Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir disebutkan bahwa para
sahabat Nabi saw pada waktu itu banyak yang mengikuti peperangan yang
diadakan oleh Rasulullah saw dengan melupakan nafkah. Ada kalanya mereka
melupakan keperluannya sendiri, dan kadang terlupakan soal nafkah keluarga.
Oleh sebab itu Allah swt memerintahkan agar mereka menafkahkan harta
kekayaannya untuk diri sendiri dan untuk keluarganya, jangan sampai
terjerumus ke jurang kelalaian.
Ayat ini memberi ketegasan kepada ummat Islam agar kembali pada posisi
yang seimbang. Ummat islam harus berada dalam mizan, timbangan yang adil
dalam semua aspek kehidupan. Itulah prinsip Islam yang harus dipegang teguh
oleh ummatnya dengan penuh kebijaksanaan.
Dalam kaitan ini kita perlu mengamati bagaimana Allah Rabbul 'Alamin
mengatur dan mentarbiyah jagat raya ini. Jika diamati, jagat raya ini telah
memiliki keseimbangan yang sempurna, misalnya ada siang dan malam, gelap
dan terang, panas dan dingin, laut dan daratan. Semua tertata secara rapi.
Tidak mungkin satu dengan yang lain saling melampaui. Itulah keseimbangan
yang telah diciptakan Tuhan. Karena keseimbangan itu pula matahari, bintang,
bulan, dan gugusan tata surya lainnya tidak saling bertabrakan. Semua
beredar pada garis edarnya masing-masing.
"Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah
sesuatu yang tidak seimbang." (QS. Al-Mulk: 3)
Begitulah cara Allah mentarbiyah alam raya ini, sebagaimana juga mendidik
seluruh benda-benda hidup, termasuk manusia. Manusia dalam kapasitasnya
sebagai benda material tunduk pada prinsip keseimbangan ini. Jika tidak,
maka yang terjadi adalah kerusakan yang parah sekali.
Jika manusia dalam kapasitasnya sebagai benda material saja sudah harus
mengikuti prinsip tawadzun atau keseimbangan, apalagi dalam kapasitasnya
sebagai makhluq spritual. Di sini prinsip tawadzun dan ta'adul (keseimbangan
dan keadilan) menjadi lebih penting lagi.
Salah satu contoh adalah dalam hal pemikiran dan perasaan. Bila kedua
instrumen spiritual ini tidak seimbang, misalnya, pemikirannya saja yang maju,
atau perasaannya saja yang menonjol, maka yang akan terjadi adalah berbagai
penyakit jiwa. Terlalu menonjolnya perasaan misalnya, membuat orang jadi
ke-kanak-kanakan. Sebaliknya jika daya pikirnya saja yang dikembangkan
sementara perasaannya diendapkan, maka orang menjadi kacau. Ia tidak
mempunyai keseimbangan emosional.
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluq yang alamiah. Mereka terdiri
dari segenggam tanah dan ruh Ilahiyah. Dalam diri manusia terdapat unsur
duniawi yang tercermin dalam jasad, dan unsur samawi yang tercermin dari
unsur ruh Ilahi. Allah berfirman,
Dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia ini bukan penjara, bukan pula
beban yang berat. Kehidupan menurut Islam adalah suatu kenikmatan yang
perlu disyukuri dan ladang bagi kehidupan lain yang lebih abadi.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan
kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."
(QS. Al-Maa-idah: 87-88)
Allah swt sangat lugas dalam membimbing ummatnya agar mentaati azas
keseimbangan ini. Ayat-ayat yang mengemukakan masalah ini cukup banyak
dengan berbagai sasaran dan berbagai redaksi. Intinya sama, agar manusia
tidak terjebak pada ekstrimitas dalam bidang-bidang tertentu. Simaklah
firman Allah berikut,
"Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu akan kenikmatan
dunia serta berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash: 77)
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi hampir di seluruh negara
Islam. Tak salah jika negara-negara Islam dikelompokkan dalam negara yang
sedang berkembang, jika tidak mau disebut sebagai negara terbelakang.
Allah telah menganugerahkan kekayaan yang luar biasa kepada ummat Islam.
Negara-negara yang dihuni kaum muslimin rata-rata kaya kandungan alam.
Akan tetapi kekayaan alam itu menjadi tidak berarti karena mereka tak
sanggup mengelolanya dengan kemampuan teknologi. Akibatnya kekayaan alam
itu dikeruk untuk kepentingan negara-negara yang sudah maju.
Jika diamati, lahan pertanian dunia Islam cukup menakjubkan, yakni tidak
kurang dari 40 juta kilometer persegi. Akan tetapi luas lahan yang luar biasa
itu baru bisa dimanfaatkan 11 persennya saja. Akibatnya masih banyak
negara-negara Islam yang belum mampu berswasembada pangan.
Dalam sebuah statistik juga disebutkan bahwa dunia Islam memiliki lahan
kering cukup luas, yaitu seperempat lahan kering dunia. Tapi hasil
peternakannya hanya 10,8 persen saja. Demikian juga dalam penguasaan
kawasan perairan, dunia Islam menguasai wilayah yang sangat luas sekali.
Akan tetapi sumbangannya tidak lebih dari 6 persen produksi ikan dunia.
Dalam dunia perdagangan apalagi. Jumlah ummat Islam yang telah mencapai
lebih 1 miliar --alias seperempat jumlah penduduk dunia-- ternyata baru
memiliki andil 1% dari hiruk-pikuk perdagangan dunia. Jangankan mencapai
angka ideal 25$, sedang bertahan pada 1 persen itupun sulit.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, misalnya dalam dunia industri, maka dunia
Islam jauh lebih tertinggal lagi. Tentu saja kondisi ini sangat memprihatinkan.
Adalah tugas kita semua untuk bangkit kembali dalam mengurus ekonomi
sebagaimana sahabat Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Dalam
waktu yang sangat singkat mereka dapat merebut pasar Yahudi. Padahal
Yahudi telah berabad-abad menguasai perekonomian warga Madinah. Dengan
spirit Islam kedua sahabat itu berdagang, dan menang.