Anda di halaman 1dari 16

5

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengecoran Lostfoam


Pengecoran lost foam (evaporative casting) merupakan salah satu metode logam
dengan menggunakan pola polystyrene foam. Metode ini ditemukan dan dipatenkan oleh
Shroyer pada tahun 1958 (Shroyer, 1958 dalam Sutiyoko 2011). Pada tahun 1964,
konsep penggunaan cetakan pasir kering tanpa pengikat telah dikembangkan dan
dipatenkan oleh Smith (Smith, 1964 dalam Sutiyoko 2011). Proses pengecoran lost foam
dilakukan dalam beberapa tahap. Pengecoran lost foam yang dikombinasikan dengan
pemvakuman cetakan (V-Proses) menjadikan jenis pengecoran ini sebagai salah satu
teknologi manufaktur yang sangat baik dan memiliki biaya yang cukup efektif dalam
memproduksi benda yang mendekati bentuk bendanya dibanding pengecoran
konvesional (Liu,dkk., 2002 dalam Sutiyoko 2011). Vakum proses telah dikembangkan
di Jepang pada tahun 1971 dan diperkenalkan pada pengecoran logam saat pertemuan
musim semi tahun 1972 (Kumar dan Ghaindhar, 1998 dalam Sutiyoko 2011).
Pengecoran lost foam dimulai dengan membuat pola polystyrene foam (styrofoam)
dengan kerapatan / massa jenis tertentu sesuai yang direncanakan. Dalam beberapa
aplikasi, bagian-bagian pola dilem untuk mendapatkan bentuk keseluruhan dari benda
yang komplek. Sistem saluran dirangkai dengan cara dilem menyatu dengan rangkaian
pola. Beberapa pola dapat dilakukan pengecoran dengan dirangkai dalam satu sistem
saluran. Pola yang telah terangkai dengan sistem saluran diistilahkan dengan cluster
(Brawn, 1992 dalam Sutiyoko 2011). Sistem saluran memiliki pengaruh besar terhadap
adanya cacat pada benda cor misalnya saluran masuk bawah akan menyebabkan
porositas dan cacat lipatan (folded) paling sedikit dibanding saluran samping atau atas
(Shahmiri dan Karrazi, 2007 dalam Sutiyoko 2011). Pola dan sistem saluran dilapisi
(coating) dengan cara dimasukkan ke larutan pelapis dari bahan tahan panas (refractory)
atau larutan refractory tersebut langsung dicatkan pada pola dan sistem saluran lalu
dikeringkan. Penambah, pengalir dan saluran masuk ditempatkan pada tempat yang
diperlukan (Butler, 1964 dalam Sutiyoko 2011). Cluster yang telah kering diletakkan
6

pada wadah dan pasir silika dimasukkan di sekeliling pola. Pasir yang menimbun pola
dipadatkan dengan cara digetarkan pada frekuensi dan amplitudo tertentu. Pasir yang
dipadatkan dengan penggetaran densitas pasir meningkat 12,5% dibandingkan tanpa
digetarkan (Butler, 1964 dalam Sutiyoko 2011). Pasir dengan ukuran AFS (Average
Fineness Number) grain fineness number tertentu akan mengisi bagian-bagian yang
kosong dari cluster dan akan menahan cluster saat pengisian logam cair. Pola tersebut
dapat dibungkus/ dikapsul dengan dua lapis plastik dan pasirnya divakum. Vakum akan
mengeraskan cetakan dan kekerasan cetakan diatas 85 dapat tercapai (Kumar,dkk., 2007
dalam Sutiyoko 2011). Logam cair dimasukkan melalui saluran tuang dan pola akan
terurai karena panas logam cair saat masuk ke pola. Hasil uraian pola akan melewati
lapisan dan keluar melalui pasir. Setelah cukup dingin, benda cor diambil dan dilakukan
perlakuan panas jika diperlukan (Matson,dkk., 2007 dalam Sutiyoko 2011).
Perkembangan penggunaan metode pengecoran lost foam mengalami peningkatan cukup
besar sejak tahun 1990. Pada tahun 1997 sebanyak 140.700 ton aluminium, besi cor dan
baja sudah diproduksi dengan proses pengecoran lost foam (Hunter, 1998 dalam
Sutiyoko 2011).

