FT.KARDIOPULMONAL
PATOLOGI PARU-PARU
OLEH
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Rrhr
2.
C. Tujuan
1. sfssf
BAB II
PEMBAHASAN
2. Emfisema
a. Definisi
Emfisema paru adalah distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus
terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir
proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun.
Merokok merupakan penyebab utama emfisema.Pada sedikit klien terdapat
predisposisi familial terhadap emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas
protein plasma, defisiensi antitrypsin α-1, yang merupakan suatu enzim
inhibitor. Tanpa enzim inhibitor, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan
paru. Individu yang secara genetik sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan
(merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen), pada waktunya
mengalami gejala-gejala obstruktif kronik (Utami, 2012).
b. Etiologi
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Pada sedikit klien
ketidakefektifan terdapat predisposisi familial terhadap emfisema yang
berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitrypsin α-1, yang
merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor, enzim tertentu akan
menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara genetik sensitif terhadap
faktor-faktor lingkungan ( merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, allergen
), pada waktunya mengalami gejala-gejala obstruktif kronis ( Mansjoer dkk,
2001 dalam (Utami, 2012)).
c. Patofisiologi
Merupakan kerusakan pada satuan pertukaran udara di paru yang disebut
dengan alveoli akan mengalami kerusakan progresif seiring waktu pada
emfisema. Pasien harus inspirasi dan ekspirasi dengan volume udara lebih besar
demi memenuhi kebutuhan metabolik distribusi oksigen (O2), pengeluaran
karbon dioksida (CO2 ) dan menjaga keseimbangan asam-basa. Pelebaran
alveoli menyebabkan pembesaran volume paru pada rongga toraks sehingga
mengurangi kapasitas dinding dada untuk mengembang pada saat inspirasi dan
cenderung kolaps saat ekspirasi sehingga ventilasi menjadi terbatas(Jonathan,
Damayanti, & Antariksa, 2019).
Emfisema mengakibatkan laju ekspirasi berkurang dengan patofisiologi
yang berbeda dibandingkan penyakit saluran napas murni. Masalah utama
emfisema adalah hilangnya rekoil elastik sehingga terjadi kecenderungan paru
untuk melawan pengembangan/ekspansi. Salah satu akibat rekoil elastik
berkurang adalah kemampuan alveoli berkurang mengeluarkan udara ekspirasi.
Sebuah analogi sederhana adalah balon diisi udara maka rekoil elastik
diibaratkan sebagai “kekakuan” balon. Volume udara yang sama jika diberikan
pada dua balon berbeda, yang satu lebih kaku dari yang lain maka ketika dibuka
lubang udaranya balon yang lebih kaku akan lebih mudah mengeluarkan udara
dibandingkan balon yang kurang kaku. Paru emfisema diibaratkan seperti balon
yang kurang kaku. Gaya yang dihasilkan untuk mengeluarkan udara ekspirasi
lebih rendah dibandingkan paru yang sehat. Konsekuensi emfisema lainnya
adalah efek tidak langsung pada kolapsnya saluran napas yang mengakibatkan
terjadi obstruksi karena alveoli kehilangan rekoil elastik. Rekoil elastik
membuat ekspirasi menjadi proses pasif secara normal (Jonathan et al., 2019).
d. Epidemiologi (prevalensi)
Data epidemiologi emfisema secara nasional masih belum tersedia, tetapi
dilaporkan bahwa 4 dari 100 orang di Indonesia menderita penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).Global Emfisema adalah penyakit yang mempengaruhi banyak orang di
seluruh dunia. Menurut hasil laporan dari Global Burden of Disease Study, terdapat
sebanyak 251 juta kasus PPOK secara global di seluruh dunia dan diprediksi akan terus
meningkat dikarenakan semakin tingginya angka perokok dan semakin meningkatnya
kadar polutan. Hasil statistik yang dibuat oleh CDC mengatakan bahwa di Amerika
Serikat terdapat 14 juta penderita emfisema dimana jumlah wanita lebih banyak
dibandingkan laki-laki (21,4 : 19,0 per 1.000 penduduk) (Utami, 2012)
e. Tanda dan Gejala
Dispneu adalah gejala umum emfisema dan mempunyai awitan yang
membahayakan. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan batuk kronis
yang lama, mengi, serta peningkatan nafas pendek dan cepat. Gejala-gejala
diperburuk oleh infeksi pernafasan ( Smeltzer & Bare, 2002 dalam (Utami,
2012)).
f. Pencegahan
1) Obat-obatan
Beberapa obat yang diberikan untuk mengurangi gejala emfisema antara lain:
a) Bronkodilator
Obat jenis bronkodilator berfungsi mengurangi gejala batuk dan melegakan
pernapasan.
b) Steroid
Obat steroid hirup atau dengan nebulasi banyak digunakan pada
kasus asma yang berfungsi untuk menurunkan inflamasi paru dan mengurangi
sesak napas paru.
c) Antibiotik
Pemberian antibiotik juga menjadi pilihan apabila ditemukan adanya
infeksi pneumonia dan bronkitis dari PPOK.
d) Oksigen
Oksigen menjadi terapi tambahan untuk membantu menyalurkan aliran oksigen
yang masuk ke dalam paru-paru.
2) Pembedahan
Pembedahan dilakukan adalah adanya gejala kronis yang merusak jaringan paru.
Jenis operasi yang digunakan adalah dengan mengangkat jaringan alveoli yang
rusak dan dengan melakukan transplantasi paru apabila memungkinkan.
3. Asma Bronchiale
a. Definisi
Asma adalah penyaki jalan napas obstruktif intermiten, reversibel di mana
trakea dan bronkiolus berespon dalam secara hiper aktif terhadap stimulus
tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang
mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. Asma dapat terjadi pada sembarang
orang, sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak dan sepertiga lainnya
terjadi sebelum usia 40 tahun (Utami, 2012).
b. Etiologi
Asma alergik disebabkan oleh alergen yang dikenal misalnya serbuk sari,
binatang, makanan, dan jamur. Kebanyakan alergen terdapat di udara dan
musiman. Klien dengan asma memiliki riwayat keluarga yang alergik dan
riwayat medis masa lalu ekzema atau rhinitis alergik. Asma idiopatik atau non
alergik tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktornya seperti
infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan serta agen
farmakologi seperti aspirin, pengawet makanan dan sebagainya. Asma
gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki
karakteristikdari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau nonalergik
( Mansjoer dkk, 2001 dalam (Utami, 2012)).
c. Patofisiologi
Asma disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronki dan
pengisisan bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot- otot bronkial dan
kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli
menjadi hiperinflasi dengan udara terperangkap pada jaringan paru. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan klien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaaran gas berjalan lancer (Utami, 2012)
d. Epidemiologi (prevalensi)
Berdasarkan Global Asthma Repot 2018, empat puluh juta kematian atau
70% dari semua keamtian di seluruh dunia, disebabkan oleh penyakit penyakit
tidak menular dengan 80% kematian terjadi di negara berkembang. Penyakit
pernafasan kronis termasuk asma, menyebabkan 15% kematian di dunia. Asma
adalah penyakit kronis yang di perkirakan mempengaruhi 339 juta orang di
seluruh dunia. Asma adalah beban penyakit yang substansial, termasuk
kematian dini dan penurunan kualitas hidup pada seluruh kelompok umur di
seluruh dunia. Asma berada pada peringkat ke-16 dunia di antara penyebab
utama tahun hidup dengan disabilitas dan peringkat ke-28 di antara penyebab
utama beban penyakit, yang diukur dengan Diability Adjusted Life Years
(DALY) (The Global Asthma Repot 2018 dalam (Kementerian Kesehatan RI,
2019).
e. Tanda dan Gejala
Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea, dan mengi. Pada beberapa
keadaan, batuk merupakan satu-satunya gejala. Serangan asma biasanya
bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan
pernapasan lambat, mengi dan laborius. Tanda selanjutnya termasuk sianosis
sekunder terhadap hipoksia hebat, dan gejala-gejala retensi karbon dioksida,
termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi ( Brunner &
Suddarth, 2002 dalam (Utami, 2012)).
f. Pencegahan
Menurut Toxins in Dust Raise Risk of Asthma (2019), Asma merupakan jenis penyakit
yang dapat dikendalikan dengan mengatur pola hidup sehat. Selain itu, sebaiknya
perhatikan beberapa hal berikut:
c. Patofisiologi
d. Epidemiologi (prevalensi)
e. Tanda dan Gejala
Gejala klinis atelektasis pada anak-anak sulit dikenali karena tidak ada
gejala spesifik yang muncul, sehingga keadaan atelektasis terkadang
terlambat untuk diterapi. Gejala klinis dan pemeriksaan fisik atelektasis
didapatkan adanya sesak nafas, batuk, riwayat tersedak, demam, retraksi
dinding dada dan suara nafas paru yang melemah. Pada pemeriksaan
radiologi dapat ditemukan gambaran opasifikasi, pergeseran mediastinum,
elevasi diafragma, pergeseran fissure interlobaris dan silhouette sign.
Bronkoskopi kaku pada kasus atelektasis dapat digunakan sebagai alat
diagnostik maupun terapeutik, Bronkoskopi dengan tujuan terapeutik seperti
ekstraksi benda asing, pengambilan plak mukus bronkus dan bronkoskopi
lavage yang dilakukan bila didapatkan atelektasis dengan banyak sekret
mukopurulen. Bronkoskopi diagnostik bertujuan untuk pengambilan sekret
bronkus sebagai pemeriksaan kultur dan pemeriksaan biopsi jaringan
terhadap kecurigaan atelektasis yang disebabkan oleh keganasan.
Penatalaksanaan atelektasis meliputi pemberian antibiotik, fisioterapi
dinding dada, humidifikasi dan hidrasi(Novialdi et al., 2015).
f. Pencegahan
Untuk mencegah penyakit ini menurut (Novialdi et al., 2015). Anda dapat
melakukan beberapa hal ini :
(1)Pada orang yang dalam perawatan atau berbaring lama, usahakan untuk
tetap bergerak dan berlatih benapas dalam agar paru-paru dapat tetap
berfungsi dengan baik
(2)Menjauhkan benda-benda kecil dari anak-anak
(3)Menjaga pernapasan dengan bernapas dalam setelah menjalani pembiusan
2. Pleurisy (Pleuritis)
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Epidemiologi (prevalensi)
e. Tanda dan Gejala
f. Pencegahan
DAFTAR PUSTAKA