Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Juli 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

PERAN NEUROHUMORAL PADA


PATOFISIOLOGI HIPERTENSI

Oleh:
Willy Maun
NIM. 2018-84-016

Pembimbing:
Dr. dr. Yusuf Huningkor, Sp.PD, KKV, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
referat sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam dengan judul
“Peran Neurohumoral pada Patofisiologi Hipertensi”.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan referat ini telah banyak
pihak yang turut membantu sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik.
Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Dr. dr. Yusuf Huningkor, Sp.PD, KKV, FINASIM selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan memberikan arahan bagi penulis selama penyusunan referat
ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan


referat ini, untuk itu kritik dan saran penulis harapkan guna kesempurnaan referat
ini kedepannya. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Sekian dan terima kasih.

Ambon, Juli 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………... iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………. 1

1. Latar Belakang …………………………………………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………... 6

1. Definisi Neurohumoral …………………………………. 6

2. Patofisiologi Hipertensi ………………………………… 6

3. Mekanisme Hipertensi Primer …………………………. 9

4. Peran Neurohumoral pada Patofisiologi Hipertensi …… 13

4.1. Peran volume intravaskular ………………………. 14

4.2. Peran kendali saraf autonom ……………………… 15

4.3. Peran sistem renin-angiotensin-aldosterone ……… 17

4.4. Peran dinding vaskular pembuluh darah ………….. 23

BAB III PENUTUP ………………………………………………… 25

1. Kesimpulan ……………………………………………… 25

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hingga saat ini, pergeseran pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran
dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (PTM). Tingginya
prevalensi PTM terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat akibat proses
modernisasi, urbanisasi dan globalisasi. Selain itu, usia harapan hidup yang
meningkat pada penduduk Indonesia menyebabkan peningkatan penyakit
degeneratif walaupun disertai dengan perbaikan sosio-ekonomi dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan.1
Tahun 2011, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa satu milyar
orang di dunia menderita hipertensi, yang mana dua pertiganya berada di negara
berkembang dengan penghasilan rendah hingga sedang. Hal ini diprediksi akan
terus meningkat progresif hingga 2025 dengan estimasi 29% orang dewasa akan
mengalami hipertensi. Angka mortalitas akibat hipertensi di dunia sekitar 8 juta
orang tiap tahun, 1,5 juta diantaranya terjadi di Asia Tenggara (sepertiga
populasi di Asia Tenggara mengalami hipertensi).1
Prevalensi hipertensi berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
pada penduduk Indonesia umur 18 tahun atau lebih adalah 25,8% yang
meningkat hingga 34,1% menurut Riskesdas 2018. Prevalensi hipertensi
tertinggi ditemukan di Sulawesi Utara (13,2%) dan terendah di Papua (4,4%).
Provinsi Maluku berada di urutan ke-31 prevalensi hipertensi dari 34 provinsi di
Indonesia dan termasuk salah satu provinsi dengan prevalensi di bawah Nasional
(8,8%). Prevalensi hipertensi berbanding lurus dengan usia, semakin
bertambahnya usia terjadi pula peningkatan prevalensi hipertensi. Prevalensi
hipertensi terendah pada usia 18-24 tahun (13,2%) dan tertinggi pada usia 75
tahun ke atas (69,5%).2,3
Di Maluku, menurut Profil Kesehatan Maluku tahun 2013, prevalensi hipertensi
pada usia ≥18 tahun berdasarkan wawancara (pernah didiagnosis tenaga
kesehatan dan minum obat anti hipertensi) pada tahun 2014 sebesar 6,8%.
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 5,01% penduduk usia ≥18 tahun di Maluku

