Anda di halaman 1dari 31

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 1997).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut Roger (1974) dalam

Notoatmodjo (1997) bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru,

didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan:

a) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b) Interest (merasa tertarik), dimana orang mulai tertarik pada stimulasi.

c) Evaluation (menilai), dimana sesorang mulai menimbang-nimbang

terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

d) Trial (mencoba), dimana orang telah mulai mencoba berprilaku baru

sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus.

8
 
 

 

Selanjutnya Roger menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak

selalu melewati tahap-tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau

adopsi perilaku melalui proses seperti proses diatas yaitu didasari oleh

pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan

langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan,

kesadaran dan sikap maka tidak akan berlangsung lama.

2. Tingkat pengetahuan didalam domain kognitif

Pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan

(Notoatmodjo, 2003) yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan


 
 
10 
 

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu

struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (syinthesis)

Sintesis menunjuk kepada satu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya adalah:

a. Umur

Umur merupakan unsur biologis dari seseorang yang menunjukkan

tingkat kematangan organ-organ fisik pada manusia. Semakin tinggi

umur seseorang, maka proses perkembangan seseorang akan semakin

matang.
 
 
11 
 

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin terbentuk dalam dimensi biologis. Jenis kelamin

mengacu pada seseorang berperilaku dan mencerminkan penampilan

sesuai dengan jenis kelaminnya.

c. Pendidikan

Pendidikan akan menghasilkan perubahan keseluruhan cara hidup

seseorang. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidkan tinggi akan

mempunyai keinginan untuk mengembangkan dirinya, sedangkan yang

berasal dari tingkat pendidikan rendah cenderung mempertahankan

tradisi yang ada.

d. Pengalaman

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan

mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan

akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap terhadap pengetahuan.

Untuk dapat mempunyai tanggapan harus mempunyai pengalaman.

4. Skoring/penilaian pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang sesuatu materi yang ingin diukur dari

subyek penelitian/responden. Pengukuran atau penilaian pengetahuan

menurut Notoatmodjo dapat dikategorikan menjadi empat (Notoatmodjo,

2003) yaitu:
 
 
12 
 

- Tingkat pengetahaun baik bila skor atau nilai 76-100%

- Tingkat pengetahuan cukup baik bila skor atau nilai 51-75%

- Tingkat pengetahuan kurang baik bila skor atau nilai 26-50%

- Tingkat pengetahuan tidak baik bila skor atau nilai 0-25%

B. Perilaku

Perilaku diartikan sebagai reaksi yang bersifat sederhana maupun

kompleks serta mempunyai sifat deferensial, artinya satu stimulus dapat

menimbulkan lebih dari satu respons yang berbeda dan beberapa stimulus yang

berbeda dapat saja menimbulkan satu respons yang sama (Azwar, 1995).

Perilaku dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu perilaku yang tidak diamati

secara langsung seperti pikiran, perasaan, dan kehendak serta perilaku yang

dapat diamati secara langsung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

perilaku adalah manifestasi dari suatu proses mental secara internal yang dapat

diobservasi dan diukur dengan berbagai cara baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Notoatmodjo (2003), menyatakan secara lebih terinci perilaku manusia

sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti

pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan

sebagainya. Gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yaitu

faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosial budaya masyarakat.


 
 
13 
 

Menurut Lawrence Green ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku

seseorang yaitu (Notoatmodjo, 1997):

1. Predisposing factor (Faktor-faktor yang memudahkan)

Faktor penyebab seseorang mau mengimunisasikan anaknya, karena di

pengaruhi oleh:

a. Pengetahuan ibu

b. Tingkat pendidikan.

c. Sikap

d. Nilai

2. Enabling factor (Faktor-faktor yang memungkinkan)

Faktor yang menyebabkan seseorang selalu ikut program imunisasi anaknya

dipengaruhi oleh:

a. Status pekerjaan.

b. Pendapatan keluarga.

c. Jarak dan keterjangkauan pelayanan kesehatan.

d. Ketersediaan waktu

3. Reinforcing factor (Faktor-faktor yang memperkuat).

Faktor yang menyebabkan masyarakat mau memperhatikan kesehatannya

dipengaruhi oleh:

a. Motivasi petugas.

b. Kedisiplinan petugas.

c. Orang tua
 
 
14 
 

Adapun Blum menjelaskan seperti dikutip Azwar tahun 1998 ada tiga

faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang yaitu (Ircham, 2006):

1. Faktor Lingkungan

a. Pendidikan

b. Pekerjaan

c. Sosial Budaya

d. Fisik

e. Pendapatan

2. Faktor Keturunan

a. Jumlah

b. Distribusi

c. Pertumbuhan

d. Faktor genetik

3. Faktor Pelayanan Kesehatan

a. Pengobatan

b. Rehabilitasi

c. Pencegahan
 
 
15 
 

C. Demam

1. Pengertian

Demam adalah suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh

melawan infeksi. Kebanyakan bakteri dan virus yang menyebabkan infeksi

pada manusia hidup subur pada suhu 370 celsius. Meningkatnya suhu tubuh

beberapa derajat dapat membantu tubuh melawan infeksi. Demam akan

mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk membuat lebih banyak sel darah

putih, membuat lebih banyak antibodi dan membuat lebih banyak zat-zat lain

untuk melawan infeksi.

Suhu tubuh normal bervariasi tergantung masing-masing orang, usia

dan aktivitas. Rata-rata suhu tubuh normal adalah 370 celsius.

Suhu tubuh kita biasanya paling tinggi pada sore hari. Suhu tubuh dapat

meningkat disebabkan oleh aktivitas fisik, emosi yang kuat, makan,

berpakaian tebal, obat-obatan, suhu kamar yang panas, dan kelembaban yang

tinggi. Ini terutama pada anak-anak. Suhu tubuh orang dewasa kurang

bervariasi. Tetapi pada seorang wanita siklus menstruasi dapat meningkatkan

suhu tubuh satu derajat atau lebih (Suryo 2006).

Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme

(virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi

seperti kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya. Ketika virus atau

bakteri masuk ke dalam tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau leukosit
 
 
16 
 

melepaskan zat penyebab demam (pirogen endogen) yang selanjutnya memicu

produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior yang kemudian

meningkatkan nilai ambang temperatur dan terjadilah demam. Selama demam,

hipotalamus cermat mengendalikan kenaikan suhu sehingga suhu tubuh jarang

sekali melebihi 410 celsius (Trimudilah, 2007).

Selain itu demam yang terjadi karena infeksi bakteri atau virus, pada

umumnya tidak akan menyebabkan kerusakan otak atau kerusakan fisik

permanen seperti anggapan yang telah dianut selama ini. Demam adalah hal

yang biasa terjadi pada anak dan bukan merupakan suatu indikasi penyakit

serius kecuali bila disertai dengan perubahan penampilan, perubahan tingkah

laku atau gejala-gejala tambahan seperti kesulitan bernafas, kaku kuduk atau

kehilangan kesadaran. Hanya demam diatas 42,20 Celcius yang telah diketahui

dapat menyebabkan kerusakan otak (Agnes, 2004).

2. Patofisiologi demam

Demam terjadi sebagai respon tubuh terhadap peningkatan set point,

tetapi ada peningkatan suhu tubuh karena pembentukan panas berlebihan dan

tidak disertai peningkatan set point (Julia, 2000). Demam adalah sebagai

mekanisme pertahanan tubuh (respon imun) anak terhadap infeksi atau

zatasing yang masuk ke dalam tubuhnya. Bila ada infeksi atau zat asing

masuk ke tubuh akan merangsang sistem pertahanan tubuh dengan

dilepaskannya pirogen. Pirogen adalah zat penyebab demam, ada yang berasal
 
 
17 
 

dari dalam tubuh (pirogen endogen) dan luar tubuh (pirogen eksogen) yang

bisa berasal dari infeksi oleh mikroorganisme atau merupakan reaksi

imunologik terhadap benda asing (non infeksi).

Pirogen selanjutnya membawa pesan melalui alat penerima (reseptor)

yang terdapat pada tubuh untuk disampaikan ke pusat pengatur panas di

hipotalamus. Dalam hipotalamus pirogen ini akan dirangsang pelepasan asam

arakidonat serta mengakibatkan peningkatan produksi prostaglandin (PGEZ).

Hal ini akan menimbulkan reaksi menaikkan suhu tubuh dengan cara

menyempitkan pembuluh darah tepi dan menghambat sekresi kelenjar

keringat. Pengeluaran panas menurun, terjadilah ketidakseimbangan

pembentukan dan pengeluaran panas, sehingga menimbulkan demam pada

anak. Suhu yang tinggi tersebut akan merangsang aktivitas “tentara” tubuh

(sel makrofag dan sel limfosit T) untuk memerangi zat asing tersebut dengan

meningkatkan proteolisis yang menghasilkan asam amino yang berperan

dalam pembentukan antibodi atau sistem kekebalan tubuh. (Sinarty, 2003).

3. Jenis-jenis demam

a. Demam septik atau hektik

Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam

hari dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering

disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi

tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.


 
 
18 
 

b. Demam remiten

Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai

suhu badan normal. Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat

mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat

demam septik.

c. Demam intermiten

Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam

dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali

disebut tersiana dan bila terjadi dua hari terbebas demam diantara dua

serangan demam disebut kuartana.

d. Demam kontinyu

Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat.

Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut

hiperpireksia.

e. Demam siklik

Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh

beberapa periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian

diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula (Sakiyan, 2004).

4. Klasifikasi demam

Klasifikasi demam (Anonimus, 2010):

a. Demam dengan localizing signs

Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik


 
 
19 
 

berada pada kategori ini. Demam biasanya berlangsung singkat, baik

karena mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti

pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti

pemeriksaan foto rontgen dada.

b. Demam tanpa localizing signs

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak

ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering

adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama

kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah

menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Demam tanpa

localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari

1 minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi

oleh dokter anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan.

c. Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)

Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan

selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah

sakit gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown

origin, atau lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO)

didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu

dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah

sakit.  
 
 
20 
 

5. Dampak demam

a. Dampak positif

Beberapa bukti penelitian ‘in-vitro’ (tidak dilakukan langsung

terhadap tubuh manusia) menunjukkan fungsi pertahanan tubuh manusia

bekerja baik pada temperatur demam, dibandingkan suhu normal. IL-1

dan pirogen endogen lainnya akan “mengundang” lebih banyak leukosit

dan meningkatkan aktivitas mereka dalam menghambat pertumbuhan

mikroorganisme. Demam juga memicu pertambahan jumlah leukosit serta

meningkatkan produksi/fungsi interferon (zat yang membantu leukosit

memerangi mikroorganisme).

b. Dampak negatif

Pertama, kemungkinan dehidrasi (kekurangan cairan tubuh). Ketika

mengalami demam, terjadi peningkatan penguapan cairan tubuh sehingga

anak bisa kekurangan cairan.

Kedua, kekurangan oksigen. Saat demam, anak dengan penyakit

paru-paru atau penyakit jantung, pembuluh darah bisa mengalami

kekurangan oksigen sehingga penyakit paru-parau atau kelainan

jantungnya infeksi saluran napas akut akan semakin berat.

Ketiga, demam di atas 420 celsius bisa menyebabkan kerusakan

neurologis (saraf), meskipun sangat jarang terjadi. Tidak ada bukti

penelitian yang menunjukkan terjadinya kerusakan neurologis bila

demam di bawah 420 celsius.


 
 
21 
 

Terakhir, anak di bawah usia 5 tahun (balita), terutama pada umur

di antara 6 bulan dan 3 tahun, berada dalam risiko kejang demam (febrile

convulsions), khususnya pada temperatur rektal di atas 400 celsius. Kejang

demam biasanya hilang dengan sendirinya, dan tidak menyebabkan

gangguan neurologis (kerusakan saraf) (Trimudilah, 2007).

6. Penanganan demam pada anak di rumah

Demam pada anak merupakan suatu keadaan yang sering menimbulkan

kecemasan, stress dan fobia tersendiri bagi orang tua. Oleh karena itu, ketika

anak demam, orang tua sering sekali melakukan upaya-upaya untuk

menurunkan demam. Salah satu upaya yang sering dilakukan orang tua untuk

menurunkan demam anak adalah dengan pemberian obat penurun

panas/antipiretik (Uyun, 2009). Pemberian obat penurun panas sebaiknya

diberikan bila suhu tubuh anak mencapai 39 derajat Celsius karena selain

menurunkan suhu tubuh jika sering-sering diberikan bisa merusak hati

(Anonimus 2010).

Anak yang sedang demam sebaiknya dikondisikan senyaman mungkin.

Anak perlu ditemani oleh orang tua agar anak merasa aman dan nyaman.

Berikan mainan atau boneka kesukaannya pada saat anak tidur atau ceritakan

dongeng agar anak merasa nyaman. Cobalah untuk memberikan minum lebih

banyak (mengingat adanya penguapan cairan yang berlebih lewat keringat).

Kegiatan fisik tidak perlu dibatasi, kecuali untuk aktivitas fisik berat.

Demikian pula halnya dengan pembatasan makanan, tetapai cobalah untuk


 
 
22 
 

memberikan anak makanan dengan gizi yang seimbang.

Kompres yang disepakati saat ini adalah kompres dengan air suam-suam

kuku atau air hangat, setelah pemberian antipiretik pada kasus demam yang

cukup tinggi. Kompres dengan air dingin (es) atau alkohol sangat tidak

disarankan mengingat anak bias menggigil atau keracunan alkohol. Kompres

tubuh anak disekitar dahi, dada dan ketiak.

Untuk pakaian, ada baiknya bila anak menggunakan pakaian yang tipis

(misalnya kaos oblong atau singlet) agar panas dapat keluar dengan mudah.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa jika sedang mengalami demam,

sebaiknya anak tidak dibungkus dengan selimuttebal. Namun jika anak

menggigil, barulah diselimuti dengan selimut tebal (tanpa kompres baik

dengan air panas maupun dingin dan jangan lupa pula untuk memberikan obat

demam) (Rudianto, 2010).

Pedoman yang harus diketahui oleh orang tua tentang demam pada

anaknya (Kramer MS, Naimark L, Leduc DG. 1985):

a. Definisi demam adalah bila suhu oral > 37,8 derajat celcius.

b. Tubuh mempunyai system regulasi untuk mengatur suhu sehingga tidak

membahayakan organ lain.

c. Antipiretik digunakan bila suhu > 39 derajat celcius. Demam yang ringan

cukup dengan memberikan anak banyak minum.

d. Kompres pada anak dapat dilakukan bila suhu > 40 derajat celcius setelah

diberikan antipiretik 1 jam sebelumnya dengan menggunakan air hangat.


 
 
23 
 

e. Hindari perilaku memberikan antipiretik dan mengompres anak pada suhu

normal.

f. Tidak dianjurkan kepada orang tua untuk memberikan antipiretik secara

selang seling (asetaminofen dan aspirin) setiap 2 jam.

g. Tidak dianjurkan kepada orang tua untuk membangunkan anak yang

sedang tidur hanya untuk mengukur suhu dan memberikan antipiretik.

Tidur lebih penting untuk anak yang sedang demam.

h. Pengukuran suhu dilakukan sebelum memberikan antipiretik untuk

meyakinkan bahwa anak memang memerlukan obat dan pada saat anak

merasa tidak nyaman.

i. Rekomendasi khusus untuk memberikan antipiretik diperlukan pada

orang tua yang anaknya pernah mengalami kejang demam. Antipiretik

dapat diberikan pada saat anak mulai demam dengan interval pemberian

setiap 4 jam.

j. Dianjurkan kepada orang tua untuk mengamati gejala klinis lain seperti

sesak nafas, nyeri saat berkemih, penurunan kesadaran, dari pada hanya

mengamati demamnya saja.

Jika demam ringan dan tidak ada masalah-masalah lain yang timbul,

tidak diperlukan obat-obatan. Untuk mengurangi demam anak, orangtua bisa

mengompres anak dengan air hangat serta sering-sering memberinya minum.

Masuknya cairan yang banyak lalu dikeluarkan lagi dalam bentuk urin,

merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh (Anonimus, 2010).
 
 
24 
 

7. Agen-agen antipiretik

Agen-agen antipiretik yang dianjurkan adalah parasetamol, ibuprofen

dan aspirin. Ibuprofen dapat diberikan untuk anak berumur > 6 bulan, namun

tidak dianjurkan diberikan pada anak dengan dehidrasi atau sering muntah.

Aspirin karena efek sampingnya merangsang lambung, maka tidak dianjurkan

untuk demam ringan (Uyun, 2009).

Walaupun masih ada pro dan kontra, sampai saat ini masih diseakati

penggunaan obat antipiretik pada pengobatan demam. Pada keadaan demam,

obat antipiretik dapat diberikan ke anak dengan dosis yang tepat. Ada banyak

golongan obat antipiretik yang beredar dan dijual bebas, seperti parasetamol,

ibuprofen, aspirin atau golongan AINS (Anti Inflamasi Non-Steroid) lainnya.

Dalam hal keamanan dan efektivitas, saat ini dokter hanya menggunakan

parasetamol dan ibuprofen. Aspirin merupakan kontra indikasi pada anak

(tidak boleh diberikan) karena dapat menyebabkan sindrom Reye yang berat

dan dapat menyebabkan kematian.

Parasetamol merupakan antipiretik golongan asetaminofen dan diakui

sebagai obat demam yang paling aman untuk anak. Parasetamol bekerja

dengan cara menurunkan set point suhu tubuh yang ada di otak

(hipotalamus). Obat ini dapat dibeli secara bebas, baik dalam bentuk tablet

maupun sirup dengan bermacam rasa. Parasetamol diberikan dengan dosis 10

mg/kg berat badan setiap kali pemberian dan dalam sehari dapat diberikan

sampai 5 kali (total dosis tidak melebihi 50 mg/kg berat badan dalam sehari).
 
 
25 
 

Jadi, jika anak memiliki berat badan 20 kg, ia perlu diberi 200 mg parasetamol

setiap kali pemberian dan dalam sehari total pemberian tidak boleh melebihi

1.000 mg. efek samping parasetamol cenderung ringan, seperti muntah, mual,

pusing dan sebagainya (Rudianto,2010).

Pemberian antipiretik yang berlebihan dapat mengakibatkan fungsi

ginjal terganggu dan overdosis dapat mengakibatkan keadaan fatal

(Anonimus, 2006). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan

antipiretik adalah gangguan beberapa organ tubuh, apalagi bila diberikan

kepada bayi atau anak-anak kerena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi

dan anak-anak masih belum tumbuh sempurna. Gangguan organ tubuh yang

bias terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi

hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya. Akibat

lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang

ringan seperti raum, gatal sampai dengan yang berat seeperti pembengkakan

bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa (reaksi

anafilaksis).

Pemberian antipiretik berlebih atau irasional juga dapat membunuh

kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat

yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau

jamur (superinfection). Pemberian antipiretik berlebih akan menyebabkan

bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman

yang resisten atau disebut “superbugs” (Anonimus, 2011).


 
 
26 
 

D. Imunisasi

1. Pengertian Imunisasi

Menurut Depkes RI (1994) dalam Mirzal (2008), imunisasi adalah

suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin

ke dalam tubuh. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan tubuh mempunyai

daya mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan

kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal

terhadap penyakit lain.

Departemen Kesehatan RI (2004) dalam Mirzal (2008), menyebutkan

imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada

tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit

tertentu.

2. Tujuan Imunisasi

Menurut Depkes RI (2001) dalam Mirzal (2008), tujuan pemberian

imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak

yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia

sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk

menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita/ anak-anak pra

sekolah.
 
 
27 
 

3. Manfaat Imunisasi

a. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan

kemungkinan cacat atau kematian.

b. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan

bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua

yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.

c. Untuk Negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang

kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan bangsa.

4. Jenis-Jenis Imunisasi

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak

menimbulkan efek-efek yang merugikan. Imunisasi ada dua macam, yaitu:

1. Imunisasi aktif

Imunisasi aktif merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang

telah dilemahkan (vaksin) agar nantinya system imun tubuh berespon

spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen sehingga ketika

terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi

aktif adalah imunisasi polio atau campak. Dalam imunisasi aktif, terdapat

beberapa unsur vaksin, yaitu:

a. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan,

eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat

pada protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga

berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu


 
 
28 
 

antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan bagian dari

organisme yang dijadikan vaksin.

b. Pengawet, stabilisatio, atau antibiotic, merupakan zat yang digunakan

agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan

mencegah tumbuhnya mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti

air raksa atau antibiotik yang biasa digunakan.

c. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur

jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya

antigen telur, protein serum, bahan kultur sel.

d. Adjuvant, terdiri dari garam aluminium yanag berfungsi

meningkatkan system imun dari antigen. Ketika antigen terpapar

dengan antibody tubuh, antigen dapat melakukan perlawanan juga,

dalam hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi

peningkatan antibody tubuh.

2. Imunisasi pasif

Imunisasi pasif merupakan suatu proses peningkatan kekebalan

tubuh dengan cara pemberian zat immunoglobulin, yaitu zat yang

dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma

manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui placenta) atau

binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah

masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh iminisasi pasif adalah

penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka
 
 
29 
 

kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir,

Bayi tersebut menerima berbagai jenis anti body dari ibunya melalui

darah placenta selama masa kandungan, misalnya antibody terhadap

campak (Atikah, 2010)

5. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, yaitu:

a. Difteri

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Corynebacterium diphtheria. Difteri bersifat ganas, mudah menular dan

menyerang terutama saluran nafas bagian atas. Penyebabnya adalah

melalui kontak fisik dan pernafasan. Gejala awal penyakit adalah radang

tenggorokan, hilang nafsu makan dan demam ringan. Dalam 2-3 hari

timbul selaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil. Difteri

dapat menimbulkan komplikasi berupa gangguan pernafasan yang

berakibat kematian (Depkes, 2005).

Terdapat tiga jenis utama C. diphtheria yaitu gravis, intermedius

dan mitis. Strain gravis menyebabkan suatu lebih berat dan mortalitas

lebih tinggi dari strain mitis. Hal ini dianggap tak tepat. Strain ini

mungkin toksik karena adanya faga (tox + phage), yang mungkin

dibawanya. Ada strain gravis, mitis dan intermedius basil difteri yang

tidak toksik yang bisa menyebabkan penyakit seperti difteri. Spesies ini

dan spesies lain yang berhubungan telah terbukti sensitif terhadap faga
 
 
30 
 

toksigenik sehingga dapat menghasilkan toksin (George Dick, 1992).

Difteri disebabkan oleh bakteri yang ditemukan di mulut,

tenggorokan dan hidung. Difteri menyebabkan selaput tumbuh disekitar

bagian dalam tenggorokan. Selaput tersebut dapat menyebabkan

kesusahan menelan, bernafas dan bahkan bisa mengakibatkan mati lemas.

Bakteri menghasilkan racun yang dapat menyebar keseluruh tubuh dan

menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti kelumpuhan dan gagal

jantung. Sekitar 10% penderita difteri meninggal akibat penyakit ini.

Difteri dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang terkena

penyakit ini (Atikah, 2010).

b. Pertusis

Disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari adalah penyakit pada

saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis.

Penyebaran pertusis adalah melalui tetesan-tetesan kecil yang keluar dari

batuk atau bersin. Gejala penyakit adalah pilek, mata merah, bersin

demam dan batuk ringan yang lama kelamaan batuk menjadi parah dan

menimbulkan batuk menggigil yang cepat dan keras. Komplikasi pertusis

adalah Pneumonia bacterialis yang dapat menyebabkan kematian

(Depkes, 2005).

Kuman Bordetella pertussis mengeluarkan toksin yang

menyebabkan ambang rangsang batuk menjadi rendah sehingga bila


 
 
31 
 

terjadi sedikit saja rangsangan akan terjadi batuk yang hebat dan lama.

Serangan batuk lebih sering pada malam hari, batuk terjadi beruntun dan

pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar suara “hup” (whoop)

yang khas, biasanya disertai muntah. Batuk bisa mencapai 1-3 bulan, oleh

karena itu pertusis disebut juga dengan batuk 100 hari. Pada stadium

permulaan yang disebut stadium kataralis yang berlangsung 1-2 minggu,

gejala belum jelas. Penderita menunjukan gejala demam, pilek, batuk

yang makin lama makin keras. Pada stadium selanjutnya disebut stadium

paroksismal, baru timbul gejala khas berupa batuk lama atau hebat,

didahului dengan menarik nafas panjang disertai bunyi “whoop”.

Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu. Pada bayi batuk tidak

khas, “whoop” tidak ada tetapi sering disertai penghentian nafas sehingga

bayi menjadi biru. Akibat batuk yang berat dapat terjadi pendarahan

selaput lendir mata (konjunctiva) atau pembengkakan disekitar mata

(edema periorbital). Pada pemerikasaan laboratorium apusan lendir

tenggorokan dapat ditemukan kuman Bordetella pertussis (Atikah, 2010).

c. Tetanus

Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman

Clostridium tetani. Kuman itu bersifat anaerob, sehingga dapat hidup

pada lingkungan yang tidak terdapat zat asam (oksigen). Tetanus dapat

menyerang bayi, anak-anak bahkan orang dewasa. Pada bayi penularan

disebabkan karena pemotongan tali pusar tanpa alat yang steril atau
 
 
32 
 

dengan cara tradisional, alat pemotong dibubuhi ramuan tradisional yang

terkontaminasi spora kuman tetanus. Pada anak-anak atau orang dewasa

bisa terinfeksi karena luka yang kotor atau luka terkontaminasi spora

kuman tetanus. Kuman ini paling banyak terdapat pada usus kuda

berbentuk spora yang tersebar luas di tanah (Atikah, 2010).

Gejala awal penyakit ini adalah kaku otot pada rahang, disertai

kaku pada leher, kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan

demam. Pada bayi terdapat juga gejala berhenti menetek antara 3-28 hari

setelah lahir. Gejala berikutnya adalah kejang yang hebat dan tubuh

menjadi kaku. Komplikasi tetanus adalah patah tulang akibat kejang,

pneumonia dan infeksi lain yang dapat menimbulkan kematian (Depkes,

2005).

Masa inkubasi antara 4-5 hari sampai lebih dari satu bulan

sesudah infeksi melalui suatu luka yang sepele, seperti karena duri, kuku

atau serpihan kayu (Atikah, 2010).

d. Tuberculosis

Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium

tuberculosa (disebut juga batuk darah). Penyakit ini menyebar melalui

pernapasan lewat bersin atau batuk. Gejala awal penyakit adalah lemah

badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam

hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan

(mungkin) batuk darah. Gejala lain tergantung pada organ yang diserang.
 
 
33 
 

Tuberculosis dapat menyebabkan kelemahan dan kematian (Depkes,

2005).

e. Campak

Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Measles.

Disebabkan melalui droplet bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal

penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek conjunctivitis

(mata merah). Selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian

menyebar ketubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi campak adalah

diare hebat, peradangan pada telinga dan infeksi saluran nafas

(pneumonia) (Depkes, 2005).

f. Poliomyelitis

Poliomyelitis adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang

disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio

type 1, 2 atau 3. Secara klinis penderita penyakit polio adalah anak

dibawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut (acute flaccid

paralysis=AFP). Penyebaran penyakit adalah melalui kotoran manusia

(tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam,

nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Kematian

bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera

ditangani.

g. Hepatitis B

Hepatitis B (penyakit kuning) adalah penyakit yang disebabkan


 
 
34 
 

oleh virus Hepatitis B yang merusak hati. Penyebaran penyakit terutama

melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi selama proses

persalinan, melalui hubungan seksual. Infeksi pada anak tidak

menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah merasa lemah, gangguan

perut dan gejala lain seperti flu. Urine menjadi kuning, kotoran menjadi

pucat. Warna kuning bisa terlihat pula pada mata atau pun kulit. Penyakit

ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati

dan menimbulkan kematian (Depkes, 2005).

6. Efek samping pemberian imunisasi

Efek samping dari pemberian imunisasi (Atikah, 2010), yaitu:

- BCG.

Setelah diberikan imunisasi BCG, reaksi yang timbul tidak seperti

pada imunisasi dengan vaksin lain. Imunisasi BCG tidak menyebabkan

demam. Setelah 1-2 minggu diberikan imunisasi, akan timbul indurasi

dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi pustule,

kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan khusus,

karena luka ini akan sembuh dengan sendirinya secara spontan. Kadang

terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak atau leher. Pembesaran

kelenjar ini terasa padat namun tidak menimbulkan demam.

- DPT.

Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan

berat, efek samping ringan seperti terjadi pembengkakan, nyeri pada


 
 
35 
 

tempat penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat, bayi menangis

hebat karena kesakitan selama kurang lebih empat jam, kesadaran

menurun, terjadi kejang, ensefalopati dan shock.

- Campak

Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan

kemerahan selama tiga hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi.

- Polio

Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa

paralisis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi

- Hepatitis B

Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan

disekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan

biasanya hilang setelah 2 hari.

Imunisasi baik untuk kekebalan, tetapi ternyata ada kejadian ikutan

pasca imunisasi (KIPI) yang merupakan insiden medik yang terjadi setelah

imunisasi dan dianggap disebabkan oleh imunisasi. KIPI adalah semua

kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah

imunisasi (Depkes, 2005). Pada kejadian tertentu lama pengamatan KIPI

dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubella) atau

sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada resipien non

imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).


 
 
36 
 

Gejala KIPI yang disebabkan masuknya vaksin kedalam tubuh

umumnya sudah diprediksi terlebih dahulu karena umumnya “ringan”. Misal,

demam pasca imunisasi DPT yang dapat diantisipasi dengan obat penurun

panas. Meski demikian, bisa juga reaksi induksi vaksin berakibat parah

karena adanya reaksi simpang didalam tubuh (misalnya keracunan), yang

mungkin menyebabkan masalah persarafan, kesulitan memusatkan perhatian,

masalah perilaku seperti autism hingga resiko kematian.

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan

dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta

reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin berat

gejalanya.

a) Reaksi (kecuali anafilaksis) tidak terjadi bila anak kebal (kurang lebih

90% anak yang menerima dosis kedua), anak diatas umur 6 tahun jarang

mengalami kejang demam.

b) Resiko VAPP (Vaccine associated paralytic poliomyelitis) lebih tinggi

pada penerima dosis pertama (2 per 1,4-3,4 juta dosis), sedangkan resiko

pada penerima dosis-dosis selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis.

c) Kejang umumnya diawali dengan demam, frekuensinya tergantung pada

riwayat kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur, dengan

resiko lebih tinggi pada bayi-bayi diatas umur 4 bulan.


 
 
37 
 

E. Kerangka Teori

Pengetahuan

- Predisposing
- Enabling
Imunisasi - Reinforsing

Demam Tidak
Demam

Perilaku terhadap
demam pasca imunisasi

Memberi Tidak memberi antipiretik


antipiretik

Suhu normal Suhu mulai naik Suhu panas

Gambar 1

Kerangka Teori

Dimodifikasi dari: Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (1997)


 
 
38 
 

F. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Pengetahuan ibu tentang Perilaku pemberian obat


imunisasi dan demam penurun panas.
pasca imunisasi

Gambar 2

Kerangka Konsep

Hubungan Antara Pengetahuan Ibu tentang imunisasi dan demam pasca imunisasi

dengan Perilaku Pemberian Obat Penurun Panas pada Anak Demam Pasca Imunisasi

G. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka konsep, maka dapat diambil

hipotesa yaitu ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang imunisasi dan

demam dengan perilaku pemberian obat penurun panas pada anak demam pasca

imunisasi.

Anda mungkin juga menyukai