Anda di halaman 1dari 88

KLASIFIKASI

DIGITAL
PADA PENGINDERAAN JAUH
KLASIFIKASI
DIGITAL
PADA PENGINDERAAN JAUH

Penyusun
Dony Kushardono

Penerbit IPB Press


IPB Science Techno Park,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/11.2017
Judul Buku:
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh
Penyusun:
Dony Kushardono
Editor Tipografi:
Atika Mayang Sari
Desain Sampul & Penata Isi:
Andreas levi Aladin
Jumlah Halaman:
76 + 12 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, November 2017

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
IPB Science Techno Park
Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-602-440-198-6

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2017, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku


tanpa izin tertulis dari penerbit
PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyusun buku yang berjudul “Klasifikasi Digital Pada
Penginderaan Jauh” ini dengan lancar.
Buku ini merupakan salah satu outcome dari pengalaman penelitian serta
pembimbingan peneliti oleh penulis, dan ditulis untuk memberikan jawaban terhadap
kebutuhan buku berbahasa Indonesia tentang metode dan model klasifikasi digital
penutup penggunaan lahan dengan data penginderaan jauh, yang diharapkan
bermanfaat bagi para peneliti muda dan mahasiswa yang berkecimpung di bidang
pengolahan data penginderaan jauh. Pada sisi yang lain adanya amanat yang tersirat
dalam Undang Undang No.21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, di mana perlu adanya
standar metode klasifikasi dalam pemanfaatan penginderaan jauh, maka penulis yang
merupakan peneliti LAPAN mengharapkan buku ini bisa menjadi salah satu bacaan
bagi pihak terkait yang menyusun standar tersebut.
Buku ini terwujud berkat dorongan dari banyak pihak, untuk itu diucapkan terima
kasih pertama kepada ibu Hj. Soepilah seorang ibu penulis yang tidak pernah putus
mendoakan penulis, kedua diucapkan terima kasih kepada keluarga yang selalu
menemani penulis untuk istri dan anak-anak.
Kepada guru-guru penginderaan jauh penulis, Prof. Toshibumi Sakata (Presiden
Earth Science and. Technology. Organization, Japan / Profesor Emeritus Tokai
University), Prof. Haruhisa Shimoda (Tokai University Research and Information
Center / Chairman Committee Information System dan Program Scientist JAXA
Satellite / Chairman Committee Sensor Fusion Science and Technology Agency), Prof.
Kiyonari Fukue (Tokai University Research and Information Center), dan Prof. Kohei
Cho (Tokai University Research and Information Center / Sekjen AARS), serta Ir. Mahdi
Kartasasmita MS, PhD. (Kepala LAPAN periode 2006-2010). diucapkan terimakasih
atas ilmu yang sudah banyak diberikan sehingga penulis memiliki keberanian menulis
buku ini.
Terima kasih diucapkan kepada Para Pimpinan pada Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh LAPAN Dr. Rokhis Khomarudin, M.Si., Syarif Budiman S.Pi., M.Sc.
M.Priyatna, S.Si., M.Kom. dan Ir. Winanto beserta staf yang telah banyak memberikan
dukungan sehingga buku ini terwujud.
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Buku ini ditujukan bagi pembaca yang sudah memiliki pemahaman dasar
penginderaan jauh, dan ditulis sangat ringkas agar pembaca bisa fokus dalam
memahami metode dan model klasifikasi digital, akan tetapi penulis menyadari
bahwa buku ini masih banyak kekurangannya, oleh sebab itu kritik dan saran
pembaca yang budiman sangat diharapkan untuk perbaikan tulisan buku berikutnya.
Jakarta, Agustus 2017
Penulis,

Dony Kushardono

vi
DAFTAR ISI

PRAKATA........................................................................................................................ v
DAFTAR ISI.....................................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................ix
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1
BAB II
PENGANTAR KLASIFIKASI DIGITAL.................................................................................. 5
2.1. Informasi Penginderaan Jauh................................................................................ 5
2.2. Pengenalan Klasifikasi Digital.............................................................................. 15
2.3. Pengukuran Akurasi Hasil Klasifikasi.................................................................... 23
BAB III
METODE KLASIFIKASI DIGITAL TERBIMBING................................................................ 25
3.1 Metode Klasifikasi Nearest Neighbor.................................................................. 25
3.2 Metode Klasifikasi Maximum Likelihood............................................................. 26
3.3 Metode Klasifikasi Back Propagation Neural Networks...................................... 28
3.4 Metode Klasifikasi Fuzzy Neural Network .......................................................... 32
BAB IV
MODEL PENGOLAHAN KLASIFIKASI DIGITAL................................................................ 39
4.1 Klasifikasi Berbasis Informasi Spektral . .............................................................. 39
4.2 Klasifikasi Berbasis Informasi Spasial Tekstur...................................................... 43
4.3 Klasifikasi Berbasis Informasi Spasial Objek........................................................ 54
4.4 Klasifikasi Berbasis Informasi Multitemporal . .................................................... 57
4.5 Klasifikasi Berbasis Informasi Multisensor . ........................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 67
INDEKS.......................................................................................................................... 71
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-1 Nilai piksel citra digital........................................................................... 8


Gambar 2-2 Karakteristik spektral objek penutup lahan dan band pada sensor
satelit penginderaan jauh...................................................................... 9
Gambar 2-3 Perbandingan citra satelit radar dan optik pada waktu
perolehan data yang sama................................................................... 10
Gambar 2-4 Sinyal hambur balik pada sensor radar X, C dan L-band...................... 11
Gambar 2-5 Citra PALSAR-2 full-polarisasi Kota Gorontalo..................................... 12
Gambar 2-6 Komposit warna RGB........................................................................... 13
Gambar 2-7 Citra satelit penginderaan jauh dan komposit warna RGB ................. 14
Gambar 2-8 Contoh komposit warna RGB citra satelit penginderaan jauh radar
polarisasi HH-HV-VV............................................................................ 15
Gambar 2-9 Jenis klasifikasi digital.......................................................................... 16
Gambar 2-10 Metode klasifikasi tidak terbimbing.................................................... 18
Gambar 2-11 Sistem klasifikasi data digital............................................................... 20
Gambar 2-12 Contoh training data dan statistik ciri kelas pada 3 band
Landsat TM.......................................................................................... 21
Gambar 3-1 Jarak (distance) antar kelas pada ruang dimensi 2 band..................... 25
Gambar 3-2 Peluang kejadian suatu kelas dalam klasifikasi
maximum likelihood............................................................................. 27
Gambar 3-3 Model back propagation neural network............................................ 29
Gambar 3-4 Model sebuah neuron dalam neural network...................................... 30
Gambar 3-5 Pengaruh konstanta η dan α terhadap kecepatan pembelajaran pada
Back Propagation Neural Networks..................................................... 31
Gambar 3-6 Fungsi nonlinier aktifasi pada sebuah neuron..................................... 32
Gambar 3-7 Arsitekstur fuzzy neural network......................................................... 33
Gambar 3-8 Contoh nilai faktor pengali Wp-i,q-j dari fungsi kefuzzian
untuk β = 0.1........................................................................................ 35
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 3-9 Algoritma self organizing learning....................................................... 37


Gambar 4-1 Model Klasifikasi digital penutup lahan............................................... 39
Gambar 4-2 Model klasifikasi penutup lahan dengan neural networks berbasis
informasi spektral................................................................................ 40
Gambar 4-3 Klasifikasi penutup lahan berbasis informasi hiperspektral,
A : data Hyperion 242 band, B : hasil klasifikasi dengan 242 band,
dan C : hasil klasifkasi dengan 50 band cahaya tampak hingga
inframerah dekat................................................................................. 41
Gambar 4-4 Nilai piksel rata-rata tiap kelas training data pada setiap panjang
gelombang band hiperspektral, dan jumlah band yang
dipergunakan dalam klasifikasi............................................................ 42
Gambar 4-5 Pengaruh jumlah band dalam klasifikasi terhadap kecepatan
pembelajaran neural network............................................................. 43
Gambar 4-6 Hubungan antar piksel untuk perhitungan co-occurrence matrix....... 44
Gambar 4-7 Contoh perhitungan informasi spasial co-occurrence matrix.............. 45
Gambar 4-8 Hasil uji coba ukuran windows dan bits data untuk informasi spasial
co-occurrence matrix terhadap akurasi hasil klasifikasinya................. 46
Gambar 4-9 Model klasifikasi dengan informasi spasial.......................................... 47
Gambar 4-10 Contoh informasi skalar tekstur dari co-occurrence matrix pada
data satelit penginderaan jauh radar.................................................. 51
Gambar 4-11 Kelas training data pada citra PALSAR hasil interpretasi dengan
bantuan citra satelit optik resolusi tinggi............................................ 52
Gambar 4-12 Hasil klasifikasi penutup lahan berbasis informasi spektral pada
Citra ALOS PALSAR berdasarkan masing-masing ukuran
window piksel, serta akurasi hasilnya (Kushardono, 2012)................. 53
Gambar 4-13 Model klasifikasi berbasis informasi spasial objek............................... 55
Gambar 4-14 Model klasifikasi berbasis informasi spasial objek OBIA pada
citra resolusi sangat tinggi (Sari dan Kushardono, 2014)..................... 56
Gambar 4-15 Contoh data Landsat TM multitemporal dan penampakan
penutup lahannya................................................................................ 57
Gambar 4-16 Model klasifikasi penggunaan lahan dengan data penginderaan
jauh multitemporal.............................................................................. 59
Gambar 4-17 Perbandingan hasil klasifikasi penutup penggunaan lahan data satu
temporal dengan data multitemporal................................................. 60

x
Daftar Gambar

Gambar 4-18 Perbandingan hasil klasifikasi penutup penggunaan lahan data satu
temporal dengan data multitemporal................................................. 62
Gambar 4-19 Model klasifikasi penutup penggunaan lahan berbasis data
multisensor.......................................................................................... 63
Gambar 4-20 Klasifikasi penutup lahan dengan data fusi radar optik dan
perbandingan hasil klasifikasinya........................................................ 64

xi
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam perencanaan pembangunan wilayah atau modeling lingkungan suatu lahan,


informasi penutup penggunaan lahan terbaru sangat diperlukan. Demikian pula untuk
pemetaan dibutuhkan informasi spasial kondisi lahan. Teknologi penginderaan jauh
satelit saat ini sudah berkembang pesat dengan banyaknya satelit penginderaan jauh
yang beroperasional. Datanya dapat diperoleh hampir setiap saat sehingga diharapkan
dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk pemetaan penutup penggunaan
lahan.
Dengan data satelit penginderaan jauh yang digital, pengolahan dengan komputer
akan mempercepat produksi informasi spasial penutup penggunaan lahan dan dapat
menjamin kualitas informasi yang sama. Akan tetapi, dalam pemanfaatan data digital
satelit penginderaan jauh ada beberapa permasalahan, di mana membutuhkan teknik
pengolahan data yang tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal. Permasalahan
dalam pemanfaatan data penginderaan jauh tersebut, yaitu:
a. Adanya mixel (mixed pixel) atau piksel berisikan lebih dari satu jenis objek
lahan pada citra digital satelit penginderaan jauh. Data digital dari satelit
penginderaan jauh memiliki keterbatasan terkait ukuran spasial objek lahan
terhadap resolusi citra satelit yang digunakan. Menurut penelitian Sari et al.
(2017) mixel pada data satelit resolusi menengah Landsat-8 OLI dengan relosusi
spasial 30 x 30m setelah dikaji dengan data penginderaan jauh udara resolusi
sangat tinggi, informasi citranya menunjukkan korelasi yang baik pada daerah
homogen seperti persawahan, tetapi pada daerah dengan penggunaan lahan
yang beragam dan sempit seperti daerah perkotaan potensi kejadian mixel
sangat tinggi. Dengan demikian, mixel pada citra satelit merupakan masalah
dalam identifikasi jenis lahan secara digital (Kim dan Kim 1994; Kitamoto dan
Takagi 1999).
b. Pada pemetaan skala rinci dibutuhkan data penginderaan jauh dengan resolusi
spasial yang tinggi pula. Akan tetapi dengan resolusi spasial tinggi pada data
penginderaan jauh informasi objek semakin detail, maka penggunaan informasi
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

spektral atau berdasarkan rona warna saja semakin sulit dipergunakan dalam
klasifikasi secara digital. Untuk itu membutuhkan model pengolahan data
yang harus memperhatikan unsur keruangan objek lahan.
c. Adanya dinamika kondisi lahan sehingga menyulitkan dalam klasifikasi
penggunaan lahan berdasarkan sebuah data penginderaan jauh. Sebagai
misal pada lahan sawah dengan tanaman semusim, dalam kondisi tertentu
saat padi menghijau tampilan pada citra penginderaan jauh akan menyerupai
rerumputan, pada saat fase penanaman padi menyerupai genangan air dan
pada saat bera menyerupai lahan terbuka. Dengan kondisi objek yang memiliki
perubahan kondisi yang tinggi, maka untuk klasifikasi penggunaan lahan
membutuhkan model pengolahan dengan melibatkan data penginderaan jauh
beberapa temporal.
d. Adanya tuntutan akurasi yang tinggi dari informasi yang dihasilkan dari
penginderaan jauh yang memiliki keterbatasan informasi spasial, rona warna,
tekstur, maupun kondisi objek secara temporal sehubungan dengan citra
penginderaan jauh dihasilkan berdasarkan waktu akuisisi tertentu, menuntut
adanya pemilihan metode klasifikasi dan model pengolahan datanya yang
tepat (Kushardono 1996a).
Memperhatikan berbagai masalah dalam klasifikasi digital mempergunakan data
penginderaan jauh, pada buku ini disajikan beberapa metode dan model pengolahan
data digital untuk klasifikasi penutup penggunaan lahan dengan data penginderaan
jauh. Guna memahami klasifikasi dengan data penginderaan jauh, pertama adalah
bab pengantar klasifikasi digital yang menjelaskan mulai dari bentuk, jenis informasi
penginderaan jauh, cara memperoleh, menyajikan informasi citra penginderaan jauh
dan pemanfaatannya. Kemudian untuk memahami pengolahan data dalam ekstraksi
informasi spasial lahan dijelaskan berbagai metode klasifikasi digital. Kemudian karena
akurasi informasi spasial penutup penggunaan lahan yang dihasilkan menggunakan
metode tertentu dari data penginderaan jauh perlu diukur, maka perlu dijelaskan
terlebih dahulu bagaimana cara mengukur akurasi hasil klasifikasi digital berdasarkan
data referensi, dan bagaimana data referensi yang dapat dipercaya harus dibuat.
Pada bab berikutnya, dijelaskan lebih detail perihal berbagai metode klasifikasi
terbimbing, di mana metode ini adalah yang paling banyak dipergunakan dalam
klasifikasi digital menggunakan data penginderaan jauh. Sementara pada bab terakhir
dijelaskan berbagai model pengolahan data penginderaan jauh untuk klasifikasi digital,
di mana informasi penginderaan jauh yang dipergunakan dalam klasifikasi digital
berbasis informasi spektral, informasi spasial, informasi berbasis objek, informasi
menggunakan data multitemporal dan multisensor. Penggunaan informasi tersebut
ditentukan dengan tujuan dan kondisi tertentu untuk mendapatkan akurasi hasil
klasifikasi yang terbaik.

2
BAB 1
Pendahuluan

Untuk memudahkan pemahaman, penjelasan pada buku ini mempergunakan hasil


penelitian sebelumnya sebagai contoh kasus, di mana telah dipergunakan berbagai
macam data penginderaan jauh, yaitu data multispektral satelit, data foto udara, data
hiperspektral, data radar satelit, dan data satelit multitemporal. Adapun data yang
digunakan untuk menjelaskan di antaranya seperti Landsat TM SPOT, JERS-1 SAR,
ALOS PALSAR, Sentinel-1, dan Data Kamera Multispektral LAPAN Surveillance Aircraft

3
BAB II
PENGANTAR KLASIFIKASI
DIGITAL

2.1 Informasi Penginderaan Jauh


Informasi spasial penutup dan penggunaan lahan dibutuhkan dalam perencanaan
pembangunan suatu wilayah, monitoring lingkungan, maupun untuk mendukung
kegiatan mitigasi bencana alam. Informasi spasial penutup penggunaan lahan dapat
diperoleh dengan dua cara sebagaimana Tabel 2-1 di bawah, yaitu dengan melakukan
survei langsung ke lapangan menggunakan alat ukur dan melalui teknik interpretasi
penginderaan jauh. Masing-masing teknik perolehan informasi lahan tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan. Pada teknik survei lapangan, dikarenakan umumnya lahan
yang diukur sangat luas maka membutuhkan waktu yang lama, biaya untuk membayar
ahli surveinya juga mahal dan sekali pengukuran tidak bisa langsung memperoleh hasil
yang luas. Akan tetapi dengan survei lapangan secara langsung, informasi lahan yang
diperoleh sangat detail dan akurat. Oleh karena itu pula, hasil survei lapangan juga
dapat dipergunakan sebagai data rujukan dalam interpretasi data penginderaan jauh.

Tabel 2-1 Teknik perolehan informasi spasial penutup lahan


Teknik Perolehan Kekurangan Kelebihan
Survei lapangan mahal, waktu lama, cakupan informasi detail dan akurat
sempit
Teknik Inderaja informasi tidak detail, investasi murah, real time, cakupan
infrastruktur mahal luas

Sementara itu saat ini teknik penginderaan jauh sudah berkebang pesat, pada
penginderaan jauh mengunakan satelit, datanya dapat diperoleh hampir setiap saat
dengan cakupan yang luas, bahkan dengan data satelit penginderaan jauh resolusi
menengah datanya dapat diperoleh dengan tidak berbayar. Dengan demikian,
penggunaan teknik inderaja dapat untuk memperoleh informasi penggunaan lahan
secara cepat, luas cakupannya, setiap saat atau real time dan murah. Akan tetapi teknik
penginderaan jauh memiliki kekurangan terutama pada penginderaan jauh satelit,
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

selain karena resolusi citra yang diperoleh memiliki keterbatasan sehingga informasinya
tidak bisa detail sebagaimana pada hasil survei lapangan, juga membutuhkan investasi
untuk pembuatan satelit, stasiun bumi pengendali satelit dan penerima data, serta
sistem pengolahan datanya. Namun demikian pada saat ini bagi pengguna teknologi
penginderaan jauh sudah dapat memperoleh data tidak berbayar. Dalam hal ini untuk
data resolusi rendah dan menengah melalui situs internet, baik yang disediakan oleh
operator satelit maupun dari instansi pemerintah seperti Bank Data Penginderaan
Jauh di LAPAN.
Kendala dalam penggunaan teknologi penginderaan jauh adalah dibutuhkannya
suatu metode pengolahan data. Pertama adalah koreksi data akibat kesalahan
radiometrik dan geometrik pada penerimaan sinyal objek lahan oleh pengindera
(sensor) serta kondisi lahan yang diukur. Kesalahan yang harus dikoreksi ini diakibatkan
selain kesalahan sistematis oleh kepekaan dan posisi pengindera, pergerakan wahana
satelit maupun pesawat, juga kelengkungan permukaan dan perputaran bumi. Selain
itu, kesalahan yang tidak sistematis akibat bentuk lahan maupun kondisi atmosfer
termasuk perubahan iluminasi sinar matahari pada objek lahan juga harus dikoreksi
terlebih dahulu. Sebagaimana koreksi radiometri dan atmosferik pada data Landsat
dalam mengestimasi biomas hutan oleh Serrano et al. (2016).
Kendala lain dalam penggunaan teknologi penginderaan jauh adalah diperlukannya
teknik analisis data untuk klasifikasi dan pengukuran indek geobiofisik objek di lahan.
Dimana dengan data penginderaan jauh multispektral dan radar, dibutuhkan metode
transformasi data menjadi indek geobiofisik seperti suhu permukaan dari data
sensor thermal (Hao et al. 2017), indeks vegetasi (Sudiana dan Diasmara 2008) dan
sedimentasi (Narasayya 2012) dari data sensor panjang gelombang cahaya tampak,
serta ketinggian permukaan dari teknik hambur balik sensor radar yang dikenal juga
dengan teknik interferometrik SAR/InSAR (Zhou et al. 2009) atau citra stereo data
penginderaan jauh seperti pada citra SPOT yang memiliki band stereo (Cheng 2012).
Pada analisis penutup penggunaan lahan menggunakan data penginderaan jauh
melalui teknik klasifikasi digital juga membutuhkan pemahaman yang memadai.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, dalam
pemanfaatan data penginderaan jauh ekstraksi informasi juga dibedakan menjadi dua,
yaitu klasifikasi penutup penggunaan lahan dan ekstraksi informasi indeks geobiofisik.
Melalui kedua teknik ekstraksi informasi data penginderaan jauh dapat dimanfaatkan
untuk berbagai kebutuhan pengguna informasi sebagaimana contoh pada Tabel 2-2 di
bawah.

6
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

Tabel 2-2 Tipe ekstraksi informasi data penginderaan jauh


Ekstraksi
Tipe Contoh Pemanfaatan
Informasi
Klasifikasi Klasifikasi Penutup pengunaan lahan
Deteksi Perubahan Perubahan pengunaan lahan
Indek Besaran Fisik Suhu Permukaan, Ketinggian
geobiofisik Ekstraksi Indek Indek Kehijauan, Sedimentasi Perairan, Klorofil
Laut
Identifikasi Ciri Hotspot, Genangan Banjir, Patahan
Istimewa

Sejak sekitar tahun ‘80-an telah diluncurkan satelit penginderaan jauh generasi
kedua yang penginderanya memiliki resolusi spasial yang menengah seperti Landsat
TM (Thematic Mapper), SPOT HRV (High Resolution Visible) dan sebagainya. Sejak
itu, pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk klasifikasi khususnya penutup
lahan banyak dikaji dan dimanfaatkan untuk produksi informasi spasial lahan.
Citra satelit penginderaan jauh umumnya disimpan dalam bentuk digital untuk
pengolahan data digital perlu memahami terlebih dahulu yang dimaksud citra digital.
Citra digital adalah gambar dua dimensi yang bisa ditampilkan pada layar komputer
sebagai himpunan/diskrit nilai digital yang disebut piksel atau picture elements. Dimana
ukuran piksel terhadap luasan yang diwakili dipermukaan lahan yang diamati disebut
dengan istilah resolusi spasial sebagai misal Landsat TM memiliki resolusi spasial
30m x 30m per piksel, sedang satelit lingkungan seperti NOAA AVHRR 1km x 1km per
piksel.
Tiap piksel pada citra memiliki nilai digital sesuai tingkat kecerahan atau greylevel,
sebagai contoh pada Gambar 2-1 dijelaskan citra digital yang memiliki nilai digital 1
hingga 5 sehingga bisa dituliskan matriks berisi nilai piksel dengan koordinat kolom
baris seperti di sebelahnya. Citra satelit penginderaan jauh umumnya memiliki 256
tingkat kecerahan atau sering disebut memiliki resolusi radiometrik 8 bits (= 28 = 256).
Contoh citra satelit penginderaan jauh 8 bits adalah Landsat TM, SPOT, Ikonos, sedang
citra NOAA AVHRR memiliki resolusi radiometrik 10 Bits, LANDSAT OLI dan Sentinel-2
MSI 12 Bits, dan Sentinel-1, JERS SAR 16 Bits.

7
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 2-1 Nilai piksel citra digital


Satelit dan wahana penginderaan jauh dibuat untuk menjalankan misi pengamatan
objek permukaan lahan tertentu, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2-2 bahwa
sensor satelit dibuat berdasarkan karekteristik spektral objek di permukaan bumi yang
menjadi target pengamatan. Dimana tiap objek permukaan memberikan pantulan atau
radiasi yang berbeda-beda pada setiap spektrum panjang gelombang. Sebagai contoh
air memberikan pantulan yang tinggi pada daerah spektrum biru, sedang vegetasi
tanaman pada daerah spektrum inframerah dekat, maka seperti satelit Landsat OLI
yang misinya di antaranya pengamatan fisik perairan dan tanaman memiliki sensor
yang bandnya pada daerah spektrum tersebut. Untuk satelit penginderaan jauh
yang memiliki misi untuk mengukur indek suatu objek lebih detail, sensor satelitnya
memiliki band yang banyak yang terbagi sepanjang spektrum objek targetnya dengan
panjang gelombang yang sempit. Sensor yang memiliki band banyak tersebut disebut
hiperspektral. Contoh satelit penginderaan jauh hiperspektral adalah EO-1 Hiperion
yang memiliki 242 band. Banyaknya jumlah band pada sensor satelit juga dikatakan
sebagai resolusi spektral.

8
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

Gambar 2-2 Karakteristik spektral objek penutup lahan dan band


pada sensor satelit penginderaan jauh
Sensor satelit penginderaan jauh sistem radar yang sering dikenal dengan
synthetic-aperture radar (SAR), bekerja pada panjang gelombang mikro seperti
PALSAR pada L-band dan Sentinel-1 pada C-band merupakan sistem pengindera aktif
dengan mempergunakan energi pancaran sendiri dari wahana satelit, kemudian sinyal
hambur baliknya ditangkap oleh antena sensor. Dikarenakan sistem aktif dan bekerja
pada gelombang mikro maka sensor SAR dapat dipergunakan untuk memantau
permukaan bumi tanpa gangguan awan, cuaca dan ketergantungan sumber cahaya
matahari. Pada Gambar 2-3 ditunjukkan contoh tampilan citra satelit radar Sentinel-1
dan perbandingannya dengan citra satelit optik Terra MODIS, dimana nampak bahwa
pada saat yang bersamaan dari citra satelit optik MODIS permukaan lahan tidak dapat
dipantau karena tertutup awan, tetapi dari citra radar Sentinel-1a pola citra permukaan
lahan dapat terlihat dengan jelas. Akan tetapi informasi citra radar berbeda dengan
citra optik yang mendasarkan rona warna berdasarkan karakteristik spektralnya. Pada
citra radar yang memiliki sensor lebih dari satu polarisasi, informasi lahan berdasarkan
kekasaran permukaan dapat dikombinasikan menjadi citra berwarna berdasarkan
jenis polarisasinya.

9
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 2-3 Perbandingan citra satelit radar dan optik pada waktu
perolehan data yang sama
Sebagaimana sensor sistem optik, sensor radar dirancang sesuai misinya
berdasarkan karakter hamburan balik sinyalnya yang diterima sensor atau antena
radar terhadap objek lahan. Dimana karakter haburan balik suatu objek dipermukaan
berdasarkan panjang gelombang berbeda-beda sebagaimana digambarkan pada
Gambar 2-4. Pada sensor radar yang mempergunakan SAR X band akan dapat
hamburan balik dari permukaan objek lahan. Sementara yang mempergunakan C band
selain memperoleh sinyal hamburan balik dari permukaan objek lahan juga mendapat
hamburan balik tambahan dari dalam objek. Pada sensor yang mempergunakan L
band dapat tambahan lebih banyak lagi dari bagian objek yang lebih dalam selain dari
objek bagian atas.

10
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

Gambar 2-4 Sinyal hambur balik pada sensor radar X, C dan L-band
Pada citra radar, karakteristik objek dipermukaan juga dideteksi dengan jenis
polarisasi pada sensor radar. Polarisasi dalam SAR memanfaatakan orientasi komponen
gelombang elektromagnetik dari sinyal radar saat dipancarkan dan diterima antena
sensor. Pada polarisasi searah HH atau VV, sensor memancarkan dan menerima
polarisasi yang sama yaitu horizontal-horizontal atau vertikal-vertikal. Selain polarisasi
searah, jenis yang lain adalah polarisasi silang HV atau VH, yakni gelombang yang
dipancarkan sensor horizontal diterima vertikal atau sebaliknya. Sensor satelit radar
yang memiliki polarisasi tunggal seperti JERS-1 SAR disebut single-polarisasi, sedang
yang dua polarisasi seperti Sentinel-1 yaitu HH dan HV atau VV dan VH disebut dengan
sensor SAR dual-polarisasi, dan yang memiliki 4 polarisasi disebut full-polarisasi seperti
pada PALSAR-2.
Pada Gambar 2-5 ditunjukkan citra radar full-polarisasi Kota Gorontalo dan
sekitarnya, dimana tampak pada polarisasi HH dan VV objek bangunan padat di
kota ditunjukkan dengan tekstur putih cerah, dan laut jernih ditunjukkan dengan
tekstur agak cerah. Sementara pada polarisasi HV dan VH objek vegetasi di bukit dan
pemukiman ditunjukkan dengan tekstur cerah dan di laut ditunjukkan dengan tekstur
agak gelap.

11
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 2-5 Citra PALSAR-2 full-polarisasi Kota Gorontalo


Mendasarkan teori percampuran warna utama merah (R = red), hijau (G = green)
dan biru (B = blue) sebagaimana Gambar 2-6, dapat dilakukan komposit warna 3 band
untuk menampilkan citra penginderaan jauh pada layar monitor. Pada komposit warna
Gambar 2-6 ditunjukkan bahwa jika RGB nilainya tinggi maka akan putih (W), kalau
semua nilainya rendah akan gelap, sedang jika RG nilainya tinggi dan B nilainya rendah
akan berwarna kuning, dan seterusnya.

12
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

Gambar 2-6 Komposit warna RGB


Mendasarkan pada pemahaman karakteristik spektral objek dipermukaan dan
daerah kerja tiap band pada sensor satelit, sebagai contoh pada Landsat-8 OLI yang
memiliki 11 band yang bekerja pada beberapa daerah panjang gelombang mulai biru
hingga inframerah dekat dan thermal (sebagaimana Gambar 2-2). Untuk mendapatkan
komposit warna asli yaitu vegetasi ditampilkan dengan warna hijau, air dengan warna
kebiruan, dan lahan terbuka atau bangunan dengan warna merah, maka dilakukan
tampilan komposit warna RGB (Red Green Blue) dengan 2 tipe komposit. Pertama,
komposit warna alami (natural color) dengan band 2 panjang gelombang biru pada
filter warna B (blue), band 3 panjang gelombang hijau pada filter warna G (green) dan
band 4 panjang gelombang merah pada filter warna R (red). Tipe komposit RGB kedua
adalah komposit warna asli (true color) dengan band 2 pada filter warna B, band 5 dan
band 6 yang masing-masing memiliki panjang gelombang inframerah dekat dan jauh
pada filter warna G dan R (Gambar 2-7).

13
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 2-7 Citra satelit penginderaan jauh dan komposit warna RGB
Untuk memudahkan interpretasi secara visual, citra penginderaan jauh radar juga
bisa ditampilkan dengan komposit warna RGB. Pada Gambar 2-8 dicontohkan hasil
komposit warna RGB citra satelit PALSAR-2 polarisasi HH, HV dan VV daerah Gorontalo
dari data radar yang ditunjukkan pada Gambar 2-4 di atas. Dengan komposit warna
RGB dari 3 jenis polarisasi, interpretasi citra satelit penginderaan jauh radar menjadi
lebih mudah, dimana bangunan padat ditampilkan dengan tekstur berwarna magenta

14
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

cerah, pemukiman dengan tekstur berwarna hijau agak kekuningan dan sian, laut jernih
dengan tekstur berwarna magenta gelap, vegetasi hutan dengan tekstur berwarna
hijau dan air sungai serta genangan air sawah dengan tekstur berwarna hitam gelap

Gambar 2-8 Contoh komposit warna RGB citra satelit penginderaan


jauh radar polarisasi HH-HV-VV

2.2 Pengenalan Klasifikasi Digital


Secara umum identifikasi lahan dapat dilakukan melalui data penginderaan jauh
dengan tiga cara sebagai berikut:
1. klasifikasi visual, yaitu identifikasi melalui tampilan citra satelit oleh mata
manusia berdasarkan pola yang ada dalam citra diklasifikasi dan dilakukan
pembuatan garis garis batas antar kelas (zonasi), cara visual ini baik untuk
ekstraksi spasial, tetapi hasilnya ditentukan pengalaman interpreternya dan
membutuhkan waktu lama.

15
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

2. Klasifikasi digital, yaitu analisis citra dilakukan dengan bantuan komputer


digital dengan algoritma-algoritma tertentu, kelebihan cara ini adalah waktu
proses cepat dan dapat mengekstraksi besaran fisik dan indeks.
3. Kombinasi metode visual dan digital (man-machine interactive system).
Secara umum klasifikasi digital dibedakan dalam 2 kelas besar, sebagaimana
Gambar 2-9, yakni klasifikasi terbimbing (Supervised) dan klasifikasi tidak terbimbing
(Unsupervised). Hal yang dimaksud klasifikasi terbimbing dalam penginderaan jauh
adalah klasifikasi digital dimana pengkelasan pola-pola penutup penggunaan lahan
pada citra didasarkan masukan dari operator. Untuk itu, analisis terlebih dahulu
dilakukan untuk menetapkan beberapa training area (daerah contoh kelas penutup
penggunaan lahan) pada citra penginderaan jauh. Penetapan training data berdasarkan
pengetahuan operator terhadap wilayah dalam citra penginderaan jauh yang menjadi
targetnya. Lebih lanjut perihal training data dijelaskan di bawah.

Gambar 2-9 Jenis klasifikasi digital

16
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

Metode klasifikasi yang lain adalah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised


clasiffication). Dimana pada metode klasifikasi tidak terbimbing dilakukan
pengelompokkan nilai-nilai piksel pada suatu citra oleh komputer ke dalam kelas-kelas
nilai (spektral, temporal, spasial) dengan menggunakan algoritma klusterisasi. Oleh
karena itu, metode klasifikasi tidak terbimbing sering disebut juga metode clustering.
Pada metode klasifikasi tidak terbimbing, proses pengolahan data didahului
dengan operator melakukan analisis secara visual untuk menentukan jumlah kelas
(cluster) yang akan dibuat. Kemudian setelah mendapatkan jumlah kelas pola
lahan, data citra diolah berdasarkan kelas-kelas nilai dikelompokkan oleh komputer
menggunakan algoritma tertentu. Dari kelas pola yang diperoleh, bisa juga dilakukan
penggabungan beberapa kelas yang dianggap memiliki informasi yang sama menjadi
satu kelas tertentu.
Pada Gambar 2-10 dijelaskan cara kerja pada metode klasifikasi tidak terbimbing,
dimana dicontohkan dari interpretasi visual pada citra digital diperoleh 2 kelas pola
yang kemudian diklasifikasi dengan algoritma tertentu dan hasilnya diberi label kelas
lahan. Algoritma yang populer digunakan pada metode klasifikasi tidak terbimbing di
antaranya:
1. K-Means, yaitu algoritma yang akan mengelompokkan data atau objek ke
dalam  k buah kelompok (cluster). Pada setiap  cluster  terdapat titik pusat
(centroid) yang merepresentasikan cluster tersebut dan dihitung dari nilai
rata-rata pada cluster. Pada metode ini operator memilih target jumlah kelas
dan maksimum standar deviasi, kemudian komputer akan mengelompokkan
data ke dalam kelas kelompok yang telah ditentukan.
2. Isodata (Iterative Self-Organizing Data Analysis Technique), yaitu suatu
algoritma clustering untuk mengklasifikasikan kelas secara merata, dimana
setiap piksel diklasifikasikan ke kelas terdekat. Isodata adalah modifikasi
algoritma k-means clustering dan dikembangkan untuk mengatasi kelemahan
k-means. Algoritma ini mencakup penggabungan kluster jika jarak pemisahnya
di ruang fitur multispektral kurang dari nilai yang ditentukan operator dan
aturan untuk membelah satu cluster menjadi dua kelompok. Metode ini
membuat sejumlah besar melewati data set sampai hasil yang ditentukan
diperoleh. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah piksel dalam
setiap perubahan kelas kurang dari ambang perubahan piksel yang dipilih atau
jumlah maksimum interasi yang ditentukan operator.

17
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 2-10 Metode klasifikasi tidak terbimbing


Klasifikasi terbimbing terbagi menjadi dua jenis yaitu berbasis densitas atau
populasi dan berbasis geometrik. Contoh klasifikasi terbimbing berbasis geometrik
adalah algoritma Firefly atau metode kunang-kunang yang dikembangkan Xin-She
Yang (2008), dimana suatu pixel akan tertarik menjadi kelas piksel yang intensitasnya
paling cerah di sekitarnya. Sementara klasifikasi terbimbing berbasis densitas terbagi
menjadi 2 jenis, yaitu parametrik dan nonparametrik.
Metode terbimbing parametrik terdiri atas beberapa jenis di antara yang sering
dipergunakan adalah:
1. Decision Tree, yaitu klasifikasi dengan mengunakan aturan keputusan denah
pohon untuk mengklasifikasikan data multispektral. Dimana suatu nilai piksel
akan diputuskan menjadi suatu kelas tertentu berdasarkan nilai keputusan
pada setiap simpul cabang atau ranting atau masih perlu dilihat lebih lanjut
pada keputusan simpul cabang atau ranting berikutnya untuk menjadi kelas
yang lain.

18
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

2. Minimum Distance, dimana klasifikasi yang mendasarkan pada jarak minimum


menggunakan nilai rata-rata dan menghitung jarak dari setiap piksel yang
diketahui melalui nilai rata-rata untuk masing-masing kelas. Suatu piksel
akan ditentukan menjadi suatu kelas berdasarkan jarak minimumnya, dimana
kriteria minimum juga bisa diberikan, tetapi kemungkinan suatu piksel bisa
tidak terklasifikasi ke kelas manapun jika tidak masuk dalam kriteria jarak
minimum seluruh yang ditentukan tersebut.
3. Mahalanobis Distance,  yaitu klasifikasi yang mendasarkan jarak suatu kelas
yang dihitung secara statistik dari rata-rata nilai dan varian co-varian matriks
untuk masing-masing kelas dengan asumsi co-varian semua kelas adalah
sama. Kriteria jarak juga bisa jadi opsi ditentukan sebagaimana pada minimum
distance.
4. Maximum Likehood adalah metode klasifikasi yang mendasarkan peluang
kejadian suatu kelas dengan asumsi statistik untuk setiap kelas di masing-
masing band yang terdistribusi secara normal. Menggunakan training data
peluang kejadian setiap piksel milik kelas tertentu dihitung, dan ambang
peluang kejadian jika ditetapkan akan memungkinkan suatu piksel tidak
terklasifikasi jika peluang kejadiannya lebih kecil dari ambang batas yang
ditentukan.
Metode terbimbing nonparametrik juga ada beberapa jenis, yang sering
dipergunakan adalah:
1. Neural network atau jaringan saraf tiruan adalah metode klasifikasi digital yang
mendasarkan pada jaringan dari sekelompok unit pemroses kecil berlapis-
lapis yang dimodelkan berdasarkan sistem saraf manusia.
2. Nearest neighbour adalah sebuah metode klasifikasi nonparametrik untuk
melakukan pengkelasan terhadap objek berdasarkan data pembelajaran atau
training data yang jaraknya paling dekat dengan objek tersebut.
Lebih lanjut perihal klasifikasi terbimbing yang sering digunakan untuk klasifikasi
penutup penggunaan lahan atau objek lahan dari data penginderaan jauh dijelaskan
pada Bab III.
Klasifikasi secara digital yang merupakan cara paling umum dalam ekstraksi
informasi penutup penggunaan lahan dengan citra penginderaan jauh, dimana
sistemnya seperti dijelaskan pada Gambar 2-11 berikut, dari pengukuran suatu objek
permukaan bumi dapat diperoleh suatu kumpulan nilai-nilai hasil pengukuran X.
Kemudian dengan masukan hasil pengukuran X dan mempergunakan data referensi
dari lapangan dapat diperoleh Y yang merupakan fungsi f(x), dimana f(x) ini merupakan
nilai ciri kelas penutup penggunaan lahan pada data penginderaan jauh. Selanjutnya
dengan mempergunakan nilai ciri Y yang tersimpan tersebut pengklasifikasi (classifier)
melakukan klasifikasi untuk setiap nilai pengukuran X yang lain.

19
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Data referensi yang dipergunakan untuk mendapatkan fungsi ciri kelas penutup
penggunaan lahan sering disebut training data atau data latih. Training data dibuat
melalui berbagai macam cara. Pertama melalui interpretasi pada citra penginderaan
jauh dengan bantuan informasi hasil survei lapangan, foto udara, atau citra satelit
yang resolusi spasialnya lebih tinggi. Kedua, training data juga dapat merupakan
hasil digitasi dari data lapangan dan/ atau dari citra penginderaan jauh yang resolusi
spasialnya lebih tinggi sehingga objek kelas penutup penggunaan lahan dapat terlihat
jelas. Pada pembuatannya, untuk mengetahui kualitas training data, dilakukan
pengukuran statistik tiap kelas terhadap data penginderaan jauh yang dipergunakan
dalam klasifikasi. Pada Gambar 2-12 ditunjukkan contoh training data sederhana dan
perhitungan ciri statistiknya dari 3 band Landsat TM untuk 3 kelas penggunaan lahan.

Gambar 2-11 Sistem klasifikasi data digital

20
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

Kelas Band Min Max Mean Stdev


Air TM7 0 138 27,0 39,8
(sian) TM4 48 255 188,1 81,2
TM2 29 255 164,5 101,8
Rumput TM7 62 255 172,9 90,1
(kuning) TM4 156 255 230,6 29,1
TM2 0 50 17,0 19,0
Apron TM7 119 255 216,2 47,3
(merah) TM4 0 192 64,6 74,0
TM2 0 184 53,5 64,7

Gambar 2-12 Contoh training data dan statistik ciri kelas pada 3 band
Landsat TM
Keterpisahan antar kelas pada training data biasanya diukur dengan jarak Jeffries-
Matusita yang nilainya berkisar antara 0 hingga 2, dimana nilainya mendekati 2 artinya
keterpisahan antar dua kelas makin baik. Jarak Jeffries-Matusita antara kelas x dan y
(Jxy) bisa dihitung sebagai berikut (Richards and Jia 2006):

Jxy=2(1 – exp(–B))

dimana B adalah jarak Bhattacharyya yang dihitung:

∑x + ∑y
∑x + ∑y -1
2
B = 1 (x–y)t (x–y) + 1 ln
8 2 2 ∑x
1
2 ∑y
1
2

Dimana x dan y adalah nilai rata kelas x dan y, sedang Ʃx dan Ʃy adalah co-varian
matrik kelas x dan y.
Pada klasifikasi penutup penggunaan lahan secara digital dengan data satelit
penginderaan jauh, pengklasifikasi melakukan pengkelasan selain berdasarkan
informasi spektral melalui ciri statistik nilai piksel pada tiap band, juga dapat
dilakukan berdasarkan informasi spasial atau keruangan, yaitu dengan melihat piksel
tetangganya, atau berdasarkan informasi temporal, yaitu dengan melihat piksel dari
citra sebelum dan/atau sesudahnya, atau penggabungan dari berbagai informasi
tersebut.

21
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Metode klasifikasi dengan data penginderaan jauh sebagaimana dijelaskan


sebelumnya secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu tak terbimbing (unsupervised
classification) dan terbimbing (supervised classification). Adapun contoh metode
klasifikasi terbimbing yang populer di antarnya metode maximum likelihood. Selain
klasifikasi parametrik maximum likelihood, metode nonparametrik terbimbing
yang populer adalah klasifikasi menggunakan metode neural network, yaitu back
propagation neural network.
Neural network merupakan simulasi perangkat lunak atau disebut juga
neurocomputer yang menggambarkan sistem kerja jaringan antar node syaraf
(neuron) dalam arti biologi (Takagi dan Shimoda 1991). IImu tentang neural network
sebetulnya sudah memiliki sejarah yang lama, dimana ide pertama dikemukakan
pada tahun 1890 oleh seorang ahli psikologi William James (1990) dan pemodelan
neuronnya secara matematik dikemukakan pada tahun 1943 oleh McCulloch dan Pitts
(1990). Pada akhir dekade ini, metode neural network untuk klasifikasi pola pada data
satelit penginderaan jauh telah banyak dikaji. Dari beberapa tulisan hasil penelitian
ditunjukkan bahwa hasil klasifikasi dengan metode neural network yang merupakan
metode klasifikasi nonparametrik dapat memberikan keakuratan hasil klasifikasi
yang lebih tinggi dibanding dengan metode klasifikasi konvensional secara statistik
(Benediktsson et al. 1990; Hepner et al. 1990; Kushardono et al. 1994; Kushardono et
al. 1995a; Kushardono 1997a).
Dalam klasifikasi penutup lahan dari data penginderaan jauh dengan
neural network, back propagation neural network yang dikembangkan
oleh Rumelhard et al. di tahun 1986 merupakan metode klasifikasi
dengan neural network yang banyak digunakan (Rumelhard et al. 1990).
Back propagation neural network yang merupakan metode klasifikasi terbimbing
(supervised classification method) masih memiliki sedikit kekurangan, yaitu lamanya
waktu untuk pengajaran atau learning time (Hermann and Khazenie 1992). Akan
tetapi waktu pengajaran dapat dipercepat dengan keakuratan hasil klasifikasi yang
tinggi melalui penggunaan parameter training dan topologi neural network yang
optimum (de Villiers dan Barnard 1992; Dreyer 1993; Hepner et al. 1990; Kushardono
et al. 1995b). Selain itu, waktu proses pengajaran yang cepat juga dapat diperoleh
selain penggunaan komputer berkecepatan tinggi, juga penggunaan informasi ciri pola
pada data penginderaan jauh yang baik seperti penggunaan informasi multitemporal
(Kamata dan Kawaguchi 1993; Kushardono et al. 1995c), penggunaan informasi
tekstur data radar (Kushardono et al. 1996; Sambodo et al. 2007), informasi data
multisensor (Kanellopoulos et al. 1994; Kushardono et al. 1995d; Kushardono 1997b),
atau penggunaan informasi spasial (Kushardono et al. 1996).

22
BAB II
Pengantar Klasifikasi Digital

2.3 Pengukuran Akurasi Hasil Klasifikasi


Dalam menguji metode dan model pengolahan dalam klasifikasi, diperlukan uji
akurasi terhadap hasil klasifikasi. Kualitas hasil klasifikasi penutup penggunaan lahan
dari data penginderaan jauh diukur dengan referensi test data yang merupakan
sebagian informasi citra di dalam area citra target klasifikasi. Test data dibuat melalui
digitasi citra berdasarkan referensi dari informasi survei lapangan dan/atau dari
interpretasi menggunakan data penginderaan jauh yang resolusi spasialnya lebih
tinggi, dimana jenis kelas penutup penggunaan lahan pada test data sama dengan
kelas target klasifikasi. Pembuatan test data mirip dengan pembuatan training data
tetapi areanya lebih luas, dan dengan persyaratan area yang digunakan test data tidak
boleh sama dengan area training data.
Akurasi hasil klasifikasi diukur dengan menggunakan metode confusion matrix
atau dikenal juga dengan error matrix atau matching matrix, yaitu merupakan tabel
perbandingan kelas-kelas aktual dari test data dengan kelas-kelas hasil klasifikasi.
Melalui metode confusion matrix dapat diperoleh indikator-indikator akurasi dan
kesalahan pada hasil klasifikasi. Pada Tabel 2-3 digambarkan pengukuran akurasi
hasil klasifikasi dengan confusion matrix untuk contoh 2 kelas A dan B dengan hasil
klasifikasi a dan b.
Tabel 2-3 Perhitungan akurasi hasil klasifikasi dengan confusion matrix

Kelas Training Data


Kelas Hasil A B jumlah
Klasifikasi a aA aB
∑a
b bA bB
∑b
jumlah
∑A ∑B N= ∑A + ∑B

Ukuran akurasi hasil klasifikasi yang sering dijadikan indikator adalah akurasi
keseluruhan (overall accuracy) yang untuk contoh Tabel 2-3 dapat dihitung dengan

overall = (aA+bB)/N

Selain mengukur akurasi keseluruhan, juga bisa dihitung kesalahan dalam


klasifikasi yang diukur untuk tiap kelas dengan kesalahan Komisi (commission error)
dan kesalahan yang mestinya masuk kelas tertentu atau kesalahan omisi (omission
error). Sebagai misal kesalahan pada kelas A diukur dengan

23
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

commission = bA/ ∑A

ommission = aB/ ∑a

Kesalahan komisi juga bisa menjadi indikator akurasi produser kelas tertentu yang
dihitung dengan

produser = 1 – commission

atau sama dengan

produser = aA/ ∑A

untuk contoh kelas A.


Sementara kesalahan komisi bisa menjadi indikator akurasi user kelas tertentu,
dihitung dengan

user = 1 – omisson

atau sama dengan

user = aA/ ∑ a

untuk contoh kelas A.


Indikator lain untuk mengukur akurasi hasil klasifikasi adalah dengan koefisien
kappa, yang merupakan perbandingan nilai akurasi keseluruhan dengan akurasi yang
diharapkan (expected accuracy). Nilai koefisien kappa adalah berkisar 0,1 hingga 1,0;
dimana nilainya makin mendekati 1 artinya kelas hasil klasifikasi dengan kelas test
data semakin identik atau semakin akurat klasifikasinya. Perhitungan koefiesien kappa
adalah

kappa = (overall – expected)/(1 – expected)

dimana perhitungan akurasi yang diharapkan untuk confusion matrix Tabel 1-3 adalah
∑a x ∑A ∑b x ∑B
+
kappa = N N
N

24
BAB III
METODE KLASIFIKASI DIGITAL
TERBIMBING

3.1 Metode Klasifikasi Nearest Neighbor


Metode klasifikasi nearest neighbor atau sering disebut klasifikasi metode
ketetanggaan merupakan salah satu metode klasifikasi nonparametrik yang paling
sederhana. Nearest neighbor adalah sebuah metode klasifikasi terbimbing berdasarkan
pembelajaran dengan bantuan training data. Dimana dari variabel yang ada pada
training data dalam hal penginderaan jauh bisa berupa statistik nilai digital band data.
Dari situ dapat diperoleh jarak antar kelas penutup penggunaan lahan. Pada Gambar
3-1 dijelaskan contoh jarak (distance) antar 3 kelas pada ruang 2 variabel band data
penginderaan jauh. Setelah diperoleh jarak antar kelas, sebuah piksel akan diklasifikasi
menjadi kelas yang jaraknya paling dekat dalam ruang variabel. Jika menggunakan nilai
spektral data satelit multispektral, maka ruang variabel berdimensi sejumlah band
data yang menjadi masukan dalam klasifikasi.

Gambar 3-1 Jarak (distance) antar kelas pada ruang dimensi 2 band
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Pada metode nearest neighbor, dekat atau jauh tetangga biasanya dihitung
berdasarkan Euclidean distance. Dimana Euclidean distance dijabarkan sebagai berikut
(Richards and Jia 2006):

d(p,q) = d(q,p) =

∑ n
i=1
(pi–qi)2

dimana d(p,q) adalah jarah antara kelas p dengan q atau sebaliknya, p=(p1, p2, p3 . . . pn)
dan q=(q1, q2, q3 . . . qn) pada ruang berdimensi n.

3.2 Metode Klasifikasi Maximum Likelihood


Dalam klasifikasi penutup penggunaan lahan dengan data penginderaan jauh,
maximum Likelihood adalah metode klasifikasi parametrik yang paling populer.
Maximum Likelihood sebenarnya sudah cukup lama dipopulerkan oleh Ronald
Fisher antara tahun 1912 dan 1922, dan merupakan bagian dari statistik Bayesian.
Pada klasifikasi digital menggunakan data penginderaan jauh, maximum likelihood
sebagai klasifikasi terbimbing membutuhkan training data untuk mendapatkan
parameter jumlah kelas, menghitung fungsi sebaran dan menentukan peluang kejadian
suatu kelas yang digunakan untuk memutuskan suatu kelas. Dari training data dapat
diperoleh peluang kejadian tiap kelas penutup lahan sebagaimana yang digambarkan
pada Gambar 3-2 untuk contoh ruang 2 dimensi band x dan band y.
Dengan sebaran peluang kejadian kelas seperti pada Gambar 3-2, suatu piksel
dalam ruang dimensi 2 band tersebut akan menjadi kelas tertentu yang peluang
kejadiannya paling besar. Dalam klasifikasi maximum Likelihood, piksel X akan menjadi
kelas k jika

Lk(X) = max {L1(X), L2(X), L3(X), …, LK(X)}

dimana Lk(X) adalah nilai probabilitas posterior (peluang kejadian terbesar) kelas k
yang dihitung dengan (Takagi dan Shimoda 1991):
1 exp {–1/2 d k }
2
Lk(X) =
(2 π) n/2
|Ck| 1/2

adapun Ck adalah co-varian matriks tiap kelas k yang dihitung dari training data
dan d k adalah mahalanobis distance yang merupakan jarak antar kelas dan ukuran
2

keterpisahan, dihitung sebagai berikut

d 2k = (X – X)t Ck-1(X – X)

26
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing

dimana (X – X)t adalah vektor transpose dengan X adalah vektor suatu piksel dan X
adalah vektor rata-rata untuk kelas k.

Gambar 3-2 Peluang kejadian suatu kelas dalam klasifikasi maximum


likelihood
Prosedur umum pada klasifikasi maximum likelihood sebagai berikut:
1. Jumlah kelas penutup penggunaan lahan pada citra satelit di dalam wilayah
studi ditentukan.
2. Piksel training data ditentukan untuk tiap kelas penutup penggunaan lahan
pada citra penginderaan jauh. Untuk tujuan ini dapat digunakan untuk
mengukur keterpisahan kelas dari training data yang dipilih.
3. Training data digunakan untuk memperkirakan mean vektor dan co-varian
matriks tiap kelas.
4. Suatu piksel diputuskan menjadi salah satu kelas penutup penggunaan lahan
tertentu didasarkan fungsi diskriminannya yang lebih besar daripada kelas
lain, dimana perhitungannya sebagaimana dijelaskan di atas.

27
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Dalam implementasinya, metode maximum likelihood bisa berpotensi salah dalam


klasifikasi ke suatu kelas penutup penggunaan lahan. Misal dalam klasifikasi terdapat
kelas hutan yang diambil dalam training data, piksel hutan memang tidak akan salah
menjadi kelas hutan, tetapi karena kemiripan ke kelas hutan lebih besar dibanding
ke kelas lain, maka ada kemungkinan piksel bukan kelas hutan akan menjadi kelas
hutan. Untuk mengatasi hal semacam ini perlu dilakukan pengambilan training data
untuk masing-masing kelas dengan jumlah yang sama agar sebarannya normal, selain
juga memperhatikan keterpisahan antarkelas yang baik. Keterpisahan antarkelas akan
dinilai sangat baik jika nilainya lebih dari 1,9; dinilai moderat jika nilainya antara 1,0
hingga 1,9; dan sangat buruk jika nilainya kurang dari 1,0 (Ahmad 2012).

3.3 Metode Klasifikasi Back Propagation Neural


Networks
Klasifikasi neural network (jaringan saraf) adalah salah satu klasifikasi nonparametrik
terbimbing, dimana hasil klasifikasi ditentukan berdasarkan keluaran neuron yang
nilainya paling dominan dari sistem neural network yang sudah memperoleh
pembelajaran berdasarkan training data yang sudah dimasukkan sebelumnya. Salah
satu sistem klasifikasi neural network yang populer adalah back propagation neural
network.
Back propagation neural network adalah jenis neural network yang
berlapis-Iapis atau multilayers seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3-3, terdiri atas
beberapa lapis kumpulan neuron, yaitu lapis masukan (input layer), lapis tengah
(hidden layer), dan lapis keluaran (output layer), dimana lapis tengah bisa lebih dari
satu lapis. Back propagation neural network ini dikembangkan oleh Rumelhard
et al. (1986) merupakan metode klasifikasi terbimbing.

28
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing

Gambar 3-3 Model back propagation neural network


Jumlah neuron pada lapis masukan sama dengan dimensi data tiap piksel yang
dikelaskan. Jadi jika klasifikasi didasarkan pada nilai digital band data penginderaan
jauh, maka jumlah neuron pada lapis masukan sama dengan jumlah band data yang
dipakai sebagai masukan dalam klasifikasi. Sementara pada lapis keluaran jumlah
neuron adalah sama dengan jumlah kelas. Jumlah neuron pada lapis tengah ditentukan
bebas untuk menyeimbangkan jumlah neuron pada lapis masukan dan keluaran.
Tiap lapis terdiri atas beberapa neuron (node saraf) yang modelnya seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 3-4, dan pengolahan tiap neuron p pada setiap lapis yang
menghasilkan keluaran sinyal sebesar Op, dihitung dengan persamaan F(x), dimana
keluarannya ditentukan berdasarkan fungsi F berikut dari jumlah seluruh nilai sinyal
yang masuk dikalikan faktor pengali dan ditambah faktor penambah.

Op= F {[∑ i=1 (Wip x Oi)]+Lp}


I

dimana Lp adalah faktor penambah untuk tiap neuron p (neuron offset) (p=1 ,2,3, ...
,P), Wip adalah faktor pengali untuk neuron p (neuron gain) terhadap sinyal masukan
neuron i (i=1 ,2,3, ...,I) yang merupakan neuron pada lapis sebelumnya, dan Oi adalah
nilai sinyal dari neuron i yang masuk.

29
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 3-4 Model sebuah neuron dalam neural network


Besarnya faktor pengali Wip dan penambah Lp pada back propagation neural
network ini ditentukan berdasarkan metode pengajaran dengan nilai awal ditentukan
secara acak, dan perubahan nilai setiap waktu t+1 proses pengajaran atau disebut
iterasi pembelajaran yang besarnya ∆Wip(t+1) dan ∆Lp(t+1) ditentukan seperti pada
persamaan berikut

∆Wip(t + 1) = (η x Ecp x Ocp) + (α x ∆Wip(t))


∆Lp(t + 1) = (η x Ecp) + (α x ∆Lp(t))

dimana η dan α adalah learning rate dan momentum rate yang merupakan nilai
konstanta yang besarnya berkisar 0,0 hingga 1,0; Ecp adalah besar kesalahan
pengajaran sebelumnya yang dihitung dengan persamaan di bawah untuk data latih
c (c=1,2,3, ... ,C); dan Ocp adalah besar sinyal keluaran dari neuron p tersebut untuk
data latih c.
Adapun konstanta learning rate η dan momentum rate α sebagaimana hasil
penelitian klasifikasi neural network terhadap data Landsat TM dan SPOT memberikan
pengaruh terhadap kecepatan pembelajaran seperti Gambar 3-5. Dimana untuk
mencapai jumlah total kesalahan pengajaran Back Propagation Neural Network
kurang dari nilai 0,1 dibutuhkan jumlah iterasi pembelajaran neural network yang
berbeda-beda untuk setiap pasangan konstanta η dan α. Tampak konstanta η tinggi
yaitu 0,9 dan α rendah yaitu 0,1 memiliki jumlah iterasi pembelajaran yang paling
sedikit (Kushardono 1996b).

30
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing

(a) Landsat TM (b) SPOT


Gambar 3-5 Pengaruh konstanta η dan α terhadap kecepatan
pembelajaran pada Back Propagation Neural Networks.
Besar kesalahan pengajaran pada neuron p sebesar Ecp pada persamaan di atas
untuk lapis keluaran (lapis terakhir) adalah dihitung sebagai berikut

Ecp = (Tcp - Ocp) x Ocp x (1- Ocp)

dimana Tcp adalah sinyal guru (learning signal), yaitu suatu keluaran bernilai 1,0 jika
benar untuk data latih c pada neuron p dan Ocp adalah sinyal keluaran neuron p pada
lapis keluaran. Sementara Ecp untuk lapis tengah dihitung sebagai berikut
K
Ecp = Ocp x (1 – Ocp) x ∑ (Eck – Wpk)
k =1

dimana Ocp adalah sinyal keluaran neuron p pada lapis tengah, Eck adalah besar
kesalahan untuk data latih c pada neuron k (k=1 ,2,3, ... ,K) dari lapis belakangnya
(lapis terakhir jika neural network terdiri dari tiga lapis), dan Wpk adalah faktor
pengali untuk hubungan antara neuron p pada lapis tengah dengan neuron k pada
lapis belakangnya.
Fungsi F(x) sebagaimana ditunjukkan Gambar 3-6 pada back propagation neural
network ada 2 macam, yakni fungsi sigmoid dan fungsi biner (step). Akan tetapi yang
umum dipergunakan adalah fungsi sigmoid. Adapun formula F(x) seperti berikut
fungsi sigmoid:

F(x) = 1
1 – e –x

31
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

fungsi biner:
1 jika x > 0
F(x) =
0 jika x < 0

(a) Fungsi sigmoid (b) Fungsi biner


Gambar 3-6 Fungsi nonlinier aktifasi pada sebuah neuron

3.4 Metode Klasifikasi Fuzzy Neural Network


Salah satu kelemahan back propagation neural network dalam klasifikasi terbimbing
adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk pembelajaran mempergunakan training
data, fuzzy neural network menawarkan pembelajaran yang cepat dalam klasifikasi
terbimbing. Fuzzy neural network untuk klasifikasi penutup lahan dari data satelit
penginderaan jauh dikembangkan oleh Kushardono (1997) dari penelitian Kwan dan
Cai (1994) untuk teknik pengenalan huruf secara digital.
Fuzzy neural network untuk klasifikasi memang belum begitu populer dan belum
tersedia pada perangkat lunak pengolahan data penginderaan jauh, tetapi saat ini
Fuzzy neural network sudah dapat dimodelkan untuk klasifikasi dengan menggunakan
MATLAP (Zhilin et al. 2008). Pengembangannya untuk klasifikasi penutup lahan dengan
data penginderaan jauh juga sudah dilakukan, diantaranya seperti dilakukan Ghosh
et al. (2009) mempergunakan fuzzy neural network untuk klasifikasi penutup lahan
dengan menggunakan data IRS-1A (satelit sumberdaya alam milik India) dan data
SPOT, dimana diperoleh hasil bahwa klasifikasi menggunakan fuzzy neural network
lebih baik dibanding metode klasifikasi konvensional.
Fuzzy neural network merupakan neural network berlapis lapis seperti halnya back
propagation neural network, tetapi sedikit yang membedakannya adalah pada fuzzy
neural network memiliki arsitektur model 3 lapis (layer), yaitu lapis masukan, lapis
tengah dan lapis keluaran, dimana masing masing bernama fuzzy input layer, fuzzy

32
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing

maximum layer dan fuzzy minimum layer, seperti yang diperlihatkan pada Gambar
3-7. Ketiga lapis fuzzy neural network tersebut memiliki metode pengolahan dimana
masing-masingnya berbeda seperti yang akan diterangkan di bawah. Selain itu, lapis
masukan dan lapis tengah berdimensi dua dan memiliki ukuran yang sama (I,J neuron),
sedang pada lapisan keluaran berdimensi satu jumlah neuronnya sama dengan jumlah
kelas yang diklasifikasi.

Gambar 3-7 Arsitekstur fuzzy neural network


 Fuzzy input layer berfungsi sebagai lapisan masukan seperti halnya pada back
propagation neural network. Akan tetapi tiap neuron memiliki nilai sinyal keluaran
yang dihitung seperti pada persamaan berikut
Xij
Oij =
Xmax

33
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

dimana Xij adalah nilai sinyal masukan ke neuron i,j (i=1 ,2,3, ... ,I; j=1 ,2,3, ... ,J)
yang berdimensi dua dan berukuran IxJ. Xmax adalah nilai sinyal Xij yang maksimum
sehingga akan diperoleh keluaran untuk neuron i,j sebesar Oij, yang memiliki kisaran
nilai dari 0,0 hingga 1,0.
Fuzzy maximum layer merupakan lapisan tengah yang memiliki pengolahan nilai
sinyal yang menghasilkan Opqm seperti di bawah, dimana nilainya dihitung untuk setiap
neuron p,q (p=1,2,3, ... ,P; q=1,2,3, ... ,Q) terhadap neuron m (m=1,2,3, .. ,M) yang
merupakan neuron pada fuzzy minimum layer.
Penentuan nilai Opqm berdasarkan fungsi F dari nilai maksimum perkalian antara
nilai sinyal yang masuk dengan faktor pengali dan penambah. Pengolahan pada lapis
tengah ini berbeda dengan yang ada pada back propagation neural network yang
keluaran setiap neuron tersebut dihitung tanpa memperhatikan hubungannya dengan
neuron pada lapis berikutnya, dan pengolahan dilakukan dengan pengambilan nilai
maksimum.
Opqm = F {max [max (Wp-i,q-j x Oij)] – Lpqm
i j

dimana, Lpqm nilainya ditentukan berdasarkan pengajaran seperti self organizing


learning yang akan dijelaskan dibawah, Oij adalah masukan sinyal yang merupakan
keluaran sinyal dari fuzzy input layer dan faktor pengali Wp-i,q-j ditentukan dengan fungsi
kefuzzian (fuzzification function) pada persamaan di bawah berdasarkan posisi neuron
p,q pada fuzzy maximum layer dan neuron i,j pada fuzzy input layer yang berhubungan,
dimana jumlah neuron pada kedua lapis adalah sama (P×Q=l×J).

