Anda di halaman 1dari 2

MERUNTUHKAN DOMINASI YAHUDI

Sebelum hijrah ke Madinah, Abdurrahman bin Auf ra terkenal sebagai sosok sahabat yang kaya raya.
Namun, begitu Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah, seluruh hartanya ditinggalkan
di Makkah. Akibatnya, ia harus siap memulai hidup baru dengan apa adanya.

Sehari di Madinah, ia langsung mengunjungi pasar untuk melakukan penjajakan. Ia sadar, nyatanya
perekonomian Madinah sejak lama dikuasai kalangan Yahudi. Pasalnya, sebagian besar orang Arab
Madinah tidak begitu menguasai dunia perniagaan. Ekonomi mereka tergolong lemah. Rata-rata mata
pencahariannya hanya sebagai kuli pasar atau buruh di kebun kurma.
Kondisi tersebut dimanfaatkan kaum Yahudi Bani Quraizhah. Segala cara mereka lakukan untuk
mengangkangi perekonomian warga Madinah. Korban yang paling dirugikan tentu saja warga pribumi
yang kini telah menjadi kaum muslimin Anshor. Orang-orang Yahudi biasanya membeli barang dagangan
dari umat Islam itu semurah mungkin lalu menjualnya kembali dengan harga setinggi langit.

Tak hanya itu. Mereka pun melakukan penimbunan barang secara besar-besaran. Sedang dalam utang
piutang, mereka tak segan-segan menjadi rentenir yang sangat kejam. Kaum dhu’afa benar-benar tercekik.
Jangankan untuk memperbaiki taraf kehidupan, melunasi cicilan harian saja membuat mereka benar-benar
kelimpungan.

Suatu ketika, Abdurrahman melihat seorang muslimah setengah baya di depan kios milik Yahudi.
Tampaknya wanita itu berniat meminjam uang dengan jaminan barang. Namun, karena ia tidak
menyanggupi untuk membayar bunga pinjaman yang sangat tinggi, Yahudi itu mengusirnya tanpa sedikit
pun basa-basi.

Keesokan harinya, di tempat yang sama Abdurrahman melihat seorang pemuda Anshar menawarkan
sekarung bulu domba yang telah dipintal. Bulu domba tersebut ditawar Yahudi dengan harga yang sangat
murah, yaitu lima dinar. Ketika pemuda itu meminta agar harganya ditambah sedikit lagi, Yahudi itu malah
menghardik dengan kasar. Menyaksikan pemandangan yang tak mengenakkan itu, Abdurrahman segera
mengingatkan Yahudi agar tak berlaku sewenang-wenang. Ia merogoh sakunya untuk membeli bulu domba
tersebut dangan harga sepuluh dinar. Setelah itu ia menjualnya kembali seharga dua belas dinar.

Hampir setiap hari Abdurrahman mengelilingi pasar Madinah. Kedua bola matanya penuh dengan
pemandangan yang sangat mengenaskan. Ia tidak rela membiarkan saudara-saudaranya selamanya
tertindas. Dominasi Yahudi harus diruntuhkan.

Karena itu Abdurrahman dengan sungguh-sungguh menceburkan dirinya dalam pusaran perdagangan di
Madinah. Pengalamannya sebagai saudagar Makkah yang sukses merupakan modal yang sangat berharga.
Dia tampil sebagai figur kejujuran di tengah kecurangan dan kelicikan Yahudi. Tentu saja, warga Madinah
berbondong-bondong melakukan transaksi dengannya. Keuntungan yang diraihnya pun berlipat ganda.

Dalam waktu singkat, ia kembali menjadi seorang sahabat Rasulullah saw yang kaya raya. Pasar yang
sebelumnya dikuasai orang-orang Yahudi kini telah ada dalam genggamannya. Untuk mencukupi
kebutuhan pasar, ia mengimpor berbagai macam jenis barang dagangan dari Yaman dan Syam. Kemudian
ia menjualnya kepada warga Madinah dengan harga yang relatif murah.

Kesuksesan Abdurrahman tersiar ke seluruh pelosok Madinah. Kian hari pertumbuhan bisnisnya makin
pesat dengan keuntungan yang luar biasa. Sebagian besar keuntungan itu ia salurkan untuk mendanai
kepentingan dakwah. Tak sedikit para mujahid yang hendak berlaga ke medan jihad dia penuhi
perbekalannnya.

Kisah Abdurrahman bin Auf sangat menarik untuk dikaji. Di tengah mengguritanya kapitalisme dunia yang
dikendalikan Yahudi, tertancaplah mitos bahwa dominasi ekonomi bangsa penindas itu mustahil
tergoyahkan, apalagi diruntuhkan. Para pemimpin negara muslim seakan putus harapan untuk melepaskan
diri dari belenggu utang yang kian menggunung. Alih-alih membangun kemandirian, malah makin
melanggengkan keterjajahan.
Akhirnya, bak kerbau dicucuk hidung. Segala langkah dan kebijakan mereka senantiasa didikte oleh
ancaman atau iming-iming utang. Meski para penindas itu melancarkan kesewenang-wenangan, mereka
tabu melontarkan kecaman, apalagi kutukan.

Arogansi Yahudi di segala lini tak boleh kita langgengkan. Bagaimanapun sistem ribawi itu adalah senjata
mereka untuk terus mengangkangi dunia. Khususnya umat Islam. Umat Islam harus berani melakukan
perlawanan dengan membangun kemandirian. Yakinlah sistem batil itu akan runtuh, ketika ekonomi
keumatan bisa kita tegakkan.

Ini bukan mimpi atau utopia. Paling tidak, merujuk pada sejarah, para sahabat Rasulullah saw di Madinah
yang dipelopori Abdurrahman bin Auf ra pada kisah di atas telah membuktikannya. Kekuatan ekonomi
Islam yang mereka bangun mampu meluluhlantakkan gurita ekonomi Yahudi saat itu.
Pada dasarnya perekonomian Yahudi sepanjang sejarah sama-saja, bertumpu pada sistem ribawi. Mereka
menghalalkan segala cara, untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Tak peduli orang lain menggelepar
sebagai korbannya. Sistem yang eksploitatif ini sesungguhnya sangat rapuh karena tak diletakkan atas dasar
persamaan dan keadilan. Sebaliknya sangat rentan menimbulkan kesenjangan, kecemburuan, dan
permusuhan.
Akibatnya, alih-alih memberikan jaminan kepuasan, malah lebih memakan korban. Hanya segelintir orang
tersenyum meraup keuntungan. Kalaulah para korban ini berani melakukan perlawanan, maka dengan
sendirinya mereka akan kelimpungan. Tak ada lagi darah segar yang bisa dihisap para ‘vampire’ yang
senantiasa menyandarkan hidupnya dari penderitaan orang.

Bagaimana bentuk perlawanan yang bisa dilakukan? Tegakkan sistem ekonomi Islam yang mengedepankan
asas keadilan dan keumatan. Prinsip anta raadhin (saling memuaskan dan menguntungkan) dan ta’aawun
seperti yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf harus benar-benar ditegakkan. Para pebisnis muslim
harus membuang jauh-jauh hasrat kaum kapitalis yang semata-mata mengejar keuntungan, tanpa
memperhatikan rambu-rambu moral dan dampak sosial yang ditimbulkannya.

Jika semua langkah bisnis kaum muslimin berani mengedepankan nilai-nilai yang Islami, maka simpati
pasar dengan sendirinya akan terus menguat. Terlebih mereka yang sebelumnya menjadi korban kezaliman
kapitalisme. Walhasil, kesuksesan Abdurrahman bin Auf menguasai pasar Madinah tak akan sekadar
manjadi bacaan sejarah. Tapi, menjadi kenyataan yang bisa menjadi solusi bagi keterpurukan ekonomi
yang makin parah sembari meretas jalan menuju bangsa merdeka yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai