Anda di halaman 1dari 14

MADZHAB HANAFIYAH

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ilmu Fiqih
Dosen pengampu: Ridwan, M.Ag

Disusun oleh:
PAI 2D
Kelompok 5 (Lima)
Wafiqoh Isnaini (1903016136)

Intan Sukma Sari (1903016138)

Jaelani (1903016140)

Novi Yuniar Megawati (1903016141)

Mr. Ileeyas E-so (1903016180)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mazhab adalah metode yang terbentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang-orang yang mempercayainya menjadikan metode itu sebagai pedoman.
Sejarah mazhab bermula dari pemikiran atau pendapat seorang imam dalam memahami
sesuatu, baik filsafat, hukum, teologi, politik, dan lain sebagainya. Pemikiran itu kemudian
diikuti oleh kelompok atau pengikut dan dikembangkan menjadi suatu aliran, sekte, atau
ajaran. Secara hafiah kata mazhab sendiri berasal dari kata zahab-yazhabu yang berarti pergi.
Pada dasarnya, mazhab-mazhab dalam Islam timbul antara lain karena perbedaan
dalam memahami ajaran yang terdapat dalam al-Quran dan sunah yang bersifat tidak absolut.
Perbedaan pendapat mengenai maksud ayat-ayat zanni ad-dalalah (ayat yang pengertiannya
masih bisa ditafsirkan) adalah salah satu alasan munculnya mazhab-mazhab dan aliran-aliran
dalam Islam.
Pada hakikatnya mazhab adalah suatu aliran pemahaman tertentu terhadap al-Quran
dan Sunnah. Sifatnya tidak mengikat. Sementara macam-macamnya meliputi tauhid, ibadah,
hukum, politik, filsafat, tasawuf, pembaharuan, dan sebagainya. Oleh karena mazhab atau
aliran tersebut hanya berbeda dalam penafsiran tentang ayat-ayat yang tidak jelas artinya dan
bukan mengenai ajaran dasar Islam, maka perbedaan mazhab dapat diterima sebagai sesuatu
yang benar dan tidak keluar dari Islam. Meskipun terkadang perbedaan antara mazhab terlihat
cukup curam dan bahkan bertentangan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hidup Imam Hanafi?
2. Apa saja karya-karya Imam Hanafi?
3. Perjalanan hidup Imam Hanafi dalam dunia pendidikan?
4. Bagaimana corak pemikiran Imam Hanafi dalam pengambilan Istinbath Hukum?

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan sejarah hidup Imam Hanafi.
2. Mendiskripsikan karya-karya Imam Hanafi.
3. Menjelaskan perjalanan hidup Imam Hanafi dalam dunia pendidikan.
4. Mengidentifikasi corak pemikiran Imam Hanafi dalam pengambilan Istinbath Hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hidup Imam Hanafi
Nama lengkap Abu Hanifah adalah al-Nu‟man ibn Tsabit ibn al-Zutha al-Farisi.
Beliau berasal dari keturunan persia. Kakeknya bernama al-Zutha berasal dari daerah Kabul
yang menjadi tawanan ketika Kabul ditaklukan bangsa Arab, kemudian di bebaskan oleh Bani
Taym ibn Tsa‟labah. Jadi hak wala‟-nya mengikuti Bani Taym. (maula berarti budak yang
dibebaskan dan memiliki aturan hukum fikih tersendiri).
Begitulah riwayat nasab Abu Hanifah yang dituturkan oleh cucunya, yaitu Umar ibn
Hammad ibn Abi Hanifah. Meski demikian, cucu Abu Hanifah yang lain, yaitu Ismail
(saudara Umar), menyebutkan bahwa nama lengkap Abu Hanifah adalah al-Nu‟man ibn
Tsabit ibn al-Nu‟man ibn al-Marzuban. Ismail berkata, “Namaku Ismail ibn Hammad ibn al-
Nu‟man ibn alTsabit ibn al-Nu‟man ibn al-Marzuban, dari kalangan keluarga persia yang
merdeka1.
Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah (659 Masehi) di Kufah. Beliau lebih
terkenal dengan sebutan Abu Hanifah, bukan karena mempunyai putra pertama Hanifah,
tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifa, diambil dari ayat :

٩٥ َ‫ِيم َحنِ ٗيف ۖا َو َما َكانَ ِمنَ ۡٱل ُم ۡش ِركِين‬ ُۗ َ َ‫صدَق‬


َ ‫ٱّللُ فَٱتَبِعُواْ ِملَةَ إِ ۡب َٰ َره‬ َ ‫قُ ۡل‬
“Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus”. (Q.s. Ali Imran : 95) 2.
Beliau bukan orang Arab tetapi keturunan orang Persia yang menetap di Kufah. Ayahnya
dilahirkan pada masaKhalifah Ali. Kakeknya dan ayahnya pernah di doakan oleh imam Ali
agar mendapatkan turunan yang diberkahi Allah SWT. Pada waktu kecil beliau menghafal al-
Qur‟an seperti yang dilakukan anak-anak pada masa itu. Kemudian berguru pada kepada
imam Ashim salah seorang Imam Qiro‟ah Sab‟ah. Keluarganya adalah keluarga pedagang 3.
Oleh karena itu kesibukan terutama Imam Hanafi adalah berdagang, terutama kain
dan bahan pakaian. Usaha ini berkembang maju, sebagian besar berkat kejujuran yang
sungguhsungguh dalam usahanya. Ia sangat dipercayai oleh semua orang. Bahkan yang bukan
muslimpun percaya mempertaruhkan hartanya ditangan beliau. Ia tidak yakin pada laba yang

1
Tariq Suwaidan, Biografi Imam Abu Hanifah, (Jakarta: al-Ibda‟ al-Fikri, 2011), hlm.18.
2
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Jakarta: Lentera Hati, 2013), hlm.62.
3
Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 125.

3
berlebihan. Ia tidak pernah berkenan mendapatkan uang dengan cara yang tidak sah dan
disangsikan4.
Sesudah itu ia beralih ke bidang ilmu pengetahuan, ia seorang yang amanah dan
penah mewakili perdagangan waktu itu, ia berhasil meraih ilmu pengetahuan dan
perdagangan sekaligus.
Imam Abu Hanifah dihormati sebagai sarjana ahli hukum agama yang paling tinggi.
Para murid dan pengikutnya meliputi bagian terbesar dunia Islam.
Guru-guru Abu Hanifah yang terkenal diantaranya adalah al-Sya‟bi dan Hammad bin
Abi Sulayman di Kufah, Hasan Basri di Basrah, Atha‟ bin Rabbah di Makkah, Sulayman, dan
Salim di Madinah. Dalam kunjungannya yang kedua kali ke Madinah, Abu Hanifah bertemu
dengan Muhammad Bagir dari Syi‟ah dan putra Imam Bagir yaitu Ja‟far al-Shiddiq. Beliau
mendapatkan banyak ilmu dari ulama ini.
Dengan demikian Imam Abu Hanifah mempunyai banyak guru dari kufah, Basrah,
Makkah dan Madinah. Beliau berkeliling ke kota-kota yang menjadi pusat ilmu masa itu dan
banyak mengetahui hadits-hadits. Yang menonjol dari fiqh Imam Abu Hanifah ini antara lain
adalah :
1. Sangat rasional, mementingkan maslahat, dan manfaat.
2. Lebih mudah dipahami dari pada mazhab yang lain.
3. Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis (warga negara yang non muslim).
Hal ini bisa dipahami karena cara beristinbat Abu Hanifah selalu memikirkan dan
memperhatikan apa yang ada dibelakang nash yang tersurat yaitu illat-illat dan maksud-
maksud hukum. Sedang masalah-masalah yang tidak ada nash-nya beliau gunakan qiyas,
istihsan, dan urf. Abu Hanifah ternyata adalah seorang ulama besar yang sangat cerdas, ikhlas
dan tegas dalam bersikap, mempunyai integritas pribadi, dan memiliki daya tarik yang
tersendiri. Sehingga tidak mengherankan waktu beliau meninggal, ribuan orang menyatakan
takziah (bela sengkawa) dan lebih dari lima ribu orang yang menyalatkan jenazahnya.
Kitab yang langsung dinisbahkan kepada Abu Hanifah adalah Fiqh al-Akbar, al-
Alimwal Muta‟alim, dan musnad. Sedangkan buku-buku lainnya banyak ditulis oleh
muridnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan A-Syaibani. Abu Yusuf kemudian
menjadi ketua mahkamah agung zaman Khalifah Harun al-Rasyid. Muhammad bin Hasan A-

4
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta : Penerbit Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 97.

4
syaibani menyusun kitab-kitab al-Mabsuth, al-Jami‟ al-Shaghir, al-Jami‟ al-Kabir, al-Siyar
alKabir, al-Siyar al-Asyghar, dan al-Ziyaddat5
Abu Hanifa meninggal dunia pada tahun 150 Hijriyah dan ada beberapa pendapat
yang berbeda tentang tarikh ini, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa beliau
meninggal tahun 151 dan 153 Hijriyah, pendapat yang lebih kuat ialah beliau meninggal pada
tahun 150 Hijriyah. Imam An-Nawawi berpendapat : beliau meninggal dunia ketika dalam
tahanan6.

B. Karya Karya Imam Hanafi


Pada saat beliau masih hidup, masalah-masalah agama dan buah fikirannya tersebut
dicatat oleh sahabatnya, dikumpulkan berikut juga paham mereka sendiri, yang kemudian
disebut sebagai “mazhab Imam Hanafi”. Dalam usaha itu, ulama Hanafiyah membagi hasil
yang mereka kumpulkan itu dibagi kepada 3 tingkatan, yang tiap-tipa tingkatan itu
merupakan suatu kelompok yaitu :

1. Masailul –Ushul (masalah-masalah pokok)


Merupakan suatu kumpulan kitab yang bernama Zhaahirur riwayat yaitu pendapat-
pendapat Abu Hanifah yang dihimpun oleh Imam Muhammad bin Hasan terdiri
atas 6 kitab yaitu :
a. Kitab Al Mabsuth ( Terhampar )
Kitab ini memuat maslah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh Imam
Abu Hanifah. Di samping itu juga memuat pendapat-pendapat Imam Abu
Yusuf dan Muhamamd bin Hasan yang berbeda dengan pendapat Imam Abu
Hanifah, juga perbedaan pendapat Abu Hanifah dengan Ibnu Abi Laila yang
meriwayatkan kitab Al-Mabsuth ialah Ahmad bin Hafash Al-Kabir, murid
dari Muhammad bin Hasan.
b. Kitab Al-Jaami’ush shaghir (himpunan kecil)
Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima’ah yang
keduanya murid Muhammad bin Hasan.kitab ini dimulai dengan bab shalat.
Karena sistematika kitab ini tidak teratur, maka disusun kembali oleh Al-
Qodhi Abdut-Thahir Muhammad bin Muhammad Adalah-Dabbas

5
Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqih…, hlm. 126-127.
6
Ahmad Asy Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 1993), hlm.69.

5
c. Kitab Al Jaami’ul Kabir (Himpunan Besar). Kitab ini sama dengan Al-
Jaami’ush Shaghir hanya uraiannya lebih luas.
d. Kitab As-Sairu Al-shaghir (sejarah hidup kecil). Berisi tentang jihad (hukum
perang)
e. Kitab As-Sairul Kabiir (sejarah hidup besar). Berisi masalah-masalah fiqih
yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan
f. Kitab Az-Ziyaadat.
Keenam buku tersebut dikumpulkan dalam Mukhtashar al-Kafi yang disusun oleh
Abu Fadhal Al-Muruzi.

2. Kitab Masaa-ilun Nawadhir (persoalan langka)


Merupakan persoalan yang diriwayatkan dan ditulis oleh Muhammad, seperti Al-
Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Al-Riqqiyyat, Al-Makharij Fil Al-
Hayil dan Ziyadat Al Ziyadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rustam. Buku-buku
tersebut termasuk buku mengenai fiqih yang diimlakan (didiktekan) oleh
Muhammad. Riwayat seperti itu juga disebut ghair zhahir al-riwayah karena
pendapat-pendapat itu tidak diriwayatkan dari Muhammad dengan riwayat-riwayat
yang zhahir (tegas) kuat, dan shahih seperti buku-buku pada kelompok pertama.
3. Al-Fataawa Al-Waaqi’aat ( Kejadian dan Fatwa)
a. Al-Fatawa ialah Al-Nawazil ditulis oleh Faqih Abu Laits Al-Samarqandi.
b. Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqiat yang ditulis oleh Al-Nathifi
c. Al-Waqiat yang ditulis oleh Shadr A-Syahid Ibnu Mas’ud.
Bidang Fiqh :
a. Al Musnad
b. Al-Makharij
c. Fiqih Al-Akbar
Bidang aqidah ada kitab al-Fiqh Al-Asqar.
Dalam bidang ushul fiqih Ushul as-Sarakhsi oleh Asy-Sarakhsi
Kanz al-wusul ila ilm al usul karya Imam al-Bazdawi.

C. Perjalanan Hidup Imam Maliki Dalam Dunia Pendidikan


Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah
menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat
6
berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin
Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk
menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah
al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah,
yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.

Selama menimba ilmu agama, Diketahui jumlah guru Abu Hanifah adalah sebanyak
4000 orang guru. Tujuh diantaranya merupakan sahabat dari Nabi Muhammad SAW. Selain
itu, terdapat 93 orang dari kalangan tabi’in, serta sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in.

Selama hidupnya Abu Hanifah berkunjung ke berbagai kota untuk memperoleh ilmu
agama. Beliau juga selalu ke Mekkah ketika musim haji tiba sebab para ulama berkumpul
untuk menunaikan haji dan berdakwah terhadap para kaum muslimin. Tak heran jika Abu
Hanafi diketahui sudah menunaikan haji sebanyak 55 kali.

Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu
tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan
keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi
Sulaiman.

Imam hammad bin Abi Sulaiman bahkan mempercayakannya untuk memberi fatwa
dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam
Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “.

Karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi
kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk
bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam
bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga
tersebut.

Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu
diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.

7
D. Corak Pemikiran Imam Hanafi Dalam Pengambilan Istinbath Hukum

Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “‫استنبط‬- ‫يستنبط‬- ‫ ”استنباط‬yang
berarti mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “‫نبط‬- ‫ينبط‬- ‫نبطا‬-
‫ ” )الماء( نبوطا‬berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan
istinbath disini adalah suatu upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-
sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni.
Pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik,
Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta
yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka. Mengapa tidak
berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah
masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga
umur abu hanifah pada waktu itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat
tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun.
Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dan kala itu
abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari ilmu, ketika Sampai akhir hayatnya,
Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode penetapan hukum yang digunakannya,
meskipun secara praktis dan aplikatif telah diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa
persoalan hukum. Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih
Mubarok, membagi cara ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang pokok
dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari
ucapan beliau sendiri, yaitu:

‫ فما لم اجده فيه اخذت بسنة رسول هللا واآلثار الصحاح عنه التى فشت في ايدى الثقات‬،‫انى آخذ بكتاب هللا اذا وجدته‬. ‫فاذا لم‬
‫اجد في كتاب هللا و سنة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم اخذت بقول اصحابه اخذت بقول ما شئت ثم ال اخرج عن قولهم‬
‫ فاذا انتهى االمر الى ابراهيم والشعبي وابن المسيب‬،‫…فاجتهد كما اجتهدوا )عدد رجاال(الى قول غيرهم‬

“sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an apabila aku mendapatkannya;
apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar
yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan
dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat
ikhtilaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan

8
pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat
Ibrahim, Al-Sya’bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana
mereka berijtihad.”

Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan bahwa
dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah: “Abu
Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta
memperhatikan muamalat manusia dan adat serta ‘uruf mereka itu. Beliau memegang Qiyas.
Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau memegangi istihsan
selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang kepada adat dan
‘uruf. Ringkasnya, dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah, ialah:
a.Al-Qur’an
b.Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di
antara para ulama.
c.Fatwa-fatwa para sahabat
d.Qiyas.
e. Istihsan.
f. Adat dan ‘uruf masyarakat.
Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan,
“Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka
pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang berkata kepadanya, “Apakah
yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh
jadi ia adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan di atas, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau
menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy dari Al-Qur’an
atau dari hadits yang diragukan keshahihannya, ia selalu menggunakan ra’yu. Ia sangat
selektif dalam menerima hadits. Imam Abu Hanifah memperhatikan muamalat manusia, adat
istiadat serta ‘urf mereka. Beliau berpegang kepada Qiyas dam apabila tidak bisa ditetapkan
berdasarkan Qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika
tidak, maka beliau berpegang kepada adat dan ‘urf.
Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di
Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW yang
banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadits. Di samping itu, kufah
sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah
9
mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problem
kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah
terjadi di zaman Nabi, atau zaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya
memerlukan ijtihad atau ra’yu. Di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping
banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima
hadits, dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak
menggunakan ra’yu. Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang bersifat tambahan
adalah:
a. Bahwa dilalah lafaz umum (‘am) adalah qath’iy, seperti lafaz khash
b. Bahwa pendapat sahabat yang “tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah
bersifat khusus
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat
e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah
perbuatannya,bukan riwayatnya.
f. Mendahulukan Qiyas Jali atas khabar ahad yang dipertentangkan.
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta dengan
beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau
menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan
beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang berfatwa dengan perkataanku, selam ia
belum mengerti dari mana perkataanku”.Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat
terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak
ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau
menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran
dan ditiggal mana yang tidak sesuai.
Imam Abu Hanifah termasuk ulama’ yang tangguh dalam memegangi prinsip
pemikirannya. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di
pemerintahan, tetap saja tidak mau menerimanya, baik pada masa kekholifahan Bani
Umayyah di Kuffah yang dijalaninya selama 52 tahun maupun kekholifahan Bani Abasiyyah
di bagdad selama 18 tahun, bahkan yang menawarinya adalah penguasa kerajaan sendiri,
yaitu Yazid bin Umar dari kerajaan Bani Umayyah dan Abu ja’far al-Manshur dari kerajaan
Bani Abbasiyyah sebagai seorang Hakim. Akibatnya beliau dipenjarakan sampai meninggal
dunia.
10
Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun ( yang mana
pemerintahannya dipegang oleh Bani Umayyah yang berpusat di Kufah) pernah menyaksikan
tragedi-tragedi besar, sehingga dalam satu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya
dalam menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama’ besar dengan julukan “Al-Imam al-
A’dlam”. Akan tetapi disisi lain beliau merasakan kota Kuffah sebagai kota yang penuh teror
yang di dalamnya diwarnai dengan pergolakan politik.
Sedang untuk mengetahui methode Istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari
pengakuan yang dibuatnya sendiri, yaitu:

1. “Sesungguhnya saya mengambil kitab al-Qur’an dalam menetapkan Hukum, jika tidak
ditemukan, maka saya mengambilnya dari al-Hadits yang shahih dan yang tersiar
secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya. Jika tidak ditemukan dari
keduanya, maka saya mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku
kehendaki, lalu saya tidak keluar dari pandangan mereka. Jika masalah tersebut
sampai pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka aku
berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
2. Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalam al-Qur’an,
kalau tidak ada saya mencarinya dari dalam al-Sunnah Nabi, kalau tidak ada, saya
pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya memilih mana yang saya anggap paling
kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka saya pun melakukan ijtihad.”
3. Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:” inilah
pendapatku dab jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku,
maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”
4. Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan
itu benar dan tidak diragukan lagi?.” Lalu beliau menjawab:” Demi Allah, boleh jadi
itu adalah suatu fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya”7.

Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam
menetapkan hukum syar’i (beristidlal), tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara
qath’i dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang keshahihannya yang masih diragukan, tetapi

7
Ibid, Hlm.134

11
mempergunakan al-ra’yu, sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-Sunnah, sehingga
beliau tetap memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta ‘urf mereka.

Dengan demikian, dalam beristinbathnya, imam Abu Hanafi tetap mempergunakan al-Qiyas
sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan al-Qiyas, maka berpegang
pada istihsan selama dapat dilakukan. Jika tidak bisa baru beliau berpegang pada adat dan
‘Urf.

Dalam mengistinbath hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati
dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf.
Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang
digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa Imam Abu
Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah.
Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afganistan, Turki,
Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin 8.

8
Yayan Sopyan, Tarikh Tasry’, (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm. 121.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan
mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti
caraistinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang
masalah hukum Islam. .

Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit ibn Zatha al-Taimy. Ia berasal
dari keturunan Parsi, lahir di Kufah tahun 80 H./699 M. dan wafat di Baghdad tahun 150
H./767 M.

Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama atauFaqihyang cukup besar dan luas
pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad Abu
Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang lebih banyak
menggunakanra‟ra’yau atau setidak-tidaknya lebih cenderung rasional. Pemikiran Abu
Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di berbagai kawasan negeri Islam

Tujuh Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah yaitu : al-Qur’an;
Sunnah, Ijma’, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).

B. Saran

Demikian makalah yang kami buat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Kami menyadari di dalam
makalah ini pasti terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun guna dapat diperbaiki dikemudian hari.

13
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil, 2003, Seratus Muslim Termuka, Jakarta : Pustaka Firdaus.
Dzajuli, Ahmad, 2005, Ilmu Fiqih, Jakarta : Kencanaa Prenada Group.
Shihab, M.Quraish, 2013, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Lentera Hati.
Sopyan, Yahya, 2010, Tarkh Tasry’, Depok : Gramata Publishing.
Suwarda, Tqriq, 2011, Biografi Imam Abu Hanafiah, Jakarta : al-Ibda’ al-Fikri.
Syurbasi, Ahmad Asy, 1993, Sejarah dan Biografi Imam Mazhab, Jakarta : PT
Bumi Aksara.

14

Anda mungkin juga menyukai