Anda di halaman 1dari 109

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma kepala atau suatu trauma yang menimpa struktur kepala sehingga
dapat menyebabkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan
otak (Sastrodiningrat, 2009). Cedera kepala merupakan keadaan yang serius dan
perlu mendapatkan penanganan yang cepat. Tindakan pemberian oksigen yang
adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (Suriadi &
Rita Yuliani, 2001). Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009),
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala,
tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung
pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan
dapat menyebabkan kematiaan.
Cedera kepala adalah penyebab yang paling bermakna meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan 1,4 juta cedera kepala terjadi setiap tahun,
dengan >1,1 juta yang datang ke Unit Gawat Darurat. Insiden cedera kepala pada
anak usia 0-14 tahun kira-kira 475000 per tahun. Anak-anak yang bertahan setelah
mengalami cedera kepala sedang dan berat berisiko tinggi menderita sekuele
neurologi termasuk gangguan kognitif dan perilaku. Di Amerika Serikat, kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah
sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk

1
cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44
tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera
kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum
ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo,
untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan
sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat
CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
Penderita cedera kepala sedang pada umumnya masih mampu menuruti
perintah sederhana, namun penderita tampak bingung atau mengantuk dan dapat
disertai deficit neurologis fokal seperti hemiparesis, sebanyak 10-20% dari
penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma,
untuk itu penderita harus dikelola secara intensif dimana harus dilakukan
observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama 12-24 jam pertama.
(IKABI, 2004). Kondisi penderita seperti ini dapat menimbulkan gangguan
kesadaran. Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini untuk menilai
digunakan metode glasgow coma scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS)
merupakan instrumen standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kesadaran pasien trauma kepala. Glasgow coma scale (GCS) merupakan salah
satu komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan
keputusan klinis umum untuk pasien. Selain mudah dilakukan, GCS juga
memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal trauma.
Dari GCS dapat diperoleh informasi yang efektif mengenai pasien trauma kepala.
Sesuai klasifikasinya yaitu penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS.
Menurut Brunner & Suddarth’s (2004), Tekanan intrakranial (TIK) adalah
tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak. Rongga otak merupakan
ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis,
dan jaringan otak dengan komposisi volume relative konstan. Nilai normal
berkisar antara 0-10 mmHg atau 0-136 mmH2O pada orang dewasa. Tekanan
intracranial bayi adalah 40-100 mmH2O (3,0-7,5 mmHg). Pada keadaan normal

2
TIK rata-rata tidak boleh melebihi 10 mmHg. TIK yang melebihi 15 mmHg harus
dicari penyebabnya dan perlu diawasi lebih lanjut. Pada umumnya, monitoring
TIK diindikasikan pada semua pasien yang koma dengan cidera kepala, dan
dengan pasien dengan penurunan status neurologi dengan CT scan abnormal.
Maka sebagai perawat tugas kita sangat penting untuk menyelamatkan hidup klien
serta mengurangi angka mortalitas dan morbiditas dengan melakukan asuhan
keperawatan klien dengan trauma kepala yaitu memantau agar tidak terjadi infeksi
dan melakukan perawatan yang benar sesuai dengan pedoman keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi fisiologi dari kepala?
2. Bagaimana aspek fisiologis dari trauma kepala?
3. Apa yang dimaksud dengan trauma kepala?
4. Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
5. Apa saja etiologi dari trauma kepala?
6. Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala?
7. Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?
8. Bagaimana WOC dari trauma kepala?
9. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari trauma kepala?
10. Bagaimana penatalaksanaan dari trauma kepala?
11. Bagaimana komplikasi dari trauma kepala?
12. Bagaimana prognosis dari trauma kepala?
13. Bagaimana konsep monitoring ICP?
14. Bagaimana proses asuhan keperawatan dari trauma kepala?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala dan
monitoring ICP
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui anatomi fisiologi dari kepala
2. Mengetahui aspek fisiologis dari trauma kepala

3
3. Menjelaskan definisi dari trauma kepala
4. Mengetahui klasifikasi dari trauma kepala
5. Menjelaskan etiologi dari trauma kepala
6. Menjelaskan manifestasi klinis dari trauma kepala
7. Menyusun patofisiologi dari trauma kepala
8. Menyusun WOC dari trauma kepala
9. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari trauma kepala
10. Mengetahui penatalaksanaan dari trauma kepala
11. Mengetahui komplikasi dari trauma kepala
12. Mengetahui prognosis dari trauma kepala
13. Menjelaskan konsep monitoring ICP
14. Menyusun proses asuhan keperawatan dari trauma kepala

1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi, klasifikasi, etiologi,
manifestasi klinis, patofisiologi, komplikasi, dan prognosis terhadap klien
trauma kepala sehingga mahasiswa mampu melakukan tatalaksana yang tepat
dan pengembangan ilmu keperawatan khususnya keperawatan kritis dapat
tercapai dan mahasiswa calon ners dapat melaksanakan asuhan keperawatan
sesuai dengan keilmuan yang berkembang.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomoi Fisiologi Kepala

Gambar 1. anatomi dan fisiologi kepala


http://darmawanimoets.files.wordpress.com

1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur
tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan
tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan
lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat
sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa

5
tengah berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak
tengah dan sereblum.
Tengkorak dibentuk oleh gabungan beberapa tulang yang disambung oleh
sutura. Sutura dibentuk pleh selapis tipis jaringan fibrosa yang mengunci
piringan tulang yang bergerigi. Sutura mengalami osifikasi setelah umur 35
tahun.
Fungsi tengkorak :
1) Melindungi otak dan indra penglihatan dan pendengaran
2) Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kelapa
3) Sebagai tempat penyangga gigi
Tulang tengkorak terdiri dari os frontale, os parietale dextra dan sinistra,
os occipital, os temporal dextra dan sinistra, os ethmoidale, os sphenoidale,
maxilla, mandibula, os ozygomaticum dextra dan sinistra, os palatinum dextra
dan sinistra, os nasale dextra dan sinistra, os lacrimale dextra dan sinistra,
vomer dan concha dextra dan sinistra.

Gambar 2 Anatomi Tengkorak (www.annehira.com)

6
Permukaan bawah rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau
basis kranii. Permukaan ini ditembusi banyak lubang supaya dapat dilalui
serabut saraf dan pembuluh darah.

2. Meningen

Gambar 3 Lapisan cranium


http://darmawanimoets.files.wordpress.com
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu
darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari
3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang 11
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak
antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang

7
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1)
sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3)
linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari
kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural
diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis . Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

8
3. Otak

Gambar 4. Anatomi Otak (Satyanegara 2010).

Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100
triliun neuron. Masing-masing neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000
koneksi sinaps dengan sel saraf lainnya. Otak merupakan jaringan yang
konsistensinya kenyal dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh
tulang yaitu kranium (tengkorak). Kranium ini secara absolut tidak dapat
bertambah volumenya terutama pada orang dewasa. Jaringan otak
dilindungi oleh beberapa pelindung yaitu rambut, kulit kepala, tengkorak,
selaput otak (meningens), dan cairan otak (liquor cerebro spinalis). Otak
merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar
14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat

9
kardiorespiratorik.Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan (Satyanegara 2010).

Gambar 5 Lobus-lobus Otak


http://darmawanimoets.files.wordpress.com

Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain
yaitu:
a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki
fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat
tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil,
jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis

10
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang
berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah
kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini.
Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di
sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil
di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh
yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan
ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan
yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan
baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori
dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan
pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman
bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat
penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus
temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan
agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus Oksipital

11
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis
akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.

b. Cereblum
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat
dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis
otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan
sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya
orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak
mampu mengancingkan baju (Arif,2008).
c. Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga
kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum
tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk
pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan,
dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari)
saat datangnya bahaya. Batang otak terdiri dari empat bagian, yaitu:
a. Diensepalon adalah bagian batang otak paling atas, terdapat diantara
serebellum dengan mesensepalon.
b. Mesensepalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan otak besar dan otak kecil.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
c. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah
kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya.
Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi
darah, pernafasan, dan pencernaan.

12
d. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak
bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita
terjaga atau tertidur.
d. Limbic System (Sistem Limbik)

Gambar 6 Lokasi Sistem Limbik (www.annehira.com)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak


ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Komponen
limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks
limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa
senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.
Bagian terpenting dari sistem limbik adalah hipotalamus yang salah satu
fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan
mana yang tidak. Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh
oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat
bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai
"Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam
perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux
mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu
manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.

13
4. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinalis adalah cairan yang mengelilingi ruang subaraknoid
di sekitar otak dan medulla spinalis. Cairan ini juga mengisi ventrikel dalam otak.
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari
(Satyanegara.2010).

2.2 Aspek Fisiologis Trauma Kepala


Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial,
cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang
dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari
lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi
otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila
menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat
terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran
CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara
cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus
selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Doktrin
Monroe-Kellie menyatakan bahwa volume total dalam kranium selalu tetap
karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang jika
ada penambahan volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari
80% jaringan otak, 10% LCS, dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah
satu komponen ini, atau adanya tambahan komponen patologis (misalnya

14
hematom intrakranial), akan menimbulkan kompensasi melalui penurunan
volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan.
Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan menyebabkan
tergesernya LCS akan terdesak melaui foramen magnum ke arah rongga sub-
arakhnoid spinalis dan vena akan segera mengempis/kolaps, dimana darah
akan diperas keluar dari ruangan intrakranial melalui vena jugularis atau
melalui vena emisaria dan kulit kepala. Mekanisme kompensasi ini hanya
berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi
ini terlampaui maka kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan
kenaikan TIK yang tajam.
Dengan meningkatnya aliran darah pada pembuluh darah otak, maka
perdarahan intra cerebral akan meningkat volumenya, sehingga dapat
mendorong atau menekan masa otak. Otak yang normal mempunyai
kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah serebral. Autoregulasi
menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh serebral di atas rentang
tekanan perfusi dengan mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon
terhadap tekanan perfusi serebral. Faktor-faktor yang mengubah kemampuan
pembuluh darah serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi, seperti iskemia,
hipoksia, hiperkapnea, dan trauma otak dapat mengganggu autoregulasi.
Peningkatan volume intrakranial yang mengarah pada peningkatan tekanan
kranial bisa terjadi karena adanya kenaikan aliran darah serebral yang
merupakan vasodilator yang berpotensi pada pembuluh darah serebral yaitu
karbondioksia. Agar autoregulasi berfungsi, kadar karbon dioksida harus
dalam batasan yang dapat diterima dan tekanannya dalam batasan : tekanan
perfusi serebral di atas 60 mmHg, tekanan arteri rata-rata dibawah 160 mmHg
dan tekanan sistolik antara 60 – 160 mmHg dan, TIK di bawah 30 mmHg.
Cedera otak juga dapat merusak autoregulasi. Bila autoregulasi mengalami
kerusakan, alirah darah serebral berfluktuasi berkaitan dengan tekanan darah
sistemik. Pada klien dengan kerusakan autoregulasi, setiap aktivitas yang
menyebabkan tekanan darah, seperti batuk, suction, dan ansietas dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah serebral yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.

15
Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada
tekanan intrakranial dengan cara pengalihan CSS ke dalam spasium
subaraknoid spinal, peningkatan absorbsi CSS, penurunan pembentukan CSS
dan pengalihan darah vena keluar dari tulang tengkorak (Hudak and Gallo,
2010).

Gambar 7. Tekanan intrakranial akan tetap normal dengan peningkatan


volume sampai titik dekompensasi tercapai. Di atas volume kritis ini, TIK
akan meningkat dengan cepat

Aliran darah otak normalnya 50 - 60 mL/100 gr jaringan otak/menit. Bila


aliran darah otak menurun sampai 20-25 mL/100gr/menit maka aktifitas EEG
akan hilang dan pada nilai 5 mL/100gr/menit sel-sel otak mengalami kematian
dan terjadilah kerusakan sel yang menetap. Pada penderita non trauma,
fenomena autoregulasi mempertahankan aliran darah pada tingkat yang
konstan apabila MAP (mean arterial pressure) berada dikisaran 50-160
mmHg. Bila MAP dibawah 50 mmHg, aliran darah otak sangat berkurang dan
bila MAP diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah meningkat.

Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita


cedera otak sekunder karena iskemia akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali
mekanisme kompensasi tidak bekerja diikuti kenaikan TIK yang curam,
perfusi otak akan berkurang jauh terutama pada keadaan hipotensi. Oleh
karena itu bila terdapat hematom intrakranial, haruslah dikeluarkan sedini
mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.

16
Tekanan perfusi serebral/CPP (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah
tekanan aliran darah ke otak, normalnya konstan karena adanya autoregulasi.
CPP ditentukan dengan pengurangan TIK dengan Tekanan Arteri Rerata
(MAP), dapat ditulis dengan rumus :

CPP = MAP – TIK

Nilai normal CPP adalah 60 – 150 mmHg, mekanisme autoregulator dari


otak mengalami kerusakan akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau
kurang dari 60 mmHg. Klien dengan CPP kurang dari 50 mmHg
memperlihatkan disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih kembali. Hal ini
terjadi disebabkan oleh penurunan perfusi serebral yang mempengaruhi
perubahan keadaan sel dan mengakibatkan hipoksia serebral (Smeltzer and
Bare, 2002).

2.3 Definisi Trauma Kepala


Trauma kepala adalah proses dimana terjadi trauma langsung terhadap
kepala yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat
memengaruhi kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik. Cedera kepala dapat mengganggu fungsi normal otak yang
disebabkan oleh trauma tajam maupun trauma tumpul (B.Batticaca, 2008).
Cedera dibagi menjadi 2 yaitu cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak
primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah trauma.
Cedera otak sekunder meerupakan kerusakan yang berkembang kemudian
sebagai komplikasi (Pierce dan Neil 2006). Cedera kepala dapat atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak sehingga menyebabkan gangguan fungsi otak (Muttaqin
2008).
Cedera kepala adalah suatu trauma akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius
dan perlu mendapatkan penanganan yang cepat. Tindakan pemberian oksigen

17
yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi
otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan
penderita. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

2.4 Klasifikasi Trauma Kepala


Pada dasarnya cedera kepala diklasifikasikan menurut keadaan
patologis yang terjadi dan gambaran klinisnya. Tiap-tiap mekanisme trauma
membentuk tipe cedera yang khas sehingga terdapat banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk memperkirakan cedera apa yang terjadi akibat adanya
suatu beban mekanis tertentu. (Satyanegara, 2010).
1.Cedera Kepala Primer
Cedera otak primer yang terjadi pada saat trauma hanya dapat
dihilangkan dengan pencegahan. Cedera ini meliputi laserasi otak dan
hematom yang luas. (Retnaningsih, 2012).
a. Fraktur Tulang Tengkorak
Fraktur tulang tengkorak adalah pertanda cedera serius di kepala. Fraktur
tulang tengkorak dibagi menjadi linier, depresi, dan basilar. Bila skalp
juga terlibat maka disebut sebagai patah tulang terbuka.(Wartenberg KE
and Mayer SA, 2007).
Fraktur basis kranii sering kali tidak nampak pada foto polos kepala,
namun akan nampak dengan CT Scan dengan adanya bone window.
Cedera nervus cranial, atau kebocoran duramater pada daerah fraktur akan
menyebabkan meningitis yang tertunda. (Kuniyoshi S & Suarez JI, 2004).
a) Fraktur Tengkorak Linier
Fraktur tengkorak linier merupakan 75-90% dari semua fraktur
tengkorak. Biasanya tidak memerlukan pengobatan. Akan tetapi,
jika fraktur terjadi di atas struktur vaskular seperti arteri
meningea media, terdapat peningkatan insidensi berkembangnya
pendarahan epidural. Fraktur diastatik atau fraktur yang sedang

18
tumbuh (growing fracture) dapat terjadi ketika selaput otak
terpengrangkap di antara tulang dan tulang tersebut terus
memisahkannya. (M. WilliamSchwartz, 2004)
b) Fraktur Basis Cranii
Fraktur basilar tengkorak biasanya terjadi pada bagian petrosa
tulang temporal. Empat temuan penting pada pemeriksaan fiisik
pasien yang mengalami fraktur basilar tengkorak adalah:
1. Mata raccoon (ekimosis di bawah mata)
2. Tanda Batle (ekimosis di mastoid)
3. Hemotimpanum (darah di belakang membran timpani)
4. Otore atau rinore cairan serebrospinal
Disfungsi saraf kranial, terutama yang melibatkan saraf kranial
ke tujuh dan ke delapan dapat terjadi bersamaan dengan fraktur
basiliar tengkorak. (M. WilliamSchwartz, 2004)
c) Fraktur Depresi Tengkorak
Fraktur depresi tengkorak kadang-kadang dapat didiagnosis
secara klinis dengan meraba depresi tengkorak di bawah
hematom, atau secara radiografis, melakukan foto tangensial
tulang tengkorak atau CT scan. Fraktur-fraktur ini memerlukan
elevasi secara pembedahan jika fraktur melewati bagian dalam
dasar tulang tengkorak. Keputusan untuk melakukan radiografi
tengkorak bedasarkan pada usia pasien, mekanisme cedera, dan
perlunya evaluasi radiologik lain. Biasanya bila CT scan
diperlukan untuk memeriksa kemungkinan adanya lesi
intrakranial, radiografi tengkorak tidak perlu dilakukan lagi. (M.
WilliamSchwartz, 2004)
b. Cedera Fokal
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu
saja dari kepala, sedangkan bagian relatif tidak terganggu.
c. Cedera Otak Difus
Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi
parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala

19
difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan
translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan
terhadap parenkim yang sebelah dalam. Fasospasme luas pembuluh
darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan manifestasi
iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat
renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.
a) Cedera Akson Difus (difuse axsonal injury) DAI
Difuse axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal
yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda
otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan
inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang
menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)
mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan
karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan.
Cedera akson difus terjadi karena robeknya serabut saraf pada
awal benturan. Pasien-pasien ini memperlihatkan adanya defisit
neurologik fungsional yang menetap, seperti keadaan koma
yang memanjang, tanpa kelainan anatomik yang nyata. Cedera
akson difus berkaitan dengan tingginya angka morbiditas dan
mortalitas.
b) Kontusio Cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang
disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi.
Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah
adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur
parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan
cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu
khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan
dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
c) Edema Cerebri

20
Mekanisme terjadinya edema otak pada cedera kepala masih
kurang dipahami. Edema otak ini dapat terjadi difus maupun
fokal. Dapat terjadi oleh karena perdarahan pada parenkim otak
maupun ekstradura. Edema yang terjadi dapat berupa edema
sitotoksik, vasogeic, maupun interstitial. (Machfoed, 2011).
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma
kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan
parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah
yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan
karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya
renjatan hipovolemik.

2. Kerusakan Otak Sekunder


Cedera sekunder mengacu pada faktor intrakranial dan sistemik yang
menyebabkan cedera yang terus berlangsung dan potensial reversibel. Pada
beberapa kasus perbedaannya tak begitu jelas, contohnya kontusio otak dan cedera
vaskular memiliki komponen mekanik atau nekrotik yang ireversibel dan
komponen subseluler yang sebagian reversibel atau apoptosis. Untuk memberikan
perawatan yang rasional dan efektif sangat penting untuk memahami mekanisme
yang bertanggung jawab pada cedera sekunder. (Retnaningsih, 2012).
a. Gangguan Sistemik
Pada umumnya cedera kepala berat akan menimbulkan
abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana
keadaan-keadaan ini merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak
sekunder penderita cedera kepala khususnya sehubungan dengan
terjadinya morbiditas serta mortalitas yang bermakna. (Satyanegara,
2010)
b. Hematom Traumatika
a) Epi Dural Hematoma (EDH)
Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat
cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%.
Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah

21
parietotemporal akibat robekan arteria meningea media.
Hematoma epidural di daerah frontal dan oksipital sering tidak
dicurigai dan memberikan tanda-tanda setempat yang tidak
jelas. Gejala dan tanda yang tampak bervariasi, tetapi penderita
hematom epidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala
dengan peiode tidak sadar dalam waktu pendek, diikuti oleh
periode lusid. (Sylvia.APrice, 2005).
b) Sub Dural Hematoma (SDH)
Hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul
akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Pengertian lain adalah hematom yang terletak di bawah lapisan
durameter dengan sumber perdarahan dapat berasal dari
Bridging vein (paling sering), A/V kortikal, dan sinus venosus
duralis. Hematom subdural dipilah menjadi beberapa tipe
berdasarkan waktu terjadinya perdarahan dan dengan gejala
serta prognosis yang berbeda, yaitu: hematom subdural akut
terjadi kurang dari 3 hari kejadian, hematom subdural subakut
terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan hematom subdural kronik
jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
c) Intraserebral
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada
dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan keasadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi.
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan adanya area hiperdens
yang merupakan indikasi dilakukan operasi. Adanya pergeseran
garis tengah dan secara klinis hematom tersebut dapat
menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang
dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai
dekompresi dari tulang kepala. (M. William Schwartz, 2004).

22
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya:
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, dapat diklasifikasikan penilaiannya
berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi :
1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15.
a. Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b. Tidak ada kehilangan kesadaran
c. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya criteria cedera kepala sedang-berat
2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13.
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
a. Amnesia paska trauma
b. Muntah
c. Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
d. Kejang
3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8
a. Penurunan kesadaran sacara progresif
b. Tanda neorologis fokal

2.5 Etiologi Trauma Kepala


Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,
disusul cedera kepala akibat jatuh, terutama pada anak-anak, dan cedera
akibat dipukul. Di Indonesia diperkirakan lebih dari 80% pengendara
kendaraan mengalami resiko kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera
kepala dan kecederaan permanen.(Hartoyo, Mugi; Setyo Raharjo, 2008)
Namun ada penyebab lain dari trauma kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).
1. Kecelakaan industri
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom

23
4. Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
5. Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras

Ditinjau dari sudut tipe beban mekanik yang menimpa kepala, secara garis
besar mekanisme trauma kepala dapat dikelompokan dalam tipe beban statik
(statik louding) dan beban dinamik (dinamik loading).

1. Beban statik timbul perlahan-lahan dalam hal tenaga tekanan mengenai kepala
secara bertahap. Gencetan atau efek atau efek tekanan yang lambat dan
berlangung dalam 200 mili detik ini bila kekuatan tenaganya besar dapat
mengakibatkan terjadinya keertakan tulang (eeg-shell fracture), frakture multiple
atau kominutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak.
2. Yang lebih umum terjadi adalah trauma yang disebabkan karena beban dinamik
dimana waktu berlangsung lebih cepat (kurang dari 200 mili detik). Beban
dinamik ini dibedakan menjadi 2 yaitu beban guncangan (impulse loading) dan
beban benturan (impact loading).
a. Beban guncangan (impulse loading)
Terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam secara tiba-tiba
digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala yang sedang
bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan

b. Beban benturan (impact loading)

Beban benturan (impact loading) lebih sering terjadi dan biasanya merupakan
kombinasi kekeuatan beban kontak (contac force) dan kekuatan beban lanjut
(inertial force). Akibat yang paling hebat karena energi benturan dihantarkan
ke kepala sebesar tenaga kontak akan menimbulkan efek gabungan yang
dikenal sebagai fenomena kontak yaitu suatu kelompok peristiwa mekanis
yang timbul didikat namun terpisah dari titik benturan (Satyanegara, 2010).

2.6 Manifestasi Trauma Kepala


Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu
tidaknya fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat
kesadaran, dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013)
1. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar

24
Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf
yang ada di otak, merobek durameter yang dapat mengakibatkan
perebesan serebrospinal. Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul,
antara lain:
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung
(rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
c. Perdarahan di belakang membran timpani
d. Ekimosis periorbital
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf
kranial dan kerusakan pada bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan
gejala yang muncul, antara lain:
a. Perubahan tajam penglihatan karena terjadi kerusakan pada nervus
optikus
b. Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada nervus
auditorius
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot
mata karena kerusakan nervus okulomotorius
d. Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
e. Vertigo karena kerusakan otolith pada telinga bagian dalam
f. Nistagmus karena kerusakan pada sistem vestibular
g. Warna kebiruan atau hematoma pada periorbital, dan di belakang
telinga di atas mastoid (battle sign)
2. Riwayat kejadian trauma kepala
3. Tingkat kesadaran
Hal ini tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya
amnesia retrogat, mual, dan muntah.
4. Kerusakan jaringan otak
Untuk melihat ada tidaknya cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan
CT scan atau MRI.

Tanda-tanda klinik Fraktur Basis Cranii:

25
Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa Fraktur Basis Cranii
adalah :
1. Battle sign: warna biru atau ekimosis dibelakang telinga di atas os.mastoid
2. Hemotipanum: perdarahan di daerah gendang telinga
3. Periorbital Ekimosis: mata warna hitam tanpa trauma langsung
4. Rhinorrhoe: liquor keluar dari hidung
5. Otorrhoe: liquor keluar dari telinga

Tanda fraktur basis kranii :


1. Rhinorrhea (cairan serebrospinal keluar dari rongga hidung)
2. Racoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata)
3. Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah
bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign,
lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala berat adalah sebagai
berikut :

1. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di


otak menurun atau meningkat.
2. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
3. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
4. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstrimitas.
5. Terjadi 48 jam setelah trauma, nilai GCS < 9

2.7 Patofisiologi Trauma Kepala


Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi
kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area
cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan / kenaikan salah

26
satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak
ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi
menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus
meningkat akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat.
Maka aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak
adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang
tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak
adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus bertambah menekan /
mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan tekanan intra
kranial. (Price, 2005).
Menurut Satyanegara, 2010 pada umumnya cedera kepala merupakan
akibat salah satu atau kombinasi dari dua mekanisme dasar dasar yaitu kontak
bentur dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila membentur
atau menabrak suatu objek atau sebaliknya, sedangkan cedera guncangan
lanjut yang sering kali dikenal sebagai cedera akselerasi-deselerasi,
merupakan akibat peristiwa guncangan kepala hebat, baik di sebabkan oleh
pukulan maupun karena bukan pukulan.
a. Cedera kontak bentur
Cedera kontak bentur merupakan akibat dari benturan yang
menegnai kepala, dalm peristiwa ini jejas yang terjadi hanya disebabkan
oleh fenomena kontak saja dan sama sekali tidak berkaitan dengan
guncangan atau akselerasi atau deselerasi pada kepala. Cedera kontak
bentur tidak menyebabkan jejas otak difus.
b. Lesi lokal akibat benturan
Lesi lokal yang dapat timbul akibat benturan meliputi fraktur linier
dan depresi tulang tengkorak, hematom epidural, kontusi kup (Coup
Countussion), intraserebral hematom yang merupakan perkembangan dari
kontusi kup, subdural hemato yang merupakan tumpahan intraserebral
hematom kedalam rongga sundural dan beberapa fraktur basis kranii.
Terjadinya fraktur tulang tengkorak sangat tergantung pada sifat-sifat
bahan tulang, kekuatan, dan arah benturan, ukuran daerah terbentur, serta
ketebalan dan kekuatab tulang setempat.

27
Mekanisme cedera memegang peranan penting dalam menentukan berat
ringannya patofisiologi dari trauma kepala. Ada tiga mekanisme yang
berpengaruh dalam terjadinya cedera kepala yaitu:

1. Akselerasi, yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam. Kekuatan
benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat percepatan,
perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba terhadap kepala
dan jaringan otak. Trauma ini bisa menimbulkan kompresi dan regangan yang
bisa menimbulkan robekan jaringan dan pergeseran sebagian jaringan
terhadap jaringan otak yang lain. Akselerasi ini misalnya terjadi pada orang
yang diam kemudian dipukul atau terlempar batu.
2. Deselerasi, yaitu jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam.
Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda yang keras,
maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan di tempat benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada
tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, sedangkan pada tempat
yang berlawanan terdapat tekanan negative paling rendah sehingga terjadi
rongga dan mengakibatkan robekan. Deselerasi ini misalnya terjadi pada saat
kepala terbentur
3. Deformitas, yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya fraktur kepala, kompresi, ketegangan pada jaringan
otak.
Menurut Harsono (2005), patofisiologis dari cedera kepala dibagi dalam
proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena
gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan
bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.

1) Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik

28
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan atau regangan serabut saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
2) Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial.
Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan
gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala
neurologis yang tergantung lokasi kerusakan. Kerusakan sistem saraf motorik
yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan
kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru
akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan
dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus
frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus
temporalis.

Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala


disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hipertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan
oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang
berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor
akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga
keseimbangannya menjadi negatif.

Sedangkan trauma kepala berdasarkan area, yaitu:

1. Komusio serebri

29
Komosio serebri adalah suatu kerusakan sementara fungsi neurologi yang
disebabkan oleh benturan pada kepala. Biasanya tidak merusak struktur tetapi
menyebabkan hilangnya ingatan sebelum dan sesudah cidera, lesu, mual dan
muntah. Biasanya dapat kembali pada fungsi yang normal. Setelah komosio
akan timbul sindroma berupa sakit kepala, pusing, ketidakmampuan untuk
konsentrasi berupa minggu setelah kejadian.

2. Kontusio serebri
Benturan dapat menyebabkan perubahan dari struktur dari permukaan otak
yang mengakibatkan perdarahan dan kematian jaringan dengan/tanpa edema.
Kontusio dapat berupa copu atau contracoup injury. Defisit neurologi serius
dapat terjadi. Gejala-gejala tergantung pada luasnya kerusakan.

3. Hematoma Epidural
Hematoma epidural adalah perdarahan yang menuju ke ruang antara
tengkorak dan durameter. Kondisi ini terjadi karena laserasi dari arteri
meningea media. Gambaran klinik klasik yang terlihat berupa: hilangnya
kesadaran dengan diikuti perioe flaccid, tingkat kesadaran dengan cepat
menurun confusion sampai dengan koma. Jika tidak ditangani akan
menyebabkan kematian.

4. Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan arteri atau vena durameter dan
arachnoid. Hematoma subdural akut dapat timbul dalam waktu 48 jam,
dengan gejala-gejala berupa sakit kepala, mengantuk, agitasi, bingung dan
dilatasi dan fiksasi pupil ipsilateral. Untuk hematoma subakut subdural
gejala-gejalanya sama dengan yang akut, tetapi berkembang lebih lambat
yaitu 2 hari sampai 2 minggu. Hematoma subdural kronik akibat trauma kecil
dapat berkembang lebih lama lagi.

5. Hematoma Intra Cerebral


Hematoma Intracerebral adalah perdarahan yang menuju ke jaringan
serebral. Biasanya terjadi akibat cidera langsung dan sering didapat pada

30
lobus frontal atau temporal. Gejala-gejalanya meliputi: sakit kepala,
menurunnya kesadaran, hemiplegia kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral.

6. Hematoma Sub Arachnoid


Hematoma subarachnoid hematoma yang terjadi akibat trauma, meskipun
pembentukan hematoma jarang. Tanda dan gejala-gejalanya meliputi: kaku
kuduk, sakit kepala, menurunnya tingkat kesadaran, hemiparesis dan
ipsilateral dilatasi pupil.

31
2.8 WOC Trauma Kepala

32
2.9 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Kepala
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan trauma
kepala, meliputi:

1. CT Scan (dengan tanpa kontras)


Pemeriksaan CT Scan kepala merupakan gold standard bagi pasien
dengan trauma kepala. Berdasarkan gambaran CT Scan kepala dapat
diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien trauma
kepala (French, 1987).
Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas.
Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas
baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2009). Indikasi pemeriksaan
CT-Scan pada kasus trauma kepala diantaranya:
a. Secara klinis dengan penilaian GCS didapatkan klasifikasi trauma
kepala sedang sampai berat
b. Trauma kepala ringan disertai fraktur tengkorak
c. Adanya kecurigaan terjadinya fraktur basis kranii
d. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan kesadaran
e. Disertai dengan sakit kepala yang hebat
f. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
g. Kesuliran dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
(irwan, 2009)

33
Gambar 8 Hasil CT Scan Trauma Kepala

2. MRI
Sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontras. Menggunakan medan
magnet kuat dan frekuensi radio. Pencitraan pada MRI berguna untuk
mendiagnosis adanya tumor, infark dan kelainan pembuluh darah

Gambar 9 Subdural Hematoma Subakut pada MRI T2


3. Angiografi serebral

34
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan
menentukan kelainan serebral vaskuler
4. EEG (Elektroensefalogram)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis. EEG mengukur aktifitas listrik lapisan superfisial korteks serebri
melalui elektroda yang dipasang di luar tengkorak pasien.
5. Foto rontgen untuk mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edma), fragmen tulang
6. PET untuk mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
7. Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi. Dapat dilakukan jika dicurigai adanya
perdarahan subaraknoid
8. Kadar elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intrakranial
9. Skrining toksilogi untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran
10. Analiss Gas Darah (AGD) merupakan salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi atau ventilasi pasien. Status respirasi yang dapat
digambarkan melalui pemeriksaan AGD adalah status oksigenasi dan status
asam basa. Adanya permasalahan pada ventilasi dicurigai dapat menyebabkan
adanya peningkatan TIK.
11. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil,
pemeriksaan terdiri dari :

a. GCS
b. Reflek cahaya pupil
c. Gerakan bola mata
d. Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
e. Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
f. Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
g. Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV

35
h. Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik
yang terbaik
i. Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
j. Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
k. Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau
perburukan pasien.

2.10 Penatalaksanaan Trauma Kepala


Individu trauma kepala diasumsikan dengan trauma medula servikalis dari
tempat kecelakaan pasien dipindahkan dengan prinsip kepala dan leher
dipertahankan sejajar. Traksi ringan harus dipertahankan pada kepala dan
kolar servikal. Dipasang dan dipertahankan sampai sinar X medula servikal
didapatkan dan dikethui bahwa tidak ada trauma medula spinalis servikal.
Penatalaksanaan pada trauma kepala memiliki prinsip penanganan untuk
memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan
untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil CT
Scan pada pasien. Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip
penatalaksanaan pada trauma kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen
dengan induksi koma. Pasien yang mengalami kejang diberikan terapi
profilaksis
Menurut Tarwoto, et al (2007), pentalaksanaan medis pada cedera
kepala meliputi penatalaksanaan umum yaitu bersihkan jalan napas dari
debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal
segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal. Monitor respirasi
dengan bebaskan jalan napas, monitor keadaan ventilasi, pemeriksaan
Analisa Gas Darah (AGD), bahkan oksigen bila perlu, monitor tekanan
intracranial, atasi syok bila ada, kontrol tanda-tanda vital, keseimbangan
cairan elektrolit dan debridemen luka, kraniotomi.
Primary Survey

36
1. Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan
harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Daerah tulang servikal harus
diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head
block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra
servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau
jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa
jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus
tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow
Coma Scale sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan
airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan,
mengindikasikan perlunya airway definitif.
2. Breathing
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Pernapasan dinilai dengan
menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan
dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan
auskultasi bunyi napas di kedua aksila.
3. Sirkulasi (Circulation)
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt,
2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status
hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai:
a. Tingkat kesadaran: Bila volume darah menurun perfusi otak juga
berkurang yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit: Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang
pucat merupakan tanda hipovolemia.
c. Nadi: Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti
a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi,
kecepatan dan irama (ATLS, 2004)
Tata laksana untuk memperbaiki sirkulasi dengan resusitasi cairan
intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat atau Normal Salin

37
(20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB harus
dipertimbangkan.
4. Defisit Neurologis (Disability)
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan
GCS.
Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai
GCS ≤ 8, harus diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg,
sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang
menurunkan aliran darah ke otak dan menurunkan tekanan intracranial.
Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan intracranial.
5. Kontrol pemaparan/lingkungan (Exposure)
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian
tubuh.Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat
terlihat. Anak-anak sering datang dengan keadaan hipotermia ringan
karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan
dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan
intravena (yang telah dihangatkan sampai 390C) (Dewanto et al, 2009).

Secondary Survey
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera.
Bila telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan
napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah
penanganan luka yang dalami akibat cidera disertai observasi tanda vital
dan deficit neurologis. Dimulai dengan anamnesa AMPLE, yaitu:
A = Allergies, dengan menanyakan kepada klien atau keluarga, serta bisa
dengan menggunukan tes alergi
M = Medications, atau obat yang sedang dikonsumsi atau diminum klien
untuk mengatasi masalah
P = Past illness (RPD)

38
L = Last meal, makanan atau minuman terakhir; apa dan kapan
E = Event / environment, pencetus atau kejadian penyebab keluhan
Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
a. Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher
b. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
c. Rasa baal pada lengan
d. Gangguan keseimbangn atau berjalan
e. Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kalainan neurologis berupa:
a. Penurunan kesadaran (menurut skala koma Glasgow) dari
observasi awal
b. Gangguan daya ingat
c. Nyeri kepala hebat
d. Mual dan muntah
e. Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
f. Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
g. Abnormlitas anatomi otak berdasarkan CT scan.
Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan
perawatannya di rumah. Namun, bila tanda-tanda di atas ditemukan
pada observasi 24 jam pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit
dan observasi ketat. Status cidera kepala yang dialami menjadi cedera
kepala sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.
Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan
sebelum penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan
keadaan penderita, dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH)
atau hematom subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
a. Indikasi bedah pada perdarahan epidural (EDH)
1. EDH simtomatik
2. EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal > 1 cm (EDH yang
lebih besar daripada ini akan sulit diresopsi)
3. EDH pada pasien pediatric.

39
b. Indikasi bedah pada perdarahan subdural (SDH)
1. SDH simtomatik
2. SDH dengan ketebalan > 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada
pediatric (Dewanto et al, 2009).
Algoritma Penatalaksanaan Cidera Kepala

40
41
I. Terapi Cedera Kepala Ringan (GCS = 13 – 15 )
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat.3 % penderita Cidera Kepala
Ringan ditemukan fraktur tengkorak. Terapi cedera kepala ringan :

a. Obat anti nyeri non narkotik


b. Toksoid pada luka terbuka
c. Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. Cedera Kepala Sedang ( GCS = 9-12 )


Tindakan di UGD :

1. Anamnese singkat
2. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan
neulorogis
3. Pemeriksaan CT. scan
4. Penderita harus dirawat untuk diobservasi
5. Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :Status neulologis
membaik, CT scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang
memerlukan pembedahan
6. Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan
CK. Berat.
7. Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. Cedera Kepala Berat ( GCS ≤ 8 )


1. Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana
walaupun status kardiopulmonernya telah distabilkan
2. CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
3. Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara
penanganan Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK.
Berat harus dilakukan secepatnya.

42
Algoritma penatalaksanaan cedera kepala berat

1. Terapi Non Operatif


Terapi non operatif pada pasien trauma kepala ditujukan untuk:
1. mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial

43
2. mencegah dan mengobati edema otak dengan cara hiperosmolar,
diuretik
3. meminimalisir terjadinya kerusakan sekunder
4. mengobati simptom akibat trauma kepala atau otak
5. mencegah dan mengobati komplikasi trauma kepala, misal adanya
kejang, infeksi dengan memberikan anti-konvulsan dan antibiotic

2. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk
mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi. Bila ditemukan
peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa trauma difus,
autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan
barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan
metabolisme serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah
serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi
lipid mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez menunjukkan
penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil
pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial,
mempertahankan volume intravaskular volume. Dengan akses vena sentral
diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium
145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah
target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.
Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita
agar tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan
cairan berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat
menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera.
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RlKadar
Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresif.

44
Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah otak. HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena
perfusi otak menurun. PCO2< 25 mmHg , HV harus dicegah. Pertahankan
level PCO2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV, indikasi penderita koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil
dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada
penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia.
Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan
akan meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV.
Steroid
Steroid tidak bermanfaat pada pasien cedera kepala tidak
dianjurkan.
Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK, tidak boleh diberikan bila
terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat
menurunkan tekanan darah
Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk
mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin
sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I. Obat lain diazepam
dan lorazepam
3. Terapi Prevensi Kejang
Pada kejang awal dapat mencegah trauma lebih lanjut, peningkatan TIK,
penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang
dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek
kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin
efektif pada minggu pertama.Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi

45
pada terapi prevensi kejang adalah kondisi pasien yang hipoglikemi,
gangguan elektrolit, dan infeksi.
4. Terapi Nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan
kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan
melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan
metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi
protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat
mencegah kejadian hiperglikemi dan infeksi.
5. Terapi Operatif
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
1. Trauma kranioserebral tertutup
a. Fraktur impresi (depressed fracture)
b. Perdarahan epidural (hematoma epidural / EDH) dengan
volume perdarahan lebih dari 30 mL/44 mL dan/atau
pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm atau
kompresi/obliterasi sisterna basalis
c. Perdarahan subdural (hematoma subdural / SDH) dengan
pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau
kompresi/obliterasi sisterna basalis
d. Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas
kelainan neurologik atau herniasi
2. Trauma kranioserebral terbuka
a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit,
fraktur multipel, dura yang robek disertai laserasi otak
b. Liqquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
c. Pneumoencephali
d. Corpus alienum
e. Luka tembak

46
2.11 Komplikasi Trauma Kepala
Komplikasi Awal
1) Lesi Saraf Kranial
Lesi saraf kranial dapat terjadi pada fraktur basis cranii. N. Olfaktori
dan bulbus olfaktori adalah yang sering terkena. Lesi saraf fasial terjadi
pada 0,3-5% cedera kepala. Semua saraf kranial kecuali N IX-X
memiliki risiko terjadi cedera. Biasanya cedera terjadi sampai dengan
beberapa hari setelah trauma. Pemulihan dapat terjadi parsial maupun
komplet. (Gilroy J, 2000).
2) Fistula Cerebrospinal Fluid
Fistula Cerebrospinal fluid terjadi setelah adanya robekan pada daerah
durameter dan arachnoid matter. Fistula Cerebrospinal fluid terjadi pada
3% pasien cedera kepala tertutup dan 5-10% pasien dengan cedera basis
cranii. (Gilroy J, 2000).
Robekan CSF dapat berhenti dalam beberapa hari pada 85% pasien.
Adanya kebocoran CSF adalah faktor risiko terjadinya meningitis,
namun penggunaan antibiotik profilaksis masih kontroversial.
Adanya rhorhea atau otorhea yang persisten lebih dari 2 minggu
merupakan indikasi dilakukannya pembedahan reparasi untuk
mencegah meningitis rekuren.
3) Pneumoencephalus
Pneumoencephalus adalah kumpulan udara pada rongga intra kranial
terutama pada rongga sub arachnoid. Hal ini terjadi terutama oleh
karena fraktur pada sinus frontalis. Pada umumnya pneumocele tidak
menimbulkan gejala, namun dapat juga menyebabkan nyeri kepala atau
gangguan kognitif sebagai akibat adanya hipotensi intrakranial.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan adanya udara di rongga kepala
dengan CT Scan atau CT sisternografi. Bila tidak didapatkan
penyerapan spontan, maka dapat dilakukan pembedahan. (Ropper AH
& Brown RH, 2005).
4) Fistula Caroticocavernous

47
Gejala adalah; eksoftalmos dengan pulsasi, chemosis conjunctiva, dan
bruit orbita. 80% Fistula Caroticocavernous terjadi oleh karena robekan
pada arteri karotis interna saat berada di dalam sinus kavernosus .
Gejala yang lain adalah distensi vena orbital atau periorbital, paralisis N
cranial (III, IV, VI, V1 dan V2). Angiografi adalah gold standar untuk
mendeteksi Fistulasi Caroticocavernous. Terapi endovaskuler dapat
dilakukan dengan meletakkan balon pada dinding arteri yang
mengalami defek yang akan mencegah terjadinya kebocoran kembali
dan hilangnya visus permanen. (Ropper AH & Brown RH, 2005).
5) Cedera Vaskuler dan Trombosis
Cedera vaskuler dapat terjadi pada trauma kepala. Hal ini disebabkan
oleh karena regeangan pembuluh darah balik intra kranial maupun
ekstra kranial yang akan menyebakan terjadinya disseksi dan trombosis.
Diagnosis cedera vaskular dapat ditegakkan dengan pemeriksaan CT
scan atau MRI. Fraktur basis cranii berhubungan dengan terjadinya
trombosis sinus duralis. Trombosis sinus duralis terjadi dalam beberapa
hari. Sinus sigmoid dan sinus transverse sering mengalami trombosis
dengan gejala nyeri kepala, muntah, maupun kejang. Terapi anti
koagulan adalah pilihan utama pada trombosis sinus duralis. Infark
serebri dapat merupakan komplikasi perdarahan eipi dural dan sub dural
yang menyebabkan herniasi sub falcine dan menekan arteri serebri
anterior ipsilateral atau arteri serebri posterior kontra lateral. Infark
daerah watersheed dapat terjadi oleh karena insufisiensi CPP (serebral
perfussion pressure) pada peningkatan ICP, hipotensi atau keduanya.
(Atkinson JLD, Wilberger JE, 2004).
6) Infeksi
Infeksi setelah terjadinya cedera kepala dapat terjadi pada ekstra dural
(osteomyelitis), sub dural (empiyema), sub arachnoid (meningitis), atau
intra serebral (abses). Infeksi ekstra dural dapat terjadi secara sekunder
oleh karena adanya kotoran atau osteomyelitis pada tulang tengkorak.
Sub dural empiyema adalah infeksi antara dura dan arachnoid. Abses
intra serebri dapat terjadi setelah adanya trauma penetrasi pada otak

48
atau adanya fraktur tulang tengkorak. Meningitis berhubungan dengan
robekan dura, fraktur penetrasi, komponen fraktur, atau fraktur linier
yang meluas pada sinus nasi. Meningitis sering terjadi dalam 2-8 hari
setelah terjadinya cedera. Penyebab infeksi adalah bakteri
pneumokokus atau bakteri gram positif lainnya. Diagnosis berdasar
analisa likuor. Terapi infeksi ini dengan antibiotik yang sensitif
terhadap gram positif dan pembedahan untuk menutup fitula.
(Watenberg KE & Mayer SA, 2007).

