Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Pernikahan Beda Agama”


Kelompok 1
Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Dr. H. Asis Saefudin, M.Si
Hamdan Hambali, M.Ag

Disusun oleh:
Adilla Fadhlatul 1172020010
Agus Nurdiana 1172020014
Ahmad Febi 1172020017
Ahmad Saroni 1172020019

Kelas: PAI-A/Smt. VI

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS


TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang di berikan oleh dosen pengampuh
dalam mata kuliah Fiqih Muamalah-Jinayah. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
limpahkan kepada kekasih-Nya Allah, pemimpin paling mulia, manusia yang paling baik
akhlaknya yaitu Nabi Muhammad SAW. Kepada keluarganya, para sahabat serta pengikutnya
yang setia hingga akhir zaman. Amin
Adapun Makalah yang kami buat ini berjudul “Pernikahan Beda Agama” yang dimana
menjelaskan tentang Pernikahan Beda Agama , Yang Insya Allah pada nantinya akan
memberikan pemahaman serta wawasan kepada pembaca tentang hal-hal yang berkaitan dengan
Pernikahan Beda Agama
Akhir kata, kami berharap semoga makalah yang kami susun ini mampu memberikan
manfaat bagi kami dan bagi para pembaca. Dan berhubung makalah ini masih jauh dari kata
sempurna maka kami meminta kritik dan saran yang konstruktif terhadap segala kekurangan
yang terdapat pada makalah ini, sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk lebih baik di masa
yang akan datang,

Bandung, Maret 2020

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................. ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................................3
A. Pengertian Pernikahan..................................................................................................................3
B. Pengertian Pernikahan Beda gama..............................................................................................4
C. Jenis-Jenis Pernikahan Beda Agama Menurut Islam.................................................................4
1. Pernikahan dengan Ahli Kitab (Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab)....................4
2. Pernikahan dengan orang Musyrik (wanita atau laki-laki)...........................................................9
3. Pernikahan dengan ahl kitab (laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah)......................10
D. Problema Dalam Pernikahan Agama........................................................................................12
1. Memudarnya Kehidupan Rumah Tangga..................................................................................12
2. Tujuan Berumah Tangga Tidak Tercapai...................................................................................12
3. Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar...................................................................13
4. Berebut Pengaruh......................................................................................................................13
BAB III....................................................................................................................................................15
PENUTUP...............................................................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Pernikahan dalam
agama Islam pun merupakan sunatullah. Dalam sejarah umat manusia, baik manusia primitif
maupun manusia modern mengakui adanya institusi perkawinan ini, meskipun dengan cara
berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit
masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas
yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang
hubungan seksual diluar perkawinan.
Pernikahan dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang
secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling
mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami istri, hal ini sebagaimana maksud dari
makna (QS. al-Rum : 21). Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan oleh
seorang suami dan istri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan
hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh
cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya
terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan rahmah. Menurut pandangan Islam juga, tujuan perkawinan atau pernikahan
tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu
keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama
keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja
dalam masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi
keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut.
Maka dari itu kami selaku penulis berusaha menguraikan dan membahas mengenai
Pernikahan Beda Agama.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami membuat makalah ini dengan perumusan pembahasan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian pernikahan menurut Islam?
1
2. Bagaimana pengertian pernikahan beda agama?
3. Apa saja jenis-jenis pernikahan beda agama menurut Islam?
4. Apa saja problem pernikahan beda agama?

