Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selain untuk pernafasan, paru juga berperan sebagai saringan atau filter
bagi gumpalan darah (embolus). Gumpalan darah yang berukuran kecil jika
tersangkut pada pembuluh di paru dapat diatasi oleh mekanisme fibrinolitik.
Akan tetapi, jika gumpalan darahnya cukup besar, mekanisme fibrinolitik tidak
berlangsung dengan baik. Jika mekanisme fibrinolitik tidak berlangsung
dengan baik ketika terdapat gumpalan darah yang besar akan timbul emboli
paru yang menyebabkan aliran darah terhambat. Embolus biasanya dari vena
dalam (deepvein) pada kaki dan pelvis, yaitu vena femoris, vena poplitea atau
vena iliaka. Pada penderita penyakit tromboflebitis yang melakukan perjalanan
jarak jauh dengan menggunakan kendaraan sehingga kaki dalam keadan posisi
menekuk untuk waktu yang lama, thrombus akan mudah terlepas dan terjadi
penggumpalan darah. Polisitemia vena dan penyakit penggumpalan darah
merupakan predisposisi untuk terjadinya emboli paru. Obat kontrasepsi oral
menyebabkan emboli paru mudah terjadi. Sebenarnya, banyak kejadian emboli
paru yang tidak memberikan gejala dan dapat diatasi sendiri oleh paru melalui
mekanisme fibrinolitik(Brunner &Suddarth, 2002).
Emboli paru merupakan suatu keadaan emergensi yang sering tidak
terdiagnosa dan menyebabkan kematian sebagai akibat migrasi satu atau
beberapa gumpalan darah dari vena sistemik menuju paru. Embolisme
pulmonal mengacu pada obstruksi salah satu arteri pulmonal atau lebih oleh
thrombus (trombi) yang berasal dari suatu tempat dalam system venosa atau
jantung sebelah kiri, yang terlepas, dan terbawa ke paru. Kondisi ini
merupakan kelainan umum yang berkaitan dengan trauma, bedah (ortopedik,
pelvis, ginekologik), kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, gagal jantung
kongestif, usia lanjut (lebih dari 60 tahun), dan imobilitas yang
berkepanjangan. Sebagian besar trombusberasal dari vena tungkai(Price &
Wilson, 2006).
1
Di Indonesia berdasarkan penelitian di Hongkong, penyakit ini mencapai
16,64 kasus untuk setiap 100.000 penduduk. Angka tersebut kecil
dibandingkan dengan 124 hingga 293 per 100.000 penduduk di Amerika
Serikat. Namun demikian, bila melihat besarnya penduduk Indonesia, maka
angka tersebut menjadi tinggi (Sudoyo, 2006). Diagnosis dan pengobatan yang
cepat dapat menurunkan angka kematian. Namun penyakit ini sering
terdiagnosis karena gejalanya tidak spesifik, kadang-kadang hanya berupa
kelemahan (Lesmana, 2010).

B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian emboli paru?
2. Apa penyebab emboli paru?
3. Bagaimana tanda dan gejala emboli paru?
4. Bagaimana patofisiologi emboli paru?
5. Apa komplikasi klinis emboli paru?
6. Bagaimana pengkajian kegawatdaruratan emboli paru?
7. Apa pemeriksaan penunjang untuk emboli paru?
8. Bagaimana intervensi kegawatdaruratan dan monitoring emboli paru?
9. Bagaimana penatalaksanaan medis kegawatdaruratan emboli paru?
10. Kapan waktu pemulangan klien dengan emboli paru?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menyusun asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan
emboli paru.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian emboli paru
b. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi emboli paru
c. Mahasiswa dapat mengetahui tanda dan gejala emboli paru

2
d. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi emboli paru
e. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi klinis emboli paru
f. Mahasiswa dapat mengetahui pengkajian kegawatdaruratan emboli paru
g. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang emboli paru
h. Mahasiswa dapat mengetahui intervensi kegawatdaruratan dan
monitoring emboli paru
i. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan medis pada
kegawatdaruratan emboli paru
j. Mahasiswa dapat mengetahui waktu pemulangan klien dengan emboli
paru.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini yaitu :
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit emboli paru
2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya penyakit
emboli paru dan mengetahui cara pencegahan penyakit ini.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Emboli paru-paru merupakan oklusi atau penyumbatan bagian
pembuluh darah paru-paru oleh embolus. Embolus ialah suatu benda asing
yang tersangkut pada suatu tempat dalam sirkulasi darah. Benda tersebut ikut
terbawa oleh aliran darah yang berasal dari suatu tempat lain dalam sirkulasi
darah. Proses timbulnya embolus disebut embolisme. Hampir 99% emboli
berasal dari trombus. Bahan lainnya adalah tumor, gas, lemak, sumsum tulang,
cairan amnion, dan trombus septik (Somantri, 2007).
Emboli paru-paru dikenal sebagai obstruksi sebagian atau seluruh dari
satu atau kedua cabang pulmonal atau anak-anak cabangnya. Elemen onstruktif
dapat berupa bekuan darah, udara atau globulus lemak (Engram, 2000).

B. Etiologi
Penyebab emboli paru belum diketahui pasti, tetapi hasil penelitian dari
autopsi paru pasien yangmeninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas
bahwa penyebab penyakit ini adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya
trombo emboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluh darah vena di
tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang lain
misalnyatumor yang telah menginvasi sirkulasi vena, amnion, udara, lemak,
sumsum tulang, fokus septik,dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar
dalam peredaran darah sampai sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-
cabang arteri pulmonal, memberikan akibat timbulnyagejala klinis.Emboli paru
dapat terjadi sebagai komplikasi dari beberapa kondisi medik yang membuat
predisposisi terjadinya trombosis vena.
Faktor Predisposisi :
1. Imobilisasi
Imobilisasi sering terjadi terutama pada pasien dengan fraktur tulang
ekstremitas inferior, berbaring lama pasca bedah, paralisis kaki, dan pada
4
penyakit-penyakit kardiopulmoner. Imobilisasi yang lama menyebabkan
hilangnyaperistaltik pembuluh darah vena sehingga menjadi stasis.
Umumnya stasis terjadi setelah berbaring selama tujuh hari. Stasis dapat
terjadi pada pasca bedah setelah 48 jam sampai sepuluh hari kemudian.
2. Umur
Kebanyakan emboli paru-paru terjadi pada usia 50-65 tahun karena
elasitisitas dinding pembuluh darah sudah berkurang.
3. Penyakit jantung
Jika pada jantung hanya terjadi fibrilasi atrium atau disertai dengan payah
jantung, keadaaan tersebut sering menimbulkan emboli paru-paru. Pada
infark jantung akut, emboli paru-paru sering terjadi pada hari ketiga dan
sebagian besar 75% terjadi pada minggu pertama.
4. Trauma
Sebanyak 15% penderita trauma mengalami emboli paru-paru, terutama
pada penderita luka bakar dengan area terbakar yang luas, sehingga
kerusakannya sampai ke endotel pembuluh darah.
5. Obesitas
Penderita dengan berat badan 20% lebih dari berat badan ideal dapat
dikatakan beresiko untuk menderita emboli paru-paru, meskipun
mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
6. Kehamilan dan nifas
Kejadian emboli paru-paru pada ibu hamil biasa terjadi pada trimester ketiga
dan prevalensinya meningkat saat nifas. Pada kasus ibu hamil dan nifas
disebabkan karena terjadi peningkatan faktor koagulasi dan trombosit.
7. Neoplasma
Emboli paru-paru banyak terjadi pada beberapa neoplasma organ paru-paru,
pankreas, usus, dan traktus urogenital. Terdapat teori yang menyatakan
bahwa neoplasma memproduksi zat-zat seperti histon, katepsin dan protease
yang mengaktifkan koagulasi darah.

5
8. Obat-obatan
Emboli paru-paru sering dialami oleh pasien yang mengkonsumsi obat-obat
kontrasepsi oral. Pada kasus ini obat-obat tersebut dapat mengakibatkan
peningkatan faktor pembekuan dan trombosit serta peningkatan lipoprotein,
plasma trigliserida, dan kolesterol.
9. Penyakit hematologi
Penyakit hematologi sering ditemukan pada keadaan polisitemia dimana
hematokrit darah menigkat yang mengakibatkan aliran darah menjadi
lambat. Dilaporkan juga banyak terjadi pada penyakit anemia bulan sabit.
Pada penyakit anemia tersebut, terbentuk trombus dalam aliran darah
mikrosirkulasi yang dapat menyebabkan infark pada organ paru-paru,
ginjal, limpa dan tulang.
10. Penyakit metabolisme
Penyakit metabolisme dilaporkan terjadi pada penyakit sistinuria di mana
terdapat kelainan trombosit yang menyebabkan trombosis. Di samping itu
juga terjadi kerusakan lapisan endotel pembuluh darah yang mempercepat
terjadinya trombosis (Somantri, 2007).

C. Tanda dan gejala


1. Tanda-tanda yang muncul pada pasien dengan emboli paru adalah :
a. Dispnea
b. Nyeri dada pleuritik
c. Batuk
d. Hemoptisis
e. Kecemasan
2. Gejala yang muncul pada pasien dengan emboli paru adalah “
a. Takipnea
b. Crackles
c. Takikardia
d. Bunyi jantung S3. Bunyi S3 adalah suara ketiga saat jantung
berkontraksi. Pada orang dewasa merupakan sesuatu yang abnormal

6
dan sering kali mengindikasikan adanya kelainan jantung. Terdengar
pada apeks jantung, dan sering disebut ventricular gallop.
e. Jika tidak ada bunyi S3 bisa jadi ada bunyi S4
f. Keringat berlebih
g. Demam (Somantri, 2007).

D. Patofisiologi
Bekuan darah merupakan kumpulan platelet untuk memperbaiki kerusakan
pembuluh darah, yang membentuk jaringan dengan sel darah merah dan fibrin.
Pada keadaan normal bekuan terbentuk untuk menghentikan perdarahan akibat
luka, namun kadang-kadang bekuan timbul tanpa ada luka. Bekuan darah yang
terbentuk dalam vena disebut trombus, sedangkan bekuan darah yang lepas dan
berpindah ke bagian tubuh yang lain menimbulkan emboli. Kadang-kadang
material lain seperti tumor, lemak, udara dapat masuk ke dalam aliran darah
yang menimbulkan emboli yang menyumbat arteri. Kebanyakan bekuan darah
berasal dari lutut hingga tungkai ke atas, dan pelvis. Bekuan dari vena dalam
dapat bermigrasi melalui aliran darah menuju jantung kanan, kemudian masuk
ke dalam arteri paru (Lesmana, 2010). Menurut Virchow,terdapat tiga factor
penting yang memegang peranan timbulnya trombus (Trias Virchow) yaitu
statis vena, kerusakan pembuluh darah, dan hiperkoaguabilitas.
Kebanyakan emboli paru terjadi akibat lepasnya trombus yang berasal dari
pembuluh vena di ekstremitas inferior. Trombus terbentuk dari beberapa
elemen sel dan fibrin-fibrin yang kadang-kadang berisi protein plasma seperti
plasminogen. Trombus dapat berasal dari pembuluh arteri dan pembuluh vena.
Trombus arteri terjadi karena rusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan bagian
dalam), sedangkan trombus vena terjadi karena perlambatan aliran darah dalam
vena tanpa adanya kerusakan dinding pembuluh darah (Muttaqin, 2008).
Trombus vena dapat berasal dari pecahan trombus besar yang kemudian
terbawa oleh aliran vena. Biasanya thrombus vena ini berisi partikel-partikel
sepeti fibrin (terbanyak), eritrosit, dan trombosit. Ukurannya dari beberapa
millimeter saja sampai sebesar lumen vena. Biasanya trombus semakin

7
bertambah oleh tumpukan trombus lain yang kecil-kecil. Adanya perlambatan
(statis) aliran darah vena semakin mempercepat terbentuknya thrombus yang
lebih besar, sedangkan adanya kerusakan dinding pembuluh vena (misalnya
pada operasi rekonstruksi vena femoralis) jarang menimbulkan trombus vena
(Muttaqin, 2008).
Hiperkoagubilitas juga amat berpengaruh dalam pembentukan thrombus.
Disini juga terjadi aktivasi terhadap faktor koagulan oleh kolagen, endotoksin,
dan prokoagulan dari jaringan malignasi sehingga tromboplastin dilepaskan ke
dalam sirkulasi darah dan thrombus mudah terbentuk. Keadaan ini sering
ditemukan pada persalinan, operasi, dan trauma pada organ-organ tubuh. Factor
lain yang juga mempercepat terjadinya thrombus adalah hiperagregasi
trombosit (Muttaqin, 2008).
Pada embolisme paru terdapat dua keadaan sebagai akibat obstruksi
pembuluh darah, yakni terjadinya vasokonstriksi dan bronkhokonstriksi,
sehingga system perfusi dan ventilasi jaringan paru terganggu.
Bronkhokonstriksi setempat yang terjadi bukan saja akibat berkurangnya aliran
darah tetapi juga karena berkurangnya bagian aktif permukaan jaringan paru
dan terjadi pula pengeluaran histamine dan 5-hidroksi isoptamin yang dapat
membuat vasokonstriksi dan bronkhokonstriksi berambah berat. Alveoli
diventilasi tetapi tidak mengalami perfusi, sehingga menghasilkan area
ventilasi tak efektif, yang meningkatkan ruang mati pernafasan Akibatnya
terjadi kenaikan dead space dan reaksi kardiovaskuler berupa penurunan aliran
darah ke paru dan meningkatnya tekanan arteri pulmonalis, dilatasi atrium, dan
ventrikel kanan, serta menurunnya curah jantung dan kemudian dapat terjadi
infark paru (Muttaqin, 2008).
Konsekuensi hemodinamik adalah peningkatan tahanan vaskular paru
akibat penurunan ukuran jaring-jaring vaskular pulmonal, mengakibatkan
peningkatan tekanan arteri pulmonal, dan pada akhirnya meningkatkan kerja
ventrikel kanan untuk mempertahankan aliran darah pulmonal. Jika kebutuhan
kerja ventrikel kanan melebihi kapasitasnya akan terjadi gagal ventrikel kanan

8
yang mengarah pada penurunan tekanan darah sistemik dan terjadinya syok
(Muttaqin, 2008).
Kejadian hipoksemia menstimulasi saraf-saraf simpatik yang
mengakibatkan vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh darah sistemik,
meningkatkan vena balik dan strok volume. Pada emboli yang masih
masif,kardiak output biasanya berkurang akan tetapi terus-menerus meningkat
tekanan pada atrium kanannya. Peningkatan resistensi pembuluh darah
pulmonal menghalangi aliran darah ventrikel kanan sehingga mengurangi
beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari vaskular oleh
emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis.
Dengankeadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia
yang memburuk, stimulasivasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis. Lebih dari 50% obstruksi yangterdapat pada arteri pulmonalis
biasanya muncul sebelum terdapat peningkatan yang besar daritekanan arteri
pulmonalis. Ketika obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis
makinmembesar, ventrikel kanan harus menghasilkan tekanan sistolik lebih
dari 50mmHg dan rata-ratatekanan arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk
mempertahankan perfusi pulmonal. Pasiendengan penyakit kardio pulmonal
sering terjadi kerusakan substansial pada kardiak outputnya dibandingkan
dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.
Pathway :
Statis vena
Kerusakan pembuluh darah
Hiperkoaguabilitas

Pembentukan trombus

Terlepasnya trombus
(sebagian atau seluruh)

9
Sumbatan dari sebagian
dari sirkulasi pulmonal

Hipoksik vasokonstriksi
Penurunan surfaktan
Pelepasan substansi
neurohumoral
Edema pulmonal
Ateleksia

Takipnea
Dispnea
Nyeri dada
Peningkatan ruang rugi
Ketidakseimbangan V/Q
Penurunan PaCO

E. Komplikasi Klinis
Menurut Contran Kuman Rabbins (1996), komplikasi yang terjadi adalah :
1. Asma Bronkhial
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri
bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas). Asma
merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor
biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi.
2. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya penumpukkan
cairan dalam rongga pleura.

10
3. Anemia
Anemia adalah penurunan kuantitas atau kualitas sel – sel darah merah
dalam sirkulasi. Anemia dapat disebabkan oleh gangguan pembentukan sel
darah merah,peningkatan kehilangan sel darah merah melalui perdarahan
kronik atau mendadak, atau lisis (destruksi) sel darah merah yang
berlebihan.
4. Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran
rongga udara pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini
disebabkan karena adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian
paru yang terletak di bronkiolus terminalis distal. Ketika membicarakan
emfisema, penyakit ini selalu dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Oleh
karena itu, beberapa ahli menyamakan antara emfisema dan bronchitis
kronik.
5. Hipertensi Pulmoner
Hipertensi pulmoner primer (HPP) adalah kelainan paru yang jarang,
dimana didapatkan peningkatan tekanan arteri polmonalis jauh diatas
normal tanpa didapatkan penyebab yang jelas. Tekanan arteri polmonal
normal pada waktu istirahat adalah lebih kurang 14 mmhg. Pada HPP
tekanan arteri polmonal akan lebih dari 25 mmhg saat istirahat, dan 30
mmhg saat aktifitas HPP akan meningkatkan tekanan darah pada cabang –
cabang arteri yang lebih kecil di paru, sehingga meningkatkan tahanan
(resistensi) vaskuler dari aliran darah di paru. Peningkatan tahanan arteri
pulmonal ini akan menimbulkan beban pada ventrikel kanan sehingga
harus bekerja lebih kuat untuk memompa darah ke paru.

11
F. Pengkajian Kegawatdaruratan Emboli Paru
1. Airway
a. Kaji dan pertahankan jalan napas
b. Lakukan head tilt, chin lift jika perlu
c. Gunakan alat bantu untuk jaln napas jika perlu
d. Pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anestesi untuk dilakukan intubasi
jika tidak dapat mempertahankan jalan napas.
2. Breathing
a. Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk
mempertahankan saturasi >92%
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath mask
c. Pertimbangkan unuk mendapatkan pernapasan dengan menggunakan
bag valve mask ventilation
d. Lakukan pemeriksaan gas darah arteri untuk mengkaji PaO2 dan PaCO2
e. Kaji jumlah pernapasan
f. Lakukan pemeriksan system pernapasan
g. Dengarkan adanya bunyi pleura
h. Lakukan pemeriksaan foto thorak mungkin normal, tetapi lihat untuk
mendapatkan:
Bukti adanya wedge shaped shadow (infarct), Atelektaksis linier,
Effuse pleura, Hemidiaphragm meningkat.
Jika tanda klinis menunjukan adanya PE, lakukan ventilation perfusion
scan (VQ) atau CT Pulmonary Angiogram (CTPA) sesuai kebijakan
setempat.
3. Circulation
a. Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengar suara gallop
b. Kaji peningkatan JVP
c. Catat tekanan darah
d. Pemeriksaan EKG mungkin menunjukan:
Sinus tachikardi
Adanya SI, Q3, T3

12
Right bundle branch block (RBBB)
Right axis deviation (RAD)
P pulmonale
e. Lakukan IV akses
f. Lakukan pemeriksaan darah lengkap
g. Jika ada kemungkina PE berikan heparin
h. Jika pasien mengalami thrombolisis, alteplase direkomendasikan
sebagai obat pilihan. Berikan 50 mg IV dengan bolus. Jika pasien tidak
berespon terhadap trombolisis, segera dirujuk ke speialis untuk
dilakukan thromboembolectomy.
4. Disability
a. Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
b. Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk kondisi
ekstrim dan membutuhkan pertolongan medis segera dan
membutuhkan perawatan di ICU.
5. Exposure
a. Selalu mengkaji dengan menggunakan test kemungkinan PE
b. Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik lainnya.
c. Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda DVT

G. Pemeriksaan Penunjang
Penilaian kemungkinan adanya emboli paru, berdasarkan klinis, analisis
gas darah, dan foto toraks tetap penting dalam menegakkan diagnosa emboli
paru, dan memberi petunjuk untuk terapi awal. Terapi lanjut berpedoman pada
tes yang lebih spesifik, seperti scan ventilasi-perfusi, walaupun pemeriksaan
ini seringkali hanya memberikan kemungkinan diagnosis bukan menegakkan
diagnosis pasti.

13
1. Radiologi
Hasil rontgen thoraks biasanya normal tetapi dapat menunjukkan adanya
peumokonstriksi, infiltrat, atelektasis, elevasi diafragma pada sisi yang
sakit, atau dilatasi besar arteri pulmoner, dan efusi pleura.
2. Analisa gas darah
EP yang signifikan secara hemodinamis menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dan hipoksia. Biasanya pada klien dengan embolisme
paru didapatkan tekanan PO yang rendah, tetapi tidak jarang pula tekanan
PO tersebut lebih dari 80 mmHg. Tekanan PCO tidak begitu penting,
tetapi umumnya masih berada di bawah 40 mmHg. Menurunnya tekanan
PO disebabkan gagalnya fungsi perfusi dan ventilasi, sedangkan
menurunnya tekanan PCO adalah karena kompensasi hiperventilasi
sekunder.
3. EKG
Sering ditemukan kelainan, namun biasanya nonspesifik dan tidak
memiliki nilai diagnostik, seperti takikardia sinus, kelainan segmen ST
dan gelombang T kecil (terutama pada V1-V3). Pada EP besar atau masif,
bisa ditemukan gambaran EKG klasik akibat peradangan ventrikel kanan
akut yang lebih klasik (S1, Q3, T3) atau AF.
4. Ekokardiografi
Seringkali berhasil mendeteksi trombi besar dalam arteri pulmonalis, atau
atrium atau ventrikel kanan. Biasanya ekokardiografi memperlihatkan
dilatasi dan peradangan jantung kanan (yaitu karena fungsi kontraktil
sistolik yang buruk)
5. Scan ventilasi-perfusi
6. Angiografi paru
Merupakan pemeriksaan invasif, mahal, sehingga jarang digunakan.
Hanya bermanfaat bila dibutuhkan penegakkan diagnosis cepat, misalnya
ada penyakit kritis.

14
7. CT dan MRI
CT dan MRI memungkinkan pencitraan arteri pulmonalis untuk
mendeteksi trombi dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Hasil
pemindaian perfusi paru memperlihatkan adanya penurunan atau tidak
adanya aliran darah. Hasil pemindaian ventilasi juga menunjukkan adanya
abnormalitas perfusi. Jika terdapat ketidakcocokan ventilasi-perfusi (V/Q),
probabilitas embolisme paru adalah tinggi (Davey, 2005).

H. Intervensi Kegawatdaruratan dan Monitoring


Embolisme paru masif dapat benar-benar mengancam jiwa klien.
Mayoritas klien yang meninggal akibat embolisme paru masif mengalami
penurunan kondisi dalam dua jam pertama setelah kejadian embolik.
Penatalaksanaan kedaruratan terdiri atas :
1. Oksigen nasal diberikan dengan segera untuk menghilangkan hipoksemia,
distress pernafasan, dan sianosis.
2. Infus intravena dimulai dengan membuat rute untuk obat atau cairan yang
akan diperlukan.
3. Dilakukan angiografi paru, tindakan-tindakan hemodinamik, penentuan gas
darah arteri, dan pemindaian perfusi paru. Peningkatan tahanan paru
mendadak meningkatkan kerja ventrikel kanan sehingga dapat
menyebabkan gagal jantung akut sebelah kanan akibat syok kardiogenik.
4. Jika klien menderita akibat embolisme massif dan hipotensif, perlu
dipasang kateter indwelling untuk memantau output urine.
5. Hipotensi diatasi dengan infus lambat dobutamin (mempunyai efek
mendilatasi pembuluh pulmonal dan bronkhi) atau dopamin.
6. Hasil EKG dipantau secara kontinu untuk mengetahui gagal ventrikel
kanan yang dapat terjadi secara mendadak.
7. Glikosida digitalis, diuretic intravena, dan agen antidirtimia diberikan bila
dibutuhkan.
8. Darah diambil untuk pemeriksaan elektrolit serum, nitrogen urea darah
(BUN), hitung darah lengkap, dan hematokrit.

15
9. Morfin intravena dosis kecil diberikan untuk menghilangkan kecemasan
klien, menyingkirkan ketidaknyama di dada, untuk memperbaiki toleransi
selang endotrakhea, dan memudahkan adaptasi terhadap ventilator
mekanik.
(Asih, 2003).

I. Penatalaksanaan Medis Kegawatdaruratan


1. Tirah baring
2. Terapi oksigen
Terapi oksigen sangat penting untung pasien dengan emboli paru. Pada
keadaan hipoksemia berat mungkin dilakukan pemberian ventilator
mekanis dengan pemeriksaan analisis gas darah secara ketat. Pada
beberapa kasus lain, oksigen dapat diberikan melalui nasal kanula, kateter,
atau masker. Pulse oximetry mungkin berguna dalam memonitor saturasi
oksigen arteri, yang mana dapat menunjukkan tingkat dari hipoksemia.
3. Analgesik
4. Farmakoterapi:
a. Agen trombolitik seperti steptokinase (Kabikinase, Streptase),
alteplase (Activase t-PA), atau urokinase (Abbokinase)
b. Antikoagulan seperti heparin, dikumoral atau warfarin natrium.
5. Pembedahan
Embolektomi paru mungkin didindikasikan dalam kondisi jika klien
mengalami hipotensi persisten, syok, dan gawat napas, jika tekanan arteri
pulmonal sangat tinggi, dan jika angiogram menunjukkan obstruksi bagian
besar pembuluh darah paru. Embolektomi pulmonal membutuhkan
torakotomi dengan teknik bypass jantung paru (Muttaqin, 2008).

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

A. Pengkajian
1. Primary survei
Pengkajian dengan pendekatan ABCD
a. Airway
1) Kaji dan pertahankan jalan napas
2) Lakukan head tilt, chin lift jika perlu
3) Gunakan alat batu untuk jalan napas jika perlu
4) Pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anestesi untuk dilakukan
intubasi jika tidak dapat mempertahankan jalan napas
b. Breathing
1) Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk
mempertahankan saturasi>92%.
2) Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath mask.
3) Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan
menggunakan bag-valve-mask ventilation
4) Lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji PaO2 dan
PaCO2
5) Kaji jumlah pernapasan
6) Lakukan pemeriksan system pernapasan
7) Dengarkan adanya bunyi pleura
8) Lakukan pemeriksaan foto thorak – mungkin normal, tapi lihat
untuk mendapatkan:
c. Circulation          
1) Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengan suara gallop
2) Kaji peningkatan JVP
3) Catat tekanan darah
4) Pemeriksaan EKG mungkin menunjukan:

17
 Sinus tachikardi
 Adanya S1 Q3 T3
 right bundle branch block (RBBB)
 right axis deviation (RAD)
 P pulmonale
5)    Lakukan IV akses
6)    Lakukan pemeriksaan darah lengkap
7)    Jika ada kemungkina PE berikan heparin
8)   Jika pasien mengalami thrombolisis, alteplase direkomendasikan
sebagai obat pilihan. Berikan 50 mg IV dengan bolus. Jika pasien
tidak berespon terhadap trombolisis, segera dirujuk ke speialis
untuk dilakukan thromboembolectomy.
d.  Disability
1) Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
2) Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk
kondisi ekstrim dan membutuhkan pertolongan medis segera dan
membutuhkan perawatan di ICU.
e. Exposure
1) Selalu mengkaji dengan menggunakan test kemungkinan PE
2) Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik lainnya.
3) Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda DVT
2.    Secondary survey
a. Identitas Klien
Nama, umur, jenis Kelamin, pendidikan, alamat , pekerjaan
b. Keluhan Utama
Klien sering mengeluh nyeri dada tiba- tiba sesak napas.
c. Riwayat Kesehatan
Klien merasa lemah, nyeri dada, nyeri kepala, sesak napas.
d. Riwayat Kesehatan Terdahulu

18
Apakah ada riwayat emboli paru-paru sebelumnya, pembedahan,
stroke, serangan jantung, obesitas, patah tulang tungkai-tungkai /
tulang panggul, trauma berat.
e. Riwayat Kesahatan Keluarga
Apakah ada di antara keluarga klien yang mengalami penyakit yang
sama dengan penyakit yang dialami klien

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeo bronkhial
oleh bekuan darah, sekret banyak, perdarahan aktif.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah
ke alveoli atau sebagian besar paru-paru
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah
arteri atau vena

19
C. Intervensi
No Diagnosa NOC Intervensi
. Keperawatan
1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji frekuensi, kedalaman 1
efektif b.d obstruksi keperawatan selama...x24 pernafasan dan ekspansi
trakeo bronkhial oleh jam, pola nafas tidak efektif dada.
bekuan darah, sekret dapat teratasi dengan kriteria
banyak, perdarahan hasil :
aktif. a. Mendemonstrasika batuk
efektif dan suara nafas
yang bersih, tidak ada
sianosis dan dipsneu
b. Menunjukkan jalan nafas
yang paten (frekuensi 2. Auskultasi suara nafas dan 2
pernafasan dalam batass catat adanya bunyi nafas
normal dan tidak ada adventisius seperti,
suara nafas abnormal krekels, mengi, gesekan
c. TTV dalam batas normal pleural.

3. Posisikan pasien untuk


memaksimalkan ventilasi 3.

2. Kerusakan pertukaran Setelah dilakukan tindakan 1. Catat frekuensi dan 1.


gas berhubungan keperawatan selama...x24 kedalaman pernapasan,

20
dengan perubahan jam, kerusakan pertukaran penggunaan obat bantu,
aliran darah ke alveoli gas dapat teratasi dengan nafas bibir.
atau sebagian besar kriteria hasil : 2. Auskultasi suara nafas, 2.
paru-paru a. Menunjukkan catat adanya penurunan
peningkatan ventilasi dan atau tidak adanya bunyi
oksigenasi yang adekuat nafas, dan adanya bunyi
b. AGD dalam batas normal tambahan
c. Tanda-tanda vital dalam
rentang normal.
3. Observasi sianosis 3.
khususnya pada
membaran mukosa
4. Lakukan tindakan untuk 4.
memperbaiki atau
mempertahankan jalan
nafas, misalnya dengan
batuk efektif atau sucsion
3. Gangguan perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Auskultasi suara jantung 1.
jaringan b.d keperawatan selama...x24 dan paru.
penghentian aliran jam, ketidakefektifan perfusi
darah arteri atau vena jaringan kardio pulmonal
teratasi dengan kriteria hasil : 2. Observasi warna dan suhu 2.
a. Nadi perifer kuat dan kulit atau suhu kulit atau
simetris membran mukosa.
b. Denyut jantung, AGD
dalam batas normal
c. Nyeri dada tidak ada

3. Evaluasi ekstremitas 3.
untuk adanya/tidak ada
atau kulitas nadi. Catat

21
nyeri tekan betis atau
pembengkakan.

D. Evaluasi
1. Pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman
dalam rentang normal dan paru bersih.
2. Pasien menunjukkan ventilasi yang adekuat atau oksigenasi dengan GDA
dalam rentang normal.
3. Pasien menunjukkan peningkatan perfusi yang sesuai secara individual,
irama jantung dan nadi perifer dalam batas normal, tidak adanya sianosis,
kulit hangat atau kering, haluaran urin dan berat jenis dalam batas normal.

22
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

23
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin dan Christantie Effendy. 2003. Keperawatan Medikal
Bedah : Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Chandramin. 1996. Tromboemboli Paru. Jurnal Kardiologi Indonesia Vol XXI No
2 April-Juni.
Davey, Patrick. 2005. Medicine at a Glance. Jakarta : Erlangga.
Doengoes, Marylinn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Hudak, Caroly. 1997. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume 1.
Jakarta : EGC.
Lesmana, Vivi Putri. 2010. Emboli Paru. Bagian Penyakit Dalam RS Mitra
Kemayoran Jakarta. CDK edisi 180 September-Oktober 2010.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
Oman, Kathleen. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta : EGC.
Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
24
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI.

25

Anda mungkin juga menyukai