Oleh :
Idfi Dwi Cahyani ( 2172376 )
2019
. Istilah hak asasi manusia adalah istilah yang relatif baru semenjak meletusnya Perang
Dunia ke-II dan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Sebelumnya istilah
hak asasi manusia lebih di kenal sebagai natural rights dan the rights of man. Akan tetapi
menurut Eleanor Roosevelt frasa the rights of man sama sekali tidak mengakomodir hak-hak
wanita, maka dari itu perlu ada pembaharuan pada penyusunan rancangan Universal Declaration
of Human Rights.
Secara historis konsepsi HAM sudah berkembang dari masa Yunani dan Roma, saat itu
HAM memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Greek Stocism,
yakni sekolah filsafat yang didirikan oleh Zeno di Citium. Menurutnya kekuatan kerja yang
universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, sehingga harus dinilai berdasarkan
kepada hukum alam. Sedangkan Hukum Romawi lebih menekanan kepada eksistensi hukum
alam. Perkembangan selanjutnya menurut ius gentium (hukum bangsa-bangsa atau hukum
internasional) terdapat beberapa hak yang bersifat universal dan kemudian berkembang melebihi
hak-hak warga negara. Salah satunya adalah ahli hukum Romawi Ulpianus yang menyatakan
bahwa alamlah yang menjamin semua manusia bukannya negara, baik merupakan warga negara
ataupun bukan.
Teori yang berkembang selanjutnya adalah teori tentang negara dan hukum. Salah satu
tokohnya adalah J.J von Schmid yang memaparkan pemikiran tentang negara dan hukum tidak
sosial yang menampakan diri setelah berabad-abad lamanya hidup pada perabadan yang maju.
Memang menjadi syarat penting bagi suatu negara bahwa ia mengijinkan warga negaranya untuk
mengeluarkan pendapat tentang negara dan hukum secara kritis. Harapannya hal tersebut muncul
dalam kehidupan negara dan masyarakat, tetapi juga diharapkan terus eksis di kalangan rakyat
Awalnya keadaan tersebut terjadi pada bangsa Yunani dalam abad ke-5 SM. Banyak
faktor yang menyebabkan kejadian itu, yakni sifat agama yang tidak mengenal ajaran Tuhan
yang ditetapkan sebagai kaidah hukum yang keramat, keadaan geografi negeri yang berorientasi
kepada peradagangan dan perantauan. Hal tersebut menyebabkan bangsa Yunani bertemu
dengan negeri-negeri disebelah Timur, dan negaranya yang berbentuk republik sehingga rakyat
Dalam konteks teori tentang negara dan hukum terdapat juga mahakarya dari Plato yang
sangat relevan untuk di simak. Ketiga karyanya adalah (1) Politea, yang ditulisnya saat masih
muda ; (2) Politicos (the statesman) ; dan (3) Nomoi (The Law). Buku pertama Plato ditulis
sebagai luapan rasa keprihatinannya atas keadaan negara yang dipimpin oleh orang-orang yang
haus akan harta, kekuasaan dan gila hormat. Pada saat itu pemerintah secara sewenang-
wewenang tidak memperdulikan penderitaan rakyatnya, maka dari itu Plato menulis buku dan
menggagas eksistensi suatu negara yang ideal sesuai dengan cita-citanya, yaitu negara yang
bebas dari pemimpin yang rakus dan jahat, tempat dimana keadilan dijunjung tinggi.
Tidak dapat dibantah bahwa tradisi HAM adalah produk dari zamannya. Hal inilah yang
memberikan substansi dan bentuk. Oleh sebab itu, untuk memahami lebih baik diskursus tentang
isi dan ruang lingkup HAM serta prioritas-prioritas yang dikemukakan sangat menarik untuk
mendalami “tiga generasi HAM” yang dikembangkan oleh ahli hukum Prancis Karel Vasak.
Dengan diilhami oleh Revolusi Prancis, Vasak membagi HAM menjadi tiga generasi,
diantaranya adalah generasi pertama berupa hak-hak sipil dan politik (liberte) , generasi kedua
adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (egalite) dan generasi ketiga adalah hak-hak
solidaritas (fraternite).
Generasi pertama adalah hak-hak yang tergolong sebagai hak-hak sipil dan politik, yang
terutama berasal dari teori-teori kaum reformis yang dikemukakan pada awal abad ke-17 dan ke-
18 berkaitan dengan revolusi di Inggris, Amerika, dan Prancis. Dipengaruhi filsafat politik
individualisme liberal dan doktrin sosial ekonomi laissez-faire, generasi ini meletakkan posisi
HAM lebih pada terminologi negatif daripada terminologi yang positif dan lebih menghargai
ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia. Termasuk kelompok ini
adalah hak sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2-21 Universal Declaration of Human Rights.
