Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

MATA KULIAH PENOLOGI

DOSEN PENGAMPU
Dr. Nur Rochaeti, S.H., M.H.

JUDUL
Efektifitas Lembaga Pemasyarakatan yang Dikelola oleh Swasta di Indonesia

DISUSUN OLEH
Krisna Hidayatullah Ibnu Hartoyo
(11010115140255)
Kelas A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Lembaga pemasyarakatan merupakan institusi reintegrasi sosial yang
seharusnya menjadi tempat untuk memperbaiki diri para narapidana agar di kemudian
hari dapat kembali bersosialisasi di tengah masyarakat seperti sediakala sebelum
mereka melakukan kesalahan yang menyebabkannya masuk penjara. Ini selaras
dengan apa yang termaktub dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995;
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar
menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab”. Menteri Kehakiman Sahardjo
(dalam Pohon Beringin Pengayoman; 1971) pada tahun 1963 mengatakan; “Tugas
jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman sehingga seseorang
kehilangan kemerdekaan saja. Tugas yang jauh lebih berat, tetapi yang jauh lebih
murni, adalah mengembalikan orang- orang yang dijatuhi pidana itu ke dalam
masyarakat.” Hal ini berarti bahwa pembinaan terhadap narapidana juga harus
bermanfaat baik selama yang bersangkutan menjalani pidana maupun setelah selesai
menjalani pidana, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan anggota
masyarakat pada umumnya untuk dapat memberikan kontribusinya sebagai anggota
masyarakat yang aktif dan produktif dalam pembangunan bangsa. Dengan kata lain
bahwa program dan kegiatan pembinaan yang dilakukan dalam lembaga
pemasyarakatan diarahkan untuk membangun manusia mandiri.
Namun apa yang digariskan dalam undang-undang tersebut terkait dengan
fungsi-fungsi sebuah Lembaga pemasyarakatan, baru sebatas harapan ideal belaka.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa yang terjadi di seluruh lembaga pemasyarakatan
di Indonesia justru gambaran sebaliknya.
Buruknya manajemen lembaga pemasyarakatan di Indonesia sudah bukan
rahasia lagi. Berbagai masalah yang muncul terus berlangsung tanpa pernah
ditemukan solusi yang tepat meski pada saat bersamaan selalu mendapat kritikan dari
berbagai elemen masyarakat. Persoalan laten dan paling pelik di dalam lembaga
pemasyarakatan yang selalu menjadi sorotan dan masih sulit diatasi adalah masalah
overcrowding atau kelebihan kapasitas lantaran rendahnya dayatampung seperti
tergambar dalam dalam tabel berikut selama lima tahun terakhir.
Over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan menjadi catatan utama
bagi Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sehingga perlunya solusi baru dalam
menangani kejahatan dan over kapasitas tersebut. Untuk menanganinya diperlukan penjara
baru namun dalam hal ini Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia terkendala dalam
urusan finansial. Dalam menangguangi over kapasitas ini muncullah ide / gagasan untuk
membangun Lembaga Pemasyarakatan yang bekerja sama dengan pihak swasta, sehingga
melibatkan pihak selain pemerintah dalam hal ini pihak swasta untuk menangani masalah
tersebut.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal – hal yang diuraikan dalam latar belakang tadi, maka dapat
diambil rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Mengapa Lembaga Pemasyarakatan harus di Swastanisasi atau Privatisasi?
2. Apakah swastanisasi lembaga permasyarakatan menjadi salah satu alternatif
dalam menanggulangi permasalahan over capacity dan kelayakan di lembaga
permasyarakatan?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan


Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan
pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.(Pasal 1 Angka 3 UU
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).Sebelum dikenal istilah lapas di
Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan
merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen
Kehakiman).
Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem Lembaga
Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai
tugas untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khususnya pidana
pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian berhasil tidaknya tujuan yang hendak
dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka pendek yaitu rehabilitasi
dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah untuk menekan kejahatan serta
tujuan jangka panjang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di samping
ditentukan/dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana yang lain yaitu
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, selebihnya juga sangat ditentu¬kan oleh
pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksanaan dari pidana
pencabutan kemerdekaan, khususnya pidana penjara.
2.  Klasifikasi Penghuni Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
Penghuni Rutan / Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya
orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau
tidak oleh hakim.
Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni
suatu Rutan / Lembaga Pemasyarakatan atau orang-orang tahanan itu terdiri dari :
1. Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;
2. Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
3. Orang-orang yang disandera.
4. Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan,
akan tetapi secara sah telah dimasukkan ke dalam Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan.
Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan atau ditempatkan di dalam Rutan /
Lembaga Pemasyarakatan itu ialah :
1. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;
2. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3. Mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan oleh pengadilan
negeri setempat;
4. Mereka yang dikenakan pidana kurungan;
5. Mereka yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi dimasukkan
ke Rutan / Lembaga Pemasyarakatan secara sah.
BAB III
PEMBAHASAN

1. Mengapa Lembaga Pemasyarakatan harus di Swastanisasi?


Lembaga Pemasyarakatan perlu di Swastanisasi Karena lembaga pemasyarakatan
yang dikelola swasta di berbagai negara terbukti lebih baik ketimbang ketika dikelola
oleh pemerintah. Selain kinerjanya lebih bagus, penjara swasta yang dikelola swasta juga
lebih efisien dengan sistem pembinaan yang variatif, inovatif dan behasil guna. Di
samping alasan tersebut, UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sesungguhnya
memiliki ruh privatisasi yang tercermin dari filosofi dan pasal-pasal yang termaktub
dalam undang-undang tersebut.
Pada pasal 2 UU No 12/ 1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa;
“sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan
pemasyarakatan (narapidana, anak-didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan)
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangitindakpidanasehinggadapatditerima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar dengan warga
yang baik dan bertanggungjawab.”
Hal ini berarti bahwa pembinaan terhadap narapidana juga harus bermanfaat, baik
selama yang bersangkutan menjalani pidana maupun setelah selesai menjalani pidana,
sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan anggota masyarakat pada
umumnya untuk dapat memberikan kontribusinya sebagai anggota masyarakat yang aktif
dan produktif dalam pembangunan bangsa. (Adi Sujatno, 2008: 8).
Begitu pula pada pasal 14 UU No 12/1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan
bahwa “narapidana berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya,
mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan
dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, mendapat
buku bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang,
mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, menerima kunjungan
keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya, mendapatkan kesempatan
berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat,
mendapatkan cuti menjelang bebas dan hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.”
Jika pada pasal 2 digariskan bahwa seorang narapidana berhak aktif secara
produktif dalam pembangunan bangsa, maka pada pasal 14 ditegaskan lagi secara
eksplisit bahwa seorang narapidana berhak mendapatkan upah dan premi atas pekerjaan
yang mereka lakukan. Dengan kata lain, pokok permasalahan dalam makalah ini adalah,
mengapa tuntutan UU tersebut tidak bisa dilaksanakan.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, privatisasi diasumsikan sebagai
alternatif karena UU No 12 Tahun 1995 sesungguhnya sudah sejak awal memberi
peluang untuk melakukan semacam privatisasi LP yang tidak membiarkan para terpidana
menjadi tenaga-tenaga yang menganggur dan harus dimanfaatkan secara produktif
sebagai bagian dari program pembinaan. Karena UU No 12 Tahun 1995 sangat
akomodatif terhadap privatisasi, berbagai contoh sukses privatisasi lembaga koreksi di
luar negeri merupakan alasan kuat untuk menempatkan privatisasi pengelolaan lembaga
pemasyarakatan di Indonesia sebagai alternatif menjadi sangat logis. Lain dari pada itu,
lembaga pemasyarakatan di Indonesia sudah pernah melakukan berbagai bentuk
kemitraan dengan pihak ketiga yang dapat menjadi cikal bakal pelaksanaan privatisasi.
Alasan lainnya, privatisasi menjadi sangat popular semenjak kegiatan tersebut
diperkenalkan di Inggris pada tahun 1979 sewaktu Perdana Menteri Margaret Thatcher
mengemukakan rencananya untuk melakukan privatisasi BUMN di negaranya. Sejak
tahun 1979, kegiatan privatisasi telah menyebar di kawasan dunia dengan berbagai
variasinya dan dapat dikatakan bahwa privatisasi telah menjadi semacam wabah yang
menjalar kemana-mana termasuk dalam pengelolaan lembaga koreksi yang di Indonesia
disebut sebagai lembaga pemasyarakatan..
2. Apakah swastanisasi lembaga permasyarakatan menjadi salah satu alternatif
dalam menanggulangi permasalahan over capacity dan kelayakan di lembaga
permasyarakatan?
Permasalahan lapas dari tahun ke tahun sepertinya tak pernah ada habisnya,
diketahui ratusan penghuni rumah tahanan di beberapa daerah ,kabur. Lembaga
Pemasyarakat bagi sebagian orang adalah tempat yang paling ditakuti dikarenakan
menjadi tempat diasingkannya para terpidana, serta terdakwa yang belum mendapat
putusan inkrach, padahal lembaga pemasyarakatan merupakan tempat selain menjalami
hukuman bagi terpidana, lapas juga merupakan tempat rangkaian penegakan hukum.
Negara Indonesia belum memiliki lembaga Ombudsman Penjara. Keberadaan
Badan Pertimbangan Pemasyarakatan tidak dapat dipadankan dengan fungsi
seharusnya dari Ombudsman penjara karena badan tersebut adalah bagian dari
Departemen dan Dirjen. Oleh karenanya, kompleksitas permasalahan penjara (seperti
yang saya jelaskan dalam “Masalah Klasik Penjara”) seharusnya difikirkan dan
diselesaikan oleh stakeholder yang juga kompleks. Permasalahan penjara tidak dapat
dipandang berhubungan hanya dengan Departemen atau Dirjen saja. Namun lebih
luas dari itu, munculnya permasalahan di penjara juga berhubungan dengan
masyarakat luas dan mungkin juga kalangan bisnis.
Terkait dengan kalangan bisnis, mungkin satu alternatif dapat ditawarkan,
yaitu Swastanisasi Penjara (Wacana Private Prisons). Adapun kontra terkait usulan
lapas diserahkan ke swasta, Professor Nyoman menyatakan tidak sepakat karena
anggaran yang diperlukan pasti lebih tinggi, sudah tepat ditangani oleh
pemerintah.Permasalahan over kapasitas, menurut Professor Nyoman, dapat diatasi
dengan menambah gedung baru karena banyak lapas yang merupakan bangunan lama
dan berada di tengah kota. "Pemilihan lokasi lapas di daerah pinggiran perlu menjadi
pertimbangan karena tingkat pengawasan akan lebih optimal, berbeda dengan lapas
yang berada di tengah kota dengan mobilitas lingkungan sekitarnya yang sangat tinggi
dan lebih mudah untuk melarikan diri," kata Professor Nyoman.
Kota Semarang menjadi salah satu daerah yang sudah tepat mengalihkan lapas
dari yang semula berada di Jalan dr. Cipto dipindahkan ke Kedungpane dan langkah
tersebut harus diikuti daerah lain yang saat ini lapas atau rutannya masih berada di
tengah kota. Selain lebih maksimal dalam pengawasan, lapas atau rutan yang berada
di daerah pinggiran untuk penambahan gedung serta perluasan sangat lebih
memungkinkan dilakukan, berbeda jika berada di tengah kota.
Para petugas juga perlu dibekali pengetahuan cara yang tepat menghadapi
warga binaan yang notabene orang yang menyimpang dari kelakuan di masyarakat.
Resep-resep diatas menjadi ikhtiar untuk meminimalisir potensi kerusuhan di lapas
yang telah banyak menelan korban jiwa dan hancurnya fasilitas lapas, juga yang tidak
kalah pentingnya adalah tercabiknya rasa aman dan memuncukan rasa takut yang
menghantui masyarakat akibat rusuh lapas selama ini.
Lembaga kemasyarakatan berasal dari istilah asing “social-institution” atau
pranata-sosial yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada
aktivits-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam suatu masyarakat. Oleh
karena itu, pengertian lembaga-kemasyarakatan lebih menunjuk suatu bentuk dan
sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal norma dan aturan yang
menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Lembaga kemasyarakatan merupakan
himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok di kehidupan masyarakat.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan


Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.(Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia,
tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan
merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan dari norma-norma dari segala
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.
Selama ini, lapas berada di bawah Kementrian Hukum dan HAM, yaitu dikelola oleh
Direktorat Jendral Pemasyarakatan, berbagai kajian kajian pun terhadap perbaikan sistem di
lapas terus dilakukan, namun belum menyentuh akar persoalan dimana berbagai permaslahan
belum terpecahkan mulai dari persoalan minimnya anggaran untuk lapas, bebasnya beberapa
napi yang plesiran dengan berbagai alasan, minimnya petugas sipir, terjadinya transaksi
narkoba, hingga adanya pungutan liar terhadap napi yang tergolong pemerasan.
Apabila Pihak swasta diberikan kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola lapas,
tentunya pihak swasta akan lebih profesinal mengingat kredibilitas pihak swasta itu sendiri,
berkaca pada negara negara seperti Amerika dan Australia yang lapasnya dikelola oleh
swasta. Yang kedua, dikarenakan jumlah para terpidana setiap tahunnya terus mengalami
peningkatan, pihak swasta bisa membangun peningkatan kapasita lapas yang lebih beradap
dan manusiawi mengingat jika pembangunan peningkatan kapasitas lapas oleh pemerintah
terlalu panjang proses tender dan regulasi anggarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung,


Refika Aditamma.
Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana , Jakarta: Sarwoko, 1986.

Hazairin, 2005. Negara Tanpa Penjara, Jakarta: PT Bumi Persada.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/18372/equ-agu2007-
12%20(7).pdf;sequence=1

https://www.ucnews.id/news/Dikaji--Pengelolaan-Lapas-Diserahkan-
Swasta/775719631474107.html

https://news.detik.com/berita/d-3497912/2-solusi-yasonna-soal-persoalan-klasik-over-
kapasitas-lapas

https://www.kompasiana.com/davidfernando/bagaimana-jika-lapas-dikelola-oleh-
swasta_591155c1939373000e16d3e1

Anda mungkin juga menyukai