Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH ILMU DASAR KEPERAWATAN II

KLASIFIKASI OBAT BERDASARKAN KEGUNAAN DAN EFEK

Disusun oleh

NAMA SYAMSODINOR
NPM 1914201110063

KELAS B

Dosen Pengampu : Ibu Sri Rahayu, M.Far., Apt

PROGRAM STUDY S1 KEPERAWATAN REGULER SEMESTER 2

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan
kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu
diperlukan obat tersedia pada saat diperlukan dalam jenis dan jumlah yang cukup,
berkhasiat nyata dan berkualitas baik (Sambara, 2007). Saat ini banyak sekali beredar
berbagai macam jenis obat baik itu produk generik maupun produk dagang, pada
umumnya konsumen atau masyarakat lebih tertarik untuk mengkonsumsi produk obat
bermerk/produk dagang dibandingkan produk generik, hal itu disebabkan adanya
anggapan bahwa obat generik mutunya lebih rendah dari pada produk yang bermerk
dagang (Rahayu dkk, 2006).
B. Rumusan Masalah
Adapun Permasalahan yang dibahas pada makalah ini adalah :
1. Apa itu Pengertian Obat Analgesik, macam-macam jenis obat analgetik, dan
Klasifikasi mendalam tentang obat Analgetik ?
2. Apa itu Pengertian Obat AntiInflamasi, macam-macam jenis obat Anti Inflamasi
dan Klasifikasi mendalam tentang ibat AntiInflamasi ?
3. Apa itu Pengertian Obat Kostikosteroid, macam-macam jenis obat kostikosteroid
dan Klasifikasi mendalam tentang obat Kostikosteroid ?

C. Tujuan
Dimana kita dapat mengetahui klasifikasi tentang obat baik itu dari pengertian
obat, macam-macam obat ,dosis, merek dagang, contoh obatnya dan lain-lain secara
mendalam. Dimakalah ini saya mempaparkan 3 materi obat yang terdiri yaitu Obat
Analgetik, Obat AntiInflamasi dan Obat Kostikosteroid.
BAB II

PEMBAHASAN

MATERI ANALGETIK

A.    Pengertian Analgetik

Analgetik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit
atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran dan akhirnya akan memberikan
rasa nyaman pada orang yang menderita.

Analgetik ialah istilah yang digunakan untuk mewakili sekelompok obat yang digunakan
sebagai penahan sakit. Obat analgesik termasuk obat antiradang non-steroid (NSAID) seperti
salisilat, obat narkotika seperti morfin dan obat sintesis bersifat narkotik seperti tramadol.

Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses,
yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan
individu terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses
pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik
menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.

Obat ini digunakan untuk membantu meredakan sakit, sadar tidak sadar kita sering
mengunakannya misalnya ketika kita sakit kepala atau sakit gigi, salah satu komponen  obat
yang  kita  minum  biasanya  mengandung  analgetik atau pereda

nyeri.  Pada umumnya (sekitar 90%) analgetik mempunyai efek antipiretik.


B.     Macam-Macam Obat Analgetik

Ada dua jenis analgetik, analgetik narkotik dan analgetik non narkotik. Selain berdasarkan
struktur kimianya, pembagian diatas juga didasarkan pada nyeri yang dapat dihilangkan.

1.      Analgetik Opioid atau Analgetik Narkotika

Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papever
somniferum atau dari senyawa sintetik. Analgetik ini digunakan untuk meredakan nyeri sedang
sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Penggunaan berulang dan tidak sesuai
aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.

Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang sampai sekarang masih

digunakan di Indonesia :

a.       Morfin HCl

Morfin merupakan analgetik narkotik yang paling banyak dipakai untuk nyeri hebat walaupun
menimbulkan mual dan muntah. Obat ini di indonesia tersedia dalam bentuk injeksi dan masih
merupaan standar yang digunakan sebagai pembanding bagi analgetik narkotik lainnya. Selain
menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euforia dan gangguan mental. Meskipun
morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan,
yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air
dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).

b.      Kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol)


Kodein mempunyai analgesic yang kurang poten disbanding morphin, tetapi mempunyai
kemanjuran peroral yang lebih tinggi. Obat ini mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih
rendah daripada morfin. Kodein sering digunakan dalam kombinasi aspirin atau asetaminofen.

c.       Fentanil HCl

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan
opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah
menembus sawar jaringan.

d.      Petidin

Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin,
tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin
adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.