Komplikasi Kronis
1) Sindroma Pasca Konkussi
Sekitar 40% pasien yang mengalami cedera kepala mengalami gejala
yang berhubungan dengan keluhan otak antara lain, nyeri kepala,
dizzines, kelelahan, insomnia atau hipersomnia, pandangan kabur,
gelisah, dan sulit konsentrasi. Gejala-gejala ini sering ovelap dengan
gejala kecemasan dan depresi. Pemeriksaan neurologis maupun imaging
pada pasien ini kebanyakan normal. Pada beberapa pasien keluhan ini
berhubungan dengan kerusakan jaringan otak. Out come yang jelek
berhubungan dengan atrophy fokal pada daerah frontal atau temporal
yang menyebabkan perubahan kepribadian. Kemungkinan lain adalah
gejala ini terjadi oleh karena adanya dysfungsi aksis hipothalamus-
hipofise-adrenal yang menyebabkan terjadinya depresi. Dan terjadinya
kerusakan dendrite hipokampus oleh karena induksi glukokortikoid.
Pada pasien lain gejala ini adalah murni psikogenik. Prognosis
sindroma pasca konkusi ini tidak pasti. Dapat terjadi kemajuan klinis
yang cepat pada penderita sindra ini. Sering gejala menghilang dalam 2-
6 bulan setelah cedera. (Wartenberg KE & Mayer SA, 2007).
2) Kejang dan Epilepsi Pasca Trauma
Kejang pasca trauma dapat terjadi dengan cepat (< 24 jam kejadian)
atau lambat (dalam minggu-minggu pertama). Insiden kejang pasca
trauma adalah sekitar 2,4-40%. Kejang yang terjadi dalam jangka cepat
setelah trauma adalah faktor risiko terjadinya post traumatik epilepsi.

49
Kejang dapat terjadi pada 3-14% pasien trauma kepala. Faktor risiko
terjadinya kejang antara lain fraktur depresi, trauma penetrasi,
perdarahan intra kranial. Kesadaran menurun yang memanjang juga
merupakan faktor risiko terjadinya kejang pasca trauma. Anak-anak
lebih rentan terjadi kejang dibandingkan dengan dewasa. 25% pasien
yang mengalami kejang pasca trauma tidak mengalami kejang berulang
sebab itu anti konvulsan hanya diberikan setelah kejang kedua.
(Kuniyoshi S & Suarez JI, 2004).
3) Gangguam Kognitif
Hampir semua pasien cedera kepala mengalami gangguan fungsi
kognitif setelah sadar dari koma yang memanjang. Dengan berjalannya
waktu sering gangguan kognitif ini membaik, namun sequele masih
dapat terjadi. Gangguan memori adalah yang paling sering terjadi
setelah trauma kepala. Depresi dapat terjadi pada 40% pasien yang
selamat dari cedera kepala. (Wartenberg KE & Mayer SA, 2007).
4) Gangguan Gerak Pasca Trauma
Gangguan gerakan adalah komplikasi yang jarang pada trauma kepala.
Tremor postural dan intention adalah gejala yang paling sering terjadi,
walaupun mekanismenya belum banyak diketahui. Ataxia cerebel lar,
rubral tremor dan palatal myoklonus sering terjadi pada pasien dengan
cedera cerebellum maupun batang otak. Parkinsonisme dapat terjadi
oleh karena trauma basal ganglia. (Wartenberg KE & Mayer SA, 2007).

2.12 Prognosis Trauma Kepala


Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang
dialami.Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki
nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas
hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%.
Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti
mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan irritable.
17% pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang

50
dalam dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan
signifikan dengan pemulihan amnesia. 

2.13 Monitoring ICP


1. Konsep Monitoring ICP
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan atau hubungan volume di
antara kranium dan isi kubah kranium yang normalnya bekisar antara 10-
15 mmHg atau setara dengan 136-204mmH2O. Volume kranium terdiri
atas darah, jaringan otak, dan cairan serebrospinal (CSS) (Batticaca,
2008).
Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga
kranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak
(Joanna Beeckler, 2006). Menurut Morton, et.al tahun 2005, tekanan
intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15 mmHg
dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan
intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak
(sekitar 80% dari volume total), cairan serebrospinal (sekitar 10%)
dan darah (sekitar 10%) (Joanna Beeckler, 2006). Monro–Kellie
doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan
volume yang tetap (Morton, et.al, 2005). Selama total volume intrakranial
sama, maka TIK akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor
harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya volume
tetap konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon
kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan TIK
(Morton, et.al, 2005). Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin
antara lain cairan serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri
serebral berkonstriksi menurunkan aliran darah otak (Joanna Beeckler,
2006) .
Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi
serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran
darah dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberi oksigen dan
glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak (Black&Hawks, 2005).

51
CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi tekanan
intrakranial, dengan rumus CPP = MAP – ICP. CPP normal berada pada
rentang 60-100 mmHg. MAP adalah rata-rata tekanan selama siklus
kardiak. MAP = Tekanan Sistolik + 2X tekanan diastolik dibagi 3. Jika
CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi peningkatan TIK. Jika
kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak adekuat sehingga
hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi (Morton et.al, 2005). Jika
MAP dan ICP sama, berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti,
sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP
(Black&Hawks, 2005).
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu
kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi
perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi (Morton, et.al, 2005).
Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui pembuluh darah
serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter
pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada klien
dengan gangguan autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat
meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat
meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan TIK.
Monitoring TIK paling sering dilakukan pada trauma kepala dengan
situasi (Thamburaj, Vincent, 2006):
1. GCS kurang dari 8
2. Mengantuk/drowsy dengan hasil temuan CT scan
3. Post op evakuasi hematoma
4. Klien risiko tinggi seperti usia diatas 40 tahun, tekanan darah rendah,
klien dengan bantuan ventilasi.
Tidak ada yang dapat dicapai jika monitoring dilakukan pada klien dengan
GCS kurang dari 3 (Thamburaj, Vincent,2006).

Untuk mengetahui dan memonitor tekanan intrakranial, dapat


digunakan metode non invasif atau metode invasif. Metode non invasif
(secara tidak langsung) dilakukan 8 pemantauan status klinis,

52
neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/TCD). Sedangkan metode invasif (secara langsung)
dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu
intraventrikular, intraparenkimal, subarakhnoid/subdural, dan epidural.
Metode yang umum dipakai yaitu intraventrikular dan intraparenkimal
(microtransducer sensor). Metode subarakhnoid dan epidural sekarang
jarang digunakan karena akurasinya rendah. Pengukuran tekanan LCS
lumbal tidak memberikan estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila
dilakukan pada TIK meningkat. Beberapa metode lain seperti Tympanic
Membrane Displacement/TMD, Optic nerve sheath diameter/ONSD
namun akurasinya sangat rendah.
Metode non invasif meliputi (Thamburaj, Vincent, 2006) :
1. Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda
peningkatan TIK. Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi
pupil normalnya dianggap tanda peningkatan TIK.
2. Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik
ultrasound “time of flight” sedang dianjurkan. Beberapa peralatan
digunakan untuk mengukur TIK melalui fontanel terbuka. Sistem
serat optik digunakan ekstra kutaneus.
3. Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek
tengkorak jika ada, dapat juga memberi tanda.

Pemantauan secara non invasif (tidak langsung): pemantauan status


klinis dari beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada
peningkatan TIK yaitu
a. Tingkat kesadaran (GCS)
b. Pemeriksaan pupil
c. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III
dan VI)
d. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis
e. Adanya mual atau muntah
f. Keluhan nyeri kepala

53
g. Vital sign saat itu
Oftalmoskopi
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna
pada peningkatan TIK.Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK
telah terjadi lebih dari sehari. Tapi sebaiknya tetap dinilai pada
evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema dapat memberikan
informasi mengenai proses perjalanan penyakit.

Gambar 10 Oftalmoskopi

Neuroimaging
Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya
dilakukan pemeriksaan CT scan kepala. Neuroimaging digunakan
untuk menetapkan diagnosa yang mengakibatkan TIK meningkat,
serta melengkapi informasi yang diperoleh dari anamnesa dan
pemeriksaan.Pencitraan tidak dapat menggantikan pemantauan
TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan ketika status
klinis pasien hanya membutuhkan penempatan monitor TIK dalam
waktu singkat. Dalam keadaan ini, pengulangan pencitraan setiap
kali perubahan status pasien dapat mendokumentasikan munculnya
temuan baru (misalnya, hematoma cedera kepala) yang kemudian
memerlukan penempatan monitor. Pendekatan ini dapat digunakan
untuk menunda atau menghindari penempatan monitor TIK dalam
kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya kurang jelas.

54
Gambar 11 Neuroimaging

Neurosonology
TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang
berguna untuk penilaian aliran darah arteri basal otak.Semua
cabang utama arteri intrakranial biasanya dapat diinsonasi baik
arteri kranial anterior, media dan posterior melalui tulang temporal
(kecuali pada 10% pasien, dimana insonasi transtemporal tidak
memungkinkan), arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita,
dan arteri vertebral dan arteri basilar melalui foramen
magnum.TCD mengukur kecepatan aliran darah, dalam sentimeter
per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel pemantauan
esensial kedua berasal dari rekaman gelombang yang
menggunakan indikator pulsatility index (PI), rasio perbedaan
antara kecepatan aliran sistolik dan diastolik dibagi rata-rata
kecepatan aliran, biasanya kurang lebih sama dengan 1.
Penggunaan klinis yang paling umum dari TCD adalah
pemantauan untuk vasospasme, terutama setelah SAH.
Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran sistolik dan
penurunan diastolik (aliran sistolik 120 sangat sugestif dan 200
konfirmasi dari penurunan diameter lumen), mengakibatkan
peningkatan PI (nilai di atas 3:1 sangat sugestif terjadi
penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat mendeteksi
perubahan progresif dalam kecepatan aliran dan PI akibat

55
vasospasme pada SAH. Penyempitan lumen dapat diproduksi oleh
penyempitan arteri intrinsik sendiri seperti dalam autoregulasi dan
vasospasme yang benar, atau dengan hiperplasia intimal seperti
dalam "vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa terjadi
karena kompresi ekstrinsik dari arteri terutama peningkatan difus
TIK mengakibatkan penekanan yang menyebabkan penyempitan
arteri basal.Seluruh peningkatan dalam kecepatan aliran dan PI
dapat menunjukkan kompresi ekstrinsik difus arteri karena TIK
meningkat. Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk
memberikan alternatif pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak
dapat menggantikan pemantauan TIK langsung. Para dokter yang
menggunakan TCD untuk monitor pasien SAH harus selalu ingat
bahwa perubahan penyempitan lumen yang difus mungkin
menunjukkan peningkatan TIK. Beberapa upaya telah dilakukan
memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi dan
menilai adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.

Gambar 12 Neurosonology

Sedangkan metode invasif meliputi (Thamburaj, Vincent, 2006) :


1. Monitoring intraventrikular menjadi teknik yang popular,
terutama pada klien dengan ventrikulomegali. Keuntungan
tambahan adalah dapat juga mengalirkan cairan serebrospinal. Cara ini
tidak mudah dan dapat menimbulkan perdarahan dan infeksi (5%).

56
2. Sekrup dan palang dan kateter subdural. Sekrup Richmond dan palang
Becker digunakan ekstradural. Cairan dimasukkan oleh kateter ke
dalam ruang subdural, kemudian dihubungkan ke system monitoring
tekanan arteri. Cara ini hemat biaya dan berguna secara adekuat.
3. “Ladd device” digunakan secara luas. Cara ini memerlukan sistem
serat optik unutk mendeteksi adanya distorsi pada cermin kecil dalam
sistem balon, dapat digunakan subdural, ekstra dural dan ekstra
kutaneus.
4. “Cardio Serach monitoring sensor” digunakan subdural atau
ekstradural. Sistem ini jarang digunakan.
5. Peralatan elektronik (Camino dan Galtesh) popular di dunia.
6. Peralatan yang ditanam secara penuh diperlukan oleh klien yang
memerlukan monitoring TIK jangka panjang, seperti pada tumor otak,
hidrocephalus, atau penyakit otak kronik lainnya. Cosmon telesensor
dapat ditanam sebagai bagian dari sistem shunt.
7. Lumbal pungsi dan pengukuran tekanan cairan serebrospinal tidak
direkomendasikan.
8. Masing-masing cara memilki keuntungan dan
kerugian/kelemahan. Monitor TIK yang digunakan sebaiknya
memiliki kapabilitas 0 – 100 mmHg, akurasi dalam 1-20 mmHg + 2
mmHg, dan kesalahan maksimum 10% dalam rentang 10-100 mmHg
(Morton, et.al, 2005). Klien dengan kenikan TIK perlahan seperti klien
dengan tumor otak lebih toleran terhadap kenaikan TIK daripada klien
dengan kenaikan TIK mendadak, seperti klien dengan hematoma
subdural akut (Morton, et.al, 2005).