2.1.1 Pola Polystyrene Foam/Styrofoam.


Massa jenis dan ukuran butiran polystyrene foam memegang peranan penting
dalam pengecoran lost foam. Massa jenis yang rendah diperlukan untuk meminimalisir
jumlah gas yang terbentuk pada saat pola menguap. Gas akan keluar ke atmosfer melalui
coating/ pelapis dan celah-celah pasir. Pembentukan gas lebih cepat daripada keluarnya
gas tersebut ke atmosfer maka akan terbentuk cacat dalam benda cor. Pembentukan gas
tergantung pada massa jenis pola polystyrene foam dan temperatur penuangan. Gas
terbentuk makin banyak apabila massa jenis pola dinaikkan pada temperatur tuang
konstan. Massa jenis pola tetap dan temperatur tuang dinaikkan maka gas akan terbentuk
lebih banyak karena pola akan terurai menjadi molekul-molekul yang lebih banyak pada
temperatur lebih tinggi. Pengecoran pada baja memerlukan massa jenis polystyrene foam
yang lebih rendah dibanding pada pengecoran besi cor kelabu, besi cor bergrafit bulat
atau besi cor mampu tempa. Pengecoran besi cor memerlukan massa jenis polystyrene
7

foam lebih rendah dibanding pada pengecoran tembaga dan pengecoran tembaga
memerlukan massa jenis polystyrene foam lebih rendah dibanding pada aluminium
(Kumar,dkk., 2007 dalam Sutiyoko 2011). Perbandingan luas permukaan dan volume
pola harus diperhatikan. Gas yang terbentuk harus keluar melalui coating dipermukaan
pola. Ukuran butir polystyrene foam yang lebih kecil akan meningkatkan kehalusan pola
dan mampu untuk mengisi tempat-tempat yang sempit dari pola (Sikora, 1978 dalam
Sutiyoko 2011). Massa jenis polystyrene foam secara umum berbanding terbalik dengan
massa jenis hasil benda cor. Hal ini berarti jika pengecoran menggunakan dengan massa
jenis polystyrene foam lebih rendah maka massa jenis benda cor akan lebih tinggi (Kim
dan Lee, 2007 dalam Sutiyoko 2011).

2.1.2 Pasir Cetak


Pasir cetak dapat digunakan secara terus menerus selama masih mampu menahan
temperatur cairan ketika dituangkan (Lal, 1981 dalam Sutiyoko 2011). Pasir silika, pasir
zirkon, pasir olivine dan kromate dapat digunakan sebagai pasir cetak pada pengecoran
lost foam. Penggunaan pasir yang mahal seperti pasir zirkon dan kromite dapat
dilakukan untuk mendapatkan tingkat reklamasi pasir yang tinggi (Clegg, 1985 dalam
Sutiyoko 2011). Kekuatan cetakan pasir ditentukan oleh resistansi gesek antar butir
pasir. Kekuatan cetakan pasir akan lebih tinggi jika menggunakan pasir dengan bentuk
angular walaupun jika menggunakan bentuk rounded/ bulat akan memberikan densitas
yang lebih tinggi (Dieter, 1967; Green, 1982 dalam Sutiyoko 2011). Perubahan bentuk
pasir dari angular ke rounded akan menaikkan densitasnya sekitar 8-10% (Hoyt,dkk.,
1991 dalam Sutiyoko 2011). Densitas pasir cetak dapat ditingkatkan dengan digetarkan.
Pasir leighton buzzard dapat dinaikkan densitasnya sebesar 12,5% dengan digetarkan
(Butler, 1964 dalam Sutiyoko 2011). Waktu pengisian logam cair ke dalam cetakan akan
lebih lama apabila menggunakan pasir cetak yang memiliki ukuran lebih kecil.
Kecepatan penuangan semakin besar dengan bertambahnya ukuran pasir cetak (Sands
dan shivkumar, 2003 dalam Sutiyoko 2011). Hal ini disebabkan karena rongga-rongga
antar pasir akan semakin kecil dengan mengecilnya ukuran pasir sehingga gas hasil
degradasi lebih sulit keluar melalui pasir. Pada pengecoran Al- 7%Si, ukuran pasir cetak
8

memiliki faktor dominan dalam menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi benda cor
(Kumar,dkk., 2008 dalam Sutiyoko 2011). Pemilihan jenis pasir cetak dan metode
pemadatan sangat penting untuk mendapatkan permeabilitas yang tepat dan mencegah
deformasi pola. Ukuran butir pasir yang dipilih tergantung pada kualitas dan ketebalan
lapisan coating. Ukuran butir pasir AFS 30-45 menjamin permeabilitas yang baik untuk
pola yang terdekomposisi menjadi gas dan cairan (Acimovic, 1991 dalam Sutiyoko
2011).

2.1.3 Alumunium
Aluminium adalah salah satu logam ringan (light metal) dan mempunyai sifat-sifat
fisis dan mekanis yang baik, misal kekuatan tarik cukup tinggi, ringan, tahan korosi,
formability yang baik dan sebagai penghantar panas/listrik yang baik sehingga banyak
digunakan di bidang teknik misal bahan pada struktur pesawat. Aluminium menempati
urutan ke-3 dari unsur unsur dalam kerak bumi (crustal abundance) setelah oksigen dan
silikon. (Durika,2013)

a. Sifat fisik alumunium


Alumunium mempunyai sifat fisik hantaran listrik yang tinggi. Hantaran listrik
alumunium kira kira 65% dari hantaran listrik tembaga, tetapi massa jenisnya kira kira
sepertiganya memungkinkan untuk memperluas penampanya, oleh karena itu
alumunium dapat digunakan untuk kabel tembaga. Ketahanan korosi berubah menurut
kemurnianya, pada umumnya untuk kemurnian 99,0% atau diatasnya dapat
dipergunakan di udara dan tahan dalam bertahun tahun. (Durika,2013)

Tabel 2.1 Sifat fisik alumunium.

Sifat Fisik
Wujud Padat
Massa jenis 2,70 gram/cm3
Massa jenis wujud cair 2,373 gram/cm3
9

Titik lebur 933,47 K, 660,32oC


Titik didih 2792 K, 2519oC, 4566oF
Kalor jenis (25oC) 24,2 J/mol K
Resistasi listrik 28,2 n  m
Koduktivitas Termal (300K) 237 W/m K
Pemuaian termal (25oC) 23,1 µm/m K
Modulus young 70 Gpa
Modulus Geser 26 Gpa
Poisson ratio 0,35
Kekerasan skala Mohs 2,75
Kekerasan skala Vikers 167 Mpa
Kekerasa skala Brinnel 245 Mpa
Sumber: (Durika,2013)
b. Sifat mekanik alumunium.
Untuk sifat mekanik sendiri seperti terlihat pada tabel 2.2 tergantung dari
seberapa besar kemurnian alumunium itu sendiri, karena untuk mendapatkan alumunium
dengan kekuatan mekanik yang baik, dapat menambahkan unsur logam lain sebagai
sebagai paduannya, antara lain: Cu, Mg, Zn, Si, Mn, Ni dan sebagainyabaik secara satu
persatu maupun besama sama. Berikut adalah tabel sifat sifat mekanik alumunium.
(Durika,2013)
Tabel 2.2 sifat mekanik alumunium.
Kemurnian Al (%)
Sifat – sifat 99,996 > 99,0
Dianil 75% dirol Dianil H18
dingin
Kekuatan Tarik (Kg/mm2) 4,9 11,6 9,3 16,9
Kekuatan luluh (0,2%)(kg/mm2) 1,3 11,0 3,5 14,8
Perpanjangan (%) 48,8 5,5 35 5
Kekerasan Brinnel 17 27 23 44
Sumber: (Durika,2013)
10

2.1.4 Penuangan
Suhu penuangan paduan Al-7%Si yang lebih tinggi akan meningkatkan kekasaran
permukaan benda cor. Superheat (suhu diatas temperatur cair) yang lebih tinggi akan
menurunkan tegangan permukaan cairan logam, Hal ini akan menjadikan cairan logam
mudah terserap ke celah-celah diantara pasir yang menyebabkan kekasaran benda cor
meningkat (Kumar,dkk.,2007 dalam Sutiyoko 2011). Temperatur tuang memiliki faktor
dominan dalam menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi benda cor (Kumar,dkk.,
2008 dalam Sutiyoko 2011). Kecepatan penuangan logam cair memiliki pengaruh besar
terhadap kualitas benda cor. Kecepatan penuangan aluminium cair berkisar 0,015-0,02
m/s untuk mendapatkan jumlah dan jenis cacat pada benda cor yang minimal
(Bates,dkk., 2001 dalam Sutiyoko 2011). Kecepatan pengisian logam dan keluarnya
hasil dekomposisi polystyrene foam tergantung pada banyak faktor diantaranya massa
jenis foam, ikatan foam, ketebalan coating, temperatur logam dan kecepatan bagian
depan logam cair (Bates,dkk., 1995 dalam Sutiyoko 2011). Kecepatan aliran logam
meningkat dengan bertambahnya temperatur tuang. Gas tidak terdeteksi sampai pada
suhu 525 oC, terdeteksi sepanjang 5 mm pada suhu 750 oC dan lebih panjang dari 2 cm
pada suhu 1050 oC (Shivkumar,dkk., 1995 dalam Sutiyoko 2011). Gas yang terbentuk
meningkat 230% pada temperatur 750 – 1300 oC (Yao,dkk., 1997 dalam Sutiyoko
2011).
2.1.5 Diagran Fase Paduan Alumunium Silikon

Grafik 2.1 Diagram fasa Al-Si

( Sumber : Tottendan MacKenzie, 2003)


11

2.2 Proses Pengecoran Logam


Menurut (Groover,2010). jenis cetakan yang digunakan proses pengecoran dapat
diklasifikan menjadi dua katagori :
1. Pengecoran dengan cetakan sekali pakai.
2. Pengecoran dengan cetakan permanen.

2.2.1 Pengecoran Lostfoam (evaporative casting)


Pengecoran lost foam (evaporative casting) merupakan salah satu metode logam
dengan menggunakan pola polystyrene foam. Metode ini ditemukan dan dipatenkan oleh
Shroyer pada tahun 1958 (Shroyer, 1958 dalam Sutiyoko 2011). Pada tahun 1964,
konsep penggunaan cetakan pasir kering tanpa pengikat telah dikembangkan dan
dipatenkan oleh Smith (Smith, 1964 dalam Sutiyoko 2011). Proses pengecoran lost foam
dilakukan dalam beberapa tahap (Gambar 1). Pengecoran lost foam yang
dikombinasikan dengan pemvakuman cetakan (V-Proses) menjadikan jenis pengecoran
ini sebagai salah satu teknologi manufaktur yang sangat baik dan memiliki biaya yang
cukup efektif dalam memproduksi benda yang mendekati bentuk bendanya dibanding
pengecoran konvesional (Liu, dkk., 2002 dalam Sutiyoko 2011). Vakum proses telah
dikembangkan di Jepang pada tahun 1971 dan diperkenalkan pada pengecoran logam
saat pertemuan musim semi tahun 1972 (Kumar dan Ghaindhar, 1998 dalam Sutiyoko
2011). Pengecoran lost foam dimulai dengan membuat pola polystyrene foam
(styrofoam) dengan kerapatan / massa jenis tertentu sesuai yang direncanakan. Dalam
beberapa aplikasi, bagian-bagian pola dilem untuk mendapatkan bentuk keseluruhan dari
benda yang komplek. Sistem saluran dirangkai dengan cara dilem menyatu dengan
rangkaian pola. Beberapa pola dapat dilakukan pengecoran dengan dirangkai dalam satu
sistem saluran. Pola yang telah terangkai dengan sistem saluran diistilahkan dengan
cluster (Brawn, 1992 dalam Sutiyoko 2011). Sistem saluran memiliki pengaruh besar
terhadap adanya cacat pada benda cor misalnya saluran masuk bawah akan
menyebabkan porositas dan cacat lipatan (folded) paling sedikit dibanding saluran
samping atau atas (Shahmiri dan Karrazi, 2007 dalam Sutiyoko 2011).
12

Gambar 2.2 Tahap proses pengecoran lost Foam


(Sumber : www.sfsa.org)

Pola dan sistem saluran dilakukan pelapisan (coating) dengan cara dimasukkan ke
larutan pelapis dari bahan tahan panas (refractory) atau larutan refractory tersebut
langsung dicatkan pada pola dan sistem saluran lalu dikeringkan. Penambah, pengalir
dan saluran masuk ditempatkan pada tempat yang diperlukan (Butler, 1964 dalam
Sutiyoko 2011). Cluster yang telah kering diletakkan pada wadah dan pasir silika
dimasukkan di sekeliling pola. Pasir yang menimbun pola dipadatkan dengan cara
digetarkan pada frekuensi dan amplitudo tertentu. Pasir yang dipadatkan dengan
penggetaran densitas pasir meningkat 12,5% dibandingkan tanpa digetarkan (Butler,
1964 dalam Sutiyoko 2011). Pasir dengan ukuran AFS (Average Fineness Number)
grain fineness number tertentu akan mengisi bagian-bagian yang kosong dari cluster dan
akan menahan cluster saat pengisian logam cair. Pola tersebut dapat dibungkus/ dikapsul
dengan dua lapis plastik dan pasirnya divakum. Vakum akan mengeraskan cetakan dan
kekerasan cetakan diatas 85 dapat tercapai (Kumar, dkk., 2007 dalam Sutiyoko 2011).
Logam cair dimasukkan melalui saluran tuang dan pola akan terurai karena panas logam
cair saat masuk ke pola. Hasil uraian pola akan melewati lapisan dan keluar melalui
pasir. Setelah cukup dingin, benda cor diambil dan dilakukan perlakuan panas jika
diperlukan (Matson, dkk., 2007 dalam Sutiyoko 2011). Perkembangan penggunaan
metode pengecoran lost foam mengalami peningkatan cukup besar sejak tahun 1990
(Gambar 2). Pada tahun 1997 sebanyak 140.700 ton aluminium, besi cor dan baja sudah
diproduksi dengan proses pengecoran lost foam (Hunter, 1998 dalam Sutiyoko 2011).
13

2.3 Uji Tarik


Uji tarik adalah pemberian gaya atau tegangan tarik kepada material
denganmaksud untuk mengetahui atau mendeteksi kekuatan dari suatu material.
Tegangan tarik yang digunakan adalah tegangan aktual eksternal atau perpanjangan
sumbu benda uji. Uji tarik dilakuan dengan cara penarikan uji dengan gaya tarik secara
terusmenerus, sehingga bahan (perpajangannya) terus menerus meningkat dan teratur
sampai putus, dengan tujuan menentukan nilai tarik. Mengetahui kekuatan tarik suatu
bahan dalam pembebanan tarik, dimana garis gaya harus berhimpit dengan garis sumbu
bahan sehingga pembebanan terjadi beban tarik lurus. Tetapi jika gaya tarik sudut
berhimpit maka yang terjadi adalah gaya lentur. Hasil uji tarik tersebut mencatat
fenomena hubungan antara tegangan-regangan yang terjadi selama proses uji tarik
dilakukan. Mesin uji tarik seringdiperlukan dalam kegiatan engineering untuk
mengetahui sifat-sifat mekanik suatu material. Mesin uji tarik terdiri dari beberapa
bagian pendukung utama, diantaranya :kerangka, mekanikme pencekam spesimen,
sistem penarik dan mekanikme, sertasistem pengukur. Uji tarik banyak dilakukan untuk
melengkapi informasi rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data
pendukung bagi spesifikasi bahan. Uji tarik benda uji diberi beban gaya tarik sesumbu
yang bertambah secara kontiniu, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan mengenai
perpanjang yang dialami benda uji. ( Salindeho,dkk.,2011.)

2.3.1 Tegangan-Regangan Teknis


Sifat-sifat mekanik material yang dikuantifikasikan salah satunya dengan kuat
tarik dapat diperoleh dengan pengujian tarik. Pengujian tarik uniaksial atau uji satu arah,
benda uji diberi beban atau gaya tarik pada satu arah dan gaya yang diberikan bertambah
besar secara kontinu. Benda uji akan bertambah panjang dengan bertambah gaya yang
diberikan. Berdasarkan hasil pengujian tarik yaitu berupa data gaya dan perpanjangan,
maka dapat dianilisis untuk menentukan tegangan dan regangan secara teknis, (
Salindeho,dkk.,2011.) yaitu persamaannya:
14

2.3.2 Tegangan Teknis


Tegangan yang didapatkan dari kurva tegangan teoritik adalah tegangan yang
membujur rata-rata dari pengujian tarik. Tegangan tersebut diperoleh dengan cara
membagi beban dengan luas awal penampang lintang benda uji itu. (
Salindeho,dkk.,2011.)
P N
 ( )....................(2.1)
AO mm2

Dimana,
P = gaya yang diberikan pada benda uji (N)
AO = luas penampang awal benda uji (mm2)

Regangan yang didapatkan adalah regangan linear rata-rata, yang diperoleh dengan cara
membagi perpanjangan (gage length) benda uji, dengan panjang awal.
( Salindeho,dkk.,2011.)
L L1  LO
  .................(2.2)
LO LO
Dimana,
L = Pertambahan panjang (mm)
L0 = Panjang awal (mm)
L1 = Panjang akhir (mm)

Menarik suatu benda uji secara terus menerus sampai putus, akan mendapatkan
profil tarikan yang lengkap yang berupa kurva seperti digambarkan pada Gambar 2.2.
Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang.
Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.
Memudahkan pembahasan, Gambar 2.1 dimodifikasi dari hubungan antara gaya tarikan
dan pertambahan panjang menjadi hubungan antara tegangan mekanik dan regangan
(stress vs strain), ( Salindeho,dkk.,2011.)
15

2.3.3 Tegangan-Regangan Sejati


Tegangan-regangan teknik tidak memberikan indikasi karekteristik deformasi
yang sesungguhnya, karena kurva tersebut semuanya berdasarkan pada dimensi awal
benda uji, sedangkan selama pengujian terjadi perubahan dimensi. Pada tarik untuk
logam liat, akan terjadi penyempitan setempat pada saat beban mencapai harga
maksimum. Karena pada tahap ini luas penampang lintang benda uji turun secara cepat,
maka beban yang dibutuhkan untuk melanjutkan deformasi akan segera mengecil. (
Salindeho,dkk.,2011.)

Gambar 2.3 Kurva tegangan-regangan teknis


( Sumber : fhianunikoe.blogspot.com)

Tegangan-regangan teknik juga menurun setelah melewati beban maksimum.


Keadaan sebenarnya menunjukkan, logam masih mengalami pengerasan regangan
sampai patah sehingga tegangan yang dibutuhkan untuk melanjutkan deformasi juga
bertambah besar. Tegangan yang sesungguhnya adalah beban pada saat manapun dibagi
dengan luas penampang lintang benda uji, Ao dimana beban itu bekerja. Tegangan-
regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas area dan panjang) dari benda uji,
16

sementara untuk mendapatkan tegangan-regangan sejati diperlukan luas area dan


panjang aktual pada saat pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva
tidaklah terlampau besar pada regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada
rentang terjadinya pengerasan regangan, yaitu setelah titik luluh terlampaui. Secara
khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah necking (pengecilan
penampang). Tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara
aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada
saat penghitungan tegangan   P / Ao . Sementara pada kurva tegangan-regangan sejati
luas area aktual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan dan benda uji mampu
menahan peningkatan tegangan karena  '  P / Ai . ( Salindeho,dkk.,2011.)
Hubungan tegangan-regangan sejati dan tegangan-regangan teknis, yaitu dengan
persamaan sebagai berikut: ( Salindeho,dkk.,2011.)

    (1   ), ( N )....................(2.3)
mm2
   1n(1   ), ( o o ).............................(2.4)
Dimana :
   tegangan sejati (N/mm2)
   regangan sejati (%)
17

Gambar 2.4 Perbandingan antara kurva tegangan regangan teknik Dengan kurva tegangan
regangan sejati ( Sumber : fhianunikoe.blogspot.com)

2.4 Pengamatan Struktur Mikro


Strukturmikro paduan Al-Si terbagi tiga yaitu hypoeutektik, eutektik dan
hypereutektik. Hypoeutektik adalah paduan aluminium dengan komposisi silikon
dibawah 11.7% (Gambar 2.28.a), eutektik adalah paduan dengan komposisi 11.7-12%
(Gambar 2.28.b), dan hypereutektik adalah paduan dengan komposisi silikon diatas
komposisi 12% (Gambar2.28.c). Berbagai unsur yang lain seperti Fe, Cu, Mg, Ni, Zn
ditambahkan untuk mendapatkan sifat aliran yang baik serta memiliki sifat mekanis
yang baik (Ivan dan Suyitno,2009)

Gambar 2.5.Tipe strukturmikro hypoeutektik, eutektik, dan hypereutektik aluminium silikon. (a).
Komposisi hypoeutektik paduanA319 ,(b). Komposisi eutektik paduan A339. (c). Komposisi
hypereutektik paduan A390
(Sumber : ASM Handbook vol.9 2004 dalam Ivan dan Suyitno,2009).

Daerah didekat komposisi eutektik pada 577°C, 11.7%Si bila dituang dan
didinginkan akan didapat serpih Si dalam matriks Al. Eutektik yang terbentuk pada
larutan padat 1%Si merupakan silikon murni. Proses pembekuan yang lama pada paduan
Al-Si menghasilkan strukturmikro yang sangat kasar dan eutektik terdiri dari Silikon
yang berbentuk pelat dengan jumlah yang cukup banyak (ASM Handbook vol.9 2004
dalam Ivan dan Suyitno,2009).

2.5 Pengaruh temperatur tuang terhadap struktur mikro


18

Paduan yang memiliki eutektik kasar menunjukkan keliatan yang rendah karena
struktur pelat silikon bersifat rapuh. Kandungan silikon yang tinggi memberikan struktur
hipereutektik pada Al-Si, namun pada proses pemesinan akan mengalami kesulitan
karena pada strukturmikro mengandung partikel silikon yang keras. (Ivan dan
Suyitno,2009)

Struktur mikro paduan aluminium 356.1 diamati pada temperatur tuang 680,
710, dan 740oC serta pada kerapatan polystyrene foam 0,0077 g/cm3 saja serta pada
ukuran mesh pasir (Gambar 2.6). (Ivan dan Suyitno,2009)
a b

c d

e f
a
19

Gambar 2.6.Struktur mikro A356 pada temperatur tuang. (a. b.)Temperatur tuang 680 oC (c.
d.)Temperatur tuang 710oC (e. f.)Temperatur tuang 740oC
(Sumber : ASM Handbook vol.9 2004 dalam Ivan dan Suyitno,2009).

Struktur mikro paduan aluminium 356.1 memperlihatkan dua struktur utama


yaitu tipe aluminium dendrite yang berwarna putih dan tipe eutektik silikon. Struktur
mikro pada temperatur tuang 680oC, memperlihatkan struktur aluminium denderit
mendominasi permukaan coran sementara eutektik eutektik silikon membentuk
serpihan-serpihan tebal dan panjang diantara dendrite. Struktur mikro pada temperatur
tuang 710oC memperlihatkan struktur β-eutektik silikon tipis dan pendek serta mulai
melebar diantara dendrite, sementara struktur aluminium denderit yang terurai pada
permukaan coran menjadi semakin kecil bulat lonjong. Struktur mikro pada temperatur
tuang 740oC, memperlihatkan struktur aluminium denderit yang terurai pada permukaan
coran menjadi semakin kecil bulat atau mendekati bulat, sedangkan struktur β-eutektik
silikon semakin tipis dan pendek serta semakin melebar diantara dendrite. (Ivan dan
Suyitno,2009)
Struktur mikro paduan aluminium 356.1 secara umum terlihat mengalami
perubahan dengan naiknya temperatur penuangan.α-aluminium dendrite yang
o
mendominasi permukaan coran pada temperatur 680 C menjadi bulat atau hampir bulat
pada temperatur penuangan 740oC. Dengan bertambahnya temperatur penuangan β-
eutektik silikon yang berupa serpihan-serpihan panjang dan tebal pada temperatur
penuangan 680oC menjadi serpihan-serpihan pendek dan halus diantara dendrite pada
temperatur tuang 740oC. Temperatur tuang yang tinggi akan menyediakan waktu
pembekuan yang lebih panjang dan struktur mikro yang tumbuh lebih halus. (Ivan dan
Suyitno,2009)
Pertumbuhan β-eutektik silikon pada temperatur tuang rendah terdapat diantara
DAS (Dendrite Arm Spacing) yang sempit sedangkan pada temperatur tuang yang tinggi
Si terurai menjadi lebih luas diantara DAS.β-eutektik silikon pada temperatur tuang
680oC memiliki waktu pembekuan yang singkat dan pada ruang yang sempit sehingga
20

struktur yang dihasilkan berbentuk serpihan panjang dan tebal. β-eutektik silikon pada
temperatur tuang 710oC memiliki waktu pembekuan yang agak panjang sehingga
membentuk struktur mikro berupa serpihan yang mulai mengecil dan lebih pendek. β-
eutektik silikon pada temperatur pembekuan 740oC mempunyai waktu pembekuan yang
lebih lama sehingga membentuk struktur mikro yang lebih pendek dan lebih halus.
Perubahan bentuk ini akibat adanya perbedaan kecepatan pembekuan seperti
yang diutarakan oleh Venkataramani dkk, (1999) kecepatan pembekuan berkurang
dengan meningkatnya temperatur penuangan pada cetakan pasir dan metode pengecoran
evaporative. Efek dari perubahan laju pembekuan yang lambat menyebabkan struktur
mikro menjadi lebih halus sehingga ketahanan coran untuk menahan beban deformasi
semakin berkurang. (Ivan dan Suyitno,2009)

Anda mungkin juga menyukai