Anda di halaman 1dari 7

Analisis jurnal

URGENSITAS MAHKAMAH KONSTITUSI MENGELUARKAN


FATWA HUKUM DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG.

Problematika dalam pembentukan undang-undang


Pembentukan undang -undang menjadi kewenangan MPR bersam presiden’
dinilai belum memberikan kontribusi siknifikan terhadap ekspektasi masyarakat
akan terwujud nya Undang-Undang yang konstitusional dan mampu menyerap
aspirasi masyarakat.hal ini dapat dilihat dari banyaknya Undang-Undang yang
masuk dalam daftar uji di mahkamah konstitusi.sejak tahun 2003 terdapat 898 kali
uji materiil Terhadap Undang-Undang di MK.akumulasi data mahkamah konstitusi
terdapat 230 permohonan uji materiil di kabulkan oleh MK,344 ditolakndan 324
tidak diterima.sehingga jika di prosentase kan maka dapat di katakan 26 persen
undang undang yang di kabulkan ,38 persen undang-undang yang ditolak dan 36
persen undang-undang tidak di terima.denagn konsekuensi ratusan pasal dan
prosentase yang di batalkan MK ini, menandakan belum baik nya pembuatan
undang-undang selama ini.jika kualitasnya baik,tidak mungkin MK membatalkan
sampai 230 kali.
Dalam teori materi muatan konstitusi bahwa konstitusi berisi tiga hal pokok
yaitu:
1.adanya jaminan terhadap hak hak asasi manusia dan warga negaranya.
2.ditetapkannnya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
3.adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
pundemental
Fungsi esensial konstitusi dalam arti material adalah menentukan Lembaga-
lembaga dan prosedur pembentukan undang-undang dan juga sampai derajat
materi muatan peraturan yang akan di bentuk.

Dampak terhadap konstitusionalitas dan hak hak konstitusional Warga negara


Konstitusional berarti mempertanyakan perihal atau keadaan validitas
konstitusional undang-undang.pengujian konstitusional undang-undang
membutuhkan Penafsiran konstitusi dengan fokus pada norma dan pembentukan
suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi.pengujian
konstitusional memiliki dua tugas pokok yaitu,yang pertama untuk menjamin
berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran antara
cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif,dan yuridatif.dalam hal pengujian
konstitusional dimaksud untuk mencegah terjadinya penggunaan kekuasaan oleh
salah satu cabang kekuasaan negara lainnya.yang kedua yaitu,untuk melindungi
setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga-
lembaga negara sehingga merugikan hak-hak pundemental individu-individu
tersebut yang di jamin oleh konstitusi.
Urgensi konstitusionalitas dari berbagai ksus yabg telah dijelaskan dia atas
tertuang di dlam teori pembentukan undang-undang ada lima faktor yang harus di
pert yaitu:
1.faktor wewenang,apakah badan yang sedang menyusun undang undang adalh
badan yang diberi wewenang secara konstitusional.
2.faktor substansi,artinya apakah substansi yang akn di masukkan dalam undang-
undang sudah sewajarnya di masukkan dalam undang-undang
3.faktor heuritik ,dalam arti apakah substansi undang-undang telah
mengakomodasi kan faktor-faktor sosial,budayadan psikologi masyarakat.
4.faktor konstitusional,apakah isi Undang-Undang telah mempertimbangkan
peraturan-peraturan yang berlaku dalam satu tatanan hukum terhadap UUD
5.faktor prosedural,yang artinya apakah badan negara yang berwenang telah
memperhatikan tata cara pembentukan hukum.
Faktor tersebut berguna untuk mengurangi kemungkinan adanya hukum
atau dalam hal ini undang-undang yang tidak adil.

Urgensi pengeluaran fatwa hukum oleh mahkamah konstitusi


Mahkamah konstitusi mengeluarkan fatwa tau pendapat hukum atas
penafsiran terhadap konstitusi,bisa dilihat melalui putusan no.108/PUU-XI/20013
yang menyatakan amar putusan bahwa mahkamah konstitusi tidak berwenang
dalam melakukan penafsiran UUD NRI thun 1945.tentu pengucapan putusan
tersebut bertentangan bdenagn tugasn dan fungsi mahkamah konstitusi sendiri
dalam menafsirkan UUD NRI tahun 1945.sementara permohonan penafsiran yang
di mohon kan dalam putusan tersebut,di nilai oleh mahkamah konstitusi sebagai
permintaan fatwa sehingga mahkamah konstitusi menyebutkan bahwa permohonan
pemohon untuk menafsirkan konstitusi tidak menjadi kewenangan mahkamah
konstitusi

URGENSI PEMBATASAN MASA PERIODE ANGGOTA DPR


DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN
KEKUASAAN

Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengatur tentang kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk
Undang-undang, ini menunjukkan adanya Kewenangan untuk memperkuat posisi
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif.Namun kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam pembentukan undang-undang Sama kuatnya dengan
kewenangan yang Dimiliki oleh Presiden yaitu masing-masing Memiliki lima
puluh persen hak suara, karena Setiap undang-undang harus memperoleh
Persetujuan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, juga mempertegas bahwa Presiden dalam membuat
perjanjian Internasional lainya yang menimbulkan Akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan Rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan atau
mengharuskan perubahan Atau pembentukan Undang-Undang harus Dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedang ketentuan lebih lanjut Tentang
perjanjian internasional diatur Dengan Undang-Undang Pasal 11 ayat (3), ini
tentunya melibatkan peran Dewan Perwakilan Rakyat juga. Demikian pula Dalam
pengangkatan dan penerimaan Duta, sekarang Presiden harus terlebih Dahulu
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun untuk
Penerimaan duta yang harus memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat banyak
mendapat Kritik oleh beberapa kalangan karena dinilai Terlalu berlebihan

Kekosongan Hukum Pembatasan Masa Periode Dewan Perwakilan Rakyat


Di Indonesia upaya pembatasan Kekuasaan telah diterapkan dalam konstitusi
Yang membahas masa jabatan Presiden Dan Wakil Presiden. Pembatasan periode
Jabatan Presiden merupakan salah satu Upaya untuk mencegah terjadinya
pemegang Jabatan kekuasaan yang terus-menerus yang Diyakini akan menjadi
sumber keabsolutan Dan penyimpangan kekuasaan. Sebelum Amandemen,
Presiden dan Wakil Presiden Setelah selesai masa periode dapat dipilih Kembali
tanpa adanya pembatasan masa Jabatan sehingga pada masa sebelum Reformasi
dan konstitusi belum di amandemen. Karena itu pada Pasal 7 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan menyatakan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang Jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya Dapat dipilih kembali dalam jabatan yang Sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan Saja.
Pembatasan periode jabatan Presiden Merupakan salah satu upaya untuk
mencegah Terjadinya pemegang jabatan kekuasaan yang Terus-menerus yang
diyakini akan menjadi Sumber keabsolutan dan penyimpangan Kekuasaan. Dengan
perubahan tersebut Maka periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
menjadi lebih tegas, yaitu Hanya boleh memegang jabatan yang sama Selama 2
(dua) periode. Dengan demikian Seseorang menjabat presiden sebanyak Enam
periode masa pemerintahan seperti Presiden Soeharto, tidak terulang lagi.
Banyaknya anggota dewan yang terjerat kasus korupsi membuat persepsi
publik terhadap lembaga legislatif negatif. berdasarkan survey yang dilakukan oleh
Global Corruption Barometer (GCB) melalui Transparency International Indonesia
(TII), pada 7 Maret 2017 bahwa DPR sebagai lembaga paling korup. Survei
tersebut dilakukan terhadap 1.000 responden yang tersebar secara proporsional di
31 provinsi. Berdasarkan hasil survei tersebut, DPR menjadi lembaga paling atas
yang disebut sering melakukan praktik korupsi.

Urgensi Pengaturan Pembatasan Masa Periode Anggota Dewan Perwakilan Rakyat


di Masa Depan
Pembatasan dan pengendalian kekuasaan Yang efektif adalah melalui
hukum. Itulah Sebabnya hukum tidak dapat dipisahkan Dari kekuasaan, dan
kekuasaan tidak dapat Dipisahkan dari hukum. Sebagai negara Modern, konstitusi
menegaskan bahwa salah Satu ciri sistem pemerintahan indonesia adalah menganut
asas negara hukum dan bukan Negara kekuasaan. Berdasarkan ketentuan
Konstitusi tersebut berarti pemerintah Mempunyai kekuasaan yang terbatas dan
tidak dibenarkan sewenang-wenang. Asas Yang dianut tersebut haruslah tercermin
Dalam praktek penyelenggaraan negara. Artinya dalam praktek penyelenggaraan
Ketatanegaraan indonesia, hukum harus Mengendalikan kekuasaan, bukan
sebaliknya.
Hukum dibuat untuk membatasi Kekuasaan dalam negara. Kekuasaan itu
identik Dengan politik, atau setidaknya karena politik Atau setiap aktifias politik
selalu bertujuan Untuk mencapai kekuasaan. Oleh karena itu Agar kekuasaan tidak
disalahgunakan, maka Hukum harus mengendalikan kekuasaan Itu. Oleh
karenanya, maka demi tegaknya Hukum dan demi terlaksananya cita-cita Negara
hukum dan demokrasi yang selaras Dengan cita-cita dan tujuan reformasi maka
Pemerintah hendaknya dapat bertindak Secara tegas. Mengingat kekuasaan itu
Sendiri dapat disalahgunakan, maka hal itu Akan berdampak pada timbulnya
perbuatan Yang sewenang-wenang oleh mereka yang Bertindak atas nama negara.
Untuk mencegah Kemungkinan tersebut, hakikat dibentuknya Konstitusi adalah
untuk melakukan pembatasan Kekuasaan.
Hak-hak konstitusional setiap warga Negara berpotensi dirugikan karena tidak
Adanya pembatasan masa periode anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian
telah Dibahas sebelumnya bahwa dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terkait
persyaratan bakal calon Anggota dewan tidak adanya pengaturan Bahwa periode
jabatan anggota legislatif Dibatasi layaknya eksekutif. Ia Periode kerja anggota
Dewan Perwakilan Rakyat sama pentingnya dengan pembatasan Periode kerja
presiden/wakil presiden, agar Mencegah keabsolutan dan penyalahgunaan
Kekuasaan

STATUS HUKUM HAK MILIK ATAS TANAH WARGA NEGARA


INDONESIA.

Pertimbangan Hakim pada Putusan yang Memenagkan Warga Negara Asing


dalam Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah
Putusan pengadilan adalah sebuah produk pengadilan yang dihasilkan dari
adanya suatu gugatan yang diajukan. Sebuah gugatan, terkhusus yang masuk pada
ranah lingkup peradilan perdata, maka wajib mengikuti alur bagaimana laiknya
sebuah peradilan perdata berjalan dengan memperhatikan segala ketentuan dan
asas hukum acara perdata. Putusan yang menjadi objek dalam kajian ini adalah
putusan dengan register perkara no. 328/Pdt.G/2013/PN.DPS. Gugatan tersebut
didasarkan atas dalil penggugat (berkebangsaan warga negara Indonesia) yang
menggugat tergugat (warga negara asing) terhadap kepemilikan objek sengketa
yang secara de jure adalah milik dari warga negara Indonesia yang dibuktikan
dengan terteranya nama warga negara Indonesia tersebut pada sertifikat hak milik
atas tanah. Penggugat menginginkan agar tanah tersebut diakui secara sah menurut
hukum adalah miliknya dan memohon kepada hakim untuk membatalkan segala
perjanjian yang telah dibuat dihadapan di notaris bersama dengan tergugat.
Berdasarkan permintaan tersebut maka menurut hukum pembuktian perdata,
penggugat harus dapat menunjukkan alat bukti untuk menguatkan dalilnya di
persidangan. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut sebagai KUHPerdata), alat bukti dalam perkara perdata antara
lain adalah tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Bukti-bukti itu
harus dinilai oleh hakim di dalam memutus setiap perkara yang diajukan
kepadanya (Salim dan Erlies, 2016:215) dan hakim harus menemukan dan
menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan
atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.
Peristiwa yang relevan yang harus ditetapkan dan harus dibuktikan, karena siapa
yang mengaku mempunyai maka harus membuktikannya (Mertokusumo,
2010:190).

Perjanjian Pinjam Nama Warga Negara Asing Dalam Kepemilikan Hak Milik Atas
Tanah Berdasarkan Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata
Perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata diperbolehkan selagi tidak
menyalahi Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terkait dengan Syarat sahnya
perjanjian yang mencakup 4 (empat) Aspek syarat sahnya, yakni: sepakat, cakap,
suatu Hal tertentu dan sebab yang halal, dan tidak pula Menyalahi ketentuan
undang-undang, norma sosial Dan kesusilaan. Namun perjanjian pinjam nama
Sendiri yang kemudian digunakan untuk melegalkan Penguasaan tanah dalam
kurun waktu yang lama Oleh warga negara asing sebagai usaha untuk
Menyimpangi aturan hukum yang berlaku pada Hukum agraria dapat dianggap
sebagai usaha Penyelundupan hukum dan hal tersebut sangat jelas Dilarang.
Dimana esensi dari perjanjian pinjam nama Ini akan mencantumkan nama dari
warga negara Indonesia sebagai pemilik tanah pada sertifikat hak Milik
(kepemilikan tanah secara de jure) namun Kenyataannya yang memiliki dan
mengusahakan Tanah tersebut adalah warga negara asing (kepemilikan tanah
secara de facto). Lalu Kepemilikan tanah tersebut akan dibuat sah dan legal secara
hukum dengan dibalut serangkaian Perjanjian yakni perjanjian utang-piutang, sewa
Menyewa dan akta kuasa, yang pada intinya warga Negara asing sebagai pihak
yang mengusahakan Tanah yang dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Serangkaian perjanjian-perjanjian ini oleh Penggugat dan tergugat dibuat
dihadapan notaris. Notaris berwenang untuk membuat akta autentik Berdasarkan
kewenangan yang diberikan oleh UU Jabatan Notaris secara atribusi yang kemudia
Diimplementasikan pada keberlakukan Pasal 15 UU Jabatan Notaris. Berdasar
kewenangan ini maka Keabsahan akta yang dibuat oleh notaris memiliki Kekuatan
pembuktian lahiriah, formal dan materiil, Sehingga memiliki kekuatan hukum yang
kuat Sebagai alat pembuktian di persidangan perdata. Selain pada kewenangan
yang dimiliki oleh Notaris Sebagai pejabat umum yang berwenang untuk Membuat
suatu akta autentik, kewenangan juga Dimiliki secara privat oleh para pihak yang
diberikan Secara atribusi oleh KUHPerdata melalui Keberlakuan Pasal 1320
KUHPerdata pada syara Subjektif, yakni terkait adanya sepakat dan cakap.
Kewenangan yang diberikan oleh KUHPerdata Melalui syarat “cakap” pada Pasal
1320 KUHPerdata adalah merujuk pada kompetensi Individiual para pihak dalam
membuat suatu Perjanjian. Indikator seseorang dikatakan cakap Adalah ketika
telah berusia 18 tahun atau telah Menikah dan tidak dalam pengampuan.
Terpenuhinya syarat “cakap” maka memberikan Kewenangan kepada individu
untuk dapat membuat Perjanjian dan mengikatkan dirinya kepada orang Lain untuk
patuh terhadap substansi isi perjanjian Dengan kesadaran penuh serta tanggung
jawab Terhadap pemenuhan isi perjanjian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai