Makalah Cidera Kepala
Makalah Cidera Kepala
OLEH :
KELOMPOK 4/A12-A
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmatnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca supaya kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepanya dapat lebih baik lagi dan
semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun
pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan. Makalah ini kami sadari masih
banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu,
kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Promosi Kesehatan...........................................................................3
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat dalam Pola Perilaku...........................4
2.3 Peran Perawat Dalam Promosi Kesehatan..........................................................4
2.4 Strategi Promosi Kesehatan................................................................................6
2.5 Peran & Fungsi Perawat..................................................................................8
2.6 Program Indonesia Sehat...................................................................................12
2.7 Sistem Pelayanan Kesehatan Dan Kebijakan Otonomi Daerah.........................14
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
dan mental kompleks yang bersifat sementara maupun menetap. Cedera kepala telah
menjadi penyebab kematian dan kecacatan pada usia muda di berbagai negara.
penyebab kematian dan kecacatan utama pada tahun 2020. Kasus cedera kepala di
Amerika Serikat mencapai 1,7 juta kasus setiap tahunnya, dimana 52.000 kasus
meninggal dan sepuluh persennya meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Pasien
cedera kepala yang sampai di rumah sakit dikelompokan menjadi cedera kepala
ringan (CKR) sekitar 80%, cedera kepala sedang (CKS)10%, dan cedera kepala berat
(CKB) 10% (Faul et al, 2010). Data cedera kepala di seluruh rumah sakit di Indonesia
belum tercatat secara baik. Data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo didapatkan
jumlah CKR, CKS, dan CKB adalah masing-masing 60%-70%, 15%-20%, dan 10%
1
cedera kepala pertahundi RSUP Sanglah adalah lebih dari 2000 kasus, dimana 30%
merupakan cedera kepala sedang dan berat (Register IRD Sanglah, 2011).
dengan tindakan operasi pada pasien CKR dan CKS di RSUP Sanglah
Denpasar?
dengan tindakan operasi pada pasien CKR dan CKS di RSUP Sanglah
Denpasar?
tindakan operasi pada pasien CKR dan CKS di RSUP Sanglah Denpasar?
1
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui,
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian,
terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian
disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma
berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian
akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda
berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013
hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9
persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
1
2.1.3. Klasifikasi Cedera Kepala
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1
menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
(Youmans, 2011).
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi,
merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis
kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher
bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat
pergerakan).
1
Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala
dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada
1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak (Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat.
Test Skor
Eye Opening (E)
Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Best Motor Response (M)
Follow commands 6
Localizing to painful stimuli 5
Flexion-withdraw to painful stimuli 4
Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli 3
Extensor / Decerebrate posturing to painful stimuli 2
None 1
Best Verbal Response
Oriented conversation 5
Confused / disoriented conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sound 2
None 1
1
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-
15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:
1
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)
4. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau
1
laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap
bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen tulang yang impresi
masuk hingga berada di bawah tabula interna segmen tulang yang
sehat.
5. Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak.
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan
racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau
ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media.
2.1.3.3.4. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka
ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.
2.1.3.3.5. Avulsi
1
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).
1
2. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)
3. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran
darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral
Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic
core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
Secara anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan menjadi
cedera fokal dan difus (Teasdale, 1995).
Focal Injuries Diffuse Injuries
Contusion Concusion
Fracture Diffuse axonal injury
Coup Moderate
Countercoup Severe
Herniation
Intermediate
Gliding
Hematoma
Epidural
Subdural
Intracerebral
1
kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere, 2004).
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan
deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan
perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio
serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang
menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri
sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural,
perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).
Freytag dan Lindenberg (1968) mengemukakan bahwa pada daerah
kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang
mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan
seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini
sering dikenal sebagai perikontusional zone yang dapat menyebabkan
keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal
ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di
pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat
dari penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) atau peningkatan tekanan
intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7
hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi
kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis, 2006).
1
Gambar 2.2. Mekanisme Terjadinya Kontusio Serebri (Mesiano, 2010)
1
Gambar 2.3. Herniasi intrakranial (Hardman, 2002)
1
a. Perdarahan subdural akut
SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural
yang terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk,
dan kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan
kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral
pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan
cedera otak besar dan cedera batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari
setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang
agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian
menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-
pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14 hari. Gejala
mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa
bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi
pupil dan motorik.
1
4. Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik.
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid.
1
lebih jarang. Cedera otak difus menggambarkan keadaan odema
sitotoksik meskipun gambaran CT scan normal dan GCS 15.
1
robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan
white matter (Smith et al, 1999).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase
pada cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada
cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat
kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia
yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-akson.
Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium
yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini
akan menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis.
Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan
sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak.
Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan
ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas,
penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah
vegetative state (Blumbergs, 2011).
++
bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca intrasellular
1
cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome pasien (Czosnyka dkk,
1996).
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma
tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak
sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan
homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter
dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel
yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses
primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional
tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam
beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi
sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan
menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel
yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma
diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas :
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/
intraserebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
1
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma.
Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit,
terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam
30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon
inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi
infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini
membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses
inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa
molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses
perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena
mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga
melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya
(prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu
terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting
sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah
nine deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi
(hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas),
hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon stres),
hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis
(Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek
terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).
1
G
1
menentukan keputusan pengobatan. Namun, tidak bisa tidak, faktor-faktor
tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penanganan
pasien (Bahloul, 2010; Kan, 2009).
2.1.5.2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi
hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera
sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan
hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan
(Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30% dengan
hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala,
hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian
kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di
medula oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderita-penderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa
hipotensi sistemik (Moulton, 2005).
1
Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera
iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang ditemukan
mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor
utama yang menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan satu-
satunya faktor penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu
episode hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan
morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).
Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospektifnya menemukan bahwa hipotensi
intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan kematian tiga
kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi dengan
peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90% pasien
cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat iskemik (Stieffel,
2005).
2.1.5.3. Hipoksia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat
dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51%
mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat
hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari
penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia.
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena pola
pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang
belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga
karena cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di
sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan
efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan
didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Wagner (2010) pada sekelompok tikus
menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian
edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan
1
oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis
ion.
1
Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung
terhadap adanya herniasi dan cedera batang otak. Secara umum, dilatasi dan
fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi
dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera batang otak yang irreversible.
Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami dilatasi dan
terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf ketiga
intrakranial atau disertai cedera batang otak (Chessnut, 2000). Penelitian klinis
untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan dalam
berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan reaksi
pupil terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya
dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual, 2008; Letarte, 2008).
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola
respons motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor,
semuanya memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews,
1989; Rovlias, 2004). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang
dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak
teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya
disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada
batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu
tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18%
yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor
pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai
penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan
berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat
penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks-refleks batang
otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%)
penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu Subdural
Hematoma (SDH) mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk, melaporkan
hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai
penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular dan
1
refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk
(Sastrodiningrat, 2009). Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah
dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam
mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah
diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan pemeriksaan ulang harus sering
dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Pascual, 2008; Moulton,
2005; Volmerr, 1991).
No Lesions 32
Extracerebral Hematoma 15
Bilateral Swelling 12
1
subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan
adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam
sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. SAH
adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis
(Sastrodiningrat, 2009).
1
kematian akibat kecelakaan. Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan
54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6 jam pertama.
1
2.2 Pencitraan Pada Cedera Kepala
Cedera kepala mengacu cedera pada struktur intrakranial berikut trauma
fisik pada kepala. Istilah Cedera kepala mengacu pada luka yang mencakup
struktur baik intrakranial dan ekstrakranial, termasuk kulit kepala dan tengkorak.
Kemajuan teknologi pencitraan medis telah mengakibatkan kemajuan beberapa
modalitas pencitraan baru untuk evaluasi cedera kepala. Sementara kemajuan
dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini dan informasi prognostik
yang berguna. Pemilihan diagnostik yang tepat di antara berbagai teknik
pencitraan yang tersedia, diantaranya:
1
8. Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi, atau
anak-anak)
9. GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan keras.
1
kepala dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien
cedera kepala (French, 1992). Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan
penunjang lainnya adalah X-0ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang
tengkorak atau wajah (Willmore, 2007).
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala
adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan
kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala
memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT scan
kepala (Ibanez, 2004). Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami
patah tulang kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impact
yang besar pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi
dibawah garis patahan (Willmore, 2007).
CT scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut
360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto
akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara
menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT scan akan tampak sebagai penampang-
penampang melintang dari objeknya. Dengan CT scan isi kepala secara anatomi
akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema
akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2009).
Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak.
1
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral. Perdarahan
subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma.
PRIMARY INJURY
Extra axial injury
Epidural hematoma
Subdural hematoma
Subarachnoid hemorrhage
Intraventricular hemorrhage
Intra axial injury
Axonal injury
Cortical contusion
Intracerebral hematoma
Encephalomalacia
Vascular Injury
Dissection
Carotid cavernous fistula
Arteriovenous dura fistula
Pseudoaneurysm
SECONDARY INJURY
Acute
Diffuse cerebral swelling
Brain herniation
Infarction
Infection
Chronic
Hydrocephalus
Encephalomalacia
CSF leak
Leptomeningeal cyst
1
kepala yaitu dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya dapat dilihat pada
tabel 2.6. Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi
yang didapatkan dari gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai
adanya gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2016; Selladurai dan
Reilly, 2007).
Klasifikasi Kriteria
1
2007). Gambaran prognostik berdasarkan pemeriksaan teknis sangatlah
dibutuhkan. CT scan secara rutin dikerjakan pada seluruh pasien cedera kepala
berat dan memberikan informasi implikasi terapi untuk intervensi operasi atau
indikasi untuk pemantauan tekanan intrakranial (TIK), dan memungkinkan
memberikan gambaran informasi terkait dengan prognostik pasien.
Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma
kepala jika dilakukan CT scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Berdasarkan
hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Marshall
maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu
dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya dapat dilihat pada tabel.
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang
didapatkan dari gambaran CT Scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya
gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2003; Selladurai dan Reilly,
2007).
Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak
atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma
subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan
adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam
sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. SAH
adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis
(Sastrodiningrat, 2009).
1
(Wilberger dkk., 2003 dalam Sastrodiningrat, 2009). Pemeriksaan Proton
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan
telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson
Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana
halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS
ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang
nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus
ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2009).
1
6. Memberikan data-data epidemiologi trauma.
7. Menilai efektivitas penanganan trauma pada pusat kesehatan (Chawda dkk,
2004; Orhon dkk, 2014)
Sistem skor pada trauma dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan
anatomi, fisiologi dan kombinasi anatomi dan fisiologi. Sedangkan berdasarkan
tujuannya, sistem skor trauma yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel
dibawah (Chawda dkk, 2004).
1
Skor yang biasa digunakan Skor
Injury description (body region) Organ injury scaling I-IV and revision
(abdominal and pelvic organ)
Penetrating Abdominal Trauma Index
(PATI)
Wagner (lung contusion, CT based)
1
2.3.1. Revised Trauma Score (RTS)
Revised Trauma Score (RTS) pertama kali dipublikasikan oleh Champion
pada tahun 1983. Skor ini adalah salah satu skor fisiologis yang lebih umum dan
sering digunakan, menggunakan 3 parameter fisiologi sebagai berikut: (1)
Glasgow Coma Scale (GCS), (2) Sistolic Blood Pressure (SBP) dan (3)
Respiration Rate (RR). Skor bernilai dari 0-4.
Penggunaan RTS ada 2 macam, yaitu penggunaan di triase dengan
menambahkan masing-masing nilai kode bersama-sama. Dengan demikian, nilai
RTS berkisar dari 0 hingga 12. Nilai ini menentukan prioritas penanganan pasien
cedera kepala. Salah satu interpretasi nilai RTS yang kurang dari 11 menunjukkan
perlunya penanganan di fasilitas trauma.
Systolic Blood
Glasgow Coma Pressure Respiratory Rate Coded
Scale (GCS) (mmHg) (x/minute) Value
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0
1
Gambar 2.5. Korelasi RTS dengan tingkat survival (Chawda, 2004)
Keuntungan utama dari RTS sangat spesifik untuk pasien yang mengalami
cedera kepala. RTS memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi
manfaatnya, dan sebagian besar dari keterbatasan ini berkaitan dengan GCS.
Awalnya, GCS dimaksudkan untuk mengukur status fungsional sistem saraf pusat.
Karena pentingnya cedera kepala dalam menentukan hasil trauma, GCS juga
digunakan oleh banyak orang sebagai komponen untuk menentukan tingkat
keparahan trauma. Permasalahan pada GCS dan RTS tidak secara akurat
menentukan skor pada pasien yang terintubasi dan yang mendapat ventilasi
mekanik yang seringkali dapat terjadi sebelum membuat keputusan di triase
(Chawda dkk, 2004). Selain itu juga dijumpai kesulitan menentukan skor pada
pasien lumpuh atau yang berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan
terlarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan beberapa penelitian
yang menunjukkan bahwa penilaian motorik bisa menilai dan memprediksi GCS.
Bahkan baru-baru ini para peneliti telah mendapatkan bahwa respon terbaik
motorik dapat memprediksi kematian dan lebih baik untuk menentukan derajat
keparahan lainnya.
1
oleh AAAM, dan IISC, organisasi induk AIS memodifikasi AIS, terutama pada
tahun 2005. AIS menjadi dasar penilaian keparahan cedera. Dalam usaha
menyimpulkan keparahan suatu cedera yang dialami oleh pasien dengan trauma
multiple, sangatlah sulit. Sistem alternatif untuk trauma multipel telah dibuat,
akan tetapi masih ada beberapa masalah dan keterbatasan.
Pada tahun 1971 AIS pertama kali dipublikasikan sebagai metode numerik
sederhana untuk menentukan derajat dan membandingkan cedera dengan tingkat
keparahannya. Meskipun awalnya ditujukan untuk digunakan pada cedera karena
cedera kendaraan bermotor, ruang lingkup semakin diperluas untuk mencakup
cedera lainnya.
AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkaan beratnya trauma pada
organ tersebut dan tidak memprediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari
ISS, berasal dari konsensus yang menentukan sistem anatomis berdasarkan tingkat
keparahan cedera pada skala ordinal mulai dari 1 (cedera kecil) sampai 6 (cedera
mematikan).
Deskripsi Skor
Tidak ada cedera 0
Cedera minor 1
Cedera sedang 2
Cedera serius, tidak mengancam nyawa 3
Cedera berat, survival expected 4
Cedera kritis, survival doubtful 5
Cedera fatal 6
Skala untuk semua area anatomi dan organ dapat ditemukan di American
Association for the Surgery of Trauma website. AIS manual dan CD (2005) yang
tersedia dari daftar AAAM.
1
Regio Cedera AIS AIS2
Skor keparahan 50
cedera (ISS)
Penilaian AIS bersifat subjektif. Cedera sedang oleh satu pemeriksa dapat
dianggap serius oleh pemeriksa lain (Ozoilo KN, 2012). Turunan AIS, ISS
diperkenalkan oleh Susan Baker, dkk pada tahun 1984. ISS merangkum tingkat
keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera tubuh yang dibagi
menjadi enam area; kepala, leher, thoraks, abdomen termasuk organ pelvis, alat
gerak termasuk tulang pelvis, dan permukaan tubuh. AIS setiap cedera di catat,
dan cedera yang mempunyai nilai tertinggi di setiap area diutamakan.
1
terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma. (Balogh dkk, 2000;
Chawda dkk, 2004)
1
Percobaan ini menggabungkan pengukuran anatomis dan fisiologis dari keparahan
luka (ISS dan RTS) dan juga usia pasien dalam rangka untuk memperkirakan
keselamatan dari suatu trauma. Dengan mengenali perbedaan antara luka tumpul
dan luka tajam, para peneliti mengembangkan cara yang berbeda untuk setiap
mekanisme.
TRISS memiliki sensitivitas 95%, spesifisitas 96%, dan akurasi 95%.
Okasha yang membandingkan sistem penilaian RTS, ISS dan TRISS
menunjukkan bahwa TRISS memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi paling
tinggi yaitu masing-masing 95%, 96%, 95%, sementara ISS paling rendah yaitu
masing-masing 68%, 70%, 68% dan RTS mempunyai spesifisitas 94% dan
akurasi 92% (Okasha dkk, 2011)
TRISS dengan cepat menjadi metodologi standar untuk menilai outcome.
TRISS dapat digunakan untuk pasien dewasa dan anak-anak. Namun TRISS pun
mendapatkan kritik karena (1) TRISS hanya memprediksi keselamatan dengan
akurasi sedang; (2) terdapatnya masalah yang ditemukan pada ISS (seperti
inhomogenitas, ketidakmampuan dalam menilai luka multipel pada regio tubuh
yang sama); (3) tidak adanya informasi yang berhubungan dengan kondisi yang
sudah ada sebelumnya (seperti penyakit jantung, PPOK, sirosis); (4) mirip dengan
RTS, TRISS tidak dapat menilai pasien yang terintubasi dan menggunakan
ventilasi mekanik karena laju nafas dan respon verbal tidak bisa didapatkan; dan
(5) metode ini tidak memasukkan penilaian untuk pasien trauma multiple
sehingga membandingkan antara tiap trauma senter menjadi cukup sulit.
1
sosial pasien pasca cedera kepala dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan
defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara
umum, dimana juga mampu menilai prognosis pasca koma traumatik ataupun
non-traumatik (Bullock, 2011; Narayan et al, 2007; Jennet, 2014).
Pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera
kepala di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf, diputuskan bahwa
penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan pasca trauma
(Jennet, 2014).
Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori: (Jennet, 2014)
1
4. Persistent Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu
menuruti perintah ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering
ditemukan grasping reflek, withdrawal sebagai pencerminan menuruti
perintah, mengerang, menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai
bukti proses kembali berbicara.
5. Meninggal dunia (death) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah
dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan
penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu
distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati
(PVS, Death) dan penilaian ekstensi (GOS Extended).
GOS-E adalah suatu skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang
dipakai untuk menyatakan prognosis, dinilai 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah cedera
kepala, yang terdiri dari 8 kategori (Wilson et al, 1998).
1. Death: meninggal.
4. Upper severe disability: dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8 jam
sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi
berbelanja tanpa ditemani orang lain.
1
8. Upper good recovery: dapat kembali pada kehidupan normal tanpa ada
masalah yang berhubungan dengan cedera kepala yang mempengaruhi
kehidupan sehari-hari.
1
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi dan
Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi dan
Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012 2014.
Jakarta: EGC
Bickley, Lynn S. 2008. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Edisi 5.
Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi8. volume 2,
Jakarta:EGC
Suriadi & Yuliana, Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : Sagung seto
Price, SA & Wilson, LM. 2012. Patofisiologis: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke 6.
Jakarta: EGC