua bagian dari
perkembangan palatum di garis tengah tubuh. Selama perkembangan gigi,
perkembangannya kebih lanjut berada di palatum yang menurun dan melebar untuk
mengakomodasi gig-gigi.
Pertumbuhan yang tidak sama antara palatum dan dasar dari tengkorak dapat menyebabkan
lekukan septum nasi. Pada keadaan mulut yang diam, seperti pada hipertropi adenoid,
palatum sering melengkung sangat tinggi sehingga septum mengalami deviasi.
Deviasi septum nasi juga dapat ditemukan pada kasus dengan bibir dan palatum sumbing
dan pasien dengan abnormalitas dentis.10
3. Pada manusia dengan ras Caucasian lebih sering terjadi dibandingkan dengan Negro.
4. Faktor herediter
5. Kongenital
6. Septum nasi dapat mengalami deviasi akibat tumor, massa, atau polip di hidung.10

2.5.4 Gejala Klinis

Keluhan yang paling sering pada penderita deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung.
Sumbatan biasanya unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka
hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka hipertrofi, sebagai mekanisme
kompensasi.1
Keluhan lainnnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Penciuman dapat
terganggu hingga anosmia, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
Pasien juga dapat mengeluhkan gejala rinitis berulang, akibat ostruksi yang menyebabkan
stagnasi dari sekresi hidung.
Epistaksis daat terjadi akibat fleksus Kiesselbach terpapar dengan atmosfer, yang
menyebabkan mukosa kering, sehingga mukosa mudah terkupas

2.5.5 Penatalaksanaan
 Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan
koreksi septum.
 Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
28

 Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.


 Pembedahan :
Penatalaksanaan berupa koreksi septum hanya dilakukan bila pasien mengalami gejala yang
persisten dan berulang.10
Terdapat dua jenis tindakan operatif, yaitu reseksi submukosa (Submucous Resection of
the Nasal Septum) dan septoplasti. 1
Reseksi submukosa dilakukan dengan cara mukoperikondrium dan mukoperiosteum
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang tulang
rawan dari septum diangkat, sehingga mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan
kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Tindakan ini memiliki banyak komplikasi, seperti
pendarahan, kerusakan di jaringan sekitarnya, rinore cairan serebrospinal, perforasi septum,
sinekia, infeksi, hematoma septum, dan lain-lain. 1
Indikasi dilakukan reseksi submukosa adalah:
a. Hidung tersumbat total
b. Infeksi saluran nafas atas berulang
c. Sinusitis berulang
d. Epistaksis berulang
e. Nyeri kepala
f. Infeksi telinga tengah
g. Deformitas hidung memerlukan rinoplasti disamping reseksi submukosa.
Septoplasti dilakukan dengan cara mereposisi tulang rawan yang bengkok. Prosedur ini
merupakan operasi konservatif. Operasi ini sangat menolong dilakukan pada anak-anak seta
meminimalisasi komplikasi yang timbul bila dilakukan reseksi submukosa

2.5.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada deviasi septum nasi adalah:


1. Sinusitis berulang
2. Infeksi telinga tengah
3. Pernafasan mulut, menyebabkan infeksi faring, laring, dan tracheobronchial tree berulang.
4. Asma
5. Rinitis atropi. 1
29

2.6 Faring1-4

1) Nasofaring1
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.1
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus
faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan
kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus
os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.
2) Orofaring1
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus.
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
c. Tonsil
30

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina
dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer.
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas
tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam
kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi dapat terjadi di antara
kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole
sebagai abses peritonsilar.
3) Laringofaring (hipofaring)1
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan)
dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esophagus.
31

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus
laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.

