Anes Yulyanti
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
anesyulyanti0807@gmail.com
Anna Sipaurrahma
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
anasyifaurrahma@gmail.com
Ditha Paulina
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
paulinaditha@gmail.com
M. Samudera Paradise
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
samuderaparadise@gmail.com
Vivi Arianti
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang
viviarianty23@gmail.com
Abstrak
Senjang adalah seni sastra lisan yang berkembang di kabupaten Musi Banyuasin atau
dikenal juga dengan sebutan Bumi Serasan Sekate yang berisikan pesan moral, pendidikan,
nasihat, adat istiadat, serta ajaran agama pada masyarakat. Senjang merupakan kesenian yang
menggunakan media pantun atau talibun secara bersahutan antara dua orang, tunggal atau
berpasang-pasangan. Senjang berbentuk dari pembukaan (permohonan izin), isi (antara bait
pertama dengan bait berikutnya, seperti pantun berkait dengan mengandung ungkapan
perasaan seperti kecewa, rasa cinta, sedih) dan penutup (permohonan maaf). Peper ini
bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai budaya lokal Senjang di
kabupaten Musi Banyuasin. Senjang Musi Banyuasin di Kota Sekayu adalah Subjek utama
dari penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik studi pustaka. Hasil analisis menemukan nilai-nilai budaya lokal
Senjang di Musi Banyuasin, seperti: nilai-nilai budaya lokal untuk kemakmuran (kerukunan
dan syukur), nilai-nilai budaya lokal untuk kedamaian (pengolahan gender, kejujuran, dan
solidaritas sosial). Budaya lokal lainnya bisa berupa keberanian, transparansi, gotong royong,
setia pada komitmen, dll. Senjang menunjukan bahwa nilai yang berhasil diidentifikasi
adalah (1) nilai dalam hubungan manusia dengan Tuhan (a) meminta tolong kepada Tuhan
(b) iman kepada Tuhan (c) bersyukur (d) sabar, (2) nilai dalam hubungan manusia dengan
manusia, (a) saling menyayangi (b) tolong menolong (c) memaafkan, (3) nilai moral dalam
hubungan manusia dengan dirinya (a) rasa takut (b) mampu mengendalikan diri (c) rajin
bekerja dan belajar. Nilai-nilai budaya lokal masih relevan dengan kehidupan masyarakat
Musi Banyuasin, sehingga Senjang perlu dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Musi
Banyuasin saat ini.
Kata Kunci: Senjang, Nilai, Budaya Lokal, Sastra Lisan, Musi Banyuasin.
1. Pendahuluan
Kabupaten Musi Banyuasin memiliki sejumlah ekspresi budaya yang bersifat tradisi
lisan. Penelitian Gaffar (1989:13-21) menunjukkan tradisi-tradisi itu antara lain senjang,
andai-andai panjang, pantun, mantra, serambah dan nyambai. Media penyampaian yang
digunakan dalam tradisi itu adalah bahasa Musi. Dari sejumlah tradisi itu, senjang saat ini
yang masih eksis.
Pengakuan terhadap konstitusi bahasa daerah, yakni Pasal 32 UUD 1945 menyatakan
bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan
nasional. Memiliki keragaman dan budaya lokal dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung
tinggi. Nilai-nilai budaya lokal tersebut diekspresikan dalam beberapa ekspresi budaya, salah
satunya tradisi lisan atau ekspresi sastra. Sastra ekspresi adalah sastra lisan yaitu diceritakan
kembali melalui mulut ke mulut sehingga teks tersebut tidak ada dalam bentuk sastra tertulis
(Mawaddah, 2016).
Budaya lokal membuat masyarakat mampu hidup rukun dan damai dengan
menerapkan beberapa nilai budaya lokal seperti kesopanan, kejujuran, solidaritas sosial, dan
harmoni dalam menyelesaikan konflik. Selain itu juga terdapat nilai syukur, kerja keras,
disiplin, gotong royong, peduli lingkungan, dan melestarikan budaya. Oleh karena itu,
permasalahan dalam hal ini mengungkapkan nilai-nilai budaya lokal yang terkandung dalam
ekspresi sastra masyarakat Musi Banyuasin.
2. Kajian Pustaka
Sudut pandang dilihat berdasarkan tinjauan pustaka yang digunakan adalah teori
tentang kearifan local (Local Wisdom), nilai, sastra lisan, tradisi lisan dan senjang. Teori-
teori ini digunakan untuk memperkuat pengetahuan mengenai nilai tradisi senjang sebagai
identitas kultural masyarakat Bumi Serasan Sekate.
Kearifan Lokal ( Local Wisdom, Genius Loci )
Local Wisdom atau kearifan lokal berupa gagasan-gagasan setempat (lokal) yang
bernilai baik, bersifat bijaksana, penuh kearifan, tertanam pada masyarakat, menjadi tradisi
dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat (Keraf, 2002; Gobyah, 2003; Ridwan, 2007;
Antariksa, 2009; Irsan, 2009; Sartini, 2009 dalam Soedigdo, 2014). Sedangkan menurut
Rahyono (dalam Fajarini, 2014) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang didapat melalui pengalaman
masyarakat. Dalam perspektif antropologi Local Genius di artikan sebagai Local Wisdom.
Quaritch Wales mengenalkan istilah Local Genius pertama kalinya dan dibahas oleh para
antropolog secara panjang lebar mengenai pengertian Local Genius. Haryati Soebadio
mengatakan bahwa Local Genius terlihat dalam bentuk cultural identity, yaitu
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap
dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986).
Local wisdom is the positive behavior of man connecting with nature and the
surroundingenvironment. Local wisdom can be understood as a local idea that is wise, full of
wisdom, good-value, which is ingrained and observed by the people (Antariksa, 2009 dalam
Dahliyani 2015) . Kearifan lokal adalah kebiasaan positif dari hubungan manusia dengan
alam dan lingkungan sekitar. Kearifan lokal bisa di maksud sebagai ide asal yang bijak,
memiliki nilai-nilai kebaikan yang telah melekat pada masyarakat.
Nilai
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik dan buruk. Pepper (dalam Djajasudarma
1997:12) menyatakan bahwa batasan nilai mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas,
kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi
seleksinya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai.
Sistem nilai termasuk nilai budaya dan merupakan pedoman yang dianut oleh setiap anggota
masyarakat terutama dalam bersikap dan berperilaku dan juga menjadi patokan untuk menilai
dan mencermati bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Jadi, sistem
nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam kehidupan bermasyarakat. Djajasudarma
dkk. (1997:13) mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat meresap dan berakar di dalam
jiwa masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat.
Sastra Lisan
Juwati (2018:5) mengatakan bahwa Sastra lisan merupakan bagian dari suatu
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan
secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama. Sastra lisan merupakan
pencerminan situasi, kondisi, dan tata krama masyarakat pendukungnya. Pertumbuhan dan
perkembangan sastra lisan dalam kehidupan masyarakat merupakan pertumbuhan dari gerak
dinamis pewarisnya dalam melestarikan nilai budaya leluhur.
Hutomo (dalam kutipan Rohman dan Emzir (1991:227) menyatakan sastra lisan
adalah kesusastra yang mencakup ekspresi kesusastraan warga. Suatu kebudayaan yang
disebarluasakan secara turun-temurun atau dari mulut ke mulut. Setiap daerah biasanya
memiliki sastra lisan yang terus dijaga. Sastra lisan ini 2 adalah salah satu bagian budaya
yang harus dipelihara oleh masyarakat secara turun-temurun. Hal ini berarti, sastra lisan
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang harus dilestarikan. sastra lisan ini adalah
dengan cara menceritakannya secara lisan kepada generasi muda dan kalangan umum, yang
sekaligus menanamkan cinta mereka terhadap kesenian daerah itu sendiri
Tradisi Lisan
Tradisi lisan menurut Sibarani (2012:123) adalah kegiatan budaya tradisional suatu
masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dengan lisan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang
bukan lisan (nonverbal). Lalu, Pudentia (2007:27) menyatakan, tradisi lisan adalah wacana
yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi lisan dan beraksarara, yang
semuanya di sampaikan secara lisan.
Menurut Pudentia dalam (Misra dan Delia, 2019) menyatakan bahwa bentuk tradisi
lisan tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal
yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem
nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni. Pandangan Dick Van Der Meij
dalam (Misra dan Delia, 2019) bahwa tradisi lisan mencangkup semua kegiatan kebudayaan
yang dilestarikan dan diturunkan dari generasi ke generasi secara tidak tertulis. Tradisi lisan
mencangkupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian lain.
Sims dan Stephens (2005:19) memberi batasan tradisi lisan adalah hal-hal yang
dipelajari secara informal, semacam pengetahuan tentang dunia, diri, komunitas,
kepercayaan, budaya, dan tradisi yang terekspresikan melalui pelbagai media antara lain
perkataan, musik, pakaian, tindak, tingkah laku, dan benda-benda. Lebih jauh, tradisi sebagai
suatu proses (yang dinamis) menciptakan, mengomunikasikan, dan mempertunjukkan
pengetahuan. Pudentia (2000:3) menjelaskan bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita
rakyat, tekateki, pribahasa, nyanyian rakyat, mite, dan legenda saja, tetapi juga berkaitan
dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti sejarah hukum, dan pengobatan yang di
sampaikan dari mulut ke mulut.
Senjang
Senjang merupakan salah satu kesenian yang menggunakan media pantun atau
telibun, secara bersahutan antara dua orang atau berpasang-pasangan. Namun juga
ditampilkan secara tunggal. Senjang memiliki tiga unsur yaitu (1) musik instrumental, (2)
lagu vokal dari syair pantun, (3) tarian, namun ketiga unsur tersebut masing-masing berdiri
sendiri. Dari tiga unsur tersebut tidak saling berhubungan seperti sebuah pertunjukan pada
umumnya. Saat vokal dari syair pantun Senjang dilagukan oleh pesenjang, musik
instrumental diam, begitupun sebaliknya saat musik instrumental Senjang dimainkan oleh
pemusik, vokal dari pesenjang diam. Pesenjang hanya bergerak menari-nari mengikuti irama
musik Senjang (Sukma, 2015:2).
Kriteria Masyarakat Melayu
Telah banyak penelitian yang membahas mengenai aspek-aspek kehidupan
masyarakat Melayu. Berdasarkan teori-teori kajian sebelumnya mengenai Senjang, maka
didapatkan beberapa kriteria masyarakat dan kebudayaan Melayu yaitu:
1. Nilai keislaman Budaya Melayu adalah budaya yang menyatu dengan ajaran agama
islam. Nilai keislaman sangatlah dominan menjadi acuan dasar budaya Melayu.
Budaya Melayu menyatu dengan Islam ini tercermin dalam ungkapan adat, adat
bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata, adat memakai;
sah kata syarak, benar kata adat, bila bertelikai adat dengan syarak, dan sebagainya
(Tenas Effendy, 2015)
2. J.C. Van Eerde (dalam Susanti, 2014), menyebutkan bahwa orang Melayu sangat
bersemangat dan berkeinginan kuat untuk maju. Identitas orang Melayu adalah jujur
dalam berdagang, berani mengarungi lautan, jarang terlibat dalam soal kriminal,
berpegang teguh kepada tegaknya hukum. Orang Melayu berbakat dalam bidang
kesenian, dan bidang nelayan dan perairan.
3. Orang Melayu menghormati orang tua, menyayangi yang lebih kecil, mengobati yang
sakit, mengajari yang bodoh, yang benar diberi hak, jika lebih kuat tidak menindas,
yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup berpatutan, makan
berpadanan. Masyarakat Melayu hidup harmonis dalam diri sendiri, seluruh Negara,
dan lingkungan hidupnya (Lah Husni, 1986)
4. Dalam istilah Melayu terdapat istilah Adat yang diadatkan, yaitu sesuatu hal yang
telah diterima oleh masyarakat sehingga menjadi kebiasaan atau peraturan yang
dibuat bersama dan disepakati bersama menurut nilai yang patut dan benar, Peraturan
ini dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang
diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, terapung tidak
hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni 1986)
5. Masyarakat Melayu akan melibatkan unsur seni pertunjukan dan puisi tradisional,
seperti pantun, gurindam, nazam, dan lainnya. Unsur seni ini diaplikasikan pada
kegiatan adat perkawinan, penobatan raja, pemakaman raja, jamu laut, mandi Syafar,
tepung tawar, Mulaka nukal, Mulaka ngerbah, Gebik, dan kegiatan lainnya juga
dalam setiap upacara dalam kebudayaan (Lah Husni, 1986)
6. Dalam kehidupan orang Melayu, mereka selalu mengacu pada ajaran Islam (Tenas
Effendy, dalam Darussamin, 2014)
7. Kehidupan masyarakat Melayu harmonis, baik terhadap diri sendiri, seluruh negara,
dan lingkungan hidupnya. Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tak
boleh berubah (Lah Husni dalam Takari, 2015). Nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam adat Melayu menurut Tenas Effendy (dalam Takari, 2015) adalah sebagai
berikut: Nilai keterbukaan, Nilai keislaman, Nilai keturunan bersama, dan Nilai
kebersamaan.
8. Acuan ini menyebabkan Islam tidak dapat dipisahkan dari adat dalam kehidupan
orang Melayu (Tenas Effendy, 2011, dalam Darussamin, 2014: 145)
3. Metode Penelitian
Objek penelitian yang dikaji dalam tulisan ini adalah tradisi lisan senjang pada
Masyarakat Musi Banyuasin di Sumatra Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif dengan cara mengumpulkan data-data yang dibutuhkan. Kemudian,
data dianalisis untuk interpretasi nilai kearifan lokal tradisi Senjang sebagai identitas kultural
masyarakat Musi Banyuasin. budaya lokal yang terkandung dalam Senjang masyarakat Musi
Banyuasin.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Senjang merupakan salah satu bentuk komunikasi seni budaya antara orang tua
dengan generasi muda atau bisa juga antara masyarakat dengan pemerintah dalam
penyampaian aspirasi berupa nasehat, kritik, dan penyampaian strartegy ekspresi
kegembiraan.
2. Budaya lokal yang paling banyak ditemukan adalah terkait dengan masyarakat
yang mengajak atau memberi nasehat kepada anak muda untuk melakukan
kerjasama, berhati-hati dalam bertindak dan memilih pasangan, hal ini
dikarenakan setiap orang tua telah mengalami hal-hal yang terjadi terlebih dahulu
seperti memilih pasangan, bekerja.
3. Hasil analisis menemukan nilai-nilai budaya lokal Senjang di Musi Banyuasin,
seperti: nilai-nilai budaya lokal untuk kemakmuran (kerukunan dan syukur), nilai-
nilai budaya lokal untuk kedamaian (pengolahan gender, kejujuran, dan solidaritas
sosial). Senjang menunjukan bahwa nilai yang berhasil diidentifikasi adalah (1)
nilai dalam hubungan manusia dengan Tuhan (a) meminta tolong kepada Tuhan
(b) iman kepada Tuhan (c) bersyukur (d) sabar, (2) nilai dalam hubungan manusia
dengan manusia, (a) saling menyayangi (b) tolong menolong (c) memaafkan, (3)
nilai moral dalam hubungan manusia dengan dirinya (a) rasa takut (b) mampu
mengendalikan diri (c) rajin bekerja dan belajar.
4. Senjang dapat digunakan sebagai media pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah sehingga siswa dapat mengambil nilai-nilai budaya lokal
dalam bentuk nasehat, karena pada zaman sekarang sangat sulit memberikan
nasehat kepada siswa tentang berpacaran dan memilih pasangan serta
kebersamaan yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
6. Daftar Pustaka
Ardiansyah, Arif. 2016. Pemanfaatan Tradisi Lisan Senjang Musi Banyuasin Sumatra Selatan
Sebagai Identitas Kultural. Volume 6. Nomor 1. Halaman 79-91.
https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/pembahsi/article/view/1047.
Diakses pada tanggal 11 Januari 2021.
Ardiansyah, Arif. 2017. Senjang : Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Musi
Banyuasin. https://fornews.co/news/senjang-warisan-budaya-tak-benda-indonesia-
dari-musi-banyuasin/. Diakses pada tanggal 27 Januari 2021.
Djajasudarma, T. F. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Bandung: Refika Aditama.
Irawan, Sukma. 2015. KEBERADAAN KESENIAN SENJANG PADA MASYARAKAT
KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN. S2 thesis, INSTITUT
SENI INDONESIA SURAKARTA. http://repository.isi-ska.ac.id/. Diakses pada
tanggal 27 Januari 2021.
Juwati. 2015. Sastra Lisan. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Nofrita, Misra., dan Delia Putri. 2019. TRADISI LISAN Bahasa dan Sastra Budaya Rokan.
Jawa Timur: CV. Penerbit Qiara Media.
Nurbaya. 2019. THE VALUES OF SENJANG LOCAL CULTURE FOR MUSI BANYUASIN
SOCIETY. Vol 1. No 1. Hlm 575-580.
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/ICOL/article/view/14506. Diakses pada tanggal 27
Januari 2021.
Paraz, Ayu Rzki., dan Enny Hidayati. 2019. NILAI MORAL DALAM SASTRA LISAN
SENJANG PADA MASYARAKAT KABUPATEN MUSI BANYUASIN. Diploma thesis,
Universitas Bina Darma. http://repository.binadarma.ac.id/id/eprint/114. Diakses pada
tanggal 27 Januari 2021.
Rohman, Syaifur & Emzir. 2017. Teori dan Pengajaran Sastra. Depok: PT Raja Grafindo
Persada.
Tondi, Muhammad Lufika., dan Sakura Yulia Iryani. 2018. NILAI DAN MAKNA KEARIFAN
LOKAL RUMAH TRADISIONAL LIMAS PALEMBANG SEBAGAI KRITERIA
MASYARAKAT MELAYU. Vol. 5, No. 1, Hlm. 16.