Anda di halaman 1dari 17

TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN

MAKALAH I
FARMAKOTERAPI INFEKSI SALURAN GASTROINTESTINAL

OLEH:
KELOMPOK 1

Ni Luh Putu Meilina Ulandari 1908611008


Ni Nyoman Marayanti Utami 1908611009
Raden Putri Wulandari 1908611010
Cokorda Bagus Arys Cahaya Sukawati 1908611028
Putu Dessy Wilantari 1908611029
Ni Nyoman Dela Yanti 1908611030
Ni Komang Cahyaningsih 1908611031
I Komang Subagia 1908611032
Kadek Dian Adnyani 1908611033

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2019

1
DAFTAR ISI

Halaman
COVER ...................................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 2

I. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI ................................................................................... 3

II. GEJALA DAN TANDA ..................................................................................................... 6

III. DATA LABORATORIUM ................................................................................................ 6

IV. KLASIFIKASI PENYAKIT ............................................................................................... 7

V. PANDUAN TERAPI .......................................................................................................... 7

VI. LUARAN TERAPI ........................................................................................................... 14

VII. PERTANYAAN KHUSUS .............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16

2
I. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
Gastroenteritis akut merupakan masalah yang banyak terjadi pada negara berkembang
dibanding dengan negara maju yang tingkat higenitas dan sanitasi lebih baik. Penyakit ini
lebih sering mengenai anak-anak. Anak-anak di negara berkembang lebih beresiko baik dari
segi morbiditas maupun mortalitasnya. Penyakit ini mengenai 3-5 miliar anak setiap tahun
dan menyebabkan sekitar 1,5-2,5 juta kematian pertahun atau merupakan 12% dari seluruh
penyebab kematian pada anak-anak usia dibawah 5 tahun (Chow et al., 2010).
Secara global, diperkirakan terdapat 179.000.000 insiden gastroenteritis akut pada orang
dewasa tiap tahunnya dengan angka pasien yang dirawat inap sebanyak 500.000 dan lebih
dari 5000 pasien mengalami kematian (Al-Thani et al., 2013). Secara umum, negara
berkembang memiliki angka rawat inap yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju,
dikarenakan bahwa anak-anak di negara maju memiliki status gizi dan layanan kesehatan
primer yang lebih baik (Chow et al., 2010). Penyakit diare di Indonesia masih menjadi salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan karena masih tingginya
angka kesakitan dan kematian terutama pada balita. Diperkirakan lebih dari 1,3 miliar
serangan dan 3,2 juta kematian pertahun pada balita disebabkan oleh diare (Ragil dan Dyah,
2017). Penyakit gastroenteritis dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu :
1. Faktor Infeksi
a. Virus
Di negara berkembang dan industrial penyebab tersering dari gastroenteritis akut adalah
virus, beberapa virus penyebabnya antara lain :
1. Rotavirus
Rotavirus menjadi penyebab utama diare berat pada anak usia balita baik di negara
maju maupun negara berkembang. Dilaporkan oleh WHO bahwa setiap tahun diare
rotavirus menyebabkan > 500.000 kematian anak usia balita di seeluruh dunia dan >80%
diantaranya terjadi di negara berkembang (Wedowati et al., 2012)
2. Enterik adenovirus
Virus ini menyebabkan 2-12% episode diare pada anak (Parashar dan glass, 2012).
Human adenovirus merupakan anggota keluarga Adenoviridae dan merupakan dan
merupakan virus DNA tanpa kapsul, diameter 70 nm, dan bentuk icosahedral simetris.
Ada 4 genus yaitu Mastadenovirus, Aviadenovirus, Atadenovirus, dan Siadenovirus. Pada
waktu kini terdapat 51 tipe antigen human adenovirus yang telah diketahui. Virus ini
diklasifikasikan ke dalam enam grup (A-F) berdasarkan sifat fisik, kimia dan kandungan
biologis mereka (WHO, 2004).

