Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini penyakit meningitis merupakan penyakit yang serius karena
letaknya dekat dengan otak dan tulang belakang sehingga dapat menyebabkan
kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian. Kebanyakan kasus meningitis
disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur atau parasit yang
menyebar dalam darah dan cairan otak.
Menigitis dapat terjadi secara endemik maupun epidemik. Secara klinis
keduanya tidak dapat dibedakan, tetapi serogroup dari strain yang terlibat berbeda.
Kasus endemik pada negara-negara berkembang disebabkan oleh strain serogroup B
yang biasanya menyerang usia dibawah 5 tahun, kebanyakan kasus terjadi pada usia
antara 6 bulan dan 2 tahun. Kasus epidemik disebabkan oleh strain serogroup A dan
C, yang mempunyai kecendrungan untuk menyerang usia yang lebih tua. Lebih dari
setengah kasus meningitis terjadi pada umurantara 1dan 10 tahun. Penyakit ini relatif
jarang didapatkan pada bayi usia ≤3 bulan. Kurang dari 10% terjadi pada pasien usia
lebih dari 45 tahun. Di AS dan Finland, hampir 55% kasus pada usia dibawah 3 tahun
selama keadaan nonepidemik, sedangkan di Zaria, Negeria insiden tertinggi terjadi
pada pasienusia 5 sampai 9 tahun.
Keadaan geografis dan populasi tertentu merupakan predisposisi untuk
terjadinya penyakit epidemik. Kelembaban yang rendah dapat merubah barier mukosa
nasofaring, sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Meningitis
epidemik di daerah Sao Paulo dari 1971 sampai1974 dimulai pada bulan Mei dan
Juni, yang merupakan peralihan dari musim hujan ke musim panas. African outbreaks
terjadi selama musim panas dari bulan Desember hingga juni. Di daerah Sub-saharan
Meningitis Belt (Upper volta, Dahomey, Ghana dan Mali di barat, hingga Niger,
Nigeria, Chad, Sudan di timur) dimulai pada musism panas/winter dry season
(November-Desember), mencapai puncaknya pada akhir April-awal Mei, saat angin
gurun Harmattan berkepanjangan dan tingginya suhu udara sepanjang hari; diakhiri
secara mendadak dengan dimulainya musim penghujan. Walaupun terpaparnya
populasi yang rentan terhadap strain baru yang virulen mungkin merupakan penyebab

1
epidemik, beberapa faktor lain termasuk lingkungan yang padat penduduk, adanya
kuman saluran nafas pathogen lain, hygiene yang rendah dan lingkungan yang buruk
merupakan pencetus untuk terjadinya infeksi epidemik. Infeksi N. meningitidis
semata-mata hanya mengenai manusia. Telah terbukti bahwa tidak didapatkan adanya
host antara, reservoar atau transmisi dari hewan ke manusia pada infeksi M.
meningitidis. Nasofarings merupakan reservoar alami bagi meningococcus,transmisi
dari kuman tersebut terjadi lewat saluran pernafasan (airbonedroplets), serta kontak
seperti dalam keluarga atau situasi recruit training.
Pada suatu studi yang dilakukan oleh Artenstein dkk, didapatkan bahwa
sebagian besar partikel dari droplet saluran nafas mengandung meningococcus.
Meningococcus bisa didapatkan pada kultur dari nasofaring dari manusia sehat,
keadaan ini disebut carrier. Hal tersebut dapat meninggal tergantung kepada
kemampuan dari kapsel polisakarida untuk menghambat aktivitas sistim komplemen
bakterisidal yang klasik dan menginhibisiphagositosis neutrophil. Aktivasi dari sistim
komplemen merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme pertahanan
terhadap infeksi N. meningitidis. Pasien dengan defisiensi dari komponen terminal
komponen (C5, C6, C7, C8 dan mungkin C9) merupakan resiko tinggi untuk
terinfeksi Neisseria (termasuk N.Meningitidis).
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1
– 12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi
pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen,
kontak erat dengan individu yang menderita  penyakit invasif, perumahan padat
penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi yang
tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak
orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan
Meningitis bakterial Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2
bulan-2 tahun. Umumnya terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya
rendah. Insidens meningitis bakterialis  pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per
1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada bayi  berat lahir rendah tiga kali lebih
tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Streptococcus group B dan E.coli
merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit ini
menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantaranya
mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis.

2
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena
morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada
anak terutama bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Angka kejadian jarang dibawah usia 3  bulan dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun
pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara
10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal
secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak
diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.

B. TUJUAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah, dalam rangka mengembangkan pengetahuan penulis dan pembaca
mengenai konsep dasar meningitis dan asuhan keperawatan yang diberikan kepada
klien dengan meningitis.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI FISIOLOGI
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur
syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal.
Meningea terdiri dari tiga lapis yaitu:
1. Lapisan Luar (Durameter)
Merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak, sumsum tulang
belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter terbagi lagi
atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak (periosteum)
dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan tengkorak untuk
membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan diafragma sella.
2. Lapisan tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara
durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan
jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah
arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta
dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini
melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan
diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang,
ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak
ke sumsum tulang belakang.

B. DEFENISI
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak
dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ
jamur(Smeltzer, 2001).

4
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah
satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok,
Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita,
2001).
Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan
virus merupakan penyebab utama dari meningitis.
C. ETIOLOGI
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
2. Penyebab lainnya , Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin laki laki lebih sering dibandingkan dengan
wanita.
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan.
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan.

D. PATOFISIOLOGI
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala
dan pengaruh imunologis.
Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran
mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen, semuanya ini
penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan
aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat

5
eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar
sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran
ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis
intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah
pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis.
Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan
dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen)
sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang
disebabkan oleh meningokokus.(smeltzer,2001: 2175).

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering.Sakit kepala dihhubungakan
dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi menigen. Demam
umumnya ada dan tertap tinggi selama perjalanan penyakit).
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sebagai berikut:
a. Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b. Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan
fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c. Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut
dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah
satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang
berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat
purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-
tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur,
sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

6
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler
diseminata.

F. KOMPLIKASI
Penyakit-penyakit yang dapat terjadi akibat dari komplikasi meningitis antara lain
1. Trombosis vena cerbral, yang menyebabkan kejang, koma, atau kelumpuhan.
2. Efusi atau abses subdural, yaitu penumpukan cairan diruangan subdural karena
adanya infeksi karena kuman.
3. Hidrosefalus, yaitu pertumbuhan lingkaran kepala yang cepat dan abnormal yang
disebabkan oleh penyumbatan cairan serebrospinalis.
4. Ensefalitis, yaitu radang pada otak
5. Abses otak, terjadi karena radang yang berisi pus atau nanah diotak.
6. Arteritis pembuluh darah otak, yang dapat mengakibatkan infrak otak karena
adanya infeksi pada pembuluh darah yang mengakibatkan kematian pada jaringan
otak.
7. Kehilangan pendengaran, dapat terjadi karena radang langsung saluran
pendengaran.
8. Gangguan perkembangan mental dan intelegensi karena adanya retardasi mental
yang mengakibatkan perkembangan mental dan kecerdasan anak terganggu.
(Harsono. 2007)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
a) Pemeriksaan kaku kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif atau negatif bila
didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala
disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan
kedada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala.
b) Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh

7
mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda kernig positif atau negatif bila
ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 ( kaki tidak dapat
diekstensi sempurna) disertai spasme otot pada biasanya diikuti rasa
nyeri.
c) Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksaan meleteakkan tangan
kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian
dilakukan fleksi kepada dengan cepat kearah dada sejauh mungkin.
Tanda brudzinski I positif atau negatif bila pada pemeriksaan terjadi
fleksi involunter pada leher.
d) Pemeriksaan tanda Brudzinski II (Brudzinski kontra lateral tungkai)
Pasien terbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan kernig). Tanda brudzinski II positif
atau negatif bila pada pemeriksaa terjadi fleksi involunter pada sendi
panggul dan lutut kontralateral.
2. Pemeriksaan cairan serebrospinalis
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, mengitis, dibagi
menjadi dua golongan yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
a) Pada meningitis purulenta, diagnosa diperkuat dengan hasil positif
pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop dan hasil biakan.
Pada pemeriksaan diperoleh hasil cairan serebrospinal yang keruh
karena mengandung pus (nanah) yang merupakan campuran leukosit
yang hidup dan mati, serta jaringan yang mati dan bakteri.
b) Pada meningitis serosa, diperoleh hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal yang jernih meskipun mengandung sel dan jumlah
protein yang meninggi.
3. Pemeriksaan darah
Dilakukan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, laju endap
darah (LED), kadar glukosa ,kadar ureum,elektrolit, dan kultur.
a) Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
b) Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di samping
itu, pada meningitis tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
4. Pemeriksaan radiologi

8
a) Pada meningitis purulenta dilakukan foto kepala (pemeriksaan
mastoid,sinus paranasal) dan foto dada.
b) Pada meningitis serosa dilakukan foto dada, foto kepala, dan bila
mungki dilakukan CT Scan. (Harsono. 2007).

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi Konservatif/Medikal
1) Terapi Antibiotik
Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada pemberian antibiotik yang
melewati darah- barier otak ke dalam ruang subaraknoid- dalam konsentrasi
yang cukup besar untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri.dapat
digunakan penisillin, ampisilin atau khloramfenikol, atau satu jenis dari
sefalosporin. Antibiotik lain digunakan jika diketahui strein bakteri resisten.
Pasien dipertahankan pada dosis besar antibiotik yang tepat par intra vena.
(Smltzer, 2001: 2176)
2) Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat
menurunkan penetrasi antibiotika kedalam abses dan dapat memperlambat
pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaan secara rutin tidak
dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk
tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam dan
menimbukan defisit neurologik fokal.
3) Terapi Operatif
Penanganan vokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi.
Pendekatan mastoidektomi harus dapat menjamin eradekasi seluruh jaringan
patologik dimastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan
operasi ini adalah untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang
mungkin digunakan oleh invasi bakteti.Selain itu juga dapat dilakukan
tindakan trombektomi, jugular vein ligation,perisinual dan cerebellar abcess
drainage yang diikuti antibiotika broad spectrum dan obat-obatan yang
mengurangi edema otak yang tentunya akan memeberikan outcome yang

9
baik pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis media. (Majalah
Kedokteran Nusantara Vol.3.2006)\
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a) Pada semua tipe meningitis, status klinis pasien dan tanda-tanda vital dikaji
terus-menerus sesuai perubahan kesadaran yang dapat menimbulkan
obstruksi jalan napas. Penentuan gas darah arteri, pemasangan selang
endotrake dan penggunaaan ventilasi mekanik. Oksigem dapat diberikan
untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri parsial (PO2) pada tingkat
yang diinginkan.
b) Pantau tekanan arteri untuk mengkaji syok, yang mendahului gagal jantung
dan pernapasan.
c) Penggantian cairan intravena tidak boleh melebihi hidrasi pasien, karena
resiko edema serebral
d) Panatau berat badan,elektrolit serum, volume dan berat jenis urine serta
osmolalitas urine.

I. PATOFLODIAGRAM

10
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Biodata klien
2. Riwayat kesehatan yang lalu
a) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
b) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
c) Pernahkah operasi daerah kepala ?
3. Data bio-psiko-sosial
a) Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise).
Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
b) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK.
Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi
berat, taikardi, disritmia.
c) Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
d) Makan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.
Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa
kering.
e) Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
f) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang
terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia,
ketulian dan halusinasi penciuman.
Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan
halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis,
kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau
kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal
menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.

11
g) Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala (berdenyut hebat, frontal).
Tanda : gelisah, menangis.
h) Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru.
Tanda : peningkatan kerja pernafasan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakaranial.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
3. Resiko trauma berhubungan dengan kejang.
4. Resiko penyebaran infeksi berhubunga dengan masuknya bakteri ke dalam
aliran darah.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
kranial.
Tujuan :
a) Pasien kembali pada keadaan status neurologis sebelum sakit,
b) Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris.
Dengan kriteria hasil :
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
- Rasa sakit kepala berkurang
- Kesadaran meningkat
- Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya
tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat.
Intervensi:
 Mandiri :
a) Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal
R/: Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko
untuk terjadinya herniasi otak
b) Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.

12
R/: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
c) Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-
hati pada hipertensi sistolik
R/: Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan
tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan
autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler cerebral yang dapat
dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti oleh
penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat
menggambarkan perjalanan infeksi.
d) Monitor intake dan output
R/: Hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan
meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadar,
nausea yang menurunkan intake per oral
e) Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk
mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
R/: Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah
posisi dapat melindungi diri dari efek valsava.
 Kolaborasi
f) Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
R/: Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan
intrakranial, vetriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema
cerebral.
g) Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen.
R/: Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen
pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskhemik serebral.
h) Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel,
Antibiotika.
R/: Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler,
menurunkan edema serebri, menurunkan metabolik sel / konsumsi dan
kejang.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan:

13
a) Suhu tubuh klien menurun dan kembali normal.
Dengan kriteria hasil: Suhu tubuh 36,5 - 37,5 ° C.
Intervensi :
 Mandiri
a) Ukur suhu badan setiap 4 jam
R/: suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses penyakit infeksius.
b) Pantau suhu lingkungan
R/: Untuk mempertahankan suhu badan mendekati normal
c) Berikan kompres hangat
R/: Untuk mengurangi demam dengan proses konduksi.
d) Berikan selimut pendingin
R/: Untuk mengurangi demam lebih dari 39,5 0C.
 Kolaborasi
e) Berikan antipiretik
R/: Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya di hipotalamus
3. Resiko trauma berhubungan dengan kejang
Tujuan:
Pasien tidak mengalami trauma, dengan kriteria hasil: tidak ada kejang
Intervensi :
 Mandiri :
a) Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan
nafas buatan
R/: mengantisipasi terjadinya trauma
b) Tirah baring selama fase akut
R/: mencegah terjadinnya trauma
 kolaborasi
c) berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.
R/mengurangi terjadinya kejang.
4. Resiko penyebaran infeksi berhubunga dengan masuknya bakteri ke dalam
aliran darah.
Tujuan :tidak terjadinya penyebaran unfeksi dengan Kriteria hasil :
- Suhu dalam batas nornal
- Urin normal

14
Intervensi:

 Mandiri
a) Beri tindakan isolasi
R/: tindakan isolasi sebagai pencegahan penyebaran infeksi
b) Pertahankan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
R/: untuk mencegah terjadinya penyebaran dan penyebab infeksi
c) Pantau suhu secara teratur
R/: kenaikan suhu merupakan tanda adanya proses infeksi
d) Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
R/: karakteristik urin yang menyimpang dari keadaan normal
menggambarkan proses infeksi yang sedang berlangsung.
 Kolaborasi
e) Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol,
gentamisin.
R/ untuk mencegah dan mengurangi resiko terjadinya infeksi.

15
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan
piameter dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan
serebrospinal (CSS) yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Pada penderita
Meningitis biasanya di jumpai Keluhan pertama yaitu nyeri kepala.rasa nyeri ini dapat
menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan
oleh mengejangnya otot – otot ekstensor tenkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi, Kesadaran menurun, tanda kernig dan brudzinsky positif . Untuk
penanganan penderita menginitis dapat diberikan terapi medis yaitu pemberian obat
antibiotik dan kortekosteroid. Selain itu dapat juga dilakukan terapi operatif yaitu
tindakan operatif mastoidektomi, trombektomi, jugular vein ligation, perisinual dan
cerebellar abcess drainage.

B. SARAN
Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca khususnya mahasiswa
keperawatan dapat memperoleh ilmu yang lebih tentang penyakit meningitis dan
bagaimana penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan meningitis. Semoga
makalah ini dapat dijadikan sumber literature yang layak digunakan untuk mahasiswa.

16
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.. Ed.3. Jakarta : EGC.

Harsono.1996. Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan;

Majalah Kedokteran Nusantara vol.3.2006. Diagnosis dan penatalaksanaan Meningitis


Otogenik.

Price, Sylvia Anderson. 1994.Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes.


Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth.Ed.8.Jakarta : EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai