Anda di halaman 1dari 14

Palembang, Tahun 2021

NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI SENJANG SEBAGAI IDENTITAS


KULTURAL MASYARAKAT BUMI SERASAN SEKATE

Anes Yulyanti
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
anesyulyanti0807@gmail.com

Anna Sipaurrahma
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
anasyifaurrahma@gmail.com

Ditha Paulina
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
paulinaditha@gmail.com

Dwi Kurnia Cahyani


Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
dwikurcah@gmail.com

M. Samudera Paradise
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
samuderaparadise@gmail.com

Randy Aristya Wardhana


Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
randygn55@gmail.com

Vivi Arianti
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
viviarianty23@gmail.com
Abstrak
Senjang adalah seni sastra lisan yang berkembang di kabupaten Musi Banyuasin atau
dikenal juga dengan sebutan Bumi Serasan Sekate yang berisikan pesan moral, pendidikan,
nasihat, adat istiadat, serta ajaran agama pada masyarakat. Senjang merupakan kesenian yang
menggunakan media pantun atau talibun secara bersahutan antara dua orang, tunggal atau
berpasang-pasangan. Senjang berbentuk dari pembukaan (permohonan izin), isi (antara bait
pertama dengan bait berikutnya, seperti pantun berkait dengan mengandung ungkapan
perasaan seperti kecewa, rasa cinta, sedih) dan penutup (permohonan maaf). Peper ini
bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai budaya lokal Senjang di
kabupaten Musi Banyuasin. Senjang Musi Banyuasin di Kota Sekayu adalah Subjek utama
dari penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik studi pustaka. Hasil analisis menemukan nilai-nilai budaya lokal
Senjang di Musi Banyuasin, seperti: nilai-nilai budaya lokal untuk kemakmuran (kerukunan
dan syukur), nilai-nilai budaya lokal untuk kedamaian (pengolahan gender, kejujuran, dan
solidaritas sosial). Budaya lokal lainnya bisa berupa keberanian, transparansi, gotong royong,
setia pada komitmen, dll. Senjang menunjukan bahwa nilai yang berhasil diidentifikasi
adalah (1) nilai dalam hubungan manusia dengan Tuhan (a) meminta tolong kepada Tuhan
(b) iman kepada Tuhan (c) bersyukur (d) sabar, (2) nilai dalam hubungan manusia dengan
manusia, (a) saling menyayangi (b) tolong menolong (c) memaafkan, (3) nilai moral dalam
hubungan manusia dengan dirinya (a) rasa takut (b) mampu mengendalikan diri (c) rajin
bekerja dan belajar. Nilai-nilai budaya lokal masih relevan dengan kehidupan masyarakat
Musi Banyuasin, sehingga Senjang perlu dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Musi
Banyuasin saat ini.
Kata Kunci: Senjang, Nilai, Budaya Lokal, Sastra Lisan, Musi Banyuasin.

THE VALUE OF LOCAL WISDOM IN THE SENJANG TRADITION AS


CULTURAL IDENTITY OF THE EARTH COMMUNITY SERASAN SEKATE
Abstract
Senjang is an oral literary art that develops in Musi Banyuasin district or also known
as Bumi Serasan Sekate which contains moral messages, education, advice, customs, and
religious teachings in the community.Senjang is an art that uses rhyme or talibun as a
medium between two people, singly or in pairs. The Senjang is in the form of opening
(requesting permission), content (between the first verse and the next, such as a rhyme
related to containing expressions of feelings such as disappointment, love, sadness) and
closing (apology). This Peper aims to identify and describe the values of the local Senjang
culture in Musi Banyuasin district. Senjang Musi Banyuasin in Sekayu City is the main
subject of this research using descriptive qualitative methods. Data collection was done by
using literature study and documentation techniques. The results of the analysis found
Senjang local cultural values in Musi Banyuasin, such as: local cultural values for prosperity
(harmony and gratitude), local cultural values for peace (gender processing, honesty, and
social solidarity). Other local cultures can be in the form of courage, transparency, mutual
cooperation, loyalty to commitments, etc. Senjang shows that the values that have been
identified are (1) the value in the human relationship with God (a) asking God for help (b)
faith in God (c) being grateful (d) patient, (2) the value in the relationship between humans
and humans, ( a) love each other (b) help help (c) forgive, (3) moral values in human
relationships with himself (a) fear (b) able to control oneself (c) diligently work and study.
Local cultural values are still relevant to the life of the Musi Banyuasin community, so
Senjang needs to be preserved in the life of the Musi Banyuasin community today.
Keywords: Senjang, Value, Local Culture, Oral Literature, Musi Banyuasin.

1. Pendahuluan
Kabupaten Musi Banyuasin memiliki sejumlah ekspresi budaya yang bersifat tradisi
lisan. Penelitian Gaffar (1989:13-21) menunjukkan tradisi-tradisi itu antara lain senjang,
andai-andai panjang, pantun, mantra, serambah dan nyambai. Media penyampaian yang
digunakan dalam tradisi itu adalah bahasa Musi. Dari sejumlah tradisi itu, senjang saat ini
yang masih eksis.
Pengakuan terhadap konstitusi bahasa daerah, yakni Pasal 32 UUD 1945 menyatakan
bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan
nasional. Memiliki keragaman dan budaya lokal dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung
tinggi. Nilai-nilai budaya lokal tersebut diekspresikan dalam beberapa ekspresi budaya, salah
satunya tradisi lisan atau ekspresi sastra. Sastra ekspresi adalah sastra lisan yaitu diceritakan
kembali melalui mulut ke mulut sehingga teks tersebut tidak ada dalam bentuk sastra tertulis
(Mawaddah, 2016).
Budaya lokal membuat masyarakat mampu hidup rukun dan damai dengan
menerapkan beberapa nilai budaya lokal seperti kesopanan, kejujuran, solidaritas sosial, dan
harmoni dalam menyelesaikan konflik. Selain itu juga terdapat nilai syukur, kerja keras,
disiplin, gotong royong, peduli lingkungan, dan melestarikan budaya. Oleh karena itu,
permasalahan dalam hal ini mengungkapkan nilai-nilai budaya lokal yang terkandung dalam
ekspresi sastra masyarakat Musi Banyuasin.

2. Kajian Pustaka
Sudut pandang dilihat berdasarkan tinjauan pustaka yang digunakan adalah teori
tentang kearifan local (Local Wisdom), nilai, sastra lisan, tradisi lisan dan senjang. Teori-
teori ini digunakan untuk memperkuat pengetahuan mengenai nilai tradisi senjang sebagai
identitas kultural masyarakat Bumi Serasan Sekate.
Kearifan Lokal ( Local Wisdom, Genius Loci )
Local Wisdom atau kearifan lokal berupa gagasan-gagasan setempat (lokal) yang
bernilai baik, bersifat bijaksana, penuh kearifan, tertanam pada masyarakat, menjadi tradisi
dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat (Keraf, 2002; Gobyah, 2003; Ridwan, 2007;
Antariksa, 2009; Irsan, 2009; Sartini, 2009 dalam Soedigdo, 2014). Sedangkan menurut
Rahyono (dalam Fajarini, 2014) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang didapat melalui pengalaman
masyarakat. Dalam perspektif antropologi Local Genius di artikan sebagai Local Wisdom.
Quaritch Wales mengenalkan istilah Local Genius pertama kalinya dan dibahas oleh para
antropolog secara panjang lebar mengenai pengertian Local Genius. Haryati Soebadio
mengatakan bahwa Local Genius terlihat dalam bentuk cultural identity, yaitu
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap
dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986).
Local wisdom is the positive behavior of man connecting with nature and the
surroundingenvironment. Local wisdom can be understood as a local idea that is wise, full of
wisdom, good-value, which is ingrained and observed by the people (Antariksa, 2009 dalam
Dahliyani 2015) . Kearifan lokal adalah kebiasaan positif dari hubungan manusia dengan
alam dan lingkungan sekitar. Kearifan lokal bisa di maksud sebagai ide asal yang bijak,
memiliki nilai-nilai kebaikan yang telah melekat pada masyarakat.
Nilai
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik dan buruk. Pepper (dalam Djajasudarma
1997:12) menyatakan bahwa batasan nilai mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas,
kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi
seleksinya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai.
Sistem nilai termasuk nilai budaya dan merupakan pedoman yang dianut oleh setiap anggota
masyarakat terutama dalam bersikap dan berperilaku dan juga menjadi patokan untuk menilai
dan mencermati bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Jadi, sistem
nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam kehidupan bermasyarakat. Djajasudarma
dkk. (1997:13) mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat meresap dan berakar di dalam
jiwa masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat.
Sastra Lisan
Juwati (2018:5) mengatakan bahwa Sastra lisan merupakan bagian dari suatu
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan
secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama. Sastra lisan merupakan
pencerminan situasi, kondisi, dan tata krama masyarakat pendukungnya. Pertumbuhan dan
perkembangan sastra lisan dalam kehidupan masyarakat merupakan pertumbuhan dari gerak
dinamis pewarisnya dalam melestarikan nilai budaya leluhur.
Hutomo (dalam kutipan Rohman dan Emzir (1991:227) menyatakan sastra lisan
adalah kesusastra yang mencakup ekspresi kesusastraan warga. Suatu kebudayaan yang
disebarluasakan secara turun-temurun atau dari mulut ke mulut. Setiap daerah biasanya
memiliki sastra lisan yang terus dijaga. Sastra lisan ini 2 adalah salah satu bagian budaya
yang harus dipelihara oleh masyarakat secara turun-temurun. Hal ini berarti, sastra lisan
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang harus dilestarikan. sastra lisan ini adalah
dengan cara menceritakannya secara lisan kepada generasi muda dan kalangan umum, yang
sekaligus menanamkan cinta mereka terhadap kesenian daerah itu sendiri
Tradisi Lisan
Tradisi lisan menurut Sibarani (2012:123) adalah kegiatan budaya tradisional suatu
masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dengan lisan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang
bukan lisan (nonverbal). Lalu, Pudentia (2007:27) menyatakan, tradisi lisan adalah wacana
yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi lisan dan beraksarara, yang
semuanya di sampaikan secara lisan.
Menurut Pudentia dalam (Misra dan Delia, 2019) menyatakan bahwa bentuk tradisi
lisan tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal
yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem
nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni. Pandangan Dick Van Der Meij
dalam (Misra dan Delia, 2019) bahwa tradisi lisan mencangkup semua kegiatan kebudayaan
yang dilestarikan dan diturunkan dari generasi ke generasi secara tidak tertulis. Tradisi lisan
mencangkupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian lain.
Sims dan Stephens (2005:19) memberi batasan tradisi lisan adalah hal-hal yang
dipelajari secara informal, semacam pengetahuan tentang dunia, diri, komunitas,
kepercayaan, budaya, dan tradisi yang terekspresikan melalui pelbagai media antara lain
perkataan, musik, pakaian, tindak, tingkah laku, dan benda-benda. Lebih jauh, tradisi sebagai
suatu proses (yang dinamis) menciptakan, mengomunikasikan, dan mempertunjukkan
pengetahuan. Pudentia (2000:3) menjelaskan bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita
rakyat, tekateki, pribahasa, nyanyian rakyat, mite, dan legenda saja, tetapi juga berkaitan
dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti sejarah hukum, dan pengobatan yang di
sampaikan dari mulut ke mulut.
Senjang
Senjang merupakan salah satu kesenian yang menggunakan media pantun atau
telibun, secara bersahutan antara dua orang atau berpasang-pasangan. Namun juga
ditampilkan secara tunggal. Senjang memiliki tiga unsur yaitu (1) musik instrumental, (2)
lagu vokal dari syair pantun, (3) tarian, namun ketiga unsur tersebut masing-masing berdiri
sendiri. Dari tiga unsur tersebut tidak saling berhubungan seperti sebuah pertunjukan pada
umumnya. Saat vokal dari syair pantun Senjang dilagukan oleh pesenjang, musik
instrumental diam, begitupun sebaliknya saat musik instrumental Senjang dimainkan oleh
pemusik, vokal dari pesenjang diam. Pesenjang hanya bergerak menari-nari mengikuti irama
musik Senjang (Sukma, 2015:2).
Kriteria Masyarakat Melayu
Telah banyak penelitian yang membahas mengenai aspek-aspek kehidupan
masyarakat Melayu. Berdasarkan teori-teori kajian sebelumnya mengenai Senjang, maka
didapatkan beberapa kriteria masyarakat dan kebudayaan Melayu yaitu:
1. Nilai keislaman Budaya Melayu adalah budaya yang menyatu dengan ajaran agama
islam. Nilai keislaman sangatlah dominan menjadi acuan dasar budaya Melayu.
Budaya Melayu menyatu dengan Islam ini tercermin dalam ungkapan adat, adat
bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata, adat memakai;
sah kata syarak, benar kata adat, bila bertelikai adat dengan syarak, dan sebagainya
(Tenas Effendy, 2015)
2. J.C. Van Eerde (dalam Susanti, 2014), menyebutkan bahwa orang Melayu sangat
bersemangat dan berkeinginan kuat untuk maju. Identitas orang Melayu adalah jujur
dalam berdagang, berani mengarungi lautan, jarang terlibat dalam soal kriminal,
berpegang teguh kepada tegaknya hukum. Orang Melayu berbakat dalam bidang
kesenian, dan bidang nelayan dan perairan.
3. Orang Melayu menghormati orang tua, menyayangi yang lebih kecil, mengobati yang
sakit, mengajari yang bodoh, yang benar diberi hak, jika lebih kuat tidak menindas,
yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup berpatutan, makan
berpadanan. Masyarakat Melayu hidup harmonis dalam diri sendiri, seluruh Negara,
dan lingkungan hidupnya (Lah Husni, 1986)
4. Dalam istilah Melayu terdapat istilah Adat yang diadatkan, yaitu sesuatu hal yang
telah diterima oleh masyarakat sehingga menjadi kebiasaan atau peraturan yang
dibuat bersama dan disepakati bersama menurut nilai yang patut dan benar, Peraturan
ini dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang
diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, terapung tidak
hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni 1986)
5. Masyarakat Melayu akan melibatkan unsur seni pertunjukan dan puisi tradisional,
seperti pantun, gurindam, nazam, dan lainnya. Unsur seni ini diaplikasikan pada
kegiatan adat perkawinan, penobatan raja, pemakaman raja, jamu laut, mandi Syafar,
tepung tawar, Mulaka nukal, Mulaka ngerbah, Gebik, dan kegiatan lainnya juga
dalam setiap upacara dalam kebudayaan (Lah Husni, 1986)
6. Dalam kehidupan orang Melayu, mereka selalu mengacu pada ajaran Islam (Tenas
Effendy, dalam Darussamin, 2014)
7. Kehidupan masyarakat Melayu harmonis, baik terhadap diri sendiri, seluruh negara,
dan lingkungan hidupnya. Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tak
boleh berubah (Lah Husni dalam Takari, 2015). Nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam adat Melayu menurut Tenas Effendy (dalam Takari, 2015) adalah sebagai
berikut: Nilai keterbukaan, Nilai keislaman, Nilai keturunan bersama, dan Nilai
kebersamaan.
8. Acuan ini menyebabkan Islam tidak dapat dipisahkan dari adat dalam kehidupan
orang Melayu (Tenas Effendy, 2011, dalam Darussamin, 2014: 145)

3. Metode Penelitian
Objek penelitian yang dikaji dalam tulisan ini adalah tradisi lisan senjang pada
Masyarakat Musi Banyuasin di Sumatra Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif dengan cara mengumpulkan data-data yang dibutuhkan. Kemudian,
data dianalisis untuk interpretasi nilai kearifan lokal tradisi Senjang sebagai identitas kultural
masyarakat Musi Banyuasin. budaya lokal yang terkandung dalam Senjang masyarakat Musi
Banyuasin.

4. Hasil dan Pembahasan


Tradisi Senjang sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Musi Banyuasin. Fungsional
Tradisi Senjang
Sebuah tradisi bisa bertahan jika masih mempunyai fungsi dan nilai di dalam
masyarakat pendukung tradisi tersebut. Bagi masyarakat pendukungnya, Senjang biasanya
dilaksanakan atau dipertunjukkan sebagai hiburan pada acara-acara keluarga seperti acara
adat perkawinanan, peresmian rumah baru dan syukuran. Selain hiburan, Senjang memiliki
makna dan nilai serta fungsi yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakatnya. Senjang
berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan politik, fungsi ini terlihat pada saat Senjang
dituturkan pada acara yang kebetulan di hadirin oleh pejabat daerah. Pesenjang memberikan
kritik yang tidak membuat pihak yang dikritik tersinggung, karena penyampainnya selalu di
dahului permohonan izin dan minta maaf terlebih dahulu, diakhiri dengan permohonan pamit
dan maaf lagi. Karena diiringi musik dan tari terhadap penutur Senjang, maka ketika ada
syair yang bernuansa kritik dan kontrol, penyampaiannya enak di dengar dan tidak
menyinggung perasaan bagi yang kena kritik. Selain kritik, Senjang juga berfungsi sebagai
nasehat untuk mereka yang baru saja menikah.
Senjang merupakan seni sastra lisan yang berkembang pesat di kabupaten Musi
Banyuasin yang berisikan pesan moral, pendidikan, nasihat, adatistiadat, serta ajaran-ajaran
agama pada masyarakat.Senjang berbentuk dari pembukaan, isi dan penutup. Pada
pembukaan Senjang berisi tentang permohonan izin, pada isi antara bait pertama dengan bait
berikutnya seperti pantun berkait. Selain itu, Senjang dapat mengandung ungkapan perasaan,
seperti kecewa, rasa cinta, sedih, atau tentang hidup dan kehidupan, Bagian penutup biasanya
berisi permohonan maaf.
Peminat Budaya Musi Banyuasin Aminin menyebutkan bahwa Senjang sudah ada
sejak abad ke-16 Masehi saat dibentuknya Datu atau Sirah Kampung untuk wilayah kota dan
dibentuk marga-marga. Yang paling berpengaruh adalah marga Mantri Melayu yang
dipimpin oleh Pesirah Sahmad bin Sahaji atau biasa disebut Pesirah Depati.
Dari keterangan di atas juga tidak ditemukan secara pasti kapan dan dari mana
kesenian Senjang dimulai. Menurut Tarmizi, dari bacaan dan bertanya kepada orang tua
dulu, belum jelas daerah mana dan siapa yang memulai kesenian ini. Namun yang jelas,
kesenian ini datang dari tanah Melayu baik dari Malaysia, Deli atau Palembang. Sebab, dari
bentuk keseniannya, Senjang hampir mirip dengan ciri pantun yang ada di tanah Melayu,
seperti ada sampiran, isi dan berstruktur a-b-a-b.
Terlepas dari perdebatan itu, penetapan Senjang sebagai warisan budaya tak benda
Indonesia oleh pemerintah patut diapresiasi oleh masyarakat Sumatra Selatan khususnya
Musi Banyuasin, apalagi ditengah persoalan yang sedang membelit dengan dugaan korupsi
berjemaahnya. Penetapan warisan tak benda ini bisa menjadi sedikit memberi sikap
optimisme masyarakat bahwa ada yang bisa dibanggakan dari Bumi Serasan Sekate
Penutur asli Musi ada di Kabupaten Musi Banyuasin. Wilayah utama sastrawan
tuturan meliputi 11 kecamatan yaitu Kecamatan Sekayu, Kecamatan Babat Toman,
Kecamatan Sanga Desa, Kecamatan Sungai Keruh, Kecamatan Lais, Kecamatan Sungai
Lilin, Kecamatan Keluang, Kabupaten Batang Hari Leko, Kabupaten Bayung Lincir,
Kabupaten Lalan, dan Kecamatan Plakat Tinggi. Menurut Haris (2005), ungkapan sastra
digunakan oleh sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah perbatasan antara Kabupaten
Musi Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Musi Rawas. Lintani (2014)
menjelaskan bahwa Senjang merupakan salah satu bentuk media komunikasi budaya antara
orang tua dengan generasi muda atau bisa juga antara masyarakat dengan pemerintah dalam
penyampaian aspirasi berupa nasehat, kritik, dan strategi penyampaian materi ekspresi
kegembiraan.
Di senjang, antara lagu dan musik memang tidak cocok satu sama lain. Intinya saat
musik berbunyi, speaker tidak bernyanyi dan hanya menari, sedangkan saat pembicara
bernyanyi musik menjadi sunyi. Itu sebabnya orang setempat menyebut kesenian itu senjang.
Jadi yang dimaksud dengan senjang dilihat dari arti kata dalam bahasa Musi bisa diartikan
sebagai senjang, atau kondisi yang tidak sesuai. Secara tekstual, senjang adalah puisi dengan
minimal empat baris dan terkadang hingga sepuluh baris. Syair pertama sampiran dan syair
kedua isi. Isi teks senjang keseluruhan biasanya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
adalah bagian pembuka, bagian kedua adalah isi senjang yang akan dibawakan, dan bagian
ketiga adalah bagian penutup yang biasanya berisi permintaan maaf dan meninggalkan kata
perpisahan. Senjang awalnya ditampilkan dengan iringan musik ensemble.
Musiksenjangpengiringdimainkan oleh ansambel grup Tanjidor. Pada saat ini senjang musik
pengiring telah berkembang dari bentuk awalnya, grup tanjidor sudah jarang digunakan dan
diganti dengan satu keyboard /organik namun bentuk musiknya masih tetap sama.
Dari sejumlah bentuk kesenian dan tradisi lisan yang ada, kesenian Senjang yang
masih eksis bertahan di Bumi Serasan Sekate. Tradisi Senjang yang berbentuk puisi rakyat ini
digunakan sebagai media penyampaian nasihat atau kritik yang dilakukan dengan cara
dinyanyikan yang disertai senda gurau. Maksud dari senda gurau agar kegiatan tidak
terkesan menggurui dan menyakiti orang yang dinasihati atau dikritik. Disebut senjang
karena antara lagu dan musik tidak saling bertemu, artinya kalau syair berlagu musik
berhenti, kalau musik berbunyi orang yang bersenjang diam, sehingga keduanya tidak pernah
bertemu. Itulah yang disebut senjang.
Senjang bisa dilangsungkan di berbagai acara yang sifatnya profan, seperti upacara
perkawinan, peresmian rumah baru, syukuran, Festival Randik dan lain sebagainya. Tradisi
yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Musi Banyuasin masih sering kita jumpai
sampai saat ini. Sementara itu, pelatih Senjang dan pengamat budaya Musi Banyuasin
Tarmizi atau Wak Sok mengatakan bahwa Senjang berarti pelampiasan perasaan, media
pencurahan hati, baik kesedihan, gembira, maupun kritikan. Melalui Senjang mereka menari
sambil bernyanyi. Menurut penulis Buku Bumi Serasan Sekate Yusman Haris (2004),
Senjang adalah tarian yang dilakukan oleh dua orang, kadang-kadang berpasangan antara
bujang dan gadis. Senjang merupakan pantun di dalamnya terdapat sampiran dan isi. Isi
senjang pun disesuaikan dengan keadaan acara saat itu. Dalam resepsi pernikahan, isi senjang
berkaitan dengan keadaan, serta acara seremonial yang diadakan oleh pemerintah atau
instansi swasta lainnya. Contoh senjang dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, maka
isi senjang dikaitkan dengan semangat proklamasi, perjuangan dan nasionalisme. Sukma
(2014) menyatakan bahwa tidak hanya penggunaan bahasa daerah untuk puisi puitisnya,
tetapi juga dialek dan aksen bahasa senjang yang berpengaruh pada nadanya. Kemudian,
Irawan (2014) menambahkan bahwa khas cengkok di Senjang merupakan identitas yang
membedakan senjang dengan jenis lagu lainnya.
Bila ditinjau dari bentuknya, senjang tidak lain dari bentuk puisi yang berbentuk
pantun. Oleh sebab itu, jumlah Liriknya dalam satu bait selalu lebih dari empat baris. Satu
keistimewaan dari kesenian senjang ini adalah penyajiannya yang kompleks sehingga
menarik. Dikatakan kompleks karena penyajianya selalu dinyanyikan dan diiringi dengan
musik. Akan tetapi, ketika pesenjang melantunkan senjangnya musik berhenti. Pesenjang
biasanya menyanyi sambil menari. Ia dapat membawakan senjang itu sendirian tetapi tidak
jarang pula pesenjang tampil berdua. Walaupun irama senjang ini pada umumnya monoton,
tetapi juga mengajak audiens terlibat sekaligus terhibur.
Penampilan senjang tampaknya mengalami perkembangan. Pada zaman dahulu,
musik pengiring senjang adalah musik tanjidor. Seiring dengan perkembangan permusikan
dewasa ini, tanjidor sudah nyaris langka digunakan, tetapi penggantinya adalah musik melayu
atau organ tunggal. Pada zaman dahulu, penutur senjang biasanya menciptakan senjangnnya
secara spontan, sehingga tema yang akan disampaikan disesuaikan dengan suasana yang
dihadapinya. Akan tetapi, sekarang kepandaian senjang serupa itu sudah sangat langka.
Pesenjang biasanya menyiapkan senjangnya jauh hari sebelumnya. Bahkan sering terjadi
pesenjang menuturkan senjangnya dengan melihat teks yang telah dipersiapkan.
Ikatan senjang juga memiliki pola tersendiri. Sebuah senjang biasanya terdiri dari tiga
bagian. Bagian pertama merupakan bagian pembuka. Bagian kedua merupakan isi senjang
yang akan disampaikan. Bagian ketiga merupakan bagian penutup yang biasanya berisi
permohonan maaf dan pamit dari pesenjang.
Makna dan nilai yang terkandung pada Senjang antara lain berisi nasehat, ajaran
moral, kritik, yang bersifat edukatif dan sangat berguna dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari. Nasehat tersebut berfungsi menyadarkan dan mengontrol orang-orang yang mendengar
Senjang agar tidak melakukan hal-hal di luar norma-norma masyarakat. Sebuah tradisi lisan
termasuk Senjang, dipertahankan oleh masyarakat pemilik tradisi lisan karena
kebermanfaatnnya dalam kehidupan sehari-hari. Jelasnya, nilai dan fungsi Senjang tersebut
masih dirasakan oleh masyarakat pemilik.
Budaya lokal membuat masyarakat mampu hidup rukun dan damai dengan
menerapkan beberapa nilai budaya lokal seperti kesopanan, kejujuran, solidaritas sosial, dan
harmoni dalam menyelesaikan konflik. Selain itu juga terdapat nilai syukur, kerja keras,
disiplin, gotong royong, peduli lingkungan, dan melestarikan budaya. Oleh karena itu,
permasalahan dalam hal ini mengungkapkan nilai-nilai budaya lokal yang terkandung dalam
ekspresi sastra masyarakat Musi Banyuasin adalah (1) nilai dalam hubungan manusia dengan
Tuhan (a) meminta tolong kepada Tuhan (b) iman kepada Tuhan (c) bersyukur (d) sabar, (2)
nilai dalam hubungan manusia dengan manusia, (a) saling menyayangi (b) tolong menolong
(c) memaafkan, (3) nilai moral dalam hubungan manusia dengan dirinya (a) rasa takut (b)
mampu mengendalikan diri (c) rajin bekerja dan belajar.
Namun seiring dengan perkembangan zaman globalisasi, budaya lokal tetap bertahan
karena keberadaan masyarakat Musi Banyuasin masih menyimpan vogues seperti nasehat dan
kegembiraan yang disampaikan melalui senjang. Banyak kegiatan yang dilakukan bersama
seperti menanam pisang, memotong jagung dan bertani bersama. Hal ini diajarkan kepada
generasi penerus agar budaya lokal tidak tergerus oleh generasi milenial seperti banyaknya
teknologi yang mampu mengambil alih pikiran generasi muda di era globalisasi saat ini.
Senjang sendiri memiliki keterkaitan dengan budaya masyarakat Melayu antara lain
pada budaya ini mengajarkan untuk menjamu dan menghormati tamu yang mengandung nilai
bahwa senjang sangat menghargai silaturahmi kepada sesama dan menjunjung tinggi nilai
kebersamaan,
Analisa
Berdasarkan hasil penelitian, maka nilai dan makna Kearifan Lokal Tradisi Senjang
dalam Konteks Masyarakat Melayu yaitu:
Fungsional Tradisi Senjang
Nilai dan makna dari fungsi Tradisi Senjang dilihat dari kriteria Masyarakat Melayu
dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Analisa Keterkaitan Antara Nilai dan Makna Kearifan Lokal Tradisi Senjang
dengan Kriteria Masyarakat Melayu
NO KEARIFAN LOKAL KRITERIA ANALISA
MELAYU
MAKNA NILAI
Senjang biasanya Masyarakat Melayu • Simbol: • Nilai
dilaksanakan atau akan melibatkan unsur sebagai kesenian
dipertunjukkan sebagai seni pertunjukan dan identitas dan Budaya
hiburan pada acara-acara puisi tradisional, kultural masyarakat
keluarga seperti acara seperti pantun, masyarakat • Nilai
adat perkawinanan, gurindam, nazam, dan Musi Budaya
peresmian rumah baru lainnya. Unsur seni ini Banyuasin acara adat
dan syukuran. Menurut diaplikasikan pada • Estetika: masyarakat
penulis Buku Bumi kegiatan adat Busana yang Musi
Serasan Sekate Yusman perkawinan, penobatan digunakan Banyuasin
Haris (2004), Senjang raja, pemakaman raja, oleh • Nilai moral
adalah tarian yang jamu laut, mandi pesenjang, agar tali
dilakukan oleh dua orang, Syafar, tepung tawar, biasanya silaturahmi
1 kadang-kadang Mulaka nukal, Mulaka menggunakan tetap terjalin
berpasangan antara ngerbah, Gebik, dan pakaian adat
bujang dan gadis. kegiatan lainnya juga Khas
dalam setiap upacara Sumatera
dalam kebudayaan Selatan,
(Lah Husni, 1986) dimana
Kehidupan masyarakat pesenjang
Melayu harmonis, baik pria maupun
terhadap diri sendiri, wanitanya
seluruh negara, dan menggunakan
lingkungan hidupnya. kain songket,
Tidak ada hidup yang serta
bernafsi-nafsi. Inilah pesenjang
adat yang tak boleh prianya
berubah (Lah Husni menggunakan
dalam Takari, 2015) tanjak. Nilai
Nilai-nilai dasar yang keindahan
terkandung dalam adat lain juga
Melayu menurut Tenas terdapat pada
Effendy (dalam bahasa serta
Takari, 2015) adalah diksi yang
sebagai berikut: Nilai digunakan
keterbukaan, Nilai oleh
keislaman, Nilai pesenjang.
keturunan bersama, • Filosofis:
dan Nilai Tata cara
kebersamaan. masyarakat
Musi
Banyuasin
bersilaturahm
i melalui
budaya
Senjang

Senjang merupakan salah Dalam istilah Melayu • Simbol: • Nilai


satu bentuk media terdapat istilah Adat sebagai adat Agama/
komunikasi budaya antara yang diadatkan, yaitu tradisional moral:
orang tua dengan generasi sesuatu hal yang telah masyarakat untuk
muda atau bisa juga diterima oleh Musi menjaga
antara masyarakat dengan masyarakat sehingga Banyuasin kerukunan
pemerintah dalam menjadi kebiasaan atau • Filosofis: dan
penyampaian aspirasi peraturan yang dibuat Tata cara kedamaian
berupa nasehat, kritik, dan bersama dan disepakati masyarakat agar
strategi penyampaian bersama menurut nilai Melayu makmur
ekspresi kegembiraan. yang patut dan benar, dalam rukun sentosa
Senjang berfungsi sebagai Peraturan ini dapat damai, adab • Nilai
alat kontrol sosial dan dimodifikasi yang sopan budaya
politik, fungsi ini terlihat sedemikian rupa secara santun, sopan
pada saat Senjang fleksibel. Dasar dari aman, subur santun
2 dituturkan pada acara adat yang diadatkan ini sentosa serta • Nilai sosial
yang di hadiri oleh adalah: penuh tidak makmur dalam
pejabat daerah. Pesenjang melimpah, berisi tidak sejahtera. kehidupan
memberikan kritik yang kurang, terapung tidak bermasyara
tidak membuat pihak hanyut, terendam tidak kat
yang dikritik tersinggung, basah (Lah Husni
karena penyampainnya 1986)
selalu di dahului Menurut Tenas
permohonan izin dan Effendy (dalam
minta maaf terlebih Takari, 2015) Nilai
dahulu, diakhiri dengan kebersamaan adat
permohonan pamit dan Melayu mencakup hal-
maaf lagi. Karena diiringi hal yang berkaitan
musik dan tari terhadap dengan nilai senasib
penutur Senjang, maka dan sepenanggungan,
ketika ada syair yang nilai seanak dan
bernuansa kritik dan sekemenakan, seinduk
kontrol, penyampaiannya sebahasa, senenek dan
enak di dengar dan tidak semamak, seadat dan
menyinggung perasaan sepusaka, sepucuk
bagi yang kena kritik. setali darah, sesampan
Pelatih Senjang dan dan sehaluan, dan
pengamat budaya Musi seterusnya
Banyuasin Tarmizi atau
Wak Sok mengatakan
bahwa Senjang berarti
pelampiasan perasaan,
media pencurahan hati,
baik kesedihan, gembira,
maupun kritikan.

Senjang berisi nasehat Orang Melayu • Simbol: • Nilai moral


yang berfungsi menghormati orang sebagai masyarakat
menyadarkan dan tua, menyayangi yang identitas Melayu
mengontrol orang-orang lebih kecil, mengobati kultural dalam
yang mendengar senjang yang sakit, mengajari masyarakat mengayomi
agar tidak melakukan hal- yang bodoh, yang Musi dan
hal di luar norma-norma benar diberi hak, jika Banyuasin melindungi
masyarakat. Senjang lebih kuat tidak • Estetika: seni • Nilai
termasuk sebuah tradisi menindas, yang tinggi music yang pengetahuan
3 lisan, dipertahankan oleh tidak menghimpit, dijadikan norma-
masyarakat pemilik yang pintar tidak sebagai norma
tradisi lisan karena menipu, hidup pengiring masyarakat
kebermanfaatnnya dalam berpatutan, makan senjang • Nilai sosial
kehidupan sehari-hari. berpadanan. memiliki bagaimana
Jelasnya, nilai dan fungsi Masyarakat Melayu unsur sebaiknya
Senjang masih dirasakan hidup harmonis dalam mengindahka manusia
oleh masyarakat pemilik. diri sendiri, seluruh n senjang. bisa
Negara, dan • Filosofis: bermanfaat
lingkungan hidupnya masyarakat sesamanya
(Lah Husni, 1986) Melayu
J.C. Van Eerde (dalam memberikan
Susanti, 2014), nilai
menyebutkan bahwa kebaikan dan
orang Melayu sangat manfaat bagi
bersemangat dan kehidupan.
berkeinginan kuat
untuk maju. Identitas
orang Melayu adalah
jujur dalam berdagang,
berani mengarungi
lautan, jarang terlibat
dalam soal kriminal,
berpegang teguh
kepada tegaknya
hukum. Orang Melayu
berbakat dalam bidang
kesenian, dan bidang
nelayan dan perairan.
Nilai-nilai budaya lokal Nilai keislaman • Simbol: • Nilai
yang terkandung dalam Budaya Melayu adalah sebagai adat Agama
ekspresi sastra budaya yang menyatu tradisional dalam rukun
masyarakat Musi dengan ajaran agama masyarakat Islam dan
Banyuasin adalah (1) nilai islam. Nilai keislaman Musi keteladanan
dalam hubungan manusia sangatlah dominan Banyuasin sahabat
dengan Tuhan (a) menjadi acuan dasar • Estetika: Nabi.
meminta tolong kepada budaya Melayu. Busana yang • Nilai tradisi
Tuhan (b) iman kepada Budaya Melayu digunakan masyarakat
4 Tuhan (c) bersyukur (d) menyatu dengan Islam oleh dalam
sabar, (2) nilai dalam ini tercermin dalam pesenjang, berkehidupa
hubungan manusia ungkapan adat, adat biasanya n yang
dengan manusia, (a) bersendikan syarak, menggunakan harmonis
saling menyayangi (b) syarak bersendikan pakaian adat • Nilai
tolong menolong (c) kitabullah, syarak Khas pengetahuan
memaafkan, (3) nilai mengata, adat Sumatera dalam
moral dalam hubungan memakai; sah kata Selatan, pendidikan
manusia dengan dirinya syarak, benar kata dimana agama dan
(a) rasa takut (b) mampu adat, bila bertelikai pesenjang bermasyara
mengendalikan diri (c) adat dengan syarak, pria maupun kat
rajin bekerja dan belajar. dan sebagainya (Tenas wanitanya
Effendy, 2015) menggunakan
Dalam kehidupan kain songket,
orang Melayu, mereka serta
selalu mengacu pada pesenjang
ajaran Islam. Acuan ini prianya
menyebabkan Islam menggunakan
tidak dapat dipisahkan tanjak. Nilai
dari adat dalam keindahan
kehidupan orang lain juga
Melayu (Tenas terdapat pada
Effendy, 2011, dalam bahasa serta
Darussamin, 2014: diksi yang
145) digunakan
oleh
pesenjang.
• Filosofis:
masyarakat
Melayu
dalam
kaitannya
dengan Islam

5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Senjang merupakan salah satu bentuk komunikasi seni budaya antara orang tua
dengan generasi muda atau bisa juga antara masyarakat dengan pemerintah dalam
penyampaian aspirasi berupa nasehat, kritik, dan penyampaian strartegy ekspresi
kegembiraan.
2. Budaya lokal yang paling banyak ditemukan adalah terkait dengan masyarakat
yang mengajak atau memberi nasehat kepada anak muda untuk melakukan
kerjasama, berhati-hati dalam bertindak dan memilih pasangan, hal ini
dikarenakan setiap orang tua telah mengalami hal-hal yang terjadi terlebih dahulu
seperti memilih pasangan, bekerja.
3. Hasil analisis menemukan nilai-nilai budaya lokal Senjang di Musi Banyuasin,
seperti: nilai-nilai budaya lokal untuk kemakmuran (kerukunan dan syukur), nilai-
nilai budaya lokal untuk kedamaian (pengolahan gender, kejujuran, dan solidaritas
sosial). Senjang menunjukan bahwa nilai yang berhasil diidentifikasi adalah (1)
nilai dalam hubungan manusia dengan Tuhan (a) meminta tolong kepada Tuhan
(b) iman kepada Tuhan (c) bersyukur (d) sabar, (2) nilai dalam hubungan manusia
dengan manusia, (a) saling menyayangi (b) tolong menolong (c) memaafkan, (3)
nilai moral dalam hubungan manusia dengan dirinya (a) rasa takut (b) mampu
mengendalikan diri (c) rajin bekerja dan belajar.
4. Senjang dapat digunakan sebagai media pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah sehingga siswa dapat mengambil nilai-nilai budaya lokal
dalam bentuk nasehat, karena pada zaman sekarang sangat sulit memberikan
nasehat kepada siswa tentang berpacaran dan memilih pasangan serta
kebersamaan yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

6. Daftar Pustaka
Ardiansyah, Arif. 2016. Pemanfaatan Tradisi Lisan Senjang Musi Banyuasin Sumatra Selatan
Sebagai Identitas Kultural. Volume 6. Nomor 1. Halaman 79-91.
https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/pembahsi/article/view/1047.
Diakses pada tanggal 11 Januari 2021.
Ardiansyah, Arif. 2017. Senjang : Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Musi
Banyuasin. https://fornews.co/news/senjang-warisan-budaya-tak-benda-indonesia-
dari-musi-banyuasin/. Diakses pada tanggal 27 Januari 2021.
Djajasudarma, T. F. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Bandung: Refika Aditama.
Irawan, Sukma. 2015. KEBERADAAN KESENIAN SENJANG PADA MASYARAKAT
KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN. S2 thesis, INSTITUT
SENI INDONESIA SURAKARTA. http://repository.isi-ska.ac.id/. Diakses pada
tanggal 27 Januari 2021.
Juwati. 2015. Sastra Lisan. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Nofrita, Misra., dan Delia Putri. 2019. TRADISI LISAN Bahasa dan Sastra Budaya Rokan.
Jawa Timur: CV. Penerbit Qiara Media.
Nurbaya. 2019. THE VALUES OF SENJANG LOCAL CULTURE FOR MUSI BANYUASIN
SOCIETY. Vol 1. No 1. Hlm 575-580.
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/ICOL/article/view/14506. Diakses pada tanggal 27
Januari 2021.
Paraz, Ayu Rzki., dan Enny Hidayati. 2019. NILAI MORAL DALAM SASTRA LISAN
SENJANG PADA MASYARAKAT KABUPATEN MUSI BANYUASIN. Diploma thesis,
Universitas Bina Darma. http://repository.binadarma.ac.id/id/eprint/114. Diakses pada
tanggal 27 Januari 2021.
Rohman, Syaifur & Emzir. 2017. Teori dan Pengajaran Sastra. Depok: PT Raja Grafindo
Persada.
Tondi, Muhammad Lufika., dan Sakura Yulia Iryani. 2018. NILAI DAN MAKNA KEARIFAN
LOKAL RUMAH TRADISIONAL LIMAS PALEMBANG SEBAGAI KRITERIA
MASYARAKAT MELAYU. Vol. 5, No. 1, Hlm. 16.

Anda mungkin juga menyukai