2015 Isw
2015 Isw
ISWAHYUDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Nilai Gizi
Protein dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit yang Memanfaatkan Blondo dan
Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa striata) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Iswahyudi
NIM I151120031
RINGKASAN
ISWAHYUDI. Evaluasi Nilai Gizi Protein dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit
yang Memanfaatkan Blondo dan Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa
striata). Dibimbing oleh RIMBAWAN dan EVY DAMAYANTHI.
Kata kunci: biskuit, blondo, ikan gabus, kualitas protein, umur simpan
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI NILAI GIZI PROTEIN DAN PENDUGAAN UMUR
SIMPAN BISKUIT YANG MEMANFAATKAN BLONDO DAN
DIPERKAYA DENGAN TEPUNG IKAN GABUS (Channa striata)
ISWAHYUDI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS
Judul Tesis : Evaluasi Nilai Gizi Protein dan Pendugaan Umur Simpan
Biskuit yang Memanfaatkan Blondo dan Diperkaya dengan
Tepung Ikan Gabus (Channa striata)
Nama : Iswahyudi
NIM : I151120031
Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh,
Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis
yang berjudul “Evaluasi Nilai Gizi Protein dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit
yang Memanfaatkan Blondo dan Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa
striata)” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister
Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Evy
Damayanthi, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
banyak masukan, saran, dan kritik yang membangun serta motivasi sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen penguji luar komisi dalam ujian
tesis yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam
penyempurnaan penulisan tesis ini.
3. Seluruh tim dalam kegiatan penelitian KKP3N Kementerian Pertanian yang
diketuai oleh Dr. Rimbawan atas kesempatan dan pendanaan dalam kegiatan
penelitian ini.
4. Isteriku tersayang, Merita Pahlevi yang selalu sabar dan memberi motivasi
serta anakku Alana Zakiya Iswahyudi yang menjadi semangat tersendiri dalam
upaya penyelesaian tesis ini.
5. Kedua orangtua, Ibu Tuminah dan Bapak Dul Salim atas doa, kasih sayang,
serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Kakakku Nur Hidayat, Endang
Fatmawati dan Syaiful Hadi, STP serta adikku Umsiah atas doa dan semangat
yang diberikan kepada penulis.
6. Laboran yang telah membantu penelitian saya (Pak Mashudi, Bu Rizqi, Bu Susi
dan Bu Titi)
7. Keluarga besar mahasiswa Sekolah Pascasarjana Gizi Masyarakat, yang telah
memberikan dorongan semangat baik selama penelitian maupun saat
penyusunan tesis ini.
8. Sahabat-sahabatku yang berjiwa besar dan luar biasa (Mas Wartha, Gumintang,
Mas Maul, Eka, Ajeng, Ika, Linda). Mbak-mbak yang telah memberikan
dorongan semangat (Mbak Nindy, Mbak Indri, Mbak Anita, Mbak Norhasanah,
Mbak Nia, Mbak Putri), rekan-rekan yang penuh semangat (Sabrina, Mertien,
Nadia, Emil).
9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan karya ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa
lainnya yang lebih mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian
ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Iswahyudi
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN ii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 3
Manfaat Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Blondo 4
Ikan Gabus 6
Biskuit 6
Pendugaan Umur Simpan 7
Evaluasi Nilai Gizi Protein 8
3 METODE PENELITIAN 9
Waktu dan Tempat 9
Bahan dan Alat 9
Tahapan Penelitian 9
Persiapan Bahan Baku Biskuit 10
Pembuatan Biskuit dan Krim 12
Analisis Kimia dan Mikrobiologi 14
Evaluasi Nilai Gizi Protein secara In vivo 14
Pendugaan Umur Simpan 16
Rancangan Percobaan dan Analisis Data 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Bahan Baku Biskuit 18
Biskuit 19
Berat Badan Tikus 20
Evaluasi Nilai Gizi Protein Biskuit secara In vivo 21
Pendugaan Umur Simpan 23
5 SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP
ii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selain itu, penambahan tepung ikan gabus diduga akan mempengaruhi mutu
protein biskuit sehingga perlu studi yang mengkaji mutu protein biskuit pada
hewan coba untuk melihat kualitas protein biskuit terhadap pertumbuhan dan
perkembangan. Berdasarkan penjabaran di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Nilai Gizi Protein dan
Pendugaan Umur Simpan Biskuit yang Memanfaatkan Blondo dan
Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa striata)”.
Tujuan
Tujuan Umum:
Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi mutu protein biskuit pada
uji in vivo dan pendugaan umur simpan biskuit yang memanfaatkan blondo dan
diperkaya dengan tepung ikan gabus menggunakan metode akselerasi.
Tujuan Khusus:
1. Menganalisis profil asam amino tepung ikan gabus
2. Menganalisis kadar protein dan lemak biskuit
3. Menganalisis bilangan 2-Thiobarbituric Acid (TBA) dan Total Plate Count
(TPC) biskuit
4. Menganalisis daya cerna sejati atau true digestibility (TD), biological value
(BV) dan net protein utilization (NPU) biskuit
5. Menentukan umur simpan biskuit dengan menggunakan persamaan
Arrhenius
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Blondo
Blondo adalah salah satu limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan
minyak kelapa. Blondo dikenal dengan nama galendo di masyarakat sunda, tahi
minyak di masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, sedangkan di
masyarakat Jawa selain blondo juga di kenal dengan nama kethak. Pemanfaatan
blondo selama ini belum optimal, karena hanya digunakan sebagai bahan
campuran yang ditambahkan dalam pembuatan sambal yang dikenal dengan
sambal kethak, dodol kethak atau campuran bumbu gudeg Jogja.
Pada pembuatan minyak kelapa, dari 150 biji kelapa diperoleh 80 kg kelapa
parut, dengan menggunakan 80 liter (64 kg) air kelapa sebagai air perasan akan
dihasilkan santan sebanyak 95 liter (76 kg) santan. Dari 95 liter santan dihasilkan
12 liter (9.6 kg) minyak kelapa dan 10 liter (8 kg) blondo. Setelah
dikempa/diberikan tekanan untuk mengeluarkan minyak dan airnya, blondo yang
tersisa hanya 6 kg (Widodo 2007). Kandungan zat gizi blondo dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan zat gizi blondo per 100 g bahan
Zat Gizi Jumlah
Energi 341 kkal
Karbohidrat 14.6 g
Protein 16.9 g
Lemak 23.9 g
Air 16.9 g
Abu 1.4 g
Serat 9.1 g
Thiamin 0.1 mg
Riboflavin 0.02 mg
Niasin 0.1 mg
Kobalamin 0.1 mg
Asam folat 0.04 mg
Kalsium 104.6 mg
Fosfor 64.8 mg
Besi 96.9 mg
Seng 40.1 mcg
Selenium 4.7 mcg
Yodium 0.7 mcg
Vitamin C 0.0 mg
Vitamin A 0.1 RE
Sumber: Widodo (2007)
Pada Tabel 1 terlihat bahwa blondo masih memiliki kandungan gizi yang
cukup tinggi. Untuk mengetahui perbandingan kandungan gizi blondo dengan
santan murni dan daging kelapa tua dapat dilihat pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Perbandingan zat gizi blondo dengan santan kental dan daging kelapa per
100 g bahan
Zat Gizi Blondo Santan Murni Daging Kelapa Tua
Kalori (kkal) 341 316 359
Karbohidrat (g) 14.6 2.8 14
Protein (g) 16.9 7 3.4
Lemak (g) 23.9 35 34.7
Air (g) 16.9 50 47
Sumber: Soedarmo dan Sediaoetama (1997)
Pada Tabel 2 terlihat bahwa blondo yang selama ini dianggap limbah dan
dibuang oleh produsen minyak kelapa ternyata memliliki kandungan karbohidrat,
protein dan lemak cukup tinggi yang dapat dimanfaatkan pada pembuatan
berbagai produk pangan. Pemanfaatan blondo dalam pembuatan biskuit
diharapkan dapat mengurangi penggunaan margarin dan mengurangi limbah
blondo di Sulawesi Selatan. Kandungan zat gizi margarin dan blondo dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan kandungan gizi margarin dan blondo per 100 g bahan
No Zat Gizi Margarin Blondo
1. Energi (kkal) 720 341
2. Karbohidrat (g) 0.4 14.6
3. Protein (g) 0.6 16.9
4. Lemak (g) 81 23.9
5. Air (g) 15.5 16.9
6. Abu (g) 2.5 1.4
7. Serat (g) 0 9.1
8. Kalsium (mg) 20 104.6
9. Fosfor (mg) 16 64.8
10. Besi (mg) 0 96.9
11. Seng (mcg) 40.1
12. Vitamin A (RE) 606 0.1
13. Thiamin (mg) 0 0.1
14. Riboflafin (mg) 0.02
15. Niasin (mg) 0.1
16. Selenium (mcg) 4.7
Sumber: Mahmud (2008), Widodo (2007)
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kandungan gizi blondo lebih
bervariasi dibandingkan margarin. Namun, pada kandungan lemak, energi serta
air margarin lebih baik. Dari segi organoleptik margarin juga lebih baik karena
memberikan tekstur lebih lembut, warna menarik, aroma dan rasa yang lebih baik.
Kemudian dari sisi komersil margarin sudah dikelola dalam skala industri
sehingga terjamin keamanannya, sudah diterima oleh masyarakat luas dan
memiliki harga jual yang terjangkau. Berbeda dengan blondo yang sampai saat ini
masih terbatas penggunaanya karena masyarakat beranggapan bahwa blondo
merupakan limbah dan tidak bisa dimanfaatkan.
6
Ikan Gabus
Ikan gabus (Channa striata) adalah ikan air tawar yang menjadi makanan
penting di negara-negara Asia Tenggara termasuk India. Habitat ikan gabus
tersebar secara luas mulai dari Iran, India, Cina dan Indonesia. Ikan gabus
merupakan ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi karena
kualitas daging yang baik, rendah lemak, memiliki sedikit duri dan berkualitas
sebagai obat (Sood et al. 2011; Talpur et al. 2014). Di Indonesia, ikan gabus
dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi, baik dikonsumsi secara langsung maupun
diawetkan sebagai ikan asin/ikan kering.
Ikan gabus saat ini menjadi komoditas bisnis yang potensial karena banyak
diolah menjadi obat dan makanan kesehatan. Ikan gabus berkhasiat obat sudah
dikenal sejak lama. Astuti (2011) menggunakan ekstrak ikan gabus untuk
mempercepat proses penyembuhan luka bakar dan luka pasca operasi pada pasien
di RSU Wahidin Sudirohusodo Makassar. Ikan gabus juga dapat meningkatkan
daya tahan tubuh karena mengandung protein dan albumin yang tinggi. Daging
ikan gabung mengandung 70% protein dimana 21% merupakan albumin.
Beberapa hasil penelitian yang menggunakan ikan gabus antara lain:
Santiabunga (2006) melaporkan bahwa penambahan tepung ikan gabus
mempengaruhi mutu biskuit dan meningkatkan status gizi anak yang gizi kurang.
Hidayati (2006) melaporkan bahwa pemberian albumin ikan gabus dapat
mempercepat penyembuhan pada pasien pasca bedah di RSU Wahidin Makassar.
Salma (2007) melaporkan bahwa pemberian kapsul ikan gabus meningkatkan
kadar albumin dan status gizi pada orang dengan HIV/Aids (OdHA). Santoso
(2009) melaporkan bahwa ekstrak ikan gabus sangat berpotensi untuk mendukung
proses penyembuhan luka dan dapat difungsikan sebagai antioksidan serta dapat
menahan penurunan kadar albumin dan aktivitas antioksidan serum akibat
pemberian parasetamol dosis tinggi pada tikus percobaan.
Biskuit
Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan untuk
sampai pada tingkatan degradasi mutu tertentu pada kondisi penyimpanan (Flores,
1993). Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil dari berbagai reaksi kimiawi yang
terjadi pada produk pangan selama penyimpanan bersifat akumulatif dan
irreversible sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu
pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang
mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi disebut waktu kadaluwarsa.
Bahan pangan kadaluwarsa adalah bahan pangan yang telah melampaui masa
simpan optimum dan pada umumnya mengalami penurunan mutu gizi walaupun
penampakan fisiknya masih bagus.
Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa untuk menentukan daya
simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk
tersebut. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis
produknya. Untuk produk yang berlemak biasanya parameter yang diukur akan
berhubungan dengan proses kerusakan lemak seperti total asam lemak bebas,
bilangan peroksida atau bilangan TBA yang menunjukkan tingkat ketengikan
lemak. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin
parameter yang diukur biasanya berupa pertumbuhan mikroba; sedangkan untuk
produk yang berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah
kadar airnya. Pada pendugaan umur simpan produk pangan, tidak semua
parameter mutunya diuji, melainkan hanya parameter yang memberikan pengaruh
paling cepat terhadap tingkat penerimaan konsumen.
Penentuan umur simpan produk dapat dilakukan dengan menggunakan
metode Extended Storage Studies (ESS) dan metode Accelerated Shelf Life
Testing (ASLT). Pada penentuan umur simpan menggunakan metode ESS atau
biasa disebut metode konvensional, waktu yang dibutuhkan cukup lama karena
penetapan masa kadaluwarsa dengan metode ini dilakukan dengan cara
menyimpan sejumlah sampel produk pada kondisi normal kemudian dilakukan
pengamatan terhadap penurunan mutu hingga produk tidak dapat diterima lagi
8
Nilai gizi protein ditentukan oleh jenis dan jumlah asam amino
penyusunnya. Protein dengan nilai biologis atau bermutu tinggi adalah protein
yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah yang sesuai
untuk keperluan pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Almatsier 2010). Jika
protein dari suatu bahan pangan mengandung semua jenis asam amino tetapi
jumlahnya terbatas, maka protein bahan pangan tersebut belum bisa dikatakan
bermutu baik. Secara umum, ada dua metode yang dapat dilakukan untuk
mengevaluasi nilai gizi protein, yaitu metode in vitro (secara kimia, mikrobiologis
atau enzimatis) dan metode in vivo (secara biologis menggunakan hewan
percobaan atau langsung pada manusia) (Muchtadi 2010).
Evaluasi nilai gizi protein secara in vivo terdiri dari dua metode, yaitu
metode pertumbuhan dan metode keseimbangan nitrogen. Parameter yang diukur
pada metode pertumbuhan adalah Feed Convertion Efficiency (FCE), Protein
Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio (NPR), sedangkan pada metode
keseimbangan nitrogen parameter yang diukur adalah True Digestibility (TD),
Biological Value (BV), dan Net Protein Utilizaton (NPU).
9
3 METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam pembuatan blondo dan tepung ikan gabus
adalah kelapa dan ikan gabus, sedangkan bahan untuk pembuatan biskuit dan krim
antara lain: terigu, tepung ikan gabus, margarin, blondo, telur, gula, vanili, baking
powder dan TBM. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain: 2-
thiobarbituric acid (TBA), 1-butanol, selenium mix, H2SO4 pekat, asam borat,
indikator MM, HCl, heksana, kertas saring Whatman no. 93, aquades, Buffered
Pepton Water (BPW), Plate Count Agar (PCA), Potato Dextrose Agar (PDA) dan
buffer fosfat.
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan blondo, tepung ikan gabus,
biskuit dan krim antara lain: sendok, spatula, pisau, baskom, panci, kuali, blender,
mixer, cetakan biskuit, ayakan tepung, kompor, alat pengukus, timbangan dan
oven. Peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain: timbangan analitik, alat
gelas (erlenmayer biasa, erlenmayer asah, gelas ukur, gelas piala, labu ukur)
penjepit, pipet volum, pipet mikro, alat ekstraksi soxhlet, labu Kjeldahl, buret,
pendingin tegak, desikator, oven, spektrofotometer, tabung reaksi, cawan petri,
autoclaf, inkubator, humidity chamber, vorteks, bunsen dan HPLC.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu: persiapan bahan baku biskuit,
pembuatan biskuit dan krim, evaluasi nilai gizi protein secara in vivo dan
pendugaan umur simpan biskuit. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.
10
Tahap 2
Bahan biskuit lain
(terigu, margarin,
Krim Pembuatan biskuit gula, telur, baking
powder, TBM,
vanili.
Tahap 3
Tahap 4
Pendugaan umur simpan metode Arrhenius:
1. Penyimpanan produk pada suhu 25, 35 dan 45 ºC
2. Pengujian nilai TBA setiap 14 hari
Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian
Persiapan Bahan Baku Biskuit
Pembuatan blondo. Proses pembuatan blondo diawali dari pemisahan
kelapa dengan kulit dan air kelapa. Kelapa diparut, hasil parutan ditambah dengan
air kelapa sebanyak 1.5 kali berat kelapa parut, lalu diperas untuk memperoleh
santan. Santan dipanaskan dengan api kecil (suhu 60−70 ºC) sampai terbentuk
gumpalan santan (santan kanil) yang bisa dipisahkan. Santan kanil dipisahkan dari
air, dipanaskan dengan suhu 100−120 ºC sambil terus diaduk selama 3 jam atau
sampai terpisahnya minyak dengan blondo. Selanjutnya dilakukan pemisahan
minyak dari blondo sehingga didapatkan gumpalan padat blondo. Diagram alir
pembuatan blondo dapat dilihat pada Gambar 2.
11
Pemarutan kelapa
Penambahan air sebanyak 1.5 kali dari berat daging kelapa parut
Pemerasan santan
Blondo
Pendinginan
Penggilingan
Pengayakan
Penimbangan bahan
Pencampuran blondo
Pengadukan adonan
Pendinginan
Pengemasan
Biskuit
Penimbangan bahan
Krim
TD (True Digestibility)
N konsumsi - N feses - N metabolik
TD = x100%
N konsumsi
BV (Biological Value)
N konsumsi - N feses - N metabolik - N urine - N endogen
BV = x 100%
N konsumsi - N feses - N metabolik
16
korelasi. Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga
suhu penyimpanan.
(-Ea/RT)
k = ko . exp
Dimana :
k = konstanta penurunan mutu
ko = konstanta (tidak tergantung suhu)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)
Persamaan garis linear hasil pemplotan akan mengikuti persamaan
Arrhenius, dapat dilihat di bawah ini :
ln k = ln ko + (-Ea/R) . 1/T
Ea/R = gradien dari plot grafik Arrhenius
Dari rumus di atas akan diperoleh nilai ko, sedangkan umur simpan
dapat diperoleh dengan rumus :
(ordo 0) atau (ordo 1)
Keterangan :
t = prediksi umur simpan
Ao = nilai mutu awal
At = titik kritis parameter yang diamati
k = konstanta
Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan
enzimatik, pencoklatan enzimatik, dan reaksi oksidasi. Tipe kerusakan yang
mengikuti reaksi ordo satu adalah ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off
flavor, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein.
Tabel 10. Profil asam amino dan skor asam amino tepung ikan gabus dan biskuit
blondo + ikan gabus
Tepung Ikan Biskuit Blondo +
Telur Ket
Jenis Asam Gabus Ikan Gabus
(mg/g
Amino mg/g mg/g
protein) SAA SAA
protein protein
Asam aspartat 13.29 97.4 100 61.4 100
Asam glutamat 16.73 161.0 100 173.9 100
Serin 9.71 41.2 100 24.3 100
Histidin 3.09 22.0 100 1.2 37.5 AAP
Glisin 4.32 49.8 100 19.1 100
Treonin 5.56 44.3 100 6.4 100
Arginin 8.2 61.4 100 33.6 100
Alanin 7.35 58.4 100 35.9 100
Tirosin 4.99 34.7 100 19.7 100
Metionin 3.8 26.3 100 11.6 100
Valin 8.58 46.4 100 31.9 100
Phenilalanin 6.8 41.6 100 33.0 100
I-leusin 6.71 45.1 100 33.6 100
Leusin 10.86 75.3 100 58.0 100
Lisin 9.12 84.8 100 27.8 100
Keterangan: SAA = skor asam amino; AAP = asam amino pembatas
Hasil analisis profil asam amino pada Tabel 10 menunjukkan bahwa tepung
ikan gabus dan biskuit blondo + ikan gabus memiliki jenis asam amino esensial
yang lengkap. Menurut Hoffman dan Folvo (2004), asam amino esensial adalah
jenis asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus diperoleh
dari makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan kandungan asam amino esensial
tersebut, maka dapat ditentukan skor asam amino dari tepung ikan gabus dan
biskuit blondo + ikan gabus. Menurut Muchtadi (2010), skor asam amino
merupakan cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai gizi protein dengan
membandingkan kandungan asam amino esensial dalam bahan pangan yang ingin
ditentukan skor asam aminonya dengan kandungan asam amino esensial bahan
pangan patokan. Semakin tinggi nilai skor asam aminonya maka semakin baik
mutu protein bahan pangan yang diukur. Mutu protein tepung ikan gabus sangat
baik karena nilai skor asam aminonya mencapai 100, sedangkan mutu protein
pada biskuit blondo + ikan gabus kurang sempurna jika dibandingkan dengan
tepung ikan gabus karena mempunyai asam amino pembatas, yaitu histidin
dengan skor 37.5. Hal ini menunjukkan bahwa asam amino yang dapat diserap
dan dimanfaatkan oleh tubuh maksimum hanya 37.5% dari total keseluruhan
protein yang terkandung di dalam biskuit tersebut, walaupun kandungan asam
amino esensial yang lain lebih tinggi. Oleh karena itu, harus ada penambahan
sumber histidin lain ke dalam biskuit blondo + ikan gabus untuk meningkatkan
skor asam aminonya.
20
Biskuit
Biskuit pada penelitian ini menggunakan krim seperti salah satu biskuit
yang ada di pasaran. Produksi biskuit dilakukan sendiri oleh peneliti. Beberapa
parameter terkait komposisi gizi dari ketiga biskuit disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Komposisi gizi biskuit yang mengandung blondo dan tepung ikan gabus
SNI Biskuit Biskuit Biskuit Blondo +
Parameter
Biskuit* Standar Blondo Ikan Gabus
Protein (%) Min 9 9.65 9.06 17.25
Lemak (%) Min 9.5 17.69 14.52 15.98
Air (%) Maks 5 3.60 3.81 4.70
Abu (%) Maks 1.6 0.90 0.98 1.12
6 2 2
TPC (Koloni/g) 1.0 x 10 < 2.5 x 10 < 2.5 x 10 5.5 x 104
*SNI 01-2973-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit
Tabel 11 menunjukkan bahwa ketiga jenis biskuit yang diproduksi telah
memenuhi standar mutu SNI. Kadar protein tertinggi terdapat pada biskuit blondo
+ ikan gabus, yaitu 17.25%, sedangkan kadar protein biskuit standar dan biskuit
blondo berturut-turut adalah 9.65% dan 9.06%. Kadar lemak dari ketiga jenis
biskuit tidak jauh berbeda. Kadar lemak tertinggi terdapat pada biskuit standar,
yaitu 17.69%, sedangkan kadar lemak terendah terdapat pada biskuit blondo, yaitu
14.52%. Blondo dengan kadar lemak 42.26%, ternyata belum bisa meningkatkan
kadar lemak pada biskuit blondo maupun biskuit blondo + ikan gabus. Kadar air
dan kadar abu tertinggi terdapat pada biskuit blondo + ikan gabus. Sumbangan air
dan mineral terbesar pada biskuit diduga berasal dari blondo dan ikan gabus.
Nilai TPC dari ketiga jenis biskuit jika dibandingkan ternyata biskuit blondo
+ ikan gabus memiliki nilai TPC paling tinggi. Tingginya nilai TPC pada biskuit
blondo + ikan gabus bisa disebabkan oleh tepung ikan gabus yang ditambahkan
dalam formulasi biskuit. Kadar protein yang tinggi pada tepung ikan gabus
mengakibatkan tepung ikan mudah rusak dan tercemar mikroba.
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marvina (2009)
menunjukkan bahwa biskuit yang ditambahkan 15% sumber protein campuran
dari tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan lele dan isolat protein kedelai
memiliki kadar protein 19.55% dan kadar lemak 21.99%. Selain itu, hasil
penelitian Rieuwpassa (2005) juga menunjukkan bahwa biskuit yang ditambahkan
20% sumber protein dari konsentrat protein ikan memiliki kadar protein 18.4%
dan kadar lemak 16.8%. Secara keseluruhan, biskuit blondo + ikan gabus sudah
bisa dijadikan makanan tambahan atau makanan pendamping asi (PMT) sumber
protein untuk anak balita. Menurut BPOM (2004), makanan dapat dikatakan
sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung sedikitnya 20% dari
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. WHO (1994) juga
menganjurkan dalam 100 gram makanan tambahan harus mengandung minimal
400 kkal energi dan 15 gram protein.
pertambahan bobot badan lebih cepat daripada hewan jantan yang dikebiri atau
betina (Yudi dan Parakkasi 2005). Pertambahan berat badan tikus merupakan
salah satu indikator yang menunjukkan pemanfaatan protein untuk pertumbuhan
tubuh. Total konsumsi ransum, perubahan berat badan dan nilai FCE (Feed
Conversion Efficiency) selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Konsumsi ransum, pertambahan berat badan tikus dan nilai FCE selama
intervensi
Kelompok Σ Konsumsi Ransum (g) Σ Perubahan BB (g) FCE (%)
a a
K1 26.63 + 1.33 -11.40 + 2.86 -43.15 + 12.68a
K2 79.60 + 5.02c 6.90 + 5.34b 8.42 + 5.97b
bc b
A 73.50 + 7.93 7.03 + 3.40 9.34 + 3.48b
B 85.17 + 16.46c 6.50 + 0.89b 7.74 + 1.07b
b b
C 59.30 + 9.50 6.80 + 5.40 11.13 + 8.65b
Keterangan: (K1) non-protein, (K2) kasein, (A) biskuit standar, (B) biskuit blondo, (C) biskuit
blondo + ikan gabus. n = 15. BB (berat badan); FCE (Feed Conversion Efficiency).
Nilai yang diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
(p<0,05).
Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa total konsumsi, perubahan berat
badan dan FCE berbeda nyata (p<0.05). Kelompok non-protein mengalami
penurunan berat badan sebesar 11.40 g. Ransum pada kelompok ini tidak
ditambahkan sumber protein sehingga kebutuhan akan protein harian tidak
mencukupi untuk mendukung pertumbuhan. Protein merupakan zat gizi utama
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi
2010). Selain itu, total konsumsi pada kelompok non-protein juga yang terendah,
yaitu 26.63 g selama intervensi. Perubahan berat badan kelompok biskuit standar,
biskuit blondo, biskuit blondo + ikan gabus dan kelompok kasein tidak
berpengaruh nyata (p>0.05). Perubahan berat badan tertinggi terjadi pada
kelompok biskuit standar, yaitu 7.03 g dengan total konsumsi ransum 73.50 g
selama intervensi.
Nilai FCE (Feed Conversion Efficiency) merupakan metode yang digunakan
untuk melihat korelasi antara perubahan berat badan tikus dengan konsumsi
ransum selama masa intervensi. Semakin tinggi nilai FCE maka semakin efisien
pula pengaruh ransum yang diberikan dalam meningkatkan berat badan tikus.
Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai FCE tertinggi terdapat pada kelompok biskuit
blondo + ikan gabus, yaitu 11.47%. Meskipun demikian, hasil uji ANOVA
terhadap nilai FCE kelompok biskuit standar, biskuit blondo, biskuit blondo +
ikan gabus, dan kelompok kasein tidak berpengaruh nyata (p>0.05).
Evaluasi mutu protein merupakan cara yang dapat digunakan untuk melihat
sejauh mana kandungan protein dalam bahan pangan dapat dimanfaatkan oleh
tubuh untuk pertumbuhan dan fungsi tubuh lain (Millward et al. 2008). Hasil
evaluasi mutu protein biskuit pada uji in vivo disajikan dalam bentuk daya cerna
sejati atau true digestibility (TD), biological value (BV) dan net protein utilization
(NPU) pada Tabel 13.
22
Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai TD, BV dan NPU dari kelompok biskuit
standar, biskuit blondo, biskuit blondo + ikan gabus, dan kasein tidak berbeda
nyata (p>0.05). Jika diamati lebih jauh ternyata nilai TD dan NPU dari kelompok
biskuit blondo + ikan gabus dan kelompok kasein lebih rendah dibandingkan
kelompok biskuit standar dan biskuit blondo. Untuk nilai BV terendah terdapat
pada kelompok kasein, yaitu 90.94%, sedangkan nilai BV tertinggi terdapat pada
kelompok biskuit blondo, yaitu 98.16%. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga jenis
biskuit memiliki komposisi asam amino esensial yang hampir sama karena mutu
protein berkaitan erat dengan komposisi asam amino esensial penyusunnya.
Tabel 13. Hasil uji ANOVA terhadap nilai BV, TD dan NPU setiap kelompok
Kelompok TD (%) BV (%) NPU (%)
Kasein 90.73 + 3.27 90.94 + 7.92 82.37 + 5.84
Biskuit Standar 91.26 + 7.08 97.78 + 1.16 89.25 + 7.16
Biskuit Blondo 91.87 + 2.84 98.16 + 2.26 90.17 + 3.09
Biskuit Blondo + Ikan Gabus 88.26 + 3.00 97.79 + 4.27 86.38 + 6.13
p-value* 0.599 0.074 0.177
Keterangan: (TD) true digestibility, (BV) biological value, (NPU) net protein utilization. n = 25.
*Signifikan jika p<0,05
Tepung ikan gabus yang merupakan sumber asam amino esensial dan
protein yang tinggi (76.73%) ternyata memiliki nilai mutu protein yang lebih
rendah jika dibandingkan kelompok biskuit standar dan bskuit blondo. Hal ini
diduga karena jumlah tepung ikan gabus yang ditambahkan sebesar 6 g kurang
berkontribusi dalam meningkatkan jumlah asam amino esensial pada biskuit.
Tetapi jika dilihat dari persentase nilai TD, BV dan NPU, semua kelompok
memiliki nilai persentase di atas 80% yang menunjukkan bahwa kualitas protein
dari setiap kelompok tergolong baik. Menurut Almatsier (2010) makanan yang
memiliki nilai biologis di atas 70% dianggap mampu memberi pertumbuhan bila
dikonsumsi dalam jumlah yang cukup. Hasil penelitian Marvina (2009) juga
menunjukkan bahwa biskuit yang ditambahkan 15% sumber protein campuran
dari tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan lele dan isolat protein kedelai
memiliki daya cerna sebesar 89.34% ketika diuji menggunakan metode enzimatik
secara in vitro.
Nilai daya cerna protein atau true digestibility (TD) menunjukkan
kemampuan protein untuk bisa diserap dan dimetabolisme dalam tubuh (Sarker et
al. 2000), sehingga menjadi salah satu parameter kualitas protein. Nilai daya cerna
sejati merupakan indikator jumlah nitrogen atau protein yang diserap tubuh dari
makanan (Cuevas-Rodriguez et al. 2006). Daya cerna akan menentukan
ketersedian asam amino secara biologis karena tidak semua protein bisa
dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim pencernaan. Menurut Muchtadi
(2010) daya cerna merupakan kemampuan suatu protein untuk dapat dihidrolisis
menjadi asam amino oleh enzim-enzim protease. Biological value (BV)
menunjukkan persentase protein terabsorpsi yang diubah menjadi protein tubuh.
Protein yang telah dicerna dan diserap oleh usus tidak semua dapat dimanfaatkan
oleh tubuh, sehingga nilai daya cerna protein yang tinggi tidak menjamin nilai
biologisnya akan tinggi pula, sedangkan net protein utilization (NPU) adalah
metode lain yang digunakan untuk mengukur kualitas protein yang tidak hanya
23
memperhatikan jumlah protein yang ditahan, tetapi juga jumlah protein yang
dicerna (Hoffman dan Falvo 2004).
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein, seperti
ketersedian serat pangan, inhibitor enzim protease, terjadinya ikatan silang (cross-
linkage) antara bermacam-macam asam amino yang tahan terhadap enzim
protease, dan terjadinya reaksi Maillard. Lebih rendahnya daya cerna protein
kelompok biskuit blondo + ikan gabus dan kelompok kasein dibandingkan
kelompok biskuit standar dan biskuit blondo diduga terjadi karena terbentuknya
ikatan silang (cross-linkage) dan reaksi Maillard.
Reaksi Maillard atau biasa dikenal dengan reaksi pencoklatan adalah reaksi
non-enzimatis yang terjadi antara protein dan gula-gula pereduksi. Menurut
Hurrell (1984) reaksi Maillard lanjutan menjadi penyebab atas timbulnya flavor
dan bau pangan yang diolah, serta menurunkan daya cerna protein akibat destruksi
beberapa asam amino. Tepung ikan gabus dan kasein merupakan bahan-bahan
yang memiliki kadar protein cukup tinggi sehingga peluang terjadinya reaksi
Maillard cukup besar mengingat adanya penambahan gula pada bahan baku
biskuit dan pemanggangan dengan suhu tinggi (150 ºC) pada proses
pembuatannya.
Maka dapat diduga laju perubahan nilai TBA pada suhu 25 ºC:
k25 = 38.6752 exp-1731.8 (0.003356)
= 0.1157 / 2 minggu
= 0.0579 / minggu
Nilai TBA biskuit standar pada suhu 25, 35 dan 45 ºC diawal
pengamatan (hari ke-14) secara berturut-turut adalah 12.3405, 10.8111 dan
9.9553 mg malonaldehid/kg sampel. Ordo reaksi yang terpilih ordo nol, maka
umur simpan biskuit standar pada suhu penyimpanan 25 ºC adalah:
t25 = (Ao – At) / k
= (12.3405 – 6) / 0.0579
= 109.6 minggu
= 27 bulan
Dengan cara yang sama diperoleh perhitungan pendugaan umur simpan
produk pada suhu penyimpanan 35 dan 45 ºC:
k35 = 0.06987
t35 = 68.86 minggu = 17 bulan
k45 = 0.08337
t45 = 47.44 minggu = 11 bulan
2. Biskuit Blondo
Berdasarkan grafik, nilai r2 yang mendekati satu lebih banyak terdapat
pada ordo nol, maka untuk seterusnya digunakan ordo nol dalam perhitungan
umur simpan pada biskuit blondo. Dengan melakukan perhitungan
kemiringan persamaan regresi antara nilai ln TBA dan waktu pengujian pada
tiga tingkat suhu, didapat persamaan garis ordo terpilih, nilai k (slope) dan ln
k seperti pada Tabel 16.
Tabel 16. Persamaan biskuit blondo pada ordo terpilih (ordo nol)
Suhu Persamaan Ordo
Suhu (K) (1/T) Slope (k) ln k
(ºC) Terpilih
25 273+25= 298 0.003356 y = 7.9588x + 2.1015 7.9588 2.074278
35 273+35=308 0.003247 y = 6.9465x + 1.9672 6.9465 1.938238
45 273+45=318 0.003145 y = 7.5177x + 2.4122 7.5177 2.017260
Keterangan : T = suhu penyimpanan (K)
Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k biskuit
seperti yang dilakukan pada biskuit standar maka didapatkan persamaan
penurunan mutu sebagai berikut:
y = 281.4x + 1.0956
ln k = 281.4 (1/T) + 1.0956
Dari persamaan diperoleh nilai Ea (Energi aktivasi) dan nilai ln ko:
-Ea/R = 281.4 K
Ea = (281.4 K) x (1.986 kal/mol K)
Ea = 558.8604 kal/mol
Nilai ko diperoleh:
ln ko = 1.0956
ko = 2.9910
26
adanya aktivitas enzim lipase serta proses pemanasan. Reaksi hidrolisis terjadi
pada bahan pangan yang mengandung asam lemak jenuh maupun asam lemak
tidak jenuh, sedangkan reaksi oksidasi hanya terjadi pada asam lemak tidak jenuh
saja, karena reaksi oksidasi menyerang ikatan rangkap yang ada pada asam lemak
tidak jenuh. Reaksi oksidasi terjadi jika bahan berlemak mengalami kontak
langsung dengan oksigen dan cahaya. Selain itu, proses pemanasan dan adanya
metal juga dapat mempercepat reaksi oksidasi (Kusnandar 2010).
Bahan sumber lemak yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain
margarin, butter, blondo dan tepung ikan gabus. Komposisi asam lemak margarin
didominasi oleh palmitat (44.53%) yang merupakan asam lemak jenuh, diikuti
oleat (36.62%) dan linoleat (12.45%) yang merupakan asam lemak tidak jenuh
(Triana et al. 2014). Komposisi asam lemak butter didominasi oleh palmitat dan
stearat yang merupakan asam lemak jenuh dan oleat yang merupakan asam lemak
tidak jenuh (Gun dan Simsek 2011). Komposisi asam lemak blondo mengacu
pada komposisi asam lemak minyak kelapa karena blondo merupakan hasil
samping dari proses pembuatan minyak kelapa. Asam lemak minyak kelapa
didominasi oleh laurat, miristat, kaprilat dan kaprat (Tabel 19) yang merupakan
asam lemak jenuh Tan dan Man 2002; O’Brien 2004; Jeyarani et al. 2009;
Mursalin 2013). Komposisi asam lemak ikan gabus didominasi oleh asam lemak
tidak jenuh sebesar 60.7% (Chedoloh et al. 2011).
Tabel 19. Komposisi asam lemak kelapa dari beberapa sumber pustaka
Konsentrasi Asam Lemak (%)
Jenis Asam Lemak
(a) (b) (c) (d)
C8:0 Kaprilat 13.5 7.8 8.5 10.61
C10:0 Kaprat 8.7 6.7 6.0 8.27
C12:0 Laurat 51.1. 47.5 47.3 51.73
C14:0 Miristat 14.5 18.1 17.9 15.57
C16:0 Palmitat 5.5. 8.8 9.6 6.26
C18:0 Stearat 1.4 2.6 0.7 2.02
C18:1 Cis-9-oleat 3.3. 6.2 6.8 4.12
C18:2 Linoleat 0.7 1.6 2.4 1.43
Sumber: (a) Tan dan Man (2002)
b O’Brien 2004
(c) Jeyarani et al.(2009)
(d) Mursalin (2013)
Berdasarkan komposisi asam lemak penyusunnya, maka bahan yang
berpotensi besar mengalami reaksi hidrolisis dan oksidasi adalah margarin, butter
dan ikan gabus, sedangkan blondo hanya berpeluang mengalami reaksi hidrolisis
saja. Jika dilihat dari peroses pembuatannya, blondo merupakan bahan baku yang
sangat berpeluang mengalami kerusakan lemak karena pada proses pembuatan
blondo dilakukan pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang cukup lama.
Selain itu, interaksi dengan air, oksigen dan cahaya juga tidak bisa dibatasi.
Proses pembuatan tepung ikan gabus juga berkaitan erat dengan air dan suhu
walaupun bisa lebih dikontrol prosesnya. Hal inilah yang diduga menyebabkan
kenapa biskuit yang ditambahkan blondo dan tepung ikan gabus memiliki umur
simpan jauh lebih pendek dibandingkan biskuit standar. Biskuit blondo + ikan
gabus memiliki umur simpan tersingkat karena biskuit ini ditambahkan margarin,
29
butter, blondo dan tepung ikan gabus sehingga peluang terjadinya kerusakan
lemak selama penyimpanan lebih tinggi.
Umur simpan biskuit blondo + ikan gabus yang kurang dari 1 bulan mirip
dengan hasil penelitian Rieuwpassa (2005) yang menunjukkan bahwa biskuit
konsentrat ikan dengan krim probiotik memiliki umur simpan selama 3 minggu.
Selain itu, pada penelitian Widodo (2015) dilakukan penambahan tepung beras
merah dalam proses pembuatan biskuit padat gizi berbasis blondo dan tepung ikan
gabus dengan asumsi bahwa antioksidan pada beras merah bisa memperpanjang
umur simpan biskuit. Untuk kepentingan pelabelan masa kadaluwarsa pada
kemasan biskuit blondo + ikan gabus dapat digunakan umur simpan selama 3
minggu pada suhu ruang karena penyimpanan pada suhu 25 ºC ketika simulasi
pendugaan umur simpan dilakukan pada suhu ruang dengan asumsi suhu ruang
ketika itu tidak lebih dari 30 ºC.
Jenis kemasan juga berperan penting dalam penentuan umur simpan produk,
karena dengan pengemasan yang baik maka kontak langsung antara produk
dengan cahaya, oksigen dan air bisa diminimalisir. Menurut Kusnandar (2006),
jenis kemasan dapat mempengaruhi nilai TBA berkaitan dengan kemampuan
kemasan untuk melindungi produk dari kontak langsung dengan oksigen dan
cahaya. Pada simulasi pendugaan umur simpan, dilakukan pengemasan biskuit
menggunakan metalized plastic (MP). Jenis kemasan MP tidak transparan dan
memiliki permeabilitas yang sangat kecil jika dibandingkan jenis kemasan
polipropilen (PP), sehingga bisa menghalangi kontak langsung antara produk
dengan cahaya serta dapat meminimalisir keluar masuknya air dan udara dari luar
kemasan. Hal ini sejalan dengan perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak
dan adonan keras (Fitria 2007) serta biskuit lele tinggi protein (Savitri 2012) yang
menyatakan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk.
Simpulan
Biskuit blondo dan biskuit blondo + ikan gabus sudah layak dijadikan
makanan tambahan karena sudah memenuhi SNI biskuit. Biskuit blondo + ikan
gabus memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan biskuit standar dan biskuit
blondo, yaitu 17.25%, serta tingat cemaran mikroba tertinggi, yaitu 5.5 x 104
sehingga perlu perhatian khusus dalam proses pembuatannya.
Total konsumsi ransum, perubahan berat badan dan nilai FCE dari
kelompok non-protein berbeda sangat nyata (p<0.05) jika dibandingkan dengan
kelompok kasein, biskuit standar, biskuit blondo dan biskuit blondo + ikan gabus.
Biskuit blondo + ikan gabus memiliki nilai FCE tertinggi, yaitu 11.47% meskipun
tidak berbeda secara signifikan (p>0.05). Perlakuan jenis ransum semua kelompok
(kecuali kelompok non-protein) tidak memberikan pengaruh terhadap nilai TD,
BV, dan NPU (p>0.05). Nilai TD, BV dan NPU semua kelompok (kecuali
kelompok non-protein) berkisar antara 82.37%−98.16%.
Hasil pendugaan umur simpan menunjukkan bahwa biskuit standar
memiliki umur simpan terpanjang pada semua suhu penyimpanan. Umur simpan
30
biskuit standar, biskuit blondo dan biskuit blondo + ikan gabus pada suhu ruang
secara berturut-turut adalah 27 bulan, 2 bulan dan 3 minggu.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan (ID). 2011. Profil Perikanan
Propinsi Sulawesi Selatan 2010. Makassar
Ellis MJ. 1994. The Methodology of Shelf Life Determinantion. di dalam: Shelf
Life Evaluation of Foods. CMD Man dan AA Jones, hal 27. Blackie
Academic & Professional. London (GB)
Fitri M. 2007. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit dengan Metode
Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Floros JD. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. di dalam : Shelf Life
Studies of Foods and Beverages. Charalambous G (ed). New York (US):
Elsevier Publishing
Gun I, Simsek B. 2011. The Fatty Acid Composition of Butter Stored In Sheep’s
or Goat’s Stomach Karinyagi . Food and Nutrition Sciences. 2: 402-406
Herawati H. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan. Jurnal Litbang
Pertanian: 27 (4)
Hidayati. 2006. Pengaruh Pemberian Kapsul Albumin Ikan Gabus pada Pasien
Bedah di RSU Wahidin Sudirohusodo Makassar. [Tesis]. Makassar (ID):
Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Hoffman JR, Falvo MJ. 2004. Protein-which is Best. Journal of Sports Science
and Medicine. 3: 118-130
Hurrell RF. 1984. Reaction of Food Protein During Processing and Storage and
Their Nutritional Consequences di dalam BJF Hudson (ed.) Development in
Food Protein 3. Elsevier Applied Sciences Publ. London (GB)
Jeyarani T, Khan MI, Khatoon S. 2009. Trans-free Plastic Shortenings From
Coconut Stearin and Palm Stearin Blends. Journal of Food Chemistry. 114:
270-275
Kusnandar F. 2006. Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode
Accelerated Shelf-life Testing. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat
Labuza TP. 1982. Shelf Live Dating of Foods. Connecticut: Food and Nutrition
Press Inc, Westport
Mahmud MK. 2008. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta (ID): PT. Elex
Media Komputindo Kompas Gramedia
Manley D. 2011. Manley’s technology of Biscuits, crackers and cookies. [edisi 4].
England: Woodhead Publishing Ltd and CRC Press LLC
Marvina. 2009. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai
Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Millward DJ, Layman DK, Tome D, Schaafsma. 2008. Protein Quality
Assessment: Impact of Expanding Understanding of Protein and Amino
Acid Needs For Otimal Health. American Journal of Clinical Nutrition. 87
(suppl):1576S-81S
Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung (ID): Alfabeta
Mursalin. 2013. Mempelajari Perilaku Fraksinasi Kering dan Kinetika Kristalisasi
Minyak Kelapa. [Disertasi]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor
33
O’Brien RD. 2004. Fat and Oils; Formulating and Processing For Application.
CRC Press LLC. Washington, DC (US)
Rieuwpassa F. 2005. Biskuit Konsentrat Ikan dan Probiotik sebagai Makanan
Tambahan untuk Meningkatkan Antibodi IgA dan Status Gizi Anak Balita
[Disertasi]. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Rimbawan, Tanziha I, Usmiati S, Widodo S. 2013. Pengembangan Pangan
Fungsional: Biskuit Probiotik Berbasis Blondo untuk Peningkatan Status
Gizi dan Imun Balita Gizi Kurang di Propinsi Sulawesi Selatan. [Laporan
KKP3N]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Salma W. 2007. Pengaruh Pemberian Kapsul Ikan Gabus terhadap Kadar
Albumin dan Status Gizi pada OdHA (Orang dengan HIV Aids) di RSU
Wahidin Sudirohusodo Makassar. [Tesis]. Makassar (ID): Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Santiabunga. 2006. Pengaruh Subsitusi Tepung Ikan Gabus terhadap Mutu Biskuit
Sebagai Makanan Tambahan Anak Gizi Kurang. [Tesis]. Makassar (ID):
Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Santoso AH. 2009. Potensi Ekstrak Ikan Gabus (Channa striata) sebagai
Hepatoprotector Pada Tikus yang Diinduksi dengan Parasetamol. [Tesis].
Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Sarker PK, Rahman S, Rahman MM, Chakraborty SC, and Islam MN. 2000.
Protein Digestibility of Animal and Plant Protein Sources for Labeo Rohita
fingerlings. Pakistan Journal of Biological Science 3 (4): 590-592
Savitri D. 2012. Karakteristik Biskuit Lele (Clarias gariepinus) Tinggi Protein
dengan Krim Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 pada Beberapa jenis
Kemasan dan Suhu Simpan. [Tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor
Soedarmo, Sediaoetama. 1997. Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
Sood N, Chaudhary DK, Rathore G, Singh A, Lakra WS. 2011. Monoclonal
antibodies to snakehead (Channa striata) immunoglobulins: Detection and
quantification of immunoglobulin-positive cells in blood and lymphoid
organs. Fish & Shellfish Immunology. 30 (2011) 569–575
Syarief R, Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor (ID): Pusat Studi
Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor
Talpur AD, Munir MB, Mary A, Hashim R. 2014. Dietary probiotics and
prebiotics improved food acceptability, growth performance, haematology
and immunological parameters and disease resistance against Aeromonas
hydrophila in snakehead (Channa striata) fingerlings. Aquaculture. 426–
427 (2014) 14–20
Tan BH, Azhar ME. 2014. Physicochemical Properties and Composition of
Snakehead Fish (Channa striatus) Whole Fillet Powder Prepared with Pre-
filleting Freezing Treatments. International Food Research Journal. 21 (3):
1255-1260
Tan CP, Man YBC. 2002. Differential Scanning Calorimetric Analysis of Palm
Oil, Palm Oil Based Products and Coconut Oil: Effect of Scanning Rate
Variation. Journal of Food Chemistry. 76:89-102
Triana RN, Andarwulan N, Affandi AR, Wincy, Kemenady E. 2014. Aplikasi
Mono-diasilgliserol dari Fully Hydrogenated Palm Kernel Oil Sebagai
Emulsifier untuk Margarin. Jurnal Mutu Pangan. 1 (2): 137-144
34
% Protein = % N x 6.25
2. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)
Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi
Soxhlet. Pertama kali labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam
oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel
sebanyak 3 g dalam bentuk tepung dibungkus dalam kertas saring. Kemudian
kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam labu lemak dan
ditambahkan pelarut secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama 5 jam
sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih.
Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung
kembali. Kemudian labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam
oven pada suhu 150 ºC hingga mencapai berat yang tetap, kemudian
didinginkan dalam desikator 20−30 menit. Selanjutnya labu beserta lemak di
dalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui. Presentase dari kadar
lemak dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
( )
Keterangan :
W1 = berat labu kosong (g)
W2 = berat sampel awal (g)
W3 = berat (sampel + cawan) setelah di oven (g)
3. Bilangan 2-Thiobarbituric Acid (TBA) (AOCS Method cd 19-90 2001)
Prinsipnya dalah mereaksikan pereaksi 2-Thiobarbituric Acid (TBA)
dengan senyawa malonaldehid menghasilkan pigmen warna merah yang
absorbansinya dapat diukur pada 530 nm. Hasil pengukuran yang diperoleh
dinyatakan sebagai bilangan TBA yang nilainya akan setara dengan jumlah
36
( )
Keterangan :
TBA = konsentrasi malonaldehid (µmol/g)
As = absorbansi sampel
Ab = absorbansi blanko
W = berat sampel (g)
4. Total Plate Count (TPC) (AOAC 1995)
Sampel ditimbang sebanyak 1 gram secara aseptis dan dimasukkan ke
dalam 9 mL larutan BPW 0.1 persen steril. Kemudian divorteks sampai
larutan homogen. Kemudian diambil 1 mL larutan contoh dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL BPW steril sehingga diperoleh
pengenceran 10-2 dan dilakukan hingga 10-7.
Dipipet sebanyak 1 mL larutan contoh dari pengenceran 10-6 hingga
-8
10 ke dalam cawan petri steril. Kemudian ditambahkan medium PCA (Plate
Count Agar) steril yang telah didinginkan 47−50 ºC sebanyak 15−20 mL
dan digoyangkan supaya sampel menyebar merata. Pemupukan dilakukan
duplo pada setiap pengenceran. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu
37 ºC dengan posisi terbalik selama 48 jam. Jumlah koloni bakteri yang
dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri 25−250 koloni.
5. Profil Asam Amino (AOAC 1995)
Prinsipnya adalah pemanfaatan reaksi pra kolom gugus amino dengan
pereaksi tertentu membentuk suatu derivat yang dapat menyerap sinar UV
atau berflouresensi. Salah satu pereaksi pra kolom yang sangat populer dalam
analisis asam amino adalah ortoftalaldehida (OPA). Pereaksi OPA akan
bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa yang mengandung
merkaptoetanol membentuk senyawa yang berfluoresensi, sehingga
deteksinya dapat dilakukan dengan detektor flouresensi.
5.1 Preparasi Sampel
5.1.1 Tentukan kadar protein dari sampel dengan metode Kjeldahl.
5.1.2 Masukkan sampel yang mengandung 3 mg protein kedalam
ampul, tambahkan 1 mL HCl 6 N.
37
milipore 0.45 µm dan akan stabil selama 5 hari pada suhu kamar
bila disimpan dalam botol berwarna gelap yang diisi dengan gas
He atau nitrogen.
5.3.2 Buffer B : terdiri dari metanol 95% dan air HP. Lakukan
penyaringan dengan kertas milipore 0.45 mikron. Larutan ini
akan stabil dalam waktu tak terbatas.
5.4 Kondisi Alat
5.4.1 Atur kondisi HPLC sebagai berikut:
Kolom : Ultra techspere
Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit
Detektor : Fluoresensi
Fase mobil Buffer A dan Buffer B dengan gradien sebagai
berikut:
Waktu Laju aliran fase mobil
% Buffer B
(menit) (mL/menit)
0 1 0
1 1 0
2 1 15
5 1 15
13 1 42
15 1 42
20 1 70
22 1 100
26 1 100
28 1 0
38 1 0
5.4.2 Membuat grafik hubungan antara waktu (menit) sebagai absis
dengan % B sebagai ordinat.
5.5 Analisis asam amino
5.5.1 Larutkan sampel yang telah dihidrolisis (B-9) dalam 5 mL HCl
0.01N kemudian saring dengan kertas milipore.
5.5.2 Tambahkan Buffer Kalium Borat pH 10.4 dengan perbandingan
1 : 1.
5.5.3 Ke dalam vial kosong yang bersih masukkan 10 µL sampel dan
tambahkan 25 µL pereaksi OPA, biarkan selama 1 menit agar
derivatisasi berlangsung sempurna.
5.5.4 Injeksikan ke dalam kolom HPLC sebanyak 5 µL kemudian
tunggu sampai pemisahan semua asam amino selesai. Waktu
yang diperlukan sekitar 25 menit.
Catatan: Tahap 3 dan 4 dapat dilakukan dengan alat penyampel
otomatis (auto sampler)
5.6 Perhitungan
5.6.1 Konsentrasi asam amino (dinyatakan dalam µmol AA) dalam
sampel :
39
AA Asp Glu Ser His Gly Thr Arg Ala Tyr Met Val Phe Ileu Leu Lys
Mr 133.1 147.1 105.09 155.16 75.07 119.12 174.2 89.09 181.19 149.21 117.15 165.19 131.17 131.17 146.19
Lampiran 2. Surat izin penelitin (Ethical Clearance) dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo
40
Lampiran 3. Profil asam amino tepung ikan gabus dan biskuit blondo + ikan gabus
Lampiran 5. Rekapitulasi data nilai FCE kelompok ransum kasein, biskuit standar,
biskuit blondo, dan biskuit blondo + ikan gabus selama 10 hari
intervensi
Kelompok non-protein
Berat badan Total perubahan berat Total konsumsi
Tikus FCE (%)
awal (g) badan (g) ransum (g)
16 65.4 -14.7 25.5 -57.65
18 63.7 -9.9 26.3 -37.64
20 63.2 -9.6 28.1 -34.16
Rataan 64.10 -11.40 26.63 -43.15
42
Kelompok kasein
Berat badan Total perubahan berat Total konsumsi
Tikus FCE (%)
awal (g) badan (g) ransum (g)
21 63.2 3.1 76.6 4.05
24 63.6 4.6 76.8 5.99
26 67.2 13.0 85.4 15.22
Rataan 64.67 6.90 79.60 8.42
Lampiran 6. Rekapitulasi data nilai TD, BV dan NPU kelompok ransum kasein,
biskuit standar, biskuit blondo, dan biskuit blondo + ikan gabus
selama 10 hari intervensi
Kelompok kasein
Total Total Total
Total intik
Tikus konsumsi protein protein TD (%) BV (%) NPU (%)
protein (g)
ransum (g) feses (g) urine (g)
22 46.20 3.14 0.52 0.30 89.96 91.06 81.92
23 73.70 5.02 0.41 1.10 96.00 78.13 75.00
24 76.80 5.23 0.65 0.06 91.47 99.85 91.34
25 38.90 2.65 0.51 0.21 88.44 93.23 82.45
26 85.40 5.81 0.92 0.43 87.79 92.42 81.13
Rataan 64.20 4.37 0.60 0.42 90.73 90.94 82.37
43
Kelompok non-protein
Total konsumsi Total intik Total protein Total protein
Tikus
ransum (g) protein (g) feses (g) urine (g)
16 25.50 0.19 0.16 0.11
17 40.20 0.30 0.32 0.04
18 26.30 0.20 0.19 0.00
19 14.40 0.11 0.17 0.05
20 28.10 0.21 0.19 0.04
Rataan 26.90 0.20 0.21 0.05
Catatan: data rataan total protein feses dan total protein urine kelompok non-protein digunakan
untuk menghitung nilai TD, BV dan NPU pada kelompok kasein, biskuit standar, biskuit blondo,
dan biskuit blondo + ikan gabus.
44
Biskuit
45
Tikus ditimbang
Urine
47
RIWAYAT HIDUP