Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH

IRIGASI DAN DRAINASE

Disusun Oleh:

Nama : Fiadha Aulia Marneta


Nim : 195040200111213
Kelas :G
Dosen Pengampu : Prof.Dr.Ir. Sugeng Prijono, SU

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam suatu lingkungan ekosistem, ketersedian air sangat berperan. Air merupakan
sumber daya alam esensial, yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup
lainnya. Konsep siklus hidrologi lingkungan menyatakan bahwa jumlah air di suatu luasan
tertentu di permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya air yang masuk/menyerap (input)
dan keluar (output) pada jangka waktu tertentu. Neraca masukan dan keluaran air di suatu
tempat dikenal sebagai neraca air (water balance). Karena air bersifat dinamis maka nilai
neraca air selalu berubah dari waktu ke waktu sehingga di suatu tempat kemungkinan bisa
terjadi kelebihan air (surplus) ataupun kekurangan (defisit). Apabila kelebihan dan
kekurangan air ini dalam keadaan ekstrim maka akan menimbulkan bencana, seperti banjir
ataupun kekeringan. Bencana tersebut dapat dicegah atau ditanggulangi bila dilakukan
pengelolaan yang baik terhadap lahan dan lingkungannya. Neraca air juga dapat
dimanfaatkan dalam bidang pertanian, pengetahuan tentang neraca air pada suatu daerah
dapat meningkatkan hasil produksi pertanian. Neraca air merupakan kebutuhan mutlak bagi
tanaman. Menurut Kumambala dan Ervine (2010) mendefinisikan neraca air sebagai
perincian tentang semua masukan, keluaran, dan perubahan simpanan air yang terdapat
pada suatu lahan untuk menetapkan jumlah air yang terkandung di dalam tanah yang
menggambarkan perolehan air (surplus atau defisit) dari waktu ke waktu.
Neraca air lahan merupakan neraca air untuk penggunaan lahan pertanian secara
umum. Neraca ini bermanfaat dalam mempertimbangkan kesesuaian lahan
pertanian,mengatur jadwal tanam dan panen, dan mengatur pemberian air irigasi dalam
jumlah dan waktu yang tepat. Penentuan waktu tanam berdasarkan perhitungan neraca air
dimanfaatkan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air pada
suatu wilayah (Rafi dan Ahmad, 2005). Perhitungan neraca air memungkinkan untuk
mengevaluasi dinamika air tanah dan penggunaan air oleh tanaman secara kuantitatif
(Lascano, 2000), dan menghitung ketersediaan air secara spasial pada suatu wilayah
tertentu (Latha dan Palanichamy, 2010). Neraca air sangat berhubungan dengan curah
hujan, suhu permukaan dan evapotranspirasi. Ketersediaan sumberdaya air sangat
dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi, jenis tanah, tutupan lahan serta struktur geologi
suatu daerah (Soldevilla et al., 2013). Tingkat ketersediaan air tanah diperoleh dengan
menganalisa data kandungan air tanah. Perbedaan jenis tanah dapat mempengaruhi
ketersediaan kandungan air tanah (Zappa dan Gurtz, 2003). Kemampuan tanah menahan
air sangat ditentukan oleh jenis tanah (terutama tekstur) dan jenis vegetasinya. Vegetasi
yang jenisnya sama apabila tumbuh pada jenis tanah yang berbeda, maka akan mempunyai
kedalaman zona perakarannya yang berbeda, sehingga nilai Water Holding Capacity (WHC)
atau kapasitas lengas tanahnya juga berbeda (Zappa dan Gurtz, 2003).
Perubahan kondisi meteorologi perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap
proses di dalam budidaya pertanian. Dimana komponen dari kondisi meteorologi seperti
curah hujan, iklim, dan suhu menentukan komoditas apa yang ingin dibudidayakan
sepanjang tahun. Sebagai contoh daerah yang memiliki curah hujan tinggi dengan
ketersediaan air melimpah (suprlus) cocok ditanami oleh komoditas padi atau jagung,
sedangkan pada daerah yang mengalami musim kemarau lebih panjang dengan
ketersediaan air sangat minim (defisit) cocok ditanami oleh komoditas yang tidak
memerlukan banyak air seperti komoditas hortikultura (Dainty et al., 2016). Akibat
perubahan kondisi meteorologi ini selain mempengaruhi ketersediaan air di dalam tanah
juga berpengaruh terhadap tekstur tanah sebagai contoh tanah yang selalu tergenang air (
tanah yang surplus) akan mengalami transformasi atau perubahan bahan induk yang nanti
berpengaruh terhadap proses pelapukan, pembentukan mineral, dekomposisi bahan
organik, pembentukan ped akan memembuat tekstur dari tanah tersebut dapat berubah
sepanjang tahunnya.
Berdasarkan permasalahan di atas diperlukan suatu upaya untuk mengetahui
ketersediaan dan kebutuhan jumlah air sebagai kontrol atau pengendali yang
mempengaruhi proses budidaya. Salah satu upayanya ialah dengan melakukan perhitungan
neraca air pada suatu lahan setiap bulan yang memuat data curah hujan setiap bulannya
(CH), aktivitas evapotranspirasi (ETP), kapasitas lapang (KL), dan titik layu permanen (TLP).
Dimana dengan mengetahui nilai dari neraca air, kita menjadi tahu apakah simpanan air di
suatu lahan menunjukkan angka surplus atau justru defisit yang nantinya juga
mempengaruhi produksi dari pertanian.
BAB 2 ISI

2.1 Analisis Neraca Air

[mm] J P M A M J J A S O N D ∑

199
P 381 289 293 179 127 38 20 7 63 103 103 391
4
136
PE 107 115 104 112 113 121 119 124 117 114 108 112
6

P-PE 274 174 189 67 14 -83 -99 -117 -54 -11 -5 279 628

APW
-83 -182 -299 -353 -364 -369
L

ST 80 80 80 80 80 28 8 2 1 1 1 80

ΔST 0 0 0 0 0 -52 -20 -6 -1 0 0 79

AE 107 115 104 112 113 90 40 13 64 103 103 112

D 31 79 111 53 11 5 918

S 274 174 189 67 14 200 290

STO : 80 mm
Keterangan :
Hijau : Surplus
Orange : Defisit

Berdasarkan tabel hasil pengamatan dan perhitungan analisis neraca air yang telah
dilakukan dengan menggunakan metode Thornwaite-Mather, dapat diketahui bahwa
intensitas curah hujan pada daerah hujan menunjukkan nilai tertinggi pada saat bulan
desember yaitu sebesar 391 mm/bulan dan curah hujan terendah berada pada bulan
agustus yaitu hanya menunjukkan nilai sebear 7 mm/bulan. Rendahnya nilai curah hujan
pada bulan agustus, menunjukkan di wilayah tersebut pada saat memasuki bulan agustus
memasuki musim kemarau hal ini dibuktikan dengan besarnya nilai yang ditujukkan akibat
aktivitas evapotranspirasi yaitu sebesar 124 mm/ bulan. Menurut Supangat (2016), semakin
besar nilai evapotranspirasi yang dihasilkan pada suatu lahan diikuti dengan semakin
tingginya nilai kenaikan suhu setiap waktunya. Tingginya suhu akan membuat proses
penguapan air di dalam suatu lahan semakin besar hal ini akan menimbulkan dampak
adanya potensi kekeringan pada daerah tersebut. Pada bulan Januari sampai dengan mei
menunjukkan bahwa pada wilayah tersebut berada di dalam kondisi basah sampai lembab
sedangkan pada bulan juni sampai november menunjukkan bahwa daerah tersebut berada
di dalam kondisi kekeringan. Hal ini dapat dilihat pada data apabila selisih antara curah
hujan dengan nilai evapotranspirasi menunjukkan hasil negatif maka jumlah cura hujan yang
jatuh tidak mampu menambah kebutuhan potensi air dari areal yang tertutup vegetasi dan
begitu sebaliknya apabila nilai selisih dari curah hujan dengan nilai evapotranspirasi
menunjukkan hasil positif maka kelebihan air yang tersedia selama periode tertentu dapat
mengembalikan kelembaban tanah. Selisih nilai curah hujan dengan nilai evapotranspirasi
ini yang menentukan kelebihan dan kekurangan sekaligus menentukan apakah pada setiap
bulannya wilayah tersebut mengalami surplus atau defisit.
Pada data kadar simpanan air yang dsimbolkan dengan nilai ST apabila kondisi pada
wilayah tersebut mengalami surplus menunjukkan nilai 80 mm. Hal ini dikarenakan nilai
cadangan lengas tanah pada kondisi surplus sama dengan nilai kapasitas lapang pada
suatu lahan. Pada saat bulan januari sampai mei dengan desember cadangan lengas tanah
berada pada titik kapasitas lapang yaitu 80 mm. Pada saat memasuki bulan juni nilai lengas
tanah ini mulai mengalami perubahan ke arah menurun hingga menyentuh nilai 1 pada
bulan september sampai november. Perubahan naik atau turunnya nilai cadangan lengas