Pemantauan secara invasif (langsung): dapat dilakukan dibeberapa


lokasi sesuai dengan anatomi kepala

57
Gambar 13 Lokasi pemantauan TIK secara langsung

Subarachnoid Screw
Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui
tabung. Alat ini ditempatkan ke dalam tengkorak berbatasan dengan
dura. Ini adalah sekrup berongga yang memungkinkan CSF untuk
mengisi baut, memungkinkan tekanan untuk menjadi sama.
Keuntungan metode ini adalah infeksi dan risiko perdarahan rendah.
Aspek negatif termasuk kemungkinan kesalahan permantauan TIK,
salah penempatan sekrup, dan oklusi oleh debris.
Kateter subdural / epidural
Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau
TIK. Metode ini kurang invasif tetapi juga kurang akurat.Hal ini tidak
dapat digunakan untuk mengalirkan CSF, namun kateter memiliki
risiko yang lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.
Kateter subdural / epidural Kateter subdural / epidural adalah
metode lain untuk memantau TIK. Metode ini kurang invasif tetapi juga
kurang akurat. Hal ini tidak dapat digunakan untuk mengalirkan CSF,
namun kateter memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau
perdarahan.
Intraparenkimal (microtransducer sensor)

58
Pemantauaan TIK intraparenkimal menggunakan microtransducer
yang diletakkan di parenkim otak melalui lubang kecil dan baut
tengkorak yang memungkinkan pemantauan TIK simultan,
mikrodialisis serebral dan oksigenasi jaringan otak. Posisi pilihan
perangkat tersebut adalah pada subtansia alba regio frontal nondominan
pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada cedera otak
fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada hemisfer
kontralateral dari hematoma intraserebral. Perangkat yang berbeda juga
tersedia, termasuk fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK
pneumatic Spiegelberg juga memungkinkan kalibrasi in vivo dan
pemantauan intrakranial. Monitor TIK Neurovent-P adalah kateter
serbaguna yang menggabungkan TIK, oksigenasi jaringan otak dan
pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus diinterpretasikan dengan
hati-hati dan berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis
pasien. Ketika ada perbedaan yang signifikan antara nilai pemantauan
dan gejala klinis, penggantian atau penempatan kembali probe harus
dipertimbangkan.
Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy
Tehnik intraventrikular merupakan gold standard pemantauan TIK,
yaitu kateter diinsersikan ke dalam ventrikel lateral biasanya melalui
burr hole kecil di frontal kanan. Tehnik ini juga dapat digunakan untuk
mengalirkan LCS dan memberikan obat intratekal seperti pemberian
antibiotika pada kasus ventrikulitis yang kemungkinan disebabkan oleh
pemasangan kateter itu sendiri.
Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya
memungkinkan pemantauan TIK intermiten bila saluran ventrikel
ditutup.Kateter ventrikel tersedia secara komersial memiliki transduser
tekanan dalam lumennya, sistem ini memungkinkan pemantauan TIK
dan drainase LCS simultan.
Beberapa komplikasi bisa terjadi akibat pemasangan kateter
ventrikel antara lain kebocoran LCS, masuknya udara ke ruang
subarachnoid dan ventrikel, drainase LCS yang berlebihan dapat

59
menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau terapi tidak sesuai
berkaitan dengan pembacaan TIK dengan gelombang kecil, kegagalan
elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-lubang kecil di
ujung kateter dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin,
dan kateter dapat berpindah sehingga sebagian atau seluruh ujung
kateter terletak dalam parenkim otak bukan dalam ventrikel. Dalam
kasus tersebut, drainase LCS akan menghasilkan gradien tekanan
signifikan antara lumen kateter ventrikel dan ventrikel. Jika diduga ada
obstruksi kateter, irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat mengembalikan
patensi kateter. Prosedur ini harus dilakukan dengan memperhatikan
asepsis, dimana manipulasi berulang berhubungan dengan tingginya
insiden infeksi sistem saraf pusat.Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan.
Ventrikulitis dan meningitis adalah komplikasi yang berpotensi
mengancam nyawa, yang disebabkan oleh kontaminasi langsung kateter
selama pemasangan atau secara retrograde oleh kolonisasi bakteri pada
kateter. Kejadian infeksi dilaporkan sekitar 5-20%.Penggunaan sistem
drainase tertutup dan sampling LCS aseptik dan pembilasan kateter dan
pengangkatan yang benar kateter yang tidak dibutuhkan dapat
meminimalkan risiko infeksi terkait kateter.LCS dapat mencetuskan
infeksi karena pengulangan akses ke sistem drainase.Sampling LCS
lebih diindikasikan karena kriteria klinis khusus daripada menjadi
sampling rutin.
Posisi pasien saat pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser
harus sama tinggi dengan titik referensi. Titik referensi yang paling
umum adalah foramen Monro. Titik referensi 0 adalah garis imajiner
anatara puncak telinga dan kantus bagian luar mata.
Lamanya waktu pemakaian kateter ventrikuler bervariasi. Secara
umum lama waktu pemakaian adalah dua minggu atau tergantung
kondisi pasien. Risiko infeksi meningkat pada pemakaian yang lebih
lama. Pemberian antibiotik profilaksis dikaitkan dengan tingginya
insiden infeksi LCS yang resisten antibiotika. Sebaliknya, penggunaan
antibiotik dapat menurunkan kejadian infeksi berhubungan dengan

60
kateter. Setelah dicabut, ujung kateter harus dikirim untuk kultur,
dimana pertumbuhan bakteri berkaitan dengan risiko tinggi terjadi
meningitis, dan tes sensitivitas antibiotika berdasarkan atas analisis
mikrobiologi dapat menjadi pedoman terapi (IB, Adi, 2013).

Tipe Monitor Keuntungan Kerugian

Intraventrikular Gold standard, Angka infeksi tinggi


pengukuran TIK (5-20%), resiko
global, digunakan perdarahan 2%
untuk diagnosis dan
terapi

Intraparenkimal Angka infeksi dan Mengukur TIK


perdarahan rendah regional, tidak dapat
(1%), penempatan dikalibrasi ulang
mudah setelah ditempatkan,
penyimpangan (3
mmHg)

Subarakhnoid/subdural Angka infeksi dan Pengukuran tidak


perdarahan rendah dapat percaya, jarang
digunakan

Epidural Resiko perdarahan Pengukuran tidak


lebih rendah jika dapat dipercaya
dibandingkan dengan
monitor
intraventrikular dan
intraparenkimal,
kadang dipakai pada
pasien dengan
koagulopati

Keuntungan dan kerugian metode pemantauan TIK yang invasive

61
2. Indikasi ICP Monitoring
Pada umumnya, monitoring TIK diindikasikan pada semua pasien
yang koma dengan cidera kepala, dan dengan pasien dengan penurunan
status neurologi dengan CT scan abnormal. Pedoman BTF (Brain Trauma
Foundation) 2007 merekomendasikan bahwa TIK harus dipantau pada
semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8 setelah
resusitasi) dan hasil CT scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma,
kontusio, pembengkakan, herniasi, dan/atau penekanan sinterna basalis)
(level III), TIK juga sebaiknya dipantau pada pasien cidera kepala berat
dengan CT scan kepala normal jika diikuti dua atau lebih kriteria antara
lain, usia > 40 tahun, sikap motorik, dan tekanan darah sistolik <90
mmHg.

Indikasi Kriteria dan rasio

Trauma - GCS kurang dari atau sama dengan 8


- Tidak mampu mengikuti pemeriksaan neurologis atau
memerlukan sedasi atau anestesi
Perdarahan - Ketika terjadi ekspansi perdarahan akan menyebabkan
intracrania intervensi pembedahan, monitoring dapat menyedian
l informasi segera.
- Manajemen TIK secara umum
Neiplasma Pasien yang terjadi edema otak selama operasi reseksi
intracrania atau penutupan, monitoring dapat berguna pada periode
l perioperatif.

Pasca Reseksi AVM menyebabkan redistribusi aliran darah dan


operasi sering edema paska operasi membutuhkan pemulihan
AVM yang bertahan dan sering sedasi paska operasi

Menurut Twomey 2009, dapat mencakup hidrosefalus, perdarahan, tumor,


meningitis atau cedera otak traumatis.
Indikasi dapat mencakup (G. Werren. 2014) :
1. Cedera otak traumatis yang berat

62
2. Perdarahan intrakranial
3. Edema serebral
4. Pasca kraniotomi
5. Ruang yang dapat mengalami lesi seperti hematoma epidural dan
subdural, tumor, abses, atau aneurisma dapat menyumbat saluran CSF
6. Pasien sindrom Reye yang mengalami koma dan tanggapan yang
abnormal terhadap rangsangan.
7. Encephalopathy , krisis hipertensi, atau kerusakan hati
8. Meningitis / ensefalitis mengakibatkan malabsorpsi CSF

3. Kontraindikasi ICP Monitoring


Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada
beberapa
kontraindikasi relatif yaitu 3:
a. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada
pemasangab pemantauan TIK. Bila memungkinkan pemantauan
TIK ditunda sampai International Normalized Ratio (INR),
Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT)
terkoreksi ( INR <1,4 dan PT <13,5 detik). Pada kasus emergensi
dapat diberikan Fresh Frozen Plasma (FFP) dan vitamin K.
b. Trombosit < 100.000/mm³ c. Bila pasien menggunakan obat anti
platelet, sebaiknya berikan sekantong platelet dan fungsi platelet
dengan menghitung waktu perdarahan.
c. Imunosupresan baik iatrogenik maupun patologis juga merupaka
kontraindikasi relatif pemasangan pemantauan TIK (Kayana n.d.)

4. Waktu Pemasangan dan Perawatan


Untuk waktu pemasangan ICP monitoring bervariasi tergantung
dari keadaan masing-masing pasien. Biasanya 5-7 hari. Perawatan ICP
monitoring sama dengan perawatan luka post op. Tujuan dari perawatan
ICP monitoring adalah untuk mencegah terjadinya infeksi dan untuk
memberikan kenyamanan pada pasien.

63
Gambar 14 Cara Pemasangan ICP

(http://doctorstock.photoshelter.com/image/I0000w2u6.IhRRPM)

5. Nilai Normal ICP


Intracranial Pressure (Tekanan Intracranial) adalah tekanan yang
ada di dalam tulang kranium yang mana berisi otak, sistem vaskuler
cerebral dan cairan cerebrospinal. ICP biasanya diukur dalam mm Hg
untuk memungkinkan perbandingan dengan MAP dan untuk
memungkinkan perhitungan cepat dari CPP. Tekanan biasanya diukur
melalui caioran otak dengan tekanan normal 7-15 mm Hg pada orang
dewasa yang terlentang atau antara 60 - 180 cmH 2O. Yang harus
diperhatikan dalam ICP adalah posisi, dengan kepala ditinggikan akan
mengakibatkan nilai-nilai yang lebih rendah. Orang dewasa yang berdiri
umumnya memiliki ICP -10 mm Hg tetapi tidak pernah kurang dari -15
mm Hg. Pada anak-anak telentang, ICP biasanya lebih rendah, di kisaran
15 mm Hg dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur.
Tekanan diatas 250 mmH2O disebut peningkatan tekanan
intracranial dan gejala-gejala serius dari gangguan penyakit yang

64
menyertai akan muncul. TIK yang diukur melalui lumbal fungsi biasanya
tidak terlalu akurat karena apabila ada sumbatan pada jalur kortikospinal
akan mendapatkan hasil yang kurang akurat. Definisi hipertensi
intracranial tergantung pada patologi spesifik dan usia, walaupun TIK>15
mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg umumnya
abnormal, akan tetapi penanganan diberikan pada tingkat berbeda
tergantung patologinya. TIK>15 mmHg memerlukan penanganan pada
pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala, penanganan
diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada anak-
anak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai
selama penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18
mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.

6. Interpretasi Hasil ICP Mobitoring


Tujuan utama monitoring tekanan intracranial (ICP) adalah untuk
mengidentifikasi tekanan intracranial dan evaluasi terapi intervensi untuk
meminimalkan cedera iskemik pada pasien yang megalami cedera otak.
(G. Werren. 2014).
Selain nilai absolut TIK, gelombang TIK dapat memberikan
informasi tentang compliance. Bentuk gelombang TIK digolongkan
menjadi komponen P1, P2, P3, dengan tiap elemen gelombang lebih kecil
dari sebelumnya. Gelombang P1 menunjukkan gelombang arterial, P2
menunjukkan rebound, dan P3 menunjukkan outflow vena. Peningkatan
gelombang P2 merupakan tanda compliance yang jelek. Compliance
dapat diukur dengan pengaturan drainase volume CSF dan memeriksa
perubahan pada tekanan yang ditimbulkan (Δvolume/Δtekanan). Jika
compliance TIK yang rendah dan kritis, disertai dengan perfusi jaringan
yang tidak adekuat, dapat mengakibatkan gelombang Lundberg.

65
Gambar 16 Bentuk gelombang TIK .7. Gelombang TIK patologik (Sumber
: Guide to the Care of the Patient with Intracranial Pressure Monitoring)

Gelombang Lundberg A (gelombang plateau) menunjukkan peningkatan


TIK tiba-tiba dari 20 ke 100 mmHg yang bertahan dari menit ke jam,
menyebabkan penurunan CBF/CPP dan iskemik otak. Gelombang Lundberg B
sedikit meningkat, biasanya 5-20 mmHg, bertahan 1-5 menit, berhubungan
dengan variasi respirasi, dan digolongkan dengan ketajaman gelombang.
Gelombang Lundberg ini merupakan penanda untuk compliance intrakranial
rendah kritis dan mungkin mengakibatkan hipoperfusi jaringan, pembesaran
arteriolar yang progresif, dan peningkatan CBV. Gelombang Lundberg A
harus diterapi dengan agresif dengan meningkatkan CPP menggunakan
vasopressor, dan menurunkan TIK dengan terapi osmotik dan hiperventilasi.

Penting untuk dicatat bahwa pasien dapat terjadi herniasi dengan nilai TIK
normal. Pasien asimptomatik dengan kurva compliance normal, TIK dapat
tiba-tiba naik (seperti saat batuk, atau membalik badan).

Interpretasi Hasil Pemantauan Tekanan Intrakranial

66
a. Tipe waveform tekanan intrakranial
Terlihat adanya variasi dalam rekaman pengukuran ICP normal
yang berasal dari denyutan kecil yang ditransmisikan dari tekanan darah
sistemik ke rongga intrakranial. Dalam melakukan pemeriksaan dasar
apakah sinyal ICP benar-benar representatif terhadap tekanan intrakranial,
dokter harus memastikan bahwa terdapat kurva tekanan berosilasi dengan
penurunan progresif dari notche P1, P2 dan P3, yang menunjukkan
propagasi dari pulsasi tekanan jantung.

Gambar 17 Kurva tekanan berosilasi dengan penurunan progresif


dari notche P1, P2, P3

b. Waveform patologis
Analisis kurva tekanan lebih lanjut juga dapat digunakan dengan
mengidentifikasi gelombang Lundberg A dan B. Gelombang A (juga
dikenal sebagai gelombang plateau) yang ditandai dengan peningkatan dan
penurunan yang cepat pada tekanan sampai nilai 50-100 mmHg dan
berlangsung dari 5 sampai 20 menit dengan durasinya yang bervariasi.
Mereka adalah tanda dari gangguan autoregulasi serebral yang lebih parah.
Gelombang B yang berosilasi secara ritmik muncul dengan frekuensi 1/2-2
kali per menit, dan dapat menjadi tanda disfungsi serebral. Dengan
meningkatnya ICP, akan terjadi penurunan compliance otak, pulsasi arteri

67
menjadi lebih jelas, dan komponen vena menghilang. Waveform patologis
termasuk Lundberg tipe A, B, dan C. Gelombang Lundberg A atau
gelombang plateau adalah elevasi ICP ke nilai yang lebih tinggi dari 50
mmHg berlangsung selama 5 sampai 20 menit. Gelombang ini disertai
dengan peningkatan simultan dari MAP, tetapi tidak jelas dipahami apakah
perubahan MAP adalah sebagai penyebab atau efek Gelombang Lundberg
B atau pulsasi tekanan, memiliki amplitudo 50 mmHg dan terjadi setiap 30
detik sampai 2 menit. Gelombang Lundberg C memiliki amplitudo 20
mmHg dan frekuensi 4 sampai 8 kali per menit, dapat terlihat pada
waveform ICP normal, akan tetapi amplitudo gelombang C yang tinggi
dapat tumpang tindih dengan gelombang plateau.

Alogaritma monitoring ICP

7. Prosedur Pemeriksaan

68
1. Kumpulkan Cordis EDS sesuai dengan instruksi pada setiap paket dan
pada setiap kartu pemasangan pada diagram petunjuk menggunkan 0,9%
NaCl untuk membilas sistem. Tempatkan tabung 48 inci dengan
terhubung transduser tekanan pada kartu pemasangan plastic.
2. Tempatkan pasien pada posisi semi Fowler dan posisi titik acuan nol
pada canthus luar mata
3. Awasi gelombang tekanan ICP pada monitor cardiopulmonal.
Nyalakan kran yang paling dekat dengan pasien sehingga gelombang ICP
divisualisasikan.
4. Untuk drainase yang berkelanjutan, nyalakan kran yang paling dekat
dengan pasien sehingga drainase dapat dikaji dan tekanan monitor dapat
dihentikan sesuai indikasi. (G. Werren, 2014)

8. Peran Perawat dalam monitoring ICP


1. Mengkaji ulang secara berkala perfusi serebral untuk menghindari
secondary injury
2. Melakukan kalibrasi sistem EVD (External Ventriculo Drainage) jika
dibutuhkan
3. Jika bedside monitor tidak dapat secara otomatis menghitung CPP
(Cerebral Perfusion Pressure) maka perawat wajib dapat menghitung
dengan rumus : MAP – ICP = CPP
4. Melakukan pengaturan untuk memperoleh data yang akurat, semua
sensor dan monitor harus dalam posisi zero setting sebelum bekerja
5. Perawat harus memastikan bahwa tidak ada kerusakan pada mesin serta
kebocoran cairan dan udara
6. Melakukan pemantauan selama 24 jam yang meliputi tanda-tanda vital,
kesadaran, pupil, dan kekuatan pergerakan ekstremitas
7. Perawat harus selalu memastikan posisi pasien yang di monitor dalam
posisi supinasi atau high head position setinggi 10-15°

69
2.14 Asuhan Keperawatan Trauma Kepala
1. Pengkajian Kegawatdaruratan

Primary Survey
Menurut Rab, Tabrani 2007, pengkajian primer dalam asuhan
kegawatdaruratan meliputi :
a. Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela
iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi
perawat
b. Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea,
takipnea, bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji
juga kedalaman nafas pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung
misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan
capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah
sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak
dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat
dengan metode AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan
terlebih dahulu 3A yaitu aman penolong, aman korban dan aman
lingkungan.
a) A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V

70
b) V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara
keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan
menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
c) P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal
kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang
dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra orbital).
d) U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih
tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.

Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada


tingkat keparahan cidera :
1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
Ciri :
a) Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
b) Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c) Tidak ada intoksikasi alkoholatau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f) Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang) dengan ciri :
a) Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b) Konkusi
c) Amnesia pasca trauma
d) Muntah
e) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat) dengan ciri :
a) Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c) Tanda neurologis fokal
d) Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

71
e. Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas,
laserasi, contusio, bullae, atau abrasi.

Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey
hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak
mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat
pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat
pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang,
riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,
usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan
dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali
melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita.
Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman:
cedera wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai
bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur
servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007) :

72
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat
digunakan dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan
antara lain : “dalam setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu”
(Emergency Nursing Association, 2007):
1) Hurtyou physically?
2) Insulted or talked down to you?
3) Threathened you with physical harm?
4) Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada
pasien yang meliputi :
1) Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk?
apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat
anda terbangun saat tidur?
2) Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri)
3) Radiates: apakah nyerinya menyebar? menyebar kemana? apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

73
4) Severity : seberapa parah nyerinya? dari rentang skala 0-10 dengan 0
tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
5) Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
berapa lama nyeri itu timbul? apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital.Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan
skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa
menurut Emergency Nurses Association(2007).

Komponen Nilai normal Keterangan

Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,


aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau monitor
tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.

Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu


dievaluais irama jantung,
frekuensi, kualitas dan
kesamaan.

Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi


frekuensi, auskultasi suara nafas,

74
dan inspeksi dari usaha bernafas.
Tada dari peningkatan usah
abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.

Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor


melalui oksimetri nadi, dan hal
ini penting bagi pasien dengan
gangguan respirasi, penurunan
kesadaran, penyakit serius dan
tanda vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan di
jari tangan atau kaki.

Tekanan darah 120/80 mmHg Tekanan darah mewakili dari


gambaran kontraktilitas jantung,
frekuensi jantung, volume
sirkulasi, dan tahanan vaskuler
perifer. Tekanan sistolik
menunjukkan cardiac output,
seberapa besar dan seberapa kuat
darah itu dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.

Berat badan Berat badan penting diketahui di


UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat

75
badan.

2. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Perubahan pada system pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan
hasil dari pemeriksaan fisik system ini akan didapatkan hasil seperti
bawah ini.
1. Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunanaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasa. Ekspansi dada: dinilai penuh/ tidak penuh dan
kesimetrisanya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai: retraksi
dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi
paradox (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas paradoksal dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada.

2. Pada palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain


akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga torak.

3. Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan


melibatkan trauma pada torak/hematoraks.

4. Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,


ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan
batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien cedera kepala
dengan penurunan tingkat kesadaran koma.

5. Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi klien
menjadi stabil. Pengkajian klien cedera kepala berat dengan pemasangan
ventilator secara komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis.

76
6. Pada klien dengan tingkat kesadaran composmentis, pengkajian pada
inspeksi pernapasan tidak ada kelaianan. Palpasi toraks didapatkan taktil
fremitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi
napas tambahan.

B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
nadi bradikardi, takikardia, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antidiuretik hormone yang berdampak pada
kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan
air oleh tubuluh. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektrolit
sehingga memberikan risiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit pada system kardiovaskular.
B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
akibat pengaruh peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan
adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural, dan
epidural. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainya.
Pengkajian fungsi serebral; pengkajian ini meliputi status mental,
fungsi intelektual, lobus frontal, dan hemisfer.

77
1. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku klien, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivititas motorik klien. Pada klien cedera
kepala tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

2. Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien cedera kepala


didapatkan penurunan dalam memori, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.

3. Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis


didapatkan jika trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada
lobus frontal kapasitas, memori, atau kerusakan fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitas dalam pemahaman, lupa, dan kurang
motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologis lain juga umum
terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan, frustasi,
dendam, dan kurang kerja sama.

4. Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese


sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap
sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan
tersebut. Cedera kepala yang hemisfer kiri, mengalami hemiparese
kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang
sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustasi.

Pengkajian Saraf Kranial: pengkajian ini meliputi pengkajian saraf


cranial I-XII

1. Saraf I: Pada beberapa keadaan cedera kepala di area yang merusak


anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral

2. Saraf II: Hematom palpebra pada klien cedera kepala akan


menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus.
Perdarahan di ruang intracranial, terutama hemoragia subaraknoidal,

78
dapat disertai dengan perdarahan di retina. Anomali pembuluh darah di
dalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus. Akan tetapi dari segala
macam kelainan di dalam ruang intracranial, tekanan intracranial dapat
dicerminkan pada fundus.

3. Saraf III, IV, dan VI: Gangguan mengangkat kelopak mata terutama
pada klien dengan trauma yang merusak merongga orbita. Pada kasus-
kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap
sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran.
Tanda dini herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot okular akan menyusul pada tahap berikutnya.
Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria, bukan midriasis, melainkan
miosis yang bergandengan dengan pupil yang miotik adalah abnormal.
Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang
mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.

4. Saraf V: Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis


saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah.

5. Saraf VII: Persepsi pengecapan mengalami perubahan.

6. Saraf VIII: Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala


ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjai tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis.

7. Saraf IX dan X: Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan


membuka mulut.

8. Saraf XI: Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien
cukup baik serta tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.

9. Saraf XII: Indra pengecapan mengalami perubahan.

79
Pengkajian system motorik: Pada inspeksi umum, didapatkan
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah
tanda yang lain.

1. Tonus otot: didapatkan menurun sampai hilang.

2. Kekuatan otot: pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan


otot didapatkan tingkat 0.

3. Keseimbangan dan koordinasi: didapatkan mengalami gangguan


karena hemiparese dan hemiplegia.

Pengkajian Refleks: pemeriksaan reflerk profunda, pengetukan


pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons
normal. Pemeriksaan refleks patogis, pada fase akut refleks fisiologis sisi
yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis
akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.

Pengkajian Sistem Sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi. Pada


persepsi terjai ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Kehilangan sensorik karena
cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin
lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serrta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjai akibat menurunnya perfusi pada ginjal. Setelah
cedera kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena

80
konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunankan system perkemihan karena
kerusakan control motoril dan postural. Kadang-kadang control sfingter
urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermittern dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi
yang berlanjut menunjukkan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan
bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus
harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun
atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat
terjadi akibat tertelanya udara yang berasal dari sekitar slang endotrakeal
dan nasotrakeal.

B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukkan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan membrane
mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada
klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya
demam, dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan

81
dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegic, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

3. Diagnosa Keperawatan
` Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan trauma
kepala antara lain :
1. Nyeri b.d terputusnya kontinuitas jaringan
2. Resiko Infeksi b.d terbukanya port de entre kuman masuk
3. Hipertermi b.d kerusakan hipotalamus
4. Hambatan Mobilitas fisik b.d tangan & tungkai kaku
5. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d edema otak
6. Resiko kerusakan integritas b.d imobilisasi
7. Ketidakefektifan pola nafas b.d edema paru CO menurun
8. Cairan kurang dari kebutuhan b.d mual muntah

4. Intervensi Keperawatan

No NANDA NOC NIC

1 Nyeri akut Kontrol Nyeri Administrasi Analgesik (2210)


(000132) b.d (1605)
a. memeriksa perintah medis untuk obat,
terputusnya Kriteria hasil:
dosis, dan frekuensi analgesik yang
kontinuitas Nyeri
diresepkan.
jaringan dilaporkan
b. memeriksa riwayat alergi obat.
terkendali
c. memilih analgesik atau kombinasi
analgesik yang tepat ketika lebih dari
satu yang diresepkan.
d. memilih rute IV daripada IM untuk
sering nyeri obat injeksi, bila mungkin
e. mempertimbangkan penggunaan infus
kontinu, baik sendiri atau bersama

82
dengan opioid bolus, untuk
mempertahankan tingkat serum
f. mengevaluasi efektivitas analgesik pada
interval yang sering rutin setelah setiap
administrasi, tetapi terutama setelah dosis
awal, juga mengamati untuk tanda-tanda
dan terjadinya tanda efek tak diinginkan

2 Resiko Infeksi Kontrol Resiko: Proteksi Infeksi (6550)


(00004) b.d proses infeksi a. batasi jumlah pengunjung
terbukanya port (1924) b. memberikan perawatan untuk daerah
de entre, kuman Kriteria Hasil: edema
masuk Klien terbebas c. mempromosikan asupan gizi yang cukup
dari infeksi\ d. mempertahankan asepsis untuk pasien
berisiko
e. memonitor jumlah mutlak granulosit, sel
darah putih, dan hasil diferensial
f. melaporkan kultur positif untuk personil
pengendalian infeksi
3 Hipertermia Kontrol resiko: Perawatan Hipertermia (3786)
(00007) b.d Hipertermi a. Memastikan napas paten
kerusakan (1922) b. Monitor tanda-tanda vital
hipotalamus Kriteria hasil: c. Memasang kateter berkemih
Suhu tubuh d. Monitor urin output
dalam rentang e. Monitor BGA
normal (36,5- f. Monitor suhu tubuh
37,5˚C)
Nadi dan RR
dalam rentang
normal:
Nadi 90x/menit
RR 20x/menit

83
4 Hambatan Mobilitas (0208) Menigkatkan latihan (0200)
Mobilitas fisik Kriteria Hasil: a. Kaji hambatan untuk latihan
(00085) b.d Keseimbangan b. Mendorong individu untuk memulai atau
tangan & tungkai membaik melanjutkan latihan
kaku Pasien mampu c. Membantu individu untuk menetapkan
bergerak dan tujuan jangka pendek dan jangka panjang
berjalan dengan untuk program latihan
usaha d. Instruksikan individu dalam teknik untuk
menghindari cedera saat berolahraga
e. Monitor respons pasien mengenai
program latihan
5 Resiko Status Kenaikan perfusi serebral (2550)
ketidakefektifan Neurologi: a. Pertahankan kepala dan leher tetap posisi
perfusi jaringan Kesadaran datar (posisi supinasi)
serebral (00201) (0912) b. Monitor tanda-tanda pendarahan
b.d edema otak Kriteria hasil: c. Monitor status neurologi
Nilai GCS d. Hitung dan monitor tekanan perfusi
meningkat yaitu serebral
(12-15) e. Monitor TIK dan neurologi untuk
Perdarahan aktivitas perawatan
teratasi f. Monitor tekanan arteri rata-rata
Kesadaran g. Monitor tekanan kardiovaskular
membaik yaitu h. Monitor status respirasi
compos mentis i. Monitor factor penentu dari transport
Tanda-tanda oksigen ke jaringan seperti PaCo2, SaO2
vital normal dan Hb serta CO2
TD: 120/80 j. Monitor hasil laboratorium untuk
mmHg perubahan oksigenasi dan perubahan
N: 90x/menit asam basa
RR: 20x/menit k. Monitor intake dan output
S: 37˚C Monitor tekanan intrakranium (2590)

a. Hindari tekanan falsafah maneuver

84
(suction lama, mengedan, batuk terus
menerus)
b. Berikan oksigen sesuai pengobatan
diatas
c. Lakukan tindakan bedrest total
d. Minimalkan stimulasi dari luar
e. Monitor Vital Sign serta tingkat
kesadaran
f. Monitor tanda-tanda TIK
6 Resiko kerusakan Toleransi Terapi aktivitas (4310)
integritas(00047) aktivitas (0005) a. Membuat lingkungan yang aman bagi
b.d imobilisasi Kriteria hasil: gerakan otot besar terus menerus
Pasien mampu b. Memberikan aktivitas motorik untuk
melakukan meredakan ketegangan otot
kegiatan sehari-
hari (ADL)
Mampu
berbicara sambil
melakukan
aktivitas

7 Ketidakefektifan Status Monitoring Respirasi (3350)


pola nafas(00032) respiratorik: a. Monitor rate, ritme dan usaha dalam
b.d edema paru Pola nafas bernapas
(0410) b. Perhatikan pergerakan dada,
Kriteria hasil: kesimetrisan, penggunaan otot asesoris
RR normal: dan retraksi otot intercostals dan
20x/menit supraklavikular
c. Monitor level saturasi oksigen
8 Cairan kurang Keseimbangan Manajemen cairan (4120)
dari cairan (0601) a. Hitung berat cairan yang ada di diapers
kebutuhan(00027) Kriteria hasil: jika menggunakan
b.d mual muntah Turgor kulit b. Catat intake dan output
membaik c. Monitor status nutrisi

85
Membran d. Berikan cairan jika dibutuhkan
mukosa lembab e. Monitor respon pasien terhadap terapi
Tanda-tanda cairan/elektrolit
vital normal
TD: 120/80
mmHg
N: 90x/menit
RR: 20x/menit
S: 37˚C

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

86
Tn Y usia 28 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas pada tanggal 13 maret 2017
ketika pulang dari tempat kerjanya. Klien mengalami patah tulang dibagian tangan
kiri dan luka lecet dibagian kaki, serta benturan yang cukup keras dibagian kepala.
Terdapat lebam di mata bagian kiri, hematoma didahi kiri dengan ukuran 2x1 cm,
luka robek dibagian bibir dan dagu ukuran 3x1 cm. Keadaan klien lemah dan
kesadaran semakin menurun. Klien kemudian dibawa ke RS Universitas
Airlangga untuk dilakukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut. Saat
pengkajian keadaan klien lemah dengan nilai GCS E : 3 V : 2 M : 5 (GCS total :
10) , tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 98x/menit dan pernapasan 25x/menit,
suhu tubuh klien 37,8 ˚C. Klien juga mengalami muntah, sesak napas, dan nyeri
kepala dengan skala nyeri 6 serta hilang timbul. Klien juga mengatakan bahwa
pandangannya kabur dibagian mata kiri yang megalami lebam. Keluarga
mengatakan bahwa ini pertama kalinya Tn Y mengalami kecelakaan sehingga
masih terlihat syok dengan kondisinya.

A. Pengkajian
1. Anamnesa
Identitas Klien
Nama : Tn Y Tanggal Masuk : 13 Maret 2017
Usia : 28 thn Jam Masuk : 22.00 WIB
Jenis Kelamin : Laki-laki Tanggal Pengkajian : 13 Maret 2017
Pendidikan : SMA Ruangan : IGD
Agama : Islam No. Register : 340054xxxx
Suku : Jawa Diagnosa Medis : Cedera Kepala sedang
Pekerjaan : Karyawan Fracture ulnar sinistra
Alamat : Surabaya
Keluhan Utama
Klien mengeluhkan nyeri kepala dengan skala 6 dengan intensitas nyeri
yang hilang timbul
P : Benturan yang keras di bagian kepala
Q : Nyeri dengan skala nyeri 6
R : Nyeri dibagian kepala menyebar
S : Nyeri sangat dan terjadi berulang

87
T : Nyeri hilang timbul dengan frekuensi yang sering
Riwayat Penyakit Sekarang
Klien akan pulang dari tempat kerjanya. Tetapi dijalan klien mengalami
kecelakaan lalu lintas. Tubuh klien terpental dari motornya dan jatuh di
jalan tak beraspal. Posisi jatuh klien dengan tangan kiri menumpu tubuh
klien dan sempat terguling-guling dijalan. Kepala klien membentur aspal
cukup keras. Kondisi klien lemah, kemudian klien dibawa ke RS
Universitas Airlangga. Setelah dilakukan pengkajian, kesadaran klien
menurun dan kondisinya lemah dengan GCS total 10. Klien mengeluhkan
nyeri yang cukup besar dengan skala nyeri 6, muntah dan sesak napas.
Tangan kiri klien mengalami patah tulang, dan terdapat lebam di area mata
kiri sehingga menyebabkan pandangannya kabur serta robek dibagian bibir
dan dagu. Terdapat hematoma di dahi kiri sepanjang 2x1 cm. Klien juga
masih terlihat syok dengan keadaan yang dialaminya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien belum pernah mengalami kecelakaan lalu lintas sebelumnyna. Klien
juga tidak mengkonsumsi obat-obatan atau alergi terhadap obat, tidak
merokok dan tidak minum alcohol. Klien tidak pernah MRS dan tidak
pernah mengalami penyakit yang berat, hanya flu dan batuk saja.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada penyakit keluarga yang dialami. Klien juga tidak pernah
mengalami penyakit keturunan seperti DM (-), hipertensi (-), asma (-),
sakit jantung (-).
Kondisi Psikologis
Klien masih terliat syok dengan apa yang dialaminya. Ketika diajak bicara
klien masih lemas dan tidak dapat berfokus dengan apa yag sedang
dibicarakan. Klien juga cenderung pendiam dan sering melamun atau
merintih kesakitan

2. Pemeriksaan Fisik
Primary Survey

88
1. Airway : Terdapat sumbatan dijalan napas akibat adanya darah,
terdapat suara napas tambahan seperti gurgling
L = Look/ Pergerakan dada simetris dan adanya penggunaan otot bantu
pernapasan
L = Listen/Terdengar suara napas tambahan (gurgling)
F = Feel/Aliran udara (hembusan) terasa lemah
2. Breathing
RR 25x/menit, ada tanda sesak napas
3. Circulation
Tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 98x/menit regular, CRT>2 detik,
akral dingin, basah, pucat
4. Disability
1. A= Allert- klien delirium
Total skor GCS klien adalah 10
E = skor 3- Klien membuka mata ketika diajak bicara dan kesulitan
membuka mata karena adanya lebam di bagian mata kiri
V = skor 2- Klien mengerang kesakitan karena nyeri di bagian
kepala dengan skala 6
M = skor 5- Klien dapat merelokasi nyeri/tahu arah nyeri. Klien
mengetahui lokasi nyeri dibagian lengan sebelah kiri karena
adanya patah tulang di bagian itu
2. V = Verbal- ketika di panggil klien tidak berespon dan hanya
mengerang kesakitan
3. P = Pain- Klien mengerang kesakitan karena adanya nyeri dibagian
kepala dan tangan kiri
4. U = Unresponsive- klien masih dalam keadaan responsive
5. Exposure
Terdapat patah tulang di tangan kiri, lecet dibagian kaki kiri,
hematoma di dahi dengan ukuran 2x1 cm, robek dibagian bibir dan
dagu dengan ukuran 3x1 cm, lebam dibagian mata kiri, suhu 37,8˚C.

Secondary Survey

89
a. Anamnesis
A (Alergi) :Klien tidak memiliki riwayat alergi
M (Medikasi) :Klien tidak mengonsumsi obat-obatan
P (Past Illness) :Klien tidak pernah menderita penyakit berat atau
penyakit keluarga sebelumnya
L(Last Meal) :Sebelum kejadian klien tidak mengonsumsi obat-
obatan
E (Environment) :Klien akan pulang kerumah setelah selesai bekerja
dan mengalami kecelakaan lalu lintas. Kondisi jalan licin karena hujan
b. Folley kateter
terpasang kateter, urine berwarna kuning
c. Gastric Tube
tidak terpasang nasogastric tube karena tidak ada gangguan di fungsi
pencernaannya, tidak ada jejas atau massa di area abdomen
d. Imaging
dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu :
1. CT-Scan dengan hasil Sub Dural Hematoma Dextra dan close
fracture dibagian tangan kiri
2. Hemoglobin dengan kadar hemoglobin 11 gram/dL (normal 13,5-
18 gram/dL)
3. Trombosit dengan jumlah trombosit 230.000 sel/mm3 (140.000-
400.000 sel/mm3)
4. Hematokrit dengan jumlah hematokrit 48% (normal 30%-54%)
5. Lekosit dengan jumlah leukosit 15.000 sel/mm 3(4.000-10.000
sel/mm3)
6. Terpasang oksigenasi dengan menggunakan masker rebirthing
7. Dilakukan suction untuk mengeluarkan sisa muntahan yang
menyumbat di area jalan napas
e. Heart
Tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 98x/menit, kondisi klien masih
syok dengan kejadian yang dialami, dilakukan pemeriksaan EKG

90
dengan hasil EKG menunjukkan normal tidak ada gangguan pada
fungsi jantungnya

B. Analisis Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS : - Benturan akibat kecelakaan Domain 11: Safety/
DO : Protection
RR : 25x/menit Trauma kepala Class 2 : Physical Injury
Sesak napas, ada bunyi (00031) Ketidakefektifan
napas tambahan (gurgling) Klien mengalami muntah bersihan jalan napas
dan sumbatan dijalan napas dan perdarah sedikit dari
akibat sisa muntahan hidung

Kerusakan neuromuscular
dan penurunan kesadaran

Deficit mototrik

Deficit reflek motorik

Penurunan reflek batuk

Tidak mampu mengeluarkan


sisa muntahan dan sisa
perdarahan dihidng

Penumpukan sekresi di
tenggorokan dan mulut

Penyumbatan dijalan napas

91
Kesulitan bernapas
DS : Trauma kepala Domain 4: Activity/Rest
Klien mampu diajak bicara Class 4: Cardiovascular/
tetapi terus mengerang Kerusakan sel otak Pulmonary Responses
kesakitan serta kondisinya (00201) Risiko
lemah Perdarahan Ketidakefektifan perfusi
DO : jaringan serebral
TD : 140/90 mmHg Penambahan volume
Nadi : 98x/menit intracranial pada cavum
Suhu : 37,8˚C cerebral
Tingkat kesadaran delirium,
Kesadaran menurun dengan Peningkatan tekanan
GCS total 10(E:3,V: 2,M;5) intracranial
akral dingin, basah dan
pucat, CRT >2 detik, Gangguan autoregulasi

Penurunan aliran darah ke


otak

Suplai O2 di otak menurun

Gangguan metabolism

Peningkatan asam laktat

Edema otak
DS : Benturan keras saat Domain 12 : Comfort
Klien mengeluhkan nyeri kecelakaan Class 1 : Physical
dibagian kepala dan nyeri Comfort
bersifat hilang timbul Terjadi penekanan langsung (00132) Nyeri Akut
DO : akibat pelebaran pembuluh
TD : 140/90 mmHg darah
Nadi : 98x/menit

92
Suhu : 37,8˚C Peregangan pada stuktur
intracranial

Peningkatan tekanan
intracranial

Nyeri akut
DS : Kecelakaan lalu lintas Domain 2 : Nutrition
Klien mengeluhkan Class 1: Ingestion
bibirnya perih sehingga Goresan dengan jalan raya (00002)
mengalami kesulitan makan Ketidakseimbangan
DO : Robek diarea bibir dan dagu nutrisi kurang dari
Luka robek dibagian bibir dengan ukuran 3x1 kebutuhan tubuh
dan dagu ukuran 3x1 cm,
Kesulitan memasukkan
makanan

Nafsu makan menurun


DS : Trauma penetrasi Domain 11 : Safety/
DO : Protection
Suhu : 37,8˚ C Luka terbuka dan luka robek Class 1 : Infection
Terdapat luka lecet dibagian (00004) Risiko Infeksi
kaki, luka robek di bagian Post de entry kuman
bibir dan dagu dengan
ukuran 3x1 cm, Risiko Infeksi
DS : Kecelakaan lalu lintas Domain 4 Activity/Rest
Klien mengerang kesakitan Class 2 Activity/Exercise
DO : Benturan dengan jalan (00085) Hambatan
Patah tulang di tangan kiri, Mobilitas Fisik
luka lcet dibagian kaki Tubuh terjatuh menimpa
tangan kiri

Tangan kiri tidak bisa

93
menahan beban dari tubuh

Fraktur pada tangan bagian


kiri

Dilakukan pemasangan gips


pada tangan bagian kiri

Mengalami kesulitan dalam


bergerak dan beraktifitas

C. Diagnosa Keperawatan
1. Domain 11 : Safety/Protection
Class 2 : Physical Injury
(00031) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, akumulasi sisa muntahan
2. Domain 4 : Activity/Rest
Class 4 : Cardiovascular/ Pulmonary responses
(00201) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan
edema serebral, peningkatan tekanan intracranial
3. Domain 12 : comfort
Class 1 : Physical Comfort
(00132) Nyeri Akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial
4. Domain 2 : Nutrition
Class 1 : Ingestion
(00002) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan asupan makanan tidak tercukupi
5. Domain 11 : Safety/Protection
Class 1 : Infection
(00004) Risiko Infeksi berhubungan dengan post de entry kuman akibat
trauma
6. Domain 4: Activity/Rest

94
Class 2: Activity/Exercise
(00085) Hambatan mobilitas fiisk berhubungan dengan pemasangan gips

D. Intervensi Keperawatan

Domain 11 : Safety/Protection
Class 2 : Physical Injury
(00031) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, akumulasi sisa muntahan
NOC NIC
Domain II : Physiologic Health Domain 2 : Physiologic Health
Class E : Cardiopulmonary Class K : Respiratory Management
(0410) Status Pernapasan :Kepatenan 3140 Manajemen Jalan Napas
Jalan Napas  Pastikan jalan napas tetap
041004 Respirasi rate (1-5) terbuka, gunakan teknik chin lift
041005 ritme pernapasan (1-5) atau jawa thrust
Domain II : Physiologic Health  Posisikn pasien untuk
Class E : Cardiopulmonary mendapatkan maksimal
0402 Status Pernapasan : Pertukaran potensial ventilasi
gas  Gunakan pernapasan mulut atau
042011 saturasi oksigen (1-5) nasopharngeal
040206 sianosis (1-5)  Evaluasi pergerakan dinding
Domain II : Physiologic Health dada
Class E : Cardiopulmonary  Hilangkan secret dengan
0403 Status Pernapasan : Ventilasi menggunakan batuk efektif atau
040324 Tidal volume (1-5) suction
040309 Penggunaan otot bantu per  Ajarkan bagaimana cara batuk
napasan (1-5) efektif
040311 pergerakan otot dada (1-5)
 Auskultasi suara napas, ada
040331 akumulasi sputum (1-5)
suara napas tambahan atau tidak
040333 suaranapas tambahan ketika
sebelum dan setelah dilakukan
dilakukan auskultasi (1-5)
pembersihan
 Lakukan suction endotraceal

95
atau nasotracheal sesuai indikasi
 Gunakan nebulizer ultrasonic
 Monitor status respirasi dan
oksigenasi
Domain 2 : Physiologic Health
Class K : Respiratory Management
3160 Suction jalan napas
 Tentukan apakah membutuhkan
oral atau tracheal sunction
 Auskultasi pernapasan sebelum
dan sesudah di lakukan suction
 Berikan informasi kepada klien
dan keluarga tentang suction
 Gunakan peralatan yang steril
dan sekali pakai untuk suction
 Monitor status oksigen pasien,
status neurological, dan status
hemodynamic
 Hentikan suction jika pasien
mengalami bradikardi
 Monitor dan catat warna secret,
jumlah dan konsistensi

Domain 4 : Activity/Rest
Class 4 : Cardiovascular/ Pulmonary responses
(00201) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema
serebral, peningkatan tekanan intracranial
edema serebral
NOC NIC
Domain II : physiologic Health Domain 2 : Physiological Complex
Class J : Neurocognitive Class I : Neurologic Monitoring
0912 Status Neurologi :Kesadaran 2550 Meningkatkan perfusi serebral

96
091202 orientasi kognitif (1-5)  Kelola agen untuk memperluas
091203 komunikasi sesuai dengan volume intravascular (misalnya
situasi (1-5) colloid, produksi darah dan
091204 bia mengikuti peintah (1-5) kristaloid)
091206 menerima rangsangan dari  Monitor Protrombhin time (PT)
lingkungan (1-5) dan Partial thromboplstin time
091213 delirium (1-5) (PTT)
 Pertahankan hematokrit
padalevel sekitar 33%
 Kelola kalsium beta bloker,
sesuai perintah
 Kelola vasopressin, sesuai
perintah
 Kelola dan monitor efek dari
osmotic dan loop aktif diuretic
dan kortikosteroid, sesuai
perintah
 Kelola obat nyeri, obat
anticoagulant, obat antiplatelet
dan obat trombolytic sesuai
yang diperintahkan
 Monitor tanda-tanda perdarahan
 Monitor status neurologi
 Hitung dan monitor tekanan
perfusi serebral
 Monitor TIK dan neurologi
untuk aktivitas perawatan
 Monitor tekanan arteri rata-rata
 Monitor tekanan kardiovaskuler
 Monitor status respirasi
 Monitor faktor penentu dari

97
transport oksigen ke jaringan
seperti PaCO2, SaO2 dan Hb
serta CO2
 Monitor hasil laboraturium
untuk perubahan oksigenasi dan
perubahan asam basa
 Monitor intake dan output
Domain 2 : Physiological Complex
Class I : Neurologic Monitoring
2590 Monitoring tekanan
intrakranium
 Set alarm pada monitor
 Monitor temperature dan WBC
 Posisikan pasien dengan kepala
dan leher pada posisi yang
sejajar
 Menyesuaikan posisi tempat
tidur dengan kepala sehingga
mampu untuk meminimalkan
perfusi cerebral
 Monitor efek dari lingkungan
terhadap ICP
 Perawat ruangan memberikan
perawatan untuk meminimalkan
peningkatan ICP
 Monitor level CO2 dan
menjaga dalam parameter yang
telah ditentukan
 Mempertahankan tekanan arteri
sistemikdalam batas normal

Domain 12 Comfort

98
Class 1 Physical Comfort
00132 Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial

NOC NIC
Domain IV Health Knowledge & Domain 2 Physiologial Complex
Behaviour Class H Drug Management
Class Q Health Behaviour Analgesic Administration 2214
Pain Control 1605  Tentukan lokasi nyeri, karakteristik,
160502 Kenali timbunya nyeri (1-5) kualitas dan keparahan sebelum
160501 Menjelaskan faktor penyebab mengobati pasien
(1-5)  Periksa riwayat alergi obat-obatan
160510 Menggunakan catatan untuk  Pilih analgesik atau kombinasi dari
memantau gejala dari waktu ke waktu analgesic yang sesuai jika lebih dari
(1-5) satu yang diresepkan
160503 Menggunaan langkah-langkah  Tentukan pilihan analgesik
pencegahan (1-5) (narkotik, non-nanrkotik atau
160504 Menggunakan bantuan NSAID) berdasarkan tipe dan
pertolongan non-analgesik (1-5) keparahan nyeri
Domain V Perceived Health  Pantau tanda-tanda vital sebelum
Class V Symptom status dan sesudah pemberian analgesic
Pain Level 2102 narkotika dengan dosis pertama kali
210204 Lama nyeri (1-5) jika tanda-tanda tidak biasa dicatat
210217 Mengeluh dan menangis (1-5) Domain 1 Physiological Basic
210206 ekspresi wajah nyeri (1-5) Class E Physical Comfort
210209 Ketegangan otot (1-5) Environmental Management:
210210 Tingkat pernapasan (1-5) Comfort 6482
Domain V Perceived Health  Menyediakan atau mengambil
Class U Health & Life Quality selimut untuk meningkatkan
Comfort Status 2008 kenyamanan suhu
200801 Kesejahteraan fisik (1-5)
 Hindari paparan yang tidak perlu,
200802 Kontrol gejala (1-5)
draft, kepanasan atau kedinginan
200804 Lingkungan fisik (1-5)
 Posisikan pasien untuk
200806 Dukungan sosial dari keluarga
memudahkan kenyamanan (seperti

99
(1-5) menggunakan prinsip kesejajaran
tubuh, dukungan dengan bantal,
dukungan sendi selama gerakan
splint karena sayatan, dan
immobilisasi bagian tubuh yang
sakit)
 Ciptakan lingkungan yang tenang
dan supportif
 Berikan lingkungan yang aman dan
bersih
 Berikan pendidikan yang berguna
mengenai manajemen penyakit dan
cedera pasien dan keluarga
Domain 1 Physiological Basic
Class E Physical Comfort Promotion
Pain Management 1400
 Membantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan memberikan
dukungan
 Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lamanya, dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
 Kontrol faktor lingkungan yang
mungkin mempengaruhi respon
psien pada ketidaknyamanan
 Kurangi atau hilangkan faktor-
faktor yang memicu atau
meningkatkan rasa nyeri seperti
ketakutan, kelelahan, monotone,
dan kurang pengetahuan
 Ajari prinsip manajemen nyeri

100
Domain 4 Safety
Class V Risk Management
Vital Sign Monitoring 6680
 Monitor tekanan darah, nadi, suhu,
dan status respirasi

Domain 2 Nutrition
Class 1 Ingestion
00002 - Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan asupan makanan tidak tercukupi
NOC NIC

Domain IV : Health knowledge and Domain 1 : Physiological : Basic


behavior Class D : Nutrition Support
Class S: Health knowledge 1100 Manajemen Nutrisi
1854 Knowledge : health diet  Kaji nutrisi klien
185401 Tujuan diet yang hendak  Kaji adanya alergi makanan
dicapai (1-5)  Yakinkan diet yang dimakan
185404 Asupan cairan yang sesuai mengandung tinggi serat untuk
dibutuhkan metabolic (1-5) mencegah konstipasi
185405 Asupan nutrisi yang sesuai  Ajarkan pasien bagaimana
dibutuhkan metabolic(1-5) membuat catatan makanan
185411 Rekomendasi diet untuk lemak, harian.
protein dan karbohidrat (1-5)  Monitor adanya penurunan BB
185416 Rekomendasikan porsi protein dan gula darah
setiap hari (1-5)
 Monitor lingkungan selama
makan
 Monitor turgor kulit
 Monitor mual dan muntah
 Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
 Monitor intake nutrisi
 Informasikan pada klien dan

101
keluarga tentang manfaat nutrisi
 Atur posisi semi fowler selama
makan
 Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan sepertiNGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
 Kolaborasi pemberan anti
emetik
 Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien.

Domain 4 Activity/Rest
Class 2 Activity/Exercise
00085 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan pemasangan gips pada
tangan bagian kiri

NOC NIC
Domain I Functional Health Domain 1 Physiological Basic
Class C Mobility Class A Activity and Exercise
Mobility 0208 Exercise Therapy : Ambulation 0221
020801 Keseimbangan (1-5)  Anjurkan pasien menggunakan
020809 Koordinasi (1-5) pakaian yang tidak ketat
020804 Pergerakan Sendi (1-5)  Membantu pasien untuk
020802 Kinerja posisi tubuh (1-5) menggunakan alas kaki untuk
memfasilitasi berjalan dan
mencegah cedera
 Konsultasikan ahli terapi fisik
tentang rencana pergerakan sesuai
yang dibutuhkan

102
 Instruksikan tentang adanya alat-alat
bantu yang tersedia
 Bantu pasien pada pergerakan awal
 Bantu pasien untuk berdiri dan
bergerak pada jarak yang spesifik
 Dorong pergerakan pasien secara
mandiri dalam batas aman
Domain 1 Physiological Basic
Class A Activity and Exercise
Management
Exercise Therapy: Joint Mobility
0224
 Tentukan keterbatasan pergerakan
sendi dan efeknya pada fungsi tubuh
 Kolaborasi dengan terapis dalam
mengembangkan dan menjalankan
progam latihan
 Jelaskan pada pasien dan keluarga
tujuan dan rencana
 Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan atau nyeri saat
bergerak/aktivitas
 Lindungi pasien dari trauma saat
latihan
 Bantu pasien dalam posisi tubuh
yang optimal untuk pergerakan
sendi aktif/pasif
 Dorong latihan ROM secara aktif
sesuai jadwal
 Dorong pergerakan pasien yang
sesuai

103
Domain 11 Safety/Protection
Class 1 Infection
00004 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan Post de entry kuman akibat
trauma

NOC NIC
Domain IV Health Knowledge & Domain 4 Safety
Behaviour Class V Risk Management
Class T Risk Control & Safety Infection Control 6540
Risk Control 1902  Ganti equipment care pasien setiap
190201 Mengenai faktor resiko (1-5) agensi protocol
190202 Monitor faktor-faktor resiko  Instruksikan pengunjung untuk
lingkungan (1-5) mencuci tangan ketika masuk dan
190203 Monitor faktor-faktor resiko keluar ruangan
personal (1-5)  Mengelola terapi antibiotic yang
190204 Kembangkan strategi control sesuai
resiko yang efektif (1-5)  Anjurkan pasien untuk minum
190209 Menghindari terpapar ancaman antibiotic seperti yang ditentukan
kesehatan (1-5)  Ajari pasien dan anggota keluarga
190214 Gunakan sistem dukungan cara menghindari infeksi
personal untuk mengurangi resiko (1-5) Domain 4 Safety
Domain II Physiologic Health Class V Risk Management
Class H Immune Response Infection Protection 6550
Immune Status 0702  Monitor tanda dan gejala infeksi
070204 Fungsi Respirasi (1-5) sistemik dan local
070207 Suhu tubuh (1-5)
 Monitor hitung grnulosit, WBC
070208 Integritas kulit (1-5)
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
070209 Integritas Mukosa (1-5)
 Pertahankan tehnik aseptik pada
070214 Jumlah sel darah putih mutlak
pasien yang beresiko
(1-5)
 Inspeksi kulit dan membrane
070215 Jumlah sel darah putih
mukosa untuk melihat adanya
diferensial (1-5)
kemerahan, panas, drainase
070221 Pemeriksaan untuk infeksi saat
 Inspeksi kondisi luka/insisi bedah

104
ini (1-5)  Laporkan kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur positif

E. EVALUASI
S : Klien mengerang kesakitan dan mengeluhkan kepalanya nyeri dengan skala
nyeri 6 dan terjadi berulang
O : Tangan kiri mengalami patah tulang, terdapat robek di bagian bibir dan
dagu ukuran 3x1 cm, hematoma di dahi ukurn 2x1 cm, perdarahan di bagian
hidung, luka lecet di bagian kaki, lebam di mata bagian kiri
A : Kondisi rakture dilakukan dengan pemasangan gips, sedangkan untuk
mengatasi peningkatan TIK akibat benturan saat kecelakaan dengan diberikan
medikasi dan penatalaksanan posisi klien serta dilakukan pembersihan jalan
napas akibat sumbatan
P : Lanjutkan tindakan medikamentosa dan manajemen lingkungan yang tepat
bagi kondisi klien

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Trauma kepala adalah proses dimana terjadi trauma langsung terhadap


kepala yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat
memengaruhi kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Pada dasarnya cedera kepala diklasifikasikan menurut keadaan
patologis yang terjadi dan gambaran klinisnya. Tiap-tiap mekanisme trauma
membentuk tipe cedera yang khas sehingga terdapat banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk memperkirakan cedera apa yang terjadi akibat adanya
suatu beban mekanis tertentu.

105
Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,
disusul cedera kepala akibat jatuh, terutama pada anak-anak, dan cedera akibat
dipukul. Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu
tidaknya fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran,
dan kerusakan jaringan otak. Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya
akan terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada
area cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan / kenaikan salah
satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada
aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser
dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat akibatnya
tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat. Maka aliran darah dalam
otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah
perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan
tingkatan yang gawat, yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema otak.
Edema akan terus bertambah menekan / mendesak terhadap jaringan saraf,
sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial.

Pemeriksaan diagnostik trauma kepala diantaranya dengan CT Scan, MRI,


Angiografi serebral, EEG (Elektroensefalogram), Foto rontgen, dan PET. Prinsip
penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi jaringan serebral,
karena organ otak sangat sensitif terhadap kebutuhan oksigen dan glukosa.

4.2 Saran

Sebagai seorang perawat harus dapat mengetahui dan memahami dalam


memberikan asuhan keperawatan yang tepat khususnya pada klien dengan trauma
kepala. Selain itu bila ditemukan tanda-tanda kegawatdaruratan pada 24 jam
pertama segera dirawat di rumah sakit dan harus diobservasi dengan ketat pasien
yang mengalami trauma kepala. Penanganan yang diberikan pada pasien trauma
kepala tergantung pada derajat tingkat keparahannya.

106
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Batticaca Fransisca B. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien


DenganGangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Dolan, T.J., etal. 1996. Critical Care Nursing Clinical Management Throuh the
Nursing Process. Philadelphia: F.A Davis Company

Gawat Darurat RSU Tugurejo Semarang Mugi Hartoyo, 175–182.

Gilroy, J. 2000. Basic Neurology: Trauma. New York: Mc Graw Hill

107
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga, p.91

Gupta, Gaurav. 2015. Intracranial Pressure Monitoring.


http://emedicine.medscape.com/article/1829950-overview . Diakses pada 15
Maret 2017 pukul 21.00.

Hartoyo, Mugi; Setyo Raharjo, S. B. (2008). Predictor â€TM s Factors of Mortality


of Patients Suffering from Severe Head Injury in Emergency Department at
General Hospital Tugurejo Semarang Prediktor Mortalitas Penderita Cedera
Kepala Berat Di Instalasi Gawat Darurat RSU Tugurejo Semarang Mugi
Hartoyo, 175–182.

Hernanta, I. (2013). Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-


MEDIKA

Kayana, I.B.A., Teknik pemantauan tekanan intrakranial. , pp.1–22.


Kuniyoshi S, Suarez JI. 2004. Traumatic Head Injury Critical Care Neurology
and Neurosurgery. New Jersey: Humanapress Totowa
Machfoed., Hasan, Moh. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair
Price Sylvia.A, Lorraine M.Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Ed 6. Vol 2. Jakarta: EGC.
Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. di dalam: Pendit BU,
Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, 2005.

Prof. DR. Dr. Satyanegara, SpBS. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Ed IV. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI

Retnaningsih. (2012). Peran Ventilasi Mekanink pada Traumatic Brain Injury.


Majalah Kedokteran Terapi Intensif, 2: 144-51

Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and Victors, Principles of Neurology:
Craniocerebral Trauma. New York: Mc Graw Hill

108
Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama

Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta:
CV Sagung Seto.

Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC

Tarwoto, et al. 2007. Keperawatan Medikal Bedah; Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Sagung Seto.

Thompson, H. J., 2016. Care of the Patient Undergoing Intracranial Pressure


Monitoring. Glenview: American Association of Neuroscience Nurses.

Wartenberg KE, Mayer SA. (2007). Trauma. In Burst JCM. Current Diagnosis &
Treatment. Singapore: McGraw Hill

Xian, J.-s.et al., 2011. Intracranial pressure and cerebral perfusion pressure
monitoring in the preventive nursing care of severe traumatic brain injury.
Scientific Research and Essays, Volume 6(5), pp. 1053-1056.

109

Anda mungkin juga menyukai