Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

FT.KARDIOPULMONAL

PATOLOGI PARU-PARU

OLEH

NAMA : La Almahdi La Boane


NIM : 201810490311069

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Rrhr
2.

C. Tujuan
1. sfssf
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Fisiologis Sistem Pernafasan


Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina,
bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis,
bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat Lobus,
dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus inferior. Sinistra ada 2
lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo dextra terdapat fissura horizontal
yang membagi lobus superior dan lobus media, sedangkan fissura oblique membagi lobus
media dengan lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus
superior dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis
(luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum
pleura) (Francisco, 2018).
Berikut sitem pernafasan menurut (Francisco, 2018) :
1. Hidung
Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior yang
dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan luarnya
dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi:
epitel berlapis silindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya
ada konka nasalis superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa hidung
umumnya mengandung banyak pleksus pembuluh darah.
2. Alat penghidu
Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet, dengan
lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis sel: sel penyokong, sel
basal dan sel olfaktoris.
3. Sinus paranasal
Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak
yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis,
etmoidalis dan sphenoidalis.
4. Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu dan
menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada saat
bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring, orofaring, dan
laringofaring. Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan
orofaring dan laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki
muskularis mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan
fibroelastis menyatu dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring
dilapisi epitel berlapis gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.
5. Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara
faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus
ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring
pada tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan
epitel bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar.
Fungsi laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan
(epiglotis). Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita
suara (lipat suara). Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu
terdapat mukosa dan lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot
suara ( otot rangka). Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N
Laringealis superior.
6. Trakea
Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh
jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel
bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.
7. Bronchus
Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar ? bronki segmental ? bronki subsegmental. Struktur
bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak
teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang
sama sekali. Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas
lipatan memanjang. Epitel bronkus : kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan
kelenjar submukosa. Lamina propria : serat retikular, elastin, limfosit, sel mast,
eosinofil.
8. Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar
Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak
mengandung sel goblet.
9. Bronchiolus
respiratorius Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru.
Lapisan : epitel kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis
(alveoli).
10. Duktus alveolaris
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.
11. Alveolus
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.
Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong
oleh serat kolagen, dan elastis halus. [9] Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel
alveolar tipe I ), sel alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I)
jumlahnya hanya 10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II)
jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa
alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan
licin, memilki badan berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar.
Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi.
Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa
(fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn.
Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma
sel ini terisi badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel
lainnya.
12. Pleura
Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat elastin,
fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang melekat pada
dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan
pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n. frenikus dan n. interkostal.

B. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat progresif dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas racun yang
berbahaya (GOLD, 2010 ; Robbins et al., 2010).
Pada hakekatnya keluhan-keluhan disebabkan oleh adanya hipersekresi mucus dan
sesak, maka penderita mengeluh terutama pada batuk dan dahak serta mengeluh sesak
napas. Bila tidak disertai infeksi sekunder, dahak akan berwarna keputih-putihan yang
mungkin sampai kelabu (karena partikel-partikel debu bila ada polusi udara). Pada
stadium dini, keluhan sesak napas dirasakan jika sedang melakukan pekerjaan fisik ekstra
(dyspnoe d’effort) yang masih dapat ditoleransi penderita dengan mudah, namun lama
kelamaan sesak itu semakin progresif. Pada stadium berikutnya penderita secara fisik tak
mampu melakukan aktivitas apapun tanpa bantuan oksigen, karena sambil duduk pun
pasien akan tetap merasakan sesak napas (Gan, 2005 dalam (Fisiologi, Kedokteran, &
Kuala, 2014)).
1. Interpretasi Pemeriksaan Spirometri
Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Spirometri dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Restriktif (sindrom pembatasan) Restriktif (sindrom pembatasan) adalah gangguan
pengembangan paru.Parameter yang dilihat adalah Kapasitas Vital (KV) dan Kapasitas
Vital Paksa (KVP) < 80% nilai prediksi.
b. Obstruktif (sindrom penyumbatan) Obstruktif adalah setiap keadaan hambatan aliran
udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran napas.Sindrom penyumbatan
ini terjadi apabila kapasitas ventilasi menurun akibat menyempitnya saluran udara
pernapasan. Biasanya ditandai dengan terjadi penurunan VEP1 yang lebih besar
dibandingkan dengan KVP sehingga rasio VEP1/KVP kurang dari 80%.
1. Bronkitis Kronik
a. Definisi

Bronkitis kronis adalah gangguan sekresi mukus bronkhial berlebihan.


