Anda di halaman 1dari 18

TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN

MAKALAH I
FARMAKOTERAPI INFEKSI SALURAN GASTROINTESTINAL

OLEH:
KELOMPOK 1

Luh Putu Intan Partayanti 1908611051


Ni Putu Riska Astari Putri 1908611052
Luh Putu Sri Adnyani 1908611053
Jennifer Tamara 1908611054
Putu Yunita Candra Dewi 1908611055
Heny Prabowo 1908611056
Putu Ayu Indra Apsari Siaka 1908611057
I G A Anom Krisna Nugraha 1908611058

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... i

I. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI .................................................................................. 1

II. GEJALA DAN TANDA ..................................................................................................... 2

III. DATA LABORATORIUM ................................................................................................ 2

IV. KLASIFIKASI PENYAKIT ............................................................................................... 4

V. PANDUAN TERAPI .......................................................................................................... 5

VI. LUARAN TERAPI ........................................................................................................... 13

VII. PERTANYAAN KHUSUS .............................................................................................. 13


I. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI
1.1 Etiologi
Segala faktor yang dapat menimbulkan reaksi imun dan iritasi pada saluran
gastrointestinal dapat menjadi penyebab terjadinya gastroenteritis. Penyebab yang umum
menyebabkan gastroenteritis adalah virus. Virus yang diketahui menjadi penyebab
gastroenteritis adalah rotavirus, norovirus, astrovirus, sapovirus dan adenovirus. Virus-virus
tersebut umumnya tertransmisikan melalui rute fecal-oral dan orang ke orang. Selain virus,
bakteri juga dapat menjadi penyebab terjadinya gastroenteritis. Contoh bakteri yang dapat
menyebabkan gastroenteritis antara lain enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC),
Shigella, Salmonella, Campylobacter dan Vibrio cholera. Bakteri-bakteri tersebut umumnya
tertransmisikan melalui sumber air yang tercemar, makanan yang tidak bersih atau tidak
dimasak dengan baik, gaya hidup yang tidak bersih seperti jarang mencuci tangan, dsb.
Wisatawan umumnya akan sering mengalami gastroenteritis karena akan terinfeksi bakteri-
bakteri baru oleh makanan di negara tujuannya (Jassas et al, 2018).
Kasus gastroenteritis kronis dengan masa waktu lebih dari 14-30 hari umumnya
disebabkan bukan oleh infeksi mikrobial diatas. Kasus kronis umumnya disebabkan oleh
adanya infeksi parasit atau adanya penyakit lain seperti irritable bowel syndrome, peradangan
(mencakup Crohn disease, ulcerative colitis, microscopic colitis, dan collagenous colitis),
celiac disease, eosinophilic gastroenteritis, colorectal malignancy, ischemic bowel, intoleran
laktosa, malabsorbsi, dan kecacatan organ pencernaan (Al Jassas et al, 2018).
1.2 Epidemiologi
Data riset kesehatan dasar (RISKESDAS) pada tahun 2018 mencatat terdapat 4.504.524
kasus gastroenteritis dan diare yang telah mendapat pelayanan kesehatan di seluruh sarana
kesehatan di Indonesia. Balita memiliki cakupan 36,36% dari jumlah tersebut dengan
1.637.708 kasus. Kasus diare di bali sendiri tercatat terjadi sebanyak 58.064 kasus dengan
16.155 kasus pada balita (Kementrian Kesehatan RI, 2019).
Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi 10 kali di Indonesia pada tahun 2018 dengan 756
kasus dan 36 kematian yang terjadi pada 7 provinsi termasuk Bali. KLB diare di provinsi Bali
terjadi di kabupaten tabanan sebanyak 2 kali dengan total sebanyak 79 kasus. Case Fatality
Rate (CFR) atau angka kematian saat KLB diare di Indonesia pada tahun 2018 adalah 4,76%.
Angka tersebut dinilai cukup tinggi karena melampaui harapan CFR yaitu <1% (Kementrian
Kesehatan RI, 2019).
Penanganan diare balita pada pelayanan kesehatan mengutamakan konsep LINTAS
DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare). Salah satu dari lima langkah tersebut adalah

1
pemberian oralit dan zinc. Pemerintah mengharuskan 100% balita penderita diare
mendapatkan oralit dan zinc selama 10 hari. Data RISKESDAS tahun 2018 mencatat bahwa
hanya 92,24% kasus yang mendapat penanganan oralit dan hanya 93,23% kasus yang
mendapatkan zinc (Kementrian Kesehatan RI, 2019).

II. GEJALA DAN TANDA


Gejala gastroenteritis ditandai dengan lambung (gastro) dan usus kecil (entero) terjadi
peradangan yang menyebabkan penderita mengalami mual, muntah, diare, dan kejang perut
(Ahmed et al., 2014). Gejala klinis penyakit gastroenteritis berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap orang dewasa antara lain mual (93%), muntah (81%), diare (89%), dan
nyeri abdomen (76%). Tanda-tanda dehidrasi sedang sampai berat, seperti membran mukosa
yang kering, dan penurunan turgor kulit (Bresee, 2012).
Menurut NSW Health (2007), gejala utama gastroenteritis ditandai dengan diare berair
dan muntah. Diare pada kasus gastroenteritis secara umum terjadi karena adanya peningkatan
sekresi air dan elektrolit. Pada gastroenteritis akut, penderita akan mengalami mual dan
muntah yang disebabkan oleh iritasi mukosa usus. Iritasi mukosa usus dan peningkatan
volume cairan di rongga usus juga akan menyebabkan perut terasa sakit (Chan et al., 2010).
Penderita gastroenteritis umumnya akan banyak kehilangan cairan dan elektrolit, sehingga
gejala dehidrasi makin tampak seperti berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan
ubun-ubun membesar menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit
tampak kering. Jika keadaan ini terus berlanjut dan asupan nutrisi kurang akan menyebabkan
penderita menjadi lemas. Dehidrasi dan reaksi inflamasi pada mukosa usus dapat
menyebabkan peningkatan suhu tubuh penderita (Ngastiyah, 2005). Penderita juga akan
mengalami perubahan tanda-tanda vital seperti nadi dan respirasi cepat serta denyut jantung
meningkat (Mansjoer, 2009).

III. DATA LABORATORIUM


Durasi, keparahan, dan frekuensi diare harus diperhatikan, dengan perhatian khusus
pada karakter feses (misalnya berair, berdarah, dipenuhi lendir). Muntah lebih mengarah pada
penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Gejala-gejala yang lebih mengarah pada
invasive bacterial (inflammatory) antara lain demam, tenesmus, dan tinja yang berdarah
parah. Tanda-tanda dehidrasi pada pasien pun harus dievaluasi dan dilakukan pemeriksaan
fisik (Barr dan Smith, 2014).

2
Tabel 1. Kriteria Klinis Yang Umum Digunakan untuk Mengklasifikasikan Keparahan
Dehidrasi (Pujiarto, 2014).

Parameter Ringan Sedang Berat


Detak Jantung Normal Ke Tachycardia Marked
(Heart rate) Meningkat tachycardia
Pernafasan Normal Meningkat Meningkat, dalam
Nadi Kualitas Normal Kualitas Normal Kualitas Buruk
Ke Menurun
Tekanan Darah Normal Normal Hipotensi
(Blood Pressure)
Mucous membranes Lembut Tacky Sangat kering
(selaput lendir)
Mata (Eyes) Normal Slightly sunken Very sunken
Air Mata (Tears) Normal Menurun Tidak ada
Produksi urin Normal menjadi Menurun Minimal
sedikit menurun

Pemeriksaan laboratorium meliputi; kultur darah untuk Salmonella typhy, S. paratyphi,


dan S. enteritidis (Rubenstein dkk.,2007), lekositosis mengarahkan adanya inflamasi,
eosinophilia menunjukan adanya neoplasma (Tjokroprawiro dkk.,2015). Selain itu, dapat
dilakukan pemeriksaan tinja untuk mencari kista, telur parasit (ameba, Giardia) dan kultur
(Clostridium difficile, Campylobacter) (Rubenstein dkk., 2007).
Pemeriksaan tinja atau feses yang juga dianjurkan untuk dilakukan ketika diare adalah
sebagai berikut:
- Kadar natrium dan kalium dalam cairan feses untuk menghitung osmotic gap. Dikatakan
“diare kronik osmotic” bila osmitic gap > 125mOsm/kg dan bila osmotic gap < 50
mOsm/kg digolongkan “diare kronik sekretori”
- pH feses apabila < 5,6 maka diare tersebut disebabkan oleh malabsorbsi karbohidrat
- Test darah samar, apabila (+) tergolong diare kronik inflamatori
- Dengan pengecatan Wright’s dapat diperiksa jumlah leukosit dalam feses meningkat
mungkin disebabkan oleh diare kronik inflamatori.
- Pemeriksaan lemak dalam feses : pasien diberi diet lemak 100 gram/hari, pemeriksaan
lemak dilakukan dengan pengecatan Sudan, atau mengukur kadar lemak secara kuantitatif.

3
Apabila kadar lemak dalam feses > 14 g/24 jam menunjukan adanya maldigesti atau
malabsorbsi sedangkan apabila konsentrasi lemak dalam feses melebihi 8 % menyokong
adanya insufisiensi pancreas.
(Tjokroprawiro dkk., 2015).

IV. KLASIFIKASI PENYAKIT


Berdasarkan lama waktu terjadinya, diare dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Diare akut
Diare akut adalah diare yang terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari. Diare akut sering
disebabkan oleh agen infeksius seperti virus, bakteri dan parasit. Diare akut dapat menyertai
infeksi saluran nafas atas (ISPA) atau saluran kemih (ISK), terapi antibiotik atau pemberian
obat pencahar (laksatif). Biasanya diare akut dapat reda dengan sendirinya dalam waktu 72
jam. Akan tetapi, pasien balita, anak-anak dan lanjut usia memiliki resiko yang lebih tinggi
apabila diare berkepanjangan (DiPiro, 2015).
2. Diare kronis
Diare kronis merupakan diare yang berlangsung selama lebih dari 30 hari. Pada diare
kronis sering terjadi serangan dalam waktu yang cukup lama. Diare kronis biasanya diiringi
dengan kehilangan berat badan yang signifikan dan anoreksia (DiPiro, 2015). Diare kronis
bisa terjadi dikarenakan keadaan kronis seperti sindrom malabsorpsi, penyakit inflamasi usus,
defisiensi kekebalan tubuh, intoleransi laktosa atau diare non spesifik akibat dari penanganan
diare akut yang tidak cepat dan efektif (AGA, 1999).
3. Diare persisten
Diare persisten merupakan diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih. Diare
persisten dibagi menjadi 2 yaitu diare persisten berat dan diare persisten ringan. Diare
persisten berat merupakan diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih dengan tanda
dehidrasi sehingga diperlukan perawatan di rumah sakit, sedangkan diare persisten ringan
adalah diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih yang tidak disertai dengan tanda
dehidrasi (Ariani, 2016).

4
V. PANDUAN TERAPI
5.1 Terapi Non Farmakologi
 Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alkohol, kopi/teh, susu.
Teruskan pemberian air susu ibu pada bayi, tetapi pada pemberian susu pengganti ASI
encerkan sampai dua kali.
 Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur, roti, pisang)
selama 1 – 2 hari.
 Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam.
 Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum menyiapkan
makanan. (Diare karena infeksi bakteri/virus bisa menular ).
 Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa dan tikus.
 Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah sisa
makanan di dalam kulkas.
 Gunakan air bersih untuk memasak.
 Air minum harus direbus terlebih dahulu.
 Buang air besar pada jamban.
 Jaga kebersihan lingkungan.
 Bila diare berlanjut lebih dari dua hari, bila terjadi dehidrasi, kotoran berdarah, atau
terus-menerus kejang perut periksakan ke dokter (diare pada anak-anak/bayi sebaiknya
segera dibawa ke dokter).
(Depkes RI, 2006)
5.2 Terapi Farmakologi
5.2.1 Terapi Farmakologi pada Anak
a. Cegah Dehidrasi dan Pertahankan Kecukupan Gizi
- ASI diteruskan dan diselingi dengan cariran rehidrasi oral (CRO).
- Berikan minum yang banyak.
o Bila anak tidak mengkonsumsi ASI, pemberian susu formula tidak perlu
diganti atau diencerkan. Pemberikan makanan diteruskan dan tidak ada
pembatasan jenis makanan ketika terjadi dehidrasi ringan-sedang. Pemberian
makan dihentikan jika dehidrasi berat.
- Anak harus diperiksa kembali kedokter ketika diare cair semakin sering, darah pada
tinja, muntah terus menerus, demam, nyeri perut hebat, terdapat tanda-tanda dehidrasi
sedang.

5
Gambar 1. Clinical Pathway Evaluation dan Manajemen Dehidrasi akibat GEA
pada anak lebih 3 bulan.

- Rencana Terapi A : Penanganan Diare di Rumah


Dijelaskan kepaada Ibu tentang 4 aturan perawatan di rumah :
1. Beri cairan tambahan (sebanyak anak mau).
 Jelaskan kepada Ibu :
- Pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan
tambahan yang utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap
kali pemberian.
- Jika anak memperoleh ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai
tambahan.
- Jika anak idak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan
berikut ini: oralit, cairan makanan (kuah sayur), atau air matang.
Anak harus diberi larutan oralit di rumah, jika :
- Anak telah diobati dengan rencana terapi B atau C dalam kunjungan ini.
- Anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah.
 Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oraliy. Beri 6 bungkus oralit
(200 mL) untuk digunakan di rumah.
 Tunjukan kepada ibu berapa banyak cairan termasuk oralit yang harus
diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairannya sehari-hari :
< 2 tahun : 50 – 100 mL setiap kali BAB
> 2 tahun : 100 -200 mL setiap kali BAB
Katakan kepada ibu :
- Agar meminumkan sedikit-sedikit tetapi sering.

6
- Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan dengan
pemberian secara perlahan.
- Lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.
2. Beri tablet zinc.
Pada anak berusia > 2 bulan, beri tablet Zinc selama 10 hari dengan dosis :
< 6 bulan : ½ tablet (10mg) per hari
> 6 bulan : 1 tablet (20mg) per hari
3. Lanjutkan pemberian makan/ASI.
4. Kapan harus kembali.
- Rencana Terapi B : Penanganan Dehidrasi Sedang/Ringan dengan Oralit
1. Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama :
Umur Berat Badan Jumlah Cairan (mL)

s.d. 4 bulan < 6 kg 200 – 400

4 – 12 bulan 6 – 10 kg 400 - 700

12 – 24 bulan 10 – 12 kg 700 – 900

2-5 tahun 12 – 19 kg 900 - 1400

Jumlah oralit yang diperlukan : 75 mg/kg BB

- Jika anak menginginkan oralit > pedoman diatas. Berikan sesuai


kehilangan cairan yang sedang berlangsung.
- Untuk anak < 6 bulan tidak menyusu. Beri juga 100 – 200 mL air
matang selama periode ini.
- Mulailah memberikan makan segera setelah anak ingin makan.
- Lanjutkan pemberian ASI.
2. Tunjukan kepada ibu cara memberikan oralit.
- Agar meminumkan sedikit-sedikit tetapi sering.
- Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan lagi dengan
pemberian secara perlahan.
- Lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti,
3. Berikan tablet zinc selama 10 hari.
Setelah 3 jam :

7
- Ulangi penilaian dan klaisifikasi kembali derajat dehidrasinya.
- Pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan.
4. Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai :
- Tunjukkan cara menyiapkan oralit di rumah.
- Tunjukkan berapa banyak larutan oralit yang harus diberikan dirumah
untuk menyelesaikan 3 jam pengobatan.
- Beri bungkus oralit yang cukup untuk rehidrasi dengan menambahkan 6
bungkus lagi sesuai yang dianjurkan dalam rencana terapi A.
- Jelaskan 4 aturan perawatan di rumah (rencana A).
- Rencana Terapi C : Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat
 Beri cairan intravena (IV) secepatnya, Jika anak dapat minum, beri oralit
melalui mulut, sementara infus disiapkan. Beri 100 mg/kg BB cairan
Ringer Laktat atau Ringer Asetat (atau jika tidak tersedia gunakan larutan
NaCl) yang dibagi sebagai berikut :
Umur Pemberian I 30 mL/kg Pemberian berikutnya
BB selama : 70 mL/kg BB selama :

