Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KASUS DEMAM


THYPOID DI PUSKESMAS JABUNG PROBOLINGGO
Dosen Pembimbing :

Oleh:

Lutviatil Lailiyah

14901.07.20019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN

PROBOLINGGO

2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN PASIEN KASUS DEMAM THYPOID DI PUSKESMAS
JABUNG PROBOLINGGO

Telah disahkan pada :


Hari :
Tanggal :

MAHASISWA

Lutviatil Lailiyah
NIM: 14901.07.20019

PEMBIMBING LAHAN PEMBIMBING AKADEMIK

KEPALA RUANGAN
LEMBAR KONSULTASI AKADEMIK
No Tanggal Pembimbing Evaluasi Paraf

LAPORAN PENDAHULUAN
DEMAM THYPOID

A. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pencernaan

1. Anatomi Sistem Pencernaan

Gambar 1. Anatomi sistim pencernaan (Sherwood, 2001)

Menurut Watson (2002), secara sistematis saluran pencernaan terdiri dari 2

bagian, yaitu:

a. Saluran pencernaan atas terdiri dari

1) Mulut

Mulut adalah permulaan dari saluran pencernaan yang terdiri atas 2 bagian

yaitu bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang antara gusi, gigi,

bibir dan pipi. Sedangkan bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi

sisi-sisinya oleh tulang maksilaris dan semua gigi, dan di sebelah belakang

bersambungan dengan awal.


Didalam mulut terdapat saliva dan ludah yang dihasilkan oleh 3 kelenjar

yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibularis dan kelenjar seblingualis.

Saliva adalah cairan yang bersifat alkali yang mengandung misin, enzim

pencernaan zat tepung yaitu ptialin dan sedikit zat padat. Fungsi saliva

yaitu ;

a) Kerja fisis membasahi mulut, membersihkan lidah dan mempermudah saat

berbicara.

b) Kerja kimiawi disebabkan oleh amilase ludah, setelah makanan dicerna

dimulut maka makanan tersebut ditelan dengan membentuk makanan

menjadi lobus dan dengan bantuan lidah lidah dan pipi sera belakang

mulut makanan masuk ke dalam faring.

2) Faring

Faring merupakan organ yang berhubungan dengan rongga mulut dan

kerongkongan (esofagus). Didalam lingkungan faring terdapat tonsil yaitu

kumpulan limfa yang mengandung limfosit yang merupakan pertahanan

terhadap infeksi.

3) Esofagus

Esofagus adalah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm, dimulai dari

faring sampai pintu masuk kardiak lambung. Makanan bejalan dalam

esofagus karena gerakan peristaltik. Lingkaran serabut otot di depan makanan

mengendor dan yang di belakang berkontraksi maka gelombang peristaltik

mengantar makanan ke lambung.

4) Gaster (Lambung)

Lambung menerima makanan dari esofagus melalui orifisium kardiak dan

bekerja sebagai penimbun sementara. Kontraksi otot lambung mencapur

makanan dengan getah lambung. Getah ini mengandung 0,4 % HCl yang
mengasamkan semua makanan, bekerja sebagai antiseptikdan desinfektan.

Beberapa enzim pencernaan yang terdapat dalam getah lambung yaitu:

a) Pepsin berfungsi mengubah protein menjadi pepton

b) Renin adalah ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dari

karsinogen yang dapat larut

c) Lipase berfungsi memecahkan lemak.

b. Saluran pencernaan bagian bawah

1) Usus Halus

Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan makanan yang berpangkal

pada pilorus dan berakhir pada sekum yang terdiri dari :

a) Duodenum atau usus 12 jari

Panjangnya kira-kira 25 cm, berbentuk sepatu kuda. Saluran empedu dan

saluran pankreas masuk kedalam duodenum pada suatu lubang yang

disebut ampula hepatopangkreas. Di duodenum juga terdapat getah

pangkreas yang terdiri dari 3 jenis enzim yaitu enzim amilase, lipase dan

tripsin.

b) Yeyenum dan Ileum

Yeyenum menempati 2/5 sebelah atas usus halus, sedangkan ileum

menempati 3/5 akhir.di usus terdapat getah usus (sukus enterikus) yang

terdiri dari beberapa enzim yang menyempurnakan pencernaan semua

makanan yaitu enterokinase, eripsin, intertase dan laktase. Setelah

makanan dicerna seluruhnya kemudian diabsorbsi dalam usus halus

melalui dua saluran yaitu pembuluh kapiler darah dan saluran limfe di vili.

2) Usus Besar

Usus besar merupakan sambungan dari usus halus yang dimulai dari katub

ikosekal. Fungsi ikosekal adalah untuk mengontrol pasase isi usus kedalam
usus besar dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus. Lapisan usus

besar terdiri dari dalam keluar, yaitu selaput lendir, lapisan otot melingkar,

Lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Adapun fungsi dari usus besar yaitu :

a) Absorbsi air, garam dan glukosa

b) Sebagai populasi bakteri

c) Sekresi musin

d) Defekasi

Bagian-bagian dari usus besar yaitu :

a) Sekum

Terletak dibawah iliaka kanan dan menempel di otot iliopsoas.

b) Apendiks verivornis

Bagian usus besar yang muncul seperti corong dari akhir sekum,

mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan dapat

dilewati oleh beberapa isi usus.

c) Kolon Asendens

Terletak disebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke daerah hati.

d) Kolon Tranversum

Terletak dibawah hati berbelok pada flexura hepatica, lalu berjalan melalui

tepi daerah epigastri dan umbilika.

e) Kolon Desendens

Terletak di bawah limp, membelok sebagai flexura sinistra dan kemudian

berjalan melalui daerah kanan lumbal.

f) Kolon sigmoid

Merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam rongga

pelvis sebelah kiri.


3) Rektum

Merupakan struktur lanjutan dari kolon sigmoid. Panjang rektum adalah

sekitar 12 cm dan berjalan melalui diafragma pelvis menjadi kanal anus.

4) Anus

Jalan keluar dari sisa makan yang diatur oleh jaringan otot lurik yang

membentuk baik sfinger internal dan eksternal.

2. Fisiologi Sistem Pencernaan

Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan nutrient, air dan

elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal tubuh.

Manusia menggunakan molekul-molekul organik yang terkandung dalam makanan

dan O2 untuk menghasilkan energi (Sherwood, 2001).

Makanan harus dicerna agar menjadi molekul-molekul sederhana yang siap

diserap dari saluran pencernaan ke dalam sistem sirkulasi untuk didistribusikan ke

dalam sel. Menurut Sherwod (2001), secara umum sistem pencernaan melakukan

empat proses pencernaan dasar, yaitu:

a. Motilitas

Motilitas mengacu pada kontraksi otot yang mencampur dan mendorong

isi saluran pencernaan. Otot polos di saluran pencernaan terus menerus

berkontraksi dengan kekuatan rendah yang disebut tonus. Terhadap aktivitas

tonus yang terus menerus terdapat dua jenis dasar motilitas pencernaan yaitu :

1) Gerakan propulsif (mendorong) yaitu gerakan memajukan isi saluran

pencernaan ke depan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Kecepatan

propulsif bergantung pada fungsi yang dilaksanakan oleh setiap organ

pencernaan.

2) Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, mencampur makanan

dengan getah pencernaan. Kedua, mempermudah penyerapan dengan


memajankan semua bagian isi usus ke permukaan penyerapan saluran

pencernaan.

b. Sekresi

Sejumlah getah pencernaan disekresikan ke dalam lumen saluran

pencernaan oleh kelenjar-kelenjar eksokrin. Setiap sekresi pencernaan terdiri

dari air, elektrolit, dan konstituen organik spesifik yang penting dalam proses

pencernaan (misalnya enzim, garam empedu, dan mukus). Sekresi tersebut

dikeluarkan ke dalam lumen saluran pencernaan.

c. Pencernaan

Pencernaan merupakan proses penguraian makanan dari struktur yang

kompleks menjad struktur yang lebih sederhana yang dapat diserap oleh enzim.

Manusia mengonsumsi tiga komponen makanan utama, yaitu:

1) Karbohidrat

Kebanyakan makanan yang kita makan adalah karbohidrat dalam bentuk

polisakarida, misalnya tepung kanji , daging (glikogen), atau tumbuhan

(selulosa). Bentuk karbohidrat yang paling sederhana adalah monosakarida

seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa.

2) Protein

Protein terdiri dari kombinasi asam amino yang disatukan oleh ikatan peptida.

Protein akan diuraikan menjadi asam amino serta beberapa polipeptida kecil

yang dapat diserap dalam saluran pencernaan.