Generasi kedua tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak
tersebut secara utama berakar pada tradisi sosial yang membayangi Saint-Simonitas pada awal
abad ke-19 di Perancis dan secara beragam diperkenalkan melalui perjuangan revolusioner dan
gerakan-gerakan kesejahteraan setelah itu. Jika di lihat lebih dalam, generasi ini merupakan
respon atas pelanggaran dan penyelewengan dari perkembangan kapitalis dan menggaris
bawahinya tanpa kritik yang esensial, konsepsi kebebasan individual yang mentoleransi bahkan
sampai melegitimasi, dan eksploitasi kelas pekerja oleh masyarakat kolonial. Termasuk
merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Generasi ini dapat dipahami
sebagai suatu produk dari kebangkitan dan kejauhan negara bangsa dari paruh kedua abad ke-20.
Generasi ini tercantum dalam Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights yang mencakup
enam hak sekaligus. Tiga dari mereka merefleksikan bangkitnya nasionalisme dunia ketiga dan
keinginannya untuk mendistribusikan kembali kekuatan, kekayaan dan nilai-nilai yang penting.
Selanjutnya menurut Claude dan Weston, ketiga hak pertama yang mewakili Dunia
Ketiga adalah (1) the right of political, economic, social, and cultural self-determination, (2) the
right to eonomic and sosial development, dan (3) the right to participate in and benefit from
“the common heritage of Mankind”. Sedangkan ketiga hak kedua yang dimaksud meliputi (4)
the right to space , (5) the right to healthy and balance environment ; dan (6) the right to
humanitarian disaster relief yang menunjukan ketidakmampuan dan ketidakefisienan dari negara
dalam beberapa hal kritis tertentu. Keenam hak tersebut cenderung untuk disebut sebagai hak-
hak kolektif yang memerlukan usaha dan dukungan bersama dari semua elemen masyarakat
untuk mencapainya.
Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Manusia yang dibentuk dengan tujuan untuk
disaat pembentukan Deklarasi ini adalah sudah waktunya hak diimbangi oleh tanggung jawab
atau kewajiban. Universal Declaration of Human Rights (1948) dinilai mencerminkan latar
belakang filsafat dan kebudayaan negara-negara Barat yang memenangkan Perang Dunia II.
penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Hak memiliki kaitan yang erat
dengan kebebasan, sedangkan kewajiban memiliki kaitan dengan tanggung jawab. Sekalipun ada
perbedaan, akan tetapi kebebasan dan tanggungjawab bergantung satu sama lain.
Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab manusia tersebut selanjutnya menyatakan
bahwa dokumen ini tidak bermaksud untuk mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban,
akan tetapi dengan tujuan untuk mendamaikan berbagai ideologi, kepercayaan, serta pandangan
politik yang di masa lampau dianggap bertentangan satu dengan yang lainnya. Prinsip dasarnya
tidak hanya tercapai kebebasan sebanyak mungkin, akan tetapi juga berkembang rasa penuh
tanggung jawab. Kebebasan akan terus bertumbuh, kebebasan tanpa menerima tanggung jawab
Dalam forum lainnya yang diselenggarakan di Kairo dengan tajuk The Nineteenth
Islamic Conference of Foreign Minister juga dibahas mengenai HAM dalam Islam. Deklarasi
dari acara ini terdiri dari 25 Pasal yang nafas utamanya terdapat pada Mukadimah. Salah satu
Profesor dari Indonesia bernama Ismail Suny mencoba membandingkan Deklarasi Kairo dan
relativisme budaya dalam HAM yang dapat ditinjau melalui perspektif umum maupun dalam
perspektif Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu perbedaan pandangan mengenai teori mana
yang berlaku di antara kedua kutub teori (Universalisme vs Relativisme Budaya) memanglah
sangat tajam. Salah satu perbedaan pandangan yang terjadi dapat dilihat dari pertemuan Negara-
Menurut Todung Mulya Lubis, HAM dapat dilihat dari dua spektrum : pertama, yang
berdasarkan pada teori hukum alam pada salah satu ujung spektrum ; dan kedua, yang
berlandaskan pada teori relativisme budaya pada ujung spektrum lainnya. Di antara kedua
spektrum tersebut terdapat pula teori-teori yang didasarkan atas pemikiran kelompok positivis,
HAM pun yang bersifat universal. Teori hukum alam pun menurutnya telah mengabaikan dasar
masyarakat dari identitas individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi
produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya. Kesimpulan dari perspektif ini adalah tradisi
merupakan suatu niscaya yang tidak dapat dielakan. Solusinya adalah merekonsiliasikan
Dalam perspektif Islam, timbul gugatan yang dilakukan oleh Eggi Sudjana. Menurutnya
masyarakat internasional sudah terlupa (baik sengaja atau tidak sengaja) bahwa telah banyak
konsep HAM yang disusun manusia seperti Magna Charta, Bill of Rights, Universal Declaration
of Human Rights, etc., namun semua itu hanya “manis” di atas kertas, akan tetapi “busuk” dalam
dan tentara Israel, serta warga Afghanistan yang dihantui peluru Amerika Serikat.
Maka dari itu menurut Eggi Sudjana ada dua hal yang harus di konkretkan. Pertama,
adanya pencerahan di tubuh umat islam sendiri, sehingga mereka menyadari bahwa islam
memiliki konsepsi HAM yang bersumber dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Kedua, adanya
toleransi dari pihak eksternal (luar islam), sebagaimana toleransi umat islam terhadap