3
3. Astrovirus
Virus ini menyebabkan 2-10 % kasus gastroenteritis ringan sampai sedang pada anak
anak (Parashar dan Glass, 2012). Astrovirus dilaporkan sebagai virus bulat kecil dengan
diameter 28 nm dengan tampilan seperti bintang bila dilhat dengan mikroskop elektron.
Genom virus ini terdiri dari single-stranded, positivesense RNA ( Wilhelmi et al., 2003).
4. Human calcivirus
Infeksi human calcivirus sangat sering terjadi dan kebanyakan orang dewasa sudah
memiliki antibodi terhadap virus ini (Parashar dan Glass, 2012). Virus ini merupakan
penyebab tersering gastroenteritis pada orang dewasa dan sering menimbulkan wabah.
(Wilhelmi et al., 2003). Human calcivirus adalah anggota keluarga Calciviridae, dan dua
bentuk umum sudah digambarkan yaitu Norwalk-like viruses(NLVs) dan Sapporo-like
viruses (SLVs) yang sekarang disebut norovirus dan sapovirus.
5. Virus lain
Terdapat juga beberapa virus lain yang dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis
seperti virus torovirus. Virus ini berhubungan dengan terjadinya diare akut dan persisten
pada anak, dan mungkin merupakan penyebab diare nosokomial yang penting. Selain itu
ada juga virus coronavirus dan picobirnavirus. Virus ini diidentifikasi untuk pertama
kalinya oleh Pereira et al. pada tahun 1988 (Wilhelmi et al., 2003).
b. Bakteri
Infeksi bakteri menyebabkan 10%-20% kasus gastroenteritis. Bakteri yang paling sering
menjadi penyebab gastroenteritis adalah spesies Salmonella,Campylobacter, Shigella and
Yersina (Chow et al., 2010).
1. Salmonella
Infeksi salmonella kebanyakan melalui makanan atau minuman yang tercemar
kuman salmonella. Salmonella mencapai usus melalui proses pencernaan. Asam lambung
bersifat letal terhadap organisme ini tapi sejumlah besar bakteri dapat menghadapinya
dengan mekanisme pertahanan (Harper dan Fleisher, 2010).
2. Shigella
Shigella tertentu melekat pada tempat perlekatan pada permukaan sel mukosa usus.
Organisme ini menembus sel dan berproliferasi. Multiplikasi intraepitel merusak sel dan
mengakibatkan ulserasi mukosa usus. Invasi epitelium menyebabkan respon inflamasi.
Pada dasar lesi ulserasi, erosi pembuluh darah mungkin menyebabkan perdarahan.
Spesies Shigella yang lain menghasilkan exotoksin yang dapat menyebabkan diare
(Harper dan Fleisher, 2010).

4
3. Campylobacter
Campylobacter memanfaatkan mobilitas dan kemotaksis untuk menelusuri
permukaan epitel saluran cerna, tampak menghasilkan adhesin dan sitotoksin dan
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada makrofag, monosit dan sel epitel tetapi
terutama dalam vakuola (Harper dan Fleisher, 2010).
4. E. Coli
E. coli terdapat sebagai komensal dalam usus manusia mulai dari lahir sampai
meninggal. Walaupun umumnya tidak berbahaya, tetapi beberapa jenis dapat
menyebabkan gastroenteritis. E. coli yang dapat menyebabkan diare dibagi dalam tiga
golongan, yaitu : Enteropathogenic (EPEC) : tipe klasik, Enterotoxigenic (ETEC) dan
Enteroinvasive (EIEC).
c. Parasit dan Protozoa
Giardia lamblia adalah infeksi protozoa yang paling sering menyebabkan gastroenteritis.
Protozoa yang lain mencakup Cryptosporidium dan Entamoeba hystolitica
1. G. lamblia
Giardia adalah protozoa yang memiliki flagel, ditransmisikan melalui jalur fekal-oral
melalui makanan atau air yang terkontaminasi feses. Setelah ditelan dalam bentuk kista
eksitasi melepaskan organisme di bagian atas usus halus. Giardia kemudian melekat pada
permukaan membran brush border enterosit. Bakteri ini menyebabkan lesi sehingga
terjadi defisiensi laktosa dan malabsorbsi (Firmansyah, 2003).
2. Cryptosporidium
Organisme ini ditransmisikan melalui berbagai cara yang mencakup fekaloral, tangan
ke mulut, dan orang ke orang melalui makanan, air, atau hewan peliharaan yang
terkontaminasi terutama kucing (Firmansyah, 2003).
3. Entamoeba histolytica
Protozoa ini ditransmisikan melalui jalur fekal-oral. Infeksi protozoa ini dimulai
dengan tertelannya dalam bentuk kista. Eksitasi terjadi pada kolon kemudian dilepaskan
dalam bentuk trofozoid yang selanjutnya menginvasi mukosa mengakibatkan peradangan
dan ulserasi mukosa (Firmansyah, 2003).
2. Faktor Makanan
Faktor makanan yang menjadi penyebab gastroenteritis yaitu Malabsorbsi yang terdiri
dari Malabsorbsi Karbohidrat, lemak terutama Long Chain Triglyceride, protein seperti
asam amino, B lactoglobulin dan malabsorbsi vitamin serta mineral dan adanya
keracunan makanan. Makanan yang beracun (mengandung toksin bakteri) merupakan

5
salah satu penyebab terjadinya diare. Ketika enterotoksin terdapat pada makanan yang
dimakan, masa inkubasi sekitar satu sampai enam jam. Ada dua bakteri yang sering
menyebabkan keracunan makanan yang disebabkan adanya toksin yaitu
Staphylococcusdan Bacillus cereus(Sukut et al., 2015).
II. GEJALA DAN TANDA
Penyebab Infeksi Nama Penyakit Gejala
Diare berair/cair, berlendir,
muntah, keram kaki, keram
Bakteri Watery diarrhea perut, pada anak-anak
umumnya disertai demam,
dehidrasi.
Diare berair disertai darah,
Dysentery nyeri perut, demam,
dehidrasi, keram perut.
Mual, muntah, diare, demam,
dehidrasi, nyeri perut,
Virus
intoleransi laktosa, myalgia,
headache, malaise.
(Wellset al., 2015; Ghssein et al., 2018; Jin et al., 2016; Shrivastava et al., 2017)
III. DATA LABORATORIUM
Riwayat medis menyeluruh dengan pemeriksaan fisik secara lengkap merupakan
langkah penting dalam memeriksa dan mengevaluasi pasien gastroenteritis. Riwayat ini
mencakup riwayat makanan dan juga harus mencari adanya tanda dan gejala yang
mengkhawatirkan. Pemeriksaan fisik perlu dinilai dari keadaan umum seperti kesadaran, berat
badan, temperatur, frekuensi nafas, denyut nadi, tekanan darah, turgor kulit, kelopak mata,
serta mukosa lidah. Selain itu, perlu dicari tanda-tanda adanya dehidrasi. Ketika ada dehidrasi
parah penting untuk mencari adanya gangguan pada kadar elektrolit (Jassas et al., 2018).
Selain pemeriksaan secara fisik, perlu juga dilakukan pemeriksaan laboratorium, meliputi :
1. Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses dilakukan untuk melihat adanya leukosit pada tinja yang
kemungkinanan mengarahkan adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan parasit
dewasa. Sedangkan adanya darah samar dan leukosit pada feses mendukung diagnosis
diare akibat infeksi bakteri. Kultur feses yang secara rutin bertujuan agar dapat
mendeteksi keberadaan bakteri penyebab infeksi gastroenteritis seperti Campylobacter,
6
Salmonella, Shigella, atau Vibrio maupun yang lainnya. Pengujian untuk agen parasit
dan protozoa harus diindikasikan ketika diare bertahan lebih lama dari biasanya (Jassas
et al., 2018).
2. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui kadar elektrolit karena dapat terjadi
hipernatremia maupun hiponatermia pada keadaan dehidrasi, terutama pada bayi dan
anak. Pemeriksaan kadar gula darah juga dapat dilakukan karena dehidrasi pada bayi
dan anak meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia (Jassas et al., 2018).
IV. KLASIFIKASI PENYAKIT
Gastroenteritis merupakan penyakit infeksi pada saluran gastrointestinal yang ditandai
dengan terjadinya diare. Klasifikasi gastroenteritis berdasarkan lama waktu terjadi yaitu
gastroenteritis akut dan kronis. Gastroenteritis akut terjadi apabila gejala timbul dalam waktu
kurang dari 3 hari. Gastroenteritis kronis terjadi apabila gejala timbul dalam waktu lebih dari
14 hari (Wellset al., 2015).
V. PANDUAN TERAPI

Diare

Pemeriksaan riwayat dan fisik

Diare Akut Diare Kronik


(< 3 hari) (>14 hari)

Tidak ada demam atau Demam atau gejala


gejala sistematik sistematik

Periksa tinja untuk


Terapi simtomatik WBC/RBC/ ova dan parasit
a. Cairan/penggantian O
elektrolit
b. Loperamide, Negatif Positif
diphenoxylate atau
absorbent Terapi simtomatik Gunakan
c. Diet antibiotikyang sesuai
dan terapi simtomatik

Gambar 1. Rekomendasi untuk PengobatanDiare Akut (Wells et al., 2015)

7
Rekomendasi untuk mengobati diare akut mengikut langkah-langkah pada tatalaksana
diatas. Secara garis besar pengelolaan akut gastroenteritis secara farmakologi adalah sebagai
berikut:

1. Terapi Rehidrasi
Penanganan utama dari diare akut adalah terapi rehidrasi. Penggantian cairan yang telah
hilang harus diatasi terlebih dahulu menggunakan cairan rehidrasi oral (CRO), kemudian
pemberian cairan rehidrasi oral tetap diberikan untuk menggantikan cairan di dalam tubuh
yang terus hilang selama diare yang masih terus berlangsung. Komponen yang penting yang
perlu ada dalam cairan rehidrasi oral meliputi glukosa, natrium, kalium, klorida. Pada pasien
yang mengalami dehidrasi berat, resusitasi cairan dilakukan menggunakan Ringer Lactate
(RL) atau Normal Salin (NS) secara intravena (IV) untuk mengembalikan stabilitas
hemodinamik (Bar dan Smith, 2014).
Terapi dengan cairan rehidrasi oral diberikan dalam jumlah yang sedikit namun
frekuensi pemberiannya lebih sering (biasanya 5 mL setiap 2-3 menit) (Wells et al., 2012).
Dehidrasi pada pasien anak diatasi menggunakan cairan rehidrasi oral dengan memperhatikan
tingkat keparahan dehidrasi yang dilihat berdasarkan persentasi berat badan yang menurun
(Wells et al., 2015).
Minimal atau tanpa Dehidrasi ringan Dehidrasi berat (Penurunan berat
dehidrasi (Penurunan hingga sedang badan ≥10%)
berat badan <3%) (Penurunan
berat badan 3-
9%)
Hidrasi - Cairan rehidrasi Cairan ringer laktat atau normal
oral 50-100 saline 20 mL/kg dalam 15-30
mL/Kg dalam 3- menit hingga ada perbaikan pada
4 jam mental status atau perfusi.
Dilanjutkan dengan pemberian
dextrose ½ normal saline secara
intravena pada 2 maintanance
rate atau cairan rehidrasi oral
100 mL/kg dalam 4 jam.

Penggantian Berat badan <10kg Sama Jika tidak dapat mentoleransi

8
cairan yang Cairan rehidrasi oral cairan rehidrasi oral maka dapat
terus hilang 60-120 mL setiap diberikan melalui tube
selama sehabis diare atau nasogastric atau berikan
diare muntah dextrose 5% ½ normal saline
Berat badan >10kg dengan 20 mEg/L kalium klorida
Cairan rehidrasi oral secara intravena.
setiap sehabis diare
atau muntah 120-240
mL
2. Agen Antidiare
a) Antimotilitas
Terapi antimotalitas dapat mengurangi gejala pada pasien yang mengalami diare
cair dengan menurunkan pengeluaran tinja. Mekanisme kerja obat golongan
antimotilitas contohnya loperamid yaitu mengurangi frekuensi gerakan peristaltik usus
melalui reseptor opioid, mengurangi volume tinja, meningkatkan viskositas (Lacy et al.,
2008). Penggunaan antimotilitas tidak direkomendasikan pada pasien yang mengalami
diare yang disebabkan oleh toxin (enterohemorrhagic E. coli, pseudomembranous
colitis, shigellosis) serta penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien yang
mengalami demam tinggi dan diare yang disertai perdarahan. Memperlambat gerakan
motalitas usus dapat menyebabkan peningkatan keparahan penyakit akibat
melambatnya pengeluaran toxin yang berada pada saluran cerna (Wells et al., 2012).
Penggunaan loperamid di kontraindikasikan pada pasien anak dengan usia<2
tahun. Rekomendasi penggunaan loperamid untuk dewasa adalah 4 mg (dosis awal)
dilanjutkan dengan 2 mg setiap setelah buang air besar (maksimal 16 mg perhari) (Lacy
et al.,2008).
b) Antisekretori
 Bismuth Subsalisilat
Bismuth subsalisilat dapat sering digunakan untuk pengobatan atau pencegahan
diare pada traveler diaredengan mengontrol dan mengurangi keluaran tinja (Wells et
al., 2015; Riddle et al., 2016). Bismuth subsalisilat menunjukkan efek terapi melalui
efek anti inflamasi oleh asam salisilat, juga antibiotik ringan oleh bismuth.
Mekanisme sebagai anti diare belum jelas, diduga melalui peningkatan absorpsi air
dan elektrolit (antisekretori) (Goldman, 2013). Sebagai mekanisme tambahan,
bismuth subsalisilat dapat mengikat toksin yang diproduksi oleh bakteri misalnya
9
oleh Escherichia coli (Alharbi et al., 2012). Dosis yang direkomendasikan untuk
terapi diare akut adalah 30 ml (525 mg) formulasi cair atau dua tablet kunyah (263
mg per tablet) setiap 30-60 menit tidak melebihi delapan dosis dalam 24 jam (Riddle
et al., 2016). Bismuth subsalisilat tidak direkomendasikan untuk manajemen akut
gastroenteritis pada anak-anak di bawah 12 tahun (Guarino et al., 2014; Mason et al.,
2014).
 Rasekadotril
Rasekadotriladalah penghambat enkephalinase spesifik yang mencegah
degradasi neurotransmitter peptida antisekretori endogen yang mengatur sekresi air
dan elektrolit pada saluran cerna tanpa efek pada motilitas usus (Riddle et al., 2016).
Untuk usia 15 tahun dan lebih, secara oral, pengobatan diawali dengan dosis tunggal
100 mg tanpa memperhatikan waktu pemberian, selanjutnya diberikan kira-kira
setiap 8 jam sampai diare berhenti. Dosis harian tidak boleh melebihi 400 mg. Tidak
direkomendasikan untuk anak usia di bawah 15 tahun (BPOM, 2017).
c) Adsorben
Adsorben yang banyak digunakan antara lain kaolin-pektin, attalpugit, dankarbon
aktif. Obat yang berisi zat aktif tersebut tergolong obat bebas. Adsorben digunakan
untuk meringankan gejala diare. Adsorben bekerja tidak spesifik dengan caramengikat
bakteri penyebab diare dan toksin yang kemudian dieliminasi melalui feses (Wells et
al., 2015). Pemberian adsorben bersama dengan obat lain akan mengurangi
bioavailabilitasnya, sehingga pemberian obat lain harus diberikan jeda setidaknya 1,5
jam (Koletzko dan Osterrieder, 2009). Namun, masih belum ada pembuktian yang
memadai terkait efektivitas dari adsorben untukdirekomendasikan penggunaannya pada
diare akut (Barr dan Smith, 2014). Dosis pemberian campuran kaolin-pektin adalah 30-
120 mL sediaan cair yang mengandung 5,7 gram kaolin dan 130,2 mg pektin/30 mL
setelah setiap buang air besar. Dosis pemberian attapulgit adalah 1200-1500 mg setelah
setiap buang air besar atau setiap 2 jam, hingga 9000 mg/hari (Wells et al., 2015).
3. Probiotik
Probiotik bekerja dengan menstimulasi sistem imun dan berkompetisi untuk
berikatan pada binding site pada sel epitel intestinal. Penggunaan probiotik pada anak
yang mengalami diare akut dapat penurunan keparahan dan mempersingkat durasi
penyakit, namun jenis probiotik yang dapat memberikan efek harus di verifikasi lebih
lanjut (Barr dan Smith, 2014). Fungsi lain dari pemberian probiotik pada anak yang
mengalami gastroenteritis akut adalah mengurangi frekuensi diare dan memperbaiki

10
konsistensi tinja, dimana pemberian L. reuteri bersama dengan cairan rehidrasi oral
secara signifikan dapat mempersingkat durasi diare (Ciccarelli et al., 2013).
Penelitian mengatakan bahwa pemberian probiotik baik tunggal (Lactobacillus
rhamnosus) maupun kombinasi (Lactobacillus rhamnosus + Lactobacilus helveticus)
pada anak yang mengalami gastroenteritis, tidak terdapat perbedaan dari segi keparahan
dan durasi diare serta muntah atau kejadian efek samping dibandingkan dengan plasebo
(Freedman et al., 2018; Schnadower et al., 2018). Hasil tersebut tidak dapat di
generalisasi pada anak dan orang dewasa yang mengalami penyakit gastrointestinal
lainnya, negara yang prevalensi rotavirus lebih besar, dan probiotik yang beredar
dipasaran mengandung berbagai agen aktif sehingga tidak dapat disimpulkan apakah
probiotik tersebut dapat memberikan manfaat atau efek samping.
4. Suplementasi Zinc
Pemberian suplementasi zinc pada anak anak digunakan untuk mengatasi dan mencegah
diare akut. Penggunaan zinc juga dapat menurunkan risiko dehidrasi dan keparahan serta
mempersingkat durasi penyakit (Duncan, 2018). WHO merekomendasikan pemberian zinc
selama 10-14 hari dengan dosis sebagai berikut:
Anak <6bulan ½ tablet (10 mg) 1 kali sehari selama 10-14 hari
Anak >6bulan 1 tablet (20 mg) 1 kali sehari selama 10-14 hari
(Khan and Sellen, 2011)
Zinc tablet digunakan dengan cara dilarutkan terlebih dahulu mengunakan air, cairan
rehidrasi oral atau ASI (pada bayi) di sendok kecil. Zinc tablet bermanfaat untuk pasien anak
yang mengalami diare karena merupakan salah satu mikronutrien yang penting untuk sintesis
protein, pertumbuhan sel, fungsi imun, dan transport air dan elektrolit pada intestinal.
Kekurangan zinc berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi gastrointestinal (Ciccarelli,
2013).
5. Antiemetika
Pada anak-anak pasien gastroenteritis akut biasanya mengalami muntah yang dapat
mempengaruhi pemberian cairan rehidrasi oral. Antiemetik biasanya tidak diberikan pada
pasien gastroenteritis karena muntah biasanya dapat sembuh sendiri, muntah merupakan salah
satu reaksi fisiologi normal untuk mengeluarkan substansi toksik dan pemberian dapat
menimbulkan efek samping (Chow et al., 2010).
Ondansetron dapat dipertimbangkan untuk pasien anak untuk mengatasi mual dan
muntah karena relatif lebih aman dan efektif. Dosis ondansetron dapat diberikan 0,15 mg/Kg

11
atau 2 mg untuk anak dengan BB 8-15 kg; 4 mg untuk anak dengan BB 15-30 kg dan 8 mg
untuk anak dengan BB >30kg. Penggunaan metokloperamid tidak direkomendasikan karena
risiko ekstrapiramidal dan biasanya obat tersebut tidak efektif pada anak-anak yang
mengalami gastroenteritis (Kasel, 2015).
6. Antibiotik
Secara umum, gastroenteritis akut dapat membaik dalam jangka waktu beberapa hari
dan tidak memerlukan pengobatan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
menyebabkan antibiotic-associated diarrhea dan juga dapat menyebabkan resistensi
antibiotik dalam jangka panjang (Kim et al., 2019). Tidak diperbolehkan memberikan
antibiotik secara rutin kepada anak-anak dengan gastroenteritis. Pengobatan antibiotik
diberikan kepada pasien dengan dugaan atau dikonfirmasi septikemia, pasien dengan
penyebaran infeksi bakteri di luar usus, bayi usia di bawah 6 bulan dengan gastroenteritis
salmonella, anak yang kekurangan gizi atau defisiensi imun terhadap
gastroenteritissalmonella, anak dengan Clostridium difficile-associated pseudomembranous
enterocolitis, giardiasis, disentri shigellosis, disentri amoebiasis atau kolera, dan untuk anak-
anak yang baru berada di luar negeri (NICE, 2019).

Tabel 1. Pengobatan Antibiotik pada Gastroenteritis yang disebabkan oleh Bakteri (Cohen et
al., 2017)
Situasi Klinis Regimen yang Alternatif (Bila Kontraindikasi
Target Bakteri Direkomendasikan dengan Pilihan Pertama)
Salmonella* Antibiotik sering tidak Ciprofloxacin (IV)
diperlukan 20 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
Diperlukan Ceftriaxone (IV atau IM) atau
antibiotik jika: 50 mg/kg/hari IV atau IM Ciprofloxacin (oral) 20 hingga 30
- S. typhi dan S. dalam dosis sekali sehari mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
paratyphi (maksimum 2 g/hari) (maksimum 1500 mg/hari)
- Usia <3 bulan Durasi pengobatan: 3-5 hari Durasi pengobatan:3–5 hari
- Sepsis
-Sickle cell disease
atau
imunodepresi
- Bakteremia
Shigella Azitromisin (oral) Ciprofloxacin (oral)

12
20 mg/kg/hari dalam dosis 20 hingga 30 mg/kg/hari dalam 2
sekali sehari (maksimum 500 dosis terbagi (maksimal 1500
mg/hari) mg/hari)
Durasi pengobatan: 3 hari Durasi pengobatan: 3 hari
atau
Ceftriaxone (IV atau IM)
50 mg/kg/hari IV atau IM dalam
dosis sekali sehari (maksimum 2
g/hari)
Durasi pengobatan: 3 hari
Campylobacter Azitromisin (oral) Ciprofloxacin (oral)
jejuni 20 mg/kg/hari dalam dosis 20 hingga 30 mg/kg/hari dalam 2
sekali sehari (maksimum 500 dosis terbagi (maksimal 1500
mg/hari) mg/hari)
Durasi pengobatan: 3 hari Durasi pengobatan: 5 hari
Clostridium Metronidazole (oral) Vankomisin (oral)
difficile (dicari 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis 40 mg/kg/hari dalam 4 dosis
untuktoksin A dan terbagi (maksimal 1,5 g/hari) terbagi.
B) Durasi pengobatan: 10 hari Durasi pengobatan: 10 hari
Yersinia Kotrimoksazol (oral) Doksisiklin (oral)
30 mg/kg/hari sulfametoksazol (setelah usia 8 tahun)
dalam 2 dosis terbagi 4 mg/kg dalam 2 dosis terbagi
atau (maksimal 200 mg/hari)
Ceftriaxone (IV atau IM) Durasi pengobatan: 5 hari
50 mg/kg/hari dalam dosis Ciprofloxacin (oral)
sekali sehari 20 hingga 30 mg/kg/hari dalam 2
Durasi pengobatan: 5 hari dosis terbagi (maksimal 1500
mg/hari)
Durasi pengobatan: 5 hari

13
Tabel 2. Pengobatan Antibiotik pada Gastroenteritis yang disebabkan oleh Parasit (Cohen et
al., 2017)
Parasit yang Regimen yang Alternatif (Bila Kontraindikasi
Diisolasi Direkomendasikan dengan Pilihan Pertama)
Entamoeba Metronidazole (oral) Tinidazole (oral)
histolytica 30–40 mg/kg/hari dalam 2-3 50 mg/kg/hari
dosis terbagi (dosis Durasi pengobatan: 3-5 hari
maksimum: 1,5 g/hari) atau
Durasi pengobatan: 7-10 jam Ornidazole (oral)
30 mg/kg (anak)
Durasi pengobatan: 7 hari
Giardia Metronidazole (oral) Tinidazole (oral)
30–40 mg/kg/hari dalam 2 atau 50–70 mg/kg/hari dalam dosis
3 dosis tunggal
Durasi pengobatan: 5 hari atau
Albendazole (oral)
400 mg/hari
Durasi pengobatan: 3-5 hari
atau
Ornidazole (oral)
30 mg/kg/hari
Durasi pengobatan: 5 hari
VI. LUARAN TERAPI
Secara umum, luaran terapi yang diharapkan yaitu untuk menjaga tidak terjadinya
dehidrasi akibat diare dan muntah khususnya pada anak, menyembuhkan dan mencegah
terjadinya kekambuhan yang berulang. Berikut ini merupakan luaran terapi khusus
gastroenteritis akut.
1. Terapi rehidrasi seperti oralit merupakan formula baru dimana konsentrasi glukosa
dan garam yang lebih rendah diindikasikan untuk mencegah dehidrasi dan mengurangi
kebutuhan pemberian cairan intravena khususnya pada anak.
2. Suplementasi Zinc diindikasikan untuk mempersingkat durasi, meringankan
berkembangnya penyakit, serta mengurangi kemungkinan berulangnya penyakit dalam
2-3 bulan mendatang. Pada anak durasi penggunaan yang diberikan selama 10-14 hari.
3. Antiemetika

14
Pemberian antiemetik digunakan untuk mendukung terapi rehidrasi pada anak.
VII. PERTANYAAN KHUSUS:
1. Berapa lama terapi obat harus diberikan pada pasien?
2. Apakah data klinik yang harus dipantau untuk monitoring kondisi pasien?
Jawaban:
1. Lama pemberian obat pada kasus gastroenteritis akut pada anak G umur 7 tahun yaitu:
a. Redehidrasi (oralit) diberikan hingga diare pasien berhenti.
b. L-zinc sirup diberikan selama 10 hari.
c. Ondansetron diberikan sampai mual dan muntah pasien berhenti.
d. Parasetamol diberikan sampai suhu tubuh pasien normal.

2. Data klinik yang harus dipantau untuk monitoring kondisi pasien yaitu:
a. Kondisi mual muntah pasien
b. Tensi darah
c. Denyut nadi
d. Respiration rate (RR)
e. Suhu tubuh
f. Analisa kondisi feses yang meliputi frekuensi BAB, konsistensi feses, warna, ada
tidaknya darah atau mukus pada feses
g. Derajat dehidrasi dengan mengamati skin turgor, warna kulit (pucat atau tidak),
serta memantau ada tidaknya penurunan berat badan pasien
h. Nyeri abdomen pasien
(Condratovisi et al., 2016).

15
DAFTAR PUSTAKA

Alharbi, S. A., H. Bassam, B. H. Mashat, N. A. Al-Harbi, M. Wainwright, A.S. Aloufi, dan S.


Alnaimatd. 2012. Bismuth-inhibitory effects on bacteria and stimulation of fungal
growth in vitro. Saudi J. Biol. Vol. 19 (2): 147-150.
Al-Thani, A., Boris, M., Al-Lawati, N. Dan Al-Dhahry. S., 2013. Characterising the aetiolgy
of severe acute gastroenteritis among patients visiting a hospital in Qatar using real-time
polymerase chain reaction. BMC Infection Disease,13 : 329.
Barr, W dan A. Smith. 2014. Acute Diarrhea in Adults. American Family Physician. Vol. 89
(3): 180-189.
BPOM.2017. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.
Chow, C. M.,Leung, A. K. C.,Hon, K. L.,2010.Acute Gastroenteritis : From Guideline to Real
Life. Clinical and Experimental Gastroenterology, 3:97-112.
Ciccarelli, S., I. Stolfi, G. Caramia. 2013. Management Strategies in the Treatment of
Neonatal and Pediatric Gastroenteritis. Infection and Drug Resistance. Vol. 6 (1): 146-
151.
Cohena, R., J. Raymondd, dan D. Gendrel. 2017. Antimicrobial treatment of
diarrhea/acutegastroenteritis in children. Archives de Pédiatrie. Vol. 24 (1):S26-S29.
DiPiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, L. M. Posey. 2008.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. New York: Mc
Graw Hill.
Duncan, D.L. 2018. Gastroenteritis: An overview of the symptoms, transmission and
management. British Journal of School Nursing. Vol. 13 (10):486
Firmansyah, A., Herbowo., 2003. Diare Akibat Infeksi Parasit. Sari Pediatri. Vol. 4(4):198-
203.
Freedman S.B. et al., 2018. Multicenter Trial of a Combination Probiotic for Children with
Gastroenteritis. N Eng J Med. 379:21.
Ghssein G., Salami A., Salloum L., Chedid P., Joumaa W.H., Fakih H. 2018. Surveillance
Study of Acute Gastroenteritis Etiologies in Hospitalized Children in South Lebanon
(SAGE study). Pediatric Gastroenterology, Hepatology & Nutrition. Volume 21(3):
176-183.
Goldman, R. D. 2013. Bismuth salicylate for diarrhea in children. Can. Fam.Physician. Vol.
59 (8): 843-844.
Guarino, A., S. Ashkenazi, D. Gendrel, A. L. Vecchio,R. Shamir, dan H. Szajewska. 2014.
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition/European
Society for Pediatric Infectious Diseases Evidence-Based Guidelines for the
Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe: Update 2014. JPGN. Vol.
59 (1): 132-152.
Harper , M. B; Fleisher, G. R; 2010. Infectious Desease Emergencies. Dalam : Fleisher G. R.,
Ludwig, S. (eds). Textbook of Pediatric Emergency Medicine . Philadelphia :
Wolters/Kluwers/Loppincott Williams and Wilkins.
Jassas, M. A., Marwan, K., Hussin, A., Aghareed, A., Salem, A., Hesham, A., Mouad, A.,
Mohammed, A., Alfraa, M., Mamdouh, M. 2018. Gastroenteritis in Adults. International
Journal of Community Medicine and Public Health. Vol. 5 (11) : 1-6.

16
Jin H.L., Lee Y.M., Choi Y.J., Jeong S.J. 2016. Recent Viral Pathogen in Acute
Gastroenteritis: A Retrospective Study at A Tertiary Hospital for 1 Year. Korean J
Pediatr. Volume 59(3): 120-125.
Kasel, C. 2015. Gastroenteritis in children. South Australian Paediatric Clinical Practice
Guidelines. Australia: SA Health.
Khan, W.U., and D.W. Sellen. 2011. Zinc Supplementation in the Management of Diarrhoea.
Biological, behavioural and contextual rationale. Switz: World Healt Organization.
Available from: www.who.int/elena/titles/bbc/zinc_diarrhoea/en/. Accessed 5
September 2019.
Kim, Y. J., K. H. Park,D. A. Park,J. Park, B. W. Bang, S. S. Lee, E. J. Lee, H. J. Lee, S. K.
Hong,dan Y. R. Kim. 2019. Guideline for the Antibiotic Use in Acute
Gastroenteritis.Infect Chemother. Vol. 51(2):217-243.
Koletzko,S. dan S. Osterrieder. 2009. Acute Infectious Diarrhea in Children. Dtsch Arztebl
Int. Vol. 106 (33): 539-548.
Lacy C., L.L. Amstrong, M.P. Goldman, L.L. Lance. 2008. Drug Information Handbook. 17th
Edition. Ohio: Lexi comp.
Mason, B., D. L. Parker, dan R. S. Lott. 2014. Capstone Pharmacy Review. Burlington: Jones
and Bartlett Learning.
NICE. 2019. Diarrhoea and vomiting caused by gastroenteritis in under 5s: diagnosis and
management. England.
Parashar, U. D., Glass, R. I., 2012. Viral Gastroenteritis. Dalam : Longo, D. L., Fauci, A. S.,
Kasper, D. L., Hauser, S. L., Jameson, J. L., Loscalzo, J. (eds). 2012. Harison”s
Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA : The Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Ragil, D., Dyah, Y., 2017. Hubungan Antara Kebiasaan Mencuci Tangan Pengasuh Dengan
Kejadian Diare Pada Balita. Jurnal of Health Education. Vol. 2 (1).
Riddle, M. S.,H. L. DuPont, dan B. A. Connor. 2016. ACG Clinical Guideline: Diagnosis,
Treatment, and Prevention of Acute Diarrheal Infections in Adults. Am J Gastroenterol.
Vol. 111:602-622.
Schnadower et al., 2018. Lactobacillus rhamnosus GG versus Placebo for Acute
Gastroenteritis in Children. N Engl J Med 379:2002-2014.
Shrivastava A.K., Kumar S., Mohakud N.K., Suar M., Sahu P.S. 2017. Multiple Etiologies of
Infectious Diarrhea and Concurrent Infections in A Pediatric Outpatient-based
Screening Study in Odisha India. BioMed Central. Volume 9(16): 1-12.
Sukut, S.S., Arif, Y., Qur’aniati. N., 2015. Faktor Kejadian Diare Pada Balita dengan
Pendekatan Teori Nola J. Pender di IGD RSUD Ruteng. Jurnal Pediomaternal.3(2).
Wedowati, T., Mulyani, N. S., Nirwati. H, Dan Soenarto. Y., 2003. Diare Rotavirus Pada
Anak Usia Balita. Sari Pediatri. 13(5): 340-5.
Wells, B. G., J. T. DiPiro, T. L. Schwinghammer, dan C. V. DiPiro. 2015.
PharmacotherapyHandbook, Edisi IX. United States: McGraw-Hill Education.
Wilhelmi, I., Roman, E., Sanchez-Fauquier, A., 2003. Virus Causing Gastroenteritis. Clinical
Microbiology dan Infection. 9 :247-262.
World Health Organization. Estimated rotavirus death for children under 5 years of age: 2004.

17

Anda mungkin juga menyukai