Anda di halaman 1dari 12

Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional

            Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu pertama cara
unilateral (sepihak) dan kedua, cara bilateral atau multilateral. Penjelas kedua cara tersebut
diuraikan sebagai berikut:
1)      Cara Unilatera
Cara ini dilakukan dengan memasukan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan pajak
berganda dalam undang-undang suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Biasanya
yang dimasukan dalam undang-undang suatu negara adalh prinsip-prinsip yang sudah
menjadi kelaziman internasional, seperti ketentuan tentang pembahasan pajak wakil
diplomatik, wakil-wakil organisasi internasional. Penggunaan cara ini merupakan wujud
kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu
undang-undang. Undang-undang PPh Indonesia menganut cara penghindaran pajak berganda
dengan suatu metode yang disebut dengan metode kredit pajak. Pasal 24 undang-undang PPh
menyebutkan bahwa, pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama ( ayat 1).
Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan undang-
undang(ayat 2).
2)      Cara Bilateral atau Multilateral
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang
berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan
seecara bilateral oleh dua negara, sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua
negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian
secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena
masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan
kedaulatan negaranya sendiri. Penghindaran pajak cara bilateral umumnya yang paling
banyak dilakukan oleh suatu negara.
3)      Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan

Bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia
dengan negara lain? bila ditelusuri dasar hukum biasa diadakannya perjanjian perpajakan
antarnegara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945 beserta
perubahannya, yang menyatakan “presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, memebuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” mengacu
pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh
karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khususnya dalam lalu lintas hukum
internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka tidak
diperlukannya lagi persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja. Praktik demikian
nampaknya didasarkan pada surat Presiden Soekarno Nomor 2826/HK/60 tanggal 22 agustus
1960 yang sampai sekarang masih menjadi acuan dalam pembuatan perjanjian dengan negara
lain, termasuk didalamnya perjanjian perpajakan dengan negara lain. berdasarkan ketentuan
pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum perjanjian
perpajakan (tax treaty) adalah sama dengan undang-undang nasional seperti misalnya
undang-undang tentang PPh. Kedudukan hukum tax treaty dengan undang-undang
perpajakan nasional, maka berlaku adagium yang menyatakan bahwa ketentuan yangbersifat
khusus (lex specialis) mengalahkan ketentuan yang bersifat umum (lex generalis), degan
demikian, apabila terdapat ketentuan dalam perjanjian perpajakan dan dalam undang-undang
perpajakan nasional yang sama-sama mengatur mengenai suatu masalah yang sama, maka
ketentuan yang bersifat khusus yang akan berlaku. Dengan kata lain, ketentuan yang bersifat
khusus akan mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum.

Pajak Berganda Internasional


2.1       DEFINISI  PAJAK BERGANDA
Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Kneclitle dalam
bukunya “Basic Problems in International Fiscal Law” (1979) membagi pengertian pajak
berganda secara luas dan sempit. Pengertian secara luas,pajak berganda meliputi setiap
bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat
benganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiscal (subyek
dan / atau obyek pajak).
Pengertian secara sempit,pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus
pemajakan beberapa kali terhadap suatu subyek dan/atau obyek pajak dalam satu
administrasi pajak yang sama. Pengertian tersebut mengesampingkan pembebanan
pajak oleh pemerintah daerah dabn bagian administratifnya yang diperoleh berdasarkan
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat. Pajak berganda tersebut dapat
disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal (singular power) atau oleh berbagai
(lapisan) administrasi (plural power). Pemajakan ganda oleh administrator tunggal,
misalnya dapat terjadi pada pemajakan terhadap bangunan atas nilai jualnya (pajak
bumi dan bangunan ) dan penghasilannya (pajak penghasilan atas sewa atau
keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut pajak berganda
ekonomis (economic double taxation). pemajakan ganda oleh berbagai administrator
dapat terjadi secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah), horizontal
(antarpemerintah daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengan
provinsi A, atau provinsi B).
Pajak berganda dalam arti luas, sesuai dengan Negara (yuridiksi) pemungut pajaknya,
dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1.   Internal (domestic).

2.   Internasional.

Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang
diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu Negara, sedangkan
pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum)
dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Beberapa Unsur Pajak Berganda Internasional
Apabila pemajakan berganda (double atau multiple taxation) dilakukan oleh beberapa
administrasi pajak (berdasarkan ketentuan pemajakan domestic dari tiap Negara) maka
terdapat pajak berganda internasional (international double taxation). Secara teoritis
dan normatif, istilah pajak berganda internasional (“PBI”) meliputi beberapa unsur :
1.   Pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan atas beberapa criteria identitas
2.   Identitas subyek pajak (wajib pajak yang sama)

3.   Identitas obyek pajak (obyek yang sama )

4.   Identitas masa pajak

5.   Identitas (atau kesamaan ) pajak

Selaras dengan unsur-unsur tersebut, maka pajak berganda internasional dapat terjadi
apabila beberapa Negara mengenakan pajak yang sama (sejens atau setara) terhadap
satu wajib pajak atas obyek pajak yang saa untuk masa pajak yang sama pula.
Beberapa Tipe Pajak Berganda Internasional
Menurut Knechtle dalam buku Basic Problem In Internasional Fiskal
Law, menyebutkan beberapa tipe PBI :
1.   Faktual dan potensial

2.   Yurisis dan ekonomis

3.   Langsung dan tak langsung

Sebagaimana diketahui bahwa PBI timbul karena adanya benturan (over lapping) klaim


pemajakan oleh beberapa administrasi pajak sesuai dengan yurisdiksi pemajakan yang
mereka miliki. Apabila klaim pemajakan tersebut benar-benar dilaksanakan oleh
beberapa Negara pemegang yurisdiksi maka akan terjadi PBI faktual. PBI tersebut
menyebabkan membesarnya beban pajak yabf ditanggung seandainya pemajakan hanya
dilaksanakan oleh satu Negara saja. Namun apabila dari kedua atau lebih Negara
pemegang klaim pajak, hanya satu Negara saja yang melaksanakan klaim pemajakan
tersebut maka akan terjadi apa yang disebut PBI potensial. Berbeda dengan PBI faktual,
PBI ini tidak akan menimbulkan membesarnya beban pajak karena pemajakan hanya
dilaksanakan oleh satu Negara saja.
Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan/modal yang sama dikenakan
pajak di tangan orang (subyek) yang sama oleh lebih dari satu negara, PBI ekonomis
timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikanakan pajak atas suatu
penghasilan (atau modal maupun obyek) yang sama (oleh lebih dari satu Negara).
Sementara dengan PBI, dalam Neumark Report dibuat pembedaan antara PBI
langsung (direct international double taxation) dengan PBI tidak langsung (inderect
international double taxation).  Aplikasi dua tau lebih ketentuan pajak dengan struktur
yang sama atau berbeda atas satu fenomena pajak yang sama pada satu wajib pajak
yang sama menimbulkan PBI langsung. Sedangkan PBI tidak langsung terjadi dari
pemajakan atas satu hal yang sama (setara dengan PBI ekonomis).
Dampak Pajak Berganda
Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumberdaya (kemampuan ekonomis )
yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai
akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua negara) memeberikan
tambahan beban ekonomis terhadap pengusaha. memberikan tambahan beban ekonomi
terhadap pengusaha. Oleh karena itu tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan
internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat
netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan
keringanan atau eliminasi atas PBI.
2.2 PENYEBAB PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL
PBI muncul apabila terdapat benturan yusdiksi pemajakan, baik yang melekat pada
pemerintah pusat (Negara) maupun pemerintah daerah (propinsi, kota,
kabupaten). Dengan dmikian, benturan yuridiksi pemajakan dalam format internasioal
(overlapping of tax jurisdiction in the international sphere) penyebab PBI.
Beberapa Bentuk Pajak Berganda Internasional
1.   Pajak Penjualan

Walaupun hanya ditunjukan untuk pengenaan pajak atas peredaran dan konsumsi
domestik,namun masih terdapat kemungkinan bahwa pajak penjualan (peredaran dan
perambahan nilai) dapat menimbulkan PBI. Hal itu dapat terjadi apabila dalam prinsip
pemajakan negara pengesporan menganut prinsip negara asal ( Eliminasi PBI dalam
prinsip Negara tujuan dilakukan dengan penerapan tarif pajak 0% (dengan
pengembalian) pada Negara pengekspor dan pengenaan pajak dengan tarif normal oleh
Negara pengimpor. Dengan demikian tampak seolah-olah Negara pengekspor
mengeliminasi hak pemajakannya (dengan memberlakukan tarif 0% dan restitusi atas
pajak yang telah dibayar) dan mempersilahkan Negara pengimpor untuk mengenakan
pajak sesuai dengan ketentuan domestiknya. Mekanisme ini sering disebut pendekatan
penyesuaian lintas batas.
2.   Pajak Penghasilan

Dalam pajak penghasilan dikenal dua pendekatan perpajakan yaitu.


1.   Tidak terbatas atau penuh (worldwide, global, universal, unlimited taxliability);
merupakan hasil dari pemajakan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance)
yang dapat berupa nasionalitas atau tempat pendirian (untuk badan)
dan residensi (tempat tinggal, tempat keberadaan atau tempat kedudukan).

2.   Terbatas (territorial, limited tax liability); merupakan hasil


daripemajakan berdasarkan pertalian objektif (objective allegiance) yang dapat berupa
lokasi aktivitas ekonomi dan sumber penghasilan

Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antarklaim :
1.   Sesama pemajakan tak terbatas

2.   Pemajakan tak terbatas dengan pemajakan terbatas

3.   Sesama pemajakan terbatas.

Sehubungan dengan pajak penghasilan, pajak berganda internasional terjadi akibat


adanya benturan antar klaim. Benturan antar klaim dalam pamajakan tak terbatas dapat
terjadi antar Negara penganut prinsip:
1.   Nasionalitas; benturan nasionalis umumnya terjadi terhadap orang pribadiyang berada di
Negara penganut tempat kelahiran (ius soli) dengan orang tua dari Negara penganut
keturunan (ius sanguinis)

2.   Nasionalis dengan residensi; dapat terjadi baik pada wajib pajak pribadi maupun badan.
Pada  orang pribadi terjadi apabila warga dari negara penganut prinsip nasionalis (misal
USA) bertempat tinggal pada negara penganut prinsip residensi (indonesia). Untuk
badan dapat terjadi apabila badan yang didirikan berdasarkan hukum penganut tempat
pendirian namun bertempat kedudukan atau dikelola di negara penganut prinsip
pemajakan residensi (tempat kedududkan atau manajemen).
3.   residensi; terjadi pada oarng pribadi yang mempunyai tempat tinggal
di Negara penganut pemajakan berdasarkan asas domisili namun ia beradadalam waktu
yang relative substansial di Negara penganut prinsipkehadiran substansial (misalnya
183hari). Untuk badan, benturan residensi terjadi apabila mempunyai tempat kedudukan
statute (di satu Negara)yang berbeda dengan tempat manajemen (di Negara lain).

Benturan klaim pemajakan tak terbatas dengan pemajakan terbatas terjadi apabila
subjek pajak yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Negara penganut
pemajakan global memperoleh penghasilan atau menjalankan aktivitas ekonomi di
Negara penganut klaim pemajakan terbatas. Akhirnya apabila aktivitas ekonomi (di
negara kedua, penganut klaim pemajakan tersebut) juga memperoleh penghasilan di
Negara (ketiga) penganut klaim pemajakan terbatas, maka akan timbul pajak berganda
internasional sebagai akibat benturan kalim pemajakan terbatas , maka akan timbul
pajak berganda internasional. sebagai akibat benturan klaim pamajakan
terbatas (Negara kedua dan ketiga).

3.Ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan


 Dalam ketentuan pemajakannya, sesuai dengan kelaziman internasional UU PPh
menganut pertalian pajak subjektif dan objektif. Pertalian subjektif orang pribadi
ditentukan berdasarkan :
1. tempat tinggal (di Iindonesia ).
2. kehadiran / keberadaan (di Indonesia, untuk lebih dari 183 hari).
3. atau niat untuk bertempat tinggal di indonesia.
Sementara itu, pertalian subjektif badan ditentukan berdasarkan :
1. tempat pendirian (nasionalitas).
2. Tempat kedudukan.
Dalam cakupan geografis pemajakannya, wajib pajak yang mempunyai pertalian
subjektif dengan indonesia (WPDN) dikenakan pajak per basis global (pemajakan
penuh). Di pihak lain pertalian pajak objektif orang pribadi dan badan WPLN ditentukan
berdasarkan (1) tempat aktivitas ekonomi (BUT) di indonesia, atau (2) sumber
penghasilan (berada di indonesia). WPLN, baik yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di indonesia maupun yang (hanya) menerima penghasilan dari
sumber di indonesia, dikenakan pajak per basis teritorial (pemajakan terbatas) yang
terbatas atas penghasilan yang diperoleh dari wilayah indonesia.
2.3 PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

a.   Beberapa Pendekatan
Menyadari bahwa tambahan beban pajak yang dapat menjurus ke over taxation
berpotensi menghambat mobilitas dan laju bisnis, perdagangan, investasi, sumber daya,
barang dan jasa serta ekonomi global, maka dunia perpajakan internasional mencoba
melakukan beberapa pendekatan untuk memperingan atau mengeliminasi PIB. Beberapa
pendekatan, adalah :
1.   Unilateral (sepihak)

setiap Negara yang mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau
diterima WPDNnya ialah dengan mencantumkan ketentuan penghindaran PBI dalam
undang-undang domestiknya. Misalnya dengan memberlakukan pemajakan teritorial
(membebaskan pemajakan atas penghasilan luar negeri), atau mengecualikan
penghasilan luar negeri dari WPDN pada umumnya memberikan keringanan atas pajak
dimaksud.

2.   Bilateral (antardua negara)
Kedua negara terkait memberikan keringanan PBI berdasarkan kesepakatan
(persetujuan) antara kedua negara pemegang yuridiksi pemajakan. Kesepakatan
tersebut pada umumnya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak
berganda (P3B) yang ditandatangani oleh pemerintah kedua negara. (walaupun dalam
praktik dapat terjadi penandatangan P3B adalah lembaga swasta , misalnya P3B
Indonesia – Taiwan yang ditandatangani oleh KADIN).
3.   Multilateral (beberapa negara secara serempak)
Melibatkan lebih dari dua negara. Secara regional (misalnya negar-negara skandinavia),
negara yang berada dalam satu kawasan dapat menutup P3B secara bersama-sama.
Karena merupakan kesepakatan bersama, pemberian keringanan P3B dapat lebih
bersifat harmonisasi (atau malahan unifikasi) ketentuan perpajakan masing-masing
negara terkait.
b. Beberapa metode penghindaran pajak berganda
Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran pajak berganda
internasional, diantaranya:
a.    Pembebasan (exemption) / pengecualian (exclusion)

Metode ini berupaya untuk sepenuhnya mengeliminasi pajak berganda


internasional. Metode ini menghendaki suatu negara pemegang yuridiksi pemajakan
sekunder (domisili) untuk dengan rela melepaskan hak pemajakaannya sepertinya
mengakui pemajakan eksklusif di negara lain ( negara sumber ). Pembebasan eksemsi
meliputi pembebasan:

1.   Subjek (subject exemption).

Umunya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi


internasional. Para duta besar, anggta korps diplomatik dan konsuler, yang sesuai
dengan hukum internasional mendapat privelege pemajakan. Mereka hanya dikenakan
pajak oleh Negara pengirimnya saja (sending state). Ketentuan pemberian privelege
(hak istimewa) tersebut diikuti oleh (hampir) semua Negara secara universal.

2.   Objek (object, income exemption).

Lebih dikenal dengan full exemtion without progression, diberikan dengan


mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan wajib pajak dalam negeri
Negara tersebut. Kalau misalkan seorang wajib pajak dalam negeri memperoleh
penghasilan domestik sebesar RP 100 Miliar dan penghasilan luar negeri sebesar RP 50
Miliar, maka dalam basis pemajakan negara residen hanya dihitung penghasilan kena
pajak sebesar RP 100 miliar. Dengan demikian, penghasilan luar negeri dikenakan pajak
secara eksklusif di Negara sumber.
3.   Pajak (tax exemption).

Dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini ada prinsipnya


penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan
perhitungan pajak  dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri
terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila negara
residen memberlakukan tarif sepadan (proporsional/flat), maka pengaruh progresi
tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif atau menguntungkan wajib
pajak apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut dapat
merupakan pengurang basis perhitungan pajak atas penghasilan global.

Kalau, misalnya,wajib pajak A yang bertempat kedudukan di negara P yang mengenakan


pajak penghasilan dengan tarif 25 % mendapat penghasilan dari negara Q sebesar 100
yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan peghasilan domestik adalah
sebesar 200, pajak terutang dihitung sebagai berikut :

         

Penghasilan domestik                        200

Penghasilan luar negeri                      100   +

Penghasilan global                             300

Pajak terutang 25%                           75

Eksemsi pajak

100 X 75 =                                        25

300

Pajak kurang dibayar                         50

Dalam contoh tersebut, jumlah pajak kurang bayar dibayar (tanpa memperhatikan
pembayaran dan potongan / pungutan pendahuluan) adalah sebesar 50 atau 25% dari
penghasilan domestik. Berapa jumlah pajak yang dibayar di luar negeri, dalam metode
eksemsi pajak,kurang relevan karna pemberian pembebasan pajak atas penghasilan luar
negeri selalu dihitung dengan menunjuk pada tarif domestik (25%) walaupun wajib
pajak sudah membayar lebih banyak (30%) atau kurang (misalnya 20%). Dalam
pendekatan eksemsi pajak, atas penghasilan luar negeri. Kalu, misalnya, dari operasi di
negara Q tersebur diperoleh kerugian sebesar 50 maka perhitungan pajaknya adalah
sebagai berikut :
         
          Penghasilan domestik                        200
          Kerugian luar negeri                           (50)
          Penghasilan global                              150
          Pajak terutang/kurang bayar
                                      25% x 150  =       37,50

Dalam sistem pajak penghasilan global, berbeda dengan pendekatan eksemsi objek,
sebagai sisi lain (konsejuensi) dari progresi penghasilan positif luar negeri atas
penghasilan dalam negeri pendekatan eksemsi pajak mengurungkan kerugian luar
negeri pada penghasilan domestik untuk menghitung penghasilan global. Dengan
demikian, apabila kegiatan di luar negeri mendapat kerugian, sebagai konsekuensi dari
sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan
kena pajak domestik. Namun, secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus
dipulihkan/diganti kembali pada periode berikutnya apabila diperoleh laba. Kalau, dalam
contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di negara Q didapat laba 150, di
samping laba domestik 250, maka prhitungan pajak terutangnya adalah sebagai
berikut :
         
          Penghasilan domestik                        250
          Penghasilan luar negeri                      150   +
          Penghasilan global                             400
          Pajak terutang
25% x 400                                       100
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri                      150
Perhitungan rugi tahun lalu                 50
          Basis perhutungan eksemsi              100
          Eksemsi pajak
          100 x 100 =                                     25
          400
          Pajak harus dibayar                           75

pajak harus dibayar sebesar 75 tersebut adalah sama dengan 25% dari penghasilan
domestik 250 dita,bah dengan penghasilan luar negeri sebagai  “pemulihan”
kerugian (loss recaptured) tahun lalu 50. Sehingga dengan demikian jumlah penghasilan
kena pajak efektif selama 2 tahun adalah 550 (200 – 50 + 250 + 150), atau kalau
dihitung berdasar sumbernya adalah 200 + 250 + 150 – 50.

c.Kredit pajak
Berbeda dengan metode eksemsi (yang mengeliminasi penghasilan luar negeridari basis
pengenaan atau pemajakan dengan memperhitungkan penghasilan terhadap
penghasilan income against income), metode kredit member keringanan atau eliminasi
pajak berganda internasional dengan cara mengkreditkan(mengurangkan) pajak luar
negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan porsi penghasilan luar negeri
(tax against tax). Sementara metode eksemsi mengasumsikan bahwa residen yang
melakukan investasi atau bisnis maupun kegiatan di luar negara hanya dikenakan pajak
di negara lokasi tempat mengimpor modal, bisnis atau kegiatan ( capital-import
neutrality), metode kredit mengasumsi bahwaresiden dimaksud (mengekspor modal ,
bisnis dan kegiatan ) harus diperlakukan sama dengan yang melakukan hal serupa di
dalam negeri (capital-eksport neutrality).
Berbagai varian dari metode dari kredit adalah (1) kredit penuh (full credit), (2) kredit
terbatas (ordinary atau normal credit), (3) kredit fiktif (matching atau sparing credit).
1. Metode kredit pajak penuh, mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar
diluar negeri sepenuhnya terhadap jarak domestik yang dialokasikan atas penghasilan
dimaksud. Misalnya wajib pajak A, yang bertempat kedudukan di negara K yang
mengenakan pajak dengan tarif 25% sebagai tambahan dari penghasilan domestik
sebesar 200, mendapat penghasilan dari negara L yang dibayar A adalah 20.dalam
menghitung pajak atas penghasilan global (300) di negara K, pajak sebesar 20 tersebut
dikreditkan sepenuhnya terhadap pajak global (75). Dalam hal ini, karena tarif pajak
negara K adalah lebih tinggi (25) dari negara L (20%) maka atas penghasilan negara K
adalah lebih tinggi (25) dari negara L (20%) maka atas penghasilan dari negara L
tersebut A masih harus membayar pajak lagi (sebagai tambahan ) sebesar 5 (5% x
100). Namun sebaliknya apabila L mengenakan pajak sebesar 35% maka akan
dikreditkan sebanyak 35.
2. Metode kredit pajak biasa memberikan keringanan pajak berganda internasional
yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak nasional yang dialokasikan pada
penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1) pajak
domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batas teoritis), (2) pajak
yang sebenarnya terutang atau dibayar diluar negeri (batasan faktual) atas penghasilan
dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global. Kembali pada contoh kredit penuh
pajak dimuka , apabila tarif pajak di negara L adalah 20% maka jumlah pajak sebesar
20 dimaksud dapat di kreditkan semuanya karena batasan maksimal 25  (25% x100)
lebih tinggi dari batasan faktual (20). Sebaliknya, dalam kasus tarif pajak di negara L
adalah 35% pajak luar negeri yang dapat dikreditkan adalah sebesar batas kredit
maksimal, yaitu 25 (walaupun yang sebenarnya dibayar adalah 35)
Sebagai contoh, wajib pajak A yang bertempat kedudukan di negara K dengan tarif
progresif  (10% atas penghasilan sebesar 50 pertama , 20% atas penghasilan sebesar
100  berikutnya, dan 30 % atas penghasilan selebihnya) pada suatu tahun mendapat
kerugian sebesar 50 dari negara L ( yang memungut pajak sebesar 25%), sementara itu
dari kegiatan domestik diperoleh laba 200. Dari data tersebut, maka pajak terutang dari
A dihitung berdasarkan penghasilan global sebesar 150 (200 dikurangi dengan kerugian
mancanegara 50). Pada tahun berikutnya diperoleh laba 100 dari operasi di negara L
dan operasi domestik memperoleh penghasilan 250. Apabila negara K memberikan
kredit pajak secara proporsional maka pajak A yang terutang pada tahun tersebut
dihitung sebagai berikut :

     Penghasilan domestik                                  250


     Penghasilan luar negeri                               100  +
     Penghasilan global                                                350
     Pajak terutang :
     10% x 50    =   5
     20% x 100  =  20
     30% x 200 =  60
                            85
     Kredit pajak luar negeri :
     Penghasilan luar negeri                               100
     Kerugian tahun lalu                  50
                                                     50
     Kredit pajak maksimal
     50/350 x 85 = 12
     Pajak luar negeri yang dibayar
     50 x 25%    =  12,5
     Kredit pajak yang diperkenankan                          12
     Pajak harus dibayar                                               73

dari contoh tersebut tampak baha pajak di negara L sebesar 0,5 (12,5 – 12) merupakan
kelebihan pajak luar negeri (exces foreign tax) yang nerdasarkan ketentuan domestik
mungkin dapat di perhitungkan pada pajak tahun mendatang (carry forward) atau
dengan pajak tahun sebelumnya ( carry backward) atau dikurangkan pada penghasilan
kena pajak. Sehubungan dengan kelebihan pajak luar negeri tersebut, terdapat juga
beberapa negara yang tidak memperbolehkan perhitungan dengan pajak tahun
mendatang atau tahun lalu maupun pengurangan ke penghasilan (misalnya, indonesia)
apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa negara, maka kredit pajak dapat
dihitung secara bergabung (overall) atau tiap negara (per country ). Pemberian kredit
bergabung (overall) lebih menguntungkan wajib pajak dengan di perbolehkannya
kompensasi antaraa (1) penghasilan positif dengan negatif, dan (2) tarif tinggi dengan
tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang dapat dikreditkan).
Misalnya, wajib pajak C yang bertempat kedudukan di negara T (yang mengenakan
pajak sebesar 25%), selain penghasilan domestik sebesar 200, memperoleh penghasilan
sebesar 100 dari negara U (dengan tarif pajak 15%) dan sebesar 150 dari negara V
(dengan tarif pajak 30%). Penghitungan kredit pajak ddengan basis gabungan (over all
basis) tampak sebagai berikut :
          penghasilan domestik                        200
          penghasilan luar negeri (100+150)    250   
          penghasilan global                                       450
          pajak terutang
           25% x 450                                                 112,5
          Kredit pajak luar negeri:
          Jumlah maksimal
                    250 / 450 x 112,5 :                 62,5
                    Jumlah yang sebenarnya dibayar
                   Negara U = 15
                  
Negara V = 45 +
                  60
                   Jumlah pajak yang dapat dikreditkan 60
                   Pajak harus dibayar                            52,5
          Sementara itu, apabila kredit pajak dihitung per negara tampak sebagai berikut :
          Penghasilan global                                                          450
          Pajak terutang                                                       112,5
          Kredit pajak luar negeri :
-      Negara U
          Maksimal kredit : 100 / 450 x 112,5  = 25
          Pajak yang dibayar                             = 15
          Pajak yang dapat dikreditkan             = 15
-      Negara V
Maksimal kredit : 150 / 450 x 112,5  = 37,5
Pajak yang dibayar                             = 45
Pajak yang dapat dikreditkan             = 37,5
jumlah pajak yang dapat dikreditkan                     52,5
pajak harus dibayar                                               60

Dari kedua perhitungan tersebut, tampak bahwa, sementara pajak harus dibayar pada
metode gabungan sebesar 52,5, pada metode gabungan sebesar 52,5, pada metode per
negara menunjukan jumlah lebih besar 7,5. Dengan demikian, dari segi budget
(penerimaan negara), metode kredit pajak biasa per negara dapat memberikan
peneriman yang lebih banyak dari metode gabungan karena adanya eliminasi
kompensasi penghasilan dan tarif (horizontal). Amun, apabila, misalnya, dari operasi di
negara U diperoleh kerugian maka wajib pajak akan merasa diuntungkan dengan
batasan per negara karena pegkreditan pajak dari negara V tidak terhalang oleh
kerugian dari negara U.
Apabila penghasilan dari luar negeri diperoleh dari beberapa sumber, batasan dapat
ditentukan per sumber (source-limitation). Selanjutnya,seperti yang berlaku di Amerika
Serikat, terdapat gabungan dari metode dalam satu metode keranjang (basket-
limitation) yang merupakan kombinasi antara metode overall dan sumber dengan
memperhatikan kategori penghasilan dan tarif pajak yang berlaku di negara luar tempat
sumber penghasilan.
Sehubung dngan penghasilan dari anak perusahaan luar negeri, yang berupa dividen,
selain kredit atas pajak dari deviden (kredit langsung: direct tax credit)  dapat pula
diberikan kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen
tersebut (inddirect tax credit). Misalnya, badan A yang bertempat kedudukan di negara
P ( dengan tarif pajak 25%) selain memperoleh penghasilan domestik 200 juga
menerima dividen dari badan B yang bertempat kedudukan di negara Q (dengan tarif
pajak badan 20% dan potongan pajak deviden 10%) dari laba setelah pajak sebesar 80.
Perhitungan pajak terutang tampak sebagai berikut :

          Penghasilan domestik                                                     200


          Penghasilan luar negeri :
                   Deviden neto                            36
                   Potongan pajak                         4
                                                                   40
          Alokasi pph badan 40 / 80 x 20          10
          Penghasilan luar negeri bruto             50
          Penghasilaan global                                                        250
          Pajak terutang (25%)                        62,5
Kredit pajak luar negeri:
Jumlah maksimal 50 / 250 x 62,5:               12,5
Jumlah yang dibayar
          Pph badan                                          10
          Potongan atas deviden                       4
                                                                   14
Jumlah dikreditkan                                                                   12,5
Pajak harus dibayar                                                                  50

Dalam contoh tersebut, indirect-foreign tax credit sebesar 10 langsung digross-


up dengan penghasilan dividen sebesar 40 (bruto) dan memberikan angka penghasilan
sebesar 50. Penghasilan tersebut merupakan separuh dari penghasilan kena pajak badan
luar negeri dimaksud.
3. Metode kredit pajak fiktif diberikan oleh negara tempat kedudukan investor
terhadap pajak yang seharusnya dikenankan oleh negara sumber apabila seandainya
negara sumber tersebut tidak membebaskan pajak dimaksud berdasarkan ketentuan
untuk merangsang perbaikan iklim investasi. Misalnya, negara Q sesuai dengan
ketentuan domestik berhak memotong pajak atas dividen sebesar 15%. Berdasarkan
ketentuan penanaman modal negara Q membebaskan pajak atas dividen tersebut.
Karena tidak ada pajak dividen yang dibayar di negara Q, maka negara tempat
kedudukan investor sesuai dengan ketentuan umum domestiknya tidak dapat
memberikan kredit pajak atas pajak yang dibaayar di luar negeri kepada investor WPDN
dimaksud. Akibatnya ialah bahwa walaupun investor tersebut tidak dikenakan pajak oleh
negara sumber (Q) namun ia tetap harus membayar (sejumlah yang sama ) pada
negara tempat kedudukan .
d. Metode lainnya
Beberapa metode yang dikaitkan dengan pajak antara lain (1) pembagian pajak (tax
sharing) antara negara domisili dan sumber , (2) pembagian hak pemajakan (division of
taxing power) dengan penentuan tarif pajak maksimum atas penghasilan yang diperoleh
WPLN yang dapat dipungut oleh negara sumber, (3) keringanan tarif (reductio of the
rate) terhadap pengahasilan luar negeri yang harus diberikan oleh negara domisili, (4)
pengurangan pajak (reduction pf the tax ) dengan suatu jumlah tertentu (persentase)
dari penghasilan luar negeri, dan (5) pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum atau
forfait taxation).
sementara itu, beberapa metode keringanan PBI yang dihubungkan dengan penghasilan
termasuk (1) klasifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai dengan
kategori tertentu untuk menentukan pemajakan antara negara sumbr dan domisili, (2)
pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak dan (3) pengurangan
penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah tertentu.
2.4 IMPLIKASI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
 Pemberian keringan dalam bentuk pembebasan , baik objek maupun pajak, dapat
dieliminasi secara tuntas PBI pemajakan hanyaa dilakuka oleh satu negara saja,yaitu
dnegara sumber. Dalam rangka meningkatkan penerimaan ajak dari penghasilan
mancanegara , negara domisili dapat menerapkan kebijakan pengurangan pajak atas
penghaasilan luar negeri atau keringanan tarif pajak. Pengurangan pajak luar negeri
atas penghasilan luar negeri di dasarkan atas pendekatan netralitas penerimaan karena
brapapun tarif pajak di negara sumber, negara domisili tetap memperoleh bagian
penerimaan sepenuhnya sebesar tarif domestik dari penghasilan luar negeri setelah
pajak. Pendekatan tax deduction dengan memberikan penguraangan pajak pada
penghasilan memberikan pembagian penerimaan antara negara domisili dengan WPDN
(investor ) dengan proporsi yang sama sebesar tarif pajak.

Metode pengurangan tarif pajak memberikan keringanan PBI hanya dengan


memberlakukan tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak atas penghasilan domestik
kepada penghasila luar negeri yang telah dikenakan pajak di negara sumber. Kalau
misalnya atas penghasilan domestik dikenakan pajak se besar 25% atas penghasilan
luar negeri dapat dikenakan pajak dengan tarif 10%. Kedua metode tersebut dapat
menghambat minat investasi ke mancanegara terutama apabila beban pajak di sana
sudah cukup tinggi. Namun hal demikian secara statuter tidak akan mengurangi niat
baik negara sumber untuk memberikan keringanan pajak dalam rangka ,emarik
investasi.

Anda mungkin juga menyukai