UNIVERSITAS AIRLANGGA
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan total kurang lebih 17000 pulau tersebar
dari tanah Aceh sampai tanah Papua, dari ujung Halmahera hingga ujung Nusa Tenggara. Maka
tak heran jika jumlah populasi di Indonesia mencapai kisaran angka 250.000.000 penduduk.
Dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia maka jelas dibutuhkan adanya fasilitas
kesehatan yang memadai mulai dari pelayanan kesehatan hingga tenaga medis guna mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sehat. Salah satu program fasilitas kesehatan yang digalakkan oleh
pemerintah adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.
Menanggapi masalah lonjakkan tarif iuran BPJS Kesehatan, banyak masyarakat yang
kontra terhadap berita tersebut. Kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan dirasa melonjak terlalu
drastis hingga dua kali lipat dari tarif semula. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat merasa
dirugikan dan memilih untuk beralih fasilitas kesehatan ke swasta. Beban yang dibayarkan akan
lebih terasa terutama pada keluarga yang seluruh anggotanya memiliki BPJS Kesehatan. Jika
dalam satu keluarga terdapat ayah, ibu, dan dua anaknya dan mereka terdaftar dalam program
BPJS Kesehatan kelas 2 maka mereka harus merogoh kocek sebesar Rp 440.000,00 per
bulannya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani bermaksud dengan iuran BPJS yang dinaikkan ini bisa
menutupi defisit keuangan BPJS yang terus terjadi setiap tahunnya. Pada 2014 Rp1,9 triliun,
kemudian naik pada 2015 jadi Rp9,4 triliun. Pada 2016 mengalami penurunan menajdi Rp6,4
triliun. Sayangnya harus kemabali naik lagi di tahun 2017 menjadi Rp13,8 triliun. Naik lagi pada
2018 mencapai Rp19,4 triliun dan tahun ini berpotensi naik tajam menjadi Rp32,8 triliun.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah selesai melakukan audit
sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pihaknya mengungkapkan ada beberapa
penyebabnya dari permasalah terjadinya deficit pada BPJS Kesehatan, di antaranya:
1. Rumah Sakit Bersikap Curang
Belum lama ini BPKP menemukan tak sedikit rumah sakit rujukan BPJS Kesehatan yang
melakukan kecurangan dalam data kategori tersebut demi mendapatkan per unit pasien
lebih besar dari penggantian BPJS Kesehatan. Misal, yang awalnya termasuk kategori B
tapi saat pelaporan jadi A. Selain rumah sakit, nyatanya banyak perusahan juga yang
melakukan tindakan kecurangan. Aturan sebenarnya, setiap perusahaan harus
membayarkan iuran BPJS Kesehatan setiap karyawannya sebesar 4% dari 5% dari gaji
pokok karyawan sehingga membuat iuran BPJS Kesehatan yang ditanggung perusahaan
akan besar.
Pada umumnya perusahaa jasa akan melengkapi pelayanan yang layak untuk menunjang
sejumlah konsumen. Jadi, hal yang dilakukan perusahaan akan mengetahui total
keseluruhan konsumen terlebih dahulu, kemudian barulah perusahaan tersebut
mempertimbangkan berapa banyak pelayanan lagi yang harus ditambah. Hal ini
berbanding terbalik dengan BPJS Kesehatan. Pihak BPJS memiliki palayanan yang
banyak padahal total peserta hanya sedikit. Pada data terlihat jumlah peserta 223,3 juta
orang, sedangkan pelayanannya sejumlah 233, 9 juta.
3. Banyak Peserta yang Menunggak
BPKP juga mengungkapkan hingga saat ini banyak peserta BPJS Kesehatan yang
menunggak iurannya yang saat ini berjumlah 15 juta peserta. Kebnyakan dari mereka
adalah peserta mandiri yang menderita penyakit berbiaya yang cukup besar. Setelah
memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan dalam pengobatannya, mereka tak melanjutkan
bayar iurannya per bulannya lagi.
Dengan demikian, maka sudah selayaknya pemerintah mengevaluasi dan mengkaji ulang
operasional dari program BPJS Kesehatan. Pemerintah perlu menimbang-nimbang kembali
dalam menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan. Memang sudah saatnya iuran tersebut dinaikkan
namun perlu diperhatikkan kembali pautan selisih antara tarif lama dengan tarif baru agar
masyarakat tidak merasa begitu berat.
DAFTAR PUSTAKA
http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/922
https://journal.ugm.ac.id/jkn/article/download/26388/18795