C. Tujuan
Adapun penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui pernikahan menurut Islam;
2. Untuk mengetahui pengertian pernikahan beda agama;
3. Untuk mengetahui jenis-jenis pernikahan beda agama menurut Islam
4. Untuk mengetahui problem pernikahan beda agama

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Menurut Amir Syarifuddin yang di kutib oleh Mardani (2011: 4) bahwa secara
etimologis, perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang
terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan
hadits Nabi. Kata Al-Nikah menurut Al-Imam Taqiyudin yang juga dikutip oleh Mardani
mempunyai arti Al-Wath’I, Al-Dhommu, Al-Tadakhul, Al-Jam’u atau ibarat ‘An Al-Wath wa Al-
Aqd yag berarti bersetubuh, berhubungan badan, berkumpul, jima’ dan akad.
Pendapat di atas hampir serupa dengan, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata
“nikah” sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi);
(2) perkawinan. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut. Kata ini dalam berbagai
bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa kata nikah digunakan dalam arti
“berhimpun”. Al-Qur’an juga menggunakan kata zawwaja dari kata zauwj yang berarti
“pasangan” untuk makna dari pernikahan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki
pasangan. Kata tersebut dalam Al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak
kurang dari 80 kali. (Shihab, 2013: 253)
Menurut Muhammad Abu Ishrah yang masih dikutip oleh Mardani (2011: 4) bahwa
definisi nikah menurut ulama muta’akhirin ialah akad yang memberikan faedah hukum
kebolehan mengadakan hubungan suami istri antara pria dan wanita dan mengadakan tolog-
menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing.
Menurut Rasyid (2012: 374) berpendapat bahwa pernikahan adalah akad yang
menghalalkan hubungan biologis dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mahram.
Kemudian menurut Sahrani (2009: 8) dalam bukunya menyatakan bahwa pernikahan
merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia,
hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai
jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Dari beberapa pengertan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian
pernikahan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan hubungan
antara keduanya menjadi halal setelah adanya akad.

3
Pengertian Pernikahan Beda gama B.
Menurut Imam Mustofa (2013:159) Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang terjadi antara
seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan seseorang non-Muslim, baik yang
dikategorikan sebagai orang musyrik ataupun ahli kitab. Masalah ini selalu menjadi bahan
-perdebatan dikalangan ulama, karena terdapat perbedaan perspektif dalam memahami ayat

.ayat atau teks -teks agama yang melarangnya

Jenis-Jenis Pernikahan Beda Agama Menurut Islam .C


Pernikahan dengan Ahli Kitab (Laki-Laki Muslim dengan Perempuan .1
Ahli Kitab)
Menurut Ramulyo (1996: 35) Pernikahan antar agama itu tidak diperbolehkan karena sudah
.jelas ada larangannya dalam Al-Qur’an yang menjadi pedoman umat Islam. Dan Allah swt
:berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 221
َ ِ ِ ْ ِ َ ۗ َُْ ْ َ َ ِ ْ ْ ِ َ َ ِ ْ ِ َ
‫ُ تنكحوا املْشكيا َّحتا يؤمنواۚ ولعبدا‬ ‫شاكات َّحتا يؤمناۚ َوملةا مؤمنةا خَيا منا مَْشكةا ولواْأعبتاك وال‬‫والنتكحوا امل‬ َِ
ََْ ُُْ ‫َ َى‬ ِ ُُ َْ َْ َْ ِ ُْ َُْ َ َ َ ُْ ‫َ ى‬ ِ ُ ُ ْ َ
ِ َ‫اجلَنةا واملِِِْغفرة ِابذانۖه ويبيا ََأيهتا لل‬ ِِْ ِِ ِْ ْ َ‫الَنارِ ا ۖ و ّالاَُل َيدُ عو الا‬ ْ َ
‫ناسا‬ ُّ ِ ُ ْ ‫ئاك َيدَُعواَْن الا‬ ََُِ ‫ْأعباك ۗ أول‬
ُْ ََ ‫ُ م ِْشاك ولوا‬ ِ‫ُ مْْؤمنا خَيا مْنا‬ ِ
ََ ََ
ََ ِ َ َ َ ِ َ ِ َٰ َ َْ
‫يتذكروان‬ ‫لعلهُام‬
َ ُ ََ ْ َ

:Artinya

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya “
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-
Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
:Dalam kaitan ini, ditinjau dari Asbab Nuzul dari ayat diatas yaitu

a. Ibnu Abi Murtsid Al-Chanawi memohon izin kepada Rasulullah Saw. Supaya mendapat izin untuk
menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan amat terpandang. Rasulullah tidak serta
menjawab pertanyaan tersebut walaupun telah dua kali ditanya. Kemudian turunlah ayat ini

4
sesudah Rasulullah memohon doa kepada Allah, isi ayat ini yaitu melarang laki-laki muslim
menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim menikahi laki-laki musyrik. b.
Abdullah bin Rawahaih memiliki perempuan hamba sahaya (budak) yang hitam. Pada waktu itu,
ia marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu
menceritakan kepada Nabi Muhammad dan bertekad akan menebus penyesalan itu dengan
menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejek tindakan
Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau melaksanakannya. Maka turunlah ayat ini
sebagai penjawab atas masalahnya.
Sepertinya pendapat Ramulyo ini berdasarkan pendapat yang beliau ambil dari riwayat
sahabat Nabi, Ibnu Umar yang mengatakan bahwa “saya tidak mengetahui kemusyrikan yang
lebih besar daripada kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa Al
Masih atau salah satu dari hamba Allah”
Yang ternyata pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat dan ulama. Mereka
berpegang kepada teks ayat yang memperbolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan
bahwa walaupun akidah ketuhanan ajaran Yahudi dan Nasrani tidak sepenuhnya sama dengan
akidah Islam, tetapi Al-Qur’an tidak menamai mereka sebagai orang-orang yang musyrik.
(Shihab, 2013: 260)
Malahan Uwaidah (2009: 410) berpendapat bahwa hadits diatas berstatus mauquf pada
Ibnu Umar dan bertolak belakang dengan apa yang dibenarkan al-Qur’an dan hadits sahih yang
membolehkan seorang laki-laki menikah dengan ahl kitab. Artinya ucapan atau pendapat
seseorang tidak dapat dijadikan dalil (argumentasi) dalam penetapan hukum syara’.
Ulama terkenama Ibn Hazm pernah mengatakan: “seandainya tidak ada dalil lain kecuali
ayat ini -Al-Baqarah:221-, niscaya ucapan Ibnu Umar dapat dijadikan sebagai pegangan. Akan
tetapi kita juga mendapatkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5. Yang menjadi
keharusan ialah berpegang kepada kedua ayat tersebut dan tidak dari salah satu dari dua ayat
tersebut.” (Uwaidah, 2009: 410)
Menanggapi ucapan Ibnu Umar, Al-Qurhtubi mengatakan: “ucapan tersebut diluar pendapat
jamaah yang berlandaskan pada argumen yang kuat. Diantaranya ialah Utsman bin Affan, Thalhah
bin Ubaidillah, Ibnu Abbas, Jabir dan Hudzaifah. Karena mereka telah menyatakan telah
dihalalkannya menikahi wanita ahlul kitab secara keseluruhan, sedangkan dari kalangan tabi’in
seperti Said Musayyab, Said bin Jubair, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Dhahak dan para

5
fuqaha Mesir menyatakan bahwa tidak ada pertentangan kepada kedua ayat diatas, maka zhahir
dari kata “syirik” tidak mencakup ahli kitab. Sebagaimana firman Allah Al-Bayyinah ayat 1.
Berdasarkan lafadz diatas terdapat pemisahan antara musyrik dan ahli kitab. Utsman bin Affan
pun pernah menikahi Na’ilah binti Farafadhah Al-Kalibiyah yang beragama nasrani lalu Na’ilah
beragam Islam. Hudzaifah pun menikahi wanita Nasrani penduduk Madinah..(Uwaidah, 2009:
411)
Mengenai surat Al-Bayyinah ayat 1 ini, Shihab (2013: 261) menyatakan bahwa orang
kafir itu dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni ahlul kitab dan musyrik. Perbedaan ini
dipahami dari kata “wa” yang diterjemahkan “dan”, yang oleh pakar bahasa dinyatakan sebagai
mengandung sebuah makna “menghimpun dua hal yang berbeda”
Al-Qardawi (2007: 261) menyebutkan dalam hal ini adalah untuk menyesuaikan dengan
pandangan dan perlakuan khusus Al-Qur’an terhadap mereka, di samping karena status mereka –
ahli kitab- sebagai pemeluk agama samawi (wahyu), meskipun telah terjadi penyimpangan dan
pengubahan di dalam kitab sucinya. Sebagaimana Al-Qur’an memperbolehkan kita
mengkonsumsi makanan mereka, ia juga memperbolehkan perbesanan melalui perkawinan
antara lelaki muslim dengan perempuan mereka.
Untuk menguatkan argumennya, Quraish Shihab menyuarakan pendapat dari Syaikh
Mahmud Syaltut yang berpendapat bahwa seorang laki-laki diperbolehkan mengawini non-
muslimah yang ahli kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme,
sehingga terkikis dari hati sang istri rasa tidak senangnya terhadap agama islam. Dan dengan
perlakuan suaminya yang baik, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan islam
secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dampak baik dari perbuatan itu. (Shihab, 2013:
263)
Hal ini pun merupakan salah satu wujud toleransi Islam yang tiada bandingnya dengan
agama dan millah mana pun. Meskipun Al-Qur’an menyebut alhi kitab sebagai orang kafir dan
sesat, ia tetap memperbolehkan seorang muslim menjadikan perempuan ahli kitab sebagai isteri
dan ratu dalam rumah tangganya, penenang hati, tempat menyimpan rahasia dan ibu bagi anak-
anaknya, betapapun perempuan itu tetap berada pada keyakinannya. (Qardawi, 2007: 263)
Kemudian, Mahmud Syaltut melanjutkan (Shihab, 2013: 263) jika seorang muslim khawatir
akan aqidah anak-anaknya dengan keberadaan dan arahan sang isteri, ia harus berfikir untuk
mengamankan agamanya dan menjauhi bahaya itu terlebih dahulu. Dan jika dari sang suami

6
tidak dapat melakukan hal itu ataupun tidak tercipta hal yang demikian, maka ulama sepakat
untuk tidak membenarkan perkawinan itu.
Lain hal lagi apabila jumlah kaum muslimin di suatu negeri sedikit, seperti imigran
misalnya, pendapat yang kuat dalam hal ini adalah haram bagi kaum lelaki menikah dengan
perempuan non-muslim. Karena perkawinan mereka dengan perempuan nonmuslim dalam kasus
ini –sementara yang muslimah haram menikah dengan laki-laki nonmuslim- berarti tidak
memberi peluang kepada gadis-gadis kaum muslimin, atau menjadikan mereka yang jumlahnya
tidak sedikit diantara kaum muslimn diantara kaum imigran itu, makin tersia-siakan. Karenanya,
ia jelas mendatangkan bencana bagi masyarakat muslim. Bencana ini dapat dihindarkan dengan
membatasi sesuatu yang hukumnya diperbolehkan dengan menundanya hingga suatu saat nanti.
(Qardhawi, 2007: 263).
Setelah kita meyakini bahwa seorang ahlul kitab dapat menikah dengan seorang muslim,
masalah selanjutnya ialah siapa saja ahlul kitab yang dimaksud oleh Al-Qur’an itu dan siapa saja
yang tergolong orang musyrik.


Ahl Kitab Menurut Pandangan Para Ulama
Ulama sepakat bahwa kata ahl kitab menunjuk kepada dua komunitas penganut agama
samawi sebelum islam yaitu Yahudi dan Nasrani. Begitu pun ketika di zaman Rasul. Lain halnya
ketika zaman Rasul menyebut orang-orang majusi, mereka tidak menyebutnya dengan ahli kitab.
Tetapi ketika pada masa Tabi’in, batasan mengenai ahl kitab ini mengalami perkembangan.
(Mardani, 2011: 82)
Al-Maududi, seorang ulama Kontemporer asal Pakistan ini (Shihab, 2013:483) telah
menulis perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai cakupan makna ahl kitab, diantaranya
ialah:
a. Imam Syafi’i, yang memahami istilah ahl kitab sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani
keturunan orang-orang Israel, sehingga orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani yang
bukan berasal dari bangsa Israel menurutnya bukanlah ahl kitab. Beliau beralasan karena Nabi
Musa dan Isa hanya diutus kepada bangsa Israel dan bukan kepada bangsa yang lain. Namun
yang dikatakan seorang ahl kitab menurut madzhab ini yaitu seorang ahl kitab yang lahir
sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dan sebelum diturunkannya Al-Quran.

7
Adapun sebaliknya, jika seseorang terlahir sesudah turunnya Al-Quran dan Rasulullah tidak
dikatakan ahl kitab.
b. Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar hukum, mereka berbeda pendapat dengan Imam
Syafi’i. karena menurut mereka siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab
yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl kitab. Dengan demikian, ahl kitab tidak
terbatas pada penganut agama Yahudi dan Nasrani. Bahkan seorang yang mempercayai Nabi
Ibrahim a.s beserta suhufnya dan percaya kepada Nabi Musa a.s beserta kitab Zaburnya,
maka dkatakan seorang ahl kitab.
c. Adapun pendapat ketiga yang dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang
menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci
(samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl kitab, seperti halnya orang-orang
majusi. Pendapat terakhir ini menurut Al-Maududi, diperluas lagi oleh pakar mujtahid
kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Hindu dan Budha.

Bahkan ulama besar seperti Muhammad Rasyid Ridha (Shihab: 484) yang telah merinci
dan menilai panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan
tabi’in, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat
ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwa sebagai berikut: “kesimpulan fatwa ini adalah
bahwa laki-laki muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita
musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah
pilihan yang dikuatkan noleh Mahaguru para mufassir Ibnu Jarir At-Tabari, dan bahwa
orang-orang majusi, as-sabi’in, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam
mereka seperti orang-orang Jepang adalah ahli kitab yang (kitab mereka) mengandung
ajaran tauhid sampai sekarang”

Dengan begitu banyak perbedaan pendapat antara para ulama mengenai siapa saja ahli kitab
itu, penulis lebih condong dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa pengertian Ahli
kitab ialah semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan pun dan dimana pun dan dari
keturunan siapa pun mereka. Hal ini dipertimbangkan oleh penulis karena adanya unsur kehati-hatian
dalam menetapkan hukum dan juga karena adanya penggunaan Al-Qur’an terhadap istilah ahli kitab
yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan

8
sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang artinya: (kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum Kami, dan
Sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.(QS . Al-An’am [6]: 156)

Pernikahan dengan orang Musyrik (wanita atau laki-laki) .2


Menurut Qardhawi (2007: 260) menyebutkan bahwa perempuan musyrik termasuk
perempuan yang haram dinikahi. Yaitu perempuan yang menyembah berhala seperti kaum
:musyrikin Arab dan sejenisnya. Allah Swt berfirman
َ ِ ِ ْ ِ َ ُْ ْ َ َ ِ ِ َ ِ ْ ِ َ

‫ُ تنكحوا املْشكيا َّحتا يؤمنواۚ ولعبدا‬ َ ‫خَيا منا م‬


‫ْشكةا ولوا َْأعبتاك ۗ وال‬ ْ ‫و َالنتكحوا اَِ ملْشاكات َّحتا يؤمناۚ َوملةا مؤمنةا‬
ََْ ُُْ ‫َِ َ ى‬ ُُ ْ َ َْ َْ ِ ُْ ََُْ َ َ ُْ ‫َ ى‬ ِ ُُ ْ َ
ِ‫للَناسا‬ ِِِ‫ِِ الا اجلَنةا وِِْاملْغفرة ِابذانۖه وي ِبيا ََأيهتا‬ ِْ ْ َ ‫الَنارِ ا ۖ و ّالاَُل َيدُ عو‬ ْ
ُّ ُ ْ ‫ََُِ ئاك َيدُ عَواَْن الا‬ ُْ ََ‫ُ م ِْشَاك ولوا‬
‫ْأعباك ۗ أول‬ ِ‫ِ ُ مْؤمنا خَياْمْنا‬
ََ ََ
َ َ ِ َ َ َ ِ َ ِ َٰ َ َْ
‫يتذكروان‬ ‫لعلهُام‬
َ ُ ََ ْ َ
:Artinya
Dan “ janganlah kamu menikahi wanita-wanita ,musyrik sebelum mereka .beriman

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221)

Ayat diatas menjelaskan bahwa seorang muslim haram menikah dengan perempuan musyrik,
sebagaimana seorang mukminah haram dinikahkan dengan seorang musyrik, karena perbedaan
yang sangat mencolok diantara dua keyakinan itu. Mereka mengajak kepada surga sedang pihak
lain mengajak ke neraka. Pihak pertama beriman kepada Allah, kenabian dan hari akhir,
sedangkan pihak kedua menyekutukan Allah, mengingkari kenabian dan menyangkal
.adanya akhirat. (Qardawi, 2007: 260)
Menurut Ahmad Abd. Madjid (1993:11) berpendapat bahwa hikmah dilarang mengawini
perempuan yang musyrikah yaitu dimaksudkan agar keselamatan, keyakinan agama suami dan
anak-anaknya yang benar-benar dapat terjamin, demikian pula keserasian hidup berumah tangga

9
benar-benar dapat tercapai, tidak ketinggalan masalah pendidikannya bagaimana cara mendidik
.anak yang ayahnya Islam dan ibunya musyrikah

Pernikahan dengan ahl kitab (laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah) .3
Menurut uwaidah (2009: 410) wanita muslimah sama sekali tidak boleh menikah dengan
.laki-laki non muslim. Sesuai dengan Firman surat Al-Baqarah ayat 221
Diharamkan bagi perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim, baik itu
ahli kitab atau yang lainnya. Apapun alasannya, ia tidak diperbolehkan. Berkaitan dengan
:perempuan -perempuan mukminah yang hijrah, Allah Swt berfirman

ََ ِ
ِ ْ ۖ َِ ‫ََْ ۖ ّ اَُل ْأ اُل‬ ِ َ ِ ُُْ َ َِ َ
‫ُ مْؤ َمناات فال‬ ُْT َ
‫علْممتو ُهنَا‬
‫فامت َحُنو ُهنَا ال ع ِ بَمياِننَا فاان‬ ‫اءاك املْؤ َمنا ُاتهمَاجِ راات‬ ‫ََ اي أ ُّه َيا اَّلينَا َُأمنوا اذا َج‬
ِ ُ ِ َ ُ َِ
ْ َ ِ َ ُْ َ َ ُ َ ُ َ ‫لهَُام َ وال ُها ه‬ ُْ َ
ِ‫ترجِ َعوهُناَ الا الكفارا ۖ ال ُهنا حال‬
َ‫َأتيمتوهُنا‬ ُ ‫كحوهُنا اذا‬
َ ُ ‫نت‬ ْ ‫أنفقواۚ وال ََُ َ جناحا علياك أْ َان‬Tَ َْْ ‫لَهُنا ۖ ُوأتوها ما‬ ْ َ َ َِ‫َيلوان‬ ْ َ ِ َُ َ
ُِ ْ َ َ َْ ِ ْ
ِ َ ِ َ ُْ َ ُُ َْ ِ ُْ ُ َُِْٰ َُ َُ ْ َْ ْ َْ َُ َْ ِ َْ َ َِ ِ ُِ ْ ََ َ َ ُ ُ
‫ْ أنفقواۚ ذ لاك حااك ّالاَل ۖ َياك ْبيَناكۚ واّلاَُل َعليا حكيا‬Tََْ ‫ْأنف ُقتا وليَسألوا َما‬Tََْ ‫أجورهن ۚا و ُالمتسكواِبعصام الكوا ِفرا واسألوا َما‬
ُ

:Artinya

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan “


yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka ) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.
Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa
atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana..”(QS. Al -Mumtahanah [60]: 10)

Qardhawi (2007: 263) menjelaskan bahwa tidak ada nash yang mengecualikan ahli kitab
dari hukum ini. Karena itulah, hukum haram ini telah menjadi kesepakatan kaum muslimin. Di
bolehkannya laki-laki muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Nasrani, sementara
perempuan muslimah tidak boleh menikah dengan mereka, tidak lain karena laki-laki adalah 10
pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap isterinya dan bertangungjawab tentang dirinya.
Islam menjamin kebebasan akidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan
melindungi hak-hak dan kehormatannya dengan syariat dan bimbingan-bimbingannya. Akan
tetapi agama lain, seperti yahudi dan Nasrani misalnya, tidak pernah memberikan jaminan
kepada isteri yang berlainan agama, tidak menjamin kebebasan akidah dan hak-haknya.
Bagaimana mungkin Islam harus mengorbankan masa depan anak-anak gadisnya dan
menyerahkan mereka ke tangan orang-orang yang tidak mengindahkan perjanjian dan
perlindungan terhadap agama mereka. Sungguh mustahil jika seorang muslimah tetap memliki
kehormaan aqidah dan perlindugan agamanya jika laki-laki yang menguasainya adalah seorang
yang menentang agamanya dengan segala bentuk pertentangan.
Dari pembahasan ini dapat kita ambil pelajaran bahwa Islam sangat rasional ketika
mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrik dan penyembah berhala.
Karena Islam tidak mengakui kemusyrikan dan keberhalaan, bahkan mengingkarinya dengan
segala bentuk pengingkaran. Karena itu, bagaimana mungkin akan tercipta kedamaian,
ketentraman, cinta dan kasih sayang diantara mereka. (Qardhawi, 2007:265)
Begitu pun dikalangan banyak ulama yang pada saat ini masih berargumen dilarangnya
perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim. Seorang perempuan muslim dilarang
menikah dengan seorang lelaki non-muslim dikarenakan kekhawatiran akan terpengaruh atau
berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya. (Shihab, 2013: 263)
Tetapi baru-baru ini pendapatnya diatas tidaklah semuanya benar, karena setelah ada
salah satu penelitian mengenai masalah ini di Indonesia, bahwa kasus yang melakukan
pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim menghasilkan 50% anak
beragama islam sedangkan perkawinan antara laki-laki non-muslim dan perempuan muslim
menghasilkan 77% sampai 79% anak beragama islam. Kenyataan ini membuktikan bahwa
kemampuan perempuan terutama di Indonesia untuk mengislamkan anak ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki muslim. (Trisnaningsih, 2007: 39)
Berdasarkan data tersebut, kita akan bertanya mengapa fikih untuk sementara ini melarang
perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim. Yang menurut Trisnaningsih (2007:
39) ternyata fikih selama ini masih banyak mengandalkan hal-hal yang berisifat hipotesis,
pengandai-andaian dam gagasan-gagasan yang tidak teruji secara empiris.

11
D. Problema Dalam Pernikahan Agama

1. Memudarnya Kehidupan Rumah Tangga


Kehidupan rumah tangga beda agama semakin hari serasa semakin kering. Pada awal
kehidupan mereka, terutama pada waku masih pacaran, perbedaan itu dianggap sepele, bisa
diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap saja menganga. Ada suatu
kehangatan dan keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang.
Pada saat semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari bukanlah materi,
melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat
oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa.
Semasa masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta mungkin diyakini bisa
mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak berbagai masalah baru akan bermunculan.
Bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian
doa dari anaknya. Mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang
seiman.

2. Tujuan Berumah Tangga Tidak Tercapai


Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan tradisi agama
senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama,termasuk dalam kehidupan rumah
tangga. Merupakan suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa ikut bersama, pada saat
seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau haji.Akan tetapi sebaliknya, merupakan
suatu kesedihan ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja pada saat suami
pergi umroh atau haiji.. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat
berjamaah bersama anak istri.
Demikian juga ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa menjadi perekat batin
kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di
sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, akan merasakan hal yang sama, yakni
merasa indah apabila melakukan kebaktikan di gereja bersanding dengan suami. Namun itu
hanya keinginan belaka.
Setiap agama terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan
secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam

12
keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan
secara kompak oleh seluruh keluarga.
Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan
kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu
indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan
berkeluarga ada yang hilang. Jadi, secara psikologis perkawinan beda agama menyimpan
masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti perkawinan satu agama akan
terbebas dari masalah.

3. Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar


Karakter suami dan istri yang masing-masing berbeda, merupakan suatu keniscayaan.
Misalnya perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang
wajar selama keduanya saling menerima dan saling melengkapi.
Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena
peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya.
Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.

4. Berebut Pengaruh
Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh
anakanaknya. Perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang
serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak, sehingga anak
jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis.
Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya.
Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin
anaknya memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai suami-isteri,
kadang kala menjadi sumber perselisihan.Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh
masing-masing.
Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat
pasangannya akan berpindah agama. Tetapi harapan belum tentu terwujud dan bahkan
perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi masing-masing merasa
kesepian di tengah keluarga.

13
Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah
memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat
berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat penulis simpulkan pernikahan beda agama adalah pernikahan yang dilakukan
seorang yang memeluk agama dan kepercayaan berbeda antar satu dengan yang lainnnya,
sebagai contohnya ialah lelaki muslim dengan wanita non muslim dan lain sebagainya.
Dari penjelasan-penjelasan mengenai pernikahan antar agama, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara ulama mengenai hal ini, adapun pendapat mereka yakni:
1. Umat islam tidak boleh menikah dengan non-muslim, juga tidak boleh menikahi seorang
ahli kitab
2. Umat islam tidak boleh menikah dengan orang musyrik
3. Umat islam (perempuan) tidak boleh menikah dengan laki-laki non-muslim
4. Umat islam (laki-laki) boleh menikah dengan (perempuan) ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)
saja.
Adapun mengenai problema dalam keluarga yang terjadi sesudah adanya pernikahan beda agama
diantaranya:
1. Memudarnya Kehidupan Rumah Tangga
2. Tujuan Berumah Tangga Tidak Tercapai
3. Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar
4. Berebut Pengaruh

15
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (1978). Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Alumni
Ahmad Abd Madjid. 1993. Masail Fiqhiyah. Pasuruan: PT.Garoeda Buana
Indah https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-221 https://tafsirq.com/60-al-
mumtahanah/ayat-10
Imam, Mustofa. (2013). Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual. Jakarta:Raja Wali
Pers Mardani. (2011). Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu Qardawi. (2007).
Halal Haram dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia
Ramulyo. (1996). Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Rasyid, S. (2012). Fikih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Sahrani. (2009). Fikih Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Shihab, Q. (2013). Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan
Trisnaningsih, M. (2007). Relevansi Kepastian Hukum dalam Mengatur Perkawinan Beda
Agama di Indonesia. Bandung: CV. Utomo
Uwaidah, K. M. (2009). Fikih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kausar

16

Anda mungkin juga menyukai