Anda di halaman 1dari 7

RINGKASAN HAM DALAM TRANSISI POLITIK DI INDONESIA

KARYA PROF. DR. SATYA ARINATO, SH,M.HUM


PENERBIT PUSAT STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS
HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
KOTA : JAKARTA
TAHUN : 2003

Oleh :
Idfi Dwi Cahyani ( 2172376 )

PROGRAM STUDI D III ADMINISTRASI PERADILAN

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM LITIGASI PENGAYOMAN

2019
. Istilah hak asasi manusia adalah istilah yang relatif baru semenjak meletusnya Perang

Dunia ke-II dan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Sebelumnya istilah

hak asasi manusia lebih di kenal sebagai natural rights dan the rights of man. Akan tetapi

menurut Eleanor Roosevelt frasa the rights of man sama sekali tidak mengakomodir hak-hak

wanita, maka dari itu perlu ada pembaharuan pada penyusunan rancangan Universal Declaration

of Human Rights.

Secara historis konsepsi HAM sudah berkembang dari masa Yunani dan Roma, saat itu

HAM memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Greek Stocism,

yakni sekolah filsafat yang didirikan oleh Zeno di Citium. Menurutnya kekuatan kerja yang

universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, sehingga harus dinilai berdasarkan

kepada hukum alam. Sedangkan Hukum Romawi lebih menekanan kepada eksistensi hukum

alam. Perkembangan selanjutnya menurut ius gentium (hukum bangsa-bangsa atau hukum

internasional) terdapat beberapa hak yang bersifat universal dan kemudian berkembang melebihi

hak-hak warga negara. Salah satunya adalah ahli hukum Romawi Ulpianus yang menyatakan

bahwa alamlah yang menjamin semua manusia bukannya negara, baik merupakan warga negara

ataupun bukan.

Teori yang berkembang selanjutnya adalah teori tentang negara dan hukum. Salah satu

tokohnya adalah J.J von Schmid yang memaparkan pemikiran tentang negara dan hukum tidak

mendahului pembentukan dan pertumbuhan peradaban-peradaban. Akan tetapi merupakan gejala

sosial yang menampakan diri setelah berabad-abad lamanya hidup pada perabadan yang maju.

Memang menjadi syarat penting bagi suatu negara bahwa ia mengijinkan warga negaranya untuk

mengeluarkan pendapat tentang negara dan hukum secara kritis. Harapannya hal tersebut muncul
dalam kehidupan negara dan masyarakat, tetapi juga diharapkan terus eksis di kalangan rakyat

dari negara yang bersangkutan.

Awalnya keadaan tersebut terjadi pada bangsa Yunani dalam abad ke-5 SM. Banyak

faktor yang menyebabkan kejadian itu, yakni sifat agama yang tidak mengenal ajaran Tuhan

yang ditetapkan sebagai kaidah hukum yang keramat, keadaan geografi negeri yang berorientasi

kepada peradagangan dan perantauan. Hal tersebut menyebabkan bangsa Yunani bertemu

dengan negeri-negeri disebelah Timur, dan negaranya yang berbentuk republik sehingga rakyat

memerintah diri dengan tanggung jawab sendiri.

Dalam konteks teori tentang negara dan hukum terdapat juga mahakarya dari Plato yang

sangat relevan untuk di simak. Ketiga karyanya adalah (1) Politea, yang ditulisnya saat masih

muda ; (2) Politicos (the statesman) ; dan (3) Nomoi (The Law). Buku pertama Plato ditulis

sebagai luapan rasa keprihatinannya atas keadaan negara yang dipimpin oleh orang-orang yang

haus akan harta, kekuasaan dan gila hormat. Pada saat itu pemerintah secara sewenang-

wewenang tidak memperdulikan penderitaan rakyatnya, maka dari itu Plato menulis buku dan

menggagas eksistensi suatu negara yang ideal sesuai dengan cita-citanya, yaitu negara yang

bebas dari pemimpin yang rakus dan jahat, tempat dimana keadilan dijunjung tinggi.

Tidak dapat dibantah bahwa tradisi HAM adalah produk dari zamannya. Hal inilah yang

merefleksikan proses kelanjutan sejarah dan perubahan-perubahan yang membantu untuk

memberikan substansi dan bentuk. Oleh sebab itu, untuk memahami lebih baik diskursus tentang

isi dan ruang lingkup HAM serta prioritas-prioritas yang dikemukakan sangat menarik untuk

mendalami “tiga generasi HAM” yang dikembangkan oleh ahli hukum Prancis Karel Vasak.

Dengan diilhami oleh Revolusi Prancis, Vasak membagi HAM menjadi tiga generasi,

diantaranya adalah generasi pertama berupa hak-hak sipil dan politik (liberte) , generasi kedua
adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (egalite) dan generasi ketiga adalah hak-hak

solidaritas (fraternite).

Generasi pertama adalah hak-hak yang tergolong sebagai hak-hak sipil dan politik, yang

terutama berasal dari teori-teori kaum reformis yang dikemukakan pada awal abad ke-17 dan ke-

18 berkaitan dengan revolusi di Inggris, Amerika, dan Prancis. Dipengaruhi filsafat politik

individualisme liberal dan doktrin sosial ekonomi laissez-faire, generasi ini meletakkan posisi

HAM lebih pada terminologi negatif daripada terminologi yang positif dan lebih menghargai

ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia. Termasuk kelompok ini

adalah hak sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2-21 Universal Declaration of Human Rights.

Generasi kedua tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak

tersebut secara utama berakar pada tradisi sosial yang membayangi Saint-Simonitas pada awal

abad ke-19 di Perancis dan secara beragam diperkenalkan melalui perjuangan revolusioner dan

gerakan-gerakan kesejahteraan setelah itu. Jika di lihat lebih dalam, generasi ini merupakan

respon atas pelanggaran dan penyelewengan dari perkembangan kapitalis dan menggaris

bawahinya tanpa kritik yang esensial, konsepsi kebebasan individual yang mentoleransi bahkan

sampai melegitimasi, dan eksploitasi kelas pekerja oleh masyarakat kolonial. Termasuk

kelompok ini adalah Pasal 22-27 Universal Declaration of Human Rights.

Generasi ketiga tergolong kedalam hak-hak solidaritas (solidarity rights) yang

merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Generasi ini dapat dipahami

sebagai suatu produk dari kebangkitan dan kejauhan negara bangsa dari paruh kedua abad ke-20.

Generasi ini tercantum dalam Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights yang mencakup
enam hak sekaligus. Tiga dari mereka merefleksikan bangkitnya nasionalisme dunia ketiga dan

keinginannya untuk mendistribusikan kembali kekuatan, kekayaan dan nilai-nilai yang penting.

Selanjutnya menurut Claude dan Weston, ketiga hak pertama yang mewakili Dunia

Ketiga adalah (1) the right of political, economic, social, and cultural self-determination, (2) the

right to eonomic and sosial development, dan (3) the right to participate in and benefit from

“the common heritage of Mankind”. Sedangkan ketiga hak kedua yang dimaksud meliputi (4)

the right to space , (5) the right to healthy and balance environment ; dan (6) the right to

humanitarian disaster relief yang menunjukan ketidakmampuan dan ketidakefisienan dari negara

dalam beberapa hal kritis tertentu. Keenam hak tersebut cenderung untuk disebut sebagai hak-

hak kolektif yang memerlukan usaha dan dukungan bersama dari semua elemen masyarakat

untuk mencapainya.

Universal Declaration of Human Responsibilities atau yang diterjemahkan sebagai

Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Manusia yang dibentuk dengan tujuan untuk

melengkapi Universal Declaration of Human Rights. Salah satupPemikiran yang berkembang

disaat pembentukan Deklarasi ini adalah sudah waktunya hak diimbangi oleh tanggung jawab

atau kewajiban. Universal Declaration of Human Rights (1948) dinilai mencerminkan latar

belakang filsafat dan kebudayaan negara-negara Barat yang memenangkan Perang Dunia II.

Selanjutnya dinyatakan bahwa konsep mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai

penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Hak memiliki kaitan yang erat

dengan kebebasan, sedangkan kewajiban memiliki kaitan dengan tanggung jawab. Sekalipun ada

perbedaan, akan tetapi kebebasan dan tanggungjawab bergantung satu sama lain.
Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab manusia tersebut selanjutnya menyatakan

bahwa dokumen ini tidak bermaksud untuk mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban,

akan tetapi dengan tujuan untuk mendamaikan berbagai ideologi, kepercayaan, serta pandangan

politik yang di masa lampau dianggap bertentangan satu dengan yang lainnya. Prinsip dasarnya

tidak hanya tercapai kebebasan sebanyak mungkin, akan tetapi juga berkembang rasa penuh

tanggung jawab. Kebebasan akan terus bertumbuh, kebebasan tanpa menerima tanggung jawab

dapat memusnahkan kebebasan itu sendiri.

Dalam forum lainnya yang diselenggarakan di Kairo dengan tajuk The Nineteenth

Islamic Conference of Foreign Minister juga dibahas mengenai HAM dalam Islam. Deklarasi

dari acara ini terdiri dari 25 Pasal yang nafas utamanya terdapat pada Mukadimah. Salah satu

Profesor dari Indonesia bernama Ismail Suny mencoba membandingkan Deklarasi Kairo dan

Deklarasi HAM. Menurutnya terdapat pembahasan khusus mengenai universalisme versus

relativisme budaya dalam HAM yang dapat ditinjau melalui perspektif umum maupun dalam

perspektif Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu perbedaan pandangan mengenai teori mana

yang berlaku di antara kedua kutub teori (Universalisme vs Relativisme Budaya) memanglah

sangat tajam. Salah satu perbedaan pandangan yang terjadi dapat dilihat dari pertemuan Negara-

Negara Nonblok di Jakarta pada tahun 1992.

Menurut Todung Mulya Lubis, HAM dapat dilihat dari dua spektrum : pertama, yang

berdasarkan pada teori hukum alam pada salah satu ujung spektrum ; dan kedua, yang

berlandaskan pada teori relativisme budaya pada ujung spektrum lainnya. Di antara kedua

spektrum tersebut terdapat pula teori-teori yang didasarkan atas pemikiran kelompok positivis,

Marxis, Agama, dan perspektif lainnya.


Jika dilihat dari perspektif umum, menurut kalangan relativis budaya, tidak ada satu

HAM pun yang bersifat universal. Teori hukum alam pun menurutnya telah mengabaikan dasar

masyarakat dari identitas individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi

produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya. Kesimpulan dari perspektif ini adalah tradisi

dan budaya yang berbeda menjadikan manusia menjadi berbeda pula.

Kesimpulannya adalah perdebatan antara universalisme dengan relativisme budaya

merupakan suatu niscaya yang tidak dapat dielakan. Solusinya adalah merekonsiliasikan

perbedaan-perbedaan antara universalisme dan relativisme budaya, sehingga ditemukan titik

temu yang solutif dan produktif.

Dalam perspektif Islam, timbul gugatan yang dilakukan oleh Eggi Sudjana. Menurutnya

masyarakat internasional sudah terlupa (baik sengaja atau tidak sengaja) bahwa telah banyak

konsep HAM yang disusun manusia seperti Magna Charta, Bill of Rights, Universal Declaration

of Human Rights, etc., namun semua itu hanya “manis” di atas kertas, akan tetapi “busuk” dalam

implementasinya. Contonya adalah kebiadaban pada Perang Bosnia-Serbia, penduduk Palestina

dan tentara Israel, serta warga Afghanistan yang dihantui peluru Amerika Serikat.

Maka dari itu menurut Eggi Sudjana ada dua hal yang harus di konkretkan. Pertama,

adanya pencerahan di tubuh umat islam sendiri, sehingga mereka menyadari bahwa islam

memiliki konsepsi HAM yang bersumber dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Kedua, adanya

toleransi dari pihak eksternal (luar islam), sebagaimana toleransi umat islam terhadap

Declaration of Human Rights.

Anda mungkin juga menyukai