Anda di halaman 1dari 8

TUGAS PRAKTIKUM PARASITOLOGI

“MYIASIS”

Nama : Muh. Ilham Hidayat


NIM : N101 18 021
Kelompok : III

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
MIASIS

1. Definisi

Miasis adalah infestasi atau invasi larva lalat diptera, baik pada organ tubuh
atau jaringan manusia maupun hewan vertebrae. Miasis biasanya menyerang
hewan ternak, seperti domba, kambing, sapi dan vertebrae lainnya. Pada
manusia, infestasi larva lalat diptera terjadi pada luka yang bernanah, luka
terbuka, terutama jaringan nekrotik dan dapat mengenai setiap lubang atau
rongga seperti mata, telinga, hidung, mulut, vagina dan anus.Insidensi miasis
hidung sangat jarang terjadi dibandingkan miasis kulit. Spesies lalat yang dapat
menyebabkan miasis hidung, antara lain Oestrus ovis, Chrysomya bezziana,
Cochliomyia hominivorax, Drosophila melanogaster dan Lucilia sericata
(Zuleika, 2016).

2. Etiologi

Agen primer penyebab miasis terbagi menjadi tiga, yaitu lalat Cochliomya
hominivorax (The New World Screwworm Fly) yang tersebar di benua Amerika,
lalat Wohlfahrtia magnifica yang tersebar di Eropa hingga Tiongkok, serta lalat
Chrysomya bezziana yang tersebar di kawasan Afrika bagian tropis dan sub
tropis, subkontinen India, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Papua New
Guinea (Wientarsih, 2017).

Menurut OIE (2013) mengklasifikasikan lalat penyebab myiasis menjadi


New World screwworm fly (NWS) Cochliomyia hominivorax dan Old World
screwworm (OWS). Contoh NWS adalah Cochliomyia hominivorax, sedangkan
OWS adalah Chrysomya bezziana dan saat stadium larva keduanya merupakan
parasit obligat pada mamalia. Klasifikasi myiasis dapat dilakukan dengan 2 cara
yang berbeda. Klasifikasi pertama adalah berdasarkan lokasi terdampak seperti
kulit, nasofaring, okular, saluran pencernaan dan urogenital, sedangkan
klasifikasi kedua didasarkan atas hubungan hospes dengan parasit seperti obligat,
fakultatif dan insidental (Yanuartono, 2019).

3. Morfologi

Chrysomya sp. sering menyebabkan myiasis baik pada manusia dan hewan
dikawasan Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Lalat Chrysomya Sp berwarna
biru metalik, biru keunguan atau biru kehijauan. Kepala lalat berwarna oranye
dengan mata berwarna merah gelap. Ukuran lalat ini bervariasi tergantung pada
ukuran larvanya. (Hidayat, 2016).

Gambar : Larva Chrysomya sp.


(A, B) Instar ketiga panjangnya kira-kira 14 mm dengan kait mulut yang
kuat (mh). (C) Spirakel posterior (ps) diamati dengan celah spiral (sl) sedikit
konvergen dan peritreme (p) tebal dan tidak lengkap. (D) Mikrograf diseksi
(dilengkapi tiga celah dengan peritrem yang kuat dan berwarna kehitaman) dari
spirakel posterior (ps). (E-I) Dua larva instar ketiga diisolasi dari cairan yang
dikeluarkan dari lesi kulit pasien. (E) Menunjukkan debit yang mengandung dua
larva dengan dua kerangka cephalopharyngeal hitam (c), (F dan G) kait mulut
yang kuat dan kokoh (mh), (G dan I) spirakel anterior (as) dengan bentuk
palmate karena enam papila tersusun dalam satu baris, dan (H) duri
intersegmental dengan ujung tunggal yang meruncing ke arah tubuh. Ukuran: C,
F dan H = 100 μm; G = 200 μm; I = 20 μm (Zhou, 2019).

4. Siklus Hidup

Siklus hidup lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva,
pupa dan lalat . Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai dengan L3
memerlukan waktu enam hingga tuj uh hari, selanjutnya L3 akan membentuk
pupa dalam waktu tujuh sampai delapan hari, kemudian menjadi lalat yang akan
bertelur setelah enam hingga tujuh hari. Lalat betina akan meletakkan kumpulan
telurnya di tepi luka pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu sekitar
4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95
sampai 245 (rata-rata 180 telur) . Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu
12 - 24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30°C, selanjutnya LI menuju ke daerah
luka yang basah . Sehari kemudian, LI akan berubah menjadi L2 dan muiai
membuat terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara
masuk ke dalam jaringan inang. Larva instar II (L2) akan berkembang menjadi
L3 pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh ke
tanah. Larva tersebut akan membuat terowongan sepanjang 2 - 3 cm untuk
menghindari sinar matahari secara langsung . Larva akan membentuk pupa dalam
waktu 24 jam pada suhu 28°C (Wardani, 2017).

Gambar : Siklus Hidup Lalat Chrysomya sp.

Inang utama C. bezziana adalah hewan peliharaan besar dan satwa liar, dan
kadang-kadang manusia. C. bezziana betina tertarik ke inang dengan luka atau
bagian tubuh yang terbuka dan lembab, termasuk pusar hewan yang baru lahir,
tempat bertelur hingga 245 telur (Gambar 1A). Dalam kasus manusia, lokasi
infestasi utamanya adalah mulut, tungkai, daerah perineum dan inguinal, telinga,
mata, hidung, wajah, kulit kepala, dan batang tubuh . Telur menetas dalam
beberapa jam dan larva yang dihasilkan menggali ke dalam daging dan
menghancurkan jaringan hidup (Gambar 1B). Setelah mabung melalui tiga instar
larva, larva dewasa mengevakuasi luka setelah 6-7 hari (Gambar 1C),
menjatuhkan diri ke tanah dan menggali ke dalam tanah di mana mereka
membentuk puparium (Gambar 1D). Lalat dewasa muncul setelahnya (Gambar
1E), tergantung pada suhu lingkungan (Zhou, 2019).

5. Tanda dan Gejala

Perubahan patologis yang parah akibat myiasis berhubungan dengan tahap


perkembangan larva saat memakan inang. Larva menghancurkan jaringan hidup
dan menyebabkan lesi ulseratif yang dalam, nyeri, berhubungan dengan
perdarahan dan keluarnya cairan purulen serosanguinous. Infeksi sekunder,
demam, penurunan berat badan, dan peradangan dapat terjadi. Infestasi awal
yang masif atau serangkaian serangan berulang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang sangat besar dan perluasan luka. Larva dapat
menghancurkan tulang, sinus hidung, rongga orbita, langit-langit keras, bola
mata, alat bantu dengar, dan gigi. Invasi agresif pada tubuh inang dapat
menyebabkan komplikasi serius termasuk kelemahan, amputasi anggota tubuh,
kebutaan, dan kematian (Zhou, 2019).

Selain ulkus atau luka yang berisi larva hidup , gejala C. bezziana myiasis
sebagian besar tidak spesifik, mulai dari pruritis dan nyeri, hingga kerusakan
jaringan dan / atau tulang yang parah. Gejala lain yang sering dilaporkan
termasuk perdarahan, ulkus, luka, perforasi, keluarnya cairan, bengkak, nyeri,
demam, nekrosis , jaringan parah dan / atau kerusakan tulang, dan bau busuk
yang berasal dari luka. Pasien dengan myiases rongga mulut umumnya memiliki
bau busuk, termasuk halitosis. (Zhou, 2019).

6. Diagnosis
Gold Standar untuk diagnosis C. bezziana myiasis adalah bukti entomologis
untuk identifikasi spesies. Larva sampel dibunuh dengan cara direndam dalam air
hampir mendidih (90–100 ° C) selama 30 detik sebelum diawetkan dalam etanol
70% -95% . Ciri-ciri anatomi larva C. bezziana dapat digunakan untuk
identifikasi awal: bentuk tubuh, permukaan tubuh dengan pita menonjol dari duri
seperti duri, papila, spirakel (posterior dan anterior), batang trakea punggung,
kait mulut, dan kerangka cephalopharyngea (Zhou, 2019).

7. Tatalaksana

Prinsip penatalaksanaan miasis adalah dengan menghilangkan faktor


penyebab miasis disertai pengeluaran larva yang ada. Beberapa terapi topikal
yang direkomendasikan pada kasus miasis, seperti aplikasi minyak, kloroform,
dekstrosa, larutan iodin, dan larutan salin normaluntuk membantu pengangkatan
larva. Terapi topikal ini dapat digunakan baik secara tunggal maupun kombinasi.
Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Pengangkatan larva hidup
secara manual umumnya tidak sulit dilakukan, namun untuk larva yang tidak
dapat dijangkau secara manual direkomendasikan dengan penggunaan endoskopi
(Zuleika, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, R., Rahaju, P., Surjotomo, H., & Murdiyo, M. D. (2016). Laporan kasus:
Myiasis pada peristoma trakeostomi. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29(1), 95-98.
https://www.jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/1249

Wardani, D. P. K., & Mulyanto, A. (2017). Identifikasi Larva Lalat Dalam


Kepentingan Post Mortem Interval Pada Bangkai Tikus (Rattus novergicus)
Yang Diberi Ciu Oplosan Di Science Techno Park Universitas Muhammadiyah
Purwokerto. Herb-Medicine Journal, 2(1).
http://www.jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/HMJ/article/view/4204

Wientarsih, I., Mustika, A. A., Wardhana, A. H., Darmakusumah, D., & Sutardi, L.
N. (2017). Daun Binahong (Andredera cordifolia Steenis) sebagai alternatif
insektisida terhadap miasis yang disebabkan lalat Chrysomya bezziana. Jurnal
Veteriner, 18(1), 121-127. https://core.ac.uk/download/pdf/207777634.pdf

Yanuartono, S. I., Nururrozi, A., & Purnamaningsih, H. (2019). Myiasis pada


Ruminansia: Diagnosis, Manajemen Terapi dan Pencegahan. Jurnal Ilmu
Peternakan dan Veteriner Tropis, 9(2), 67-75.
https://docs.google.com/document/d/17BIBPq7u1NcSiV_3iu9ZdgF4-
4YBvbMesByegbU2iSY/

Zhou, X., Kambalame, D. M., Zhou, S., Guo, X., Xia, D., Yang, Y., Wu, R., Luo, J.,
Jia, F., Yuen, M., Xu, Y., Dai, G., Li, L., Xie, T., Puthiyakunnon, S., Wei, W.,
Xie, L., Liang, S., Feng, Y., Huang, S., … Zhou, X. (2019). Human Chrysomya
bezziana myiasis: A systematic review. PLoS neglected tropical diseases, 13(10),
e0007391. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0007391

Zuleika, P. (2016). Penataksanaan Tiga Kasus Miasis Hidung. Jurnal Kedokteran


dan Kesehatan, 2(3), 325-331. https://repository.unsri.ac.id/24666/

Anda mungkin juga menyukai