4
didiagnosis dokter mengalami hipertensi, sedangkan 6,30% didapati
berdasarkan riwayat minum obat anti hipertensi (selama wawancara).
Berdasarkan diagnosis dokter, Kepulauan Aru memiliki prevalensi hipertensi
terbesar (8,61%) dan terendah di Buru Selatan. Sedangkan, menurut riwayat
meminum obat anti hipertensi, Kota Tual berada di urutan tertinggi (9,93%) dan
terendah di Buru Selatan (1,64)3,4
Pencegahan, tatalaksana dan pengendalian hipertensi menjadi hal yang mesti
dilakukan sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lanjut berkaitan dengan
gangguan metabolik, kejadian serebrovaskular, dan penyakit jantung/pembuluh
darah. Peran berbagai faktor risiko baik yang dapat dimodifikasi maupun tidak
dapat dimodifikasi memegang peran penting dalam prognosis hipertensi.1
Saat ini, penelitian banyak berfokus tentang peran neurohumoral (misalnya
sistem saraf simpatis dan renin-angiotensin-aldosterone) terhadap terjadinya
hipertensi. Hal ini dikarenakan mekanisme neurohumoral dapat digunakan
sebagai pedoman tatalaksana, bukan hanya secara farmakologis (terapi obat
sesuai titik tangkap) tapi juga non-farmakologis (modifikasi gaya hidup).5,6
Edukasi kepada masyarakat terkait peran saraf, pembuluh darah dan hormonal
untuk terjadinya hipertensi dapat dilakukan guna memberi pengetahuan tentang
berbagai risiko yang dapat dimodifikasi sehingga dapat timbul kesadaran di
masyarakat untuk lebih peduli terhadap perubahan gaya hidup, yang pada
akhirnya dapat mengendalikan perjalanan penyakit (tidak menimbulkan
komplikasi), meminimalisir atau bahkan mencegah timbulnya hipertensi bagi
mereka yang rentan.7

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Neurohumoral
Jantung dan pembuluh darah diregulasi sebagian, oleh faktor neural atau saraf
(otonom) dan humoral (sirkulasi atau hormonal). Mekanisme neural terutama
melibatkan cabang adrenergik simpatis dan kolinergik parasimpatis dari sistem
saraf otonom. Secara umum, sistem saraf simpatis menstimulasi jantung dan
konstriksi pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga terjadi peningkatan
tekanan arteri. Sistem parasimpatis menekan fungsi jantung dan melebarkan
pembuluh darah (vasodilatasi). Terdapat beberapa mekanisme humoral yang
sangat penting yaitu katekolamin yang bersirkulasi, sistem renin-angiotensin-
aldosteron, vasopressin (hormon antidiuretik), atrial natriuretik peptida, dan
endotelin. Sistem humoral ini secara langsung atau tidak langsung memengaruhi
fungsi jantung, fungsi vaskular, dan tekanan arteri.5,6
Mekanisme fisiologis diatas berperan dalam regulasi tekanan darah dan adanya
gangguan pada mekanisme tersebut dapat menyebabkan hipertensi. Selain faktor
genetik, aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosterone, asupan
natrium berlebih serta gangguan antara vasokonstriktor dan vasodilator telah
diketahui berperan dalam patofisiologi hipertensi.5-7

2. Patofisiologi Hipertensi
Hasil curah jantung atau volume sekuncup (stroke volume/SV) dikalikan
frekuensi denyut jantung dan resistensi perifer total (TPR) menentukan tekanan
darah (hukum Ohm). Hipertensi timbul apabila terjadi peningkatan pada curah
jantung atau resistensi perifer total atau kombinasi keduanya. Hipertensi
hiperdinamik dan resistensi memiliki manifestasi berlainan, yang mana
hipertensi hiperdinamik terjadi peningkatan tekanan sistolik (Ps) yang jauh lebih
besar dibandingkan tekanan diastolik (Pd). Sementara itu, pada hipertensi
resistensi terjadi peningkatan yang sama antara tekanan sistolik dan diastolik
atau tekanan diastolik lebih dari sistolik. Hal tersebut diakibatkan oleh

6
peningkatan resistensi perifer total yang memperlambat ejeksi volume
sekuncup.5,8
Curah jantung yang meningkat pada hipertensi hiperdinamik disebabkan oleh
peningkatan frekuensi denyut jantung atau volume ekstrasel yang menyebabkan
peningkatan aliran balik vena sehingga meningkatkan volume sekuncup
(mekanisme Frank-Starling). Selain itu, peningkatan aktivitas saraf simpatis dari
sistem saraf pusat dan/atau peningkatan respons terhadap katekolamin (misalnya
pengaruh hormon kortisol atau tiroid) dapat menyebabkan peningkatan curah
jantung.8

Gambar 1. Regulasi tekanan darah sistemik. Arah panah kecil mengindikasikan terjadinya
stimulasi (↑) atau inhibisi (↓) pada parameter dalam kotak. ADH (hormon antidiuretik); HR
(denyut jantung); NP (peptide natriuretik); PSNS (sistem saraf parasimpatis); SNS (sistem
saraf simpatis); SV (volume sekuncup).5

7
Hipertensi resistensi disebabkan terutama oleh vasokonstriksi perifer (arteriole)
yang sangat tinggi, beberapa penyempitan pembuluh darah perifer lain atau
akibat peningkatan viskositas darah yang ditandai oleh meningkatnya nilai
hematokrit. Vasokonstriksi terjadi akibat meningkatnya aktivitas simpatis (dari
saraf atau medulla adrenal), peningkatan respons terhadap katekolamin atau
peningkatan konsentrasi angiotensin II.8,9 Mekanisme autoregulasi juga
termasuk vasokonstriksi. Sebagai contoh, apabila tekanan darah meningkat
akibat peningkatan curah jantung, berbagai organ seperti ginjal dan saluran cerna
akan memproteksi dirinya terhadap peningkatan tekanan darah tersebut.
Mekanisme tersebut menjelaskan bahwa sering ditemukan komponen
vasokonstriksi pada hipertensi hiperdinamik yang selanjutnya dapat berkembang
menjadi hipertensi resistensi. Terdapat pula hipotesa yang menerangkan bahwa
terjadi hipertrofi otot vasokonstriktor. Hipertensi dapat menyebabkan kerusakan
vaskular yang akan meningkatkan resistensi perifer total (hipertensi menetap).8,9

Penyebab hipertensi seperti kelainan ginjal atau hormonal sekitar 5-10% dari
semua kasus hipertensi. Dengan menyingkirkan penyebab, diagnosis disebut
hipertensi primer atau esensial. Selain peran genetik, hipertensi primer lebih
sering dialami pada perempuan dan terjadi pada penduduk perkotaan. Stress
psikologis kronis yang mungkin berhubungan dengan pekerjaan (pilot,
pengemudi bus) dapat memicu hipertensi.8 Pada orang yang “sensitif terhadap
garam” (sekitar 1/3 pasien dengan hipertensi primer, insiden meningkat apabila
terdapat riwayat keluarga), asupan NaCl yang tinggi (sekitar 10-15 g/hari = 170-
250 mmol/hari).8 Melalui peningkatan aldosterone, organisme akan terlindungi
dari kehilangan Na+ atau pengurangan volume ekstrasel, sedangkan orang yang
memiliki sensitivitas tinggi terhadap garam dapat tidak terlindungi terhadap
asupan NaCl yang tinggi. Pelepasan aldosterone yang terhambat bahkan pada
asupan Na+ normal (>100 mmol/hari) menyebabkan kadarnya tidak dapat
diturunkan kembali (ireversibel). Oleh karena itu, diet dengan asupan NaCl
rendah dapat menghasilkan keseimbangan NaCl hingga terjadi regulasi
aldosterone.8

8
Sensitivitas NaCl dan terjadinya hipertensi primer dapat diakibatkan oleh
meningkatnya respons terhadap katekolamin pada orang yang sensitif terhadap
NaCl. Pada stress psikologis, terjadi peningkatan tekanan darah yang lebih besar,
yang mana dapat disebabkan secara langsung oleh efek peningkatan stimulasi
jantung dan tidak langsung melalui peningkatan absorpsi ginjal serta retensi Na+
(meningkatnya volume ekstrasel menyebabkan hipertensi hiperdinamik).8

Gambar 2. Abnormalitas primer yang berpotensi menyebabkan hipertensi esensial dengan


bukti eksperimental. CNS (sistem saraf pusat); RAA (renin-angiotensin-aldosterone).5

3. Mekanisme Hipertensi Primer


Hipertensi primer disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi,
seperti faktor genetik, lingkungan, mekanisme neural, renal, hormonal dan
vaskular.5,10 Faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi ialah diet/asupan
garam berlebih, stress, ras, obesitas, merokok, dan genetik.10
3.1. Mekanisme neural, berkaitan dengan sistem saraf simpatis. Aktifitas yang
berlebihan dari sistem saraf simpatis berperan penting untuk terjadinya
hipertensi primer. Meningkatnya denyut jantung, curah jantung, kadar
norepinefrin (NE) plasma dan urine, rangsangan saraf simpatis post
gangliom dan reseptor α-adrenergik menyebabkan vasokonstriksi di

9
sirkulasi perifer.6,10 Akan tetapi, peningkatan aktifitas saraf simpatis sulit
diukur secara klinis. Begitu pula kadar NE plasma dan denyut jantung tidak
dapat digunakan untuk mengukur aktifitas saraf simpatis yang meningkat.
Untuk mengetahui kadar NE yang meningkat, digunakan radiotracer dan
microneurography.10

3.2. Mekanisme renal, berkaitan dengan peran ginjal dalam terjadinya


hipertensi. Walaupun, hipertensi dapat pula menyebabkan kelainan pada
ginjal. Menurunnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan kelebihan
natrium pada diet tinggi garam merupakan awal tercetusnya kelainan pada
hipertensi.10 Retensi natrium meningkatkan tekanan darah melalui dua cara,
yaitu:
• Volume-dependent mechanisms: proses autoregulasi dan produksi dari
endogenous quabain-like steroids.10
• Volume-independent mechanisms: angiotensin memegang peran penting
dimana terjadi peningkatan aktifitas saraf simpatis, peningkatan
kontraktilitas sel otot polos pembuluh darah dan hipertrofi myoblast
jantung, meningkatnya produksi nuclear factor (NF)-κβ, ekspresi AT1R
di ginjal, serta peningkatan transforming growth factor (TGF) β.10

3.3. Mekanisme vaskular, berkaitan dengan struktur dan fungsi pembuluh darah
kecil dan besar yang mengalami perubahan pada awal dan tahap lanjut
(progresifitas) hipertensi. Selain itu, meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer dengan curah jantung yang normal dapat ditemukan pada
beberapa kondisi. Mekanisme ini berupaadanya gangguan keseimbangan
antara faktor yang menyebabkan terjadinya dilatasi dan konstriksi pembuluh
darah.10
• Mekanisme vasokonstriksi tingkat sel berperan pada pathogenesis
hipertensi primer, meskipun tidak ditemukan kelainan padaginjal.
Peningkatan cytosolic calcium pathway menyebabkan terjadinya
kontraksi otot polos pembuluh darah.10

10
• Disfungsi endotel. Lapisan endotel pembuluh darah merupakan faktor
yang sangat penting dalam menjaga kesehatan pembuluh darah dan
berperan sebagai pertahanan terhadap aterosklerosis dan hipertensi.
Tonus pembuluh darah diatur keseimbangannya oleh modulator
vasodilatasi dan vasokonstriksi. Adanya gangguan pada keseimbangan
tonus berperan pula pada patofisiologi hipertensi primer.10 Disfungsi
endotel merupakan penanda khas suatu hipertensi dan risiko suatu
kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya
faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan oleh
endotel, seperti nitrit oksida (NO) dan meningkatnya faktor yang
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi seperti mediator proinflamasi,
protrombotik dan faktor pertumbuhan.10
• Remodeling vaskular: diakibatkan oleh disfungsi endotel, aktivasi
neurohormonal, inflamasi vaskular dan peningkatan tekanan darah
sehingga makin memperberat hipertensi. Yang khas ditemukan pada
keadaan ini ialah penebalan dinding media arteri sehingga meningkatkan
rasio antara lapisan media dan lumen pada arteri besar dan kecil. Peran
sistem renin-angiotensin-aldosteron merupakan faktor yang dominan
dalam remodeling vaskular.10

3.4. Mekanisme hormonal: teraktivasinya sistem renin-angiotensin-aldosterone


ikut berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungis endotel, inflamasi
dan remodeling pembuluh darah dan terjadinya hipertensi. Renin yang
diproduksi oleh sel juxtaglomerulus ginjal akan berikatan dengan
angiotensinogen yang disintesis di hati, yang menghasilkan angiotensin
(AT) 1. Kemudian, angiotensin converting enzyme (ACE) yang terdapat
sebagian besar di paru, jantung dan pembuluh darah (tissue ACE), akan
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin (AT) II. Selain itu, terdapat
jalur alternatif lain, yaitu chymase (enzim protease serine) yang dapat
merubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Interaksi antara angiotensin
II dan reseptor angiotensin I akan mengaktivasi beberapa mekanisme di

11
tingkat seluler yang berperan dalam terjadinya hipertensi dan mempercepat
kerusakan organ target akibat hipertensi itu sendiri.5,6,7,10 Terdapat pula
keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan organ target yaitu
peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS), inflamasi vaskular,
remodeling jantung, dan produksi aldosterone. Selain itu, beberapa
penelitian terakhir menunjukkan bahwa angiotensin II, aldosterone, aktivasi
jalur renin, dan prorenin dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh
darah yang sehat dan pada akhirnya timbul hipertensi.10
Prorenin pada sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) berdasarkan
pemahaman yang lalu merupakan prekursor renin dengan sifat inaktif
sehingga diubah dahulu menjadi renin yang aktif, kemudian secara
enzimatik akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Akan
tetapi, pada penelitian terbaru ditemukan konsep bahwa reseptor pro(renin)
yang bila terikat dengan prorenin dan renin (proses non-enzimatik) akan
mengakibatkan efek toksik langsung pada jantung dan ginjal.10
Terbentuknya reseptor pro(renin) terpisah dari terbentuknya reseptor
angiotensin II, oleh karena itu, kerja reseptor ini tidak dipengaruhi oleh
penghambat angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor) dan
angiotensin receptor blocker (ARB). Kadar prorenin 100 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar renin dalam plasma. Aktivitas renin-
angiotensin-aldosterone secara klinis dapat ditentukan plasma renin activity
(PRA) dan plasma renin concentration (PRC).10
Penelitian hewan coba menunjukkan bahwa angiotensin II dapat
menyebabkan hipertensi melalui aktivasi nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate (NADPH) oxidase dalam sel T yang beredar dalam sirkulasi,
ginjal dan otak.10 Ekspresi reseptor angiotensin I dan NADPH oxidase pada
sel T berperan dalam terjadinya hipertensi pada tikus coba, dan
kemungkinan pada manusia angiotensin II akan mengaktivasi NADPH
oxidase yang selanjutnya meningkatkan produksi reactive oxygen species
(ROS) pada organ subfornical, kemudian memicu aktivasi saraf simpatis ke
lien dan kelenjar limfatik, sehingga sel T akan beredar dalam sirkulasi.10

12
Aktivasi NADPH oxidase pada sel T oleh angiotensin II diikuti dengan
meningkatnya ekspresi kemokin pada permukaan sel T. NADPH oxidase
pada vaskular dan ginjal akan teraktivasi oleh adanya sel T, yang mana akan
meningkatkan reactive oxygen species (ROS) pada organ tersebut. Selain
itu, sel T yang teraktivasi di perivascular fat akan menyebabkan
vasokonstriksi dan remodeling vaskular, disfungsi ginjal serta retensi
natrium.10 Beberapa faktor yang memengaruhi curah jantung dan resistensi
perifer berperan dalam pengendalian tekanan darah (Gambar 3).

Gambar 3. Faktor-faktor yang memengaruhi curah jantung dan resistensi perifer total
dalam pengendalian tekanan darah.10

4. Peran Neurohumoral pada Patofisiologi Hipertensi


Hipertensi disebabkan oleh berbagai faktor, tidak hanya satu,walaupun pada
akhirnya akan terkait dengan kendali natrium (Na+) di ginjal sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah.10

13
Empat faktor yang berperan penting dalam patofisiologi hipertensi adalah:
1. Peran volume intravaskular
2. Peran kendali saraf autonom
3. Peran sistem renin-angiotensin-aldosterone
4. Peran dinding vaskular pembuluh darah

4.1. Peran Volume Intravaskular


Menurut Kaplan, hipertensi merupakan hasil interaksi antara curah jantung
(CO) dan resistensi perifer total (TPR), yang mana masing-masing
dipengaruhi oleh beberapa faktor.5,8,10
Volume intravaskular adalah determinan utama bagi stabilnya tekanan
darah dari waktu ke waktu, bergantung keadaan TPR apakah vasokonstriksi
atau vasodilatasi. Apabila asupan NaCl meningkat, ginjal akan merespon
agar ekskresi garam yang keluar bersama urine juga meningkat. Akan tetapi,
apabila NaCl yang diekskresi melebihi ambang kemampuan ginjal, maka
ginjal akan melakukan retensi H2O sehingga volume intravaskular
meningkat.10

Gambar 4. Patogenesis hipertensi menurut Kaplan.10

14
Gambar 5. Faktor-faktor pengendalian tekanan darah.10

Curah jantung juga akan mengalami peningkatan, akibatnya terjadi ekspansi


volume intravaskular sehingga tekanan darah meningkat. Selanjutnya,
resistensi perifer total akan meningkat dan curah jantung akan turun mnejadi
normal lagi akibat autoregulasi. Apabila TPR vasodilatasi, tekanan darah
menurun, sebaliknya TPR vasokonstriksi menyebabkan tekanan darah
meningkat.5,10

4.2. Peran Kendali Saraf Autonom


Persarafan autonom terbagi menjadi 2 yaitu sistem saraf simpatis dan
parasimpatis. Sistem saraf simpatis menstimulasi saraf visceral termasuk
ginjal melalui neurotransmitter katekolamin, epinefrin, serta dopamine,
sedangkan sistem saraf parasimpatis menginhibisi stimulasi saraf simpatis.
Regulasi simpatis dan parasimpatis secara independen, tidak dipengaruhi
oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi secara automatis mengikuti siklus
sikardian.10
Terdapat beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak,
serta dinding vaskular pembuluh darah seperti reseptor α1, α2, β1 dan β2.
Temuan lain yaitu adanya reseptor β3 di aorta yang jika diinhibisi

15
menggunakan beta bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) akan memicu
terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida (NO).10
Akibat pengaruh genetik, stress kejiwaan, rokok, dan faktor pencetus lain,
akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis berupa peningkatan katekolamin,
norepinefrin (NE), dan sebagainya. Selanjutnya, neurotransmitter ini akan
meningkatkan denyut jantung (HR) lalu diikuti oleh kenaikan curah jantung
sehingga tekanan darah akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan
agregasi platelet. Meningkatnya norepinefrin berefek negatif pada jantung,
dikarenakan di jantung terdapat reseptor α1, β1 dan β2 yang akan memicu
kerusakan miokard, hipertrofi, dan aritmia dengan akibat progresivitas dari
hipertensi aterosklerosis.5,10
Pada dinding pembuluh darah terdapat reseptor α1, maka peningkatan
norepinefrin memicu vasokonstriksi sehingga hipertensi aterosklerosis juga
makin progresif. Norepinefrin memiliki efek negatif terhadap ginjal, karena
terdapat reseptor α1 dan β1yang memicu terjadinya retensi natrium,
mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosterone, memicu vasokonstriksi
pembuluh darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis yang makin
progresif.10 Apabila kadar norepinefrin tidak pernah normal, maka sindrom
hipertensi aterosklerosis akan berlanjut semakin progresif hingga kerusakan
organ target (TOD).10 Gambar 6 dan 7 menjelaskan tentang peran
norepinefrin sistem saraf simpatis.

16
Gambar 6. Faktor-faktor penyebab aktivasi sistem saraf simpatis.10

Gambar 7. Patofisiologi norepinefrn (NE) memicu progresivitas hipertensi


aterosklerosis.10

4.3. Peran Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone (RAAS)


Tekanan darah yang menurun akan memicu refleks baroreseptor.5,10 Secara
fisiologis, RAA akan mengikuti kaskade pada gambar dibawah ini, yang
mana menyebabkan sekresi renin, lalu angiotensin I (A I), angiotensin II (A
II), dan seterusnya hingga tekanan darah meningkat kembali.5,7,10 Inilah

17
proses fisiologis autoregulasi tekanan darah yang terjadi melalui aktivasi
sistem RAA (Gambar 8 dan 9).

Gambar 8. Autoregulasi tekanan darah berkaitan dengan sistem renin-angiotensin-


aldosterone (RAA).10

18
Gambar 9. Sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAAS).5

Proses terbentuknya renin diawali oleh pembentukan angiotensinogen yang


disintesis di hati. Selanjutnya, angiotensinogen akan diubah menjadi
angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula densa apparatus juxta
glomerulus ginjal. Angiotensin I diubah lagi menjadi angiotensin II oleh
enzim ACE (angiotensin-converting enzyme). Angiotensin II bekerja pada
reseptor-reseptor terkait dengan proses fisiologisnya yaitu pada reseptor
AT1, AT2, AT3, dan AT4 (Gambar 9,10 dan 11).5,7,10

Komponen baru dari sistem renin-angiotensin-aldosterone dinamakan


ACE2, yang mana merupakan homolog ACE dan berfungsi sebagai
carboxypeptidase, juga memecah residu akhir rantai karboksilase tunggal
dari angiotensin II menjadi angiotensin 1-7 (A1-7).7 Angiotensin 1-7
memiliki efek vasodilator melalui pengikatan reseptor G-coupled
Angiotensin 1-7 (reseptor MAS) dan antagonis aksi dari angiotensin II
(Gambar 12).7

19
Gambar 10. Proses angiotensinogen menjadi angiotensin II dalam sistem RAA.10

Gambar 11. Peran angiotensin II pada reseptor AT1 di organ-organ terkait, yang akan
mengalami kerusakan secara berurutan.10

20
Gambar 12. Skematik sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAAS). ACE: angiotensin
converting enzyme; AT1R: reseptor angiotensin II tipe 1; AT2R: reseptor angiotensin II tipe
2; MAS: reseptor angiotensin 1-7.7

Berkaitan dengan peran multifaktor dalam hipertensi (terutama hipertensi


arterial pulmonal) dan beberapa mekanisme feedback neurohormonal, sulit
untuk menemukan pencetus awal aktivasi neurohormonal pada keadaan
tersebut. Akan tetapi, kerusakan vaskular pulmoner, stress dinding ventrikel
kanan, dan hipoperfusi renal merupakan pencetus utama regulasi lokal dan
sistemik sistem renin-angiotensin-aldosterone serta sistem saraf simpatis
(Gambar 13).7

Gambar 13. Mekanisme peningkatan aksis neurohormonal pada hipertensi arterial


pulmonal.7

21
Faktor risiko yang tidak terkontrol akan memicu sistem RAA. Tekanan
darah makin meningkat, maka hipertensi aterosklerosis makin progresif.5,10
Progresifitas hipertensi dipicu oleh peran angiotensin II (bukti uji klinis
sangat kuat). Intervensi klinik pada tiap tahapan aterosklerosis
kardiovaskular dapat menghambat progresifitas dan menurunkan risiko
kejadian kardiovaskular (Gambar 14).10

Kaskade sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAA) berhubungan dengan


titik tangkap berbagai obat anti hipertensi (Gambar 15).

Rangkaian kejadian kardiovasluar: Peran faktor risiko dan angiotensin II

Gambar 14. Peran angiotensin II dalam progresivitas hipertensi aterosklerosis.10

22
Gambar 15. Titik tangkap obat anti hipertensi pada sistem RAA.10

4.4. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah


Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang terjadi terus menerus
sepanjang usia atau dikenal dengan the disease cardiovascular continuum.10
Hipertensi diawali dengan disfungsi endotel, berlanjut menjadi disfungsi
vaskular, perubahan biologis vaskular dan berakhir menjadi kerusakan
organ target (TOD).10
Hipertensi dapat disertai gejala lain seperti resistensi insulin, obesitas,
mikroalbuminuria, gangguan koagulasi, gangguan toleransi glukosa,
kerusakan membran transport, disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran
ventrikel kiri, gangguan simpatis-parasimpatis.10 Gangguan fungsi endotel
merupakan salah satu gejala yang berhubungan dengan hipertensi dan dapat
memprediksi risiko kejadian kardiovaskular. Hipertensi dengan faktor
risiko yang tidak dikelola menyebabkan hemodinamika tekanan darah
makin berubah, hipertensi makin progresif, vaskular biologi berubah,
dinding pembuluh darah makin menebal, dan berakhir dengan kejadian
kardiovaskular.5,10
Terdapat faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi,
yang apabila kedua faktor tersebut dimiliki oleh penderita hipertensi, maka

23
vaskular biologi akan berubah menjadi makin tebal akibat kerusakan
vaskular dan proses remodeling. Keadaan tersebut diakibatkan oleh
inflamasi, vasokonstriksi, thrombosis, ruptur plak atau erosi.10
Faktor risiko yang dominan berperan pada progresifitas hipertensi ialah
angiotensin II. Hal ini telah dibuktikan (evidence A) melalui berbagai
penelitian klinis yang menyatakan bahwa jika angiotensin II dihambat oleh
ACE inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB), risiko
kejadian kardiovaskular dapat dicegah atau diturunkan secara
meyakinkan.10
Faktor risiko yang telah disebutkan harus dikelola dengan baik agar
hipertensi tidak progresif, risiko penyakit kardiovaskular lain pun dapat
dicegah atau diturumkan.10

24
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang saat ini prevalensinya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pengendalian faktor risiko dan tatalaksana yang
sesuai menjadi hal penting yang perlu diketahui dan diaplikasikan dalam praktik
kedokteran yang berkembang saat ini. Hipertensi disebabkan oleh berbagai
macam faktor risiko, baik yang tidak dapat dimodifikasi (genetik, usia, jenis
kelamin) dan dapat dimodifikasi (obesitas, gaya hidup, merokok, stress). Faktor
risiko tersebut akan memicu terutama aktivasi neurohumoral abnormal yang
selanjutnya berperan dalam patofisiologi hipertensi. Peran neurohumoral
mencakup aktivasi sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin-aldosterone,
dan peran vaskular. Aktivasi mekanisme tersebut secara berlebihan tanpa adanya
penatalaksanaan yang adekuat dapat menyebabkan risiko komplikasi pada
pembuluh darah, jantung, dan saraf. Oleh karena itu, pemahaman tentang peran
nerohumoral pada patofisiologi hipertensi dapat mengendalikan hipertensi yang
sudah ada atau bahkan mencegah hipertensi bagi yang belum pernah mengalami
hipertensi tapi memiliki faktor predidposisi. Hipertensi hanya merupakan salah
satu gejala dari sindroma hipertensi-aterosklerotik yang dapat menyebabkan
pengerasan pembuluh darah hingga terjadi kerusakan organ target yang
berkaitan. Awalnya, hipertensi memang disebut sebagai faktor risiko, akan tetapi
jika tidak diobati dan dikendalikan melalui tatalaksana komprehensif, maka
dapat terjadi gangguan hemodinamik dan gangguan vaskular biologi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Subdit Pengendalian


Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Pedoman teknis penemuan dan
tatalaksana hipertensi. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.hal.1-8.
2. Kementerian Kesehatan RI. Hasil utama riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Litbang Kesehatan; 2018.hal.82-86.
3. Tim Riskesdas 2018. Laporan Provinsi Maluku. Jakarta: Lembaga Penerbit
Badan Litbang Kesehatan; 2019.hal.117-120.
4. Pontoh M, Mulud H, de Jong H, Pattiasina R, Lekatompessy J, Haurissa H,
dkk. Profil kesehatan Maluku tahun 2013. Ambon: Dinas Kesehatan
Provinsi Maluku; 2014.hal.173-174.
5. Drago J, Williams GH, Lilly LS. Pathophysiology of heart disease:
hypertension. Ed.6. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016.hal.310-323.
6. Tsuda K. Review article: renin-angiotensin system and sympathetic
neurotransmitter release in the central nervous system of hypertension.
International Journal of Hypertension Oktober 2012:1-6.
7. Handoko ML, de Man FS, Guignabert C, Bogaard HJ, Vonk-Noordegraaf
A. Neurohormonal axis in patient with pulmonary arterial hypertension:
friend or foe. Am J Respir Crit Care Med 2013; 187(1): 14-19.
8. Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Setiawan I,
Mochtar I, penerjemah; Resmisari T, Liena, editor. Jakarta: EGC;
2014.hal.208-210.
9. Tsioufis C, Kordalis A, Flessas D, Anastasopoulos I, Tsiachris D,
Papademetriou V, dkk. Pathophysiology of resistant hypertension: the role
of sympathetic nervous system. International Journal of Hypertension
2011.1-5
10. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed.6.Jilid II. Jakarta: InternaPublishing;
2014.hal.2253-2267, 2285-2286.

26

Anda mungkin juga menyukai