tanah ini berkaitan dengan presentase luas pengunaan lahan dan kedalaman zone
perakaran di suatu lahan serta kemampuan suatu tanah untuk menahan air pada kombinasi
tanah dan vegetasi. Pada data diatas dapat juga diketahui bahwa nilai evapotranspirasi
aktual pada bulan Januari, februari, Maret, april, mei, dan desember sama besarnya dengan
nilai evapotranspirasi sedangkan pada bulan juni sampai november nilainya tidak sama
besar dengan nilai evapotranspirasi yaitu sebesar 90 mm/bulan, 30 mm/bulan, 13 mm/bulan,
64 mm/bulan, 103 mm/bulan, dan 103 mm/ bulan. Besarnya nilai evapotranspirasi aktual
dapat diperoleh dengan beberapa ketentuan diantara yaitu apabilai nilai (P>EP) maka nilai
(AE=EP) dan apabila nilai (P<EP) maka nilai (AE=P + (perubahan lengas tanah) ( Karo,
2020).
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa pada bulan Januari, februari, Maret,
april, dan mei wilayah tersebut mengalami surplus air dengan nilai 918 mm/bulan akibat dari
tingginya intensitas curah hujan dengan rendahnya aktivitas evapotranspirasi. Sedangkan
pada bulan juni sampai november daerah tersebut mengalami defisit air dengan nilai 290
mm/bulandan berpotensi mengalami kekeringan.
BAB 3 STRATEGI POLA TANAM DAN PENGELOLAAN AIR
3.1 Strategi Pola Tanam Dan Pengelolaan Air
Pola tanam merupakan merupakan suatu upaya penanaman pada suatu bidang
lahan dengan memperhatikan susunan, tata letak, dan tata urutan tanaman dalam kurun
waktu tertentu. Pola tanam ini erat kaitannya dengan jumlah ketersediaan air pada suatu
wilayah, dimana apabila penerapan sistem pola tanam sesuai dengan pengelolaan air akan
membuat produksi hasil pertanian akan optimal. Dalam strategi pola tanam juga diperlukan
pengetahuan terkait jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk melakukan proses
fotosintesisnya yaitu dengan menghitung hasil dari koefisien tanaman (Kc) dikalikan dengan
evapotranspirasi potensial yang terdapat di dalam analisis neraca air (Priyunugroho, 2014).
Apabila kebutuhan air tanaman (Etc) telah diketahui maka penentuan pola tanam yang
sesuai dengan ketersediaan air dapat dilakukan. Berikut adalah strategi pola tanam dan
pengelolaan air yang sesuai dengan data analisis neraca air diatas ialah :
No. Bulan Pola Tanam Kesesuaian dan Pengelolaan air
Jika dilihat pada tabel curah hujan
pada bulan Januari tergolong tinggi
pada bulan ini cocok ditanami
dengan tanaman pangan padi
1. Januari Monokultur Padi
meningat padi merupakan tanaman
yang membutuhkan banyak air
dengan syarat tumbuh curah hujan
>200mm
Pengelolaan air dapat dilakukan
dengan cara membuat petak sawah
2. Februari Monokultur Padi dengan ketinggian dari tinggi ke
rendah supaya air yang tergenang
akan merata
Melakukan pengolahan lahan yang
baik dan benar supaya laju
perkolasi tidak besar dengan
3. Maret Monokultur Padi menghitung tinggi muka air tanah
supaya tidak terjadi adanya
perembesan karena air meresap
melalui tanggul sawah
Adanya tanaman palawijaya
merupaka strategi dari pengelolaan
Polikultur Padi dan air mengingat curah hujan pada
4. April
palawija bulan ini menurut dan tanaman
palawija tidak membutuhkan
banyak air
Sistem pengairan pada tanaman
komoditas jagung bergantung pada
debit air yang terdapat pada nilai
surplus yaitu 67 mm. nilai debit air
5. Mei Monokultur Jagung pada tanaman jagung seharusnya
80-150 mm dan mulai membuat
tampungan air hujan yang berlebih
untuk memasuki bulan selanjutnya
yaitu bulan kemarau
Menerapkan sistem irigasi alur
Polikultur palawija
dengan memberikan air langsung
6. Juni (kedelai, kacang hijau,
pada perakaran tanaman dengan
jagung)
waktu penyiraman tertentu
Menerapkan sistem irigasi alur
Polikultur palawija
dengan memberikan air langsung
7. Juli (jagung, kedelai, kacang
pada perakaran tanaman dengan
hijau)
waktu penyiraman tertentu
Menerapkan sistem irigasi alur
dengan memberikan air langsung
pada perakaran tanaman dengan
waktu penyiraman tertentu seperti
sehari sekali atau membuat saluran
8. Agustus Monokultur
irigasi intensif sehingga kadar air
mencapai kapasitas lapang
mengingat tanaman kedelai
merupakan tanaman yang tidak
membutuhkan terlalu banyak air
Menerapkan sistem irigasi alur
Polikultur palawija
dengan memberikan air langsung
9. September (jagung, kedelai, kacang
pada perakaran tanaman dengan
hijau,dll)
waktu penyiraman tertentu
Menerapkan sistem irigasi alur
Polikultur palawija
dengan memberikan air langsung
10. Oktober (jagung, kedelai, kacang
pada perakaran tanaman dengan
hijau,dll)
waktu penyiraman tertentu
Menerapkan sistem irigasi alur
Polikultur palawija
dengan memberikan air langsung
11. November (jagung, kedelai, kacang
pada perakaran tanaman dengan
hijau,dll)
waktu penyiraman tertentu
Jika dilihat pada tabel curah hujan
pada bulan Januari tergolong tinggi
pada bulan ini cocok ditanami
dengan tanaman pangan padi
12. Desember Monokultur padi
meningat padi merupakan tanaman
yang membutuhkan banyak air
dengan syarat tumbuh curah hujan
>200mm
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis neraca air pada wilayah tersebut dapat disimpulkan
bahwa pada wilayah tersebut mengalami musim penghujannya mulai dari bulan desember
sampai dengan mei dan musim kemarau mulai dari bulan juni sampai dengan november,
Tingginya akan nilai curah hujan membuat suhu pada wilayah tersebut semakin menurun
sehingga aktivitas evapotranspirasi juga rendah, pada bulan desember sampai mei wilayah
tersebut mengalami kondisi surplus (kelebihan air di dalam suatu lahan) sehingga jika ingin
melakukan proses budidaya tanaman, komoditas yang ingin digunakan harus komoditas
yang membutuhkan banyak air seperti padi. Sedangkan pada bulan juni sampai november
wilayah tersebut mengalami kekeringan akibat rendahnya curah hujan yang membuat laju
evapotranspirasi semakin tinggi sehingga menyebabkan terjadinya run-off. Pada bulan ini
wilayah tersebut mengalami defisit air, oleh karena itu jika ingin melakukan proses budidaya
tanaman harus memperhatikan pola tanam dan teknik pengelolaan air supaya tanaman hasil
produksinya tetap optimal. Contoh tanaman yang dapat ditanam di wilayah defisit air ialah
tanaman palawija seperti jagung, kacang, kedelai, dan lain-lain.
4.2 Saran
Para petani harus diberikan pelatihan terkait bagaimana cara mengetahui sekaligus
menghitung ketersediaan air di dalam suatu lahan, dengan begitu nantinya mereka akan
mengerti tanaman apa yang cocok ditanam pada kondisi yang berbeda setiap bulannya
sehingga nanti tidak akan terjadi lagi kegagalan panen akibat kekeringan atau pembusukan
pada tanaman karena jumlah air yang terlalu berlebihan. Dengan begitu produksi pertanian
yang didapatkan akan optimal karena kebutuhan air dan nutrisi tercukupi dan sesuai dengan
syarat tumbuh.
Daftar Pustaka
Dainty, I., Abdullah, S. H., Priyati, A.2016. Analisis Peluang Curah Hujan Untuk Penetapan
Pola Dan Waktu Tanam Serta Pemilihan Jenis Komoditi Yang Sesuai Di Desa
Masbagik Kecamatan Masbagik Kabupaten Lombok Timur. Jurnal Ilmiah Rekayasa
Pertanian dan Biosistem 4 (1).
Karo, R. V. Br. 2020. Kajian Beberapa Metode Perhitungan Nilai Evapotranspirasi Potensial
(Studi Kasus Desa Semangat Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo). Skripsi
Fakultas Pertanian. Unversitas Sumatera Utara.
Kumambala, P.G and Ervine, A. 2010. Water Balance Model of Lake Malawi and Its
Sensitivity to Climate Change. The Open Hydrology Journal 4: 152-162.
Lascano, R.J. 2000. A General System to Measure and Calculate Daily Crop Water Use.J.
Agron 92: 821-832.
Latha, J. , Saravanan and Palanichamy. 2010. A Semi – Distributed Water Balance Model
for Amaravathi River Basin using Remote Sensing and GIS. International Journal of
Geomatics and Geosciences 1:252-263.
Paski, J. A. I., Faski, G. I. S. L., Handoyo, M. F., Pertiwi, D. A. S. 2017. Analisis Neraca Air
Lahan untuk Tanaman Padi dan Jagung di Kota Bengkulu. Jurnal Ilmu Lingkungan
15 (2) :83-89.
Priyonugroho, A. 2014. Analisis Kebutuhan Air Irigasi Studi Kasus Pada Daerah Irigasi
Sungai Air Keban Daerah Kabupaten Empat Lawang. Jurnal Teknik Sipil dan
Lingkungan, Volume 2, Nomor 3.
Rafi, Z., and Ahmad, R. 2005. Wheat Crop Model Based on Water Balance for
Agrometeorological Crop Monitoring. Pakistan Journal of Meteorology 2:23-33.
Soldevilla-Martineza, M., López-Urrea, R., MartínezMolinab, L., Quemada, M. dan Lizaso,
J.I. 2013. Improving simulation of soil water balance using lysimeter observations in a
semiarid climate. Procedia Environmental Sciences 19: 534-542.
Supangat, A. B. 2016. Analisis Perubahan Nilai Pendugaan Evapotranspirasi Potensial
Akibat Perubahan Iklim Di Kawasan Hutan Tanaman Eucalyptus Pellita. Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Daerah Aliran Sungai.
Zappa, M. dan Gurtz, J. (2003). Simulation of soil moisture and evapotranspiration in a soil
profile during the 1999 MAP-Rivera Campaign. Hydrology and Earth System
Sciences 7: 903-919.

Anda mungkin juga menyukai