e.       Tramadol

Tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, agonis terhadap reseptor µ serta mempunyai
afinitas yang lemah pada reseptor k dan d. Melalui reseptor µ tramadol meningkatkan efek
inhibisi descending spinal melalui penurunan reuptake norepinefrin dan serotonin. Efek tramadol
hanya bisa diantagonis oleh nalokson sebesar 30%. Tramadol dibuat sebagai rasemik yaitu
campuran antara enansiomer dimana enansiomer yang satu berfungsi menghambat reuptake
norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat reuptake serotonin. Tramadol
dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi O-dismetiltramadol dan di sekresikan oleh
ginjal dalam bentuk metabolic aktif sehingga pada seseorang yang mengalami gangguan hati dan
ginjal harus dikurangi dosisnya.
2. Obat Analgetik Non-narkotik

Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan istilah
Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari
obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan Obat Analgetik
Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau
meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga
efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini
jugatidakmengakibatkanefekketagihan   pada    pengguna   (berbeda   halnya   dengan    penggun
aan ObatAnalgetika jenis Analgetik Narkotik).

Macam-macam obat Analgesik Non-Narkotik :

a.       Ibupropen

Ibupropen merupakan devirat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama
dengan aspirin. Ibu hamil dan menyusui tidak di anjurkan meminim obat ini.

b.       Paracetamol/acetaminophen

Merupakan devirat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik
dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol
sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati analgesik. Jika
dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Dalam
sediaannya sering dikombinasikan dengan cofein yang berfungsi meningkatkan efektinitasnya
tanpa perlu meningkatkan dosisnya.
c.       Asam Mefenamat

Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat pada
protein plasma, sehingga interaksi dengan obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping
terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa
lambung.

                               

C.    Cara Kerja Obat Analgetik

1.      Mekanisme kerja Analgetik Opioid

Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam


pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgetiknya dan efek sampingnya.
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin,
penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme supreaditif ini tidak
diketahui dengan tepat mungkin menyangkut perubahan dalam kecepatan biotransformasi opioid
yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang
diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas
akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu dan selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.

2.      Mekanisme Kerja Obat Analgesik Non-Nakotik

Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam mengatur nyeri dan
temperature. AINS secara selektif dapat mempengaruhi hipotalamus menyebabkan penurunan
suhu tubuh ketika demam. Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis prostaglandin
(PG) yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan aliran darah ke perifer (vasodilatasi) dan
berkeringat sehingga panas banyak keluar dari tubuh. Efek analgetik timbul karena
mempengaruhi baik di hipotalamus atau di tempat cedera. Respon terhadap cedera umumnya
berupa inflamasi, udem, serta pelepasan zat aktif seperti brandikinin, PG dan histamin. PG dan
brandikinin menstimulasi ujung saraf perifer dengan membawa impuls nyeri ke SSP. AINS dapat
menghambat sintesis PG dan brandikinin sehingga menghambat terjadinya perangsangan
reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak digunakan sebagai analgetik dan

antipiretik    adalah    golongan    salisilat    dan   asetominafin   (parasetamol).

D.    Indikasi Dan Kontraindikasi Obat Analgetik

1.      Analgetik Opioid atau Analgetik Narkotika

a.       Morfin dan Alkaloid Opium

1)      Indikasi

a)      Meredakan atau  menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan dengan analgesic
non-opioid.

b)      Mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal
jantung kiri.

c)      Mengehentikan diare

2)      Kontraindikasi

Orang lanjut usia dan pasien penyakit berat, emfisem, kifoskoliosis, korpulmonarale kronik dan
obesitas yang ekstrim.
b.      Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain

1)      Indikasi

Meperidin    hanya    digunakan    untuk    menimbulkan  analgesia.

Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanestetik.

2)      Kontraindikasi

Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya perubahan
pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama
antisipkosis, hipnotif sedative dan obat-obat lain penekanSSP. Pada pasien yang sedang
mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi
dan demam.

c.       Obat Analgetik Non-narkotik

1)      Salisilat

a)      Indikasi

1.      Mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan
myalgia.

2.      Demam reumatik akut

b)      Kontraindikasi
Pada anak dibawah 12 tahun

2)      Parasetamol

a)      Indikasi

Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesic dan antipiretik, telah menggantikan


penggunaan salisilat. Sebagai analgesic lainnya, parasetamol sebaiknya tidka diberikan terlalu
lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesic.

b)      Kontraindikasi

Penggunaan semua jenis analgesic dosis besar secara menahun terutama   dalam   kombinasi
berpotensi   menyebabkan   nefropati

analgesic.

3) Asam mefenamat

a)      Indikasi

Sebagai analgesic, sebagai anti-inflamasi,

b)      Kontraindikasi
Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil dan
pemberian tidak melebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa penggunaan selama haid
mengurangi kehilangan darah secara bermakna.

4)      Ibuprofen

a)      Indikasi

Bersifat analgesic dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat.

b)      Kontraindikasi

Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui karena ibuprofen relative
lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesic.

E.     Dosis dan Sediaan Obat Analgetik

1.      Analgetik Opioid atau Analgetik Narkotika

a.       Morfin

Morfin   tersedia   dalam  tablet,  injeksi,  supositoria.  Morfin  oral  dalam

bentuk  larutan  diberikan  teratur  dalam  tiap  4  jam. Dosis anjuran untuk

menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada
dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan.
b.      Fentanil

Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan
untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB
digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah
suntikan 50 mg/ml.

c.       Petidin

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75
mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis
parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

d.      Tramadol

Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, IM, maupun IV efektif untuk penanganan nyeri sedang hingga
berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan sebagai agent anti menggigil postoperative.

2.      Obat Analgetik Non-narkotik

a.       Paracetamol

Dosis : Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari,pada penggunaan kronis
maksimum 2,5g/hari. Anak-anak:4-6 dd 10mg/kg,yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg,1-4 thn
120-180mg,4-6 thn 180mg,7-12 thn 240-360mg,4-6x sehari. Rektal 20mg/kg setiap kali,dewasa
4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bln 2-3 dd 120mg,1-4 thn 2-3 dd 240 mg,4-6 thn 4 dd 240
mg,dan 7-12 thn 2-3 dd 0,5 g. 

Sediaan : Parasetamol (generik) siruf 120 mg/5 ml, Tablet 100 mg, 500 mg.

b.      Asam mefenamat

Dosis: permulaan 500 mg,lalu3-4 dd 250 mg p.c.

Sediaan : Asam mefenamat (generik) kaptab 250 mg, 500 mg 

c.       Acetosal /asam asetil salisilat

Dosis : Pada nyeri dan demam oral 4 dd 0,5-1gp.c,maksimum 4 g sehari, anak-anak sampai 1
tahun 10mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12 tahun 4-6 dd, diatas 12 tahun 4 dd 320-500mg, maksimum
2g/hari. Rectal dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak sampai 2tahun 2 dd 20mg/kg, diatas 2 tahun 3 dd
20mg/kg p.c. pada rema oral dan rectal 6 dd 1g, maksimum 8g/hari, pada serangan migren single
dose dari 1g, 15-30 menit sesudah minum domperidon atau metoklopramida. Untuk prevensi
sekuder infark jantung 1 dd 100mg dan setelah TIA 1 dd 40-100mg dengan loading-dose dari
100mg. Sediaan : Acetosal (generik) tablet 100mg, 500 mg

d.      Fenilbutazon (butazolidin,new skelan, pehazon/forte)

Dosis : Pada serangan rema atau encok oral dan rectal 2-3 dd 200 mg.

Sediaan : Phenylbutazone (generik) kaplet 200 mg


MATERI ANTI INFLAMASI

A. Pengertian Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan

NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs)/AINS adalah suatu golongan obat yang

memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), anti piretik (penurun panas), dan anti inflamasi (anti

radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid,

yang juga memiliki khasiat serupa. AINS bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika. Inflamasi

adalah salah satu respon utama dari system kekebalan tubuh terhadap infeksi atau iritasi.

OAINS dikelompokkan kedalam beberapa golongan kimiawi. Meskipun terdapat banyak

perbedaan dalam kinetik OAINS, semuanya memiliki kesamaan dalam beberapa sifat umum.

Metabolisme OAINS terutama dilanjutkan oleh famili CYP3A atau CYP2C dari enzim P450

dihati. Meskipun eksresi ginjal merupakan jalur eliminasi terakhir yang paling penting, hampir

semua OAINS mengalami eksresi dan reabsorbsi bilier yang bervariasi. Kebanyakan OAINS

sangat terikat pada protein (~98%) biasanya kepada albumin. Semua OAINS dapat ditemukan

dalam cairan sinovial setelah pemberian dosis berulang.


B. Kegunaan Dari Obat AINS

AINS banyak digunakan pada pasien pediatric. Obat ini merupakan bahan aktif yang

secara farmakologi  tidak homogen dan terutama bekerja menghambat produksi prostaglandin

serta digunakan untuk perawatan nyeri akut dan kronik. Obat ini mempunyai sifat mampu

mengurangi nyeri, demam dengan inflamasi, dan yang disertai dengan gangguan inflamasi nyeri

lainnya.

C. Mekanisme Kerja

Mekanisme dan sifat dasar AINS, obat analgesik anti inflamasi non steroid merupakan

suatu kelompok sediaan dengan struktur kimia yang sangat heterogen, dimana efek samping dan
efek terapinya berhubungan dengan kesamaan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim

cyclooxygenase (COX). Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir memberikan penjelasan

mengapa kelompok yang heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping,

ternyata hal ini terjadi berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

Mekanisme kerja yang berhubungan dengan biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada tahun 1971

oleh Vane dan kawan-kawan yang memperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan

indometason menghambat produksi enzimatik PG. Dimana juga telah dibuktikan bahwa jika sel

mengalami kerusakan maka PG akan dilepas.Namun demikian obat AINS secara umum tidak

menghambat biosintesis leukotrin,yang diketahui turut berperan dalam inflamasi. AINS

menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2

terganggu. Setiap obat menghambat cyclooxysigenase dengan cara yang berbeda.2 AINS

dikelompokkan berdasarkan struktur kimia,tingkat keasaman dan ketersediaan awalnya. Dan

sekarang yang popoler dikelompokkan berdasarkan selektifitas hambatannya  pada penemuan

dua bentuk enzim constitutive cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible cycloocygenase-2

(COX-2).COX-1 selalu ada diberbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan

fisiologi tubuh seperti produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya ,COX-2 merupakan enzim

indusibel yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan  jaringan, tapi akan meningkat pada

keadaan inflamasi atau patologik. AINS yang bekerja sebagai penyekat COX akan berikatan

pada bagian aktif enzim,pada COX-1 dan atau COX - 2, sehingga enzim ini menjadi tidak

berfungsi dan tidak mampu merubah asam arakidonat menjadi mediator inflamasi

prostaglandin.  AINS yang termasuk dalam tidak selektif menghambat sekaligus COX-1 dan

COX-2 adalah ibuprofen,indometasin dan naproxen. Asetosal dan ketorokal  termasuk sangat

selektif menghambat menghambat COX-1. Piroxicam lebih selektif menyekat COX-1,

sedangkan yang termasuk selektif menyekat COX-2 antara lain diclofenak, meloxicam, dan

nimesulid. Celecoxib dan rofecoxib sangat selektif menghambat COX-2.


D. Penggunaan NSAID

Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) bekerja menghambat enzim

cyclooxygenase (enzim pembentuk prostaglandin). NSAID hanya dipakai untuk nyeri inflamasi

dan antipiretik akibat produksi prostaglandin. NSAID mempunyai 3 efek yakni: anti-inflamasi,

analgesik (untuk nyeri ringan hingga sedang), dan antipiretik. Namun, NSAID tidak bisa

digunakan untuk mengatasi nyeri karena angina pectoris karena nyeri disebabkan karena

hipoksia dan penumpukan laktat. Penggunaan NSAID sebagai analgesik bersifat simptomatik

sehingga jika simptom sudah hilang, pemberiannya harus dihentikan.

Pada keadaan gout arthritis, NSAID berperan untuk mengurangi inflamasinya. Asam urat

yang meningkat dan menurun masih dapat menyebabkan inflamasi sehingga menimbulkan nyeri.

Asam urat dapat menumpuk di jaringan (biasanya pada jari kaki tampak tofi, bendol- bendol).

Penggunaan NSAID masih menimbulkan recruitment sel radang karena tidak menghambat LOX/

leukotrien (chemotoxin). Namun efeknya ini perlu diturunkan untuk mencegah adanya

kemotaksis dengan penggunaan kortikosteroid.

NSAID tidak mempengaruhi proses penyakit (ex. kerusakan jaringan muskuloskeletal)

dan hanya mencegah simtom peningkatan prostaglandin pada kerusakan jaringan. Jadi, NSAID

memblok pembentukan prostaglandin, akan tetapi jaringan tetap rusak. NSAID efeknya bersifat

sentral, sehingga tidak menimbulkan adiksi.

Penggunaan NSAID sebagai antipiretik digunakan untuk demam yang patologis (tidak

digunakan untuk demam karena peningkatan suhu setelah aktivitas yang berlebih). Demam

patologis dirangsang oleh zat pirogen endogen (IL-1) yang mengakibatkan pelepasan

prostaglandin di preoptik hipotalamus. Penggunaannya untuk simptomatik juga (ketika panas

turun harus dihentikan).


E. Efek samping
Selain menimbulkan efek terapi yang sama, obat NSAID juga memiliki efek samping

serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis PG. Efek samping yang paling

sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai

anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada

masing-masing obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung ialah: (1) iritasi yang bersifat

lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan

jaringan; dan (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan

biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi

menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus yang bersifat

sitoprotektif.

F. Contoh-contoh Dari Obat AINS

1. Asam mefenamat dan Meklofenamat

Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam mefenamat kurang

efektif dibandingkan dengan aspirin. Meklofenamat digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada

reumatoid dan osteoartritis. Asam mefenamat dan meklofenamat merupakan golongan antranilat.

Asam mefenamat terikat kuat pada pada protein plasma. Dengan demikian interaksi dengan oabt

antikoagulan harus diperhatikan.

Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai diare

berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali

250-500 mg sehari. Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 240-400

mg sehari. Karena efek toksisnya di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan kepada anak

dibawah 14 tahun dan ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.

2. Diklofenak

Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat.  Absorpsi obat ini melalui saluran cerna

berlangsung lengkap dan cepat. Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek

metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam,
dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih

panjang dari waktu paruh obat tersebut.

Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti

semua AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak lambung. Pemakaian

selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga

dosis.

 3. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali dibanyak

negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek

analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya terlihat pada dosis 1200-

2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma

dicapai dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein plasma, ekskresinya

berlangsung cepat dan lengkap.

Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi karena dapat

mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis prostaglandin

ginjal. Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin. Ibuprofen

tidak dianjurkan diminum wanita hamil dan menyusui. Ibuprofen dijual sebagai obat generik

bebas dibeberapa negara yaitu inggris dan amerika karena tidak menimbulkan efek samping

serius pada dosis analgesik dan relatif lama dikenal.

 4. Fenbufen

Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug. Jadi fenbufen bersifat

inaktif dan metabolit aktifnya adalah asam 4-bifenil-asetat. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam

sehingga cukup diberikan 1-2 kali sehari. Absorpsi obat melalui lambung dan kadar puncak

metabolit aktif dicapai dalam 7.5 jam. Efek samping obat ini sama seperti AINS lainnya,

pemakaian pada pasien tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan ginjal dosis harus

dikurangi. Dosis untuk reumatik sendi adalah 2 kali 300 mg sehari dan dosis pemeliharaan 1 kali

600 mg sebelum tidur.


 5. Indometasin

Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan

artritis reumatoid dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka

penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi sebanding dengan

aspirin, serta memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In vitro indometasin menghambat

enzim siklooksigenase, seperti kolkisin.

Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%. Indometasin terikat pada protein plasma

dan metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu paruh 2- 4 jam.

Efek samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare,

perdarahan lambung dan pankreatis. Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien dan

disertai pusing. Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat terhadap biosintesis

prostaglandin di ginjal.

Karena toksisitasnya tidak dianjurka pada anak, wanita hamil, gangguan psikiatrik dan pada

gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang berhasil. Dosis lazim

indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik di malam hari 50-100 mg

sebelum tidur.

 6. Piroksikam dan Meloksikam

Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat asam

enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari. Absorpsi

berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma. Frekuensi kejadian efek

samping dengan piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%. Efek samping adalah gangguan

saluran cerna, dan efek lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit. Piroksikam

tidak dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan yang sedang minum

antikoagulan. Dosis 10-20 mg sehari.

Meloksikam cenderung menghambat COXS-2 dari pada COXS-1. Efek samping meloksikam

terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam.


 7. Salisilat

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin adalah analgesik

antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan. Struktur kimia golongan salisilat.

Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya yang

dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dengan substitusi pada gugus hidroksil,

misalnya asetosal. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik dalam kadar plasma perlu

dipertahankan antara 250-300 mg/ml. Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan

cepat dalam bentuk utuh di lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian.

Setelah diabsorpsi salisilat segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga

ditemukan dalam cairan sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak

lambung atau tukak peptik, efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat

penghambatan biosintesa tromboksan.

 8. Aspirin

Aspirin atau asam asetilsalisilat merupakan sejenis obat yang sering digunakan sebagai

penghilang rasa nyeri atau sakit minor, peradangan atau anti-inflamasi, dan antipiretik (pada

demam). Selain digunakan sebagai analgesik untuk nyeri dari berbagai penyebab (sakit kepala,

nyeri tubuh, arthritis, dismenore, neuralgia, gout, dan sebagainya), dan untuk kondisi demam,

aspirin juga berguna dalam mengobati penyakit rematik, dan sebagai anti-platelet (untuk

mengencerkan darah dan mencegah pembekuan darah) dalam arteri koroner (jantung) dan di

dalam vena pada kaki dan panggul.

Aspirin menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat enzim COX-2.

Molekul aspirin menempel pada enzim COX-2.Penempelan ini menghambat enzim melakukan

reaksi kimia. Bila tidak ada reaksi kimia yang dihasilkan, tidak ada pesan ditransmisikan ke otak

untuk memproduksi prostaglandin. Dengan tidak diproduksinya  prostaglandin, rasa sakit kepala

dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali.

Dosis aspirin bervariasi sesuai dengan intensitas rasa sakit yang dirasakan. Biasanya dosis

normal adalah 324 mg setiap empat jam. Untuk sakit kepala berat, Anda dapat mengambil
hingga 648 mg aspirin setiap empat jam. Disarankan tidak mengonsumsi lebih dari 48 tablet

dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Anak-anak di bawah usia dua belas tahun harus

berkonsultasi dengan dokter sebelum mengonsumsi aspirin.


MATERI KORTIKOSTEROID

A. PENGERTIAN KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah obat yang mengandung hormon steroid yang berguna untuk
menambah hormon steroid dalam tubuh bila diperlukan, dan meredakan peradangan atau
inflamasi, serta menekan kerja sistem kekebalan tubuh yang berlebihan.
Kortikosteroid, seperti cortisone atau hydrocortisone, diproduksi secara alami di kelenjar adrenal
bagian terluar atau korteks. Sementara itu, kortikosteroid dalam bentuk obat disebut
kortikosteroid sintetis dengan cara kerja dan manfaat yang sama dengan kortikosteroid alami.
Contoh-contoh kortikosteroid sintetis adalah:

 Betametason
 Dexamethasone
 Methylprednisolone
 Prednison
 Prednisolone
 Triamcinolone.

Berikut ini sejumlah kegunaan kortikosteroid dalam menangani kondisi-kondisi seperti:

 Asma
 Rheumatoid arthritis
 Bronkitis
 Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
 Reaksi alergi pada kulit, mata, atau hidung.

Obat ini bekerja dengan cara masuk ke dinding sistem sel imun untuk mematikan zat yang bisa
melepaskan senyawa-senyawa yang menjadi pemicu peradangan.

Peringatan:

 Ibu hamil, ibu menyusui, atau wanita yang sedang merencanakan untuk hamil, disarankan
untuk berkonsultasi kepada dokter sebelum menggunakan obat kortikosteroid.
 Harap berhati-hati dalam menggunakan kortikosteroid jika menderita penyakit jantung,
gangguan fungsi hati, tukak lambung atau ulkus usus dua belas jari (duodenum),
gangguan kesehatan mental, pengeroposan tulang atau osteoporosis, katarak,
diabetes, epilepsi, atau mengalami gangguan pada kulit seperti infeksi kulit, jerawat, luka
terbuka, hingga rosacea.
 Beri tahu dokter jika sedang menggunakan obat-obat lain, termasuk suplemen atau herba,
karena dikhawatirkan dapat menimbulkan interaksi obat yang tidak diinginkan.
Diskusikan kepada dokter mengenai pemakaian kortikosteroid bersama dengan obat-obat
berikut ini: obat antiinflamasi nonsteroid/OAINS (seperti: diclofenac, ibuprofen, atau
naproxen), vaksin (seperti:  MMR, BCG), digoxin, diuretik, warfarin, salbutamol, serta
obat untuk diabetes, epilepsi, dan obat HIV/AIDS.
 Jika telah digunakan untuk jangka panjang, obat jangan dihentikan secara tiba-tiba.
Konsutasikan kembali dengan dokter untuk menghentikan obat secara bertahap.
 Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.

B. Efek Samping Kortikosteroid


Efek samping biasanya terjadi pada penggunaan kortikosteroid untuk jangka panjang, yaitu lebih
dari 2-3 bulan. Sejumlah efek samping yang bisa ditimbulkan setelah menggunakan obat
kortikosteroid adalah:

 Penumpukan lemak di pipi (moon face)


 Rentan terkena infeksi
 Meningkatnya tekanan darah atau hipertensi
 Meningkatnya kadar gula darah
 Mempercepat timbulnya katarak
 Tukak (ulkus) pada lambung atau duodenum
 Masalah kulit
 Pelemahan fungsi otot
 Perubahan mood dan perilaku.

C. Jenis-Jenis, Merek Dagang, dan Dosis Kortikosteroid


Berikut ini adalah jenis-jenis obat yang termasuk ke dalam golongan kortikosteroid. Untuk
mendapatkan penjelasan secara rinci mengenai efek samping, peringatan, atau interaksi dari
masing-masing obat kortikosteroid, silahkan lihat pada Obat A-Z.

A. Betametason
Merek dagang: Betam-opthal, Betametason Valerate, Beprosone, Canedrylskin, Celestik,
Diprosone OV, Hufabethamin, Meclovel Nilacelin, Ocuson.
Kondisi: Peradangan atau alergi

 Tablet dan sirop (oral)


Dewasa: Dosis betametason adalah 0,5-5 mg per hari dibagi menjadi beberapa kali
pemberian, tergantung dari tingkat keparahan penyakit dan respons pasien terhadap obat.
Anak-anak:
Anak usia 1-6 tahun: 25% dari dosis orang dewasa.
Anak usia 7-11 tahun: 50% dari dosis orang dewasa.
Anak usia 12 tahun atau lebih: 75% dari dosis orang dewasa.

 Obat Suntik
Dewasa: 4-20 mg per hari.
Anak-anak:
Anak usia 1 tahun atau kurang: 1 mg sebanyak 3-4 kali per 24 jam atau sesuai
kebutuhan.
Anak usia 2-5 tahun: 2 mg sebanyak 3-4 kali per 24 jam atau sesuai kebutuhan.
Anak usia 6-12 tahun: 4 mg sebanyak 3-4 kali per 24 jam atau sesuai kebutuhan.

Kondisi: Rheumatoid arthritis

 Tablet dan sirop (oral)


Dewasa: 0,5-2 mg per hari.

Kondisi: Peradangan kulit

 Krim, salep, dan gel (topikal)


Dewasa: Betametason tersedia dalam konsentrasi 0,025%, 0,05%, atau 0,1%. Pemberian
pada masing-masing konsentrasi akan disesuaikan dengan kondisi pasien. Oleskan
betametason 1-3 kali per hari selama 2-4 minggu atau hingga kondisi membaik.

Kondisi: Psoriasis

 Krim, salep, dan gel (topikal)


Dewasa: Betametason 0,05% dioleskan secukupnya, 2 kali sehari, selama 4 minggu.

Kondisi: Alergi dan peradangan pada mata

 Tetes mata
Dewasa: Dosis awal sebanyak 1-2 tetes pada mata meradang tiap dua jam, lalu frekuensi
pemberian tetes mata akan dikurangi jika kondisi mata telah berangsur membaik.

B. Dexamethasone
Merek dagang dexamethasone: Alletrol Compositum, Dexamethasone,  Dexaharsen, Dextamine,
Etadexta, Kalmethasone, Mexon, Oradexon, Tobroson.
Kondisi: Peradangan

 Tablet dan Sirop


Dewasa: 0,75-9 mg per hari dibagi menjadi 2-4 kali pemberian.
Anak-anak (mulai usia 1 bulan): 10-100 mcg/kgBB per hari dibagi menjadi 1-2 kali
pemberian tergantung dari  respons pasien terhadap obat. Dosis maksimal 300 mcg/kgBB
per hari.

Kondisi: Peradangan mata

 Tetes mata, salep mata


Dewasa: Larutan 0,1% teteskan 1-2 kali pada mata yang meradang sebanyak 4-6 kali per
hari atau per jam jika kondisi tergolong parah. Untuk salep mata 0,05%, ambil salep
secukupnya seukuran ujung jari dan oleskan pada lipatan bawah mata maksimal empat
kali sehari. Dosis bisa dikurangi jika kondisi telah membaik.

Kondisi: Peradangan sendi

 Cairan suntik
Dewasa: 0,8-4 mg tergantung dari ukuran daerah sendi yang meradang. Kemudian, untuk
suntik jaringan lunak sebanyak 2-6 mg dan bisa diulang tiap 3 hari - 3 minggu.

C. Methylprednisolone
Merek dagang methylprednisolone: Advantan, Intidrol Medixon, Metilgen 8,
Methylprednisolone, Medrol, Nichomedson, Ometilson 8, Rhemafar, Solumedrol, Somerol,
Stenirol-8.
Kondisi: Alergi

 Tablet
Dewasa: 24 mg pada hari ke-1, 20 mg pada hari ke-2, 16 mg pada hari ke-3, 12 mg pada
hari ke-4, 8 mg pada hari ke-5, dan 4 mg pada hari ke-6.

Kondisi: Mengatasi peradangan atau sebagai obat imunosupresif

 Tablet
Dewasa: 2-60 mg per hari dibagi 1-4 kali dosis tergantung dari penyakit yang sedang
diobati.
Anak-anak: 0,5-1,7 mg/kgBB per hari.

 Serbuk suntik
Dewasa: 10-500 mg per hari melalui suntik pembuluh darah.
Anak-anak: 0,5-1,7 mg/kgBB per hari melalui suntik pembuluh darah.

Kondisi: Peradangan kulit

 Krim
Dewasa: Dosis krim methylprednisolone 0,1% adalah ambil secukupnya dengan ujung
jari lalu oleskan 1 kali pada kulit yang ingin diobati, maksimal selama 12 minggu.
Anak-anak: Dosis krim methylprednisolone 0,1% adalah ambil krim secukupnya dengan
ujung jari lalu oleskan 1 kali pada kulit yang ingin diobati, maksimal selama 4 minggu.

D. Prednison
Merek dagang prednison: Eltazone, Etacortin, Ifison, Inflason, Lexacort, Pehacort, Prednison,
Remacort, Trifacort.
Kondisi:Alergi

 Tablet
Dewasa: 30 mg pada hari ke-1 pengobatan, lalu dilanjutkan pemberian dosis 5 mg pada
hari seterusnya sampai tablet ke-21.

Kondisi: Rheumatoid arthritis

 Tablet
Dewasa: Hingga 10 mg per hari tergantung beranya penyakit.

Kondisi: Asma

 Tablet
Dewasa: 40-60 mg per hari, dibagi menjadi 1-2 kali pemberian selama tiga hari atau
lebih.
Bayi baru lahir sampai anak usia 11 tahun: 1-2 mg/kgBB per hari selama 3 hari atau
lebih. Dosis maksimal adalah 60 mg per hari.

E. Prednisolone
Merek dagang prednisolone: Borraginol-S, Cendo Cetapred, Chloramfecort-H, CP Krim,
Colipred, Klorfeson, Lupred 5, P-Pred, Predxol.
Kondisi: Alergi, peradangan, penyakit autoimun

 Tablet
Dewasa: 5-60 mg per hari dibagi menjadi 2-4 kali pemberian. Dosis pemeliharaan adalah
2,5-15 mg per hari.
Anak-anak (mulai usia usia 1 bulan): Dosis awal adalah 1-2 mg/kgBB, satu kali per
hari. Dosis bisa diturunkan secara bertahap setelah beberapa hari jika diperlukan. Dosis
maksimal adalah 60 mg per hari.

Kondisi: Rheumatoid arthritis

 Tablet
Dewasa: Dosis awal adalah 5-7,5 mg per hari disesuaikan dengan kebutuhan.
Lansia: 5 mg per hari.

 Krim salep
Dewasa: ambil secukupnya dengan ujung jari, lalu oleskan secara merata ke daerah yang
ingin diobati.

Kondisi: Konjungtivitis
 Tetes mata
Dewasa: Tersedia dalam larutan 0,12% atau 1%, 1-2 tetes pada mata yang meradangi, 2-
4 kali per hari. Frekuensi penetasan dapat dilakukan cukup sering pada 24-48 jam
pertama, jika diperlukan. Jika setelah dua hari, kondisi belum kunjung membaik, segera
temui dokter.

F. Triamcinolone
Merek dagang triamcinolone: Cincort, Flamicort, Kenalog In Orabase,  Sinocort, Triamcinolone,
Tremacort, Triacilon, Trilac. Tanyakan kepada dokter mengenai kegunaan dan dosis
triamcinolone tablet
Kondisi: Luka di mulut

 Pasta
Dosis: Untuk luka yang tidak terlalu luas, gunakan pasta kurang dari 1 cm ke daerah yang
luka tanpa menggosoknya, hingga membentuk lapisan tipis. Gunakan secukupnya setelah
makan dan sebelum tidur malam. Temui dokter jika luka tidak kunjung sembuh setelah 7
hari pemakaian.

Kondisi: Radang kulit

 Krim dan salep


Dosis: Ambil krim secukupnya dengan ujung jari, lalu oleskan 2-4 kali sehari pada
daerah yang meradang.

 Cairan suntik
Dosis: 1-3 mg langsung pada kulit yang meradang, maksimal 30 mg untuk sejumlah area
suntik

Kondisi: Rinitis alergi

 Semprot hidung
Dewasa: 2 kali semprot per hari (110 mikrogram) untuk masing-masing lubang hidung.
Dosis dikurangi menjadi 1 kali semprot per hari (55 mikrogram) untuk masing-masing
lubang hidung.
Anak-anak usia 2-12 tahun: Sekali semprot per hari untuk masing-masing lubang
hidung. Dosis bisa ditingkatkan menjadi 2 kali semprot per hari untuk masing-masing
hidung jika gejala makin parah.
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan.G.Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI.  Jakarta

Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik buku 2. Jakarta : Salemba Medika.

Priyanto, 2010. Farmakologi Dasar. Leskonfi. Jakarta.

Alangari, A. (2014). Corticosteroids in the Treatment of Acute Asthma. Annals of Thoracic Medicine,
9(4), pp. 187-192

Anda mungkin juga menyukai