Oleh :
Willy Maun
2018-84-016
Pembimbing :
dr. Susan Timisela, Sp.PD
Abstrak:
Tujuan: Revisi Standar Perawatan Medis Diabetes tahun 2018 merekomendasikan
target HbA1c yang kurang intensif untuk lanjut usia daripada orang yang lebih
muda. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki perkembangan dan progresifitas
penyakit ginjal kronis (CKD) menurut kadar HbA1c secara terpisah untuk individu
lanjut usia dan usia pertengahan dalam populasi Jepang secara umum.
Metode: Ini adalah studi kohort retrospektif menggunakan data pemeriksaan
kesehatan di Kota Iki, Jepang. Partisipan dari penelitian ini adalah 5.554 penduduk
yang melakukan pemeriksaan kesehatan lebih dari 2 kali selama 8 tahun. Studi ini
dilakukan untuk menentukan (1) efek HbA1c pada perkembangan CKD di antara
4.570 subyek yang tidak memiliki riwayat CKD dan (2) efek HbA1c pada
perkembangan CKD pada 953 subyek dengan CKD yang sudah ada sebelumnya.
Hasil: Setelah disesuaikan terhadap berbagai faktor risiko, rasio bahaya
berdasarkan multivariat, perkembangan CKD meningkat dengan level HbA1c: 1,43
untuk 7-9% dan 1,67 untuk >9% dibandingkan dengan rujukan <7% (p <0,306).
Temuan serupa juga diamati untuk progresifitas CKD: rasio bahaya 2,48 untuk 7-
9% dan 2,46 untuk >9% dibandingkan dengan rujukan <7% (p <0,077). Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam efek kadar HbA1c terhadap perkembangan atau
progresifitas CKD yang diamati pada individu lanjut usia dan usia pertengahan
(p>0,3).
Kesimpulan: Risiko perkembangan dan progresifitas CKD meningkat dari kadar
HbA1c sebesar 7% pada suatu populasi umum di Jepang. Asosiasi serupa diamati
untuk individu lanjut usia dan usia pertengahan..
2
PENDAHULUAN
Sejumlah uji coba terkontrol secara acak (RCT) telah diselidiki efek kontrol
glukosa intensif pada DN di antara pasien diabetes. Dalam Percobaan Kontrol
Diabetes dan Komplikasi (DCCT) untuk pasien dengan diabetes tipe 1, UK
Prospective Diabetes Study (UKPDS), dan Studi Kumamoto untuk pasien dengan
diabetes tipe 2, menunjukkan bahwa kontrol glukosa intensif dengan target
hemoglobin A1c (HbA1c) <7,0% secara signifikan mengurangi perkembangan dan
progresifitas DN, dibandingkan pada kasus dengan target HbA1c <9,0%. Selain itu,
uji coba ADVANCE, ACCORD, dan VADT juga menunjukkan bahwa kontrol
glukosa intensif terbukti mengurangi laju perkembangan dan progresifitas DN,
seperti albumin urin yang dievaluasi secara kuantitatif. Sub-analisis untuk uji coba
ADVANCE menyatakan manfaat signifikan kontrol glukosa yang intensif pada
pencegahan ESRD. Berdasarkan temuan tersebut, berbagai panduan tentang
manajemen pasien dengan diabetes mellitus merekomendasikan kontrol glukosa
intensif dengan level target HbA1c 6,5-7% dengan tujuan mencegah perkembangan
dan progresifitas dari nefropati diabetik.
3
pada veteran militer yang memiliki diabetes tipe 2 dengan kontrol yang buruk juga
menunjukkan bahwa terapi intensif tidak memiliki efek signifikan pada tingkat
morbiditas kardiovaskular dan mortalitas. Investigasi terperinci tentang asosiasi
antara level HbA1c dan perkembangan serta progresifitas CKD terkait dengan
diabetes masih terbatas.
Oleh karena itu, kami melakukan studi kohort retrospektif berbasis populasi
untuk penduduk Pulau Iki. Jumlah dialisis untuk ESRD di pulau ini adalah yang
tertinggi di daerah Nagasaki, dan pencegahan terhadap perkembangan dan
progresifitas CKD adalah tantangan paling mendesak yang dihadapi pejabat
kesehatan masyarakat. Menurut kami, penelitian tentang CKD yang
dikelompokkan berdasarkan usia sangat dibutuhkan, sehingga kami mengevaluasi
perkembangan dan progresifitas CKD menurut level HbA1c secara terpisah untuk
individu lansia dan usia pertengahan dari populasi umum pulau Iki.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hal-hal berikut: efek diabetes dan
HbA1c pada perkembangan CKD di antara 4.570 subyek yang tidak memiliki
riwayat CKD sebelumnya, dan efek diabetes dan HbA1c pada progresifitas CKD di
antara 953 subyek dengan CKD yang sudah ada sebelumnya. Penelitian ini disetujui
oleh Pusat Etik dan Penelitian Klinis Universitas Fukuoka.
4
Definisi hasil dan variabel independen
Hasil dari analisis ini adalah perkembangan dan progresifitas CKD. Pada
pemeriksaan kesehatan, sampel darah dan urin dikumpulkan. Kadar kreatinin serum
ditentukan dengan menggunakan metode enzimatik. Estimasi laju filtrasi
glomerulus (eGFR) ditentukan menggunakan rumus Perhimpunan Nefrologi
Jepang, sebagai berikut: eGFR (mL/min /1,73 m2) = 194 × kreatinin serum (-1.094)
× usia (-0,287) (× 0,739, jika perempuan). eGFR diklasifikasikan menjadi 5
stadium: G1-2 (eGFR≥60), G3a (45-59), G3b (30-44), G4 (15-29), dan G5 (<15).
Protein urin diperiksa menggunakan metode dipstik dan diklasifikasikan menjadi
tiga stadium: A0 (- atau ±), A1 (1+), dan A2 (≥2+) atau lebih tinggi. Perkembangan
CKD didefinisikan sebagai pengurangan eGFR hingga <60 mL/menit/1,73 m2
(stadium G3-5) dan/atau onset baru proteinuria (stadium A1 atau A2) pada
pemeriksaan lanjutan, yang dikonfirmasi di akhir pemeriksaan tersebut, pada
subyek tanpa riwayat CKD. Progresifitas CKD didefinisikan sebagai
perkembangan apapun dari stadium eGFR dan/atau stadium proteinuria pada
pemeriksaan lanjutan, yang dikonfirmasi di akhir pemeriksaan tersebut, pada
subyek dengan CKD yang sudah ada sebelumnya.
Tinggi dan massa tubuh diukur pada partisipan dengan mengenakan pakaian
yang tidak berat/tidak memengaruhi pengukuran, tanpa sepatu, dan indeks massa
tubuh (BMI; kg/m2) dihitung. Obesitas didefinisikan sebagai BMI ≥25 kg/m2.
Tekanan darah (BP) diukur di lengan kanan atas menggunakan tensimeter air raksa,
otomatis, atau sfigmomanometer aneroid dengan ukuran cuff yang sesuai setelah 5
menit istirahat dalam posisi duduk, dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih, sesuai
dengan pedoman standar. Hipertensi diklasifikasikan sebagai tekanan darah sistolik
5
>140 mmHg, diastolik >90 mmHg, dan/atau penggunaan obat penurun tekanan
darah. Kadar kolesterol lipoprotein berdensitas rendah (LDL), densitas tinggi
(HDL), dan trigliserida serum ditentukan secara enzimatik. Dislipidemia
didefinisikan sebagai kadar kolesterol LDL ≥3,62 mmol/L, HDL <1,03 mmol/L,
dan/atau trigliserida ≥1,69 mmol/L atau penggunaan obat penurun lipid. Kadar
asam urat serum ditentukan dengan menggunakan metode enzimatik, dan
hiperurisemia didefinisikan sebagai kadar asam urat ≥420 μmol/L. Informasi
tentang kebiasaan merokok diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang telah
terstandarisasi. Perokok didefinisikan sebagai partisipan yang telah merokok ≥100
rokok atau yang merokok terus menerus selama >6 bulan sejak dimulainya
pemeriksaan.
Analisis statistik
6
HASIL
Karakteristik dasar
Tabel 1. Karakteristik dasar partisipan yang dibagi berdasarkan status diabetes dan
kadar HbA1c.
Nilai dipresentasikan sebagai mean (SD), median (IQR), atau n (%). Nilai P diestimasi
menggunakan uji Wilcoxon dan Chi-square.
BP: blood pressure, HDL: high density lipoprotein, LDL: low density lipoprotein, IQR: interquartile
range
7
1,61, IK 95% 1,28-2,02]. Insiden CKD adalah 34,1 untuk kadar HbA1c <7%, 54,8
untuk 7-9%, dan 37,1 untuk >9%. Hubungan antara kadar HbA1c dan
perkembangan CKD juga signifikan dalam analisis multivariat: HR 1,43 (IK 95%
0,99-2,08) untuk HbA1c 7-9%, dan HR 1,67 (IK 95% 0,84-4,48) untuk >9%,
dibandingkan dengan kelompok rujukan <7% (p=0,306). Hubungan antara kadar
HbA1c dan onset baru proteinuria juga signifikan dalam analisis multivariat: HR
2,33 (IK 95% 1,34-4,05) untuk HbA1c 7-9% dan HR 4,01 (IK 95% 1,27-12,5)
untuk >9%, dibandingkan dengan kelompok rujukan <7% (p=0,017). Selanjutnya,
kadar HbA1c dikaitkan dengan pengurangan eGFR tahunan yang lebih besar pada
analisis multivariat: pengurangan eGFR per tahun (mL/min/1,73 m2/tahun) adalah
-0,15 (IK 95% -0,80-0,49) untuk HbA1c 7-9% dan -1,09 (IK 95% -2,68-0,48) untuk
>9%, dibandingkan dengan kelompok rujukan <7% (p=0,175).
8
Gambar 1. Efek HbA1c terhadap onset baru penyakit ginjal kronik (CKD) yang
dibagi berdasarkan usia
9
Tabel 2. Efek diabetes dan kadar HbA1c terhadap onset baru dan progresifitas CKD
*per 1000 orang/tahun. **disesuaikan berdasarkan usia, jenis kelamin, hipertensi, dislipidemia,
hiperurisemia, obesitas dan merokok.
CKD: chronic kidney disease, CI: confidence interval
10
Gambar 2. Efek HbA1c terhadap eksaserbasi penyakit ginjal kronik (CKD) yang
dikelompokkan berdasarkan usia
DISKUSI
Dalam analisis ini, kadar HbA1c <7% dikaitkan dengan penurunan insiden
CKD onset baru pada partisipan yang tidak memiliki CKD sebelumnya.
ADVANCE, ACCORD, dan VADT menunjukkan bahwa kontrol glukosa intensif
menekan perkembangan DN; namun, evaluasi mereka tidak berdasarkan pada
eGFR melainkan albuminuria. Oleh karena itu, penelitian ini tidak menjelaskan
apakah jika dilakukan kontrol glukosa intensif, dapat meminimalisir penurunan
eGFR. Namun, sebuah subanalisis dari penelitian ADVANCE menunjukkan bahwa
kontrol glukosa intensif dengan target HbA1c 7,0% secara signifikan menekan
perkembangan ESRD. Berdasarkan bukti tersebut, kontrol glukosa yang ketat
dengan level target HbA1c <7% dapat menekan penurunan eGFR, juga
perkembangan dan progresifitas albuminuria pada pasien diabetes dengan fungsi
ginjal yang dipertahankan fungsinya.
11
Dalam penelitian ini, kadar HbA1c <7% juga terkait dengan penurunan risiko
progresifitas CKD pada partisipan dengan CKD yang sudah ada sebelumnya.
Walaupun terdapat keterbatasan bukti tentang outcome efek kontrol glukosa
intensif pada pasien dengan penurunan eGFR, sebuah penelitian observasi pada
pasien diabetes mellitus yang mengalami penurunan eGFR antara 25 dan 59,
menunjukkan risiko terjadinya ESRD lebih rendah pada pasien yang mencapai
kadar HbA1c <7% dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar HbA1c ≥9%.
Temuan ini mendukung teori bahwa kontrol glukosa intensif dengan target kadar
HbA1c 7,0% dapat bersifat protektif terhadap progresifitas CKD.
Walaupun studi ini merupakan penelitian observasional skala besar pada suatu
populasi umum Jepang, terdapat beberapa keterbatasan. Pertama, karena
menggunakan desain retrospektif, temuan analisis ini dapat dipengaruhi oleh bias
seleksi. Keterbatasan kedua adalah temuan kami didasarkan pada satu kali
pengukuran glukosa serum dan HbA1c, yang mungkin tidak secara akurat
mencerminkan status toleransi glukosa pada partisipan penelitian. Namun,
variabilitas tidak dapat menjelaskan hubungan yang diamati dalam penelitian ini,
seperti kesalahan klasifikasi acak yang cenderung tidak mempertimbangkan
temuan penelitian dan bias hasil terhadap hipotesis nol. Karena itu, asosiasi yang
12
sebenarnya mungkin lebih kuat dari yang diamati dalam penelitian kami.
Keterbatasan ketiga adalah sedikit ketidaktepatan penilaian protein urin karena
kami menggunakan metode dipstik.
Informed consent tertulis diperoleh dari pasien sebelum dilakukan analisis data.
13