Ditandai dengan batuk produktif yang bertahan selama 3 bulan atau lebih pada
2 tahun berturut-turut (Huether & McCance, 2008 dikutip oleh Priscilia
Lemone, 2016 hal. 1537). Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk dan
produksi sputum selama minimal 3 bulan setiap tahun dalam dua tahun
berturut-turut. Dimana kondisi ini tidak merefleksikan dampak utama
keterbatasan aliran udara pada morbiditas dan mortalitas dalam kasus PPOK.
Pada banyak kasus, merokok atau polutan lingkungan lain mengiritasi jalan
napas, menyebabkan inflamasi, dan hipersekresi mukus/lendir. Iritasi yang
terjadi secara terus-menerus menyebabkan jumlah kelenjar yang menyekresi
mukus dan sel goblet meningkat sehingga terjadi peningkatan produksi mukus.
(Brunner&Suddart edisi 12, 2016 hal. 87).
b. Etiologi
Etiologi Bronchitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti
rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus par
influenza, dan Coxsackie virus. Bronchitis adalah suatu peradangan pada
bronchus yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme baik virus,
bakteri, maupun parasit.Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada
mukosa bronkus berserta cabang–cabangnya yang disertai dengan gejala batuk
dengan atau tanpasputum yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak
dijumpai kelainanradiologi pada bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis
akut harus dipastikantidak berasal dari penyakit saluran pernapasan lainnya
(Gonzales R, Sande M,2008 dalam (Fisiologi et al., 2014)).
c. Patofisiologis
Bronkhitis akut dikaraterisiroleh adanya infeksi pada cabang
trakeobrokhial.Infeksi ini menyebabkan hiperemia dan edema pada memberan
mukosa, yang kemudian menyebabkan peningkatan sekresi dahak
bronchial.Karena adanya perubahan memberan mukosa ini, maka terjadi
kerusakan pada epitelia saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya fungsi
pembersihan mukosilir.Selain itu, peningkatan sekresi dahak bronchial yang
dapat menjadi kental dan liat, makin memperparah gangguan pembersihan
mukosilir.Perubahan ini bersifat permanen, belum diketahui, namun infeksi
pernafasan akut yang berulang dapat berkaitan dengan peningkatan hiper-
reaktivitas saluran nafas, atau terlibat dalam fatogenesis asma atau PPOK. Pada
umumnya perubahan ini bersifat sementara dan akan kembali normal jika
infeksi sembuh (Ikawati, 2009 dalam (Fisiologi et al., 2014)).
d. Epidemiologi (prevalensi)
Prevalensi rate penyakit bronkitiskronik di dunia masih cukup tinggi,
dengan sebaran area yang cukup merata secara epidemiologi. Bukan hanya di
Negara berkembang seperti Negara anggota ASEAN, terbelakang seeprti
Mongolia tetapi juga pada Negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Masih
tingginya angka prevalensi kesakitan atau morbiditas penyakit bronkitis ini
menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangannya belum
menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini tentu bukan menjadi pekerjaan
mudah karena melibatkan banyak hal seperti komitmen pemerintah dalam
melakukan pencegahan dan penanggulangan, perilaku masyarakat yang belum
sepenuhnya sehat dan juga faktor lingkungan (Jemadi dkk, 2013 dalam
(Alifariki, 2019)).
Bronchitis memengaruhi sekitar sepertiga pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), tetapi juga terjadi pada individu dengan fungsi paru
normal, dengan perkiraan prevalensi sangat bervariasi baik dalam studi berbasis
populasi (2,6-16%) dan diantara pasien COPD (7,4–53%) (Mejza, 2017 dalam
(Alifariki, 2019)).
e. Tanda Gejala
1) Sesak Nafas/Dispenia
2) Nafas Berbunyi
3) Batuk dan Sputum
4) Nyeri Dada
f. Pencegahan

1) Hindari merokok atau menghirup asap rokok.


2) Menerima vaksin flu dan pneumonia.
3) Menjaga kebersihan dan usahakan untuk selalu mencuci tangan setiap usai
beraktivitas.
4) Istirahat yang cukup.
5) Hindari berbagi pakai barang pribadi, terutama peralatan makan dan minum,
dengan orang lain.
6) Mengonsumsi makanan bergizi seimbang.
7) Menghindari paparan zat berbahaya yang terdapat dalam udara dengan selalu
menggunakan masker.

2. Emfisema
a. Definisi
Emfisema paru adalah distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus
terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir
proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun.
Merokok merupakan penyebab utama emfisema.Pada sedikit klien terdapat
predisposisi familial terhadap emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas
protein plasma, defisiensi antitrypsin α-1, yang merupakan suatu enzim
inhibitor. Tanpa enzim inhibitor, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan
paru. Individu yang secara genetik sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan
(merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen), pada waktunya
mengalami gejala-gejala obstruktif kronik (Utami, 2012).
b. Etiologi
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Pada sedikit klien
ketidakefektifan terdapat predisposisi familial terhadap emfisema yang
berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitrypsin α-1, yang
merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor, enzim tertentu akan
menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara genetik sensitif terhadap
faktor-faktor lingkungan ( merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, allergen
), pada waktunya mengalami gejala-gejala obstruktif kronis ( Mansjoer dkk,
2001 dalam (Utami, 2012)).
c. Patofisiologi
Merupakan kerusakan pada satuan pertukaran udara di paru yang disebut
dengan alveoli akan mengalami kerusakan progresif seiring waktu pada
emfisema. Pasien harus inspirasi dan ekspirasi dengan volume udara lebih besar
demi memenuhi kebutuhan metabolik distribusi oksigen (O2), pengeluaran
karbon dioksida (CO2 ) dan menjaga keseimbangan asam-basa. Pelebaran
alveoli menyebabkan pembesaran volume paru pada rongga toraks sehingga
mengurangi kapasitas dinding dada untuk mengembang pada saat inspirasi dan
cenderung kolaps saat ekspirasi sehingga ventilasi menjadi terbatas(Jonathan,
Damayanti, & Antariksa, 2019).
Emfisema mengakibatkan laju ekspirasi berkurang dengan patofisiologi
yang berbeda dibandingkan penyakit saluran napas murni. Masalah utama
emfisema adalah hilangnya rekoil elastik sehingga terjadi kecenderungan paru
untuk melawan pengembangan/ekspansi. Salah satu akibat rekoil elastik
berkurang adalah kemampuan alveoli berkurang mengeluarkan udara ekspirasi.
Sebuah analogi sederhana adalah balon diisi udara maka rekoil elastik
diibaratkan sebagai “kekakuan” balon. Volume udara yang sama jika diberikan
pada dua balon berbeda, yang satu lebih kaku dari yang lain maka ketika dibuka
lubang udaranya balon yang lebih kaku akan lebih mudah mengeluarkan udara
dibandingkan balon yang kurang kaku. Paru emfisema diibaratkan seperti balon
yang kurang kaku. Gaya yang dihasilkan untuk mengeluarkan udara ekspirasi
lebih rendah dibandingkan paru yang sehat. Konsekuensi emfisema lainnya
adalah efek tidak langsung pada kolapsnya saluran napas yang mengakibatkan
terjadi obstruksi karena alveoli kehilangan rekoil elastik. Rekoil elastik
membuat ekspirasi menjadi proses pasif secara normal (Jonathan et al., 2019).
d. Epidemiologi (prevalensi)
Data epidemiologi emfisema secara nasional masih belum tersedia, tetapi
dilaporkan bahwa 4 dari 100 orang di Indonesia menderita penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).Global Emfisema adalah penyakit yang mempengaruhi banyak orang di
seluruh dunia. Menurut hasil laporan dari Global Burden of Disease Study, terdapat
sebanyak 251 juta kasus PPOK secara global di seluruh dunia dan diprediksi akan terus
meningkat dikarenakan semakin tingginya angka perokok dan semakin meningkatnya
kadar polutan. Hasil statistik yang dibuat oleh CDC mengatakan bahwa di Amerika
Serikat terdapat 14 juta penderita emfisema dimana jumlah wanita lebih banyak
dibandingkan laki-laki (21,4 : 19,0 per 1.000 penduduk) (Utami, 2012)
e. Tanda dan Gejala
Dispneu adalah gejala umum emfisema dan mempunyai awitan yang
membahayakan. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan batuk kronis
yang lama, mengi, serta peningkatan nafas pendek dan cepat. Gejala-gejala
diperburuk oleh infeksi pernafasan ( Smeltzer & Bare, 2002 dalam (Utami,
2012)).
f. Pencegahan
1) Obat-obatan

Beberapa obat yang diberikan untuk mengurangi gejala emfisema antara lain:
a) Bronkodilator
Obat jenis bronkodilator berfungsi mengurangi gejala batuk dan melegakan
pernapasan.
b) Steroid
Obat steroid hirup atau dengan nebulasi banyak digunakan pada
kasus asma yang berfungsi untuk menurunkan inflamasi paru dan mengurangi
sesak napas paru.   
c) Antibiotik
Pemberian antibiotik juga menjadi pilihan apabila ditemukan adanya
infeksi pneumonia dan bronkitis dari PPOK.
d) Oksigen
Oksigen menjadi terapi tambahan untuk membantu menyalurkan aliran oksigen
yang masuk ke dalam paru-paru.
2) Pembedahan
Pembedahan dilakukan adalah adanya gejala kronis yang merusak jaringan paru.
Jenis operasi yang digunakan adalah dengan mengangkat jaringan alveoli yang
rusak dan dengan melakukan transplantasi paru apabila memungkinkan. 
3. Asma Bronchiale
a. Definisi
Asma adalah penyaki jalan napas obstruktif intermiten, reversibel di mana
trakea dan bronkiolus berespon dalam secara hiper aktif terhadap stimulus
tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang
mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. Asma dapat terjadi pada sembarang
orang, sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak dan sepertiga lainnya
terjadi sebelum usia 40 tahun (Utami, 2012).
b. Etiologi
Asma alergik disebabkan oleh alergen yang dikenal misalnya serbuk sari,
binatang, makanan, dan jamur. Kebanyakan alergen terdapat di udara dan
musiman. Klien dengan asma memiliki riwayat keluarga yang alergik dan
riwayat medis masa lalu ekzema atau rhinitis alergik. Asma idiopatik atau non
alergik tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktornya seperti
infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan serta agen
farmakologi seperti aspirin, pengawet makanan dan sebagainya. Asma
gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki
karakteristikdari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau nonalergik
( Mansjoer dkk, 2001 dalam (Utami, 2012)).
c. Patofisiologi
Asma disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronki dan
pengisisan bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot- otot bronkial dan
kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli
menjadi hiperinflasi dengan udara terperangkap pada jaringan paru. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan klien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaaran gas berjalan lancer (Utami, 2012)
d. Epidemiologi (prevalensi)
Berdasarkan Global Asthma Repot 2018, empat puluh juta kematian atau
70% dari semua keamtian di seluruh dunia, disebabkan oleh penyakit penyakit
tidak menular dengan 80% kematian terjadi di negara berkembang. Penyakit
pernafasan kronis termasuk asma, menyebabkan 15% kematian di dunia. Asma
adalah penyakit kronis yang di perkirakan mempengaruhi 339 juta orang di
seluruh dunia. Asma adalah beban penyakit yang substansial, termasuk
kematian dini dan penurunan kualitas hidup pada seluruh kelompok umur di
seluruh dunia. Asma berada pada peringkat ke-16 dunia di antara penyebab
utama tahun hidup dengan disabilitas dan peringkat ke-28 di antara penyebab
utama beban penyakit, yang diukur dengan Diability Adjusted Life Years
(DALY) (The Global Asthma Repot 2018 dalam (Kementerian Kesehatan RI,
2019).
e. Tanda dan Gejala
Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea, dan mengi. Pada beberapa
keadaan, batuk merupakan satu-satunya gejala. Serangan asma biasanya
bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan
pernapasan lambat, mengi dan laborius. Tanda selanjutnya termasuk sianosis
sekunder terhadap hipoksia hebat, dan gejala-gejala retensi karbon dioksida,
termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi ( Brunner &
Suddarth, 2002 dalam (Utami, 2012)).
f. Pencegahan

Menurut Toxins in Dust Raise Risk of Asthma (2019), Asma merupakan jenis penyakit
yang dapat dikendalikan dengan mengatur pola hidup sehat. Selain itu, sebaiknya
perhatikan beberapa hal berikut:

1) Mengenali & menghindari pemicu asma.


2) Mengikuti anjuran rencana penanganan asma dari dokter.
3) Melakukan langkah pengobatan yang tepat dengan mengenali penyebab serangan
asma.
4) Menggunakan obat-obatan asma yang telah dianjurkan oleh dokter secara teratur.
5) Memonitor kondisi saluran napas.
4. Bronkiektasis
a. Definisi
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus,
aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernafasan atas
dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran
nodus limfe (Smeltzer & Bare 2002 dalam (Utami, 2012)).
b. Etiologi
Kerusakan bronkus disebabkan oleh infeksi, infeksi tersering adalah H.
influenzae dan P. aeruginosa. Infeksi bakteri lain seperti Klebsiela dan
Staphylococcus aureus disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik pada
pengobatan pneumonia. Bronkiektasis juga ditemukan pada penderita dengan
infeksi HIV dan virus lain, seperti adenovirus atau virus influenza. Faktor
penyebab non infeksi adalah paparan substansi toksik, misalnya terhirupnya gas
toksik (amonia, aspirasi asam dari cairan lambung, dan sebagainya)
Kemungkinan adanya faktor imun yang terlibat belum diketahui dengan pasti
karena bronkiektasis dapat ditemukan pula pada klien kolitis ulseratif,
reumatoid artritis, dan sindrom sjogren ( Mansjoer dkk, 2001 dalam (Utami,
2012)).
c. Patofisiologi
Infeksi merusak dinding bronkial menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat
menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat
batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringanperibonkial sehingga setiap tuba yang
berdilatasi sebenarnya adalah abses paru yang eksudatnya mengalir bebas
melalui bronkus ( dalam kasus bronkiektasis sakular ). Retensi sekresi dan
obstruksi yang diakibatkannya akhirnya menyebabkan alveoli disebelah distal
obstruksi mengalami kolaps ( atelektasis ). Fibrosis akibat reaksi inflamasi
menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Klien akhirnya akan mengalami
insufisiensi pernapasan ( dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi,
dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total ),
kerusakan campuran gas yang diinspirasi ( ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi ), serta hipoksemia (Utami, 2012).
d. Epidemiologi (prevalensi)
Epidemiologi bronkiektasis secara nasional di Indonesia belum diketahui pasti.
Di Amerika Serikat, penyakit ini termasuk penyakit yang jarang, namun diduga
prevalensinya lebih tinggi di populasi sosioekonomik rendah.

Menurut European Respiratory Society, prevalensi bronkiektasis di


seluruh dunia bervariasi, dengan kisaran 53-566 kasus per 100.000 populasi.
Prevalensi akan semakin tinggi seiring pertambahan usia dan pada jenis
kelamin wanita. Sebuah studi menunjukkan bahwa age-adjusted mortality
rate  bronkiektasis adalah sebesar 1437,7 per 100.000.

e. Tanda dan Gejala


60 % gejala timbul sejak klien berusia 10 tahun. Gejala tersering adalah
batuk kronik dengan banyak sputum yang sering dikeluarkan pada pagi hari dan
setelah tiduran atau berbaring pada posisi berlawanan dengan sisi yang
mengandung kelainan bronkiektasis. Gejala pada bronkiektasis ringan atau
yang hanya mengenai satu lobus saja jarang terjadi, biasanya batuk bersputum
yang menyertai batu pilek selama 1-2 minggu. Gejala pada bronkiektasis berat
adalah batuk terus menerus dengan banyak sputum (200-300 ml), akan
bertambah berat bila disertai infeksi saluran napas atas. Gejala diikuti demam,
nafsu makan hilang, penurunan BB, anemia, nyeri pleura, dan lemah badan.
Sesak napas dan sianosis dapat terjadi pada kelainan yang luas. Ronki basah
sedang sampai kasar ditemukan saat pemeriksan fisik. Kadang ditemukan ronki
kering dan mengi, serta perkusi yang redup dan suara napas melemah bila
terdapat komplikasi emfisema ( Mansjoer dkk, 2001 dalam (Utami, 2012)).
f. Pencegahan
Pencegahan bronkiektasis bisa dilakukan dengan menghindari merokok, polusi
udara, asap rumah tangga (asap dapur) dan berbagai zat hirup kimia lainnya dapat
mencegah terjadinya bronkiektasis dan menjaga saluran pernapasan tetap sehat. Vaksin
terhadap virus flu, pertusis, dan campak dapat bermanfaat untuk mencegah
bronkiektasis, karena beberapa keadaan tersebut sering dihubungkan dengan kejadian
bronkiektasis.

C. Penyakit Restriktif / Interstisal Paru (PRP)


Gangguan paru restriktif adalah terjadinya penurunan kemampuan untuk
memasukkan udara ke dalam paru (inspirasi) dan penurunan dari volume normal
paru (Guyton, 2008 dalam (Pinugroho & Kusumawati, 2017)).
Usia merupakan faktor utama yang mempengaruhi gangguan fungsi paru.
Usia berkaitan dengan proses penuaan dimana semakin bertambahnya usia
seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan kapasitas
fungsi paru (Meita, 2012). Penelitian Laga (2014) menyatakan terdapat hubungan
yang signifikan antara usia dan kapasitas fungsi paru. Menurut Darmojo (2011),
sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada sekitar usia 20-25
tahun, setelah itu sistem respirasi akan mulai menurun fungsinya mulai pada usia
30 tahun (Pinugroho & Kusumawati, 2017).
1. Atelektasis
a. Definisi
Atelektasis adalah gangguan perkembangan paru yang disebabkan
berkurangnya pertukaran udara perifer didalam paru. Seorang klinisi harus
dapat membedakan mekanisme terjadinya atelektasis. Terdapat 3 mekanisme
yang dapat menyebabkan atelektasis, yaitu :
(1) Peningkatan tekanan permukaan di dalam alveolus,
(2) Kompresi parenkim paru akibat peningkatan dinding intratorak maupun
ekstratorak paru,
(3) Obstruksi jalan nafas yang menyebabkan berkurangnya pertukaran
udara di alveolus. Diagnosis atelektasis berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi
dan bronkoskopi (Novialdi, Fitri, & Subroto, 2015).
b. Etiologi
Etiologi atelektasis dibedakan menjadi etiologi obstruktif dan nonobstruktif. 
Atelektasis obstruktif lebih sering terjadi, misalnya karena benda asing saluran
napas. Sementara itu, salah satu etiologi atelektasis nonobstruktif adalah anastesi
saat tindakan bedah.
Atelektasis obstruktif merupakan jenis atelektasis yang paling sering
ditemukan. Atelektasis obstruktif diakibatkan oleh reabsorpsi gas dalam alveolus
ketika terjadi obstruksi antara alveoli dan trakea, sehingga segmen paru yang berada
lebih distal dari obstruksi akan kolaps (B. K. Um, J. K. Ku, and Y. S. Kim 2018)

c. Patofisiologi
d. Epidemiologi (prevalensi)
e. Tanda dan Gejala
Gejala klinis atelektasis pada anak-anak sulit dikenali karena tidak ada
gejala spesifik yang muncul, sehingga keadaan atelektasis terkadang
terlambat untuk diterapi. Gejala klinis dan pemeriksaan fisik atelektasis
didapatkan adanya sesak nafas, batuk, riwayat tersedak, demam, retraksi
dinding dada dan suara nafas paru yang melemah. Pada pemeriksaan
radiologi dapat ditemukan gambaran opasifikasi, pergeseran mediastinum,
elevasi diafragma, pergeseran fissure interlobaris dan silhouette sign.
Bronkoskopi kaku pada kasus atelektasis dapat digunakan sebagai alat
diagnostik maupun terapeutik, Bronkoskopi dengan tujuan terapeutik seperti
ekstraksi benda asing, pengambilan plak mukus bronkus dan bronkoskopi
lavage yang dilakukan bila didapatkan atelektasis dengan banyak sekret
mukopurulen. Bronkoskopi diagnostik bertujuan untuk pengambilan sekret
bronkus sebagai pemeriksaan kultur dan pemeriksaan biopsi jaringan
terhadap kecurigaan atelektasis yang disebabkan oleh keganasan.
Penatalaksanaan atelektasis meliputi pemberian antibiotik, fisioterapi
dinding dada, humidifikasi dan hidrasi(Novialdi et al., 2015).
f. Pencegahan

Untuk mencegah penyakit ini menurut (Novialdi et al., 2015). Anda dapat
melakukan beberapa hal ini :
(1)Pada orang yang dalam perawatan atau berbaring lama, usahakan untuk
tetap bergerak dan berlatih benapas dalam agar paru-paru dapat tetap
berfungsi dengan baik
(2)Menjauhkan benda-benda kecil dari anak-anak
(3)Menjaga pernapasan dengan bernapas dalam setelah menjalani pembiusan
2. Pleurisy (Pleuritis)
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Epidemiologi (prevalensi)
e. Tanda dan Gejala
f. Pencegahan
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai