Anda di halaman 1dari 14

Tugas Makalah

Siri, Pacce dan Were Pandangan Hidup Orang Bugis


Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah
Studi Budaya Lokal
Dr. H.Sulaeman T, M.Ag.

O le h

KURNIA (2020203879203020)
NAFILAH SARI RAZAK (2020203879203007)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PAREPARE
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena
atas izin dan kehendak-Nya jualah sehingga makalah sederhana ini dapat kami
rampungkan tepat pada waktunya.

Penyusunan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas


mata kuliah Studi Budaya Lokal, sebagai salah satu syarat penilaian. Adapun yang
kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai Siri, Pacce dan Were
Pandangan Hidup Orang Bugis, yang merupakan salah satu pembahasan yang
sesuai dengan jurusan kami yaitu bahasa dan sastra Arab , sebagai salah satu jurusan
yang ada di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN PAREPARE.

Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih minim. Dalam makalah
ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami yakin makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan juga kritik yang
membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.

Harapan kami, makalah ini dapat menjadi sumber dan referensi bagi kami
dalam mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna
bagi orang lain yang membacanya.

Sidrap, 24 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata pengantar ....................................................................................i

Daftar isi ...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

A. Latar Belakang ------------------------------------------------------1


B. Rumusan Masalah ---------------------------------------------------1
C. Tujuan ----------------------------------------------------------------1

BAB II PEMBAHASAN ----------------------------------------------------2

1. Pengertian Siri’dan Pacce -----------------------------------------2


2. Sejarah Siri’ dan Pacce ---------------------------------------------3
3. Pembagian Siri’ dan Pacce -----------------------------------------6
4. Pengertian Were -----------------------------------------------------8

BAB III PENUTUP ----------------------------------------------------------9

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam budaya Sulawesi Selatan, siri’,pesse na were adalah semacam jargon
yang mencerminkan identitas dan watak orang bugis.
Siri’,pesse na were mempunyai pandangan tersendiri. Siri’ berarti malu atau
harga diri , pesse berarti perih (keras,kokoh pendirian) pesse adalah bentuk
harmonisasi individu dengan individu lainnya dengan turut merasakan kesusahan
individu lain (empati dan solidaritas), adapun were adalah kepercayaan pada diri
sendiri yang teguh.
Ketiganya memiliki kaitan yang sangat erat karena sudah jauh sebelumnya
tertanam dan kemudian di tanamkan kembali secara turun-temurun kepada
keturunan-keturunan masyarakat Bugis.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian siri’ dan pecce dalam pandangan hidup orang bugis?
b. Jelaskan sejarah siri’ dan pacce dalam pandangan hidup orang bugis!
c. Jelaskan pembagian siri’ dan pace dalam pandangan hidup orang bugis!
d. Apa pengertian were dalam pandangan hidup orang bugis?

C. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah kami ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah studi budaya lokal, dan untuk mengetahui lebih jelas maksud dari beberapa
poin penting dalam pembahasan makalah kami ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui pengertian siri dan pacce dalam pandangan orang bugis
b. Untuk mengetahui sejarah siri’ dan pacce dalam pandangan orang bugis
c. Untuk mengetahui pembagian siri’ dan pacce dalam pandangan orang bugis
d. Untuk mengetahui pengertian were dalam pandagan orang bugis.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Sini’ dan Pacce

Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu atau rasa malu,
maksudnya siri’ (tuna) lanri anggaukanna anu kodi,artinya malu apabila
melakukan perbuatan yang tercela. Sekalipun kata siri’ tidak hanya dipahami
menurut makna harfiah tersebut.
Pengertian siri’ menurut istilah dapat dilihat dari pendapat beberapa
tokoh, seperti: B. F. Matthes menjelaskan sebagaimana dikutip oleh
Koentjaraningrat, bahwa istilah siri’ diterjemahkan dengan malu, rasa
kehormatannya tersinggung dan sebagainya. Menurut C.H. Salam Basjah
yang dikutip oleh Mattulada memberi tiga pengertian kepada konsep siri’,
yaitu:Pertama ialah malu, kedua, merupakan daya pendorong untuk
membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan
seseorang, dan ketiga ialah sebagai daya pendorong untuk bekerja atau
berusaha sebanyak mungkin. Pengertiansiri’ juga diungkapkan oleh M.
Natzir Said, bahwa siri’ adalah perasaan malu yang memberi kewajiban
moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal
hubungan perkawinan.
Siri’ pernah pula dibicarakan dan dikaji pada Seminar Nasional yang
diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) XVIII Sulselra
bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin, bertempat di ruang pola Gubernur
Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Juli 1977 sampai dengan tanggal 13 Juli 1977
dengan tema “Mengolah Masalah Siri’di Sulawesi Selatan Guna Peningkatan
Ketahanan Nasional dalam Menunjang Pembangunan Nasional.” Adapun hasil
seminar tersebut memberikan konsep dan batasan tentang siri’ antara lain:
1. Siri’ dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan
dan hokum serta agama sebagai salah satu nilai utamanya yang
mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia.
Sebagai konsep budaya, ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi
fungsi-fungsi struktrur dalam kebudayaan.
2. Sini’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi
hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan
kekerabatan sebagai dinamika sosial terbuka untuk beraluh peranan
(bertransmisi), beralih bentuk (bertranformasi), dan ditafsir ulang (re-
interpretasi) sesuai dengan perkembangan kebudayaan nasional, sehingga
sini’ dapat ikut memperkokoh tegaknya filsafat bangsa Indonesia, Pancasila.
2. Sini’ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan konkrit didalam
akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan,
keserasian, keimanan dan kesungguhan untuk menjaga harkat dan martabat
manusia.

Konsep sini’ berdasarkan pengertian bahasa, istilah dan hasil seminar


tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat secara
umum tentang makna dan tujuan sini’ yang patut untuk diyakini, dilaksanakan
dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Dari seluruh pengertian sini’
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sini’ adalah suatu sistem nilai sosial,
budaya dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan
martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Adapun pengertian pacce secara harfiah, yaitu pacce berarti perasaan
pedis, perih atau pedih. Sedangkan pengertian pacce menurut istilah, antara lain:
pacceadalah suatu suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat
sembilu apabila sesama warga masyarakat atau keluarga atau sahabat ditimpa
kemalangan (musibah). Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan,
solidaritas, kebersamaan rasa kemanusiaan dan memberi motivasi pula untuk
berusaha sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pacce dapat memupuk rasa
persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau
membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh seseorang
mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang
dialami rekannya itu dan segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk
membantunya baik berupa materi maupun non materi. Perasaan ini merupakan
suatu pendorong ke arah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka
yang ditimpa kemalangan itu.

2. Sejarah Awal Sini’ dan Pacce


Sini’ na pacce merupakan budaya yang telah melembaga dan dipercaya
oleh suku Makassar, maka untuk membahas lebih lanjut tentang falsafat tersebut
perlu ada penelitian dan pengkajian tentang sejarah dan konsep sini’ na pacce
yang ada pada suku Makassar sejak zaman dahulu. Suku Makassar yang
mendiami sebagian wilayah Sulawesi Selatan merupakan penduduk asli yang
sudah memiliki pranata budaya tersendiri, jauh sebelum resmi lahirnya kerajaan
Gowa yang merupakan kerajaan dari Kawasan Timur Indonesia yang
mempunyai pengaruh yang cukup besar. Kerajaan Gowa dimulai ketika
kehadiran Tumanurunga di Takakbassia Tamalate, berdasarkan atas perjanjian
pemerintahan antara Tumanurunga dengan Sembilan Kasuwiang yang kira-kira
terjadi pada tahun 1300 M.
Untuk menggali sejarah tentang sini’ na pacce, maka tulisan-tulisan
tentang falsafah atau petuah-petuah tersebut dapat kita lihat pada tulisan
lontarak. Adapun sejarah lahirnya huruf lontarak ialah dibuat oleh Daeng
Pamatte ketika ia diperintahkan oleh Karaeng Tumapakrisik Kallonna didasari
oleh kebutuhan kerajaan untuk dapat berkomunikasi secara tulis menulis dan
agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat dalam tulisan.
Walaupun sejarah suku Makassar mulai tercatat pada masa Karaeng
Tumapakrisik Kallonna, namun budaya siri’ sudah menjadi adat istiadat dan
falsafah hidup mereka sejak dahulu. Adapun pandangan suku Makassar tentang
sini’ dapat kita lihat dari beberapa istilah yang berkaitan dengan sini’.
Berikut ini beberapa istilah tentang siri’ dan maknanya, antara lain: sirik
(siri’) sebagai harga diri atau kehormatan; mappakasiri’, artinya dinodai
kehormatannya; ritaroang sirik (siri’), artinya ditegakkan kehormatannya;
passampo sirik (siri’), artinya penutup malu; tomasiri’na, artinya keluarga pihak
yang dinodai kehormatannya; sirik (siri’) sebagai perwujudan sikap tegas demi
kehormatan tersebut; sirik (siri’) sebagai pernyataan sikap tidak serakah
(mangowa); sirik (siri’) naranreng, artinya dipertaruhkan demi kehormatan;
siriksirik (siri’-siri’), artinya malu-malu; palaloi siriknu (siri’nu), artinya
tantang yang melawan; passirikia, artinya bela kehormatan saya; napakasirikka
(napakasiri’ka),artinya saya dipermalukan; tau tena sirikna (siri’na), artinya
orang tak ada malu, tak ada harga diri.
Selain itu dalam tulisan lontarak terdapat petuah-petuah atau ungkapan-
ungkapan yang berkenaan dengan konsep siri’, antara lain:
1. Siritaji nakitau, artinya hanya siri’, maka kita dinamakan manusia.
Maksudnya seseorang yang tidak mempunyai siri’, maka ia tidak ada artinya
sebagai manusia (layak disebut binatang), karena sikap orang yang tidak
mempunyai siri’ seperti perbuatan binatang (tidak punya malu).
2. Sirikaji tojeng, siritaji tojeng, artinya hanya siri’lah yang benar. Maksudnya
perasaan siri’ atau malu karena melakukan perbuatan yang tercela, hal
tersebut dianggap benar oleh hukum manapun (agama, adat dan negara).
3. Karaeng, siri’ kuji ki atai, artinya Tuanku, hanya karena siri’ maka tuan
memperhamba saya. Maksudnya kedudukan (status sosial) seseorang sangat
mempengaruhi sikap orang lain dalam kehidupan sosialnya.
4. Punna taenamo siri’ku, manna kupannobokangki, taenamo nalantanglantang,
artinya manakala tidak ada lagi siri’ ku, maka sekalipun aku menikamkan
kerisku kepada tuan, tidaklah menjadi dalam lagi. Maksudnya apabila
seseorang sudah tidak memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah
tidak mempunyai kehormatan dan kekuatan di hadapan orang lain.
5. Kaanne buttaya Gowa majarremi nikasirikang, artinya bahwasanya negeri
Gowa ini telah ditekadkan guna membela sini’. Maksudnya bahwa kerajaan
Gowa atau wilayah Gowa merupakan daerah yang sangat menjunjung dan
menghargai falsafah sini’.
Dalam pemahaman masyarakat Suku Makassar, kejayaan dan kebesaran
suatu negeri bergantung kepada empat hal pokok, yaitu adat kebiasaan (Ada’),
persamaan hukum (Rapang), undang-undang (Bicara), aturan mengenai strata
sosial (Wari), dan aturan syariat Islam (Sara). Ada’ sebagai pranata sosial
yang mengatur segala aspek kehidupan dan kehidupan dan tata kelakuan
sangat dihormati, dijunjung tinggi dan dipertahankan dengan teguh. Begitu
pentingnya ada’, maka bagi masyarakat suku Makassar, segala pengabaian
terhadapnya dianggap sebagai pengkhianatan terbesar dan oleh karena itu
perlu mendapat ganjaran yang setimpal, tidak jarang wujud ganjaran itu
berupa pembunuhan.

3. Pembagian Sini’ dan Pacce


Pada dasarnya sini’ dan paccemerupakan suatu falsafah yang tidak dapat
dipisahkan, karena antara satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan
makna dan hubungan, sehingga dalam hal pembagian sini’ dan pacce,
keduanya saling berkaitan erat.
Pembagian sini’ dapat dikategorikan dalam dua hal,
yaitu sini’ berdasarkan penyebab timbulnya perasaan (dorongan), dan
berdasarkan jenis atau bentuknya. Sini’dibagi berdasarkan penyebab timbulnya
perasaan tesebut, yaitu:
1. Sirik (sini’) yang berasal dari pribadi manusia yang merasakannya/ bukan
kehendaknya (penyebabnya dari luar). Jadi, sini’ ri-pakasirik, maksudnya
dipermalukan oleh orang lain.
2. Sirik (sini’) yang berasal dari pribadi orang itu sendiri (penyebab di dalam)
disebut sirik ma sirik (sini’ ma sini’), maksudnya malu yang berasal dari
dirinya/keluarganya.
3. Sini’ dapat dikategorikan dalam empat (jenis) golongan, yaitu sini’ yang
dalam hal pelanggaran kesusilaan; sini’ yang berakibat kriminal, sini’ yang
dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja, dan sini’ yang berarti malu-
malu.
Jenis sini’ yang pertama ialah sini’dalam hal pelanggaran kesusilaan.
Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai
sini’, seperti kawin lari (silariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan,
perkosaan, perbuatan salimarak, yaitu perbuatan hubungan seks yang dilarang
karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan
antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya dan sebagainya.
Jenis sini’ kedua adalah sini’ yang dapat berakibat kriminal. Sini’ seperti
ini, misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan
kata-kata yang tidak enak didengar dan sebagainya. Tamparan itu dibalas dengan
tamparan pula, sehingga dapat terjadi perkelahian bahkan pembunuhan.
Jenis sini’ ketiga ialah sini’ yang dapat memberikan motivasi untuk meraih
sukses, misalnya bila orang lain mampu berhasil mengapa kita tidak, sehingga
suku Makassar kadang merantau ke daerah mana saja dan sesampainya di daerah
tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan, sebab mereka akan malu
bila pulang ke kampung halaman tanpa hasil.
Ada beberapa syair orang Makassar yang sesuai dengan jenis sini’
tersebut, antara lain:
“Takunjunga bangunturu’, nakugunciri’ gulingku, kualleanna tallanga na
toali’a”,artinya tidak begitu saja ikut angin buritan dan kemudian saya putar
kemudiku, lebih baik tenggelam daripada balik haluan.
“Bajikangngangi mateya ripa’rasanganna tauwa nakanre gallang-gallang
na ammotereka tangngerang wassele”, artinya lebih baik mati di negeri orang
dimakan cacing tanah daripada pulang kampung tanpa membawa hasil.
Maksud kedua syair tersebut ialah apabila masyarakat suku Makassar
sudah bertekad untuk meraih kesuksesan di negeri orang atau bertekad
memperoleh kehidupan yang lebih layak, maka apapun rintangan yang
menghadang akan tetap dihadapinya sampai keinginan mereka berhasil
diperoleh.
Jenis sini’ yang keempat ialah sini’yang berarti malu-malu. Sini’ seperti
ini sebenarnya dapat berakibat negatif bagi seseorang tapi ada pula
positifnya,misalnya apabila ada seseorang yang diminta untuk tampil ke depan
untuk menjadi protokol, ia merasa sini’-sini’ (malu-malu). Hal ini dapat
berakibat menghalangi bakat seseorang untuk dapat tampil di depan umum. Sisi
positif dari sini’-sini’ ini ialah apabila seseorang disuruh mencuri, maka ia
merasa sini’- sini’ untuk melakukannya, apalagi bila ketahuan oleh orang.
Selain pembagian sini’ di atas, maka pacce dapat dibagi berdasarkan
penyebab timbulnya perasaan (dorongan) dan berdasarkan jenis atau
bentuknya. Pacce dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan atau
dorongan tersebut, yaitu:
1. Perasaan pacce karena melihat keluarga atau orang lain terkena musibah.
Perasaan pacce seperti ini terkadang mendorong kita untuk memberikan
bantuan kepada orang tersebut.
2. Perasaan pacce karena melihat keluarga atau teman teraniaya.
Perasaan pacce ini mendorong kita untuk melakukan tindakan pembalasan
terhadap orang yang melakukan penganiayaan tersebut, bahkan yang lebih
parah, terkadang pembalasan tersebut langsung dilaksanakan tanpa berpikir
atau mengetahui penyebab terjadinya pemukulan/ penganiayaan tersebut.
4. Pengertian Were
Were adalah kepercayaan pada diri sendiri yang teguh, bahwa hanya
dengan ketekunan dan kerajinan yang dilandasi dengan kecakapan, kejujuran,
kebenaran, ketegangan serta kesabaran, maka nasib seseorang atau sesama
warga negara dapat diperbaiki.
Kepercayaan diri akan menumbuhkan sikap positif terhadap diri sendiri
dan orang lain. Karena sikap positif membuat seseorang tidak mudah mengeluh
dan tidak mudah tertekan. Dengan sikap positif tersebut seseorang akan selalu
melihat masalah sebagai tantangan dan peluang, juga akan melihat suatu
kekurangan dalam diri sendiri sebagai suatu proses yang harus terus dipelajari
sehingga menimbulkan perasaan syukur bukan perasaan menyalahkan orang
lain dan lingkungannya. Disisi lain, dengan sikap positif terhadap orang lain
akan memudahkan seseorang untuk bekerja sama atau menggerakkan orang lain
karena sikap pandang yang tepat terhadap orang lain tersebut. Orang dengan
sikap positif yang baik akan menjadi rekan kerja, pimpinan atau bawahan yang
menyenangkan dan dapat dipercaya. Bukan sebagai orang yang menakutkan
dan menjengkelkan.
Kepercayaan pada diri sendiri ini tidaklah dapat dipisahkan dari kepasrahan dan
pengandalan diri orang terhadap Tuhan. Hal ini tergambar dalam pengajaran adat Bugis-
Makassar, Teako assalaknu rannuang, pangngapettaina Allataala rannuang. Artinya:
Janganlah mengharapkan asal-usul keturunan, kasih Tuhanlah yang harus diharapkan. Ini
mengajarkan agar manusia tidak berlaku sombong dengan membanggakan asal
keturunannya, karena ada yang berkuasa terhadap manusia yaitu Tuhan.
Oleh karena itu, were adalah sikap yang sangatlah diperlukan dalam kehidupan
kita sebagai manusia. Karena dengan perilaku tersebut orang-orang akan senang bergaul
dengan kita. Itulah betapa pentingnya were dalam pandangan hidup masyarakat bugis,
BAB III
PENUTUP

Sesungguhnya budaya Bugis mengandung esensi nilai luhur yang universal,


namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti
kebudayaan Bugis itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai
“tau” (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat
dijunjung tinggi keberadaannya.
Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan
hidup orang Bugis, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk
penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling
memahami dan menghargai secara manusiawi. Dengan pendekatan sipakatau, maka
kehidupan orang Bugis dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala
kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat
manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat
biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang
dilandasi sifat budaya manusiawinya. Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan
orang Bugis dijabarkan ke dalam konsepsi Sini’ na Pacce. Dengan menegakkan
prinsip Sini’ na Pacce secara positif, berarti seseorang telah menerapkan sikap
Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkungan
orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang
dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga bermanfaat bagi pembaca.
Adapun kritik dan saran akan kami terima agar ke depannya dapat mengerjakan tugas
lebih baik dari sebelumnya, karena sesungguhnya manusia tidak bisa luput dari
kesalahan dan khilafan.
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Cet.XV; Jakarta: Djambatan, 1995.


Limpo, Syahrul Yasin, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa Cet. I; Ujung Pandang:
Intisari, 1995.

Marzuki, H. M. Laica, Sini’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah
Telaah Filsafat Hukum) Cet.I; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995..
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitik Terhadap Antropologi Politik OrangBugis Cet.II;
Ujungpandang: Hasanuddin University Press, 1995.
Moein M.G., Andi, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirik na Pacce Ujung
Pandang: Mapress, 1990.

Https.//islamindonesia.id/budaya/ewako-tiga-nilai-dasar-masyarakat-Bugis-Makassar.htm .

Anda mungkin juga menyukai