DIGITAL
PADA PENGINDERAAN JAUH
KLASIFIKASI
DIGITAL
PADA PENGINDERAAN JAUH
Penyusun
Dony Kushardono
C.01/11.2017
Judul Buku:
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Penyusun:
Dony Kushardono
Editor Tipografi:
Atika Mayang Sari
Desain Sampul & Penata Isi:
Andreas levi Aladin
Jumlah Halaman:
76 + 12 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, November 2017
ISBN: 978-602-440-198-6
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyusun buku yang berjudul “Klasifikasi Digital Pada
Penginderaan Jauh” ini dengan lancar.
Buku ini merupakan salah satu outcome dari pengalaman penelitian serta
pembimbingan peneliti oleh penulis, dan ditulis untuk memberikan jawaban terhadap
kebutuhan buku berbahasa Indonesia tentang metode dan model klasifikasi digital
penutup penggunaan lahan dengan data penginderaan jauh, yang diharapkan
bermanfaat bagi para peneliti muda dan mahasiswa yang berkecimpung di bidang
pengolahan data penginderaan jauh. Pada sisi yang lain adanya amanat yang tersirat
dalam Undang Undang No.21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, di mana perlu adanya
standar metode klasifikasi dalam pemanfaatan penginderaan jauh, maka penulis yang
merupakan peneliti LAPAN mengharapkan buku ini bisa menjadi salah satu bacaan
bagi pihak terkait yang menyusun standar tersebut.
Buku ini terwujud berkat dorongan dari banyak pihak, untuk itu diucapkan terima
kasih pertama kepada ibu Hj. Soepilah seorang ibu penulis yang tidak pernah putus
mendoakan penulis, kedua diucapkan terima kasih kepada keluarga yang selalu
menemani penulis untuk istri dan anak-anak.
Kepada guru-guru penginderaan jauh penulis, Prof. Toshibumi Sakata (Presiden
Earth Science and. Technology. Organization, Japan / Profesor Emeritus Tokai
University), Prof. Haruhisa Shimoda (Tokai University Research and Information
Center / Chairman Committee Information System dan Program Scientist JAXA
Satellite / Chairman Committee Sensor Fusion Science and Technology Agency), Prof.
Kiyonari Fukue (Tokai University Research and Information Center), dan Prof. Kohei
Cho (Tokai University Research and Information Center / Sekjen AARS), serta Ir. Mahdi
Kartasasmita MS, PhD. (Kepala LAPAN periode 2006-2010). diucapkan terimakasih
atas ilmu yang sudah banyak diberikan sehingga penulis memiliki keberanian menulis
buku ini.
Terima kasih diucapkan kepada Para Pimpinan pada Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh LAPAN Dr. Rokhis Khomarudin, M.Si., Syarif Budiman S.Pi., M.Sc.
M.Priyatna, S.Si., M.Kom. dan Ir. Winanto beserta staf yang telah banyak memberikan
dukungan sehingga buku ini terwujud.
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Buku ini ditujukan bagi pembaca yang sudah memiliki pemahaman dasar
penginderaan jauh, dan ditulis sangat ringkas agar pembaca bisa fokus dalam
memahami metode dan model klasifikasi digital, akan tetapi penulis menyadari
bahwa buku ini masih banyak kekurangannya, oleh sebab itu kritik dan saran
pembaca yang budiman sangat diharapkan untuk perbaikan tulisan buku berikutnya.
Jakarta, Agustus 2017
Penulis,
Dony Kushardono
vi
DAFTAR ISI
PRAKATA........................................................................................................................ v
DAFTAR ISI.....................................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................ix
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1
BAB II
PENGANTAR KLASIFIKASI DIGITAL.................................................................................. 5
2.1. Informasi Penginderaan Jauh................................................................................ 5
2.2. Pengenalan Klasifikasi Digital.............................................................................. 15
2.3. Pengukuran Akurasi Hasil Klasifikasi.................................................................... 23
BAB III
METODE KLASIFIKASI DIGITAL TERBIMBING................................................................ 25
3.1 Metode Klasifikasi Nearest Neighbor.................................................................. 25
3.2 Metode Klasifikasi Maximum Likelihood............................................................. 26
3.3 Metode Klasifikasi Back Propagation Neural Networks...................................... 28
3.4 Metode Klasifikasi Fuzzy Neural Network .......................................................... 32
BAB IV
MODEL PENGOLAHAN KLASIFIKASI DIGITAL................................................................ 39
4.1 Klasifikasi Berbasis Informasi Spektral . .............................................................. 39
4.2 Klasifikasi Berbasis Informasi Spasial Tekstur...................................................... 43
4.3 Klasifikasi Berbasis Informasi Spasial Objek........................................................ 54
4.4 Klasifikasi Berbasis Informasi Multitemporal . .................................................... 57
4.5 Klasifikasi Berbasis Informasi Multisensor . ........................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 67
INDEKS.......................................................................................................................... 71
DAFTAR GAMBAR
x
Daftar Gambar
Gambar 4-18 Perbandingan hasil klasifikasi penutup penggunaan lahan data satu
temporal dengan data multitemporal................................................. 62
Gambar 4-19 Model klasifikasi penutup penggunaan lahan berbasis data
multisensor.......................................................................................... 63
Gambar 4-20 Klasifikasi penutup lahan dengan data fusi radar optik dan
perbandingan hasil klasifikasinya........................................................ 64
xi
BAB I
PENDAHULUAN
spektral atau berdasarkan rona warna saja semakin sulit dipergunakan dalam
klasifikasi secara digital. Untuk itu membutuhkan model pengolahan data
yang harus memperhatikan unsur keruangan objek lahan.
c. Adanya dinamika kondisi lahan sehingga menyulitkan dalam klasifikasi
penggunaan lahan berdasarkan sebuah data penginderaan jauh. Sebagai
misal pada lahan sawah dengan tanaman semusim, dalam kondisi tertentu
saat padi menghijau tampilan pada citra penginderaan jauh akan menyerupai
rerumputan, pada saat fase penanaman padi menyerupai genangan air dan
pada saat bera menyerupai lahan terbuka. Dengan kondisi objek yang memiliki
perubahan kondisi yang tinggi, maka untuk klasifikasi penggunaan lahan
membutuhkan model pengolahan dengan melibatkan data penginderaan jauh
beberapa temporal.
d. Adanya tuntutan akurasi yang tinggi dari informasi yang dihasilkan dari
penginderaan jauh yang memiliki keterbatasan informasi spasial, rona warna,
tekstur, maupun kondisi objek secara temporal sehubungan dengan citra
penginderaan jauh dihasilkan berdasarkan waktu akuisisi tertentu, menuntut
adanya pemilihan metode klasifikasi dan model pengolahan datanya yang
tepat (Kushardono 1996a).
Memperhatikan berbagai masalah dalam klasifikasi digital mempergunakan data
penginderaan jauh, pada buku ini disajikan beberapa metode dan model pengolahan
data digital untuk klasifikasi penutup penggunaan lahan dengan data penginderaan
jauh. Guna memahami klasifikasi dengan data penginderaan jauh, pertama adalah
bab pengantar klasifikasi digital yang menjelaskan mulai dari bentuk, jenis informasi
penginderaan jauh, cara memperoleh, menyajikan informasi citra penginderaan jauh
dan pemanfaatannya. Kemudian untuk memahami pengolahan data dalam ekstraksi
informasi spasial lahan dijelaskan berbagai metode klasifikasi digital. Kemudian karena
akurasi informasi spasial penutup penggunaan lahan yang dihasilkan menggunakan
metode tertentu dari data penginderaan jauh perlu diukur, maka perlu dijelaskan
terlebih dahulu bagaimana cara mengukur akurasi hasil klasifikasi digital berdasarkan
data referensi, dan bagaimana data referensi yang dapat dipercaya harus dibuat.
Pada bab berikutnya, dijelaskan lebih detail perihal berbagai metode klasifikasi
terbimbing, di mana metode ini adalah yang paling banyak dipergunakan dalam
klasifikasi digital menggunakan data penginderaan jauh. Sementara pada bab terakhir
dijelaskan berbagai model pengolahan data penginderaan jauh untuk klasifikasi digital,
di mana informasi penginderaan jauh yang dipergunakan dalam klasifikasi digital
berbasis informasi spektral, informasi spasial, informasi berbasis objek, informasi
menggunakan data multitemporal dan multisensor. Penggunaan informasi tersebut
ditentukan dengan tujuan dan kondisi tertentu untuk mendapatkan akurasi hasil
klasifikasi yang terbaik.
2
BAB 1
Pendahuluan
3
BAB II
PENGANTAR KLASIFIKASI
DIGITAL
Sementara itu saat ini teknik penginderaan jauh sudah berkebang pesat, pada
penginderaan jauh mengunakan satelit, datanya dapat diperoleh hampir setiap saat
dengan cakupan yang luas, bahkan dengan data satelit penginderaan jauh resolusi
menengah datanya dapat diperoleh dengan tidak berbayar. Dengan demikian,
penggunaan teknik inderaja dapat untuk memperoleh informasi penggunaan lahan
secara cepat, luas cakupannya, setiap saat atau real time dan murah. Akan tetapi teknik
penginderaan jauh memiliki kekurangan terutama pada penginderaan jauh satelit,
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
selain karena resolusi citra yang diperoleh memiliki keterbatasan sehingga informasinya
tidak bisa detail sebagaimana pada hasil survei lapangan, juga membutuhkan investasi
untuk pembuatan satelit, stasiun bumi pengendali satelit dan penerima data, serta
sistem pengolahan datanya. Namun demikian pada saat ini bagi pengguna teknologi
penginderaan jauh sudah dapat memperoleh data tidak berbayar. Dalam hal ini untuk
data resolusi rendah dan menengah melalui situs internet, baik yang disediakan oleh
operator satelit maupun dari instansi pemerintah seperti Bank Data Penginderaan
Jauh di LAPAN.
Kendala dalam penggunaan teknologi penginderaan jauh adalah dibutuhkannya
suatu metode pengolahan data. Pertama adalah koreksi data akibat kesalahan
radiometrik dan geometrik pada penerimaan sinyal objek lahan oleh pengindera
(sensor) serta kondisi lahan yang diukur. Kesalahan yang harus dikoreksi ini diakibatkan
selain kesalahan sistematis oleh kepekaan dan posisi pengindera, pergerakan wahana
satelit maupun pesawat, juga kelengkungan permukaan dan perputaran bumi. Selain
itu, kesalahan yang tidak sistematis akibat bentuk lahan maupun kondisi atmosfer
termasuk perubahan iluminasi sinar matahari pada objek lahan juga harus dikoreksi
terlebih dahulu. Sebagaimana koreksi radiometri dan atmosferik pada data Landsat
dalam mengestimasi biomas hutan oleh Serrano et al. (2016).
Kendala lain dalam penggunaan teknologi penginderaan jauh adalah diperlukannya
teknik analisis data untuk klasifikasi dan pengukuran indek geobiofisik objek di lahan.
Dimana dengan data penginderaan jauh multispektral dan radar, dibutuhkan metode
transformasi data menjadi indek geobiofisik seperti suhu permukaan dari data
sensor thermal (Hao et al. 2017), indeks vegetasi (Sudiana dan Diasmara 2008) dan
sedimentasi (Narasayya 2012) dari data sensor panjang gelombang cahaya tampak,
serta ketinggian permukaan dari teknik hambur balik sensor radar yang dikenal juga
dengan teknik interferometrik SAR/InSAR (Zhou et al. 2009) atau citra stereo data
penginderaan jauh seperti pada citra SPOT yang memiliki band stereo (Cheng 2012).
Pada analisis penutup penggunaan lahan menggunakan data penginderaan jauh
melalui teknik klasifikasi digital juga membutuhkan pemahaman yang memadai.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, dalam
pemanfaatan data penginderaan jauh ekstraksi informasi juga dibedakan menjadi dua,
yaitu klasifikasi penutup penggunaan lahan dan ekstraksi informasi indeks geobiofisik.
Melalui kedua teknik ekstraksi informasi data penginderaan jauh dapat dimanfaatkan
untuk berbagai kebutuhan pengguna informasi sebagaimana contoh pada Tabel 2-2 di
bawah.
6
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
Sejak sekitar tahun ‘80-an telah diluncurkan satelit penginderaan jauh generasi
kedua yang penginderanya memiliki resolusi spasial yang menengah seperti Landsat
TM (Thematic Mapper), SPOT HRV (High Resolution Visible) dan sebagainya. Sejak
itu, pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk klasifikasi khususnya penutup
lahan banyak dikaji dan dimanfaatkan untuk produksi informasi spasial lahan.
Citra satelit penginderaan jauh umumnya disimpan dalam bentuk digital untuk
pengolahan data digital perlu memahami terlebih dahulu yang dimaksud citra digital.
Citra digital adalah gambar dua dimensi yang bisa ditampilkan pada layar komputer
sebagai himpunan/diskrit nilai digital yang disebut piksel atau picture elements. Dimana
ukuran piksel terhadap luasan yang diwakili dipermukaan lahan yang diamati disebut
dengan istilah resolusi spasial sebagai misal Landsat TM memiliki resolusi spasial
30m x 30m per piksel, sedang satelit lingkungan seperti NOAA AVHRR 1km x 1km per
piksel.
Tiap piksel pada citra memiliki nilai digital sesuai tingkat kecerahan atau greylevel,
sebagai contoh pada Gambar 2-1 dijelaskan citra digital yang memiliki nilai digital 1
hingga 5 sehingga bisa dituliskan matriks berisi nilai piksel dengan koordinat kolom
baris seperti di sebelahnya. Citra satelit penginderaan jauh umumnya memiliki 256
tingkat kecerahan atau sering disebut memiliki resolusi radiometrik 8 bits (= 28 = 256).
Contoh citra satelit penginderaan jauh 8 bits adalah Landsat TM, SPOT, Ikonos, sedang
citra NOAA AVHRR memiliki resolusi radiometrik 10 Bits, LANDSAT OLI dan Sentinel-2
MSI 12 Bits, dan Sentinel-1, JERS SAR 16 Bits.
7
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
8
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
9
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Gambar 2-3 Perbandingan citra satelit radar dan optik pada waktu
perolehan data yang sama
Sebagaimana sensor sistem optik, sensor radar dirancang sesuai misinya
berdasarkan karakter hamburan balik sinyalnya yang diterima sensor atau antena
radar terhadap objek lahan. Dimana karakter haburan balik suatu objek dipermukaan
berdasarkan panjang gelombang berbeda-beda sebagaimana digambarkan pada
Gambar 2-4. Pada sensor radar yang mempergunakan SAR X band akan dapat
hamburan balik dari permukaan objek lahan. Sementara yang mempergunakan C band
selain memperoleh sinyal hamburan balik dari permukaan objek lahan juga mendapat
hamburan balik tambahan dari dalam objek. Pada sensor yang mempergunakan L
band dapat tambahan lebih banyak lagi dari bagian objek yang lebih dalam selain dari
objek bagian atas.
10
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
Gambar 2-4 Sinyal hambur balik pada sensor radar X, C dan L-band
Pada citra radar, karakteristik objek dipermukaan juga dideteksi dengan jenis
polarisasi pada sensor radar. Polarisasi dalam SAR memanfaatakan orientasi komponen
gelombang elektromagnetik dari sinyal radar saat dipancarkan dan diterima antena
sensor. Pada polarisasi searah HH atau VV, sensor memancarkan dan menerima
polarisasi yang sama yaitu horizontal-horizontal atau vertikal-vertikal. Selain polarisasi
searah, jenis yang lain adalah polarisasi silang HV atau VH, yakni gelombang yang
dipancarkan sensor horizontal diterima vertikal atau sebaliknya. Sensor satelit radar
yang memiliki polarisasi tunggal seperti JERS-1 SAR disebut single-polarisasi, sedang
yang dua polarisasi seperti Sentinel-1 yaitu HH dan HV atau VV dan VH disebut dengan
sensor SAR dual-polarisasi, dan yang memiliki 4 polarisasi disebut full-polarisasi seperti
pada PALSAR-2.
Pada Gambar 2-5 ditunjukkan citra radar full-polarisasi Kota Gorontalo dan
sekitarnya, dimana tampak pada polarisasi HH dan VV objek bangunan padat di
kota ditunjukkan dengan tekstur putih cerah, dan laut jernih ditunjukkan dengan
tekstur agak cerah. Sementara pada polarisasi HV dan VH objek vegetasi di bukit dan
pemukiman ditunjukkan dengan tekstur cerah dan di laut ditunjukkan dengan tekstur
agak gelap.
11
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
12
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
13
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Gambar 2-7 Citra satelit penginderaan jauh dan komposit warna RGB
Untuk memudahkan interpretasi secara visual, citra penginderaan jauh radar juga
bisa ditampilkan dengan komposit warna RGB. Pada Gambar 2-8 dicontohkan hasil
komposit warna RGB citra satelit PALSAR-2 polarisasi HH, HV dan VV daerah Gorontalo
dari data radar yang ditunjukkan pada Gambar 2-4 di atas. Dengan komposit warna
RGB dari 3 jenis polarisasi, interpretasi citra satelit penginderaan jauh radar menjadi
lebih mudah, dimana bangunan padat ditampilkan dengan tekstur berwarna magenta
14
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
cerah, pemukiman dengan tekstur berwarna hijau agak kekuningan dan sian, laut jernih
dengan tekstur berwarna magenta gelap, vegetasi hutan dengan tekstur berwarna
hijau dan air sungai serta genangan air sawah dengan tekstur berwarna hitam gelap
15
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
16
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
17
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
18
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
19
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Data referensi yang dipergunakan untuk mendapatkan fungsi ciri kelas penutup
penggunaan lahan sering disebut training data atau data latih. Training data dibuat
melalui berbagai macam cara. Pertama melalui interpretasi pada citra penginderaan
jauh dengan bantuan informasi hasil survei lapangan, foto udara, atau citra satelit
yang resolusi spasialnya lebih tinggi. Kedua, training data juga dapat merupakan
hasil digitasi dari data lapangan dan/ atau dari citra penginderaan jauh yang resolusi
spasialnya lebih tinggi sehingga objek kelas penutup penggunaan lahan dapat terlihat
jelas. Pada pembuatannya, untuk mengetahui kualitas training data, dilakukan
pengukuran statistik tiap kelas terhadap data penginderaan jauh yang dipergunakan
dalam klasifikasi. Pada Gambar 2-12 ditunjukkan contoh training data sederhana dan
perhitungan ciri statistiknya dari 3 band Landsat TM untuk 3 kelas penggunaan lahan.
20
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
Gambar 2-12 Contoh training data dan statistik ciri kelas pada 3 band
Landsat TM
Keterpisahan antar kelas pada training data biasanya diukur dengan jarak Jeffries-
Matusita yang nilainya berkisar antara 0 hingga 2, dimana nilainya mendekati 2 artinya
keterpisahan antar dua kelas makin baik. Jarak Jeffries-Matusita antara kelas x dan y
(Jxy) bisa dihitung sebagai berikut (Richards and Jia 2006):
Jxy=2(1 – exp(–B))
∑x + ∑y
∑x + ∑y -1
2
B = 1 (x–y)t (x–y) + 1 ln
8 2 2 ∑x
1
2 ∑y
1
2
Dimana x dan y adalah nilai rata kelas x dan y, sedang Ʃx dan Ʃy adalah co-varian
matrik kelas x dan y.
Pada klasifikasi penutup penggunaan lahan secara digital dengan data satelit
penginderaan jauh, pengklasifikasi melakukan pengkelasan selain berdasarkan
informasi spektral melalui ciri statistik nilai piksel pada tiap band, juga dapat
dilakukan berdasarkan informasi spasial atau keruangan, yaitu dengan melihat piksel
tetangganya, atau berdasarkan informasi temporal, yaitu dengan melihat piksel dari
citra sebelum dan/atau sesudahnya, atau penggabungan dari berbagai informasi
tersebut.
21
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
22
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital
Ukuran akurasi hasil klasifikasi yang sering dijadikan indikator adalah akurasi
keseluruhan (overall accuracy) yang untuk contoh Tabel 2-3 dapat dihitung dengan
overall = (aA+bB)/N
23
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
commission = bA/ ∑A
ommission = aB/ ∑a
Kesalahan komisi juga bisa menjadi indikator akurasi produser kelas tertentu yang
dihitung dengan
produser = 1 – commission
produser = aA/ ∑A
user = 1 – omisson
user = aA/ ∑ a
dimana perhitungan akurasi yang diharapkan untuk confusion matrix Tabel 1-3 adalah
∑a x ∑A ∑b x ∑B
+
kappa = N N
N
24
BAB III
METODE KLASIFIKASI DIGITAL
TERBIMBING
Gambar 3-1 Jarak (distance) antar kelas pada ruang dimensi 2 band
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Pada metode nearest neighbor, dekat atau jauh tetangga biasanya dihitung
berdasarkan Euclidean distance. Dimana Euclidean distance dijabarkan sebagai berikut
(Richards and Jia 2006):
d(p,q) = d(q,p) =
√
∑ n
i=1
(pi–qi)2
dimana d(p,q) adalah jarah antara kelas p dengan q atau sebaliknya, p=(p1, p2, p3 . . . pn)
dan q=(q1, q2, q3 . . . qn) pada ruang berdimensi n.
dimana Lk(X) adalah nilai probabilitas posterior (peluang kejadian terbesar) kelas k
yang dihitung dengan (Takagi dan Shimoda 1991):
1 exp {–1/2 d k }
2
Lk(X) =
(2 π) n/2
|Ck| 1/2
adapun Ck adalah co-varian matriks tiap kelas k yang dihitung dari training data
dan d k adalah mahalanobis distance yang merupakan jarak antar kelas dan ukuran
2
d 2k = (X – X)t Ck-1(X – X)
26
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing
dimana (X – X)t adalah vektor transpose dengan X adalah vektor suatu piksel dan X
adalah vektor rata-rata untuk kelas k.
27
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
28
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing
dimana Lp adalah faktor penambah untuk tiap neuron p (neuron offset) (p=1 ,2,3, ...
,P), Wip adalah faktor pengali untuk neuron p (neuron gain) terhadap sinyal masukan
neuron i (i=1 ,2,3, ...,I) yang merupakan neuron pada lapis sebelumnya, dan Oi adalah
nilai sinyal dari neuron i yang masuk.
29
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
dimana η dan α adalah learning rate dan momentum rate yang merupakan nilai
konstanta yang besarnya berkisar 0,0 hingga 1,0; Ecp adalah besar kesalahan
pengajaran sebelumnya yang dihitung dengan persamaan di bawah untuk data latih
c (c=1,2,3, ... ,C); dan Ocp adalah besar sinyal keluaran dari neuron p tersebut untuk
data latih c.
Adapun konstanta learning rate η dan momentum rate α sebagaimana hasil
penelitian klasifikasi neural network terhadap data Landsat TM dan SPOT memberikan
pengaruh terhadap kecepatan pembelajaran seperti Gambar 3-5. Dimana untuk
mencapai jumlah total kesalahan pengajaran Back Propagation Neural Network
kurang dari nilai 0,1 dibutuhkan jumlah iterasi pembelajaran neural network yang
berbeda-beda untuk setiap pasangan konstanta η dan α. Tampak konstanta η tinggi
yaitu 0,9 dan α rendah yaitu 0,1 memiliki jumlah iterasi pembelajaran yang paling
sedikit (Kushardono 1996b).
30
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing
dimana Tcp adalah sinyal guru (learning signal), yaitu suatu keluaran bernilai 1,0 jika
benar untuk data latih c pada neuron p dan Ocp adalah sinyal keluaran neuron p pada
lapis keluaran. Sementara Ecp untuk lapis tengah dihitung sebagai berikut
K
Ecp = Ocp x (1 – Ocp) x ∑ (Eck – Wpk)
k =1
dimana Ocp adalah sinyal keluaran neuron p pada lapis tengah, Eck adalah besar
kesalahan untuk data latih c pada neuron k (k=1 ,2,3, ... ,K) dari lapis belakangnya
(lapis terakhir jika neural network terdiri dari tiga lapis), dan Wpk adalah faktor
pengali untuk hubungan antara neuron p pada lapis tengah dengan neuron k pada
lapis belakangnya.
Fungsi F(x) sebagaimana ditunjukkan Gambar 3-6 pada back propagation neural
network ada 2 macam, yakni fungsi sigmoid dan fungsi biner (step). Akan tetapi yang
umum dipergunakan adalah fungsi sigmoid. Adapun formula F(x) seperti berikut
fungsi sigmoid:
F(x) = 1
1 – e –x
31
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
fungsi biner:
1 jika x > 0
F(x) =
0 jika x < 0
32
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing
maximum layer dan fuzzy minimum layer, seperti yang diperlihatkan pada Gambar
3-7. Ketiga lapis fuzzy neural network tersebut memiliki metode pengolahan dimana
masing-masingnya berbeda seperti yang akan diterangkan di bawah. Selain itu, lapis
masukan dan lapis tengah berdimensi dua dan memiliki ukuran yang sama (I,J neuron),
sedang pada lapisan keluaran berdimensi satu jumlah neuronnya sama dengan jumlah
kelas yang diklasifikasi.
33
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
dimana Xij adalah nilai sinyal masukan ke neuron i,j (i=1 ,2,3, ... ,I; j=1 ,2,3, ... ,J)
yang berdimensi dua dan berukuran IxJ. Xmax adalah nilai sinyal Xij yang maksimum
sehingga akan diperoleh keluaran untuk neuron i,j sebesar Oij, yang memiliki kisaran
nilai dari 0,0 hingga 1,0.
Fuzzy maximum layer merupakan lapisan tengah yang memiliki pengolahan nilai
sinyal yang menghasilkan Opqm seperti di bawah, dimana nilainya dihitung untuk setiap
neuron p,q (p=1,2,3, ... ,P; q=1,2,3, ... ,Q) terhadap neuron m (m=1,2,3, .. ,M) yang
merupakan neuron pada fuzzy minimum layer.
Penentuan nilai Opqm berdasarkan fungsi F dari nilai maksimum perkalian antara
nilai sinyal yang masuk dengan faktor pengali dan penambah. Pengolahan pada lapis
tengah ini berbeda dengan yang ada pada back propagation neural network yang
keluaran setiap neuron tersebut dihitung tanpa memperhatikan hubungannya dengan
neuron pada lapis berikutnya, dan pengolahan dilakukan dengan pengambilan nilai
maksimum.
Opqm = F {max [max (Wp-i,q-j x Oij)] – Lpqm
i j
adapun β adalah nilai konstan yang mengatur luas cakupan dari neuron yang saling
berhubungan, yakni neuron p,q dan neuron i,j, sebagai misal lihat Gambar 3-8 di bawah.
Konstanta β pada fungsi kefuzzian ini dapat menentukan akurasi hasil klasifikasi, dari
penelitian Kushardono (1997a) menggunakan data Landsat TM dan SPOT-3 diketahui
bahwa semakin besar dimensi data penginderaan jauh yang menjadi masukan
dibutuhkan nilai β yang semakin kecil. Dimana semakin besar dimensi data masukan
dibutuhkan semakin banyak neuron pada lapis masukan dan lapis tengah, sedangkan
itu faktor pengali Wp-i,q-j yang menentukan hubungan antara neuron-neuron pada lapis
masukan dan keluaran tersebut keeratannya ditentukan oleh nilai β. Oleh karena itu,
nilai β yang optimum sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang baik.
34
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing
Gambar 3-8 Contoh nilai faktor pengali Wp-i,q-j dari fungsi kefuzzian
untuk β = 0.1
Fungsi F ditentukan seperti pada persamaan berikut yang merupakan fungsi
keanggotaan yang lebar cakupan keanggotaannya ditentukan berdasarkan konstanta
α. Penelitian Kushardono (1997a) konstanta α yang menentukan lebar fungsi
keanggotaan, nilainya menentukan suatu piksel akan diklasifikasi menjadi kelas
tertentu atau tidak terkelaskan, dimana jika nilainya kurang dari 3 akan terjadi piksel
yang tidak terklasifikasi.
u α
1–2 α
jika 2
>u>0
F(u) =
0 untuk nilai lain
Pengolahan pada tiap neuron pada fuzzy minimum layer, yaitu layer terakhir dari
fuzzy neural network adalah seperti pada persamaan di bawah
Om = min min(Opqm)
p q
dimana keluaran sinyal Om untuk setiap neuron m (m=1,2,3, ... ,M) dan M adalah jumlah
neuron yang juga merupakan jumlah kelas yang besarnya ditentukan berdasarkan self
organizing learning) ditentukan berdasarkan harga minimum hasil keluaran sinyal
fuzzy maximum layer sebesar Opqm.
35
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
dimana Wp-i,q-j adalah faktor pengali yang menghubungkan neuron p,q pada
fuzzy maximum layer dan neuron i,j pada fuzzy input layer yang memiliki nilai
keluaran sinyal sebesar Oij.
b. kemudian dengan memasukan data latih k+1 dilakukan perhitungan derajat
kemiripan kelas σ dengan persamaan di bawah
σ = max (Om)
m
36
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing
37
BAB IV
MODEL PENGOLAHAN
KLASIFIKASI DIGITAL
40
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
band terpilih pada panjang gelombang cahaya tampak hingga inframerah, dimana
akurasi hasil klasifikasi rata-rata 18 kelas diperoleh cukup tinggi yakni 98% dan 96%
(Kushardono 2016).
Pada percobaan klasifikasi menggunakan data hiperspektral dengan neural
network sebagai pengklasifikasi, diperoleh hasil klasifikasi yang tidak begitu berbeda
antara penggunaan 242 band dengan 50 band. Hal ini disebabkan penggunaan 50
band pada panjang gelombang 400nm hingga 800nm sudah dapat membedakan
karakteristik spektral dengan baik untuk tiap kelas penutup lahan pada training data.
Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan Gambar 4-4 hasil analisis statistik histogram
nilai rataan 18 kelas penutup lahan pada training terhadap band panjang gelombang,
dimana tampak tiap kelas penutup lahan polanya dapat dibedakan baik pada 50 band
maupun pada seluruh band.
41
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Gambar 4-4 Nilai piksel rata-rata tiap kelas training data pada setiap
panjang gelombang band hiperspektral, dan jumlah
band yang dipergunakan dalam klasifikasi
Dari pengalaman klasifikasi hiperspektral dengan neural network oleh Kushardono
(2016) tersebut, diketahui penggunaan seluruh band hiperspektral selain berdampak
terhadap besarnya kebutuhan memori pengolahan karena membutuhkan jumlah
neuron yang juga lebih banyak, juga mempengaruhi lamanya proses pembelajaran
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4-5, dan dibutuhkan juga waktu proses
klasifikasi yang lebih lama. Sebagai gambaran untuk memperoleh RMS error
pembelajaran neural network hingga kurang dari 0,01 pada penggunaan 242 band
sebagai masukan proses klasifikasi dibutuhkan lebih dari 9.000 iterasi pembelajaran
dengan waktu pembelajaran 49 menit 24 detik dan 69 menit 32 detik untuk klasifikasi
pada komputer pengolahan data PC 2.7GHz memori 16GB, sedangkan penggunaan 50
band membutuhkan pembelajaran sekitar 7.000 iterasi pembelajaran dengan waktu 4
menit dan untuk klasifikasi 2 menit 19 detik.
42
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
43
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
suatu piksel dengan piksel tetangganya. Hubungan ini ditentukan oleh besarnya sudut
qo dan jarak r dari piksel i ke piksel j tetangganya (Gambar 4-6 (a), selain itu hubungan
antarpiksel melihat piksel tetangganya juga dapat dilakukan dengan beberapa cara
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-6 (b), yaitu 2 arah dengan sebuah piksel
melihat piksel tetangga di depannya dan belakangnya, atau melihat 2 arah serong ke
atas dan serong ke bawahnya, atau melihat ke atas dan ke bawah, 4 arah dengan
sebuah piksel melihat piksel tetangga di depannya, di atasnya, serong ke atas dan
serong ke bawahnya tetapi tidak melihat sebaliknya, dan sebuah piksel melihat piksel
tetangga di 8 arah. Dari penelitian diketahui bahwa arah melihat piksel tetangganya
pada perhitungan Co-occurrence matrix memiliki pengaruh kepada akurasi hasil
klasifikasi, dimana pada klasifikasi penutup lahan dengan data radar yang memantau
objek permukaan dengan sudut tertentu diperoleh hasil klasifikasi 4 arah akurasinya
paling tinggi (Kushardono 1997).
(a) Jarak dan sudut antar piksel (b) Arah hubungan antar piksel
Gambar 4-6 Hubungan antar piksel untuk perhitungan co-occurrence
matrix
Co-occurrence matrix dihitung dari sebuah jendela bergerak (window piksel atau
subcitra) berukuran NxN piksel pada citra tiap band atau tiap polarisasi. Ukuran matrik
ditentukan oleh besarnya nilai bits data (tingkat keabuan), misalnya untuk 3 bit data
(=23=8 tingkat keabuan), maka besarnya ukuran matriknya adalah 8 x 8 elemen. Nilai
tiap elemen pada Co-occurrence matrix adalah P(i,j) yang merupakan jumlah kejadian
(yang merupakan juga peluang kejadian) nilai piksel i bertemu dengan nilai piksel j
pada subcitra berukuran N x N tersebut.
Contoh perhitungan co-occurrence matrix dijelaskan sebagai berikut, misal pada
Gambar 4-7, pada sebuah subcitra atau window piksel berukuran 5×5 piksel dengan
tingkat keabuan 2 bits atau nilai piksel 0, 1, 2 dan 3, untuk d = (0°,1) maka diperoleh
44
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
co-occurrence matrix berukuran 4x4 elemen matrik yang nilai elemennya ditentukan
dengan cara melihat satu piksel di sebelahnya, arah horisontal (kanan-kiri). Sementara
dengan d = (90°,1) maka nilai elemen matriknya ditentukan dengan cara melihat satu
piksel di sebelahnya, arah vertikal (atas-bawah). Pada co-occurrence matrix hasil
tersebut, misal nilai P(1,3) atau jumlah kejadian nilai piksel 1 bertemu dengan nilai
piksel 3 adalah 0 untuk d = (0°,1) dan 4 untuk d = (90°,1).
Nilai Piksel
Window 5x5 =(0°,1) =(90°,1)
45
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
ERS-1 SAR, besarnya window piksel dan bits data untuk ekstraksi informasi spasial
dengan co-occurrence matrix diperoleh akurasi hasil klasifikasi (overall acurracy)
sebagaimana pada Gambar 4-8. Dimana informasi tekstur lebih besar dari 6 bits data
menghasilkan akurasi yang sudah cukup tinggi, akan tetapi bits data makin besar maka
ukuran elemen co-occurrence matrix makin besar sehingga membutuhkan memori
pengolahan dalam komputer yang besar pula. Sementara ukuran window piksel
perlu dicari ukuran yang optimal yang sesuai dengan luasan objek penutup lahan
dan resolusi spasial data penginderaan jauhnya (Kushardono 1997). Hal yang sama
dengan kasus klasifikasi data satelit penginderaan jauh polarisasi tunggal tersebut di
atas, pada klasifikasi data satelit radar dual polarisasi Envisat-ASAR C-band dan ALOS
PALSAR L-band juga diperoleh ukuran window piksel optimal yang sesuai dengan
luasan objek penutup lahan dapat memberikan akurasi hasil klasifikasi yang tinggi
(Kushardono 2012). Lebih lanjut perihal klasifikasi dengan data radar dual polarisasi
tersebut dijelaskan di bawah.
Gambar 4-8 Hasil uji coba ukuran windows dan bits data untuk
informasi spasial co-occurrence matrix terhadap akurasi
hasil klasifikasinya
Dalam klasifikasi dengan mempergunakan informasi spasial co-occurrence
matrix dapat dilakukan melalui pengklasifikasi dengan dua model klasifikasi spasial
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-9 yaitu:
a. model klasifikasi spasial orde-1 dengan memasukkan secara langsung nilai-nilai
elemen matrik dalam co-occurrence matrix yang diperoleh kepengklasifikasi,
dimana karena dimensi datanya cukup besar biasanya dipergunakan neural
networks sebagai pengklasifikasi. Pada klasifikasi spasial orde-1 ini nilai tiap
elemen matrik diberikan ke tiap neuron pada lapis masukan neural networks
untuk dilakukan pengajaran dan klasifikasi. Untuk model klasifikasi ini
46
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
diperlukan topologi neural networks yang memiliki jumlah neuron yang besar
pada lapis masukan agar dapat menampung seluruh elemen matrik, terutama
pada data multiband atau multipolarisasi diperlukan sejumlah neuron pada
lapis masukan sebesar ukuran matrik dikalikan jumlah band atau jumlah
polarisasi datanya. Pada model klasifikasi ini dibutuhkan memori komputer
yang besar dalam pengolahan karena dimensi data yang diolah juga besar.
47
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j)
1 + (IR( i ) – IC( j ))2
2. Contrast (kontras)
∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x (IR( i ) – IC( j ))2
3. Dissimiliarity (ketidakserupaan)
∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x |IR( i ) – IC( j )|2
4. Mean (rataan)
∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x IR( i )
√
∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x (IR( i ) – mean)2
48
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
6. Entropy (entropi)
∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x log P(i,j)
∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j)2
8. Correlation (korelasi)
∑ ∑ m
i–1
n P(i,j) x {IR( i ) – IR(m)} x {IC( j ) – IC(n)}
j–1
√ {IR( i ) – IR(m)}2 x √ {IC( j ) – IC(n)}2
Dimana:
P(i,j) : nilai elemen matrix baris ke-i dan kolom ke-j
i = 0,1,2,3…m-1 (baris)
j = 0,1,2,3…n-1 (kolom)
n, m : tingkat keabuan
IR(i) = i-1
IC(j) = j-1
∑ IR( i ) x P(i,j)
IR(m) =
∑ P(i,j)
∑ IC( i ) x P(i,j)
IC(n) =
∑ P(i,j)
Difference vector (DV) merupakan jumlah kejadian bertemunya suatu nilai piksel
yang memiliki beda tertentu pada co-occurrence matrix. Bila menggunakan elemen
co-occurrence matrix Gambar 4-7 di atas akan didapat nilai untuk elemen DV, sebagai
berikut:
Beda Nilai DV
mutlak 0=(0°,1) 0= (90°,1)
0 14 1
1 5 11
2 0 6
3 1 2
49
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Misalnya untuk beda 1, berarti jumlah kejadian bertemunya nilai piksel yang
memiliki nilai beda 1, yaitu P(0,1), P(1,2) dan P(2,3), atau kebalikannya P(1,0), P(2,1)
dan P(3,2) sehingga kejadiannya berturut-turut adalah 2, 2, 1, 0, 0 dan 0 (jumlahnya =
5) untuk 0 = (0°,1), sedangkan untuk 0 = (90°,1) kejadiannya berturut-turut adalah 0, 0,
0, 3, 4 dan 4 (jumlahnya = 11).
Dari DV juga dapat diturunkan beberapa nilai skalar tekstur, yaitu:
1. DV Angular Second Moment
∑ m
i–1
V( i )2
2. DV Entropy
∑ m
i–1
{V( i ) x log V( i )}-1
3. DV Mean
∑ m
i–1
V( i )2 x (i – 1)
4. DV Contrast
∑ m
i–1
V( i ) x (i – 1)2
dimana:
i = 0,1,2,3…m-1 (baris)
V(i) : elemen pada DV
Pada Gambar 4-10 ditunjukkan contoh hasil ekstraksi informasi spasial dari
nilai skalar tekstur dari rumus Haralik (1985) yang sudah dijelaskan di atas, dimana
co-occurrence matrix dihitung menggunakan ukuran window 9 x 9 piksel dengan 64
tingkat keabuan pada citra satelit radar polarisasi tunggal VV data Sentinel 1a. Dimana
dari citra Sentinel 1a polarisasi VV (Gambar 4-10 bawah) dapat diperoleh 8 fitur
informasi tekstur sehingga sebagaimana tampak dengan komposit warna RGB dari 3
fitur informasi tekstur yang dipilih dapat dilihat dengan mudah pola-pola kondisi lahan
dan perairan di Jakarta dan sekitarnya.
50
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
51
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Gambar 4-11 Kelas training data pada citra PALSAR hasil interpretasi
dengan bantuan citra satelit optik resolusi tinggi
52
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
53
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
sekitar jalan tersebut, dalam hal ini perkebunan, hutan produksi dan bangunan yang
seperti terlihat di citra hasil klasifikasi dengan warna kuning, hijau dan merah di sekitar
jalan yang berwarna magenta.
54
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
55
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Terkait penggunaan informasi dalam klasifikasi berbasis objek, Sari dan Kushardono
(2014) telah membandingkan metode klasifikasi berbasis objek menggunakan informasi
konvensional (brightness, compactness, density) dengan menggunakan informasi
nilai skalar tekstur Haralik (homogeneity, contrast, dissimilarity, entropy, angular
second moment, mean, standard deviation, correlation) pada data penginderaan
jauh resolusi sangat tinggi dari pesawat terbang LSU (LAPAN Surveillance UAV). Data
dan hasil klasifikasi berbasis objek yang diperoleh sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 4-14, dimana diketahui bahwa hasil klasifikasi berbasis objek dengan tekstur
setelah diukur dengan test data yang dibuat terpisah dengan referensi data lapangan,
memiliki akurasi (overall) yang tinggi 95% dan 17,5% lebih tinggi dibanding dengan
hasil klasifikasi berbasis objek dengan informasi konvensional. Dari penelitian tersebut
juga ditunjukkan bahwa penggunaan informasi spasial tekstur pada klasifikasi berbasis
objek memudahkan pengklasifikasi dalam membedakan objek kelasnya sehingga objek
tidak terklasifikasi (unclassified object) lebih sedikit dibanding dengan menggunakan
informasi konvensional.
56
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
57
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
58
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
59
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
60
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
61
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
62
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
radar seperti PALSAR, Radarsat atau Sentinel-1 yang memiliki informasi kekasaran
berupa tekstur suatu objek permukaan sehingga dengan semakin bertambahnya
informasi tersebut keakuratan hasil klasifikasi diharapkan dapat ditingkatkan.
Model klasifikasi penutup penggunaan lahan dengan data satelit multisensor radar
optik secara umum dapat digambarkan seperti pada Gambar 4-19 di bawah, dimana
data satelit radar pertama diekstraksi untuk memperoleh informasi tekstur, dalam
hal ini diekstrakasi menggunakan co-occurrence matrix terlebih dahulu, kemudian
dimasukkan ke pengklasifikasi bersama-sama dengan data optik multispektral untuk
memperoleh hasil klasifikasi.
63
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
matrix dengan ukuran window piksel yang optimum sesuai dengan resolusi spasial
data dan kondisi penutup penggunaan lahan pada daerah target klasifikasi. Data yang
dipergunakan uji coba dan hasil klasifikasinya ditunjukkan seperti pada Gambar 4-20.
Kelebihan dengan menggunakan data fusi radar optik, sebagai contoh pada citra hasil
klasifikasi tersebut tampak jelas perbedaan antara hasil klasifikasi dari data fusi Gambar
4-20(c) dengan hasil klasifikasi dari hanya data Landsat TM Gambar 4-20(d) terutama
pada kelas pemukiman padat dan industri (warna magenta pada citra). Dimana pada
citra radar JERS-1 SAR kelas pemukiman padat dan industri tersebut ditunjukkan
dengan kekasaran yang tinggi berwarna putih, sedangkan pada citra optik tidak begitu
tampak bedanya dengan objek bangunan lahan yang lain sehingga penggunaan data
fusi radar optik ini memudahkan pengklasifikasi dalam membedakan kelas objek lahan.
(c) Hasil klasifikasi Landsat TM (d) Hasil klasifikasi fusi Landsat TM JERS SAR
Gambar 4-20 Klasifikasi penutup lahan dengan data fusi radar optik
dan perbandingan hasil klasifikasinya
64
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital
Model klasifikasi dengan fusi data yang lain di antaranya sebagaimana oleh Tool
(1985) yang mengusulkan metode klasifikasi penutup lahan dengan fusi data radar optik,
dimana pada citra radar dilakukan pengfilteran terlebih dahulu untuk menghilangkan
nois dengan menggunakan window piksel. Model klasifikasi yang disampaikan Tool
(1985) ini hasilnya tidak begitu baik karena informasi bintik-bintik (speckle) pada
citra radar yang difilter menjadi berkurang sehingga hasil klasifikasinya tidak sebaik
menggunakan informasi tekstur dengan co-occurrence matrix. Model klasifikasi lain
lagi diusulkan oleh Kanellopoulos et al. (1994) dalam klasifikasi penutup lahan dengan
fusi data radar optik, dimana modelnya hampir mirip dengan model dengan tekstur
dari co-occurrence matrix di atas, di sini digunakan informasi co-occurrence matrix
orde 2 (nilai skalar tekstur) pada citra radar. Dalam klasifikasi menggunakan fusi data
radar optik, informasi skalar tekstur radar yang diperoleh dimasukkan bersama-sama
dengan informasi spektral dari data optik ke pengklasifikasi.
65
DAFTAR PUSTAKA
68
Daftar Pustaka
69
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Qian J, Q Zhou, Q Hou. 2007. Comparison of pixel based and object oriented
classification methods for extracting build-up areas in Aridzone. ISPRS Workshop
on Update Geo Spasial Database with Imagery & 5th ISPRS Workshop DMGIS,
28–29 Agustus 2016, China
Sambodo K A, A Murni, M Kartasasmita. 2007. Classification of polarimetric SAR Data
with neural network using combination features extracted from scattering
models and texture analysis. Int. J. Remote Sens & Earth Sci., 4: 1–7.
Sari NM, D Kushardono. 2014. Klasifikasi penutup lahan berbasis obyek pada data foto
uav untuk mendukung penyediaan informasi penginderaan jauh skala rinci. J.
Penginderaan Jauh, 11(2): 114–127.
Sari NM, D Kushardono. 2016. Quality analysis of single tree object with OBIA and
vegetation index from lapan surveillance aircraft multispectral data in urban area.
J. of Geomatics and Planning, 3(2): 93–106. doi:10.14710/geoplanning.3.2.93-106
Sari NM, G A Chulafak, Zylshal, D Kushardono. 2017. The relationship between the
mixed pixel spectral value of Landsat 8 OLI Data and LAPAN Surveillance Aircraft
(LSA) Aerial-Photo Data. Indonesian Journal of Spasial and Regional Analysis,
13(1): 83–98. doi: : 10.23917/forgeo.v31i1.3500
Serrano P M L, J J C Rivas, R A D Varela, J G Á González, C A L Sánchez. 2016. Evaluation
of radiometric and atmospheric correction algorithms for aboveground forest
biomass estimation using landsat 5 TM data. Remote Sensing, 8(369), doi:10.3390/
rs8050369
Sudiana D, E Diasmara. 2008. Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Data Satelit
NOAA/AVHRR dan Terra/Aqua-MODIS. Seminar on Intelligent Technologi and Its
Application, Institut Teknologi Surabaya (ITS), Volume: ISBN 978-979-8897-24-5
Takagi M, H Shimoda. 1991. Handbook of Image Analysis. Tokyo Univ. Press, 775p,
Tokyo, Japan.
Tool DL. 1985. Analysis of digital Landsat MSS and Seasat SAR data for use in
discriminating landcover at urban fringe of Denver, Colorado. Int. J. Remote
Sensing, ISSN, 6(7): 1209–1229.
Zhilin VV, S A Filist, K A Rakhim, O V Shatalova. 2008. A method for creating fuzzy
neuralnetwork models using the MATLAB package for biomedical applications.
Biomedical Engineering, 42(2): 64–66., translated from Meditsinskaya Tekhnika,
2008, 42(2): 15–18.
Zhou X, NB Chang, S Li. 2009. Applications of SAR interferometry in earth and
environmental science research. J. Sensors, 9(3): 1876–1912, doi:10.3390/
s90301876
70
INDEKS
EO-1 Hiperion, 8, 39
Error matrix, 23
ERS SAR, 43
Euclidean distance, 26
Expected accuracy, 24
Fine Beam Dual, 52
Full-polarisasi, 11, 12, 43
Fungsi biner, 31, 32
Fungsi keanggotaan, 35
Fungsi nonlinier, 32
Fungsi sigmoid, 31, 32
Fuzzification function, 34
Fuzzy input layer, 32, 33, 34, 36
Fuzzy maximum layer, 34, 35, 36
Fuzzy minimum layer, 33, 34, 35, 36
Fuzzy neural network, 32, 33, 35, 36, 37
Genangan Banjir, 7
Geobiofisik, 6, 7
GeoEye, 52
Geometrik ortho, 52
Hidden layer, 28
Himawari, 39
Hiperspektral, 3, 8, 39, 40, 41, 42
Homogeinify, 52
Hotspot, 7
Ikonos, 7
Indek Kehijauan, 7
informasi keruangan, 43, 54
Informasi Multisensor, 62
72
Indeks
73
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Minimum Distance, 19
Momentum rate, 30
Natural color, 13
Nearest neighbor, 25, 26, 54, 55
Neural network, 19, 22, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 48, 61
Neuron, 22, 28, 29-36, 40, 42, 46, 47, 48
Neuron gain, 29
Neuron offset, 29
Nilai skalar tekstur, 48, 50, 56, 65
NOAA AVHRR, 7
Object Base Image Analysis (OBIA), 54
Output layer, 28
PALSAR, 3, 9, 11, 12, 14, 46, 52, 53, 63
Patahan, 7
Penginderaan jauh, 1-8, 12-15, 19-22, 25
Penutup pengunaan lahan, 7
Polarisasi, 9, 11, 12, 14, 15, 43-47, 50, 52, 58, 60
Probabilitas posterior, 26
Produser kelas, 24
Radarsat, 43, 63
Radiometrik slope, 52
Resolusi spasial, 1, 7, 40, 46, 52, 54, 63, 64
Sedimentasi, 6, 7
Segmentasi, 54
Self organizing learning, 34, 35, 36, 37
Sentinel, 3, 7, 9, 11, 43, 50, 60, 61, 63
Single-polarisasi, 11
SPOT, 3, 6, 7, 30, 31, 32, 34, 37, 39, 43, 62
Standard deviation, 48, 56
74
Indeks
Suhu Permukaan, 6, 7
Supervised classification, 22
Synthetic-aperture radar, 9
Terra MODIS, 9
Test data, 23, 53, 56
Training data, 16, 19-21, 23, 25, 26, 27, 28, 32, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 52, 54, 60
True color, 13
Unclassified object, 56
Unsupervised classification, 22
User kelas, 24
Vektor transpose, 27
Window piksel, 44, 45, 46, 53, 61, 64, 65
X band, 10
75