Anda di halaman 1dari 16

TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN

MAKALAH I
FARMAKOTERAPI GANGGUAN GINJAL KRONIS DENGAN HIPERTENSI

OLEH:
KELOMPOK 4

Santri Yulita 1908611059


Putu Bagus Pradnya Putra B. 1908611060
Vevy Auryn Setiawan 1908611061
Ni Luh Gede Juliantari Dewi 1908611062
Kadek Mitta Arianti 1908611063
I Putu Wijaya Kusuma 1908611064
Putu Pradnya Pramita Dewi 1908611065
Jane Isabella Manibuy 1908611066

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2019

i
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ................................................................................................................... i

Daftar Isi ........................................................................................................................... ii

I Epidemiologi dan Etiologi ..........................................................................................1

II Gejala dan Tanda ........................................................................................................2

III Data Laboratorium......................................................................................................2

IV Stage/Klasifikasi/Jenis Penyakit .................................................................................3

4.1 Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronis .........................................................3

4.2 Klasifikasi Penyakit Hipertensi .........................................................................3

V Panduan Terapi ...........................................................................................................5

5.1 Terapi Farmakologi ...........................................................................................5

5.2 Terapi Non Farmakolofi....................................................................................8

VI Luaran Terapi .............................................................................................................9

VII Pertanyaan Khusus ...................................................................................................11

Daftar Pustaka..................................................................................................................13

ii
I. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
Gangguan ginjal kronis (GGK) merupakan abnormalitas struktur ataupun fungsi
ginjal yang berlangsung lebih dari tiga bulan (KDIGO, 2012). Pada kondisi gangguan
ginjal kronis, nilai Glomerulus Filtrate Rate yaitu kurang dari 60 ml/menit/1,73 (Arifa,
dkk., 2017). Prevalensi GGK global sebesar 13,4% dengan 48% di antaranya mengalami
penurunan fungsi ginjal dan tidak menjalani dialisis serta sebanyak 96% orang dengan
kerusakan ginjal atau fungsi ginjal yang berkurang tidak sadar bahwa mereka memiliki
gangguan ginjal (Hill et al., 2016). Berdasarkan Riskesdas Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2018, populasi umur ≥15 tahun yang terdiagnosis GGK sebesar
3,8%. Prevalensi penyakit ginjal kronis meningkat seiring bertambahnya usia, namun
terjadi penurunan prevalensi pada kelompok umur diatas 75 tahun. Prevalensi pada laki-
laki (0,65%) lebih tinggi dari perempuan. Perawatan penyakit ginjal di Indonesia
menempati urutan kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit
jantung (Kemenkes RI, 2017). Gangguan ginjal dapat menyerang segala ras dan usia.
Orang Afrika-Amerika, Hispanik, India-Amerika, dan orang Asia Selatan (India,
Bangladesh, Sri Lanka atau Pakistan) memiliki resiko lebih tinggi terkena gangguan
ginjal (World Kidney Day, 2019).
Terdapat berbagai penyebab GGK dimana dua penyebab utama paling sering
adalah penyakit ginjal hipertensi (37%) dan nefropati diabetika (27%). Penyebab lain dari
GGK yang sering ditemukan yaitu glomerulopati primer (10%), nefropati obstruksi (7%),
pielonefritis kronis (7%), nefropati asam urat (1%), nefropati lupus (1%), ginjal polikistik
(1%), tidak diketahui (2%) dan lain-lain (7%). Penyakit ginjal hipertensif menduduki
peringkat paling atas penyebab GGK (PERNEFRI, 2014). Hipertensi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih
dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang (Kemenkes RI, 2014). Seiring waktu, tekanan darah tinggi bisa
merusak pembuluh darah di seluruh tubuh dan dapat mengurangi suplai darah ke organ
penting seperti ginjal. Tekanan darah tinggi juga merusak unit penyaringan kecil di ginjal
akibatnya ginjal bisa berhenti mengeluarkan limbah dan cairan ekstra dari darah. Cairan
tambahan di pembuluh darah dapat terbentuk dan menaikkan tekanan darah lebih tinggi
lagi. Di sisi lain hipertensi bisa menjadi komplikasi gagal ginjal kronis. Ginjal yang telah

1
terganggu fungsinya kurang mampu membantu mengatur tekanan darah akibatnya
tekanan darah meningkat (National Kidney Foundation, 2010). Jumlah pasien yang
menderita PGK diperkirakan akan terus meningkat. Peningkatan ini sebanding dengan
penambahan jumlah populasi, peningkatan populasi usia lanjut, dan peningkatan jumlah
pasien dengan hipertensi dan diabetes (Johnson, 2014).

II. GEJALA DAN TANDA


Pasien penyakit ginjal kronis tahap awal menunjukan keluhan tidak spesifik
seperti kelelahan, malaise dan anoreksia. Seiring dengan berkembangan penyakit ginjal
kronis, tanda dan gejala sebagai berikut :
 Edema
 Hipertensi
 Arthralgia (nyeri sendi)
 Demam
 Buang air kecil berlebih dimalam hari
 Dysuria
 Urin berwarna gelap
 Hiperlipidemia
(Killeen, 2017).

III. DATA LABORATORIUM


Penting untuk melakukan deteksi dini karena pada derajat awal, penyakit ginjal
kronis belum menimbulkan gejala dan tanda, bahkan hingga laju filtrasi glomerulus
sebesar 60% pasien masih asimtomatik namun sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Pasien mulai merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju
filtrasi glomelurus kurang dari 30%. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat tekanan
darah, pengujian urine dan darah (Kemenkes RI, 2017).
Untuk memperkuat diagnosa penyakit gagal ginjal kronis sering diperlukan
pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium yang meliputi target Kt/V,
capaian urea reduction rate (URR), kadar albumin serum, kadar hemoglobin, kadar Fe
serum, saturasi transferin, kadar calcium total, kadar fosfat, serologi hepatitis B, serologi

2
hepatitis C, tekanan darah, rasio albumin dengan kreatinin, dan proteinurea (Vijayalaksmi
dan Manasa, 2015).

IV. STAGE/KLASIFIKASI/JENIS PENYAKIT


4.1 Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronis
Penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan menurut derajat (stage) penyakit.
Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease Improving Global
Outcomes (NKF-KDIGO) tahun 2012, Klasifikasi PGK menurut derajat penyakit di
kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan atas penurunan faal ginjal berdasarkan
LFG, yaitu:
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis Menurut Derajat Penyakit

Derajat LFG (mL/menit/1,73 m2) Penjelasan


Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
G1 ≥90
meningkat
G2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG turun dari
G3a 45-59
ringan sampai sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG turun dari
G3b 30-44
sedang samapi berat
G4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat
G5 <15 Gagal ginjal
(KDIGO, 2012).
4.2 Klasifikasi Penyakit Hipertensi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,
hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan
dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung).
Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil
pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anak-
anak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil

3
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah
yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara
dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan
diastolik.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 %
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek
dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor
yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polisitemia.
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit
ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom
Cushing, feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain-lain.
Menurut Whelton (2017), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi
menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.
Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah menurut Whelton, 2017
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 129 < 80
Hipertensi derajat I 130 – 139 80–89
Hipertensi derajat II ≥ 140 ≥ 90

Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Hipertensi berat ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sedang 160 – 179 100 – 109

4
Hipertensi ringan 140 – 159 90 – 99
Hipertensi perbatasan 120 – 149 90 – 94
Hipertensi sistolik 120 – 149 < 90
perbatasan
Hipertensi sistolik > 140 < 90
terisolasi
Normotensi < 140 < 90
Optimal < 120 < 80

V. PANDUAN TERAPI
Efektivitas dari penanganan gagal ginjal kronis dengan hipertensi dipengaruhi
oleh tekanan darah. Tekanan darah seharusnya ditargetkan <130/80 mmHg untuk pasien
dengan proteinuria dan target tekanan darah <140/90 untuk pasien non-proteinuria.
Target tekanan darah dicapai untuk mencegah terjadinya CVD (Cardio Vascular Disease)
dan memperlambat progesi gagal ginjal pada pasien dengan hipertensi (Pugh et al., 2019;
Wells et al., 2015). Terapi yang dapat dilakukan pada penderita gagal ginjal kronis
dengan hipertensi meliputi terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.
5.1 Terapi Farmakologi

Gambar 1. Algoritma terapi hipertensi dengan gagal ginjal kronis.

5
Terapi farmakologi yang dapat diberikan beriringan dengan terapi non-
farmakologis. terapi farmakologis dapat berupa sediaan oral sebagai berikut:
a. Angiotensin converting enzyme (ACE) Inhibitor
Obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi dengan mencegah tubuh
membuat hormone angiotensin II – hormon ini menyebabkan pembuluh darah
menyempit, yang dapat menaikkan tekanan darah. ACE inhibitor membiarkan
pembuluh darah melebar dan membiarkan lebih banyak darah mengalir ke
jantung, sehingga menurunkan tekanan darah. Obat-obat ini juga digunakan untuk
mengobati gagal jantung kongestif, untuk melindungi ginjal pada pasien dengan
diabetes, dan untuk mengobati pasien yang telah terkena serangan jantung. Dapat
juga digunakan untuk membantu mencegah serangan jantung dan stroke pada
pasien dengan resiko tinggi. Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang
sudah dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua karena resiko
hipotensi, dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis atau pasien yang juga mendapat diuretik penahan kalium, antagonis
aldosteron, atau ARB, dapat juga menyebabkan gagal ginjal pada pasien dengan
renal arteri stenosis. Obat golongan ini jangan digunakan pada perempuan hamil
atau pada pasien dengan sejarah angioedema. Obat-obat golongan ACEi yaitu
benazepril, captropil, enalapril, fosinopril, lisinopril, moexipril, perindopril,
quinapril, ramipril, trandolapril, dan tanapres (DepKes, 2015).
b. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS
(Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan jalan
alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEi hanya
menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB
menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. ACEi hanya menghambat
sebagian dari efek angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung
reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II
yang sudah diketahui pada manusia yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron,
aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen
dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi
efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan

6
jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan
ARB. Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik,
yang kekurangan cairan, atau sudah tua karena resiko hipotensi, dapat
menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau pasien
yang juga mendapat diuretik penahan kalium, antagonis aldosteron, atau ACEi,
dapat menyebabkan gagal ginjal pada pasien dengan renal arteri stenosis, tidak
menyebabkan batuk kering seperti ACEi. Obat golongan ini jangan digunakan
pada perempuan hamil. Obat–obat golongan ARB yaitu kandesatan, eprosatan,
irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, valsartan (DepKes, 2015).
c. Golongan Obat Diuretika
Diuretika dapat meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal hingga
volume darah dan TD menurun. Kebanyakan diuretika bekerja dengan
mengurangi reabsorbsi natrium, sehingga pengeluaran lewat kemih (Tjay dan
Rahardja, 2007). Diuretik tunggal yang paling sering digunakan pada pasien GGK
adalah furosemid (diuretik lengkungan). Penggunaan diuretik lengkungan tunggal
dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan hipertrofi pada tubulus distal yang
mengakibatkan kenaikan reabsorpsi natrium. Hal ini dapat dicegah dengan
kombinasi diuretik lengkungan dan diuretik spironolakton (Muti dan Chasanah,
2016).
Pada umumnya diuretiks dibsgi dalam beberapa kelompok, yaitu:
 Diuretika lengkungan: Furosemid, bumetanida, dan etakrinat
 Derivat Thiazida: Hidroklorothiazida, klortalidon, mefrusida,
indapamida, dan klopamida.
 Diuretika penghemat kalium: antagonis aldosteron (spironolakton,
kanrenoat), amilorida, triamteren.
 Diuretika osmotis: Manitol dan sorbitol
 Perintang karbonanhidrase: asetazolamida
(Tjay dan Rahardja, 2007).
d. Beta-Blockers
Khasiat utama beta-blockers adalah anti-adrenergik dengan jalan menempati
secara bersaing reseptor β-adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan
peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA).

7
Penggunaan metoprolol dan bisoporol adalah sebagai obat tambahan dari
diuretika dan ACE blockers pada dekompensasi taidak berat. Obat-obat tersebut
dapat mencegah memburuknya kondisi serta memperbaiki gejala dan keadaan
fungsional ginjal. Selain itu, salah satu sifat beta blockers yaitu menghambat
terutama reseptor- β1 dengan penurunan tekanan darah tanpa menimbulkan
penyempitan bronchia dan pembuluh perifer. Obat-obat golongan ini yaitu
asebutolol, atenolol, bisopronol, karvedilol, labetolol, metoprolol, nadolol,
pindolol, propanolol, timilol (Tjay dan Rahardja, 2007).
e. Calcium Channel Blocker (CCB)
Kalsium merupakan elemen esensial bagi pembentukan tulang dan fungsi otot
kerangka dan otot polos/dinding arteriole. Kontraksi semua jenis sel otot tersebut
diperlukan ion-Ca intrasel bebas. Kalsium bebas juga perlu untuk pembentukan
dan penyaluran impuls AV jantung. Pada kadar Ca intrasel tertentu, sel mulai
berkontraksi makan otot jantung dan arteriole menciut (kontriksi). Kelompok
antagonis kalsium berdaya menghambat masuknya Ca ke dalam sel-sel otot
jantung dan sel-sel otot polos dinding arteri. Derivat dihidropiridin memiliki efek
vasodilatasi yang kuat dan digunakan pada penderita hipertensi hanya bila
diuretika, beta-blockers dan zat penghambat ACE tidak atau kurang efektif. Obat-
obat golongan ini yaitu diltiazem, verapamil, amlodipin, felodipin, nikardipin SR,
nifedipin LA, nimodipin, nisoldipin, lercanidipin, nitrendipin, dan cilaapril (Tjay
dan Rahardja, 2007).
5.2 Terapi Non-Farmakologi
Terdapat beberapa perawatan non-farmakologis yang dapat dilakukan pada pasien
gagal ginjal kronis dengan hipertensi yakni dengan membatasi asupan garam <50
mmol/hari(~3g/hari) dapat menurunkan tekanan darah sistolik hingga 10mmHg.
Pembatasan jumlah asupan garam hingga <100 mmol/hari (~6g/hari) menunjukkan
penurunan protenuria sebanyak ~25%. Penurunan berat badan efektif dalam mengurangi
tekanan darah dan protenuria dan dapat memperlambat perkembangan gagal ginjal
kronis. Modifikasi gaya hidup seperti mengurangi konsumsi alkohol, memperbanyak
aktivitas fisik, dan merubah pola makan dapat meningkatkan efektivitas tekanan darah
yang menurun (Kalaitzidis dan Elisaf, 2018; Pugh et al., 2019).

8
Tabel 4. Pengaruh Modifikasi Gaya Hidup Dalam Mengontrol Hipertensi
Perkiraan
Modifikasi Gaya
Rekomendasi Penguranan
Hidup
Tekanan Darah
5-20
Penurunan BB BB normal (body mass index 18,5-24,9)
mmHg/10kg
Pola makan DASH
Konsumsi buah, sayur, dan produk susu
(Dietary Approaches 8-14 mmHg
rendah lemak
to Stop Hypertension)
Pembatasan asupan Batasi asupan natrium tidak lebih dari
2-8 mmHg
natrium 100mmol/hari (~6g natrium klorida)
Aktivitas fisik seperti jalan kaki ±30
Aktivitas fisik 4-9 mmHg
menit/hari rutin dalam seminggu
Batasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2
Pembatasan konsumsi
porsi/hari untuk laki-laki dan tidak lebih dari 2-4 mmHg
alkohol
1 porsi/hari untuk perempuan

Efek dari perubahan gaya hidup terhadap penguranan tekanan darah tergantung
masing-masing individu dan lama waktu pelaksanaan. Untuk mengurangi resiko
kardiovaskular dapat dilakukan dengan berhenti merokok.
(Chobaniam et al., 2003; James et al., 2014).

VI. LUARAN TERAPI


Tujuan dari terapi dari pasien GGK dengan hipertensi adalah menurunkan tekanan
darah menjadi kurang dari 130/80 mmHg, mencegah penyakit ginjal agar tidak bertambah
parah, dan menurunkan kemungkinan penyakit jantung. Untuk membantu mencapai
tujuan terapi, diperlukan kombinasi perubahan gaya hidup, diet sehat, olahraga, dan
konsumsi obat-obatan (NKH, 2015). Adekuasi adalah parameter yang menunjukkan hasil
yang optimal pada pasien hemodialisis dengan memaksimalkan sumber-sumber yang
tersedia. Dialisis yang adekuat berdampak pada kualitas hidup dan rata-rata kelangsungan
hidup pasien, tingkat morbiditas dan mortalitas pasien, besarnya biaya perawatan serta

9
frekuensi hospitalisasi pasien (Chayati dkk., 2013). Berikut adalah luaran terapi yang
penting dari pasien GGk dengan hipertensi:
a. Target Kt/V, dan Capaian Urea Reduction Rate (URR)
Evaluasi terhadap keefektifan terapi dialisis dinyatakan sebagai adekuasi
dialisis yang dihitung dengan rumus Kt/V atau URR (Chayati dkk., 2013).
Parameter Kt/v melihat dari sisi teknis dengan faktor: jenis tabung HD, durasi
lamanya HD, dan berat badan pasien, sedangkan URR dilihat dari tingkat
penurunan ureum sebelum dan sesudah HD. Jika HD dilakukan 2 kali
seminggu, maka rentang Kt/v nya yaitu 1,7-1,9, sedangkan jika HD dilakukan
3 kali seminggu, maka rentang Kt/v minimal 1,2. Nilai Standar URR minimal
adalah 65% nilai Kt/V dan URR di bawah standar harus diperbaiki (Ivan dkk.,
2017).
b. Kadar Albumin Serum
Albumin dipakai juga sebagai salah satu parameter status nutrisi (IRR, 2017).
c. Kadar Hemoglobin
Pasien dengan GFR<60 mL/min/1.73 m2 harus melakukan evaluasi terhadap
anemia, yang mencakup kadar hemoglobin (KDOQI, 2002). Anemia
merupakan salah satu kondisi klinis yang penting dari pasien dialisis dengan
10 gr/dL untuk mendapatkan terapi pendukung (IRR, 2017).
d. Kadar Fe Serum, dan Saturasi Transferin
Kurangnya kadar besi dalam tubuh pasien akan menjadi salah satu penyebab
anemia pada pasien dialisis maka terpenuhinya besi dalam tubuh merupakan
syarat untuk terapi lainnya seperti pemberian eritropoetin. Status besi dinilai
dari kadar besi (Fe serum) dan saturasi transferin (IRR, 2017).
e. Kadar Calcium Total, dan Kadar Fosfat
Chronic Kidney Disease Mineral Bone Disease (CKD MBD) merupakan
komplikasi lainnya dari pasien dialisis. Kadar calcium dan fosfat menjadi
salah satu pemeriksaan yang penting (IRR, 2017).
f. Serologi Hepatitis B, dan Serologi Hepatitis C
Pemeriksaan serologi hepatitis B dan C merupakan pemeriksaan yang
seharusnya dilakukan secara rutin. Hepatitis yang menjadi penyakit dasar dari

10
kerusakan hepar tentunya menjadi komorbid yang penting dari survival
pasien dialisis (IRR, 2017).
g. Tekanan darah
Pasien GGK tanpa proteinuria harus mencapai tekanan darah <130/80
mmHg. Pasien GGK dengan proteinuria harus mencapai tekanan darah 120–
129/75–79 mmHg (Zadeh, 2011).
h. Rasio albumin dengan kreatinin
Bagi pasien dengan gagal ginjal kronis proteinuria (rasio albumin urin dengan
kreatinin≥ 30mg/mmol), dan bagi pasien dengan gagal ginjal kronis
nonproteinuria (rasio albumin dengan kreatinin <30mg/mmol) (Zadeh, 2011).
i. Proteinurea
Evaluasi dan kuantisasi albuminuria / proteinuria direkomendasikan ketika
GFR adalah <60 mL / min / 1,73 m2. Proteinuria mempercepat laju penurunan
GFR pada pasien hipertensi. Hipertensi memperburuk proteinuria dan
meningkatkan inflamasi tubulointerstisial, fibrosis, dan atrofi tubular, yang
selanjutnya meningkatkan tekanan darah. proteinuria, lebih khusus lagi,
albuminuria adalah faktor risiko independen untuk stroke, LVH, dan
kematian. Pasien dengan Proteinurea >1-2g/d mengalami peningkatan risiko
GGK yang progresif setelah tekanan darah>130 mmHg. Pasien dengan
tekanan darah sistolik 115-130 mmHg dan proteinurea <1g/d memiliki risiko
perkembangan GGK yang lebih rendah (Zadeh, 2011).

VII. PERTANYAAN KHUSUS


1. Berapakah klierens kreatinin pasien dan klasifikasi stage GGK pasien?
Klierens kreatinin diperoleh menggunakan Rumus Cockcroft-Gault atau MDRD
(Modification of Diet in Renal Disease Study).
 Rumus Cockcroft-Gault untuk pasien Wanita:
(140−umur)(berat [kg])
Ccr = 𝑚𝑔
85 𝑥 𝑆𝑐𝑟 ( )
𝑑𝐿

(140−51)(54 kg)
Ccr = 𝑚𝑔
85 𝑥 1,3
𝑑𝐿

89 x (54 kg)
Ccr = 𝑚𝑔
110,5
𝑑𝐿

11
Ccr = 43,49 ml/menit
 Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal Disease Study) untuk pasien
Wanita
GFR = 186 x (Standardized SCr)-1,154 x (age)-0,203 x (0.742 jika wanita)
GFR = 186 x (1,3) -1,154 x (51) -0,203 x 0,742
GFR = 45,90 mL/menit/1,73 m2
 Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal Disease Study)
terstandarisasi untuk pasien Wanita
GFR = 175 x (Standardized SCr)-1,154 x (age)-0,203 x (0.742 jika wanita)
GFR = 175 x (1,3) -1,154 x (51) -0,203 x 0,742
GFR = 43,18 mL/menit/1,73 m2
Rumus yang direkomendasikan adalah MDRD, karena persamaan MDRD
efektif digunakan untuk pengukuran serum kreatinin. Tes serum kreatinin harus
dikalibrasi dengan benar dan secara signifikan mengurangi atau menghilangkan
variasi diantara laboratorium agar hasil yang diperoleh lebih akurat. Rumus
MDRD terstandarisasi yang digunakan secara universal di seluruh dunia dapat
digunakan untuk memperoleh laporan GFR dalam pendiagnosisan dan
pengobatan CKD. Upaya ini membantu penyedia layanan kesehatan
mengidentifikasi dan mengobati penyakit GGK dengan lebih baik untuk
mencegah atau menunda kegagalan ginjal dan meningkatkan kualitas hidup
pasien (Myres, 2008). Jadi klierens kreatinin dari pasien adalah 43,18
mL/menit/1,73 m2. Berdasarkan hasil tersebut, maka penyakit GGK pada pasien
Ny.M berada pada stage G3b (30 mL/menit/1,73 m2 - 44 mL/menit/1,73 m2).
2. Data laboratorium apa saja yang harus dipantau untuk monitoring terapi pasien?
Berdasarkan data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014, parameter
adekuasi dan hasil laboratorium yang memiliki peranan penting, yaitu Target
Kt/V, Capaian Urea Reduction Rate (URR), Kadar Albumin Serum, Kadar
Hemoglobin, Kadar Fe Serum, Saturasi Transferin, Kadar Calcium Total, Kadar
Fosfat, Serologi Hepatitis B, dan Serologi Hepatitis C (IRR, 2017). Selain itu,
perlu juga dilakukan pemantauan terhadap rasio albumin dengan kreatinin dan
proteinurea (Zadeh, 2011).

12
DAFTAR PUSTAKA

Arifa, Ilma Saniya, M. Azam, O. W. Kasmini Handayani.2017.Faktor yang Berhubungan


dengan Kejadian Penyakit Ginjal Kronis pada Penderita Hipertensi di Indonesia.
Jurnal MKMI Vol. 13 No. 4.

Chobaniam, A.V., G.L. Bakris, H.R. Black, W.C. Cushman, L.A. Green, D.W. Jones, et
al.. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA. 289:2560-
2572

Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta:


Departemen Kesehatan.

Hill, N. R., Fatoba, S. T., Oke, J. L., Hirst, J. A., O'Callaghan, C. A., Lasserson, D. S., &
Hobbs, F. R.. 2016. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease-A Systematic
Review And Meta-Analysis. PLoS One. 11(7): e0158765.

IRR. 2017. 10th Report of Indonesian Renal Registry. Jakarta: Perkumpulan Nefrologi
Indonesia.

Ivan, A.W., A. Threskeia, E. Shenny, M. Verry, P. Sitanggang, M. Tania, dkk. 2017.


Hidup dengan Hemodialisis. Jakarta: Fothel Group.

James, P.A., S. Oparil, B.L. Carter, W.C. Cushman, C.D. Himmelfarb, J. Handler, et al..
2014. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults. JAMA. 311(5): 507-520.

Johnson, R. J., Feehally, J.& Floege, J. 2014. Comprehensive Clinical Nephrology. St.
Louis: Elsevier Mosby.

Kalaitzidis, R.G. dan M.S. Elisaf. 2018. Treatment of Hypertension in Chronic Kidney
Disease. Current Hypertension Report. 20:64.

KDIGO. 2012. Clinical Practice Guideline for The Evaluation And Management Of
Chronic Kidney Disease. http://www.kdigo.org/clinical_practice _guide lines/.
Diakses 6 September 2019.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2014.Pusat Data Infomasi:


Hipertensi.Jakarta:Kementrian Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2017.Pusat Data Infomasi: Situasi Penyakit


Ginjal Kronis. Jakarta:Kementrian Kesehatan RI.

Killeen, Anthony A. 2017. Learning Guide: Chronic Kidney Disease (CKD). Abbot
diagnostics. Universitas Minnesota.

13
Muti, A. F., dan U. Chasanah. 2016. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Diuretik pada
Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Dirawat Inap di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang. Sainstech Farma. 9: 23-31.

Myres, Gary L. 2008. Standardization of serum creatinine measurement: Theory and


practice. The Scandinavian Journal of Clinical & Laboratory Investigation.
68(241): 57-63.

National Kidney Foundation. 2010. About Chronic Kidney Disease: A Guide for Patients
and Their Families.New York: National Kidney Foundation, Inc.

National Kidney Foundation (NKF). 2015. High Blood Pressure and Chronic Kidney
Disease. USA: National Kidney Foundation

PERNEFRI. 2014. 7th Report Of Indonesian Renal Registry.


https://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN%20RENAL%20R
EGISTRY%202014.pdf. Diakses 6 September 2019.

Pugh, D., P.J. Gallacher, N. Dhaun. 2019. Management of Hypertension in Chronic


Kidney Disease. Drugs. 79: 365-379.

Tjay, T.H., dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.

Wells, B., J. T. Dipiro., T.L. Schwinghammer., and C.V. Dipiro. 2015. Pharmacotherapy
Handbook. Edisi ke-9. New York: McGrawHill.

Whelton, P.K, R.M. Carey, W.S. Aronow, D.E. Casey, K.J. Collins, C.D. Himmelfarb, et
al.. 2017. ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/AphA/ASH/ASPC/NMA/ PCNA
Guideline for Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood
Pressure in Adults. Hypertension. e13-e115

Zadeh, Kamyar Kalantar. 2011. Chronic Kidney Disease (CKD). USA: Divisions Of
Nephrology & Hypertension And General Internal Medicine.

14

Anda mungkin juga menyukai