3) Lemak

Sebagian besar lemak dalam makanan berada dalam bentuk trigelsida. Produk

akhir pencernaan lemak adalah monogliserida dan asam lemak. Proses

pencernaan dilakukan melalui proses hidrolisis enzimatik. Dengan


menambahkan H2O dan enzim akan memutuskan ikatan tersebut sehingga

molekul-molekul kecil menjadi bebas.

d. Penyerapan

Proses penyerapan dilakukan di usus halus. Proses penyerapan

memindahkan molekul-molekul dan vitamin yang dihasilkan setelah proses

pencernaan berhenti dari lumen saluran pencernaan ke dalam darah atau limfe.

Saluran pencernaan (traktus digestivus) merupakan saluran dengan

panjang sekitar 30 kaki (9 m) yang berjalan melalui bagian tengaj tubuh menuju

ke anus. Pengaturan fungsi saluran pencernaan bersifat kompleks dan sinergistik.

Terdapat empat faktor yang berperan dalam pengaturan fungsi pencernaan,

yaitu:

1) Fungsi otonom otot polos.

2) Pleksus saraf intrinsic.

3) Saraf ekstrinsik.

4) Hormon saluran pencernaan.

Proses pencernaan dimulai ketika makanan masuk ke dalam organ

pencernaan dan berakhir sampai sisa-sisa zat makanan dikeluarkan dari organ

pencernaan melalui proses defekasi.

1. Pencernaan Oral

Makanan masuk melalui rongga oral (mulut). Langkah awal adalah proses

mestikasi (mengunyah). Terjadi proses pemotongan, perobekan, penggilingan,

dan pencampuran makanan yang dilakukan oleh gigi. Tujuan mengunyah adalah

menggiling dan memecah makanan, mencampur makanan dengan air liur, dan

merangsang papil pengecap.

Ketika merangsang papil pengecap maka akan menimbulkan sensasi rasa

dan secara refleks akan memicu sekresi saliva. Di dalam saliva terkandung
protein air liur seperti amilase, mukus, dan lisozim. Fungsi saliva dalam proses

pencernaan adalah:

1) Memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja enzim amilase.

2) Mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel-partikel makanan

dengan adanya mukus sebagai pelumas.

3) Memiliki efek antibakteri oleh lisozim.

4) Pelarut untuk molekul-molekul yang merangsang pupil pengecap.

5) Penyangga bikarbonat di air liur menetralkan asam di makanan serta asam

bakteri di mulut sehingga membantu mencegah karies.

2. Menelan

Selanjutnya adalah proses deglutition (menelan). Menelan dimulai ketika

bolus di dorong oleh lidah menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang

reseptor tekanan yang kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di

medula. Pusat menelan secara refleks akan mengaktifkan otot-otot yang

berperan dalam proses menelan. Tahap menelan dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Tahap orofaring: berlangsung sekitar satu detik. Pada tahap ini

bolusdiarahkan ke dalam esofagus dan dicegah untuk masuk ke saluran lain

yang berhubungan dengan faring.

2) Tahap esofagus: pada tahap ini, pusat menelan memulai gerakan peristaltik

primer yang mendorong bolus menuju lambung. Gelombang peristaltik

berlangsung sekitar 5-9 detik untuk mencapai ujung esophagus.

3. Kerja Lambung

Selanjutnya, makanan akan mengalami pencernaan di lambung. Di

lambung terjadi proses motilita. Terdapat empat aspek proses motilitas di

lambung, yaitu:
1) Pengisian lambung (gastric filling): volume lambung kosong adalah 50 ml

sedangkan lambung dapat mengembang hingga kapasitasnya 1 liter

2) Penyimpanan lambung (gastric storage): pada bagian fundus dan korpus

lambung, makanan yang masuk tersimpan relatif tenang tanpa adanya

pencampuran. Makanan secara bertahap akan disalurkan dari korpus ke

antrum.

3) Pencampuran lambung (gastric mixing): kontraksi peristaltik yang kuat

merupakan penyebab makanan bercampur dengan sekresi lambung dan

menghasilkan kimus. Dengan gerakan retropulsi menyebankan kimus

bercampur dengan rata di antrum. Gelombang peristaltik di antrum akan

mendorong kimus menuju sfingter pilorus.

4) Pengosongan lambung (gastric emptying): kontraksi peristaltik antrum

menyebabkan juga gaya pendorong untuk mengosongkan lambung.

Selain melaksanakan proses motilitas, lambung juga mensekresi getah

lambung. Beberapa sekret lambung diantaranya:

1) Sel-sel partikel secara aktif mengeluarkan HCL ke dalam lumen lambung.

Fungsi HCL dalam proses pencernaan adalah :

a) Mengaktifkan prekusor enzim pepsinogen menjadi pepsin dan membentuk

lingkungan asam untuk aktivitas pepsin.

b) Membantu penguraian serat otot dan jaringan ikat.

c) Bersama dengan lisozim bertugas mematikan mikroorganisme dalam

makanan.

2) Pepsinogen: pada saat di ekresikan ke dalam lambiung, pepsinogen

mengalami penguraian oleh HCL menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin

berfungsi dalam pencernaan protein untuk menghasilkan fragmen-fragmen

peptida. Karena fungsinya memecah protein, maka peptin dalam lambung


harus disimpan dan disekresikan dalam bentuk inaktif (pepsinogen) agar tidak

mencerna sendiri sel-sel tempat ia terbentuk.

3) Sekresi mukus: mukus berfungsi sebagai sawar protektif untuk mengatasi

beberapa cedera pada mukosa lambung.

4) Sekresi Gastrin: di daerah kelenjar pilorus (PGA) lambung terdapat sel G

yang mensekresikan gastrin. Aliran sekresi getah lambung akan dihentikan

bertahap seiring dengan mengalirnya makanan ke dalam usus. Di dalam

lambung telah terjadi pencernaan karbohidrat dan mulai tejadi pencernaan

protein. Makanan tidak diserap di lambung. Zat yang diserap di lambung

adalah etil alkohol dan aspirin.

4. Kerja usus halus

Makanan selanjutnya memasuki usus halus. Usus halus merupakan tempat

berlangsungnya pencernaan dan penyerapan. Usus halus di bagi menjadi tiga

segmen, yaitu:

1) Duodenum (20 cm/ 8 inci): pencernaan di lumen duodenum di bantu oleh

enzim-enzim pankreas. Garam-garam empedu mempermudah pencernaan dan

penyerapan lemak.

2) Jejenum (2,5 m/ 8 kaki)

3) Ileum (3,6 m/12 kaki)

Proses motalitas yang terjadi di dalam usus halus mencakup Segmentasi

yang merupakan proses mencampur dan mendorong secara perlahan kimus.

Kontraksi segmental mendorong kimus ke depan dan ke belakang. Kimus akan

berjalan ke depan karena frekuensi segmentasi berkurang seiring dengan panjang

usus halus. Kecepatan segmentasi di duodenum adalah 12 kontraksi/menit,

sedangkan kecepatan segmentasi di ileum adalah 9 kontraksi/menit. Segmentasi

lebih sering terjadi di bagian awal usus halus daripada di bagian akhir, maka
lebih banyak kimus yang terdorong ke depan daripada ke belakang. Akibatnya,

kimus secara perlahan bergerak maju ke bagian belakang usus halus dan selama

proses ini kimus mengalami proses maju mundur sehingga terjadi pencampuran

dan penyerapan yang optimal.

5. Kerja Kolon

Dalam empat jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum

terminalis dan dengan perlahan melewati bagian proximal kolon sepanjang

saluran. Transport lambat ini memungkinkan reabsorbsi efisien terhadap air dan

elektrolit. Materi sisa dari makanan mencapai dan mengembangkan anus,

biasanya kira-kira 12 jam.

6. Defekasi

Bila terjadi pergerakan massa ke rektum, kontraksi rektum dan relaksasi

sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang terus

menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari sfingter ani interni dan sfingter

ani eksternus. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rektum

mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus

dan eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi

adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dinding rektum).

Ketika feses masuk rektum, distensi dinding rektum menimbulkan sinyal

aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang

peristaltik dalam kolon descendens, sigmoid, rektum, mendorong feses ke arah

anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter ani interni

direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan dalam keadaan

sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter

melemas sewaktu rektum terenggang.


Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks

defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis.

Bila ujung saraf dalam rektum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla

spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid,

rektum, dan anus melalui serabut parasimpatis pelvikus. Sinyal parasimpatis ini

sangat memperkuat gelombang peristaltik dan merelaksasi sfingter ani internus,

mengubah refleks defekasi intrinsik menjadi proses defekasi kuat. Sinyal

defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil

napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi

feses dari kolon turun ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami

relaksasi dan menarik keluar cincin anus mengeluarkan feses (Guyton, 2008).

B. Pengertian

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus

halus. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis

yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid dan demam

paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, thyphus dan

paratyphus abdominalis (Wardiyah, A. 2016)

Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke

dalam tubuh ketika suhu meningkat melebihi suhu tubuh normal (>37,5°C).

Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke dalam

tubuh. Demam terajadi pada suhu > 37, 2°C, biasanya disebabkan oleh infeksi

(bakteri, virus, jamu atau parasit), penyakit autoimun, keganasan , ataupun obat –

obatan (Surinah dalam Hartini, 2015).

Demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat

peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Sebagian besar demam pada anak

merupakan akibat dari perubahan pada pusat panas (termoregulasi) di hipotalamus.


Penyakit – penyakit yang ditandai dengan adanya demam dapat menyerang sistem

tubuh.Selain itu demam mungkin berperan dalam meningkatkan perkembangan

imunitas spesifik dan non spesifik dalam membantu pemulihan atau pertahanan

terhadap infeksi (Sodikin dalam Wardiyah, 2016).

Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai

saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan

pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam thypoid merupakan penyakit infeksi

usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan saluran

pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Demam typoid biasanya suhu

meningkat pada sore atau malam hari kemudian turun pada pagi harinya (Lestari,

2016).

C. Etiologi

Demam sering disebabkan karena infeksi. Penyebab demam selain infeksi juga

dapat disebabkan oleh keadaan toksemia, keganasan atau reaksi terhadap pemakaian

obat, juga pada gangguan pusat regulasi suhu sentral (misalnya perdarahan otak,

koma). Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam

diperlukan antara lain: ketelitian pengambilan riwayat penyekit pasien, pelaksanaan

pemeriksaan fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi pemeriksaan

laboratorium, serta penunjang lain secara tepat dan holistic (Nurarif, 2015).

Demam terjadi bila pembentukan panas melebihi pengeluaran. Demam dapat

berhubungan dengan infeksi, penyakit kolagen, keganasan, penyakit metabolik

maupun penyakit lain. Demam dapat disebabkan karena kelainan dalam otak sendiri

atau zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri,

tumor otak atau dehidrasi (Guyton dalam Thabarani, 2015). Demam sering disebabkan

karena; infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, sinusitis,

bronchiolitis,pneumonia, pharyngitis, abses gigi, gingi vostomatitis, gastroenteritis,


infeksi saluran kemih, pyelonephritis, meningitis, bakterimia, reaksi imun, neoplasma,

osteomyelitis (Wardiyah, A. 2016)

Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam diperlukan

antara lain: ketelitian penggambilan riwayat penyakit pasien, pelaksanaan pemeriksaan

fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi pemeriksaan laboratorium serta

penunjang lain secara tepat dan holistik. Beberapa hal khusus perlu diperhatikan pada

demam adalah cara timbul demam, lama demam, tinggi demam serta keluhan dan

gejala yang menyertai demam. Sedangkan menurut Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal dalam

Thobaroni (2015) bahwa etiologi febris,diantaranya

a. Suhu lingkungan.

b. Adanya infeksi.

c. Pneumonia.

d. Malaria.

e. Otitis media.

f. Imunisasi

Penyebab utama demam thypoid ini adalah bakteri salmonella thypi. Bakteri

salmonella thypi adalah berupa basil gram negative, bergerak dengan rambut getar,

tidak berspora, mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O, antigen H dan antigen

VI (Lestari, 2016).

D. Klasifikasi

Menurut Nurarif (2015) klasifikasi demam adalah sebagai berikut:

1. Demam septik

Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari

dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun

ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.

2. Demam remiten

Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu

badan normal. Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua

derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat demam septik.

3. Demam intermiten

Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu

hari. Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali disebut tersiana dan

bila terjadi dua hari terbebas demam diantara dua serangan demam disebut

kuartana.

4. Demam kontinyu

Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada

tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

5. Demam siklik

Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh

beberapa periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti

oleh kenaikan suhu seperti semula. Suatu tipe demam kadang-kadang dikaitkan

dengan suatu penyakit tertentu misalnya tipe demam intermiten untuk malaria.

Seorang pasien dengan keluhan demam mungkin dapat dihubungkan segera

dengan suatu sebab yang jelas seperti : abses, pneumonia, infeksi saluran

kencing, malaria, tetapi kadang sama sekali tidak dapat dihubungkan segera

dengan suatu sebab yang jelas. Dalam praktek 90% dari para pasien dengan

demam yang baru saja dialami, pada dasarnya merupakan suatu penyakit yang

self-limiting seperti influensa atau penyakit virus sejenis lainnya. Namun hal
ini tidak berarti kita tidak harus tetap waspada terhadap infeksi bakterial.

(Nurarif, 2015)

E. Patofisiologi

Kuman salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui mulut dengan

makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung.

Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di

ileum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman salmonella typhi kemudian menembus ke

lamina propina, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe messenterial yang

juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella

typhi masuk kealiran darah melalui duktus thoracicus. Kuman-kuman salmonella typhi

lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi bersarang di

plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotial (Admin,

2008).

Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid

disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimental

disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan

gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin Salmonella typhi berperan pada

patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada

jaringan setempat Salmonella typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan

karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat

pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang (Admin, 2008).


F. Pathway

Makanan, Minuman, Air Tercemar

Mengandung Salmonella Thypi

Masuk ke dalam tubuh melalui saluran cerna

Proses penyakit
Thypus Abdominalis

Masuk ke lambung Toksemia Usus halus

Salmonella dimusnakan Ductus Thoracicus Salmonella bersarang


oleh asam lambung di jaringan limfoid
Masuk kehati plaque payeri

Produksi asam lambung Salmonella Thypii Mukosa membran


meningkat berkembang biak payeri cedera/luka
Berkembag biak
Mual dan muntah dihati/limfa Hipertrofi Tukak pada mukosa
payeri
Diare Anorexia Pembesaran Penekanan pada saraf
limfa di hati Perdarahan perforasi
Nutrisi Kurang intestinal
Dari Kebutuhan Tubuh Nyeri ulu hati

Resiko Kekurangan Proses Infeksi


VolmeCairan
Splenomegali Gangguan Rasa
Nyaman Nyeri Hypertermi
Penurunan /peningkatan
Mobilitas usus

Penurunan /peningkatan
Peristaltik usus

Konstipasi/Diare
G. Manifestasi Klinik

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul

sangat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di

daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran penyakit bervariasi dari

penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan

komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah

berpengalaman pun mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam

tifoid (Sodikin, 2011)

Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit

akut pada umumnya. Yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,

muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada

pemeriksaan fisik hanya dijumpai suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua

gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas

(kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,

meteorismus, gangguan mental berupa samnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis,

roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia (Menurut Nurarif (2015).

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah tepi

Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi

gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan

penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah

lekosit antara 3000 – 4000 /mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan

oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil

dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu

pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan

endotoksin. Laju endap darah meningkat.


2. Pemeriksaan urine

Didapatkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan

lekosit dalam urine.

3. Pemeriksaan tinja

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus

dan perforasi.

4. Pemeriksaan bakteriologis

Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella typhi dan

biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.

5. Pemeriksaan serologis

Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun

antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O

dan H. Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau

terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada

pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan diagnosa positif

dari infeksi salmonella typhi.

6. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat

demam tifoid.

I. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :

1. Komplikasi intestinal :

b. Perdarahan usus

c. Perforasi usus

d. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra-intestinal :

a. Komplikasi kardiovaskular :

Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan

tromboflebitis.

b. Komplikasi darah :

Anemia hemolitik, trombositopenia dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru :

Pneumonia, empiema dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu :

Hepatitis dan kolesistisis.

e. Komplikasi ginjal :

Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang :

Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artitis.

g. Komplikasi neuropsikatrik :

Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, SGB, psikosis dan

sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.

Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum terutama

bila perawatan pasien kurang sempurna (Kania dalam Wardiyah, (2016).

J. Penatalaksanaan

Pengobatan demam tifoid terdiri atas tiga bagian yaitu perawatan, diet dan obat-

obatan.

1. Perawatan

Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,

observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi pasien harus dilakukan

secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah

pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik

dan dekubitus.

Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi

obstipasi dan retensi air kemih.

2. Diet

Dimasa lampau, pasien dengan demam tifoid diberi bubur saring, kemudian

bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Karena

usus perlu diistirahatkan.

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini dapat

diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

3. Obat

Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah :

a. Kloramfenikol

b. Thiamfenikol

c. Ko-trimoksazol

d. Ampisillin dan Amoksisilin

e. Sefalosporin generasi ketiga

f. Fluorokinolon.

Obat-obat simptomatik :

a. Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin).

b. Kortikosteroid (tapering off Selama 5 hari).

c. Vitamin B komp. Dan C sangat diperlukan untuk menjaga kesegaran dan

kekuatan badan serta berperan dalam kestabilan pembuluh darah kapiler.


K. Asuhan Keperawatan

Dasar data atau data fokus pengkajian klien dengan demam thypoid antara lain :

1. Pengumpulan Data

a. Wawancara

1) Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,

agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan

diagnosa medik.

2) Keluhan utama

Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-

turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta

penurunan kesadaran.

3) Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi

ke dalam tubuh.

4) Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.

5) Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

6) Riwayat psikososial dan spiritual

Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang

digunakan. Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring total dan

lemah.

7) Pola-pola fungsi kesehatan

a) Pola nutrisi dan metabolisme


Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan

muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak

makan sama sekali, penurunan berat badan, tidak toleran terhadap

diet/sensitive misalnya buah segar/sayur, produk susu, makanan

berlemak. Penurunan lemak subkutan/massa otot, kelemahan, tonus

otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa pucat, luka, inflamasi

rongga mulut.

b) Pola eliminasi

Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena

tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami

gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien

dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat

keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan

kebutuhan cairan tubuh.

c) Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien terganggu karena harus tirah baring total, agar

tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan dibantu. Pembatasan

aktivitas kerja sampai dengan efek proses penyakit.

d) Pola kenyamanan (nyeri)

Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang dengan

defakasi). Titik nyeri berpindah, nyeri tekan, nyeri mata, foofobia.

e) Pola aktifitas, tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu

tubuh, kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak

tidur semalaman karena diare, merasa gelisah dan ansietas.

f) Pola persepsi dan konsep diri


Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya dan

ketakutan merupakan dampak psikologi klien.

g) Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan

penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat

suatu waham pad klien.

h) Pola hubungan dan peran

Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di

rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.

i) Pola reproduksi dan seksual

Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena

harus dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak

mengalami gangguan.

j) Pola penanggulangan stress

Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena keadaan

sakitnya.

k) Pola tata nilai dan kepercayaan

Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest total dan

tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang dideritanya saat

ini.

b. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38-41 0 C,

muka kemerahan.

2) Tingkat kesadaran

Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).


3) Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan

gambaran seperti bronchitis.

4) Sistem kardiovaskuler

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah,

takhikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses imflamasi dan

nyeri). Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). Hipotensi

termasuk postural.

5) Sistem integumen

Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak

kusam. Kulit dan membran mukosa seperti turgor buruk, kering, lidah

pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).

6) Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

7) Sistem gastrointestinal

Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,

muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,

peristaltik usus meningkat.

8) Sistem abdomen

Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi

lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut

kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan darah tepi

Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas,

terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum


dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia

dengan jumlah lekosit antara 3000-4000 /mm3 ditemukan pada fase

demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin.

Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia

terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis

umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju

endap darah meningkat.

2) Pemeriksaan urine

Didaparkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan

lekosit dalam urine.

3) Pemeriksaan tinja

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan

usus dan perforasi.

4) Pemeriksaan bakteriologis

Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan

biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.

5) Pemeriksaan serologis

Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun

antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah

antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada

minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif

(lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian

menunjukkan diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi.

6) Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi

akibat demam tifoid.


L. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin dijumpai pada pasien demam thypoid

adalah

1. Hypertermi bernubungan dengan

infeksi kuman salmonella thypi

2. Risiko kurang volume cairan

berhubungan dengan Kehilangan banyak melalui rute normal (diare berat,

muntah), status hipermetabolik dan pemasukan terbatas.

3. Perubahan pola eliminasi BAB;

Diare berhubungan dengan inflamasi iritasi dan malabsorpsi usus, adanya toksin

dan penyempitan segemental usus

4. Perubahan pola eliminasi BAB;

Konstipasi berhubungan dengan masukan cairan buruk, diet rendah serat dan

kurang latihan, inflamasi, iritasi.

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh berhubungan dengan gangguan absorbsi nutrien, status hipermetabolik,

secara medik masukan dibatasi.

6. Nyeri berhubungan dengan

Hiperperistaltik, diare lama, iritasi kulit/jaringan, ekskoriasi fisura perirektal

7. Cemas berhubungan dengan

Faktor psikologi/rangsang simpatis (proses inflamasi), ancaman konsep diri,

ancaman terhadap perubahan/perubahan status kesehatan dan status sosial

ekonomi.

8. Kurang pengetahun (kebutuhan

belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan kesalahaninterpretasi informasi, kurang mengingat dan tidak mengenal

sumber informasi.

M. Intervensi Keperawatan

1. hipertensi

SLKI
L.U TERMOREGULASI 1 2 3 4 5
Kulit merah
Kejang
Pucat
Takipnea
L.T STATUS CAIRAN 1 2 3 4 5
Turgor kulit
Perasaan lemah
Output urine
Intake urine
L.T STATUS NUTRISI 1 2 3 4 5
Sikap terhadap makanan dan minuman
Sariawan
Diare
Nafsu makan

SIKI
1. manajemen hipertermia
2. monitor suhu
3. lakukan pendinginan eksternal (kompres dingin)
4. longgarkan/ lepakan pakaian
5. sediakan lingkungan yang dingin
6. edukasi pengukuran suhu tubuh
7. identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
8. sediakan materi pendidikan kesehatan
9. beri kesempatan untuk bertanya
10. kompres dingin
11. pilih metode kompres yang nyaman dn mudah didapat
12. jelaskan prosedur pengunaan kompres dingin
13. pilih lokasi kompres
14. periksa suhu alat kompres
2. Intoleransi Aktivitas
SLKI
L.U TOLERANSI AKTIVITAS 1 2 3 4 5
Kecepatan berjalan
Jarak jalan
Kemudahan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari
Perasaan lemah
L.T TINGKAT KELETIHAN 1 2 3 4 5
Kempuan melakukan aktivitas rutin
Sakit kepala
Pola nafas
Pola istirahat
L.T AMBULASI 1 2 3 4 5
Berjalan dengan langkah pelan
Berjalan dengan langkah sedang
Berjalan dengan langkah cepat
Nyeri saat berjalan

SIKI
1. Terapi aktivitas
2. Fasilitas aktivitas fisik rutin (perawatan diri)
3. Jelaskan metode aktivitas fisik jika perlu
4. Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perlu
5. Identifikasi deficit tingkat aktivitas
6. Dukungan spiritual
7. Fasilitasi melakukan kegiatan ibadah
8. Yakinkan bahwa perawat bersedia mendukung selama masa ketidak
berdayaan
9. Sediakan privasi dn waktu tenang untuk aktivitas spiritual
10. Ajarkan metode relaksasi
11. Pemantauan tanda vital
12. Monitor suhu tubuh
13. Monitor nadi
14. Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
15. Dokumentasikan hasil pemantauan

3. Risiko ketidakseimbangan cairan


SLKI
L.U KESEIMBANGAN CAIRAN 1 2 3 4 5
Asupan makanan
Edema
Mata cekung
Turgor kulit
L.T KONTROL MUAL MUNTAH 1 2 3 4 5
Kemampuan mengenali gejala
Mengontrol mual/ muntah
Menghindari faktor penyebab / pemicu
Menghindari bau tidak enak
L.T KESEIMBANGAN 1 2 3 4 5
ELEKTROLIT
Serum natrium
Serum kalium
Serum klorida
Serum kalsium

SIKI
1. Pemantauan cairan
2. Monitor jumlah, warna dan jenis urine
3. Dokumentasi hasil pemantauan
4. Monitor intake output cairan
5. Monitor elestisitas atau turgor kulit
6. Pemantauan tanda vital
7. Monitor sushu tubuh
8. Monitor nadi
9. Identifikasi perubahan tanda vital
10. Dokumentasi hasil pemantauan
11. Manajemen syok
12. Pertahankan jalan nafas paten
13. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%
14. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
15. Kolaborasi pemberian infus cairan kristaolit 1- 2 L pada dewasa dan 20
ML/BB pada anak.

N. Evaluasi

Asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama demam tifoid dikatakan

berhasil/efektif jika :

1. Klien mampu mengontrol

diare/konstipasi melalui fungsi usus optimal/stabil.

2. Komplikasi minimal/dapat

dicegah.

3. Stres mental/emosi minimal/dapat

dicegah dengan menerima kondisi dengan positiKlien mampu

mengetahui/memahami/menyebutkan informasi tentang proses penyakit,

kebutuhan pengobatan dan aspek jangka panjang/potensial komplikasi

berulangnya penyakit.
Daftar Pustaka

Wardiyah, A. 2016. Perbandingan efektifitas pemberian kompres. Vol 4, No 1. Journal of


nursing.

Hidayat Alimul A. 2009.“Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.” akarta: Salemba


Medika

Mahdiyah, Dede.2015. “Perbedaaan Efektifitas Kompres Hangat Basah Dan Plester


Kompres Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Anak Dengan Demam Typhoid.”
Dinamika Kesehatan Vol.6 No. 1 Juli 2015.
http://ojs.dinamikakesehatan.stikessarimulya.ac.id/index.php/dksm/atricle/view/4
4/33

Pudiastuti, I.R., 2011. Waspadai penyakit pada anak. Hal 30-32, leskonfi. jakarta

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Tindakan.


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: definisi Dan Indikator.


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Kriteria Hasil.
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Sodikin, 2011. “Asuhan Keperawatan Anak Gangguan Sistem Gastrointestinal Dan


Hepatobilier.”Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai