Anda di halaman 1dari 25

DEMOKRASI

LIBERAL
Gilang Nurwahid S.B (190210302113)
Muhammad Fahmi N. (190210302115)
Sumber Referensi

Soejono, R.P. dan Leirissa, R.Z. (Ed.). 2010. Sejarah Nasional


Indonesia VI : Zaman Jepang dan Zaman Republik
Indonesia (1942-1998). Balai Pustaka : Jakarta
Bahan Kajian

01 Kehidupan
Sosial - Budaya 02 Politik

03 Sistem
04
Berakhirnya
Ekonomi Demokrasi
Liberal
1. Sosial dan Budaya
Beberapa ciri umum dari pers zaman Liberal ·
SOSIOHUMANIKA, 1(2) 2008
antara lain ditandai dengan liberalisme dalam halSOSIOHUMANIKA,
penulisan 1(2) 2008
berita, tajuk. rencana dan pojok. Pada umumnya dari segi
komersial kurang menguntungkan, meskipun
pengusahaannya sudah diasuh secara liberal.
Gejala lain yang nampak pada waktu itu setiap
individu, asal memiliki uang, tidak memandang golongannya,
dapat menerbitkan surat kabar atau majalah, tanpa meminta
izin kepada yang berwenang. Akibatnya menimbulkan
perlombaan dalam penerbitan surat kabar yang kadang-
kadang penerbitnya tidak memperhitungkan kemampuan
keuangannya.
Kerusakan jalan, kurangnya kendaraan,
kesulitan pengangkutan taut dan lain-lain, mengakibatkan
surat kabar tidak berkembang dengan baik. Hal ini dapat
dilihat dari perkembangan persuratkabaran di tahun 50an di
Nusa Tenggara, Maluku, Kalimantan Barat, Kalirnantan Timur
dan daerah-daerah lain yang mengalami kesulitan
perhubungan. Di samping faktor perhubungan yang
merupakan penghambat, percetakan pun dapat merupakan
penghambat pula.
Sumber Gambar:
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARA
H/196210091990011-
SUWIRTA/l.artikel.suwirta.sosiohumanika.november.20
08.ok.pdf
Sarana komunikasi lainnya yang vital di
negara kita adalah radio. Sejak Proklamasi, penyiaran
radio dikuasai oleh bangsa Indonesia. Dengan
sendirinya corak siaran radio dapat disesuaikan dengan
jiwa revolusi pada waktu itu. Pada rnasa awal
kernerdekaan, radio menjadi saluran penerangan yang
terpenting. ·
Semua radio umurnya hampir di seluruh
pelosok tanah air selalu dikerumuni oleh rakyat yang
ingin mendengar tentang kejadian-kejadian di
Indonesia. Corak siaran pada masa itu banyak
menggunakan siaran "kata-kata yang berat" rnengenai
politik. dan agitasi untuk membakar semangat rakyat.
Usaha lain yang dilakukan ialah rnernatahkan siaran
propaganda dari pihak Belanda yang melakukan agresi
terhadap Republik Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan, siaran-
siaran radio di Indonesia digunakan untuk kepentingan
nasional. Meskipun terdapat kesulitan-kesulitan dalam
Sumber Gambar:
penyelenggaraannya, tetapi sedikit demi sedikit segala https://dialogpublik.com/wp-
kesulitan dapat diatasi, sehingga penyiaran radio yang content/uploads/2019/02/radio.jpg
dahulu digunakan oleh Belanda dapat digunakan untuk
kepentingan negara.
Perkembangan Sastra dan Budaya

Gagasan untuk menyempurnakan ejaan


barn Indonesia tim bul lagi pada waktu diadakan
Kongres Bahasa Indonesia di Medan pada 28 Oktober
sampai 2 November 1954. Kongres itu .antara lain
mengambil keputusan, supaya penyelidikan dan
penetapan dasar-dasar ejaan diserahkan kepada suatu
badan yang diatur oleh pemerintah.

Pada bulan September 1956 diadakan


Kongres Bahasa dan Perpustakaan Melayu yang ketiga
di Joh or, Malaysia. Dalam kongres tersebut timbul
hasrat untuk menyatu kan ejaan bahasa Melayu dengan
ejaan bahasa Indonesia.

Pada 17 April 1957 diadakan perjanjian


persahabatan antara Republik Indonesia dengan
Persekutuan Tanah Melayu. Pemerintah RI diwakili
Perdana Menteri Ir. Djuanda dan Persekutuan Tanah
Melayu oleh Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman Al-
Haj. Sumber Gambar:
https://cdns.klimg.com/infeed.id/draft/2018/10/
28/5648/main-kongres-hl-800-400-
5bd52f133b550.jpg
Sebagai tindakan selanjutnya, pada 4 sampai 7
Desember 1959 di Jakarta diadakan sidang bersama antara
Panitia Pelaksana Kerjasama Bahasa Melayu - Bahasa
Indonesia, yang diketuai oleh Prof. Dr. Slamet Muljana dengan
Jawatan Kuasa Ejaan Resmi Baharu Persekutiian Tanah
Melayu, yang dipimpin oleh Syech Nasir bin Ismail,
Sidang bersama itu menghasilkan Pengumuman
Bersama Ejaan Bahasa Melayu-Indonesia
(Melindo ), yang pada tahun 1961 diterbitkan
oleh Departemen PP dan K Republik Indonesia.

Dalam pengumuman Bersama tersebut dinyatakan, bahwa


kedua pemerintah akan meresmikan Ejaan Melindo
selambat-lambatnya pada bulan Januari 1962, tetapi
keputusan tersebut belum dapat dilaksanakan, karena
perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya.
Konsep lain pemah diajukan oleh Samsuri dalam majalah Medan
Rmu Pengetahuan Th. I, No. 4, 1950, yang selanjutnya disebut
Konsep Samsuri. Konsep lainnya yaitu yang dihasilkan oleh
Panitia Ejaan, Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan pada bulan
Agustus 1966, yang selanjutnya .disebut Konsep Lembaga
Bahasa dan Kesusasteraan (LBK). Keempat konsep itu mencoba
mengadakan inventarisasi fonem.
Penyair-penyair periode 1950 belajar azas-azas
persajakan dari Chairil Anwar atau Sitor Situmorang, dan tidak lagi
dari Marsman atau Slauerhoff. Bagi pengarang-pengarang cerita
pendek, yang menjadi guru mereka yang pertama adalah
Pramoedya Ananta Toer atau Idrus, dan bukan Ilya Ehrenburg atau
Hemingway. Unsur persajakan mereka gali dari bahasa-bahasa
daerah, sehingga bahasa Indonesia menjadi semakin kaya.

Sementara HB. Jassin dalam eseinya tahun 1951


yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan kehidupan
Angkatan '45, sampai pada pendapat bahwa pengarang Angkatan
'45 tidak mengabdi kepada suatu isme, tetapi mengabdi kepada
kemanusiaan , yaitu segala yang baik dari semua isme. Mereka
tidak berpikir dalam istilah-istilah, tetapi hidup dari pusat pribadi
manusia dengan tidak menyebut dirinya nasionalis, atas dasar
perasaan kemanusiaan mereka berdiri di pihak bangsabangsa,
dengan tidak menyebut diri sosialis mereka: menghendaki keadilan
serta kesejahteraan sosial serta gaya ekspresi yang
mendarahdaging, universal-nasionalis, revolusioner dalam sikap
hidup dan visi.
Sumber Gambar:
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/35/Si
tor_Situmorang_Kesusastraan_Modern_Indonesia_p188.jpg/2
20px-
Sitor_Situmorang_Kesusastraan_Modern_Indonesia_p188.jpg
2. Politik
Konferensi Asia-Afrika
Konferensi Asia-Afrika merupakan salah satu contoh
politik bebas aktif pada masa itu.

Konferensi ini berawal dari Konferensi Kolombo yang


berlansung dari 28 April sampai 2 Mei 1954 dan dihadiri
59 Departemen Luar Negeri, oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo dari Indonesia, Perdana Menteri U Nu
dari Birma, Perdana Menteri Pandit Jawaharal Nehru dari
India dan Perdana Menteri Sir John Kotelawala dari Sri
Langka.

Dalam konferensi tersebut Perdana Menteri Ali


Sastroamidjojo menyarankan agar pertemuan-
pertemuan selanjutnya diperluas dengan
Sumber Gambar :
pemimpin-pemimpin negara-negara lainnya dari
https://asset.kompas.com/crops/HPrAN5KqZCJlDoYMVCKRIln3BQg=/0
Asia-Afrika. x0:4128x2752/750x500/data/photo/2019/04/24/3493209914.jpg
Pertemuan selanjutnya diselenggarakan di Bogor
dari 28 Desember sampai 31 Desember 1954.
Konferensi Bogor mengajukan rekomendasi untuk :

(2) menetapkan kelirna


(I) mengadakan
negara peserta
Konferensi Asia-Afrika
Konferensi Bogor
di Bandung dalam
8ebagai negara-
bulan April 1955,
negara sponsor

(3) menetapkan 25
negara-negara Asia-
Afrika yang akan
diundang,

(5) meninjau kedudukan Asia-


Afrika serta rakyatnya, serta
(4) menentukan empat memberikan sumbangan
tujuan pokok dari yang dapat mereka berikan
Konferensi AsiaMrika, dalam usaha memajukan
perdamaian dan kerja sama
dunia.
Setelah Konferensi Persiapan di Bogor, dari 18 - 25 April 1955 diselenggarakan
Konferensi Asia Afrika di Bandung dengan dihadiri oleh 24 negara undangan dan
kelima negara pengambil prakarsa. agenda Konferensi Bandung memuat lima pokok
acara yang akan dibicarakan, yaitu :

• Kerjasama ekonomi
1

• Kerjasama budaya
2

• Hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri.


3

• Masalah-masalah bangsa-bangsa yang tidak merdeka.


4

• Masalah perdamaian dunia dan kerjasama internasional.


5
Dalam pidato pembukaannya
mengenai keadaan dunia Presiden Soekamo
antara lain mengingatkan bahwa kolonialisme
belum lagi mati. Pidato-pidato sambutan baik
dari Indonesia maupun dari para ketua delegasi
negara peserta selain telah menimbulkan
suasana yang membesarkan semangat
persaudaraan dan persatuan di antara para
peserta konferensi juga merupakan suatu
pemyataan lahimya Asia-Afrika yang baru.

Pada akhir konferensi dihasilkan


beberapa dokumen, yaitu Basic Paper on Racial
Discrimination dan Basic Paper on Radio Activity. Sumber Gambar :
Keduanya dianggap sebagai bagian dari https://titiknol.co.id/images/post/2017/04/titiknol_1y0_konferensi_asia_afrika
_1955.jpg
keputusaii konferensi.
Dokumen yang kemudian terkenal dengan nama Dasasila Bandung ialah I0 prinsip
yang tercantum dalam Declaration on the Promotion of World Peace and
Cooperation. Kesepuluh perjanjian tersebut adalah:

1) Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas~azas yang termuat dalam piagam PBB,
2) Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa,
3) Mengakui semua persamaan suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil,
4) Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dengan soal-soal dalam negeri negara lain,
5) Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendiri-sendiri atau secara
kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB,
6) Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan
khusus dari salah satu negara-negara besar dan tidak melakukan tekanan terharap negara lain,
7) Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi atau penggunaan kekerasan terhadap integritas
teritorial atau kemerdekaan politik suatu bangsa,
8) Menyelesaikan semua perselisihan intemasional dengan jalan damai seperti perundingan, persetujuan,
arbitrase atau penyelesaian hakirn ataupun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang
bersangkutan, yang sesuai dengan piagam PBB,
9) Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama,
10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban intemasional.
3. Sistem Ekonomi
1. Pemikiran Ekonomi Nasional
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan
oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang mengatakan bahwa pembangunan
ekonomi Indonesia adalah pembangunan ekonomui baru. Ia mengatakan
bahwa pada bangsa Indonesia harus selekas mungkin di tumbuhkan kelas
pengusaha, khususnya yang bermodal lemah diberi kesempatan untuk
membangun ekonomi nasional.

Gagasan sumitro kemudian di tuangkan dalam


kabinet Natsir (September 1950 – April 1951) yang pada kalaitu
beliau menjabat menjadi mentri perdagangan. Gagasan ini
dikenal sebagai Gerakan banteng. Selama 3 tahun lebih kurang
700 perusahaan indonesia mendapat kredit bantuan dari
program tersebut. Program pemerintah ini pada hakekatnya
adalah kebijakan untuk melindungi pengusaha – pengusaha
pribumi. Namun, usaha ini tidak berhasil mencapai tujuannya.

Sumber Gambar : https://tirto.id/sumitro-djojohadikusumo-pernah-


menghilang-karena-dituduh-korupsi-cAaN
2. Sistem Ekonomi Liberal

Sesudah pengakuan kedaulatan, Indonesia Masalah jangka pendek yang harus di


menanggung beban ekonomi dan keungan sebagai selesaikan pemerintah yakni mengurangi jumlah uang
akibat ketentuan dari KMB. Beban utang luar negeri beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup. Dan
sebesar Rp 1.500 juta dan utang dalam negeri Rp 2.800 sedangkan masalah jangka panjang adalah masalah
juta. Struktur ekonomi yang diwarisi masih berat sebelah. pertambahan penduduk dab tingkat hidup yang rendah.
Ekspor masih kepada beberapa jenis hasil perkebunan.
Produk Ekspor ini masih dibawah produk sebelum PD II

Sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah Pada tahun berikutnya pemerintah


mulai berkutang disebabkan oleh menurunya volume berusaha keras untuk meningkatkan penghasilan
perdagangan internasional. Indonesia hanya memiliki negara. Kebijakan moneter di tinjau kembali sesudah
hasil perkebunan sebagai barang ekspor. Perkembangan 1951 indonesia menasionalisasikan De Javasche Bank.
ekonomi indonesia tidak menunjukkan ke arah yang Upaya pemerintah adalah menurunkan biaya ekspor dan
stabil. Pengeluaran pemerintah semakin meningkat, berhemat.
karena tidak stabilnya situasi politik
2. Sistem Ekonomi Liberal
Kebijakan Pada masa Masa Kerja Biro ini
yang di tempuh kemudian kabinet Ali Wongso I, tiap – tiap kabinet yang dipimpin oleh Ir. Djuanda
oleh pemerintah yaitu pemerintah membentuk terlalu singkat dan yang kemudian diangkat
pada masa kabinet natsir, Biro Perancang Negara programnya selalu menjadi Menteri
adalah melaksanakan dengan tugas merancang berganti – ganti Perancang Nasional. Biro
industrialisasi, yang pembangunan jangka mengakibatkan tidak ini menghasilkan Rencana
dikenal sebagai Rencana panjang, karena tercapainya ke stabilitasan Pembangunan Lima
Sumitro. Sasarannya pemerintah terdahulu politik. Tidak adanya Tahun (RPLT).
adalah industri - industri menekankan program stabilitas politik ini
dasar seperti pabrik jangka pendek, sehingga merupakan faktor
semen, karung, dan belum dapat dirasakan kemrosotan ekonomi,
percetakan. Hal ini juga oleh masyarakat. inflasi dan lambatnya
diikuti usaha pangan, pelaksanaan
produksi, perbaikan pembangunan.
prasarana dan
penanaman modal asing. Sumber Gambar : https://kapol.id/ir-djuanda-
kartawidjaja-deklarator-nusantara/
2. Sistem Ekonomi Liberal
Akan tetapi, karena adanya depresi di AS dan Eropa Barat akhir 1957 dan
awal 1958, pendapatan negara menjadi mundur, karena harga ekspor mentah menjadi
merosot. Demikian pula perjuangan pembebasan Irian Barat yang mendorong pemerintah
untuk melaksanakan tindakan nasionalisasi perusahaan – perusahaan milik Belanda di
Indonesia pada Desember 1958, turut pula mempengaruhi. Faktor lainnya yang
memberatkan RPLT adalah adanya ketegangan antara pusat dan daerah.

Ketegangan antara pusat dan daerah ini dapat diredakan untuk


sementara waktu dengan diadakannya Musyawarah Nasional
Pembangunan ( Munap). Djuanda yang pada masa itu menjadi perdana
menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk merubah rencana
pembangunan itu agar menghasilkan rencana pembangunan jangka
panjang. Namun, hal ini dihambat oleh dihambat oleh kesulitan
administratif, khususnya penentuan prioritas.
4. Berakhirnya
Demokrasi Liberal
4. Berakhirnya Demokrasi Liberal

Dalam pidato memperingati hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956 Presiden


Soekarno menyerukan agar partai – partai dibubarkan. Seruan itu diulanginya dua hari
kemudian, 30 Oktober di depan PGRI. Presiden mengecam demokrasi liberal yang
dianggapnya tidak cocok untuk masyarakat Indonesia. Paham yang dijiplak dari alam pikiran
Barat itu telah melahirkan banyak partai yang kenyatannya lebih bnanyak mementingkan
kepentingan masing – masing daripada kepentingan rakyat
4. Berakhirnya Demokrasi Liberal
Anjuran untuk menguburkan partai partai di
tentang oleh berbagai tokoh toko partai terutasma tokoh
NU dan dengan cara mengubur partai partai bukan lah cara
mengatasi hal tersebut. Kiai Dahlan, yang merupakan salah
seorang tokoh NU, mengatakan bahwa menguburkan
partai – partai bertentangan dengan ajaran islam dan akan
Kiai Haji Ahmad Dahlan
menimbulkan diktator.
https://id.wikipedia.org/wik
i/Ahmad_Dahlan
Pendapat yang sama dilontarkan pula oleh
Masyumi, Moh. Natsir, ia mengakui bahwa memang
keadaan tanah air jauh dari kata memuaskan, akan tetapi,
menurutnya cara untuk mengatasinya bukanlah mengubur
partai – partai. Mohammad Natsir
https://id.wikipedia.org/wiki
/Mohammad_Natsir
4. Berakhirnya Demokrasi Liberal
Oleh karena oposisi terlalu
kuat, maka Presiden meralat ucapannya.
yang menyinggung soal “menguburkan
partai partai” yang kemudian presiden
menemui dan mengatakan Kepada Ali
Sastroamidjojo, tokoh PNI, mengatakan
bahwa maksud darinya adalah yakni
Sumber Gambar :
mengurangi jumlah partai – partai karena https://www.liputan6.com/news/read/2218757/2-tokoh-
penting-di-balik-lahirnya-kaa

pada waktu itu terlalu banyak ( sekitar 40


partai).

Anda mungkin juga menyukai