Wp-i,q-j = e {β [(p – i) + (q – j)2]}


2 2

adapun β adalah nilai konstan yang mengatur luas cakupan dari neuron yang saling
berhubungan, yakni neuron p,q dan neuron i,j, sebagai misal lihat Gambar 3-8 di bawah.
Konstanta β pada fungsi kefuzzian ini dapat menentukan akurasi hasil klasifikasi, dari
penelitian Kushardono (1997a) menggunakan data Landsat TM dan SPOT-3 diketahui
bahwa semakin besar dimensi data penginderaan jauh yang menjadi masukan
dibutuhkan nilai β yang semakin kecil. Dimana semakin besar dimensi data masukan
dibutuhkan semakin banyak neuron pada lapis masukan dan lapis tengah, sedangkan
itu faktor pengali Wp-i,q-j yang menentukan hubungan antara neuron-neuron pada lapis
masukan dan keluaran tersebut keeratannya ditentukan oleh nilai β. Oleh karena itu,
nilai β yang optimum sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang baik.

34
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing

Gambar 3-8 Contoh nilai faktor pengali Wp-i,q-j dari fungsi kefuzzian
untuk β = 0.1
Fungsi F ditentukan seperti pada persamaan berikut yang merupakan fungsi
keanggotaan yang lebar cakupan keanggotaannya ditentukan berdasarkan konstanta
α. Penelitian Kushardono (1997a) konstanta α yang menentukan lebar fungsi
keanggotaan, nilainya menentukan suatu piksel akan diklasifikasi menjadi kelas
tertentu atau tidak terkelaskan, dimana jika nilainya kurang dari 3 akan terjadi piksel
yang tidak terklasifikasi.
u α
1–2 α
jika 2
>u>0
F(u) =
0 untuk nilai lain

Pengolahan pada tiap neuron pada fuzzy minimum layer, yaitu layer terakhir dari
fuzzy neural network adalah seperti pada persamaan di bawah

Om = min min(Opqm)
p q

dimana keluaran sinyal Om untuk setiap neuron m (m=1,2,3, ... ,M) dan M adalah jumlah
neuron yang juga merupakan jumlah kelas yang besarnya ditentukan berdasarkan self
organizing learning) ditentukan berdasarkan harga minimum hasil keluaran sinyal
fuzzy maximum layer sebesar Opqm.

35
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Self organizing learning yang dipergunakan untuk menentukan faktor penambah


Lpqm dan jumlah M kelas yang akan dihasilkan oleh fuzzy neural network adalah
seperti yang diterangkan pada Gambar 3-9. Masukan sistem pembelajaran ini berupa
sejumlah K data latih dari sejumlah kelas training data dan sebuah konstanta T yang
merupakan ukuran ketidakmiripan anggota kelas. Adapun cara pengolahan pada
sistem pembelajaran dengan Self organizing learning tahapannya sebagai berikut:
a. pertama, dengan memasukan data latih k (k=1,2,3, .. ,K) dilakukan perhitungan
Lpqm dengan persamaan di bawah

Lpqm = max max(Wp-i,q-j x Oij)


i j

dimana Wp-i,q-j adalah faktor pengali yang menghubungkan neuron p,q pada
fuzzy maximum layer dan neuron i,j pada fuzzy input layer yang memiliki nilai
keluaran sinyal sebesar Oij.
b. kemudian dengan memasukan data latih k+1 dilakukan perhitungan derajat
kemiripan kelas σ dengan persamaan di bawah
σ = max (Om)
m

dimana Om adalah keluaran sinyal untuk neuron m (yang merupakan juga


keluaran nilai untuk kelas ke-rn) pada fuzzy minimum layer.
c. Dengan derajat kemiripan kelas σ yang diperoleh, dilakukan pengujian dengan
konstanta T yang merupakan derajat ketidakmiripan anggota kelas, dan jika
data latih k+1 tidak mirip dengan data latih k yang ditunjukkan dengan nilai
σ lebih besar dari T, maka jumlah M kelas bertambah menjadi m+1 kelas dan
dilakukan perhitungan Lpqm yang lain untuk kelas ke m+1.
d. jika data latih k+1 mirip dengan data latih k yang ditunjukkan dengan nilai
σ lebih kecil atau sama dengan T, maka dilakukan pemasukan data latih
berikutnya untuk menghitung nilai σ dan diuji lagi dengan T hingga sejumlah
K data latih. Nilai T berkisar antara 0,0 hingga 1,0, dimana dari penelitian
Kushardono (1997) nilai T mendekati 1,0 jumlah kelas yang dihasilkan semakin
sedikit dibanding jumlah kelas pada training data sehingga perlu dicari nilai T
yang tepat agar seluruh kelas pada training data dapat dihasilkan.

36
BAB III
Metode Klasifikasi Digital Terbimbing

Gambar 3-9 Algoritma self organizing learning


Penelitian Kushardono (1997) mendapatkan bahwa pada klasifikasi penutup
penggunaan lahan menggunakan data Landsat TM dan SPOT-3 untuk 12 kelas, akurasi
rata-rata hasil klasifikasi menggunakan metode fuzzy neural network adalah 75% dan
66% lebih rendah 4% dan 6% dibanding menggunakan metode back propagation
neural network, tetapi masih lebih tinggi 14% dibanding metode maximum likelihood
dengan catatan jumlah training data yang dipergunakan untuk ketiga pengklasifikasi
tersebut sama. Akan tetapi waktu yang dibutuhkan untuk pembelajaran menggunakan
training data, dan klasifikasinya, metode fuzzy neural network jauh lebih cepat 5 menit
dibanding metode back propagation neural network, pada kasus lain dengan dimensi
data masukan yang sangat besar untuk klasifikasi, metode fuzzy neural network
bisa 30 kali lebih cepat dibanding metode back propagation neural network yang
membutuhkan waktu untuk pembelajaran hingga 3 jam 45 menit.

37
BAB IV
MODEL PENGOLAHAN
KLASIFIKASI DIGITAL

4.1 Klasifikasi Berbasis Informasi Spektral


Model klasifikasi digital penutup lahan secara umum dapat dijelaskan pada Gambar
4-1, dimana dari data penginderaan jauh dalam hal ini data satelit penginderaan
jauh dilakukan ekstraksi informasi, kemudian diklasifikasi berdasarkan ciri kelas yang
acuannya diperoleh dari training data. Pada klasifikasi digital penutup lahan berbasis
informasi spektral dari data penginderaan jauh adalah klasifikasi dengan menggunakan
nilai piksel atau nilai digital dari setiap band data penginderaan jauh. Adapun metode
klasifikasi yang dapat dipergunakan dalam klasifikasi berbasis informasi spektral
adalah bisa pengklasifikasi parametrik seperti maximum likelihood atau pengklasifikasi
nonparametrik menggunakan neural network sebagaimana yang sudah dijelaskan
pada bab sebelumnya. Keputusan dalam pemilihan pengklasfikasi adalah berdasarkan
besarnya informasi yang dipergunakan sebagai masukan dalam klasifikasi.

Gambar 4-1 Model Klasifikasi digital penutup lahan


Klasifikasi dengan informasi spektral ini biasa dipergunakan pada data satelit
multispektral seperti pada data satelit Landsat TM atau OLI, SPOT HRV, dan satelit
hiperspektral EO-1 Hiperion untuk klasifikasi penutup lahan skala menengah hingga
satelit lingkungan dan cuaca Terra dan Aqua MODIS, serta Himawari untuk klasifikasi
penutup lahan skala rendah atau klasifikasi jenis awan. Dimana pada klasifikasi
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

berbasis informasi spektral, kelas penutup penggunaan lahan ditentukan berdasarkan


karakteristik spektral yang dipresentasikan dalam bentuk nilai piksel pada tiap band
yang mengindera objek pada panjang gelombang tertentu.
Penelitian Kushardono (1997b dan 2016) pada klasifikasi berbasis informasi spektral
telah diketahui akurasi hasil klasifikasi dengan neural network lebih tinggi dibanding
klasifikasi parametrik dengan maximum likelihood, walaupun pengolahan data dengan
neural network membutuhkan waktu yang banyak dalam proses pembelajaran dengan
training datanya. Salah satu contoh klasifikasi penutup lahan berbasis informasi spektral
adalah klasifikasi dengan mempergunakan data hiperspektral yang modelnya seperti
pada Gambar 4-2 dengan mempergunakan pengklasifikasi neural networks. Dimana
tiap nilai piksel pada citra hiperspektral dimasukkan ke tiap neuron pada neural network
untuk diklasifikasi menjadi sejumlah kelas penutup lahan sesuai training datanya.
Sementara hasil klasifikasi diperoleh setelah neural network melakukan pembelajaran
berdasarkan training data-nya dan kelas terpilih ditentukan berdasarkan luaran skor
terbesar dari tiap luaran neuron pada lapis keluaran.

Gambar 4-2 Model klasifikasi penutup lahan dengan neural networks


berbasis informasi spektral
Pada implementasi model klasifikasi penutup lahan berbasis informasi spektral
pada Gambar 4-2, Data Satelit EO-1 Hyperion yang memiliki data 242 band pada
panjang gelombang cahaya tampak hingga termal (356nm hingga 2.568nm), 16 bits
data, dan resolusi spasial 30m. Dari data hiperspektral yang memiliki luas cakupan 7.5
km × 100 km di daerah Jawa Tengah pada Gambar 4-3 (a), untuk mengetahui jumlah
informasi spektral yang optimum untuk klasifikasi penutup lahan dengan 18 kelas,
telah diuji coba dengan masukan seluruh band dan sebagian band data hiperspektral.
Pada Gambar 4-3 (b) ditunjukkan hasil klasifikasinya dengan memasukkan seluruh
band atau 242 band, dan pada Gambar 4-3 (c) ditunjukkan hasil klasifikasi dengan 50

40
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

band terpilih pada panjang gelombang cahaya tampak hingga inframerah, dimana
akurasi hasil klasifikasi rata-rata 18 kelas diperoleh cukup tinggi yakni 98% dan 96%
(Kushardono 2016).
Pada percobaan klasifikasi menggunakan data hiperspektral dengan neural
network sebagai pengklasifikasi, diperoleh hasil klasifikasi yang tidak begitu berbeda
antara penggunaan 242 band dengan 50 band. Hal ini disebabkan penggunaan 50
band pada panjang gelombang 400nm hingga 800nm sudah dapat membedakan
karakteristik spektral dengan baik untuk tiap kelas penutup lahan pada training data.
Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan Gambar 4-4 hasil analisis statistik histogram
nilai rataan 18 kelas penutup lahan pada training terhadap band panjang gelombang,
dimana tampak tiap kelas penutup lahan polanya dapat dibedakan baik pada 50 band
maupun pada seluruh band.

Gambar 4-3 Klasifikasi penutup lahan berbasis informasi hiperspektral,


A : data Hyperion 242 band, B : hasil klasifikasi dengan 242
band, dan C : hasil klasifkasi dengan 50 band cahaya
tampak hingga inframerah dekat

41
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 4-4 Nilai piksel rata-rata tiap kelas training data pada setiap
panjang gelombang band hiperspektral, dan jumlah
band yang dipergunakan dalam klasifikasi
Dari pengalaman klasifikasi hiperspektral dengan neural network oleh Kushardono
(2016) tersebut, diketahui penggunaan seluruh band hiperspektral selain berdampak
terhadap besarnya kebutuhan memori pengolahan karena membutuhkan jumlah
neuron yang juga lebih banyak, juga mempengaruhi lamanya proses pembelajaran
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4-5, dan dibutuhkan juga waktu proses
klasifikasi yang lebih lama. Sebagai gambaran untuk memperoleh RMS error
pembelajaran neural network hingga kurang dari 0,01 pada penggunaan 242 band
sebagai masukan proses klasifikasi dibutuhkan lebih dari 9.000 iterasi pembelajaran
dengan waktu pembelajaran 49 menit 24 detik dan 69 menit 32 detik untuk klasifikasi
pada komputer pengolahan data PC 2.7GHz memori 16GB, sedangkan penggunaan 50
band membutuhkan pembelajaran sekitar 7.000 iterasi pembelajaran dengan waktu 4
menit dan untuk klasifikasi 2 menit 19 detik.

42
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

Gambar 4-5 Pengaruh jumlah band dalam klasifikasi terhadap


kecepatan pembelajaran neural network

4.2 Klasifikasi Berbasis Informasi Spasial Tekstur


Pada klasifikasi digital penutup lahan berbasis informasi spasial tekstur,
klasifikasi dilakukan dengan mempergunakan informasi keruangan yang
berupa ciri tekstur (ciri kekasaran permukaan) yang dapat diekstrak dari tiap band
data satelit penginderaan jauh. Klasifikasi dengan informasi spasial ciri tekstur dapat
dipergunakan untuk klasifikasi dengan data radar yang informasinya berupa kekasaran
permukaan dari hambur balik yang ditangkap sensor radar, sebagaimana pada citra
satelit synthetic aperture radar (SAR) dengan polarisasi tunggal (VV atau VH) seperti
data JERS SAR dan ERS SAR, atau dengan dual-polarisasi (VV dan VH atau HH dan HV)
atau dengan full-polarisasi (VV, VH, HH dan HV) pada data Envisat-ASAR, Sentinel-1,
Radarsat dan Terra-SAR X. Pada citra penginderaan jauh optik seperti data Landsat
atau SPOT dalam rangka meningkatkan akurasi hasil klasifikasi penutup lahan juga
dapat dipergunakan klasifikasi berbasis informasi spasial dengan ciri tekstur.
Ekstraksi ciri tekstur untuk memperoleh informasi spasial yang paling populer
digunakan adalah co-occurrence matrix (matriks kehadiran bersama) yang dapat
dihitung tiap band dari data penginderaan jauh optik atau tiap polarisasi dari data
penginderaan jauh radar. Co-occurrence matrix menggambarkan hubungan antara

43
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

suatu piksel dengan piksel tetangganya. Hubungan ini ditentukan oleh besarnya sudut
qo dan jarak r dari piksel i ke piksel j tetangganya (Gambar 4-6 (a), selain itu hubungan
antarpiksel melihat piksel tetangganya juga dapat dilakukan dengan beberapa cara
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-6 (b), yaitu 2 arah dengan sebuah piksel
melihat piksel tetangga di depannya dan belakangnya, atau melihat 2 arah serong ke
atas dan serong ke bawahnya, atau melihat ke atas dan ke bawah, 4 arah dengan
sebuah piksel melihat piksel tetangga di depannya, di atasnya, serong ke atas dan
serong ke bawahnya tetapi tidak melihat sebaliknya, dan sebuah piksel melihat piksel
tetangga di 8 arah. Dari penelitian diketahui bahwa arah melihat piksel tetangganya
pada perhitungan Co-occurrence matrix memiliki pengaruh kepada akurasi hasil
klasifikasi, dimana pada klasifikasi penutup lahan dengan data radar yang memantau
objek permukaan dengan sudut tertentu diperoleh hasil klasifikasi 4 arah akurasinya
paling tinggi (Kushardono 1997).

(a) Jarak dan sudut antar piksel (b) Arah hubungan antar piksel
Gambar 4-6 Hubungan antar piksel untuk perhitungan co-occurrence
matrix
Co-occurrence matrix dihitung dari sebuah jendela bergerak (window piksel atau
subcitra) berukuran NxN piksel pada citra tiap band atau tiap polarisasi. Ukuran matrik
ditentukan oleh besarnya nilai bits data (tingkat keabuan), misalnya untuk 3 bit data
(=23=8 tingkat keabuan), maka besarnya ukuran matriknya adalah 8 x 8 elemen. Nilai
tiap elemen pada Co-occurrence matrix adalah P(i,j) yang merupakan jumlah kejadian
(yang merupakan juga peluang kejadian) nilai piksel i bertemu dengan nilai piksel j
pada subcitra berukuran N x N tersebut.
Contoh perhitungan co-occurrence matrix dijelaskan sebagai berikut, misal pada
Gambar 4-7, pada sebuah subcitra atau window piksel berukuran 5×5 piksel dengan
tingkat keabuan 2 bits atau nilai piksel 0, 1, 2 dan 3, untuk d = (0°,1) maka diperoleh

44
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

co-occurrence matrix berukuran 4x4 elemen matrik yang nilai elemennya ditentukan
dengan cara melihat satu piksel di sebelahnya, arah horisontal (kanan-kiri). Sementara
dengan d = (90°,1) maka nilai elemen matriknya ditentukan dengan cara melihat satu
piksel di sebelahnya, arah vertikal (atas-bawah). Pada co-occurrence matrix hasil
tersebut, misal nilai P(1,3) atau jumlah kejadian nilai piksel 1 bertemu dengan nilai
piksel 3 adalah 0 untuk d = (0°,1) dan 4 untuk d = (90°,1).

Nilai Piksel
Window 5x5 =(0°,1) =(90°,1)

Gambar 4-7 Contoh perhitungan informasi spasial co-occurrence


matrix
Untuk mengurangi dimensi data dalam klasifikasi, umumnya pada perhitungan co-
occurrence matrix dilakukan penurunan kuantisasi nilai digital (resolusi radiometrik)
data menjadi data dengan tingkat keabuan yang lebih rendah tertentu dengan
memperhitungkan kemampuan komputer pengolahan. Semakin tinggi resolusi
radiometriknya akan semakin banyak waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan
komputer. Selain komposisi matriksnya semakin kompleks pada data yang memiliki
resolusi radiometrik tinggi, juga pada daerah dengan penutup penggunaan lahan yang
homogen dalam window piksel akan diperoleh co-occurrence matrix dengan nilai yang
kebanyakan nol sehingga informasinya kurang efektif dan dapat menyulitkan proses
pembelajaran dalam klasifikasi. Untuk itu, pada beberapa perangkat lunak pengolahan
data penginderaan jauh, data penginderaan jauh dengan resolusi radiometrik 8 bits
atau 16 bits diturunkan menjadi 32 atau 64 tingkat keabuan atau menjadi 5 atau 6 bits
sehingga akan diperoleh co-occurrence matrix berukuran 32x32 atau 64x64 elemen
matriks.
Dalam ekstraksi informasi spasial dengan co-occurrence matrix, terutama pada
citra satelit penginderaan jauh radar yang hanya memiliki informasi kekasaran
permukaan lahan, besarnya ukuran window piksel menentukan akurasi hasil klasifikasi,
demikian pula pada kuantisasi bits datanya. Pada percobaan klasifikasi 12 jenis penutup
lahan dengan informasi spasial dari co-occurrence matrix menggunakan data satelit
penginderaan jauh radar polarisasi tunggal L band JERS-1 SAR dan data radar C band

45
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

ERS-1 SAR, besarnya window piksel dan bits data untuk ekstraksi informasi spasial
dengan co-occurrence matrix diperoleh akurasi hasil klasifikasi (overall acurracy)
sebagaimana pada Gambar 4-8. Dimana informasi tekstur lebih besar dari 6 bits data
menghasilkan akurasi yang sudah cukup tinggi, akan tetapi bits data makin besar maka
ukuran elemen co-occurrence matrix makin besar sehingga membutuhkan memori
pengolahan dalam komputer yang besar pula. Sementara ukuran window piksel
perlu dicari ukuran yang optimal yang sesuai dengan luasan objek penutup lahan
dan resolusi spasial data penginderaan jauhnya (Kushardono 1997). Hal yang sama
dengan kasus klasifikasi data satelit penginderaan jauh polarisasi tunggal tersebut di
atas, pada klasifikasi data satelit radar dual polarisasi Envisat-ASAR C-band dan ALOS
PALSAR L-band juga diperoleh ukuran window piksel optimal yang sesuai dengan
luasan objek penutup lahan dapat memberikan akurasi hasil klasifikasi yang tinggi
(Kushardono 2012). Lebih lanjut perihal klasifikasi dengan data radar dual polarisasi
tersebut dijelaskan di bawah.

Gambar 4-8 Hasil uji coba ukuran windows dan bits data untuk
informasi spasial co-occurrence matrix terhadap akurasi
hasil klasifikasinya
Dalam klasifikasi dengan mempergunakan informasi spasial co-occurrence
matrix dapat dilakukan melalui pengklasifikasi dengan dua model klasifikasi spasial
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-9 yaitu:
a. model klasifikasi spasial orde-1 dengan memasukkan secara langsung nilai-nilai
elemen matrik dalam co-occurrence matrix yang diperoleh kepengklasifikasi,
dimana karena dimensi datanya cukup besar biasanya dipergunakan neural
networks sebagai pengklasifikasi. Pada klasifikasi spasial orde-1 ini nilai tiap
elemen matrik diberikan ke tiap neuron pada lapis masukan neural networks
untuk dilakukan pengajaran dan klasifikasi. Untuk model klasifikasi ini

46
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

diperlukan topologi neural networks yang memiliki jumlah neuron yang besar
pada lapis masukan agar dapat menampung seluruh elemen matrik, terutama
pada data multiband atau multipolarisasi diperlukan sejumlah neuron pada
lapis masukan sebesar ukuran matrik dikalikan jumlah band atau jumlah
polarisasi datanya. Pada model klasifikasi ini dibutuhkan memori komputer
yang besar dalam pengolahan karena dimensi data yang diolah juga besar.

(a) Model klasifikasi spasial orde-1

(b) Model klasifikasi spasial orde-2

Gambar 4-9 Model klasifikasi dengan informasi spasial

47
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

b. model klasifikasi spasial orde-2 dengan mempergunakan hasil ektraksi nilai


skalar tekstur yang diturunkan dari co-occurrence matrix mempergunakan
metode Haralik (1985). Nilai hasil ekstraksi tersebut kemudian dimasukkan ke
pengklasifikasi dalam hal ini dapat dipergunakan pengklasifikasi parametrik
seperti Maximum Likelihood atau yang lain. Pada kasus penggunaan neural
network sebagai pengklasifikasi pada model ini, nilai skalar tekstur (fitur
informasi tekstur) diberikan kepada setiap neuron pada lapis masukan pada
neural network untuk dilakukan pengajaran dan klasifikasi. Untuk model ini
topologi neural network yang dibutuhkan adalah kecil, akan tetapi berdasarkan
hasil penelitian sehubungan dengan penggunaan metode ekstraksi informasi
tekstur tersebut, akurasi hasil klasifikasi dengan model orde-2 tidak setinggi
akurasi hasil model klasifikasi spasial orde-1 (Kushardono et al. 1996).
Adapun jenis fitur informasi tekstur Haralik (1985) yang dihitung dari nilai elemen
pada co-occurrence matrix sebagai berikut:
1. Homogeinify (kehomogenan)

∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j)
1 + (IR( i ) – IC( j ))2

2. Contrast (kontras)

∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x (IR( i ) – IC( j ))2

3. Dissimiliarity (ketidakserupaan)

∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x |IR( i ) – IC( j )|2

4. Mean (rataan)

∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x IR( i )

5. Standard deviation (simpangan baku)


∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x (IR( i ) – mean)2

48
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

6. Entropy (entropi)

∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j) x log P(i,j)

dengan asumsi 0xlog(0)=0


7. Angular Second Moment (momen kedua sudut)

∑ ∑ m
i–1
n
j–1
P(i,j)2

8. Correlation (korelasi)

∑ ∑ m
i–1
n P(i,j) x {IR( i ) – IR(m)} x {IC( j ) – IC(n)}
j–1
√ {IR( i ) – IR(m)}2 x √ {IC( j ) – IC(n)}2

Dimana:
P(i,j) : nilai elemen matrix baris ke-i dan kolom ke-j
i = 0,1,2,3…m-1 (baris)
j = 0,1,2,3…n-1 (kolom)
n, m : tingkat keabuan
IR(i) = i-1
IC(j) = j-1
∑ IR( i ) x P(i,j)
IR(m) =
∑ P(i,j)
∑ IC( i ) x P(i,j)
IC(n) =
∑ P(i,j)
Difference vector (DV) merupakan jumlah kejadian bertemunya suatu nilai piksel
yang memiliki beda tertentu pada co-occurrence matrix. Bila menggunakan elemen
co-occurrence matrix Gambar 4-7 di atas akan didapat nilai untuk elemen DV, sebagai
berikut:
Beda Nilai DV
mutlak 0=(0°,1) 0= (90°,1)
0 14 1
1 5 11
2 0 6
3 1 2

49
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Misalnya untuk beda 1, berarti jumlah kejadian bertemunya nilai piksel yang
memiliki nilai beda 1, yaitu P(0,1), P(1,2) dan P(2,3), atau kebalikannya P(1,0), P(2,1)
dan P(3,2) sehingga kejadiannya berturut-turut adalah 2, 2, 1, 0, 0 dan 0 (jumlahnya =
5) untuk 0 = (0°,1), sedangkan untuk 0 = (90°,1) kejadiannya berturut-turut adalah 0, 0,
0, 3, 4 dan 4 (jumlahnya = 11).
Dari DV juga dapat diturunkan beberapa nilai skalar tekstur, yaitu:
1. DV Angular Second Moment

∑ m
i–1
V( i )2

2. DV Entropy

∑ m
i–1
{V( i ) x log V( i )}-1

3. DV Mean

∑ m
i–1
V( i )2 x (i – 1)

4. DV Contrast

∑ m
i–1
V( i ) x (i – 1)2

dimana:
i = 0,1,2,3…m-1 (baris)
V(i) : elemen pada DV
Pada Gambar 4-10 ditunjukkan contoh hasil ekstraksi informasi spasial dari
nilai skalar tekstur dari rumus Haralik (1985) yang sudah dijelaskan di atas, dimana
co-occurrence matrix dihitung menggunakan ukuran window 9 x 9 piksel dengan 64
tingkat keabuan pada citra satelit radar polarisasi tunggal VV data Sentinel 1a. Dimana
dari citra Sentinel 1a polarisasi VV (Gambar 4-10 bawah) dapat diperoleh 8 fitur
informasi tekstur sehingga sebagaimana tampak dengan komposit warna RGB dari 3
fitur informasi tekstur yang dipilih dapat dilihat dengan mudah pola-pola kondisi lahan
dan perairan di Jakarta dan sekitarnya.

50
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

Gambar 4-10 Contoh informasi skalar tekstur dari co-occurrence


matrix pada data satelit penginderaan jauh radar

51
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Implementasi informasi spasial data penginderaan jauh untuk klasifikasi penutup


lahan, di antaranya sebagai contoh pada klasifikasi menggunakan Data ALOS PALSAR
L-Band tipe FBD (Fine Beam Dual) polarisasi HH dan HV tahun 2009 (Kushardono 2012),
dimana untuk mendapatkan hasil klasifikasi spasial penutup penggunaan lahan yang
baik, perlu dicari ukuran window yang optimum untuk ekstraksi informasi dengan co-
occurrence matrix yang terkait dengan resolusi spasial data dan luasan pengunaan
lahan. Data yang dipergunakan memiliki ukuran 1833 piksel x 2179 baris, resolusi
spasial 10m x 10m per piksel dan sudah terkoreksi geometrik ortho serta radiometrik
slope. Sementara lokasi uji coba adalah penutup penggunaan lahan di Kabupaten Siak,
Riau yang memiliki penutup lahan perkebunan dan perairan yang luas. Adapun training
data telah dibuat dari hasil interpretasi dengan bantuan citra satelit resolusi sangat
tinggi GeoEye sebagaimana Gambar 4-11, dimana terdapat 8 kelas penutup lahan.

Kelas Training Data


Hutan Alam
Hutan Produksi
Perkebunan 1
Perkebunan 2
Pemukiman
Perairan
Jalan
Lain-lain

Gambar 4-11 Kelas training data pada citra PALSAR hasil interpretasi
dengan bantuan citra satelit optik resolusi tinggi

52
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

Gambar 4-12 Hasil klasifikasi penutup lahan berbasis informasi spektral


pada Citra ALOS PALSAR berdasarkan masing-masing
ukuran window piksel, serta akurasi hasilnya (Kushardono
2012)
Dalam klasifikasi dengan data ALOS PALSAR untuk 8 kelas penutup lahan tersebut
di atas, telah diuji coba penggunaan beberapa ukuran window piksel mulai dari 5 x
5 piksel hingga 15 x 15 piksel. Hasil klasifikasi seperti ditunjukkan pada Gambar 4-12
dengan hasil pengukuran akurasi (overall) hasilnya terhadap test data yang sudah
dibuat sebelumnya dengan persyaratan sebagaimana dijelaskan pada Bab II di atas.
Dari tabel akurasi terlihat bahwa penggunaan ukuran window lebih dari 9 piksel x 9
piksel atau 90m x 90m pada citra PALSAR tersebut untuk 8 kelas penggunaan lahan
mendapatkan akurasi keseluruhan yang tinggi 96,6% dengan koefisien kappa 0,96.
Ukuran window tersebut semakin besar tidak memberikan peningkatan akurasi hasil
klasifikasinya, bahkan pada ukuran window hingga 15 piksel x 15 piksel menjadi
menurun. Pada citra hasil klasifikasi penutup lahan Gambar 4-12, terlihat ukuran
window makin besar penutup lahan yang detail atau sempit seperti jalan atau anak
sungai semakin hilang sehingga ukuran window 9 piksel x 9 piksel yang memiliki
akurasi yang sudah cukup tinggi adalah yang optimum. Hal tersebut dikarenakan
adanya pengaruh penggunaan ukuran window lebih besar dari 90m x 90m tersebut
mengakibatkan munculnya informasi tercampur antara kelas jalan dengan kelas lain di

53
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

sekitar jalan tersebut, dalam hal ini perkebunan, hutan produksi dan bangunan yang
seperti terlihat di citra hasil klasifikasi dengan warna kuning, hijau dan merah di sekitar
jalan yang berwarna magenta.

4.3 Klasifikasi Berbasis Informasi Spasial Objek


Pada citra penginderaan jauh resolusi spasial sangat tinggi, klasifikasi digital berbasis
piksel dengan informasi spektral sulit dilakukan, sedang klasifikasi dengan informasi
spasial berbasis tekstur kurang cocok terutama pada objek penutup penggunaan lahan
yang sempit. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, model klasifikasi berbasis objek
mulai banyak dikaji dan dipergunakan khususnya untuk klasifikasi yang mendasarkan
pola bentuk objek penutup penggunaan lahan.
Klasifikasi berbasis objek atau yang dikenal juga sebagai Object Base Image
Analysis (OBIA) adalah klasifikasi berbasis spasial akan tetapi model pengolahannya
agak berbeda. Sebagaimana dijelaskan pada Gambar 4-13, dalam klasifikasi berbasis
objek pada tahap awal pengenalan objek dilakukan segmentasi. Setelah diperoleh
segmen-segmen objek, dilakukan pengenalan ciri untuk mengklasifikasi dengan
bantuan training data.
Metode klasifikasi yang sering dipergunakan untuk mengklasifikasi segmen-
segmen objek adalah Nearest Neighbor yang metodenya sudah dijelaskan pada Bab
II sebelumnya, sedang penentuan training data dilakukan dengan pemilihan segmen
objek yang mewakili kelas aktual di lapangan. Adapun metode pada segmentasi
dapat mendasarkan pada informasi kecerahan objek yang sama dari nilai digital band
data atau berdasarkan informasi tekstur. Informasi tekstur yang dipergunakan di sini
sebagaimana yang sudah dijelaskan pada klasifikasi berbasis spasial di atas. Definiens
(2012) menggunakan metode segmentasi objek yang sifatnya multiresolusi, dimana
konsepnya menggunakan parameter warna (informasi spektral) dan bentuk (informasi
keruangan) segmen kehomogenan sehingga menjadi dasar yang lebih maju untuk
analisis citra. Informasi bentuk yang dimaksud memiliki parameter kekompakan,
tingkat kehalusan, dan skala ukuran. Dengan demikian, segmentasi adalah f(warna,
kekompakan, kehalusan) atau merupakan fungsi dari nilai warna, kekompakan, dan
kehalusan. Sementara kekompakan dan kehalusan itu sendiri merupakan fungsi
ukuran piksel dan kelompok piksel dalam segmen. Tiap parameter segmentasi masing-
masing memiliki bobot untuk mengatur pengaruhnya yang didasarkan pada kondisi
data dan pola bentuk objek. Pada multiresolusi, segmentasi didasarkan pada ukuran
segmen dalam jumlah piksel.