Bayi (< 12 bulan) 1 jam 5 jam

Anak (12 bulan – 30 menit 2 ½ jam


5 tahun)

Ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangat lemah atau tidak teraba

 Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum
membaik, beri tetesan IV lebih cepat.
 Beri oralit (+ 5 mL/kg/jam) segera setelah anak mau minum. Biasanya
setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri anak tablet Zinc sesuai
dosis dan jadwal yang dianjurkan.
 Periksa kembali bayi setelah 6 jam atau anak setelah 3 jam. Klasifikasikan
dehidrasi. Kemudian pilih rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk
melanjutkan penangan.
 Rujuk segera untuk pengobatan intravena.
 Jika anak bias minu, beri larutan oralit atau tujukkan cara meminumkan
pada anak sedikit demi sedikit selama perjalanan.

8
 Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa nasogastric atau
mulut: beri 20 mL/kg/jam selama 6 jam (total 120 mL/kg).
o Periksa kembali anak setiap 1-2 jam :
- Jika anak muntah terus menerus atau perut makin kembung, beri
cairan lebih lambat.
- Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak membaik, rujuk anak
untuk pengobatan intravena.
 Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. Klasifikasikan dehidrasi. Kemudian
tentukan rencana terapi yang sesuai (A, B atau C) untuk melanjutkan
penanganan.
Catatan :
- Jika mungkin, amati anak sekurang-kurangnya 6 jam rehidrasi untuk
meyakinkan bahwa ibu dapat mempertahankan hidrasi dengan pemberian
cairan oralit per oral.
b. Zinc
Suplementasi Zinc pada GEA telah terbukti mengurangi durasi dan beratnya
episode GEA, serta berhasil menurunkan insiden diare dalam waktu 2 – 3 minggu ke
depan. Oleh karena itu, semua pasien diare sebaiknya diberi Zinc segera seketia anak
mengalami diare.
- Dosis :
 Anak < 6 bulan : ½ tablet (10 mg), 1 x sehari selama 10 – 14 hari
 Anak > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) sehari selama 10 – 14 hari
- Cara Pemberian :
 Bayi : larutkan tablet dengan sedikit (5 mL) ASI perah, CRO atau air minum
bersih di sendok kecil
 Anak : tablet dikunyah atau dilarutkan dengan sedikit air di sendok
- Durasi :
 Orang tua harus diberi penjelasan perihal pentingnya untuk memberikan Zinc
selama 10 – 14 hari meski diarenya sudah sembuh sebelum durasi tersebut.
Terangkan pula bahwa Zinc akan memperbaiki kesehatan secara menyeluruh,
pertumbuhannya dan nafsu makannya.
c. Terapi Lain pada GEA
 Anti Diare

9
- Obat-obatan anti diare tidak memiliki manfaat dan tidak pernah disarankan
untuk pengobatan diare akut, terutama pada anak. Obat-obatan tersebut tidak
mencegah dehidrasi atau memperbaiki status nutrisi, yang merupakan tujuan
pengobatan diare. Beberapa di antara obat-obatan tersebut berbahaya karena
risiko efek samping yang berat
- Garam bismuth umumnya disediakan dalam bentuk peptobismol. Penelitian
menunjukkan risiko terjadinya sindrom reye pada bayi dan anak.
- Adsorben
Yang termasuk adsorben adalah kaolin-pektin. Senyawa antidiare seperti kaolin-
pektin digunakan sebagai terapi simptomatik bekerja dengan mengadsorbsi
toksin bakteri dan mengikat air untuk mengurangi banyaknya gerakan usus dan
mengingkatkan konsistensi feses
 Anti Motilitas (Tinktur Opium atau Loperamid)
Obat-obatan jenis ini berbahaya, terutama untuk anak-anak < 5 tahun. Untuk
sementara obat ini akan mengurangi kram dan nyeri tetapi obat ini menunda
dibuangnya organisme penyebab diare dan memperpanjang penyakitnya. Obat-
obatan ini berbahaya dan berakibatkan fatal bila diberikan pada bayi
 Antimetik (Ondansetron)
Adanya kecenderungan pemberian ondansetron yang sangat tinggi saat ini untuk
kasus-kasus mual/muntah, baik pada kehamilan maupun pada kasus GEA.
Sampai saat ini, ondansetron terregistrasi hanya diindikasikan untuk kasus
mual/muntah pada kemoterapi, radioterapi, dan pasca operasi (tidak rutin).
 Antimikroba
- Antibiotik tidak efektif terhadap sebagian besar organisme penyebab diare.
Selain karena tidak banyak membantu, pemberian antibiotic dapat menyebabkan
penyakit pasien menjadi lebih lama. Hal ini disebabkan karena penggunaan yang
pemberian antibiotic yang tidak tepat sehingga meningkatkan resistensi bakteri
terhadap antibiotic. Pemberian antibiotic dapat menyebabkan colitis
pseudomembranosa yaitu suatu kondisi dimana usus besar dilapisi suatu selaput
akibat meningkatnya kuman (yang sebenarnya bukan kuman jahat) sehingga
proses penyerapan air di usus besar terganggu dan terjadilah diare
berkepanjangan.
- Anti jamur dalam keadaan normal, di dalam usus kita banyak sekali terdapat
jamur. Keberadaan jamur ini tidak membahayakan bahkan kita butuhkan antara
10
lain untuk memproses sisa mkanan yang akan dibuang. Pada saat kita
mengalami kelainan system imun misalnya pasca transplantasi organ atau
memperoleh steroid jangka Panjang, maka tubuh menjadi potensial rentan
terhadap infeksi jamur. Diare pada orang normal tidak memerlukan anti jamur,
karena pemberian obat anti jamur malah dapat menyebabkan gangguan
pencernaan karena obat tersebut membunuh jamur “baik yang ada di dalam usus
kita.
(Pujiarto, 2014).
5.2.2 Terapi Farmakologi pada Dewasa
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas: rehidrasi
sebagai prioritas utama pengobatan, memberikan terapi simptomatik, dan memberikan terapi
definitif.
1. Terapi Rehidrasi
Langkah pertama dalam menterapi diare adalah dengan rehidrasi, dimana lebih disarankan
dengan rehidrasi oral. Akumulasi kehilangan cairan (dengan penghitungan secara kasar
dengan perhitungan berat badan normal pasien dan berat badan saat pasien diare) harus
ditangani pertama. Selanjutnya, tangani kehilangan cairan dan cairan untuk pemeliharaan. Hal
yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu:
a. Jenis cairan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak
di pasaran, meskipun jumlah kaliumnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium
cairan tinja. Apabila tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik. Sebaiknya
ditambahkan satu ampul Na bikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap satu liter infus NaCl isotonik.
Asidosis akan dapat diatasi dalam 1-4 jam. Pada keadaan diare akut awal yang ringan,
tersedia di pasaran cairan/bubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha awal agar tidak
terjadi dehidrasi dengan berbagai akibatnya. Rehidrasi oral (oralit) harus mengandung garam
dan glukosa yang dikombinasikan dengan air (Amin L.Z., 2015).
b. Jumlah Cairan
Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai Metode
Daldiyono berdasarkan keadaan klinis dengan skor. Rehidrasi cairan dapat diberikan dalam 1-
2 jam untuk mencapai kondisi rehidrasi (Amin L.Z., 2015).

11
Tabel. Skor Daldiyono
Rasa haus / muntah 1
Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
Frekuensi nadi > 120 x/menit 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolen, spoor, koma 2
Frekuensi napas > 30 x/menit 1
Facies cholerica 2
Vox cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer’s woman’s hand 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2

Kebutuhan Cairan = x 10% x kgBB x 1 liter

c. Jalur Pemberian Cairan


Rute pemberian cairan pada orang dewasa terbatas pada oral dan intravena. Untuk
pemberian per oral diberikan larutan oralit yang komposisinya berkisar antara 29g glukosa,
3,5g NaCl, 2,5g Na bikarbonat dan 1,5g KCI setiap liternya. Cairan per oral juga digunakan
untuk memperlahankan hidrasi setelah rehidrasi inisial (Amin L.Z., 2015).
2. Terapi Simtomatik
Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan setelah benar-benar
dipertimbangkan karena lebih banyak kerugian daripada keuntungannya. Hal yang harus
sangat diperhatikan pada pemberian antiemetik, karena Metoklopropamid misalnya dapat
memberikan kejang pada anak dan remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal. Pada diare akut
yang ringan kecuali rehidrasi peroral, bila tak ada kontraindikasi dapat dipertimbangkan
pemberian Bismuth subsalisilat maupun loperamid dalam waktu singkat. Pada diare yang
berat obat-obat tersebut dapat dipertimbang dalam waktu pemberian yang singkat
dikombinasi dengan pemberian obat antimikrobial (Amin L.Z., 2015).

12
3. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi,
karena 40% kasus diare sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Antibiotik
diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi, seperti demam, feses
berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten
atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotic dapat secara empiris, tetapi antibiotic spesifik
diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman (Amin L.Z., 2015).

VI. LUARAN TERAPI


Luaran terapi yang difokuskan pada gejala, tanda-tanda, dan studi lab. Gejala biasanya
akan meningkat dalam waktu 24 hingga 72 jam. Perlu diperhatikan frekuensi dan karakteristik
gerakan usus pasien. Selain itu perubahan berat badan, osmolalitas dan elektrolit serum, sel
darah, urinalisis dan hasil kultur berhubungan dengan tanda penting dan peningkatan outcome
terapi. Pasien apabila diperlukan dapat menerima terapi parenteral cairan elektrolit untuk
rehidrasi (Dipiro et al, 2015).
Luaran yang diharapkan dari terapi adalah nenurunnya frekuensi buang air besar, gejala
(sakit perut, mual, muntah, dsb) berkurang disertai karakteristik gerakan usus yang semakin
membaik. Diharapkan tidak ada perubahan berat badan pasien, status cairan tubuh dan
elektrolit pasien normal, serta kembali normalnya fungsi saluran pencernaan.

VII. PERTANYAAN KHUSUS


7.1 Pertanyaan
1. Berapa lama terapi obat harus diberikan pada pasien?
2. Apakah data klinik yang harus dipantau untuk monitoring kondisi pasien?
7.2 Jawaban
1. Pasien merupakan seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dengan keluhan diare dan
mual. Pasien sempat mengalami demam, mual, diare hingga lebih dari 6 kali dan
muntah sebanyak 2 kali. Pasien mendapatkan terapi Amoksisilin sirup, Neo Kaolana
sirup, dan L-Zinc sirup.
 Antibiotik hanya diberikan sesuai indikasi yaitu pada diare berdarah karena infeksi
bakteri (kemungkinan shigellosis), suspek kolera, dan infeksi berat lainnya (WHO
Indonesia, 2009; Departemen Kesehatan RI, 2011). Antibiotik tidak efektif terhadap
13
sebagian besar organisme penyebab diare. Pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat
menyebabkan diare berkepanjangan dan adanya resistensi terhadap bakteri tertentu
(Pujiarto, 2014). Pada kasus ini, pasien tidak mengalami diare berdarah yang mengarah
pada adanya infeksi, sehingga tidak dianjurkan untuk menggunakan antibiotik. Selain
itu, perlu dilakukan pengujian mikrobiologi pada feses untuk memeriksa adanya bakteri
agar dapat memberikan antibiotik yang tepat.
 Neo Kaolana merupakan golongan adsorben dan biasanya digunakan untuk
meringankan gejala simptomatis yang dirasakan (Wells et al., 2015). Adsorben berguna
untuk mengurangi frekuensi buang air besar, memadatkan tinja, dan menyerap racun
pada penderita diare (Depkes RI, 2006; Pujiarto, 2014). Kaolin-pektin dapat diberikan
selama 2 hari, jika kondisi tidak membaik, maka obat dapat dihentikan (Shorr et al.,
2007).
 Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan
diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta
menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Black et al., 2003;
WHO, 2005). Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti
(WHO, 2005; Anggraeni dan Sibuea, 2011; Departemen Kesehatan RI, 2011). Zinc
dapat memperbaiki kesehatan secara menyeluruh, pertumbuhan dan nafsu makan dari
pasien (Pujiarto, 2014).
2. Data klinik yang harus dipantau untuk monitoring kondisi pasien adalah tingkat dehidrasi
dari pasien. Penilaian dehidrasi pasien diulangi setelah 3 jam dan diklasifikasikan
kembali tingkat dehidrasinya (WHO Indonesia, 2009). Terapi diulangi bila tanda
menunjukkan adanya dehidrasi ringan/sedang. Terapi diganti menjadi Terapi Diare
Tanpa Dehidrasi bila tidak ada dehidrasi atau diganti menjadi Terapi Diare Berat bila
tanda menunjukkan adanya dehidrasi berat (Departemen Kesehatan RI, 2011).

14
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S.M., Hall, A.J., Robinson, A. E., Verhoef, L., Premkumar, P., Parshar, U. D.,
Koopmans, M., Lopman, B. A. 2014, Global Prevalence of Norovirus in Cases of
Gastroenteritis: A Systematic Review and Meta-analysis, The Lancet Infectious
Diseases, 14:725-730.

Al Jassas, B., M. Khayat, H. Alzahrani, A. Asali, S. Alsohaimi, H. AL Harbi, M. AlQadi, M.


Al Qassim, A. Mutahar, M. Mahbub, 2018, Gastroenteritis in adults, International
Journal Of Community Medicine And Public Health, 5(11):1-6, DOI:10.18203/2394-
6040.ijcmph20184250.

Anggraeni, N. D. dan Sibuea, F. 2011, Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan:
Situasi Diare di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Amin L. Z., 2015. Tatalaksana Diare Akut, Continuing Medical Education, 42:504-508.

Ariani, P., 2016, Diare Pencegahan dan Pengobatan, Nuha Medika, Yogyakarta.

Barr, W. and SMITH. 2014, Acute Diarrhea in Adults, American Family Physician, 89:181-
189.

Black, R. E., Morris, S. S., and Bryce, J. 2003, Where and why are 10 million children dying
every year?, Lancet, 361: 2226-2234.

Bresee, J., Bulens, S., Beard, R., Dauphin, L., Slutsker, L., Bopp, C., Eberhard, M., Hall, A.,
Vinje, J., Monroe, S. and Glass, R. 2012, The Etiology of Severe 50 Acute
Gastroenteritis Among Adults Visiting Emergency Departments in the United States,
Journal of Infectious Diseases, 205:1374-1381.

Chan, R., Brooks, R., Erlich, J., Gallagher, M., Snelling, P., Chow, J., et al. 2010, Studying
Psychososial Adaptation To End Stage Renal Disease: The Proximal-Distal Model Of
Health-Related Outcomes as a Base Model, Journal Of Psycosomatic Research,
70:455-464.

Departemen Kesehatan RI, 2011, Buku Saku Petugas Kesehatan: LINTAS DIARE,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

DiPiro, J.T., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer and C. V. DiPiro, 2015, Pharmacotherapy


Handbook, Ninth Edition, McGraw-Hill Education, USA.

Fine, K. and L. Schiller, 1999, AGA Technical Review on the Evaluation and Management of
Chronic Diarrhea, Gastroenterology, Vol. 116 : 1464 – 1486.

Kementrian Kesehatan RI, 2019, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Mansjoer, Arief. 2005, Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, EGC, Jakarta.

Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta.

15
NSW Health. 2007, Viral Gastroenteritis, Diakses pada 5 September 2019,
<https://www.health.nsw.gov.au//>.

Pujiarto, P.S., 2014, Gastrorenteritis Akut (GEA) Pada Anak, In Health Gazette, pp. 1-8.

Rubenstein,D.,Wayne,D. dan Bradley,J.2007, Lecture Notes Kedokteran Klinis,Edisi


Keenam,Penerbit Erlangga.

Tjokroprawiro,A.,Setiawan,P.B, Santoso,D,Soegiarto,G.,Rahmawati,L.D.,2015,Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga University Press, Surabaya.

World Health Organization, 2005, The Treatment of Diarrhoea: A manual for physicians and
other senior health workers, WHO Press, Geneva.

World Health Organization Indonesia, 2009, Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota, WHO
Indonesia, Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai