Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu pertama cara
unilateral (sepihak) dan kedua, cara bilateral atau multilateral. Penjelas kedua cara tersebut
diuraikan sebagai berikut:
1) Cara Unilatera
Cara ini dilakukan dengan memasukan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan pajak
berganda dalam undang-undang suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Biasanya
yang dimasukan dalam undang-undang suatu negara adalh prinsip-prinsip yang sudah
menjadi kelaziman internasional, seperti ketentuan tentang pembahasan pajak wakil
diplomatik, wakil-wakil organisasi internasional. Penggunaan cara ini merupakan wujud
kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu
undang-undang. Undang-undang PPh Indonesia menganut cara penghindaran pajak berganda
dengan suatu metode yang disebut dengan metode kredit pajak. Pasal 24 undang-undang PPh
menyebutkan bahwa, pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama ( ayat 1).
Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan undang-
undang(ayat 2).
2) Cara Bilateral atau Multilateral
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang
berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan
seecara bilateral oleh dua negara, sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua
negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian
secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena
masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan
kedaulatan negaranya sendiri. Penghindaran pajak cara bilateral umumnya yang paling
banyak dilakukan oleh suatu negara.
3) Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan
Bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia
dengan negara lain? bila ditelusuri dasar hukum biasa diadakannya perjanjian perpajakan
antarnegara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945 beserta
perubahannya, yang menyatakan “presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, memebuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” mengacu
pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh
karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khususnya dalam lalu lintas hukum
internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka tidak
diperlukannya lagi persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja. Praktik demikian
nampaknya didasarkan pada surat Presiden Soekarno Nomor 2826/HK/60 tanggal 22 agustus
1960 yang sampai sekarang masih menjadi acuan dalam pembuatan perjanjian dengan negara
lain, termasuk didalamnya perjanjian perpajakan dengan negara lain. berdasarkan ketentuan
pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum perjanjian
perpajakan (tax treaty) adalah sama dengan undang-undang nasional seperti misalnya
undang-undang tentang PPh. Kedudukan hukum tax treaty dengan undang-undang
perpajakan nasional, maka berlaku adagium yang menyatakan bahwa ketentuan yangbersifat
khusus (lex specialis) mengalahkan ketentuan yang bersifat umum (lex generalis), degan
demikian, apabila terdapat ketentuan dalam perjanjian perpajakan dan dalam undang-undang
perpajakan nasional yang sama-sama mengatur mengenai suatu masalah yang sama, maka
ketentuan yang bersifat khusus yang akan berlaku. Dengan kata lain, ketentuan yang bersifat
khusus akan mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum.
2. Internasional.
Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang
diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu Negara, sedangkan
pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum)
dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Beberapa Unsur Pajak Berganda Internasional
Apabila pemajakan berganda (double atau multiple taxation) dilakukan oleh beberapa
administrasi pajak (berdasarkan ketentuan pemajakan domestic dari tiap Negara) maka
terdapat pajak berganda internasional (international double taxation). Secara teoritis
dan normatif, istilah pajak berganda internasional (“PBI”) meliputi beberapa unsur :
1. Pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan atas beberapa criteria identitas
2. Identitas subyek pajak (wajib pajak yang sama)
Selaras dengan unsur-unsur tersebut, maka pajak berganda internasional dapat terjadi
apabila beberapa Negara mengenakan pajak yang sama (sejens atau setara) terhadap
satu wajib pajak atas obyek pajak yang saa untuk masa pajak yang sama pula.
Beberapa Tipe Pajak Berganda Internasional
Menurut Knechtle dalam buku Basic Problem In Internasional Fiskal
Law, menyebutkan beberapa tipe PBI :
1. Faktual dan potensial
Walaupun hanya ditunjukan untuk pengenaan pajak atas peredaran dan konsumsi
domestik,namun masih terdapat kemungkinan bahwa pajak penjualan (peredaran dan
perambahan nilai) dapat menimbulkan PBI. Hal itu dapat terjadi apabila dalam prinsip
pemajakan negara pengesporan menganut prinsip negara asal ( Eliminasi PBI dalam
prinsip Negara tujuan dilakukan dengan penerapan tarif pajak 0% (dengan
pengembalian) pada Negara pengekspor dan pengenaan pajak dengan tarif normal oleh
Negara pengimpor. Dengan demikian tampak seolah-olah Negara pengekspor
mengeliminasi hak pemajakannya (dengan memberlakukan tarif 0% dan restitusi atas
pajak yang telah dibayar) dan mempersilahkan Negara pengimpor untuk mengenakan
pajak sesuai dengan ketentuan domestiknya. Mekanisme ini sering disebut pendekatan
penyesuaian lintas batas.
2. Pajak Penghasilan
Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antarklaim :
1. Sesama pemajakan tak terbatas
2. Nasionalis dengan residensi; dapat terjadi baik pada wajib pajak pribadi maupun badan.
Pada orang pribadi terjadi apabila warga dari negara penganut prinsip nasionalis (misal
USA) bertempat tinggal pada negara penganut prinsip residensi (indonesia). Untuk
badan dapat terjadi apabila badan yang didirikan berdasarkan hukum penganut tempat
pendirian namun bertempat kedudukan atau dikelola di negara penganut prinsip
pemajakan residensi (tempat kedududkan atau manajemen).
3. residensi; terjadi pada oarng pribadi yang mempunyai tempat tinggal
di Negara penganut pemajakan berdasarkan asas domisili namun ia beradadalam waktu
yang relative substansial di Negara penganut prinsipkehadiran substansial (misalnya
183hari). Untuk badan, benturan residensi terjadi apabila mempunyai tempat kedudukan
statute (di satu Negara)yang berbeda dengan tempat manajemen (di Negara lain).
Benturan klaim pemajakan tak terbatas dengan pemajakan terbatas terjadi apabila
subjek pajak yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Negara penganut
pemajakan global memperoleh penghasilan atau menjalankan aktivitas ekonomi di
Negara penganut klaim pemajakan terbatas. Akhirnya apabila aktivitas ekonomi (di
negara kedua, penganut klaim pemajakan tersebut) juga memperoleh penghasilan di
Negara (ketiga) penganut klaim pemajakan terbatas, maka akan timbul pajak berganda
internasional sebagai akibat benturan kalim pemajakan terbatas , maka akan timbul
pajak berganda internasional. sebagai akibat benturan klaim pamajakan
terbatas (Negara kedua dan ketiga).
a. Beberapa Pendekatan
Menyadari bahwa tambahan beban pajak yang dapat menjurus ke over taxation
berpotensi menghambat mobilitas dan laju bisnis, perdagangan, investasi, sumber daya,
barang dan jasa serta ekonomi global, maka dunia perpajakan internasional mencoba
melakukan beberapa pendekatan untuk memperingan atau mengeliminasi PIB. Beberapa
pendekatan, adalah :
1. Unilateral (sepihak)
setiap Negara yang mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau
diterima WPDNnya ialah dengan mencantumkan ketentuan penghindaran PBI dalam
undang-undang domestiknya. Misalnya dengan memberlakukan pemajakan teritorial
(membebaskan pemajakan atas penghasilan luar negeri), atau mengecualikan
penghasilan luar negeri dari WPDN pada umumnya memberikan keringanan atas pajak
dimaksud.
2. Bilateral (antardua negara)
Kedua negara terkait memberikan keringanan PBI berdasarkan kesepakatan
(persetujuan) antara kedua negara pemegang yuridiksi pemajakan. Kesepakatan
tersebut pada umumnya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak
berganda (P3B) yang ditandatangani oleh pemerintah kedua negara. (walaupun dalam
praktik dapat terjadi penandatangan P3B adalah lembaga swasta , misalnya P3B
Indonesia – Taiwan yang ditandatangani oleh KADIN).
3. Multilateral (beberapa negara secara serempak)
Melibatkan lebih dari dua negara. Secara regional (misalnya negar-negara skandinavia),
negara yang berada dalam satu kawasan dapat menutup P3B secara bersama-sama.
Karena merupakan kesepakatan bersama, pemberian keringanan P3B dapat lebih
bersifat harmonisasi (atau malahan unifikasi) ketentuan perpajakan masing-masing
negara terkait.
b. Beberapa metode penghindaran pajak berganda
Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran pajak berganda
internasional, diantaranya:
a. Pembebasan (exemption) / pengecualian (exclusion)
1. Subjek (subject exemption).
Eksemsi pajak
100 X 75 = 25
300
Dalam contoh tersebut, jumlah pajak kurang bayar dibayar (tanpa memperhatikan
pembayaran dan potongan / pungutan pendahuluan) adalah sebesar 50 atau 25% dari
penghasilan domestik. Berapa jumlah pajak yang dibayar di luar negeri, dalam metode
eksemsi pajak,kurang relevan karna pemberian pembebasan pajak atas penghasilan luar
negeri selalu dihitung dengan menunjuk pada tarif domestik (25%) walaupun wajib
pajak sudah membayar lebih banyak (30%) atau kurang (misalnya 20%). Dalam
pendekatan eksemsi pajak, atas penghasilan luar negeri. Kalu, misalnya, dari operasi di
negara Q tersebur diperoleh kerugian sebesar 50 maka perhitungan pajaknya adalah
sebagai berikut :
Penghasilan domestik 200
Kerugian luar negeri (50)
Penghasilan global 150
Pajak terutang/kurang bayar
25% x 150 = 37,50
Dalam sistem pajak penghasilan global, berbeda dengan pendekatan eksemsi objek,
sebagai sisi lain (konsejuensi) dari progresi penghasilan positif luar negeri atas
penghasilan dalam negeri pendekatan eksemsi pajak mengurungkan kerugian luar
negeri pada penghasilan domestik untuk menghitung penghasilan global. Dengan
demikian, apabila kegiatan di luar negeri mendapat kerugian, sebagai konsekuensi dari
sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan
kena pajak domestik. Namun, secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus
dipulihkan/diganti kembali pada periode berikutnya apabila diperoleh laba. Kalau, dalam
contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di negara Q didapat laba 150, di
samping laba domestik 250, maka prhitungan pajak terutangnya adalah sebagai
berikut :
Penghasilan domestik 250
Penghasilan luar negeri 150 +
Penghasilan global 400
Pajak terutang
25% x 400 100
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150
Perhitungan rugi tahun lalu 50
Basis perhutungan eksemsi 100
Eksemsi pajak
100 x 100 = 25
400
Pajak harus dibayar 75
pajak harus dibayar sebesar 75 tersebut adalah sama dengan 25% dari penghasilan
domestik 250 dita,bah dengan penghasilan luar negeri sebagai “pemulihan”
kerugian (loss recaptured) tahun lalu 50. Sehingga dengan demikian jumlah penghasilan
kena pajak efektif selama 2 tahun adalah 550 (200 – 50 + 250 + 150), atau kalau
dihitung berdasar sumbernya adalah 200 + 250 + 150 – 50.
c.Kredit pajak
Berbeda dengan metode eksemsi (yang mengeliminasi penghasilan luar negeridari basis
pengenaan atau pemajakan dengan memperhitungkan penghasilan terhadap
penghasilan income against income), metode kredit member keringanan atau eliminasi
pajak berganda internasional dengan cara mengkreditkan(mengurangkan) pajak luar
negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan porsi penghasilan luar negeri
(tax against tax). Sementara metode eksemsi mengasumsikan bahwa residen yang
melakukan investasi atau bisnis maupun kegiatan di luar negara hanya dikenakan pajak
di negara lokasi tempat mengimpor modal, bisnis atau kegiatan ( capital-import
neutrality), metode kredit mengasumsi bahwaresiden dimaksud (mengekspor modal ,
bisnis dan kegiatan ) harus diperlakukan sama dengan yang melakukan hal serupa di
dalam negeri (capital-eksport neutrality).
Berbagai varian dari metode dari kredit adalah (1) kredit penuh (full credit), (2) kredit
terbatas (ordinary atau normal credit), (3) kredit fiktif (matching atau sparing credit).
1. Metode kredit pajak penuh, mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar
diluar negeri sepenuhnya terhadap jarak domestik yang dialokasikan atas penghasilan
dimaksud. Misalnya wajib pajak A, yang bertempat kedudukan di negara K yang
mengenakan pajak dengan tarif 25% sebagai tambahan dari penghasilan domestik
sebesar 200, mendapat penghasilan dari negara L yang dibayar A adalah 20.dalam
menghitung pajak atas penghasilan global (300) di negara K, pajak sebesar 20 tersebut
dikreditkan sepenuhnya terhadap pajak global (75). Dalam hal ini, karena tarif pajak
negara K adalah lebih tinggi (25) dari negara L (20%) maka atas penghasilan negara K
adalah lebih tinggi (25) dari negara L (20%) maka atas penghasilan dari negara L
tersebut A masih harus membayar pajak lagi (sebagai tambahan ) sebesar 5 (5% x
100). Namun sebaliknya apabila L mengenakan pajak sebesar 35% maka akan
dikreditkan sebanyak 35.
2. Metode kredit pajak biasa memberikan keringanan pajak berganda internasional
yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak nasional yang dialokasikan pada
penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1) pajak
domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batas teoritis), (2) pajak
yang sebenarnya terutang atau dibayar diluar negeri (batasan faktual) atas penghasilan
dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global. Kembali pada contoh kredit penuh
pajak dimuka , apabila tarif pajak di negara L adalah 20% maka jumlah pajak sebesar
20 dimaksud dapat di kreditkan semuanya karena batasan maksimal 25 (25% x100)
lebih tinggi dari batasan faktual (20). Sebaliknya, dalam kasus tarif pajak di negara L
adalah 35% pajak luar negeri yang dapat dikreditkan adalah sebesar batas kredit
maksimal, yaitu 25 (walaupun yang sebenarnya dibayar adalah 35)
Sebagai contoh, wajib pajak A yang bertempat kedudukan di negara K dengan tarif
progresif (10% atas penghasilan sebesar 50 pertama , 20% atas penghasilan sebesar
100 berikutnya, dan 30 % atas penghasilan selebihnya) pada suatu tahun mendapat
kerugian sebesar 50 dari negara L ( yang memungut pajak sebesar 25%), sementara itu
dari kegiatan domestik diperoleh laba 200. Dari data tersebut, maka pajak terutang dari
A dihitung berdasarkan penghasilan global sebesar 150 (200 dikurangi dengan kerugian
mancanegara 50). Pada tahun berikutnya diperoleh laba 100 dari operasi di negara L
dan operasi domestik memperoleh penghasilan 250. Apabila negara K memberikan
kredit pajak secara proporsional maka pajak A yang terutang pada tahun tersebut
dihitung sebagai berikut :
dari contoh tersebut tampak baha pajak di negara L sebesar 0,5 (12,5 – 12) merupakan
kelebihan pajak luar negeri (exces foreign tax) yang nerdasarkan ketentuan domestik
mungkin dapat di perhitungkan pada pajak tahun mendatang (carry forward) atau
dengan pajak tahun sebelumnya ( carry backward) atau dikurangkan pada penghasilan
kena pajak. Sehubungan dengan kelebihan pajak luar negeri tersebut, terdapat juga
beberapa negara yang tidak memperbolehkan perhitungan dengan pajak tahun
mendatang atau tahun lalu maupun pengurangan ke penghasilan (misalnya, indonesia)
apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa negara, maka kredit pajak dapat
dihitung secara bergabung (overall) atau tiap negara (per country ). Pemberian kredit
bergabung (overall) lebih menguntungkan wajib pajak dengan di perbolehkannya
kompensasi antaraa (1) penghasilan positif dengan negatif, dan (2) tarif tinggi dengan
tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang dapat dikreditkan).
Misalnya, wajib pajak C yang bertempat kedudukan di negara T (yang mengenakan
pajak sebesar 25%), selain penghasilan domestik sebesar 200, memperoleh penghasilan
sebesar 100 dari negara U (dengan tarif pajak 15%) dan sebesar 150 dari negara V
(dengan tarif pajak 30%). Penghitungan kredit pajak ddengan basis gabungan (over all
basis) tampak sebagai berikut :
penghasilan domestik 200
penghasilan luar negeri (100+150) 250
penghasilan global 450
pajak terutang
25% x 450 112,5
Kredit pajak luar negeri:
Jumlah maksimal
250 / 450 x 112,5 : 62,5
Jumlah yang sebenarnya dibayar
Negara U = 15
Negara V = 45 +
60
Jumlah pajak yang dapat dikreditkan 60
Pajak harus dibayar 52,5
Sementara itu, apabila kredit pajak dihitung per negara tampak sebagai berikut :
Penghasilan global 450
Pajak terutang 112,5
Kredit pajak luar negeri :
- Negara U
Maksimal kredit : 100 / 450 x 112,5 = 25
Pajak yang dibayar = 15
Pajak yang dapat dikreditkan = 15
- Negara V
Maksimal kredit : 150 / 450 x 112,5 = 37,5
Pajak yang dibayar = 45
Pajak yang dapat dikreditkan = 37,5
jumlah pajak yang dapat dikreditkan 52,5
pajak harus dibayar 60
Dari kedua perhitungan tersebut, tampak bahwa, sementara pajak harus dibayar pada
metode gabungan sebesar 52,5, pada metode gabungan sebesar 52,5, pada metode per
negara menunjukan jumlah lebih besar 7,5. Dengan demikian, dari segi budget
(penerimaan negara), metode kredit pajak biasa per negara dapat memberikan
peneriman yang lebih banyak dari metode gabungan karena adanya eliminasi
kompensasi penghasilan dan tarif (horizontal). Amun, apabila, misalnya, dari operasi di
negara U diperoleh kerugian maka wajib pajak akan merasa diuntungkan dengan
batasan per negara karena pegkreditan pajak dari negara V tidak terhalang oleh
kerugian dari negara U.
Apabila penghasilan dari luar negeri diperoleh dari beberapa sumber, batasan dapat
ditentukan per sumber (source-limitation). Selanjutnya,seperti yang berlaku di Amerika
Serikat, terdapat gabungan dari metode dalam satu metode keranjang (basket-
limitation) yang merupakan kombinasi antara metode overall dan sumber dengan
memperhatikan kategori penghasilan dan tarif pajak yang berlaku di negara luar tempat
sumber penghasilan.
Sehubung dngan penghasilan dari anak perusahaan luar negeri, yang berupa dividen,
selain kredit atas pajak dari deviden (kredit langsung: direct tax credit) dapat pula
diberikan kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen
tersebut (inddirect tax credit). Misalnya, badan A yang bertempat kedudukan di negara
P ( dengan tarif pajak 25%) selain memperoleh penghasilan domestik 200 juga
menerima dividen dari badan B yang bertempat kedudukan di negara Q (dengan tarif
pajak badan 20% dan potongan pajak deviden 10%) dari laba setelah pajak sebesar 80.
Perhitungan pajak terutang tampak sebagai berikut :