54
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

Gambar 4-13 Model klasifikasi berbasis informasi spasial objek


Husson et al. (2016) melakukan klasifikasi berbasis objek untuk tumbuhan air
dengan data penginderaan jauh resolusi sangat tinggi dari UAV, dimana didapatkan
akurasi hasil klasifikasi yang cukup tinggi. Gao et al. (2007) tentang klasifikasi OBIA
dengan metode Nearest Neighbor pada citra Landsat ETM+ akurasi yang diperoleh
80,59% dan lebih tinggi dibandingkan dengan klasifikasi berbasis piksel. Pengujian
model klasifikasi berbasis objek juga dilakukan oleh Qian et al. (2007) menggunakan
data Landsat memperoleh hasil akurasi yang tinggi 89% lebih tinggi dibanding klasifikasi
berbasis piksel metode maximum likelihood yang akurasinya 71%. Implementasi
klasifikasi berbasis objek untuk identifikasi objek tunggal lahan terbuka hijau perkotaan
menggunakan data penginderaan jauh multispektral resolusi sangat tinggi dari Pesawat
Terbang LSA (LAPAN Surveillance Aircraft), telah menghasilkan akurasi 88% (Sari dan
Kushardono 2016).

55
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Terkait penggunaan informasi dalam klasifikasi berbasis objek, Sari dan Kushardono
(2014) telah membandingkan metode klasifikasi berbasis objek menggunakan informasi
konvensional (brightness, compactness,  density) dengan menggunakan informasi
nilai skalar tekstur Haralik (homogeneity, contrast, dissimilarity, entropy, angular
second moment, mean, standard deviation, correlation) pada data penginderaan
jauh resolusi sangat tinggi dari pesawat terbang LSU (LAPAN Surveillance UAV). Data
dan hasil klasifikasi berbasis objek yang diperoleh sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 4-14, dimana diketahui bahwa hasil klasifikasi berbasis objek dengan tekstur
setelah diukur dengan test data yang dibuat terpisah dengan referensi data lapangan,
memiliki akurasi (overall) yang tinggi 95% dan 17,5% lebih tinggi dibanding dengan
hasil klasifikasi berbasis objek dengan informasi konvensional. Dari penelitian tersebut
juga ditunjukkan bahwa penggunaan informasi spasial tekstur pada klasifikasi berbasis
objek memudahkan pengklasifikasi dalam membedakan objek kelasnya sehingga objek
tidak terklasifikasi (unclassified object) lebih sedikit dibanding dengan menggunakan
informasi konvensional.

Gambar 4-14 Model klasifikasi berbasis informasi spasial objek OBIA


pada citra resolusi sangat tinggi (Sari dan Kushardono
2014)

56
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

4.4 Klasifikasi Berbasis Informasi Multitemporal


Untuk mempertinggi keakuratan hasil klasifikasi penutup lahan atau untuk
mendapatkan hasil klasifikasi penggunaan lahan, penggunaan informasi perubahan
penutup lahan berdasarkan waktu dari data penginderaan jauh satelit diperlukan.
Sebagai misal dilihat dari sensor satelit suatu kelas penggunaan lahan sawah pada
saat tertentu dapat dilihat sebagai lahan terbuka pada saat diberakan, sebagai rawa
saat sebelum ditanami setelah pengolahan lahan, sebagai padang rumput yang
subur (menghijau) saat pertumbuhan vegetatif dan sebagai lahan kering saat padi
menguning atau pertumbuhan generatif maksimum. Dengan demikian penggunaan
data satelit penginderaan jauh monotemporal dapat mengakibatkan salah kelas dalam
klasifikasi penggunaan lahan. Pada Gambar 4-15 ditunjukan contoh data Landsat
TM multitemporal dan perubahan penampakan penutup lahan khususnya pada
penggunaan lahan sawah.

Gambar 4-15 Contoh data Landsat TM multitemporal dan


penampakan penutup lahannya
Beberapa hasil penelitian juga membuktikan bahwa hasil klasifikasi secara digital
penggunaan lahan dengan data satelit multitemporal memberikan keakuratan yang
tinggi dibanding dengan data satelit penginderaan jauh monotemporal. Menurut
Kushardono (1995) klasifikasi penutup penggunaan lahan dengan data satelit
penginderaan jauh multitemporal dapat dilakukan dengan dua model sebagaimana
pada Gambar 4-16 yaitu:
a. Model klasifikasi yang pertama, pengolahan data satelit penginderaan
jauh multitemporal dilakukan untuk setiap temporal data diklasifikasi
sendiri-sendiri, kemudian hasil klasifikasi dari seluruh data digabung,
dilakukan reklasifikasi untuk mendapatkan hasil klasifikasi. Pada model ini

57
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

pengklasifikasi yang dapat dipergunakan adalah neural networks, dimana


skor hasil pengklasifikasi yang pertama menjadi masukan dan direklasifikasi
menggunakan pengklasifikasi kedua.
b. Model klasifikasi yang kedua, pengolahan untuk klasifikasi dilakukan dengan
jalan memasukkan secara bersama-sama seluruh band atau polarisasi dari
seluruh data multitemporal kepengklasifikasi untuk memperoleh hasil
klasifikasi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya (Kushardono 1995), akurasi hasil klasifikasi
dari kedua model klasifikasi data multitemporal tersebut di atas hampir tidak berbeda,
tetapi model pertama yang melakukan klasifikasi dua tahap membutuhkan memori
komputer yang jauh lebih sedikit dibanding model kedua yang melakukan klasifikasi
sekaligus untuk semua data multitemporal. Hal ini terutama jika informasi yang
digunakan untuk klasifikasi adalah informasi co-occurrence matrix atau data dengan
dimensi informasi temporal yang besar. Pada Gambar 4-17 ditunjukkan hasil klasifikasi
mempergunakan model di atas untuk data multitemporal dan perbandingannya
dengan hasil klasifikasi satu temporal dari contoh data Landsat TM Gambar 4-15 di
atas, dimana untuk 12 kelas penutup penggunaan lahan dengan menggunakan data
multitemporal diperoleh akurasi hasil klasifikasi rata-rata 89%. Hasil ini lebih tinggi
dibanding dengan satu temporal yang akurasi rata-ratanya 80%. Tampak juga pada
Gambar 4-17 bahwa dengan data multitemporal, kelas penggunaan lahan sawah lebih
tepat dapat diklasifikasikan, sedang dengan satu temporal lahan sawah bercampur
dengan kelas lahan terbuka.
Dengan membandingkan pengalaman dan hasil klasifikasi digital menggunakan
data satu temporal dan multitemporal pada Gambar 4-17, melalui model klasifikasi
data multitemporal dapat dipergunakan untuk klasifikasi digital penggunaan lahan,
sedang jika hanya menggunakan data satu temporal saja hanya didapatkan penutup
lahan.

58
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

(a) Model klasifikasi pertama

(b) Model klasifikasi kedua

Gambar 4-16 Model klasifikasi penggunaan lahan dengan data


penginderaan jauh multitemporal

59
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 4-17 Perbandingan hasil klasifikasi penutup penggunaan


lahan data satu temporal dengan data multitemporal
Implementasi model klasifikasi data multitemporal untuk penggunaan lahan juga
dapat dilakukan pada data satelit penginderaan jauh radar. Dimana karena data satelit
penginderaan jauh radar memiliki kemampuan akuisisi data tanpa pengaruh cuaca
sehingga dengan data multitemporal dapat diperoleh informasi perubahan kondisi
lahan dengan baik. Hal ini sangat penting untuk pemetaan penggunaan lahan yang
objeknya dinamis seperti tanaman semusim, padi, jagung, tebu, dan sebagainya,
serta bisa dibedakan dengan objek yang relatif tetap kondisinya seperti pemukiman,
kawasan industri, atau tanaman tahunan.
Pada Gambar 4-18 dicontohkan dengan data multitemporal SAR dari Sentinel-
1a polarisasi VH untuk 3 tanggal data (17 Agustus 2016, 10 September 2016, dan
4 Oktober 2016) sebagaimana ditampilkan RGB multitemporal, dapat dilakukan
klasifikasi penggunaan lahan utamanya lahan sawah yang dapat dimanfaatkan untuk
pemetaan luas baku sawah misalnya. Adapun tahapan pengolahan datanya adalah:
a. kelas-kelas untuk training data dibuat dengan interpretasi langsung pada
citra untuk setiap pola penutup lahan yang berbeda-beda, dimana kelas
bukan sawah diindikasikan dengan tidak banyak perubahan informasi pada
ketiga tanggal data (nampak dengan tekstur warna kelabu gelap hingga
putih) sehingga yang berwarna warni adalah pola penutup lahan kelas sawah.
Dengan demikian, diperoleh kelas pada training data untuk penutup lahan
sawah 5 kelas, kelas penutup lahan bukan sawah 2 kelas yakni tekstur gelap
kelas perairan (laut, waduk, tambak), tekstur agak cerah kelas pemukiman,
industri, perkebunan, hutan, tegalan, dan lainnya.

60
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

b. tiap temporal data dilakukan ekstraksi informasi tekstur dengan co-occurrence


matrix, dimana ukuran window piksel yang optimum untuk ekstraksi informasi
tekstur pada daerah ini adalah 7 piksel x 7 piksel.
c. informasi tekstur yang diperoleh dari 3 temporal data Sentinel-1a digabung
dijadikan masukan dalam pengklasifikasi, dimana pengklasifikasi yang
dipergunakan adalah back-propagation neural network.
d. Dari hasil klasifikasi yang diperoleh dilakukan reklasifikasi untuk kelas penutup
lahan sawah dengan cara sejumlah kelas sawah digabung menjadi 1 kelas
klasifikasi penggunaan lahan. Dengan demikian diperoleh 3 kelas penggunaan
lahan, yaitu sawah (warna hijau), perairan (warna biru), kelas lainnya (warna
merah).
Dari hasil klasifikasi data radar multitemporal pada Gambar 3-18(b) tampak
selain sawah (warna hijau) sudah dapat dikelaskan dengan baik, tetapi pada daerah
persawahan masih tampak ada kelas perairan (warna biru). Kesalahan kelas penggunaan
lahan ini disebabkan data multitemporal yang dipergunakan adalah berselang 49 hari
yaitu tanggal 17 Agustus hingga 4 Oktober, sedangkan umur padi adalah sekitar 110
hari ditambah lagi pola tanam di daerah ini tidak serentak. Kurangnya jumlah temporal
data untuk mengidentifikasi tanaman semusim seperti padi mengakibatkan akurasi
hasil klasifikasi pengunaan lahan berkurang. Kekurangan ini dapat diatasi dengan
menambahkan jumlah temporal data yang memadai sesuai perubahan kondisi objek
lahannya.

61
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Gambar 4-18 Perbandingan hasil klasifikasi penutup penggunaan


lahan data satu temporal dengan data multitemporal

4.5 Klasifikasi Berbasis Informasi Multisensor


Seperti model klasifikasi menggunakan data multitemporal dalam klasifikasi
penutup penggunaan lahan, semakin banyak informasi untuk membedakan suatu
kelas lahan dengan kelas lahan yang lainnya maka diharapkan keakuratan hasil
klasifikasi semakin meningkat. Begitu pula penggunaan data multisensor (data fusion)
dalam klasifikasi penutup penggunaan lahan. Pada klasifikasi dengan data multisensor,
target data satelit penginderaan jauh utamanya adalah data satelit sensor optik seperti
Landsat TM atau SPOT yang memiliki informasi spektral dengan data satelit sensor

62
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

radar seperti PALSAR, Radarsat atau Sentinel-1 yang memiliki informasi kekasaran
berupa tekstur suatu objek permukaan sehingga dengan semakin bertambahnya
informasi tersebut keakuratan hasil klasifikasi diharapkan dapat ditingkatkan.
Model klasifikasi penutup penggunaan lahan dengan data satelit multisensor radar
optik secara umum dapat digambarkan seperti pada Gambar 4-19 di bawah, dimana
data satelit radar pertama diekstraksi untuk memperoleh informasi tekstur, dalam
hal ini diekstrakasi menggunakan co-occurrence matrix terlebih dahulu, kemudian
dimasukkan ke pengklasifikasi bersama-sama dengan data optik multispektral untuk
memperoleh hasil klasifikasi.

Gambar 4-19 Model klasifikasi penutup penggunaan lahan berbasis


data multisensor
Persyaratan penggunaan data multisensor untuk klasifikasi penutup lahan adalah
kedua data dari jenis sensor yang berbeda (radar dan optik) tersebut harus memiliki
waktu perolehan data (akuisisi data) yang sama atau waktu akuisisi data kedua jenis
sensor tersebut berdekatan waktu, dengan catatan diperkirakan objek lahan yang
dipantau belum berubah. Selain itu, resolusi spasial dari kedua jenis sensor juga
diharapkan sama agar bisa dipergunakan dalam klasifikasi digital melalui fusi kedua
data tersebut.
Dari hasil percobaan, klasifikasi menggunakan fusi data optik radar dapat
meningkatkan akurasi, dimana dengan data Landsat TM dan JERS-1 SAR untuk klasifikasi
12 kelas penutup lahan memiliki akurasi rata-rata 82%, lebih tinggi 2% dibandingkan
dengan hasil klasifikasi hanya menggunakan data Landsat TM yang akurasi rata-ratanya
80% (Kushardono 1997b). Pada tahapan klasifikasi dengan fusi data Landsat TM dan
JERS-1 SAR, kedua data terlebih dahulu dilakukan standardisasi dan memiliki resolusi
spasial yang sama. Ekstraksi informasi dilakukan dengan mengunakan co-occurence

63
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

matrix dengan ukuran window piksel yang optimum sesuai dengan resolusi spasial
data dan kondisi penutup penggunaan lahan pada daerah target klasifikasi. Data yang
dipergunakan uji coba dan hasil klasifikasinya ditunjukkan seperti pada Gambar 4-20.
Kelebihan dengan menggunakan data fusi radar optik, sebagai contoh pada citra hasil
klasifikasi tersebut tampak jelas perbedaan antara hasil klasifikasi dari data fusi Gambar
4-20(c) dengan hasil klasifikasi dari hanya data Landsat TM Gambar 4-20(d) terutama
pada kelas pemukiman padat dan industri (warna magenta pada citra). Dimana pada
citra radar JERS-1 SAR kelas pemukiman padat dan industri tersebut ditunjukkan
dengan kekasaran yang tinggi berwarna putih, sedangkan pada citra optik tidak begitu
tampak bedanya dengan objek bangunan lahan yang lain sehingga penggunaan data
fusi radar optik ini memudahkan pengklasifikasi dalam membedakan kelas objek lahan.

(a) Data Landsar TM (b) Data JERS SAR

(c) Hasil klasifikasi Landsat TM (d) Hasil klasifikasi fusi Landsat TM JERS SAR

Gambar 4-20 Klasifikasi penutup lahan dengan data fusi radar optik
dan perbandingan hasil klasifikasinya

64
BAB IV
Model Pengolahan Klasifikasi Digital

Model klasifikasi dengan fusi data yang lain di antaranya sebagaimana oleh Tool
(1985) yang mengusulkan metode klasifikasi penutup lahan dengan fusi data radar optik,
dimana pada citra radar dilakukan pengfilteran terlebih dahulu untuk menghilangkan
nois dengan menggunakan window piksel. Model klasifikasi yang disampaikan Tool
(1985) ini hasilnya tidak begitu baik karena informasi bintik-bintik (speckle) pada
citra radar yang difilter menjadi berkurang sehingga hasil klasifikasinya tidak sebaik
menggunakan informasi tekstur dengan co-occurrence matrix. Model klasifikasi lain
lagi diusulkan oleh Kanellopoulos et al. (1994) dalam klasifikasi penutup lahan dengan
fusi data radar optik, dimana modelnya hampir mirip dengan model dengan tekstur
dari co-occurrence matrix di atas, di sini digunakan informasi co-occurrence matrix
orde 2 (nilai skalar tekstur) pada citra radar. Dalam klasifikasi menggunakan fusi data
radar optik, informasi skalar tekstur radar yang diperoleh dimasukkan bersama-sama
dengan informasi spektral dari data optik ke pengklasifikasi.

65
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad A. 2012. Analysis of maximum likelihood classification on multispectral data.


Applied Mathematical Sciences, 6(129): 6425–6436
Benediktsson JA, PH Swain, OK Ersoy. 1990. Neural networks approaches versus
statistical methods in classification of multisource remote sensing data. IEEE
Trans. on Geosci. and Remote Sensing, 28(4): 540–552.
Cheng P. 2012. Pan-sharpening, DEM Extraction and Geometric Correction SPOT-6 and
SPOT-7 Satellites, in: Geoinformatics, http://www.pcigeomatics.com/ diunduh
20 Juni 2017.
de Villiers J, E Barnard. 1992. Back propagation neural nets with one and two hidden
layers.IEEE Trans. on Neural Networks, 4(1): 136–141.
Definiens. 2012. Developer 2.0.4 Reference Book, Definiens Documentation, Munchen,
Jerman.
Dreyer P. 1993. Classification of land cover using optimized neural nets on SPOT data.
Photogrametric Eng. and Remote Sensing, 59(5): 617–621.
Gao Y, J F Mas, I Niemeyer, P R, Marpu, J L Palacio. 2007. Object based image analysis
for mapping land cover in a forest area. Proc. of 5th Int. Symposium on Spatial
Data Quality 2007, ITC, The Netherlands.
Ghosh A, B U Shankar, S K Meher. 2009. A novel approach to neuro-fuzzy classification.
J. Neural Networks, 22: 100–109.
Hao Y, T Cui, V P Singh, J Zhang, R Yu,  Z Zhang. 2017. Validation of MODIS sea surface
temperature product in the coastal waters of the yellow sea. IEEE J. Applied
Earth Observations and Remote Sensing, 10(5): 1667–1680, DOI:  10.1109/
JSTARS.2017.2651951
Haralik RM. 1985. Statistical and structural approaches to texture. In: Digital Image
Processing and Analysis, 2: 304–322. edited by Chellappa R and Sawchuk A.A.,
IEEE Compo Soc. Press,
Hepner GF, T Logan, N Ritter, N Bryant. 1990. Artificial neural networks classification
using a minimal training set: comparison to conventional supervised classification.
PE&RS 56 (4): 469–473.
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Hermann PD, N Khazenie. 1992. Classification of multispectral remote sensing data


using a back propagation neural networks. IEEE Trans. on Geosci. and Remote
Sensing, 30(1): 81–88.
Husson E, F Ecke, H Reese. 2016. Comparison of Maual Mapping and Automated
Object-Based Image Analysis of Non-Submerged Aquatic Vegetation from Veri
Hight Resolution UAV Image. J. Remote Sensing, 8(9), doi:10.3390/rs8090724
James W. 1990. Psychology (Briefer Course 1890). In: Neurocomputing foundations of
Research, edited by Anderson J.A. and Rosenfeld E., MIT Press, 1–14.
Kamata S, E Kawaguchi. 1993. Appplication of neural networks approach to classify
multitemporal Landsat images. Pro of IEEE Int. Geoscience and Remote Sensing
Symp.716–718.
Kanellopoulos I, GG Wilkinson, A Chiuderi. 1994. Land cover mappping using cobined
Landsat TM imagery and textural feature from ERS-1 Synthetic Aperture Radar
imagery. In: Image and Signal Processing for Remote Sensing, edited by Desachy
J., The Int. Soc. for Optical Engineering-SPIE, Pro. 2315: 332–341.
Kim JI, SC Kim. 1994. Fuzzy approaches for improving a classification accuracy in
remote sensing image data. Pro. of IEEE International Conf. on Systems, Man and
Cybernetics, San Antonio, TX, 1: 354–359. doi: 10.1109/ICSMC.1994.399864
Kitamoto A, M Takagi. 1999. Image classification using probabilistic models that reflect
the internal structure of mixels. Journal Pattern Analysis & Applications, 2(1):
31–43. doi: 10.1007/s10044005001
Kushardono D. 1996a. リモートセンシングにおける高精度土地被覆分類手法に
関する研究 (Study on High Accuracy Land Cover Classification Methods in Remote
Sensing), Disertasi Doktor, Tokai University, http://doi.org/10.11501/3119090
(Bahasa Jepang)
Kushardono D. 1996b. Metode klasifikasi citra satelit radar untuk mengidentifikasi
penutup lahan. Warta Inderaja (MAPIN), VIII(2): 36–44.
Kushardono D. 1997a. Metode fuzzy neural networks untuk klasifikasi penutup lahan
dari data penginderaan jauh serta perbandinganya dengan back propagation
neural networks dan maximum likelihood. Majalah LAPAN, (80): 31–45.
Kushardono D. 1997b. Model klasifikasi penutup lahan data multisensor radar-optik.
Majalah LAPAN, (83): 31–40.
Kushardono D. 2012.Klasifikasi Spasial Penutup Lahan Dengan Data SAR Dual-Polarisasi
Menggunakan Normalized Difference Polarization Index dan Fitur Keruangan
Dari Matrik Kookurensi.

68
Daftar Pustaka

Kushardono D. 2016. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan data satelit


penginderaan jauh hiperspektral (Hyperion) menggunakan metode neural
network tiruan. J. Penginderaan Jauh, 13(2): 85–96.
Kushardono D, K Fukue, H Shimoda, T Sakata. 1994. A spatial landcover classification
with the aid of neural networks. In: Image and Signal Processing for Remote
Sensing, edited by Desachy J., The Int. Soc. for Optical Engineering-SPIE, Pro.
2315: 702–710.
Kushardono D, K Fukue, H Shimoda, T Sakata. 1995a. Comparion of multitemporal
image classification methods. Pro of IEEE Int. Geoscience and Remote Sensing
Symp., ll: 1282–1284.
Kushardono D, K Fukue, H Shimoda, T Sakata. 1995b. Optimized neural networks for
spatial landcover classification with the aid of co-occurrence matrix. J. of Japan
Soc. of Photogrammetry and Remote Sensing, 34(4): 22–35.
Kushardono D, K Fukue, H Shimoda, T Sakata. 1995c. A spatial landcover classification
with the aid of neural networks for multitemporal high resolution satellite images.
J. of Japan Soc. of Photogrammetry and Remote Sensing, 34(5): 14–24.
Kushardono D, K Fukue, H Shimoda, T Sakata. 1995d. A spatial landcover classification
for multi sensor data. Pro of 19th Japanese Cont. on Remote Sensing, The Remote
Sensing Society of Japan.
Kushardono D, K Fukue, H Shimoda, T Sakata. 1996. A study on neural networks
landcover classification models with the aid of co-occurrence matrix for multiband
images. J. of the Remote Sensing Soc. of Japan, 16(1): 36–49.
Kwan HK, Y Cai. 1994. A fuzzy neural network and its application to pattern recognition.
IEEE Trans. On Fuzzy System, 2(3): 185–193.
McCulloch WS, W Pitts. 1990. A logical calculus of the ideas immanent in nervous
activity (Bul of Mathematical Biophysics, 1943). In: Neurocomputing foundations
of Research, edited by Anderson J.A. and Rosenfeld E., MIT Press, 15–41.
Narasayya K, UC Roman, S Sreekanth, S Jatwa. 2012. Assessment of reservoir
sedimentation using remote sensing satellite imageries. Asian Journal of
Geoinformatics, 12(4).
Richards J A, X Jia. 2006. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction, 4th
Edition, Springer, Berlin, Germany.
Rumelhard DE, GE Hilton, RJ Williams. 1990. Learning internal representations by error
propagation. In: Neurocomputing Foundations of Research, edited by Anderson
J.A. and Ronsenfeld E., MIT Press, 675–699.

69
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Qian J, Q Zhou, Q Hou. 2007. Comparison of pixel based and object oriented
classification methods for extracting build-up areas in Aridzone. ISPRS Workshop
on Update Geo Spasial Database with Imagery & 5th ISPRS Workshop DMGIS,
28–29 Agustus 2016, China
Sambodo K A, A Murni, M Kartasasmita. 2007. Classification of polarimetric SAR Data
with neural network using combination features extracted from scattering
models and texture analysis. Int. J. Remote Sens & Earth Sci., 4: 1–7.
Sari NM, D Kushardono. 2014. Klasifikasi penutup lahan berbasis obyek pada data foto
uav untuk mendukung penyediaan informasi penginderaan jauh skala rinci. J.
Penginderaan Jauh, 11(2): 114–127.
Sari NM, D Kushardono. 2016. Quality analysis of single tree object with OBIA and
vegetation index from lapan surveillance aircraft multispectral data in urban area.
J. of Geomatics and Planning, 3(2): 93–106. doi:10.14710/geoplanning.3.2.93-106
Sari NM, G A Chulafak, Zylshal, D Kushardono. 2017. The relationship between the
mixed pixel spectral value of Landsat 8 OLI Data and LAPAN Surveillance Aircraft
(LSA) Aerial-Photo Data. Indonesian Journal of Spasial and Regional Analysis,
13(1): 83–98. doi: : 10.23917/forgeo.v31i1.3500
Serrano P M L, J J C Rivas, R A D Varela, J G Á González, C A L Sánchez. 2016. Evaluation
of radiometric and atmospheric correction algorithms for aboveground forest
biomass estimation using landsat 5 TM data. Remote Sensing, 8(369), doi:10.3390/
rs8050369
Sudiana D, E Diasmara. 2008. Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Data Satelit
NOAA/AVHRR dan Terra/Aqua-MODIS. Seminar on Intelligent Technologi and Its
Application, Institut Teknologi Surabaya (ITS), Volume: ISBN 978-979-8897-24-5
Takagi M, H Shimoda. 1991. Handbook of Image Analysis. Tokyo Univ. Press, 775p,
Tokyo, Japan.
Tool DL. 1985. Analysis of digital Landsat MSS and Seasat SAR data for use in
discriminating landcover at urban fringe of Denver, Colorado. Int. J. Remote
Sensing, ISSN, 6(7): 1209–1229.
Zhilin VV, S A Filist, K A Rakhim, O V Shatalova. 2008. A method for creating fuzzy
neuralnetwork models using the MATLAB package for biomedical applications.
Biomedical Engineering, 42(2): 64–66., translated from Meditsinskaya Tekhnika,
2008, 42(2): 15–18.
Zhou X, NB Chang, S Li. 2009.  Applications of SAR interferometry in earth and
environmental science research. J. Sensors, 9(3): 1876–1912, doi:10.3390/
s90301876

70
INDEKS

Akurasi keseluruhan (overall accuracy) 23, 24


Algoritma Firefly, 18
ALOS PALSAR, 3, 52, 53
Angular Second Moment, 49, 50, 56
Aqua MODIS, 9
Back propagation neural network, 22,28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 37, 61
C band, 9, 10, 45, 46
Classifier, 19
Confusion matrix, 23, 24
Contrast, 48, 50, 56
Co-occurrence matrix, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 58, 61, 63, 65
Correlation, 49, 56
Cluster, 17
Centroid, 17
Data fusion, 62
Decision Tree, 18
Derajat kemiripan kelas, 36
Deteksi Perubahan, 7
Difference vector, 49
Dissimiliarity, 48
Dual-polarisasi, 11, 43
Entropy, 49, 50, 56
Envisat-ASAR, 43, 46
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

EO-1 Hiperion, 8, 39
Error matrix, 23
ERS SAR, 43
Euclidean distance, 26
Expected accuracy, 24
Fine Beam Dual, 52
Full-polarisasi, 11, 12, 43
Fungsi biner, 31, 32
Fungsi keanggotaan, 35
Fungsi nonlinier, 32
Fungsi sigmoid, 31, 32
Fuzzification function, 34
Fuzzy input layer, 32, 33, 34, 36
Fuzzy maximum layer, 34, 35, 36
Fuzzy minimum layer, 33, 34, 35, 36
Fuzzy neural network, 32, 33, 35, 36, 37
Genangan Banjir, 7
Geobiofisik, 6, 7
GeoEye, 52
Geometrik ortho, 52
Hidden layer, 28
Himawari, 39
Hiperspektral, 3, 8, 39, 40, 41, 42
Homogeinify, 52
Hotspot, 7
Ikonos, 7
Indek Kehijauan, 7
informasi keruangan, 43, 54
Informasi Multisensor, 62

72
Indeks

Informasi multitemporal, 22, 57


Informasi spasial objek, 54, 55, 56
Informasi spasial tekstur, 43, 56
Informasi Spektral, 2, 21, 39, 40, 53, 54, 62, 65
Input layer, 28, 32, 33, 34, 36
Isodata, 17
Iterasi pembelajaran, 30, 42
Jarak antar kelas, 25, 26
JERS SAR, 7, 43, 64
K-means, 17
Karakteristik spektral, 9, 13, 40, 41
Kesalahan Komisi (commission error), 23
Kesalahan omisi, 23
Klasifikasi nonparametrik, 19, 22, 25, 28
Klasifikasi parametrik, 22, 26, 40
Klasifikasi spasial orde-1, 46, 47, 48
Klasifikasi spasial orde-2, 47, 48
Klasifikasi visual, 15
Koefiesien kappa, 24
Komposit warna, 12, 13, 14, 15, 50
L band, 9, 10, 11,45, 46, 52
Landsat, 1, 3, 6, 7, 8, 13, 20, 21, 31, 34, 37, 39, 43, 55, 57, 58, 62, 63, 64
LAPAN Surveillance Aircraft, 3, 55
LAPAN Surveillance UAV, 56
Learning rate, 30
Mahalanobis distance, 19, 26
Matching matrix, 23
Maximum likelihood, 22, 26, 27, 28, 37, 39, 40, 44, 55
Mean, 21, 27, 48, 50, 56

73
Klasifikasi Digital pada Penginderaan Jauh

Minimum Distance, 19
Momentum rate, 30
Natural color, 13
Nearest neighbor, 25, 26, 54, 55
Neural network, 19, 22, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 48, 61
Neuron, 22, 28, 29-36, 40, 42, 46, 47, 48
Neuron gain, 29
Neuron offset, 29
Nilai skalar tekstur, 48, 50, 56, 65
NOAA AVHRR, 7
Object Base Image Analysis (OBIA), 54
Output layer, 28
PALSAR, 3, 9, 11, 12, 14, 46, 52, 53, 63
Patahan, 7
Penginderaan jauh, 1-8, 12-15, 19-22, 25
Penutup pengunaan lahan, 7
Polarisasi, 9, 11, 12, 14, 15, 43-47, 50, 52, 58, 60
Probabilitas posterior, 26
Produser kelas, 24
Radarsat, 43, 63
Radiometrik slope, 52
Resolusi spasial, 1, 7, 40, 46, 52, 54, 63, 64
Sedimentasi, 6, 7
Segmentasi, 54
Self organizing learning, 34, 35, 36, 37
Sentinel, 3, 7, 9, 11, 43, 50, 60, 61, 63
Single-polarisasi, 11
SPOT, 3, 6, 7, 30, 31, 32, 34, 37, 39, 43, 62
Standard deviation, 48, 56

74
Indeks

Suhu Permukaan, 6, 7
Supervised classification, 22
Synthetic-aperture radar, 9
Terra MODIS, 9
Test data, 23, 53, 56
Training data, 16, 19-21, 23, 25, 26, 27, 28, 32, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 52, 54, 60
True color, 13
Unclassified object, 56
Unsupervised classification, 22
User kelas, 24
Vektor transpose, 27
Window piksel, 44, 45, 46, 53, 61, 64, 65
X band, 10

75

Anda mungkin juga menyukai