2.6.1 Fungsi Faring1,3


1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral, fase
faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal,
disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara
peristaltic di esofagus menuju lambung.
2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-
mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-
sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
32

belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m,palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi
aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap
pda periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

BAB III
LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Kamis/ 22 Januari 2020

SMF PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama: Ricko Tanda tangan


Nim: 112019055

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Riza Rizaldi , Sp.THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Ms Jenis Kelamin : Laki-Laki
33

Umur : 22 tahun Agama : Islam


Pekerjaan : Mahasiswa Pendidikan : S1
Alamat : Jakarta Barat Status menikah :Belum menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 20-21 Januari 2020 Jam : 13.00 WIB

Keluhan utama
Telinga terasa penuh dan kadang sering berdengung
Keluhan tambahan
Hidung tersumbat

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan telinga terasa penuh dan
berdengung sejak 1 minggu yang lalu disetai hidung tersumbat. Pasien juga mengeluh sering
bersin-bersin terutama saat berada di ruangan yang dingin dan terpapar dengan debu. Selain itu, pasien
juga mengeluh sering pilek. Sifat pilek dirasakan hialng timbul. Pasien merasa pilek muncul
hanya jika ia berkendara dan beraktivitas berlebihan. Keluhan ini sudah dideritanya sejak masih
kecil. Pasien mengatakan di keluarganya tidak memiliki riwayat alergi dan riwayat asma. Pasien
menyangkal adanya demam, nyeri di dahi, di daerah pipi, di pangkal hidung dan gangguan penghidu
Hidung tersumbat di salah satu lubang hidung.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi (+), Riwayat asma, trauma, kencing manis, darah tinggi, kolesterol, dan batuk
kronis disangkal. Riwayat flu biasanya sembuh sendiri. Riwayat merokok (-), riwayat trauma
hidung(+) dan telinga (-). Pasien tidak memiliki riwayat asma.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma pada ibu dan adik pasien (-). Riwayat DM pada ayah dan kakek pasien (-).
34

Pemeriksaan Fisik
TELINGA

Dextra Sinistra

Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), anotia Mikrotia (-), makrotia (-),
(-), atresia (-), fistula (-), bat’s ear anotia (-), atresia (-), fistula (-),
(-), lop’s ear (-), cryptotia (-), bat’s ear (-), lop’s ear (-),
satyr ear (-) cryptotia (-), satyr ear (-)
Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-), hiperemis
(-), edema (-) (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), abses hematoma (-), laserasi (-),
(-), sikatriks (-), massa (-), abses (-), sikatriks (-), massa
hiperemis (-), nyeri (-), edema (-), hiperemis (-), nyeri (-),
(-) edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri Massa (-), hiperemis (-), odem
(-), edema (-), abses (-) (-), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga Lapang, hiperemis (-), sekret (-), Lapang, hiperemis (-) edema
edema (-), stenosis (-), atresia (-), (-), stenosis (-), atresia (-),
furunkel (-), jar. granulasi (-), furunkel (-), jar. granulasi (-),
serumen(-), laserasi (+), hifa (-), sekret (-), serumen (-),massa
perdarahan aktif (-), clotting (-), (-), hifa (-), perdarahan aktif
debris (-), tanda trauma (-), benda (-), clotting (-), tanda trauma
asing (-) (-), benda asing (-)

Membran Timpani Intak (-), Reflek cahaya (-) arah Intak (-), Reflek cahaya (-)
35

jam 5, hiperemis (-), suram (+), , arah jam 7, hiperemis


retraksi (-), buldging (-) (-),retraksi (-), buldging (-)

Tes Penala

Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : hasil pemeriksaan dalam batas normal

HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose Saddle nose (-), hump
(-), agenesis (-), hidung nose (-), agenesis (-),
bifida (-), atresia nares hidung bifida (-), atresia
anterior (-), tidak ada nares anterior (-), tidak
deformitas. ada deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), Hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-) massa (-),
Daerah sinus frontalis Nyeri tekan (-), nyeri ketuk Nyeri tekan (-), nyeri
dan maxillaris (-), krepitasi (-) ketuk (-), krepitasi (-)
Vestibulum laserasi (-), sekret (-), laserasi (-), sekret (),
furunkel (-), krusta (-), furunkel (-), krusta (-),
hiperemis (-), nyeri (-), hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-), benda asing (-) massa (-), benda asing (-)
Cavum Nasi Sekret (+) serous (-) Sekret (+) serous (-)
konsistensi cair (+), sempit konsistensi cair (-), sempit
(-), massa (-), krusta (-), (-), massa (-), krusta (-),
benda asing (-), edema (-), benda asing (-), edema (-),
pendarahan aktif (-), pendarahan aktif (-),
clotting (-) clotting (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), atropi (-), Hipertrofi (-), atropi (-),
hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),
edema (-) edema (-)
36

Meatus nasi inferior Terbuka (-), sekret serous terbuka (-), sekret serous
(-) (-)
Konka Medius Edema (-), atropi (-), Edema (-), atropi (-),
hipertrofi (-), hiperemis (-), hipertrofi (-), hiperemis
livide (-), konka bulosa (-) (-), livide (-), konka
bulosa (-)
Meatus nasi medius Terbuka, sekret (-) Terbuka, sekret (-)
Septum nasi Deviasi (+) ke arah kanan, Deviasi (-), spina (-),
spina (-), hematoma (-), hematoma (-), abses (-),
abses (-), perforasi (-), perforasi (-), crista (-)
crista (-)

TENGGOROK
FARING

Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif
(-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T2-T2, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-), pseudomembran (-),
abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-), memanjang (-),
edema (-).
Gigi : karies (-)

RESUME

Subjektif

Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke poli THT RSUD TARAKAN dengan
keluhan telinga berdengung dan terasa penuh selama 1 minggu. Pasien juga mengeluh sering bersin-
bersin terutama saat berada di ruangan yang dingin dan terpapar dengan debu. Selain itu, pasien juga
37

mengeluh sering pilek hilang timbul. Pasien merasa pilek muncul hanya jika ia beraktivitas
berlebihan. Keluhan ini sudah dideritanya sejak masih kecil. Pasien mengatakan di keluarganya
tidak memiliki riwayat alergi dan riwayat asma. Pasien menyangkal adanya demam, nyeri di dahi, di
daerah pipi, di pangkal hidung dan gangguan penghidu Hidung tersumbat di salah satu lubang
hidung.

Objektif
Pada pemeriksaan dengan otoskop telinga kiri ditemukan adanya Liang telinga sempit,
ada serumen,hiperemis, tampak laserasi. Membran timpani tampak suram dimana reflex cahaya
negative disertai dengan retraksi. Pada pemeriksaan otoskopi hasil telinga kanan sama dengan
telinga kiri.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan, septum deviasi ke arah kanan. Kedua konka
inferior eutrofi dan tampak livid. ada sekret. Pada pemeriksaan faring didapatkan dinding faring
hiperemis dan, tonsil T2 – T2 hiperemis, kripta melebar. pemeriksaan fisik pada telinga liang
telinga kanan dan kiri bagian 2/3 dalam tampak hiperemis, terdapat sekret dan membrane
timpani kedua telinga tampak suram. Dari pemeriksaan hidung didapatkan konka inferior kiri
dan kanan lividae, pada meatus nasi inferior terdapat sekret serous. Dari pemeriksaan faring
didapatkan dinding faring posterior tampak hiperemis.

Working diagnosa (WD)

1. Otitis Media Akut stadium oklusi ADS


Dasar yang mendukung :
 Anamnesis: terasa penuh pada telinga kanan dan kiri sejak 7 hari smrs. Terdapat riwayat
hidung tersumbat.
 Pemeriksaan fisik: membran timpani telinga kanan dan kiri suram.

2. Suspek Rhinitis alergi intermitten ringan


Dasar yang mendukung:
38

 Anamnesis: hidung tersumbat sejak akhir ini, tersumbat secara bergantian tanpa
dipengaruhi perubahan posisi.
 Pemeriksaan fisik: konka inferior kiri dan kanan tampak edema dan lividae, dan pada
meatus nasi inferior kiri dan kanan terdapat sekret serous.

Differential Diagnosis (DD)


1. Otitis Media Supuratif Kronis
 Dasar yang mendukung: rasa penuh di telinga, terdapat secret encer atau kental atau
berupa nanah
 Dasar yang tidak mendukung: penurunan pendengaran.
2. Rhinitis vasomotor
 Dasar yang mendukung: hidung tesumbat akhir-akhir ini, muncul pada saat terkena kipas
angin. Bersin jika terpapar debu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konka inferior kiri
dan kanan tampak edema dan lividae, meatus nasi inferior terdaapt sekret serous.
 Dasar yang tidak mendukung: hidung tersumbat tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Pada pemeriksaan fisik meatus nasi inferior terdapat sekret serous.

3. Septum Deviasi
 Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan septum deviasi ke kanan Dasar yang
tidak mendukung: tidak ada suara parau yang menetap

Penatalaksanaan
1. Otitis Media Akut stadium oklusi
Medika mentosa:
 Analgetik: asam traneksamat 3x500mg/hari
 Obat tetes hidung: HCl efedrin 1%
 Antibiotik topikal: ofloxacin ear drops 3x5 tetes/hari
Non-medikamentosa:
 Hindari berenang agar telinga tidak basah dan lembab
 Jangan mengorek telinga
39

 Jangan makan es dan gorengan


 Banyak istirahat dan pemakaian obat teratur
 Kontrol 1 minggu untuk evaluasi pengobatan.

2. Suspek Rhinitis alergi intermitten ringan


Medika Mentosa :
 Antihistamin: loratadine 1x10 mg/ hari

Non-medikamentosa:
 Hindari pajanan alergi seperti udara dingin, debu, bau tajam
 Menggunakan masker saat pergi keluar
 Istirahat cukup
 Menjaga kesehatan tubuh dengan minum vitamin dan makan makanan yang bergizi

Prognosis ;

1. Otitis Media Akut stadium oklusi ADS


Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

2. Rhinitis alergi intermitten ringan


Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
40

Ad Sanationam : dubia ad bonam

3. Septum Deviasi
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
41

BAB IV

KESIMPULAN

Otitis media akut adala perdangan telinga tengah yang disebabkan oleh kuman. Pada
umumnya OMA biasanya komplikasi dari infeksi saluran pernafasan atas melalui tba eustachius
ke telinga tengah. Penatalaksanaan OMA prinsipnya adalah terapi bergantung dari stadiumnya.
Prinsipnya adalah memberikan antibiotika untuk mengindari komplikasi lanjut. Otitis eksterna
merupakan peradangan liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan infeksi bakteri, jamur,
dan virus. Faktor yang mempermudah radang telinga luar ialah perubahan pH di liang telinga
menjadi basa, keadaan udara yang lembab dan hangat, serta faktor predisposisi yaitu trauma
ringan ketika mengorek telinga.Otitis eksterna difusa terjadi jika laserasi di 2/3 liang telinga luar.
Keluhan ini lah yang menyebabkan gejal nyeri pada telinga pasien.
Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Pemeriksaan alergi dengan tes kulit terhadap berbagai allergen mungkin
dapat menunjang penegakan diagnosis rinitis alergi. Pengobatan rinitis alergi bergantung pada
tingkat keparahan penyakit. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.
Septum deviasi merupakan kelainan septum hidung yang dapat diakibatkan oleh trauma maupun
non trauma seperti kongenital. Kondisi inilah yang memperparah gejala hidung tersumbat pada
rhinitis alergi.

Jika keluhan hidung terasa lebih sempit di sebelah kanan saat pilek dan pada
pemeriksaaan rinoskopi anterior ditemukan adanya deviasi septum nasi. Ini menunjukkan pasien
mengalami deviasi septum nasi kanan. Namun, pada pasien ini deviasi septum nasinya dalam
kategori tingkat ringan yang tidak mengganggu kehidupan sehariannya.
42

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan leher.
Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Adams G. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC 1997.

3. Mansjoer, A (ed). Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok, Edisi 3. FK


UI.Jakarta.2005

4. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
5. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.Moore KL, Dalley AF, Agur AMR.
Moore: Clinically oriented anatomy. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2013.
6. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012 Mar (23): 1-298.
7. Departemen Kesehatan RI. HTA Indonesia: Functional endoscopic sinus surgery di
Indonesia. 2006. Diunduh dari buk.depkes.go.id, 14 Maret 2015.
8. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam: Lalwani
KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery second
edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p. 112-117.
9. Non Alergic Vasomotor Rhinitis. Diunduh dari
https://www.medscape.com/viewarticle/532378. Diunduh pada tanggal 22 January 2020
10. Martinucci I, de Bortoli N, Savarino E, Nacci A, Romeo SO, Bellini M, et al. Optimal
treatment of laryngopharyngeal reflux disease. Ther Adv Chronic Dis [Internet].
2013;4(6):287–301. Available from:
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2040622313503485
43

Anda mungkin juga menyukai