Langit bersih tak tertutup oleh awan. Bintang gemerlang tumpah mengukir angkasa, membentuk ribuan formasi yang menawan. Udara terasa dingin menyegarkan. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecahkan keheningan malam. Jiwa-jiwa yang kelelahan terlelap dalam tidur malamnya, sementara aku terduduk diam di depan teras rumah ditemani secangkir teh manis hangat buatan ayah. Kemudian ayah menanyakan sesuatu padaku, namun aku tak menyadarinya. Melihat aku yang sedang melamun, ayah lalu menepuk bahuku. Tak membutuhkan waktu lama aku langsung saja tersadar dari lamunanku. Bagaimana tidak, ia menepuk bahuku dengan keras dan membuatku merasa kesakitan.
“Aduh... ada apa ayah?” sambil memegang bahu.
“Kenapa kau melamun, apa yang sedang kau pikirkan
Martha?” omel ayah.
“Aku sedang memikirkan kekejaman orang-orang
Belanda terhadap negeri kita, ingin sekali aku bertempur menghadapi mereka.” Mengepalkan tangan dengan tatapan tajam.
“Sudahlah kau ini perempuan, hanya orang lelaki saja
yang harus melawan mereka. Cepat tidur ini sudah malam, tidak baik untuk kesehatanmu!”. Aku mulai beranjak dari teras menuju kamar. Bergeming di kepalaku, aku tak bisa diam saja, aku harus melakukan sesuatu. Bagaimana nasib negeriku, bagaimana nasib kotaku, dan bagaimana nasib saudara- saudaraku jika terus diinjak seperti ini oleh para orang menjijikan itu. Meskipun aku seorang perempuan aku harus melakukan sesuatu, aku tak takut dengan mereka, justru merekalah yang harus takut denganku.
Pagi yang cerah mengiringi hari ini, cahaya
mentari mengalir menembus jendela kamarku. Suara burung-burung pleci bergema masuk dalam kamarku. Aku terbangun sambil membuka pintu jendela. Di sana aku melihat banyak orang yang mulai melakukan aktivitas. Tak hanya orang pribumi, orang asing itupun mulai melakukan kekejamannya. Terlintas aku melihat sesosok orang yang aku kenal. Benar saja ternyata itu ayahku. Kemana ia akan pergi? Mengapa ia terlihat was- was, aku harus mengikutinya. Selang beberapa lama ia masuk kedalam sebuah rumah kecil. Di sana tak terlihat adanya orang asing. Aku mulai bertanya-tanya, tempat apa itu? Kenapa ayah kesana?. Aku menyelidiki tempat itu, lalu mataku tertuju pada lubang kecil pada jendela rumah tersebut. Aku melihat banyak kumpulan para orang-orang desa sedang berdiskusi mengenai suatu hal. Kemudian tak sengaja aku mendengar percakapan mereka mengenai akan adanya aksi pemberontakan yang dilakukan oleh ayah beserta orang-orangnya. Aku kembali kedalam rumah berpura-pura tidak mengetahui hal tersebut. Selepas ayah kembali dari rapat, raut wajahnya terlihat berbeda. Ia mulai gelisah, kesana kemari sambil menggit jari dan mengucapkan kalimat doa. Kemudian aku memberanikan diri membuka mulut dan bertanya pada ayah.
“aku juga ingin berperang ayah”. Dengan nada bergetar.
Sontak saja ayah langsung menatapku dengan tatapan
tajam.
“aku ingin sekali bersama ayah melawan mereka, ijinkan
aku mendampingi ayah”.
Ayah mulai berjalan ke arahku dan masih sama
dengan tatapan tajam itu.
“apa kau tak takut resikonya nanti Martha, ayah tak mau kehilanganmu”. Ia berdiri tepat didepanku.
“aku takut? Tidak ayah aku tak takut, tak ada rasa takut dalam benakku. Merekalah yang akan takut denganku karena aku bersama Allah”.
Ayahku tersenyum lebar, ia menyetujui
keinginanku. Raut wajah yang lalu kini mulai menghilang.
Esok harinya aku bersama pejuang lainnya mulai
bersiap-siap tempur. Aku menyalakan api, membakar emosi diri, memberi kobaran semangat perjuangan untuk menentang Belanda. Kutunjukan pada mereka, kami tak takut.
Jika setiap manusia dikenali dengan rasa emosi
yaitu, bahagia, sedih, takut, jijik, dan kemarahan. Aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut. Kalian kira itu omong kosong? Tidak. Lihatlah wajahku, lihat bola mataku, kalian tidak akan menemukan walau secuil rasa takut itu. Ku angkat pistol, kutodongkan padamu. Inilah bukti bahwa wanita juga berani melawanmu. Kemarilah lawan aku, jangan hanya berdiri kokoh di seberang sana. Mana nyalimu wahai orang penindas, takutkah engkau dengan kami. Hari ini kupastikan orang-orangmu merasakan kepedihan kami.
Kemenangan berawal dari perjuangan. Kata itu
terbukti adanya, kami berhasil memukul mundur para Belanda itu. Iya benar, kami menang dalam pertempuran itu. Namun, pertempuran berkobar kembali. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Di tengah keganasan pertempuran itu aku muncul menantang peluru musuh. Pemimpin pertempuran Belanda Meyer terluka dalam pertempuran ini. Kami berhasil kembali memukul mundur mereka. Lagi dan lagi mereka melakukan serangan umum kepada kami. Saat itu, peluru yang kami miliki habis, aku tak pantang menyerah. Aku lemparkan batu-batu pada mereka supaya mereka takut. Tetapi kekuatan lemparan batuku tidak sebanding dengan kekuatan mereka. Kekuatan mereka mengakibatkan pasukanku menyerah, sedangkan aku dan ayahku tetap tak gentar menghadapi mereka. Takdir berkata lain, bukan kemenangan yang ku bawa melainkan penjara mereka yang menyambutku. Yang bisa aku lakukan adalah pasrah kepada keadaan.
Selama di penjara ayahku menenangkanku
dengan selalu membelai rambutku seraya berkata semua akan baik-baik saja dan akan segera berakhir. Kasih sayangnya terhadapku membuat hatiku tegar menghadapi keadaan. Aku masih ingat kejadian itu, dimana ayahku memegang tanganku sambil menatap dengan tatapan yang sangat dalam seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku langsung menangis di pangkuannya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang mendobrak pintu sel dengan keras. Ayahku diseret keluar seperti binatang yang dibebaskan dari kandangnya. Aku berpikir mereka membebaskan ayahku tetapi semuanya nihil. Aku mendengar lelaki yang meronta-ronta amat keras. Mataku langsung tertuju pada jendela kecil dan berlari ke arah itu. Betapa sesaknya dadaku ketika mendengar suara tembakan yang ternyata itu adalah ayahku dan itu juga menjadi hari kematian ayahku. Air mataku tak bisa dibendung dan membanjiri seluruh wajahku. Penyesalan sudah terukir di dadaku karena aku telah membiarkan ayahku dibawa oleh mereka yang seharusnya aku lakukan adalah pergi bersamanya tetapi semua sudah terjadi. Pintu sel terbuka lagi mereka mengatakan padaku untuk meninggalkan penjara. Aku langsung berlari menuju ayahku sambil menangis. Dengan keras mereka menyuruhku pergi dan mengancamku. Hatiku berkata agar aku mati bersama ayahku. Tetapi ada satu hal yang mengingatkan padaku usaha ayah untuk tidak menyerah menghadapi Belanda. Aku pun berlari menjauhi penjara dan menuju ke rumah.
Atas kejadian itu, aku tak pantang menyerah.
Aku kerahkan semua tenagaku untuk mengumpulkan para pemuda dan bergerilya menyerang pasukan Belanda. Aku kobarkan semangat perjuangan kepada mereka untuk menjaga tanah air tercinta dari tangan- tangan Belanda. Aku bersama para pemuda mulai melakukan aksi pemberontakan kepada Belanda, melewati hutan rimbun penuh dengan rintangan. Usai melewati hutan tampak kapal besar. Kapal itu panjangnya 136 meter dengan lebar 16 meter, menara uapnya yang hitam menjulang tinggi. Asap cokelat mengepul dari cerobongnya. Bentuknya semakin lama, semakin jelas, dan besar. Di tengah kapal itu tertulis huruf kapital EVERSTEN. Kapal itu bersandar pada pelabuhan dengan membunyikan nada peluit yang keras. Kami mulai melangkah menuju desa dekat pelabuhan tersebut. Membaur dengan masyarakat desa dan merencanakan taktik perang melawan Belanda. Pagi itu, tepatnya saat aku berada di suatu keramaian desa. Salah satu orang Belanda mengatakan sesuatu pada temannya. Aku mendengar percakapan mereka mengenai berita bahwa akan ada sesuatu operasi pembersihan penduduk pribumi yang memberontak terhadap Belanda. Aku sontak saja langsung berlari menuju tempat persembunyian kami. Namun ternyata sesampainya disana aku melihat banyak tentara Belanda sudah mengepung tempat kami. Mereka menyeret keluar sambil menodongkan pistol. Aku tak bisa berbuat apa- apa, hanya pasrah kepada Allah yang aku lakukan.
Kami dibawa ke sebuah kapal besar milik
Belanda dan akan dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi Jawa.