Oleh:
Dosen Pembimbing:
dr. NYIMAS MAIDA SHOFA, Sp. PD
2020
i
HALAMAN PENGESAHAN
NPM 19710039
Fakultas : Kedokteran
Surabaya
Disetujui oleh:
dr. NYIMAS MAIDA SHOFA, Sp. PD
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
“SEPSIS”. Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
banyak terimakasih kepada dr. Nyimas Maida Shofa, Sp.PD selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Ibnu Sina Gresik. Semoga
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Cover......................................................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien...........................................................................................................3
B. Anamnesa....................................................................................................................3
C. Pemeriksaan Fisik.......................................................................................................4
D. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. Definisi........................................................................................................................10
B. Etiologi........................................................................................................................12
C. Patogenesis..................................................................................................................13
D. Diagnosis.....................................................................................................................16
E. Penatalaksanaan..........................................................................................................18
F. Pencegahan..................................................................................................................21
G. Prognosis.....................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Sepsis adalah kondisi mengancam jiwa yang timbul saat tubuh merespon terhadap infeksi
pada suatu jaringan atau organ. Sepsis dapat mengarah pada syok, kegagalan fungsi organ dan
kematian terutama bila tidak dikenali sedini mungkin dan diobati dengan tepat. Sepsis merupakan
penyebab utama pada kematian akibat infeksi meski sudah ada kemajuan dalam bidang pengobatan,
meliputi antibiotic dan penatalaksanaan akut. Jutaan orang meninggal akibat sepsis setiap tahunnya
dari seluruh dunia (National Clinical, 2014).
Perkiraan kejadian internasional bervariasi, namun konsensus menunjukkan sekitar 300 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. Sebagai pembanding, infark miokard mempengaruhi 208 pasien per
100.1 per tahun dan stroke 223. Kematian akibat sepsis saat ini setinggi angka kematian akibat
infark miokard akut terjadi pada tahun 1960an (National Clinical, 2014).
Menurut Centers for Disease Control and Prevention, sepsis mempengaruhi lebih dari 800.000
orang Amerika setiap tahunnya dan merupakan penyebab utama kematian terkait penyakit
kesembilan. Badan Penelitian dan Mutu Kesehatan mencantumkan sepsis sebagai kondisi paling
mahal yang dirawat di rumah sakit A.S., menghabiskan biaya lebih dari $20 miliar pada tahun 2011.
Di Inggris, sepsis diperkirakan mengklaim 37.000 jiwa setiap tahunnya dan menelan biaya NHS
sekitar 2,5 miliar (National Clinical, 2014).
Kematian Sepsis berkisar antara 15% dan 37% di A.S tergantung pada apakah penyedia
layanan kesehatan dilatih secara menyeluruh dalam mengidentifikasi dan mengobati sepsis. Kejadian
sepsis diprediksi tumbuh pada tingkat 1,5% per tahun. Hal ini sebagian disebabkan oleh populasi yang
menua, meningkatnya jumlah prosedur invasif dan meningkatnya jumlah orang yang hidup dengan
morbiditas dan terapi imunosupresif jangka panjang. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
program yang ditujukan untuk identifikasi dini dan pengobatan pasien dengan sepsis menyebabkan
berkurangnya angka kematian, masuknya unit perawatan intensif (ICU), lama tinggal ICU dan masa
rawat inap di rumah sakit (National Clinical, 2014).
Sepsis adalah tanggap tubuh terhadap infeksi. Infeksi yang disebabkan mikroorganisme atau
“germs”(umumnya bakteri) masuk dalam tubuh, dan terbatas di bagian tubuh atau menyebar
keseluruh peredaran darah (septikemia). Semua orang dapat berisiko sepsis karena infeksi ringan
(misal influenza, infeksi saluran kencing, gastroenteritis dll). Sepsis dapat terjadi pula pada orang
termuda (bayi premature) atau orang tua, sistem kekebalan (system immune) lemah (compromised),
pengobatan kemoterapi, steroid untuk keadaan keradangan (inflamasi), mempunyai kebiasaan
peminum alkohol atau obat, mendapat pengobatan atau pemeriksaan (kateter iv, tirisan /drain luka,
kateter kemih (urin), kemudahan menderita sepsis karena faktor genetik. Sepsis sering terjadi di
rumah sakit sebab kemajuan teknik kedokteran berkaitan dengan pengobatan. Jumlah penderita tua
1
atau lemah dan penderita dengan penyakit lain yang menyertai kanker dan memerlukan pengobatan
(Buchori, 2006).
Sepsis adalah permasalah yang dimiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi
terutama pada orang lanjut usia (lansia). Lansia lebih rentan terkena infeksi karena proses
perubahan tubuh dan menurunnya fungsi organ-organ serta danya penyakit komorbid.
Diagnosis pada lansia agak sulit karena lansia memberikan respon yang kurang jelas terhadap
sepsis dan dapat disertai dengan delirium. Karena penegakkan diagnosis yang agak sulit,
penatalaksanaan terhadap sepsisnya dapat tertunda sehingga mempengaruhi hasil akhir
pengobatan. Terdapat kecenderungan untuk menangani lansia secara kurang agresif karena
factor penuaan, namun perlu dipertimbankan hal-hal selain umur dalam menetukan
keagresifan terapi, misalnya performance level, kualitas hidup dan keinginan pasien
(Nasronuddin, 2011).
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Mangun
Umur : 65 tahun
Status : Kawin
Agama : Islam
NO RM 764431
B. Anamnesa
a. Keluhan utama : Panas
b. Riwayat penyakit sekarang :
Badan panas sudah 1 minggu
5 hari tidak bisa BAB
Perut kembung, tapi bisa kentut
Kepala terasa pusing
Badan terasa lemah
Muntah 1x
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Post MRS di RS Wali Songo
Diabetes Meillitus
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ditemukan
e. Riwayat pengobatan :
Tidak ditemukan
C. Pemeriksaan Fisik
- - -
- - -
- - -
Ekstremitas :
Superior : akral hangat +/+ , oedem -/-
Inferior : akral hangat +/+, oedem -/-
D. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium Tanggal 9 November 2020
HB 14,2 L: 13,0-17 g%
P: 11,7-15,5 g%
MCV 93 80-100
MCH 30 26-34
MCHC 33 32-36
Faal Ginjal
BUN 117,3 8-18 mg/dL
Fungsi Hati
SGOT 48 0 – 50 UL
SGPT 50 0 – 50 u/L
Pemeriksaan lab :
Leukosit 12.700
Trombosit 29.000
BUN 117,3
Serum Creatinin
6,67
Natrium 124 Planning Terapi :
KU : lemah Hiperkale Kalitake 3x1
Kalium 6,2 Mual
mia
Chloride 96 Kalium 6,2
Planning Monitoring :
TTV, Keluhan
5 hari tidak CKD Stage V Planning Terapi :
bisa BAB
Inf.
Perut Kidmin 14
kembung, tapi tpm
bisa kentut
Inf. PZ
Kepala terasa
loading
pusing
500cc/1
Badan terasa
jam
lemah
BUN 117,3 Inj.
SK 6,67 Pantopraz
ole 2x40
mg
Paracetam
ol 3x1
kaps.
Planning Monitoring
TTV, Keluhan
BAB III
A. Definisi
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme, ditandai dengan panas,
takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan
sirkulasi darah (Dellinger et al, 2012). Menurut Guntur dalam PAPDI 2009, sepsis
adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dengan dugaan infeksi.
Berikut ini adalah derajat sepsis menurut perjalanan penyakitnya:
10
Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Kriteria baru sepsis
menggunakan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA). SOFA melakukan
evaluasi terhadap fungsi fisiologis, respirasi, koagulasi, hepatik, sistem saraf pusat,
dan ginjal. Makin tinggi skor SOFA akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
sepsis (Ivan, 2019).
Kriteria simpel menggunakan qSOFA. qSOFA dinyatakan positif apabila
terdapat 2 dari 3 kriteria. Skoring tersebut cepat dan sederhana serta tidak
memerlukan pemeriksaan laboratorium. Syok septik dapat diidentifikasi dengan
adanya klinis sepsis dengan hipotensi menetap. Kondisi hipotensi membutuhkan
tambahan vasopressor untuk mempertahankan kadar MAP >65 mmHg dan laktat
serum >2 mmol/L walaupun telah dilakukan resusitasi. Kriteria SOFA muncul setelah
pembaharuan definisi dan kriteria sepsis bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas sepsis (Ivan, 2019).
Tabel III.1 Skor quick SOFA
Kriteria qSOFA
Laju pernapasan > 22x/menit
Perubahan status mental/kesadaran
Tekanan darah sistolik <100 mmHg
Sumber : Update Tatalaksana Sepsis (Ivan Aristo S P, 2019)
C. Patogenesis
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal ini
dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus menerus
dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini menggambarkan
penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan peradangan karena semua
tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan biasa (Leksana, 2006).
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator inflamasi
termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan antiinflamasi.
Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon γ yang bekerja
membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi.
Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang
bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan.
Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki
jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini
hilang maka respon proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik
ini meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan
akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi dari kelebihan respon antiinflamasi adalah alergi dan immunosupressan.
Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi
ketidak harmonisan imunologi yang merusak (Leksana, 2006).
Gambar 6. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram
negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan
lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah
penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar
didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi
dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator (Guntur, 2009).
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat
berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang
berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC
(Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC
akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell
Reseptor (Guntur,2009).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator
akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor),
sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α
yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai imuno regulator
utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya terjadi
pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF
mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang
menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan
kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam
radikal bebas (nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria
sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah.
Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan
hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel (Guntur,2009).
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada
jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam
amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi kesehatan
dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan
mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila dihasilkan melebihi batas
kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi sel itu sendiri
sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi organ multipel yang
meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi
(Guntur, 2009).
Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipotensi
Peningkatan laktat diatas nilai normal
Urine output < 0,5 mg/KgBB/jam setelah 2 jam pemberian cairan yang adekuat
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien yang tidak pneumonia sebagai
sumber infeksinya
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien pneumonia sebagai sumber
infeksinya
Kreatinin >2,0 mg/dl
Bilirubin >2 mg/dl
Platelet <100,000 uL
Koagulopati (INR >1,5)
E. Penatalaksanaan
Prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis terdiri dari:
1. Stabilisasi pasien
Pemberian resusitasi awal (ABC: airway, breathing, circulation) sangat penting pada
pasien sepsis. Perubahan status mental atau penurunan kesadaran akibat sepsis
memerlukan penanganan terhadap jalan nafas pasien. Intubasi diperlukan untuk
memberikan kadar oksigen yang lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan pningkatan ketersediaan
oksigen untuk jaringan lain. Untuk mempertahankan stabilisasi hemodinamik, pasien
sepsis dapat diberikan kristaloid. Pasien dengan hipovolemi diberikan minimal 30
ml/kgBB kristaloid. Peningkatan hemodinamik dapat dipantau melalui variabel
dinamis (perubahan tekanan nadi dan variasi stroke volume) serta peningkatan statis
(tekanan arteri dan heart rate). Peredaran darah terancam dan penurunan tekanan
darah yang bermakana memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan
cairan (kristaloid/koloid) dan inotropin/vasopressor (dopamine, dobutamin, fenilefrin,
epinefrin, atau norepinefrin). Tujuan pencapaian resusitasi awal pada 6 jam pertama
adalah a) Central Venous Pressure (CVP) 8-12 mmHg; b) Mean Arterial Pressure
(MAP) ≥ 65 mmHg; c) Urin output ≥ 0.5mL/kgBB/jam; d) Central venous (superior
vena cava) oxygen saturation ≥ 70% atau mixed venous ≥ 65%. Terdapat
pertimbangan dialysis untuk membantu fungsi ginjal (Cho, 2015).
6. Kortikosteroid
Penggunaan kostikosteroid yang direkomendasikan adalah dengan low doses
corticosteroid <300mg hydrocortisone per hari dalam keadaan syok septik.
Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis
dan septic shock. Kostikosteroid intravena tidak perlu diberikan terhadap pasien syok
septik apabila resusitasi cairan dan vasopressor dapat mengembalikan stabilitas
hemodinamik (Dellinger et al, 2012)
7. Glukosa Kontrol
Pada pasien sepsis sering terjadi peningkatan gula darah, baik pada pasien DM
maupun Non-DM. sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai dengan <150
mg/dL. Lalu dilakukan monitoring gula darah setiap 1-2 jam dan dipertahankan
minimal sampai dengan 4 hari. Apabila pasien sepsis memiliki gula darah >180 dalam
20
2 kali pengecekan maka dapat diberikan insulin. Dalam protocol, target gula darah
adalah 180 mg/dL dengan target atas 110 mg/dL.
(Dellinger et al, 2012 dan Guntur, 2012).
F. Pencegahan
1. Hindari trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni Gram-negatif
2. Gunakan trimethoprim-sulfametokszol secara profilaktik pada pasien leukemia
3. Gunakan nitrit perak topical, sulfadiazine perak, atau sulfamilon secara profilaktik
pada luka bakar
4. Berikan polimiksin spray pada faring posterior untuk mencegah pneumonia Gram-
negatif nosocomial
5. Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien
neutropenia.
6. Lingkungan yang protektif bagi pasien yang berisiko kurang berhasil karena sebagian
besar infeksi berasal dari endogen
7. Untuk mencegah sepsis strep Grup B pada neonatus, lakukan swab vagina/rectum
pada kehamilan 35-37 minggu. Jika positif untuk strep B, berikan penisilin
intrapartum pada ibu hamil untuk menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.
(Guntur, 2014)
G. Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang
rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang
buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6
jam dari diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik
decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan
multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal (Romy, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Aristo, Ivan. 2019. Update Tatalaksana Sepsis. RSUD Kota Surakarta Indonesia. CDK-280/
vol. 46 no. 11 th. 2019
Buchori, Prihatini. Diagnosis Sepsis Menggunakan Procalcitonin. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12 No. 3, Juli 2006: 131-137
Cho WH. 2015. Update of Sepsis : Recent evidences about Early Goal Directed Theraphy.
Tuberc Respir Dis 2015; 78: 156-160.
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving sepsis
campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic
shock: 2012. Critical care medicine. 2013 Feb;41(2):580-637
Guntur A. Sepsis dalam : Prasetyo DH, Sutanto SY, editor. SIRS dan sepsis (immunologi,
diagnosis, penatalaksanaan). Surakarta : Sebelas Maret University Press; 2009.p.1-
14.
Guntur HA. 2012. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan). Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Leksana E. SIRS, sepsis, keseimbangan asam-basa, shock, dan terapi cairan. Semarang:
SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Kariadi/Fak. Kedokteran
Universitas Diponegoro. 2006
Nasronuddin. 2011. Imunopatogenesis sepsis dan prinsip penatalaksanaan . in: nasronuddin et
al 2nd ed penyakit infeksi di Indonesia solusi kin dan mendatang. Airlangga
university Press 2011: P320-25
National Clinical Effectiveness Committee. 2014. Sepsis Management; National Clinical
Guideline No. 6. ISSN 2009-6259. P 9-10
Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD
FKUI. 2014: 1862-65
Surviving Sepsis Campaign. International Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine Februari 2013; 41(2): 585-636
W, Romy, et all. 2012. Mortalitas Asidosis Metabolik Laktat dan Non-laktat di Unit
Perawatan Intensif Pediatrik RSUP Sanglah. Sari Pediatri, Vol. 13, No. 5, Februari
2012