Anda di halaman 1dari 13

DIABETES MELLITUS, NEFROPATI DIABETIC, HIPERTENSI STAGE

II
A. TOPIK PEMBELAJARAN
Farmakoterapi pada Diabetes Mellitus, nefropati diabetic, hipertensi stage II.
B. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu mengkorelasi antara penyakit yang dihadapi pasien dengan faktor resiko
dan patofisiologinya.

2. Mahasiswa mampu menafsirkan hasil pemeriksaan laboratorium klinik pasien.

3. Mahasiswa mampu menilai permasalahan terapi yang dihadapi pasien.

4. Mahasiswa mampu merumuskan tujuan terapi.

5. Mahasiswa mampu memutuskan terapi farmakologi dan non-farmakologi

6. Mahasiswa mampu menyusun algoritma terapi individual berdasarkan permasalahan yang


ada.

7. Mahasiswa mampu merencanakan monitoring dan evaluasi kepada pasien

1. Mahasiswa mampu mengkorelasi antara penyakit yang dihadapi pasien dengan faktor
resiko dan patofisiologinya.
 Kerusakan ginjal pada nefropati diabetic
Pada patofisiologi terjadinya kerusakan ginjal, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari
mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron
yang sehat lambat laun akan menyebabkan skleriosis dari nefron tersebut. Mekanisme
terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetic kemungkinan disebabkan
oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon
vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia
adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang
diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase
yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan
permeabilitas kapiler. ( Rivandi,2015)
 Hiperglikemia
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan
protein atau reaksi Mallard dan Browning. Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu amino
serta non-enzimatik
menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih
stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut
terus, akan terbentuk Advenced Glycation End-Product (AGEs) yang ireversibel. AGEs
diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion
molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi
sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus
berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pementukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis sesuai dengan tahap 1-5.( Rivandi,2015)
 Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan nefropati diabetic
Dari kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya glikosilasi protein membran basalis,
sehingga terjadi penebalan selaput membran basalis, dan terjadi pula penumpukkan zat serupa
glikoprotein membran basalis pada mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler glomerulus
terdesak, dan aliran darah terganggu yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan hipertrofi
nefron yang akan menimbulkan nefropati diabetik. Nefropati diabetic menimbulkan berbagai
perubahan pada pembuluh-pembuluh kapiler dan arteri, penebalan selaput endotelial, trombosis,
adalah karakteristik dari mikroangiopati diabetik dan mulai timbul setelah periode satu atau dua
tahun menderita Diabetes Melitus. Hipoksia dan iskemia jaringan-jaringan tubuh dapat timbul
akibat dari mikroangiopati khususnya terjadi pada retina dan ginjal. Manifestasi mikroangiopati
pada ginjal adalah nefropati diabetik, dimana akan terjadi gangguan faal ginjal yang kemudian
menjadi kegagalan faal ginjal menahun pada penderita yang telah lama mengidap Diabetes
Melitus.
Berikut tahapan-tahapan nefropatidiabetik:
1. Tahap I
Pada tahap ini LGF meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai
pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap
ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur
ginjal akan normal kembali.
2. Tahap II
Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut,
dan LGF( Laju Filtasi Glomerolus) masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat
setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini
dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas
biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai tahapsepi
(silent stage).
3. Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati atau insipient diabetic nephropathy saat
mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM tegak.
Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. LGF masih tetap
ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih
mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4. Tahap IV
Tahapan saat dimana Nefropati Diabetik bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria
yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat tajam dan LGF menurun
di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula
dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular
umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa
darah, lemak darah dan tekanan darah.
5. Tahap V
Ini adalah tahap akhir gagal ginjal, saat LGF sudah sedemikian rendah sehingga
penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu
terapi pengganti,
dialisis maupun cangkok ginjal.
Secara histopatologik pada nefropati diabetik meliputi perubahan pada glomerulus yang
mengenai kapiler glomerulus membrane basalis dan kapsul, perubahan pada vaskuler ginjal
yaitu terjadi arteriosklerosis, perubahan pada tubulus dan intestial yang dapat berupa endapan
hialin pada tubulus proksimal, deposit glikogen pada tubulus proksimal, atropi tubulus dan
fibrosis interstitial. Diagnosis Nefropati Diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada
penderita DM tipe 2. Bila jumlah protein dan albumin didalam urin masih sangat rendah,
sehingga untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi jika sudah
>30 mg/24 jam ataupun >20mg/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini dianggap
sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga ditentukan
dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albumin
atau kreatinin ratio atau ACR. Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam urin
(Rivandi,2015)
 Patofi siologi ND adalah adanya hiperfi ltrasi. Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap
sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Mekanisme terjadinya
peningkatan LFG pada ND kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan
glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks
ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC)
yang termasuk dalam serinethreonin kinase yang memiliki fungsi pada vascular seperti
kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemi kronik dapat
menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan
Browning) (Hendromartono, 2009).
 Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non enzimatik menjadi
basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi
masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlangsung terus akan
terjadi Advance Glycation End Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi
perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan
dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa sel matriks
ekstraseluler, serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi
ekspansi sesuai tahap-tahap pada mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan
bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM.
Diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen
intrarenal atau intraglomerulus (Hendromartono, 2009).
 Secara ringkas, beberapa faktor etiologis timbulnya ND adalah kurang terkendalinya
kadar gula darah (gula darah puasa > 140–160 mg/dl); faktor genetis; kelainan hemodinamik
(peningkatan aliran darah ginjal dan LFG, peningkatan tekanan intraglomerulus); hipertensi
sistemik; sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik); keradangan; perubahan permeabilitas
pembuluh darah; asupan protein berlebih; gangguan metabolic (kelainan metabolisme polyol,
pembentukan advanced glycation and products, peningkatan produksi sitokin); pelepasan
growth factors; kelainan metabolisme karbohidrat atau lemak atau protein; kelainan struktural
(hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus);
gangguan ion pumps (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ – ATPase pump);
dislipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseride-mia); aktivasi protein kinase-C
(Hendromartono, 2009).
 Obesitas
Pasien ini juga mempunyai obesitas sentral dimana jaringan adiposa mengeluarkan sitokin
misalnya TNF-α dan IL-6. Sitokin ini bersifat mensupresi produksi dan aktifitas EPO pada stem
cell, sehingga turut berperan dalam menyebabkan terjadinya anemia normositik normokrom
pada pasien. (Endah, 2011)
 Factor Usia
Pada DM tipe 2 terjadi penurunan progresif jumlah sel beta sebagai akibat meningkatnya
apoptosis sel beta yang melebihi proses replikasi dan neogenesis sel beta. Pada kondisi normal
sekitar 0,5% sel beta mengalami apoptosis tetapi diimbangi dengan replikasi dan neogenesis.
Seiring dengan pertambahan usia, jumlah sel beta juga akan menurun karena proses apoptosis
melebihi replikasi dan neogenesis. Hal ini menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan terhadap
kejadian DM tipe 2 (Rhodes, 2005).
 Faktor Usia terkena Hipertensi
Usia : Pada faktor usia semakin tua usia seseorang semakin besar resiko terserang
hipertensi karena arteri semakin kehilangan elastisitasnya. Dinding arteri juga dapat menjadi
kaku karena kalsifikasi lamerar elastis. Tekanan sistolik meningkat sesuai dengan usia,
sedangkan tekanan diastolik tidak berubah mulai dari dekade ke-5.(Rama,2017).

2. Mahasiswa mampu menafsirkan hasil pemeriksaan laboratorium klinik pasien. (NOT YET)

1. Pasien =9,1 %. HbA1c merupakan pengukuran kadar glukosa darah yang terikat pada Hb
secara kuat dan beredar bersama eritrosit selama masa hidup eritrosit (120 hari). Keuntungan dari
pengukuran HbA1c adalah didapatkannya perkiraan kadar glukosa darah ratarata selama 3 bulan,
karena disimpulkan terdapat korelasi langsung antara kadar HbA1c dan kadarglukosa darah rata-rata
selama 3 bulan. Glukosa darah tidak terkontrol bila HbA1c mencapai 8% atau lebih, sedangkan glukosa
darah terkontrol bila HbA1c kurang dari 7% menurut American Diabetes Association (ADA) atau
kurang dari 6,5% menurut American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) (Mathur, 2004).
Sedangkan menurut Perkeni, kriteria pengendalian DM adalah baik jika :
1) glukosa darah puasa 80-109 mg/dL,
2) 1. glukosa 2 jam PP 110-159 mg/dL, dan
3) 3. HbA1c 4-5,9%, sedang
4) jika glukosa darah puasa 110-139 mg/dL,
5) glukosa 2 jam PP 160-199 mg/dL, dan HbA1c 6-8%,
6) serta buruk jika glukosa darah puasa ≥ 140 mg/dL, glukosa 2 jam PP ≥200 mg/dL, dan HbA1c
>8% (Perkeni, 2006).
2. Kreatinin merupakan zat endogen yang dihasilkan secara konstan, disaring dengan bebas di
glomerulus dan tidak direabsorbsi oleh tubulus (Endah,2011).
3. Tekanan Darah Penyakit kardiovaskuler merupakan komplikasi yang sering timbul pada
penderita diabetes, dan hipertensi seringkali dijumpai pula pada penderita diabetes, dan
menjadi faktor resiko terjadinya komplikasi penyakit kardiovaskuler dan mikrovaskuler.
Disarankan, tekanan darah harus selaludikontrol secara lebih ketat pada penderita diabetes.
Didalam populasi pada umumnya untuk penderita hipertensi, tekanan darah sistol harus
dijaga selalu dibawah 140 mmHg, atau dibawah 130 mmHg pada pasien yang lebih muda
(atau bisa dicapai tanpa pengobatan yang berat), dengan tekanan diastol dibawah 90 mmHg.
Untuk penderita diabetes, tekanan sistol harus selalu dibawah 130 mmHg, dan diastole
dibawah 80 mmHg (Widodo,2014).
4. Albumin 3,4 g/dl nilai rujukan 3,5-5,0 g/dl yang menandakan nilai albumin rendah
albumin darah yang rendah disebabkan peningkatan ekskresi protein melalui urin,
terutama albumin. Pada orang normal, ekskresi protein lewat urin < 150 mg/hari, dan
albumin hanya < 30 mg/hari. Pada pasien ini, ekskresi protein lewat urin sangat tinggi, yaitu
9555 mg/24 jam, sehingga mengakibatkan berkurangnya kadar protein total dan albumin
darah. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik plasma, sehingga
cairan berpindah dari kapiler dan sel ke ruang interstitial Hal ini didukung data pemeriksaan
fisik yang menyebutkan adanya edema pada kedua ekstremitas. (Endah, 2011).
5. Proteinuria +3 = Proteinuria > 3500 mg/hari menunjukkan kerusakan membran basalis
glomerulus yang sudah cukup luas. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya hematuria
karena sel darah dapat lolos melalui barier membrane glomerulus yang rusak. Pada pasien
ini didapatkan adanya hematuri +3 dari pemeriksaan carik celup dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan mikroskopis urin yang menunjukkan data adanya eritrosit 1-2/LPB.
( Endah,2011).
6.
3. Mahasiswa mampu menilai permasalahan terapi yang dihadapi pasien. ( NOT YET)
1)Dosis Terlalu Rendah Dosis injeksi furosemid pada pasien normal adalah 10 mg, namun pada
pasien dengan gagal ginjal akan meningkat 80-160 mg karena pada dosis dibawah 80 mg furosemid
menjadi tidak efektif, dianjurkan adalah penyesuaian dosis 1-3 gr/hari secara oral atau intravena untuk
mendapatkan efek maksimal dari furosemide (Rusdianti, 2018).
2) Pemberian Captopril yang dapat memperburuk kondisi pasien , sehingga perlu disarankan
untuk penggunaan CCB pada golongan DHP sebagai terapi pengganti karena bekerja langsung
pada jantung sehingga dapat mengatasi sinus takikardi pada pasien. Tidak direkomendasikan
golongan ARB karena adanya interaksi dengan furosemide, yakni dapat meningkatkan efek dari
furosemide.
3)

4. Mahasiswa mampu merumuskan tujuan terapi.

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang


diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati


dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. (PERKENI,2015).
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Tujuan pengobatan hipertensi adalah: 22


1. Target tekanan darah <140/90 mmhg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal ginjal
proteinuria) <130/ 80 mmhg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.(Putri, 2014).
5. Mahasiswa mampu memutuskan terapi farmakologi dan non-farmakologi

 Terapi Farmakologi :

1) Pemberian Antihipertensi golongan CCB yaitu obat Amlodipin 10 mg diberikan dengan tujuan
Amlodipin boleh diberikan, karena bekerja pada tonus otot polos miokardium yang memberikan
efek relaksasi atau penurunan kerja jantung. Hal tersebut menyebabkan penurunan tekanan
darah dengan menurunkan luaran jantung atau cardiac output yang menyebabkan penurunan
cardiac filling. (Rusdianti,2018).
2) Pemberian dosis diuretic Furosemid perlu di tingkatkan untuk namun pada pasien dengan
gagal ginjal akan meningkat 80-160 mg karena pada dosis dibawah 80 mg furosemid menjadi
tidak efektif, dianjurkan adalah penyesuaian dosis 1-3 gr/hari secara oral atau intravena untuk
mendapatkan efek maksimal dari furosemide (Rusdianti,2018).
3)
 Terapi NonFarmakologi :

1) penurunan berat badan, ini dapat dilakukan dengan mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan yang juga dapat memberikan manfaat yang
lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.
(Rama,2017).
Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adaalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-
12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu. (Rivandi, 2015)
2) diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien
hipertensi derajat ≥2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/hari. ( Rama, 2017)
3) Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30–60 menit/hari, minimal 3 hari/minggu,
dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk
berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai
sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya ( Rama, 2017).
4) Asupan protein hingga 0,8 g/kg/BB ideal/hari. Target tekanan darah pada nefropati diabetik
adalah <130/80 mmHg. Protein dianjurkan sesuai dengan tingkatan penurunan fungsi ginjal.
Pada saat ini anjuran asupan protein 0.8 gr/kg BB/hari, kurang atau sama dengan 10% dari total
energi. Apabila terjadi penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dimana fungsi ginjal sudah sangat
buruk, ditandai dengan nilai Glomerolus Filtration Rate (GFR)/Creatinine Clearance Test
(CCT) 10-15 ml/mt), maka asupan protein dianjurkan 0.6 gr/kg BB. Sekurang-kurangnya 50%
berasal dari protein yang bernilai bernilai biologi tinggi. Pada nefropati diabetik dimana pasien
sudah menjalani terapi pengganti hemodialysis protein dianjurkan 1,2 gr/kgBB/hari, sedangkan
jika pasien menjalani Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) protein dianjurkan
1,3-1,5 gr/kg BB/hari atau sama dengan ± 20% dari total kalori. ( Rama, 2017).
5)
7.Mahasiswa mampu merencanakan monitoring dan evaluasi kepada pasien
1) Pada diabetes dengan nefropati diabetic dilakukan Monitoring albumin urin secara kontinu untuk
menilai respon terapi dan rogresivitas penyakit masih dapat diterima (PERKI, 2016)

2) monitoring terhadap kadar serum kreatinin dan kalium serum


LEMBAR REKONSILIASI PENGOBATAN

No. ID : IN696HD02
No. RM : 17.00.143.97
Nama Pasien :
Nama Ibu Kandung :
Alamat Pasien :

Daftar Riwayat Alergi

Tanggal Obat yang menyebabkan Berat alergi Reaksi Alergi


alergi Ringan/Sedang/Berat

Daftar semua jenis obat yang digunakan pasien atau dibawa dari rumah baik Obat Resep, OTC, Herbal
atau TCM

No Nama Obat Dosis/Frekuensi Berapa Alasan Makan Berlanjut saat rawat


Lama Obat inap
Ya Tidak

Petugas,

( )
PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Parameter Nilai Tanggal


Penyakit Normal
Tekanan ≤120/80
Tanda Vital
Darah mmHg
(mmHg)
Nadi (kali per 60-
menit) 80x/menit
Suhu Badan 37±0.5°C
(°C)
Respirasi (kali 18-
per menit) 22x/menit
Keluhan

Laboratorium
Pasien

Rute Nama Obat Dosis


Parenteral

Rute Oral

IV FD

Rute Lainnya
MONITORING EFEK SAMPING OBAT
ALGORITMA NARANJO

Skala
Ya Tidak Tidak
No Pertanyaan
diketahui
Apakah ada laporan efek samping obat yang
1 serupa? 1 0 0

Apakah efek samping obat terjadi setelah


2 pemberian obat yang dicurigai? 2 -1 0

Apakah efek samping obat membaik setelah obat


3 dihentikan atau obat antagonis khusus diberikan? 1 0 0

Apakah efek samping obat terjadi berulang


4 setelah obat diberikan kembali? 2 -1 0

Apakah ada alternatif penyebab yang dapat


5 menjelaskan kemungkinan terjadinya efek -1 2 0
samping obat?

Apakah efek samping obat muncul kembali


6 setelah placebo diberikan? -1 1 0

Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di dalam


7 darah atau cairan tubuh lainnya dengan 1 0 0
konsentrasi yang toksik?

Apakah efek samping obat bertambah parah


8 ketika dosis obat ditingkatkan atau bertambah 1 0 0
ringan ketika obat diturunkan dosisnya?

Apakah pasien pernah mengalami efek samping


9 obat yang sama atau dengan obat yang mirip 1 0 0
sebelumnya?

Apakah efek samping obat dapat dikonfirmasi


10 dengan bukti yang objektif? 1 0 0

Skor Total
Naranjo probability scale:

Score Category

9+ Highly probable

5-8 Probable

1-4 Possible

0 Doubtful
DOKUMEN KONSELING

Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Tanggal Lahir :
Alamat :
Tanggal Konseling :
Nama Dokter :
Diagnosa :
Nama Obat, Dosis dan Cara Pemakaian :

Riwayat Alergi :
Keluhan :
Pasien pernah datang konseling sebelumnya :
Ya / Tidak
Tindak Lanjut
Pasien Apoteker

( ) ( )

Anda mungkin juga menyukai