Anda di halaman 1dari 113

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA


PENCABULAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Kasus Putusan No. 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm)

OLEH :

NURHAERIA
B111 14 048

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK

YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi Kasus Putusan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm)

OLEH :

NURHAERIA

B111 14 048

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana

pada Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Skripsi Mahasiswa:

Nama : Nurhaeria

No. Pokok : B111 14 048

Program : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Judul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCABULAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK (Studi Kasus Putusan Nomor 8/Pid.Sus-

Anak/2017/PN. Sgm).

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian Skripsi di

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Makassar, April 2018

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H.
NIP. 19631024 198903 1 002 NIP. 19671010 199202 2 002

iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

iv
v
ABSTRAK

NURHAERIA (B111 14 048) Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana


Pencabulan Anak Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan
Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm). Dibimbing oleh Bapak
Syamsuddin Muchtar selaku Pembimbing I dan Ibu Hj. Nur Azisa selaku
Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi tindak pidana
pencabulan terhadap anak dalam pandangan hukum pidana dan untuk
mengetahui penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencabulan
anak yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus-
Anak/2017/PN.Sgm.
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Sungguminasa
dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan dan
metode wawancara kemudian data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Perbuatan pencabulan
terhadap anak dalam pandangan hukum pidana dikualifikasikan dalam
Pasal 290-296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex
generalis serta Pasal 76E dan Pasal 82 UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
sebagai lex specialis. (2) Penerapan hukum pidana materiil terhadap
pelaku tindak pidana pencabulan anak dalam Perkara Nomor 8/Pid.Sus-
Anak/2017/PN.Sgm sudah benar/tepat. Majelis Hakim menyatakan
terdakwa MF telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 82 Jo. Pasal 76E UU RI No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Hal tersebut sejalan dengan dakwaan tunggal Jaksa
Penuntut Umum dan telah didasarkan pada fakta-fakta di persidangan,
alat bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum serta barang bukti yang
saling bersesuaian. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungguminasa
dalam pertimbangannya masih terdapat beberapa kekurangan-
kekurangan, terutama dalam pertimbangan subyektifnya, yaitu pada
pertimbangan hal-hal yang memberatkan terdakwa.

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

atas limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak

Pidana Pencabulan Anak Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus

Putusan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm)” sebagai tugas akhir

dalam memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Shalawat serta salam

tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang senantiasa

menjadi penerang dan suri tauladan bagi seluruh umatnya di muka bumi.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta

Ayahanda Syamsuddin dan Ibunda Darwati yang tak henti-hentinya

mencurahkan rasa cinta dan kasih sayang, doa, dukungan baik moril

maupun materil sehingga perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dapat

penulis selesaikan dengan baik. Juga kepada saudara dan saudariku

yang tersayang Nur Aidah, Irnawati, Suryadi, Asmiati, Herawati, Amran

dan Muh. Alfian yang selalu menghibur dan memberi semangat serta

dukungan kepada penulis. Untuk itu atas jasa-jasa yang tak ternilai dari

semua keluarga selama ini, penulis hanya bisa mengucapkan banyak

terima kasih dengan segala ketulusan hati.

vii
Pada kesempatan ini, penulis juga secara khusus dan penuh

kerendahan hati mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A selaku Rektor

Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin dan para Wakil Dekan beserta

seluruh jajarannya.

3. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku Pembimbing I

dan Ibu Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H., selaku Pembimbing II atas

bimbingan, arahan, dan waktu yang diberikan kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., CLA., Ibu Dr.

Haeranah, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Abd. Asis, S.H., M.H., selaku

dosen penguji yang telah memberikan saran serta masukan-

masukan dalam penyusunan skripsi penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H. dan Ibu Dr.

Haeranah, S.H., M.H., selaku Ketua dan Sekretaris Departemen

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas

nasehat, petunjuk, dan arahan selama proses penyusunan skripsi

penulis.

viii
6. Bapak Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H., selaku Penasehat

Akademik (PA) penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang

telah memberikan dan mengajarkan penulis ilmu yang sangat

bermanfaat.

8. Bapak/Ibu Pegawai Akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin atas bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis.

9. Bapak/Ibu pengelolah Perpustakaan Fakultas Hukum dan

Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin atas bantuan, arahan

dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menempuh

pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

10. Ketua Pengadilan Negeri Sungguminasa bersama seluruh staf dan

jajarannya yang telah membantu penulis selama proses penelitian.

11. Sahabat terbaik sekaligus teman seperjuangan, Anita Natsir,

Nurdaya dan Windaryani. Terima kasih atas doa, kebaikan,

dukungan, keceriaan dan kebersamaannya selama ini.

12. Teman-teman seperjuangan Klinik Hukum Kejaksaan: Ahmad

Nugraha Abrar, Anita Natsir, Hardianti, Nurul Fitrah Sappe, Nur

Aryas Tuti, Nirwana Nur Rahmat, Nurul Afiah Idrus, Hartina,

Sakinah, Wahyuni, Andi Syamsinar, Risnayanti, Lisa Yusnita dan

Resky Amalia atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.

ix
13. Teman-teman seperjuangan KUDETA COMMUNITY: Jemmi,

Anugrah, Frelly Armansyah, Windaryani, Nurdaya, Hardianti,

Ningsih, Lisa Rulyantini Munassar, Nasrah Indah dan Mastura

Azizah atas kebersamaan dan suka dukanya selama ini.

14. Teman-teman angkatan DIPLOMASI 2014, penulis bangga menjadi

salah satu dari kalian.

15. Teman-teman seperjuangan KKN Gelombang 96 UNHAS Desa

Tamangapa, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep:

Muhammad Awaluddin, Pristia Amy Suastika, Rahmawati dan

Rasmilawanti Rustam atas kebersamaan, persaudaraan dan

kerjasamanya selama ini.

16. Keluarga Besar UKM Karate-Do Gojukai Indonesia Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin dan Ikatan Keluarga Mahasiswa Sinjai

(IKMS). Terima kasih atas doa, dukungan, motivasi, kebersamaan

dan kerjasamanya selama ini.

17. Teman-teman SMA Negeri 1 Sinjai Timur: Nirmayani, Ratnawati,

Sumarni, Nurfah, Nur Faidil, Firdaus, Zulfikar serta teman-teman

lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima

kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

18. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu

persatu disini yang telah memberikan doa, motivasi, dukungan,

sumbangan pemikiran dan telah membantu penulis baik secara

langsung maupun tidak langsung. Penulis hanya bisa berdoa,

x
semoga Allah SWT membalas kebaikan-kebaikan kalian dengan

setimpal. Amin yaa Rabbal Alamin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan

karena keterbatasan penulis dalam mengeksplorasi lautan ilmu

pengetahuan yang begitu cemerlang menuju proses pencerahan. Oleh

karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan

skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik

dan saran dari semua pihak demi penyempurnaan penulisan serupa di

masa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak yang

berkepentingan dan semoga Allah SWT senantiasa menilai amal

perbuatan kita sebagai ibadah Amin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, April 2018

NURHAERIA

xi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ...................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana......................................................... 7
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana...................................................... 10
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana ........................................................ 14
B. Anak
1. Pengertian Anak ....................................................................... 24
2. Batasan Usia Anak ................................................................... 25
C. Tindak Pidana Pencabulan
1. Pengertian Pencabulan............................................................. 28
2. Tindak Pidana Pencabulan Menurut KUHP .............................. 30
3. Tindak Pidana Pencabulan Menurut UU No. 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak ..................................................... 38
D. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
1. Pertimbangan Yuridis................................................................ 39
2. Pertimbangan Sosiologis .......................................................... 41

BAB III METODE PENELITIAN


A. Lokasi Penelitian ............................................................................ 44
B. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 44
C. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 44

xii
D. Analisis Data .................................................................................. 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kualifikasi Perbuatan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap
Anak dalam Pandangan Hukum Pidana......................................... 46
B. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Pencabulan Anak Yang Dilakukan Oleh Anak dalam Putusan
Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm
1. Posisi Kasus ............................................................................. 61
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum .............................................. 63
3. Tuntutan Penuntut Umum ......................................................... 65
4. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ...... 66
5. Amar Putusan Hakim ................................................................ 77
6. Analisis Penulis ......................................................................... 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 94
B. Saran.............................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perhatian terhadap anak sejalan dengan peradaban manusia yang

dari hari ke hari semakin berkembang. Anak sebagai generasi muda

merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya

manusia bagi pembangunan. Anak sebagai salah satu bentuk investasi

jangka panjang yang tidak dapat dikesampingkan perannya untuk

mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara disegala bidang

kehidupan. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang

berada ditangan anak sekarang. Semakin baik keperibadian anak saat ini

maka semakin baik pula kehidupan bangsa dan negara di masa

mendatang.

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk

didalamnya hak asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan

perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan

peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional maupun yang

bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi

internasional tentang hak anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak

melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention on The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak-hak

Anak).

1
Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut Pemerintah telah

mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang dalam perkembangannya telah diperbaharui

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlindungan anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menimbang bahwa negara Indonesia

menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan

anak yang merupakan hak asasi manusia. Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun pada realitasnya dalam kehidupan bermasyarakat, sangat

kompleks keadaannya dan permasalahan yang menyertai kehidupan

anak, baik aspek pendidikan, kesehatan, maupun perlakuan yang tidak

adil yang dipandang dari aspek hukum itu sendiri. Kasus-kasus seperti

pelecehan seksual, pemerkosaan, pencabulan, kekerasan terhadap anak,

sampai perdagangan anak, terhadap anak di bawah umur untuk dijadikan

pekerja seks komersial juga kerap kali diterbitkan di media, seakan-akan

tiada hari tanpa kasus mengenai anak yang terjadi di indonesia. Bukan

hanya anak sebagai korban kejahatan yang menjadi permasalahan

2
utama, namun yang paling memprihatinkan sekarang adalah bahwa ketika

anak itu sendiri yang menjadi pelaku kejahatan.

Dalam kehidupan masyarakat sering terjadi kejahatan yang tidak

dapat diduga sebelumnya dan bahkan sudah merambat kekalangan anak-

anak. Banyak sekali fenomena yang diberitakan oleh media massa bahwa

anak menjadi pelaku tindak pidana, salah satunya adalah pelaku tindak

pidana pencabulan. Anak sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya

tentu belum memahami apa yang baik dan buruk untuk dilakukan.

Perilaku anak dibawah umur yang berkaitan dengan pencabulan tidak

cukup hanya dipandang sebagai kenakalan biasa. Anak yang melakukan

tindak pidana pencabulan ini bisa disebabkan beberapa faktor,

diantaranya adalah adanya rasa ingin tahu yang besar yang dimiliki oleh

anak, banyaknya peredaran video porno, gaya pacaran anak zaman

sekarang yang kurang terkontrol, perkembangan teknologi, faktor

keluarga, faktor meniru perilaku orang-orang disekitarnya, nilai-nilai

keagamaan yang semakin hilang di masyarakat, tayangan televisi dan

jaringan internet yang kian menyediakan situs-situs tidak baik bagi anak-

anak.

Tindak pidana pencabulan terhadap anak dapat digolongkan

sebagai kejahatan asusila yang dapat membuat masa depan anak

menjadi rusak. Dalam Pasal 82 Ayat (1) Jo. Pasal 76E Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

3
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur tentang

Perbuatan Cabul Terhadap Anak menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman


kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)”.

Pada wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sungguminasa terdapat

suatu kasus yang menarik perhatian penulis yaitu perkara Nomor

8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm. dimana pelaku dalam kasus tersebut

adalah seorang anak laki-laki yang berumur 14 tahun melakukan

pencabulan terhadap seorang anak perempuan berumur 13 tahun.

Dimana pencabulan tersebut dilakukan pelaku dengan cara memegang

alat kelamin (vagina) korban dengan menggunakan jari telunjuk tangan

kanannya kurang lebih 5 menit. Kemudian pelaku menarik korban

menyamping dan menyentuhkan alat kelaminnya kealat kelamin (vagina)

korban lalu pelaku menggoyang-goyangkan pantatnya kepinggir alat

kelamin (vagina) korban dan alat kelamin (penis) pelaku mengeluarkan

cairan putih (sperma) yang mengenai pinggiran alat kelamin (vagina)

korban.

Hal semacam ini perlu mendapat perhatian khusus dari pihak

keluarga dan masyarakat sekitar agar dapat mendorong adanya langkah

konkret untuk memulihkan kembali kondisi fisik, psikis dan sosial Anak

korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Dan permasalahan yang

4
semakin berkembang ini perlu segera ditanggulangi dan diselesaikan

yang bukan hanya menjadi tanggungjawab negara saja, tetapi juga

membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Hal

tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak

pelaku kejahatan dikemudian hari agar tindak menjadi pelaku maupun

korban kejahatan yang sama.

Atas dasar pemikiran dan uraian tersebut di atas, maka penulis

tertarik untuk mengkaji dan mengadakan penelitian dengan judul:

“Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Yang

Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Nomor 8/Pid.Sus-

Anak/2017/PN.Sgm)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat

mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualifikasi perbuatan tindak pidana pencabulan

terhadap anak dalam pandangan hukum pidana ?

2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana

pencabulan anak yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor

8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm ?

5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yang ingin dicapai adalah

sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui kualifikasi perbuatan tindak pidana

pencabulan terhadap anak dalam pandangan hukum pidana.

2) Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap tindak

pidana pencabulan anak yang dilakukan oleh anak dalam

Putusan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penulis, maka hasil penelitian ini nantinya

diharapkan berguna untuk:

1) Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi pemikiran bagi ilmu pengetahuan pada

umumnya dan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum

pidana dan dapat dijadikan sebagai referensi bagi para

akademisi yang berminat pada masalah-masalah hukum

pidana.

2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan

manfaat terhadap pembangunan dibidang hukum serta

kesadaran hukum masyarakat pada umumnya.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar Feit, terdiri dari

tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana

dan hukum. Baar, diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Dan untuk

kata Feit, diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan

perbuatan. Jadi istilah Strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat

dipidana. Sedangkan delik dalam Bahasa asing disebut delict yang

artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana1.

Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang pokok

dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan

pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan

yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan

diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana

sendiri, yaitu berdasarkan atas asas legalitas (principle of legality),

asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan

1
Amir Ilyas, 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta,
Yogyakarta, Hlm. 19.

7
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam

undang-undang2.

Asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP

dirumuskan di dalam bahasa latin : “Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenali”, yang dapat dirumuskan dalam bahasa Indonesia

kata demi kata : “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan

pidana yang mendahuluinya”3.

Selain daripada istilah strafbaar feit, dipakai juga istilah lain

yang berasal dari Bahasa latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman

disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit dan dalam bahasa

Indonesia dipakai istilah delik. Dimana dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia sebagaimana dikutip Leden Marpaung, delik merupakan

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana4.

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang

didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut”5.

2
Ibid, Hlm. 27.
3
Andi Hamzah, 2009, Delik-delik Tertentu (Special Delicten) di Dalam KUHP, Sinar
Grafika, Jakarta, Hlm. 53.
4
Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
Hlm. 7.
5
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hlm. 71.

8
Sedangkan R. Tresna6 menarik definisi mengenai peristiwa

pidana, yang mengatakan bahwa : “peristiwa pidana itu adalah suatu

perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan

dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap

perbuatan mana diadakan tindak penghukuman”.

Dapat dilihat bahwa rumusan itu tidak memasukkan

unsur/anasir yang berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya beliau

menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai syarat-

syarat, yaitu:

a) Harus ada suatu perbuatan manusia;


b) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum;
c) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat. Yaitu
orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;
d) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
e) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumnya
dalam undang-undang.

Dengan melihat pada syarat-syarat peristiwa pidana itu yang

dikatakan beliau, terdapat syarat yang telah mengenai diri si pelaku,

seperti pada syarat ketiga. Tampak bahwa syarat tersebut dapat

dihubungkan dengan adanya orang yang berbuat melanggar larangan

(peristiwa pidana) berupa syarat untuk dipidananya bagi orang yang

melakukan perbuatan itu7.

6
Adami Chazawi, 2010, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo, Jakarta, Hlm. 72.
7
Ibid, Hlm. 72-73.

9
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibeda-bedakan setidak-

tidaknya dari dua sudut pandang, yakni:

1) Dari sudut pandang teoritis.

Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang

tercermin pada bunyi rumusannya.

2) Dari sudut pandang undang-undang.

Sudut pandang undang-undang adalah sebagaimana

kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu

dalam pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

Menurut Moeljatno8, unsur tindak pidana adalah:

a) Perbuatan

b) Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c) Ancaman pidana (yang melanggar larangan).

Dari rumusan R. Tresna9, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur,

yakni:

a) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)

b) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

c) Diadakan tindakan penghukuman.

Dari batasan yang dibuat Jonkers10 (penganut paham monism)

dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:

8
Adami Chazawi, Op.Cit, Hlm. 79.
9
Ibid, Hlm. 80.

10
a) Perbuatan (yang)
b) Melawan hukum (yang berhubungan dengan)
c) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang)
d) Dipertanggungjawabkan.

Sedangkan menurut Amir Ilyas, dalam bukunya mengenai asas-

asas hukum pidana, tindak pidana adalah sebuah perbuatan yang

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:11

1) Perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang (mencocoki

rumusan delik);

2) Memiliki sifat melawan hukum; dan

3) Tidak ada alasan pembenaran.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

terdiri dari 3 (tiga) buku yakni buku I mengenai ketentuan umum yang

berisikan asas-asas hukum pidana, buku II memuat rumusan-rumusan

perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan,

sedangkan buku III KUHP memuat pelanggaran. Dalam buku ke II dan

ke III KUHP ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap

rumusannya. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam

KUHP itu, dapat kita ketahui adanya 11 unsur tindak pidana yaitu:12

a. Unsur tingkah laku;


b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

10
Ibid.
11
Amir Ilyas, Op.Cit, Hlm. 28.
12
Adami Chazawi, Op.Cit, Hlm. 82.

11
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i. Unsur kualitas objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk meringankan pidana.

Berbagai macam tindak pidana yang diatur di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat

diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif

dan unsur objektif. Unsur subjektif tersebut merupakan unsur-unsur

yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si

pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya. Unsur subjektif dapat diartikan dengan

setiap orang, penyelenggara negara, pegawai negeri, maupun

korporasi atau kumpulan orang yang berorganisasi. Unsur subjektif ini

meliputi:

a. Kesengajaan (Dolus), dimana hal ini terdapat di dalam

pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan

kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338

KUHP).

b. Kealpaan (Culpa), dimana hal ini terdapat dalam perampasan

kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), menyebabkan kematian

(Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.

c. Niat (Voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan

atau poging (Pasal 53 KUHP).

12
d. Maksud (Oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian

(Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan

(Pasal 378 KUHP), dan lain-lain.

e. Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade),

dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal

308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP),

membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).

Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri

pelaku tindak pidana. Unsur ini berhubungan dengan keadaan-

keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari

si pelaku itu harus dilakukan. Unsur ini meliputi:

a. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau

kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu),

misalnya membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal

351 KUHP).

b. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat

dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara

material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP),

penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.

c. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-

undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum,

13
meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam

perumusan.

Unsur-unsur tindak pidana ini sebenarnya melengkapi kembali

atau menjelaskan mengenai jenis dan ruang lingkup perbuatan

manusia yang dapat dikenai aturan hukum.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam membahas hukum pidana, akan ditemukan beragam

tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak

pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu yakni sebagai

berikut:

1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang

dimuat dalam buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam buku

III.

Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran

adalah jenis pelanggaran lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini

dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada

yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana

kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi

dengan ancaman pidana penjara13. Kriteria lain yang membedakan

antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan merupakan

delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga

13
Amir Ilyas, Op.Cit, Hlm. 28.

14
menimbulkan bahaya secara konkret, sedangkan pelanggaran itu

hanya membahayakan in abstracto saja.

2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana

formil dan tindak pidana materiil.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

dengan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti

larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan

tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan

dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari

perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan

semata-mata pada perbuatannya14.

Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materiil, inti

larangan adalah menimbulkan akibat dilarang. Oleh karena itu,

siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang

dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya

tindak pidana materiil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud

perbuatan dilakukan, tetapi sepenuhnya tergantung pada syarat

timbulnya akibat larangan tersebut.

3) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana

sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa).

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam

rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung

14
Ibid, Hlm. 29.

15
unsur kesengajaan. Sedangkan tindak pidana tidak dengan

sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya

mengandung culpa15.

4) Berdasarkan macam-macam perbuatannya, dapat dibedakan

antara tindak pidana aktif/positif atau dapat juga disebut tindak

pidana komisi dan tindak pidana pasif/negatif atau disebut juga

tindak pidana omisi.

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya

berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang

untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota

tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar

larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana

yang dirumuskan secara formil maupun materiil. Bagian terbesar

tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana

aktif.16

Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana

pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana

pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau

tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur

perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak

pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada

dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan

15
Ibid, Hlm. 30.
16
Ibid.

16
dengan cara tidak berbuat aktif, atau dilakukan dengan tidak

berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar

timbul17.

5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak

pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung

lama/berlangsung terus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu

singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya

ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga

terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah

perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus,

yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini

disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan

yang terlarang.

6) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana

umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang

dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil

17
Ibid, Hlm. 31

17
(Buku II dan III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua

tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP18.

7) Dilihat dari sudut subjektif, dapat dibedakan antara tindak

pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh

semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang

dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan

untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar

tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan

tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus

hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja,

misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatn) atau nahkoda

(pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.

8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntut,

maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana

aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak

pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap

perbuatannya, tidak disyaratkan adanya pengaduan diri yang

berhak, sementara itu tindak pidana aduan adalah tindak pidana

yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu

adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan,

18
Ibid.

18
yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga

tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus

untuk pengaduan oleh orang yang berhak.

9) Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka

dapat dibedakan antara tindak pidana yang bentuk pokok,

tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang

diperingan.

Dilihat dari berat-ringannya, ada tindak pidana tertentu yang

dibentuk menjadi:

1) Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau


dapat juga disebut dengan bentuk standar.
2) Dalam bentuk yang diperberat, dan
3) Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara

lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan,

sementara itu pada rumusan yang diperberat dan/atau diperingan,

tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan

sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau Pasal bentuk

pokoknya, kemudian disebutkan atau meringankan secara tegas

dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor

peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap

bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat

atau lebih ringan daripada bentuk pokoknya19.

19
Ibid, Hlm. 32.

19
10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak

pidana tidak terbatas macamnya, sangat tergantung pada

kepentingan hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan

perundang-undangan.

Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab

dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi.

Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi ini maka

disebutkan misalnya dalam buku II KUHP. Untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan

kejahatan terhadap keamanan negara (Bab I KUHP), untuk

melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi

penguasa umum, dibentuk rumusan kejahatan terhadap penguasa

umum (Bab VIII KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum

terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti

Pencurian (Bab XXII KUHP), Penggelapan (Bab XXIII KUHP),

Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP) dan

seterusnya20.

11) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,

dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana

berangkai.

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya

20
Ibid, Hlm. 33.

20
tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu

kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP

adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud

dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai

selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan

secara berulang21.

Dalam pendapat lain, menurut Andi Sofyan dan Nur Azisa 22

jenis-jenis tindak pidana atau delik terdiri dari:

1) Delik Formiel dan Delik Materiel

Delik formiel yaitu delik yang terjadi dengan dilakukannya

suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang. Sedangkan delik materiel yaitu delik yang baru

dianggap terjadi setelah timbul akibatnya yang dilarang dan

diancam pidana oleh undang-undang.

2) Delik Komisi dan Delik Omisi

Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap

larangan di dalam undang-undang. Delik komisi ini dapat berupa

delik formiel dan dapat pula berupa delik materiel. Sedangkan delik

omisi yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan di

dalam undang-undang.
21
Ibid, Hlm. 34.
22
Andi Sofyan & Nur Azisa, 2016, Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar,
Hlm. 105-108.

21
3) Delik yang Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik berdiri sendiri yaitu delik yang terdiri atas satu

perbuatan tertentu. Sedangkan delik berlanjut yaitu delik yang

terdiri atas beberapa perbutan yang masing-masing berdiri sendiri-

sendiri, tetapi antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan yang

erat, sehingga dianggap sebagai satu perbuatan berlanjut.

4) Delik Rampung dan Delik Berlanjut

Delik rampung adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan

atau beberapa perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu

tertentu yang singkat. Sedangkan delik berlanjut yaitu delik yang

terdiri atas satu atau beberapa perbuatan yang melanjutkan suatu

keadaan yang dilarang oleh undang-undang.

5) Delik Tunggal dan Delik Bersusun

Delik tunggal adalah delik yang hanya satu kali perbuatan

sudah cukup untuk dikenakan pidana. Sedangkan delik bersusun

yaitu delik yang harus beberapa kali dilakukan untuk dikenakan

pidana.

6) Delik Sederhana, Delik dengan Pemberatan atau Delik

Berkualifikasi, dan Delik Berprevilise

Delik sederhana yaitu delik dasar atau delik pokok. Delik

dengan pemberatan atau delik berkualifikasi yaitu delik yang

mempunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar atau delik

pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lainnya sehingga

22
ancaman pidananya lebih berat daripada delik dasar atau delik

pokok. Delik previlise yaitu delik yang mempunyai unsur-unsur

yang sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah

dengan unsur-unsur lain, sehingga ancaman pidananya lebih

ringan daripada delik dasar atau delik pokok.

7) Delik Sengaja dan Delik Kealpaan

Delik sengaja yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja.

Sedangkan delik kealpaan yaitu delik yang dilakukan karena

kesalahannya atau kealpaan.

8) Delik Politik dan Delik Umum

Delik politik yaitu delik yang ditujukan terhadap keamanan

negara dan kepala negara. Sedangkan delik umum adalah delik

yang tidak ditujukan kepada keamanan negara dan kepala negara.

9) Delik Khusus dan Delik Umum

Delik khusus yaitu delik yang hanya dapat dilakukan orang

tertentu saja, karena suatu kualitas. Sedangkan delik umum yaitu

delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.

10) Delik Aduan dan Delik Biasa

Delik aduan yaitu delik yang hanya dapat dituntut, jika

diadukan oleg orang yang merasa dirugikan. Sedangkan delik

biasa yaitu delik yang bukan delik aduan dan untuk menuntutnya

tidak perlu adanya pengaduan.

B. Anak

23
1. Pengertian Anak

Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa

yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia

seutuhnya23. Anak merupakan makhluk sosial ini sama dengan orang

dewasa. Anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa

adanya orang lain, karena anak lahir dengan segala kelemahan

sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf

kemanusiaan yang normal.

Anak dipahami sebagai individu yang belum dewasa. Dewasa

dalam arti anak belum memiliki kematangan rasional, emosional,

moral, dan sosial seperti orang dewasa pada umumnya. Anak

merupakan generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan,

yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana

pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan

suatu negara, tidak terkecuali Indonesia.

2. Batasan Usia Anak

Dalam hal mengenai pembahasan anak, maka diperlukan suatu

perumusan yang dimaksud anak, termasuk batasan umur. Sampai

saat ini di Indonesia ternyata masih banyak terdapat perbedaan

pendapat mengenai pengertian anak, sehingga kadang menimbang

kebingungan untuk menentukan seseorang termasuk dalam kategori

anak atau bukan. Hal ini dikarenakan oleh sistem perundang-

23
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung, Hlm.
11.

24
undangan di Indonesia yang bersifat pluralism, sehingga anak

mempunyai pengertian dan batasan yang berbeda-beda antara satu

perundang-undangan dengan perundang-undangan lain24.

Berikut adalah uraian tentang usia anak yang dikategorikan

sebagai anak menurut peraturan perundang-undangan:

a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

dikategorikan sebagai anak terdapat dalam Pasal 287 ayat (1)

yang pada intinya usia yang dikategorikan sebagai anak adalah

seseorang yang belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun.

b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

yang dikategorikan usia seorang anak ialah seperti yang

tertuang pada Pasal 330 KUHPerdata yakni seseorang yang

belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur

genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dulu telah

kawin.

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

dalam Pasal 7 Ayat (1) mengatakan bahwa “Seseorang pria

hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan

belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun”.

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak, dalam Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa “Anak

24
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, Hlm. 5.

25
adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh

satu) tahun dan belum pernah kawin”.

e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “Anak

adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan

belas) tahun dan belum pernah menikah”.

f. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, dalam Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa “Anak

adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 (delapan

belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih

dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya”.

g. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, dalam Pasal 1 merumuskan bahwa “Anak

adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas)

tahun”.

h. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,

dalam Pasal 1angka 4 menyebutkan bahwa “Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun”.

i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan

26
bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”.

j. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, menjelaskan bahwa:

- Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya

disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun

yang diduga melakukan tindak pidana.

- Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya

disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,

mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh

tindak pidana.

- Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya

disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri.

C. Tindak Pidana Pencabulan

1. Pengertian Pencabulan

27
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia25 pencabulan berasal

dari kata cabul yang diartikan sebagai “tidak senonoh, melanggar adat

dan susila, melanggar kesopanan, keji dan kotor”. Perbuatan cabul

dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap

kesusilaan.

Pencabulan menurut R. Soesilo26 adalah segala perbuatan

yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,

semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-

ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, buah dada, dan sebagainya.

Perbuatan cabul (ontuchtige hendelingen) adalah segala

macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri

maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan

dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat

merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-

gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut

seseorang dan sebagainya27.

Bentuk pencabulan cukup beragam, ada beberapa jenis istilah

tentang pencabulan, yaitu:28

1) Exhibitionsm yaitu sengaja memamerkan kelamin kepada orang


lain;

25
Tanti Yuniar, 2012, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Agung Media Mulia,
Jakarta, Hlm. 122.
26
R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, Hlm. 212.
27
Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Hlm. 80.
28
Leden Marpaung, 2004, Kejahatan Terhadap Kesusilaan, Sinar Grafika, Jakarta,
Hlm. 64.

28
2) Voyeurism yaitu mencium seseorang dengan bernafsu;
3) Fondling yaitu mengelus/meraba alat kelamin seseorang;
4) Fellato yaitu memaksa seseorang untuk melakukan kontak
mulut.

Menurut Arif Gosita, pencabulan dapat dirumuskan dari

beberapa bentuk perilaku yang antara lain sebagai berikut:29

a. Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur

(obyek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang dicabuli

oleh seorang wanita.

b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan.

Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai

niat dan tindakan perlakuan pelaku.

c. Pencabulan diluar ikatan pernikahan adalah tujuan yang ingin

dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataannya ada pula

persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan

kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik.

Walaupun tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu

kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh

pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan.

Dari perumusan diatas menunjukkan bahwa posisi perempuan

ditempatkan sebagai obyek dari suatu kekerasan seksual

(pencabulan) karena perempuan identik dengan lemah, dan laki-laki

29
P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, Cetakan ke-4, Hlm. 194.

29
sebagai pelaku dikenal dengan kekuatannya sangat kuat dan yang

dapat melakukan pemaksaan persetubuhan dengan cara apapun yang

mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau ancaman

kekerasan.

2. Tindak Pidana Pencabulan Menurut KUHP

Dalam KUHP perbuatan cabul diatur pada Bab XIV Buku ke II,

yaitu pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP, yang

mengategorikan perbuatan tersebut sebagai kejahatan terhadap

kesusilaan. Adapun perbuatan cabul tersebut dikategorikan sebagai

berikut:

a. Perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman


kekerasan

Hal ini dimuat pada Pasal 289 KUHP yang rumusannya sebagai

berikut:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman


kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan
dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena
merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya
Sembilan tahun”.

Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau

membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang dimaksud

dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa

kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin.

30
Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya

memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga

memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan

untuk menunjukkan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan

yang sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman

pidananya.

Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP

adalah sama yakni sembilan tahun penjara. Perbuatan cabul

sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam lingkungan

nafsu birahi kelamin, misalnya:

- Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita

dan menyentuhkan pada alat kelaminnya.

- Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan

kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat

mengelus dan menciumnya. Pelaku melakukan hal tersebut

untuk memuaskan nafsu seksualnya.

b. Perbuatan cabul dengan orang pingsan

Hal ini dimuat pada Pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya

sebagai berikut:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang

diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya”.

31
Kata “pingsan” disinonimkan dengan kata-kata “tidak sadar”,

“tidak ingat”, sedang kata “tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga”

atau sangat lemah.

Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja.

Dengan demikian si pelaku mengetahui bahwa yang dicabulinya

tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak sadar.

Maka menurut pasal ini melakukan perbuatan cabul adalah

dengan seseorang yang diketahuinya orang itu pingsan atau tidak

berdaya.

c. Perbuatan cabul dengan orang yang belum 15 tahun

Hal ini dimuat pada Pasal 290 ayat (2) KUHP yang rumusannya

sebagai berikut:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang,

sedang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa umur

orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau umurnya tidak

jelas, bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin”.

Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak/remaja. Perlu

diperhatikan bahwa pada pasal tersebut tidak ada kata “wanita”

melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan

terhadap anak/remaja pria, misalnya oleh homoseks atau yang disebut

sehari-hari oleh “tante girang” maka pasal ini dapat diterapkan. Tetapi

jika sejenis maka hal itu diatur pada Pasal 292 KUHP.

32
Kata “diketahuinya atau patut disangka” merupakan unsur

kesalahan (dolus atau culpa) terhadap umur yakni pelaku dapat

menduga bahwa umur anak/remaja tersebut belum lima belas tahun.

d. Membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli

Hal ini diatur pada Pasal 290 ayat (3) yang rumusannya sebagai

berikut:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:

Barang siapa yang membujuk seseorang, yang diketahui atau patut

disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun,

atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya

untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

padanya perbuatan cabul”.

Hal ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan sebelumnya

kecuali “pelaku”. Pelaku pada Pasal 290 ayat (3) ini bukan pelaku

cabul tetapi “yang membujuk”.

e. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang


sejenis

Hal ini diatur pada Pasal 292 KUHP yang rumusannya sebagai

berikut:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan


seseorang yang belum dewasa, yang sejenis kelamin dengan dia,
yang diketahuinya atau patut disangkanya belum dewasa dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”.

Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang

dikenal sebagai “Homoseks” atau “Lesbian”. Dalam kamus besar

33
bahasa Indonesia dimuat arti “homoseksual” dan “lesbian”. Dalam

keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama

(homoseksual), sedang “lesbian”: wanita yang cinta birahi kepada

sesame jenisnya; wanita homoseks.

Pada umumnya dalam pengertian sehari-hari, homoseks

dimaksudkan bagi pria sedangkan lesbian dimaksudkan bagi wanita.

Kurang jelas kenapa terjadi hal ini karena dari arti sebenarnya

“homoseksual” adalah perhubungan kelamin antara jenis kelamin yang

sama. Kemungkinan karena untuk wanita disebut lesbian maka untuk

pria disebut homoseksual. Bagi orang dibawah umur, perlu dilindungi

dari orang dewasa yang homoseks/lesbian, karena sangat berbahaya

bagi perkembangannya.

f. Dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa


berbuat cabul

Hal ini diatur pada Pasal 293 ayat (1) KUHP yang rumusannya

sebagai berikut:

“Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang


atau barang, dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari
pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja
mengajak orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuannya,
yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya dibawah umur,
mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan
perbuatan cabul itu dengan dia, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun”.

Tindak pidana menurut pasal ini adalah menggerakkan

seseorang yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan

perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan

34
terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk tindak

pidana menggerakkan seseorang itu adalah memberi hadiah atau

berjanji akan memberi uang atau barang dan dengan jalan demikian

pelaku lalu menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan

keadaan atau dengan demikian menyesatkan orang tersebut. Orang

disesatkan atau digerakkan itu haruslah belum dewasa atau

diketahuinya belum dewasa atau patut harus diduganya bahwa orang

itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau

yang diketahuinya belum dewasa atau yang patut harus diduga bahwa

ia belum dewasa tersebut adalah berkelakuan baik.

g. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang


dilakukan orang tua atau yang mempunyai hubungan

Hal ini diatur pada Pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai

berikut:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya,


anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya,
yang belum dewasa atau dengan orang yang belum dewasa
yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau
bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang dibawahnya atau orang yang dipercayakan atau
diserahkan padanya.
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh
dalam penjara, tempat bekerja kepunyaan negara, tempat
pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila, lembaga sosial,
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan kedalamnya.

35
Tindak pidana yang disebutkan dalam pasal ini adalah

melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan, yang telah disebut

juga dalam pasal-pasal sebelumnya. Menurut pasal ini perbuatan

cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan

khusus yaitu yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau

dijaga. Demikian juga jika yang melakukan perbuatan cabul atau

persetubuhan adalah pegawai negeri dan dilakukan dengan orang

yang dalam pekerjaannya adalah bawahannya, atau dengan orang

yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga.

h. Memudahkan anak dibawah umur untuk berbuat cabul

Hal ini diatur pada Pasal 295 KUHP yang rumusannya sebagai

berikut:

(1) Dihukum:
1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun
barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaraannya,
anak yang dibawah pengawasannya semuanya dibawah
umur yang diserahkan padanya supaya dipeliharanya,
dididik atau dijaganya, atau bujangnya atau orang
bawahannya, keduanya dibawah umur yakni semua orang
tersebut itu melakukan perbuatan cabul dengan orang lain.
2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan dalam hal diluar yang disebut pada butir 1
orang yang dibawah umur, yang diketahui atau patut dapat
disangkanya bahwa ia dibawah umur, melakukan perbuatan
cabul dengan orang lain.
(2) Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikan
pekerjaan atau kebiasaan, maka hukuman itu boleh ditambah
sepertiganya.

i. Mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan


orang lain dijadikan mata pencaharian atau kebiasaan

36
Hal ini diatur pada Pasal 296 KUHP yang rumusannya sebagai

berikut:

“Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu


dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul
dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun
empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp15.000 (lima
belas ribu rupiah)”.

Tindak pidana pada pasal ini adalah menjadikan mata

pencaharian atau kebiasaan suatu perbuatan yang dengan sengaja

mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain.

3. Tindak Pidana Pencabulan Menurut UU No. 35 Tahun 2014


Tentang Perlindungan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa anak adalah seseorang

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan. Berarti kategori dikatakan usia seorang anak

menurut pasal ini adalah belum berusia delapan belas tahun.

Adapun perbuatan cabul dalam undang-undang ini diterangkan

lebih khusus pada Pasal 76E dan Pasal 82 UU No. 35 tahun 2014

tentang Perlindungan Anak, yang dirumuskan sebagai berikut:

- Pasal 76E

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman


kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

37
- Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000, 00 (lima
miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik,
atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

D. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Pertimbangan atau Ratio Decidendi adalah argument atau alasan

yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi

dasar sebelum memutus perkara.

Rusli Muhammad30 mengemukakan bahwa pertimbangan hakim

dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni:

“Pertimbangan yuridis dan pertimbangan non-yuridis.


Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan
pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan
oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat
didalam putusan misalnya dakwaan jaksa penuntut umum,
keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan
pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana. Sedangkan
pertimbangan non-yuridis dapat dilihat dari latar belakang, akibat
perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan agama terdakwa”.

30
Muhammad Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontenporer, PT. Citra Aditya Bakti,
Jakarta, Hlm. 212-221.

38
Berikut penulis akan menguraikan pembahasan mengenai

pertimbangan yuridis dan non-yuridis dalam hal ini pertimbangan

sosiologis sebagai berikut:

1. Pertimbangan Yuridis

Lilik Mulyadi31 mengemukakan bahwa “Hakikat pada

pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari

suatu delik, apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan

sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut umum putusan

hakim”.

Dalam praktik pengadilan pada putusan hakim sebelum

pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan

menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan

konklusi komulatif dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan

barang bukti.

Fakta-fakta persidangan yang dihadirkan berorientasi dari lokasi

kejadian (locus delicti), waktu kejadian (tempus delicti) dan modus

operandi tentang bagaimana tindak pidana itu dilakukan. Selain itu,

harus diperhatikan akibat langsung dari perbuatan terdakwa, barang

bukti yang digunakan, dan terdakwa dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya atau tidak. Setelah fakta-fakta dalam persidangan telah

diungkapkan, barulah putusan hakim mempertimbangkan unsur-unsur

tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum yang sebelumnya

31
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik,
Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 193.

39
telah dipertimbangkan korelasi antara fakta-fakta, tindak pidana yang

didakwakan, dan unsur-unsur kesalahan terdakwa. Selain itu, majelis

mempertimbangkan dan meneliti apakah terdakwa telah memenuhi

unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan terbukti secara sah

dan meyakinkan menurut hukum. Pertimbangan yuridis dari tindak

pidana yang didakwakan harus menguasai aspek teoretik, pandangan

doktrin, yurisprudensi dan posisi kasus yang ditangani kemudian

secara limitatif ditetapkan pendiriannya.

Menurut Lilik Mulyadi32 setelah diuraikan mengenai unsur-unsur

tindak pidana yang didakwakan, ada tiga bentuk tanggapan dan

pertimbangan hakim, antara lain:

1. Ada majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan


secara detail, terperinci, dan subtansial terhadap tuntutan
pidana dari penuntut umum dan pledoi dari terdakwa atau
penasihat hukum.
2. Ada majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan
secara selintas terhadap tuntutan pidana dari penuntut umum
dan pledoi terdakwa atau penasihat hukum.
3. Ada majelis hakim yang sama sekali tidak menanggapi dan
mempertimbangkan terhadap tuntutan pidana dari penuntut
umum dan pledoi dari terdakwa atau penasihat hukum.

Dalam putusan hakim, harus juga memuat hal-hal apa saja

yang dapat meringankan dan memberatkan terdakwa selama

persidangan berlangsung. Hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa

tidak jujur, terdakwa tidak mendukung program pemerintah, terdakwa

sudah pernah dipidana sebelumnya dan lain sebagainya. Hal-hal yang

bersifat meringankan adalah terdakwa belum pernah dipidana,

32
Ibid, Hlm. 196

40
terdakwa bersikap baik selama persidangan, terdakwa mengakui

kesalahannya, terdakwa masih muda dan lain sebagainya.

2. Pertimbangan Sosiologis

Pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan yang

menggunakan pendekatan-pendekatan terhadap latar belakang,

kondisi sosial ekonomi dan nilai-nilai yang terkandung dalam

masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1)

dikatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum

dan rasa keadilan masyarakat. Jadi, hakim merupakan perumus dan

penggali nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat. Oleh

karena itu, ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk

mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Achmad Ali33 mengemukakan bahwa dikalangan praktisi

hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata

peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh

dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas

peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam

33
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis), PT. Toko
Gunung Agung Tbk, Jakarta, Hlm. 200.

41
kenyataannya justru berbeda sama sekali dengan penggunaan kajian

moral dan kajian ilmu hukum (normatif).

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis

oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara, antara

lain:34

a) Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang


hidup dalam masyarakat.
b) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-
nilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan
terdakwa.
c) Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan,
peranan korban.
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Dalam memutus suatu perkara, kedua pertimbangan diatas

secara teoritis harus mendapat perhatian secara proporsional dan

seimbang. Mesipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk

mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur tersebut.

Pertentangan sering terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim

terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat.

Oleh karena itu, pertimbangan keputusan harus disesuaikan

dengan kaidah-kaidah, asas-asas dan keyakinan yang berlaku dalam

masyarakat. Karena itu pengetahuan sosiologis, psikologis perlu

dimiliki oleh seorang hakim dalam memutus sebuah perkara demi

terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.

34
HB. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia Pustaka Utama,
Surakarta, Hlm. 68.

42
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian di Pengadilan

Negeri Sungguminasa dan dibeberapa tempat yang menyediakan bahan

pustaka yaitu di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, serta dibeberapa toko buku

di wilayah kota Makassar.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat

dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dilokasi

penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Sungguminasa yang

diperoleh melalui wawancara atau interview oleh Hakim yang

pernah memutus perkara yang sama terkait judul yang diangkat.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan berupa buku, karya ilmiah, artikel-artikel, peraturan

43
perundang-undangan, internet dan sumber bacaan lainnya, serta

putusan perkara yang menjadi faktor penunjang dalam penelitian

ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian

ini adalah:

1. Wawancara

Dilakukan dengan menggunakan pengamatan secara langsung

dilapangan yang berhubungan dengan materi yang dibahas dan

mengadakan interview yang bersifat terbuka dengan pihak yang

terkait.

2. Studi dokumentasi

Dengan cara mengumpulkan data, membaca dan menelaah

putusan pengadilan nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm serta

beberapa literatur, artikel-artikel, dan peraturan perundang-undangan

yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik primer

maupun sekunder dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara

deskriptif, yaitu dengan menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan

permasalahan beserta penyelesaiannya yang berkaitan erat dengan

penulisan ini. Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data

penelitian ini yang telah diperoleh dari wawancara, agar membentuk

44
deskripsi yang mendukung kualifikasi kajian ini sehingga dapat

memecahkan objek permasalahan yang diteliti.

45
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kualifikasi Perbuatan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak


Dalam Pandangan Hukum Pidana

Dalam hukum pidana dikenal salah satu asas yang merupakan

asas fundamental yang harus tetap dipertahankan demi kepastian hukum

yakni Asas Legalitas. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas

yang menentukan setiap tindak pidana harus diatur terlebih dahulu oleh

suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan

hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan

perbuatan. Setiap orang yang melakukan tindak pidana harus dapat

mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu. Dengan kata

lain bahwa asas legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan

terlebih dahulu dalam perundang-undangan.

Sehubungan dengan asas legalitas tersebut maka salah satu

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana adalah perbuatan

cabul. Dimana hal tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pencabulan oleh Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan

yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan

46
nafsu kekelaminannya35. Definisi yang diungkapkan oleh Moeljatno

tersebut lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang

yang berdasarkan nafsu kelaminannya, dimana langsung atau tidak

langsung merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan dan dapat

dipidana.

Perbuatan cabul merupakan salah satu kejahatan yang melanggar

kesusilaan yang diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP,

dimana dalam Pasal 289 menyatakan bahwa:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan


memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada
dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusak kesopanan
dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.

Selain perbuatan cabul terdapat juga tindak pidana persetubuhan.

Menurut Ismantoro Dwi Yuwono36 persetubuhan merupakan bagian dari

delik pemerkosaan (verkrachting). Memperkosa adalah memasukkan

secara paksa kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan. Istilah

memperkosa ini memiliki kandungan pengertian yang sama dengan

memaksa, yakni sama-sama bentuk dari tindakan, hanya bedanya

tindakan memaksa belum tentu berbentuk persetubuhan (memasukkan

kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan), sedangkan

memperkosa sudah pasti berbentuk persetubuhan terlepas dari

persetubuhan itu dilakukan antar orang dewasa atau antara orang dewasa

dengan anak.
35
Moeljatno, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara,
Jakarta, Hlm. 106.
36
Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, Hlm. 4.

47
Rumusan dari tindak pidana pemerkosaan dimuat dalam Pasal 285

KUHP yang menyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan


memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia
dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua belas tahun”.

Tindak pidana dalam Pasal 285 ini memiliki persamaan dan

perbedaan dengan tindak pidana dalam Pasal 289 (pencabulan) dimana

persamaan tersebut terletak pada unsur perbuatan materiil kedua jenis

kejahatan, yaitu memaksa (dwingen) dengan kekerasan dan ancaman

kekerasan. Sedangkan perbedaannya ialah memaksa pada perkosaan

ditujukan pada terjadinya persetubuhan atau si pembuat dapat bersetubuh

dengan perempuan yang dipaksa. Sementara itu, pada perbuatan cabul

menurut Pasal 289, perbuatan memaksa ditujukan pada perbuatan cabul,

baik dilakukan diri sendiri oleh si pembuat kepada diri korban atau

sebaliknya korban yang melakukan perbuatan cabul pada diri si pembuat.

Perbedaan lainnya ialah orang yang dipaksa pada perkosaan bersetubuh

haruslah seorang perempuan, sedangkan pada perkosaan berbuat cabul

korbannya boleh seorang laki-laki atau perempuan.

Pengertian pencabulan itu sendiri lebih luas dari pengertian

bersetubuh. Sebagaimana pengertian bersetubuh menurut Hoge Road,

yang mengandung pengertian perpaduan alat kelamin laki-laki dan alat

kelamin perempuan, dimana disyaratkan masuknya penis ke dalam liang

vagina, kemudian penis mengeluarkan sperma sebagaimana biasanya

membuahkan kehamilan. Sementara itu, apabila tidak memenuhi salah

48
satu syarat saja, misalnya penis belum masuk spermanya sudah keluar,

kejadian ini bukanlah persetubuhan namanya, tetapi perbuatan cabul

sehingga bila dilakukan dengan memaksa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, kejadian itu adalah perkosaan berbuat cabul37.

Selain perbuatan cabul dan persetubuhan terdapat pula salah satu

tindak pidana yang melanggar kesusilaan (kesopanan) yakni perzinahan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata zina dimuat artinya sebagai

berikut:

1. Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak

terikat oleh hubungan perkawinan;

2. Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan

dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang

perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang

bukan suaminya.

Perbuatan perzinahan terdapat pada Pasal 284 KUHP yang

menyatakan sebagai berikut:

“Dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan; laki-laki yang


beristeri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa Pasal 27
KUHPerdata berlaku padanya; perempuan yang bersuami berbuat
“zina” penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami atau istri
(yang mendapat malu)”.

Berzinah terdiri atas perbuatan persetubuhan antara orang yang

telah menikah dan seorang yang bukan istrinya atau suaminya,

persetubuhan mana dilakukan secara sukarela (suka sama suka). Apabila

37
Adami Chazawi, Op.Cit, Hlm. 82.

49
terjadi paksaan, maka orang yang dipaksa tidak melakukan suatu

kejahatan, bahkan ia menjadi objek dari suatu kejahatan38.

Berdasarkan pembahasan diatas maka penulis dapat menarik

kesimpulan tentang perbedaan dari tindak pidana tersebut yakni sebagai

berikut:

1. Pencabulan adalah segala bentuk perbuatan yang melanggar

kesusilaan (kesopanan) yang berhubungan dengan alat kelamin

atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual.

2. Persetubuhan adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki

dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak,

jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota

kemaluan perempuan dan anggota kemaluan laki-laki

mengeluarkan sperma.yang dapat membuahkan kehamilan.

3. Pemerkosaan adalah pebuatan bersetubuh oleh seorang pria

terhadap seorang wanita yang mana perbuatan tersebut dilakukan

dengan paksaan dan bertentangan dengan kemauan/kehendak

wanita yang bersangkutan

4. Perzinahan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan oleh

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya atau

salah satu dari mereka telah menikah dan perbuatan tersebut

dilakukan atas dasar suka sama suka tanpa paksaan salah satu

pihak.

38
Moch Anwar, 1982, Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid II, Penerbit Alumni,
Bandung, Hlm. 223.

50
Selain asas legalitas, dalam hukum juga dikenal asas “Lex

Specialis Derogate Lex Generalis” dengan artian bahwa aturan yang lebih

khusus mengesampingkan aturan yang umum. Berhubung kasus yang

penulis teliti adalah kasus pencabulan yang mana tindak pidana

pencabulan selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Berdasarkan asas “lex specialis derogate lex

generalis” maka aturan hukum dari tindak pidana pencabulan dapat

diketahui bahwa KUHP sebagai “lex generalis” dan Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai “lex specialis”. Oleh

karena kasus yang penulis teliti adalah kasus Anak maka aturan hukum

yang digunakan adalah aturan yang lebih khusus yakni Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun perbuatan cabul

dalam undang-undang ini diterangkan lebih khusus pada Pasal 76E dan

Pasal 82, yang dirumuskan sebagai berikut:

- Pasal 76E

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman


kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

- Pasal 82

51
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000, 00 (lima
miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dari rumusan Pasal tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa

jika yang melakukan tindak pidana adalah orang dewasa maka diancam

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000, 00 (lima miliar

rupiah). Berbeda halnya jika yang melakukan tindak pidana adalah Anak,

dimana dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa “Pidana

penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua)

dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”. Selain itu

jika Anak yang melakukan tindak pidana tersebut diancam dengan pidana

penjara dan denda maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

Hal ini diatur dalam Pasal 71 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa

“Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara

dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja”.

Penjatuhan sanksi kepada Anak yang melakukan tindak pidana

berbeda dengan penjatuhan sanksi kepada orang dewasa. Adapun

penjatuhan sanksi kepada Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11

52
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penulis jabarkan

sebagai berikut:

a. Sanksi Pidana Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak

Pidana

Menurut Pasal 69 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa:

(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan

berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat

dikenai tindakan.

Berikut jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak sebagai

pelaku tindak pidana menurut Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak:

(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:

a. Pidana peringatan;

b. Pidana dengan syarat:

1) Pembinaan di luar lembaga;

2) Pelayanan masyarakat; atau

3) Pengawasan.

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga; dan

e. Penjara.

(2) Pidana tambahan terdiri atas:

53
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

atau

b. Pemenuhan kewajiban adat.

Adapun penjelasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan

kepada anak sebagai pelaku tindak pidana menurut Pasal 71 Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2012, penulis jabarkan sebagai berikut:

1. Pidana Pokok

Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak,

yaitu:

a) Pidana peringatan

Menurut Pasal 72 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa

“Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak

mengakibatkan pembatasan kebebasan anak”.

b) Pidana dengan syarat

Menurut Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa:

(1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam

hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua)

tahun.

(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan syarat

umum dan syarat khusus.

54
(3) Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah

Anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama

menjalani masa pidana dengan syarat.

(4) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah

untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang

ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap

memperhatikan kebebasan Anak.

(5) Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada

masa pidana dengan syarat umum.

(6) Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.

(7) Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut

Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing

Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak

menempati persyaratan yang telah ditetapkan.

(8) Selama Anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana

dimaksud pada ayat (7), Anak harus mengikuti wajib belajar

9 (sembilan) tahun.

Kemudian pidana dengan syarat ini diatur lebih lanjut lagi

sebagai berikut:

(a) Pembinaan di luar lembaga

Jenis pidana dengan syarat ini diatur dalam Pasal 75 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 sebagai berikut:

55
Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan:

a. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang

dilakukan oleh pejabat pembina;

b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau

c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol,

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

(b) Pelayanan masyarakat

Jenis pidana dengan syarat ini diatur dalam Pasal 76

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 sebagai berikut:

(1) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang

dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan

meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan

kemasyarakatan yang positif.

(2) Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian

kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan

masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina

dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk

memerintahkan Anak tersebut mengulangi seluruh atau

sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan

terhadapnya.

(3) Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan

paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus

dua puluh) jam.

56
(c) Pengawasan

Jenis pidana dengan syarat ini diatur dalam Pasal 77

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 sebagai berikut:

(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b

angka 3 paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2

(dua) tahun.

(2) Dalam hal Anak dijatuhi pidana pengawasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak ditempatkan

di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing

oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

c. Pelatihan kerja

Menurut Pasal 78 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

menyatakan bahwa:

(1) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal

71 ayat (1) huruf c dilaksanakan di lembaga yang

melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia

Anak.

(2) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1

(satu) tahun.

d. Pembinaan dalam lembaga

57
Menurut Pasal 80 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

menyatakan bahwa:

(1) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat

pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang

diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta.

(2) Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila

keadaan dan perbuatan Anak tidak membahayakan

masyarakat.

(3) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3

(tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya

pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 (tiga)

bulan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan

bersyarat.

e. Penjara

Menurut Pasal 81 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

menyatakan bahwa:

(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan

perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.

(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling

lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana

penjara bagi orang dewasa.

58
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18

(delapan belas) tahun.

(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya

pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak

mendapatkan pembebasan bersyarat.

(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai

upaya terakhir.

(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak

pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

2. Pidana Tambahan

Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai

pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 71 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai

berikut:

Pidana tambahan terdiri atas:

1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

atau

2) Pemenuhan kewajiban adat.

b. Sanksi Tindakan Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak

Pidana

59
Sanksi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak sebagai

pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni

sebagai berikut:

Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi:

1) Pengembalian kepada orang tua/Wali;

2) Penyerahan kepada seseorang;

3) Perawatan di rumah sakit jiwa;

4) Perawatan di LPKS;

5) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan

yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

6) Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

7) Perbaikan akibat tindak pidana.

B. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencabulan


Anak Yang Dilakukan Oleh Anak dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus-
Anak/2017/PN.Sgm

Hakim dalam memeriksa perkara pidana, berupaya mencari dan

membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta-fakta yang

terungkap dalam persidangan dan memegang teguh pada surat

dakwaan yang dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Berikut ini penulis akan menguraikan mengenai penerapan

hukum pidana materiil terhadap tindak pidana pencabulan anak yang

60
dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor 8/Pid.Sus-

Anak/2017/PN.Sgm, yaitu sebagai berikut:

1. Posisi Kasus

Kasus pencabulan yang penulis teliti terjadi pada hari

Minggu tanggal 12 Pebruari 2017 sekitar pukul 13.30 Wita

bertempat di Kaccilolo, Kel. Malino, Kec. Tinggimoncong, Kab.

Gowa atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu tertentu dalam

tahun 2017 atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih

termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sungguminasa,

dengan terdakwa Anak yang berinisial MF dan korbannya Anak

yang berinisial NPA, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di

atas, berawal ketika pelaku datang menghampiri korban dengan

mengendarai motor dan mengajaknya untuk pergi ke rumahnya,

dan korban pun langsung ikut. Sesampainya di rumah pelaku,

korban dengan pelaku mengobrol di ruang tamu kurang lebih 30

(tiga puluh) menit. Setelah itu pelaku masuk kedalam kamar,

kemudian memanggil korban untuk masuk dengan mengatakan

“ayo mi” kemudian korban menjawab “tidak mau ja masuk, biar mi

saya disini” namun pelaku memaksa korban dengan mengatakan

“sini mi masuk, ka capek ka, saya mau tidur” sehingga korban ikut

masuk kedalam kamar dan langsung menonton TV sambil

61
berbaring ditempat tidur bersama dengan pelaku. Tak lama

kemudian, pelaku mengajak korban berhubungan layaknya suami

istri dengan mengatakan “ayo mi” dan korban mengatakan “ayo

apa?” kemudian pelaku mengatakan “ayo begitu” namun korban

menolak. Selanjutnya pelaku mencium pipi, bibir, sambil meraba

payudara korban lalu pelaku memasukkan jarinya kedalam vagina

korban.

Selanjutnya pelaku membuka pakaiannya hingga terlepas

seluruhnya, setelah itu ia melepas celana korban dan menurunkan

hingga ke lutut dan berusaha memasukkan alat kelaminnya yang

telah tegang kedalam vagina korban, namun korban mengatakan

sakit sehingga pelaku kemudian menggosok-gosokkan alat

kelaminnya kepinggir vagina korban, lalu menggoyang-goyangkan

pantatnya selama kurang lebih 5 (lima) menit. Setelah itu, korban

melihat pelaku memegang penisnya lalu mengocok-ngocok sampai

mengeluarkan cairan putih (sperma), kemudian mereka

membersihkan cairan putih tersebut dan langsung memakai

pakaiannya kembali.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dasar pembuatan surat dakwaan harus berpedoman dari

berita acara pemeriksaan yang sudah dikualifikasi tindak pidananya

oleh penyidik. Dalam membuat surat dakwaan yang harus

diperhatikan adalah hasil pemeriksaan dan pasal berapa tindak

62
pidana yang dilanggar. Jaksa Penuntut Umum yang melakukan

tugas penuntutan membuat surat dakwaan berdasarkan berita

acara yang diberikan oleh penyidik untuk dilanjutkan ke tahap

pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam perkara Nomor

8/Pid.Sus-Anak/2017/PN. Sgm ini, Jaksa Penuntut Umum

menggunakan dakwaan tunggal. Dakwaan tunggal itu hanya

didakwakan satu tindak pidana saja. Dakwaan dalam in casu

penulis uraikan seabgai berikut:

Dakwaan:

Bahwa ia pelaku Anak MF pada hari Minggu tanggal 12


Pebruari 2017 pada pukul 13.30 Wita yang bertempat di Kaccilolo,
Kel. Malino, Kec. Tinggimoncong, Kab. Gowa atau setidak-tidaknya
pada waktu-waktu tertentu dalam tahun 2017 atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Sungguminasa, setiap orang dilarang
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di
atas, berawal ketika pelaku Anak MF datang menghampiri korban
Anak NPA dengan mengendarai motor dan mengajaknya untuk
pergi ke rumahnya, dan korban pun langsung ikut.
Bahwa sesampainya di rumah pelaku mengajak korban
untuk masuk di rumahnya di ruang tamu untuk berbincang-bincang,
kurang lebih 30 menit pelaku mengajak korban dengan
mengatakan “ayo masuk kamar” dan dijawab oleh korban “saya
tidak mau masuk, disini saja” namun pelaku tetap memaksa korban
dengan mengatakan “ayo mi, sini mi, masuk karena capekka,
mauka tidur” yang artinya bahwa “ayo masuk, karena capek mau
tidur” dan korban pun ikut masuk ke kamar pelaku.
Bahwa sesampainya di dalam kamar, pelaku mengatakan
“ayo mi” yang artinya “ayo” dan korban pun menjawab “ayo apa”
dan pelaku pun menjawab “ayo mi begitu” yang korban
mengartikan bahwa pelaku mengajak korban bersetubuh layaknya
hubungan suami istri, namun korban tetap menolak tapi pelaku

63
langsungb menarik celana korban sampai terlepas dan langsung
membuka celana korban.
Bahwa kemudian pelaku memegang alat kelamin (vagina)
korban dengan menggunakan jari telunjuk tangan kanannya kurang
lebih 5 menit. Selanjutnya pelaku menarik korban menyamping dan
menyentuhkan alat kelaminnya ke alat kelamin (vagina) korban lalu
menggoyang-goyangkan pantatnya ke pinggir alat kelamin (vagina)
korban namun tidak sampai masuk dan alat kelamin (penis) pelaku
mengeluarkan cairan putih (sperma) dan mengenai pinggiran alat
kelamin (vagina) korban.
Bahwa sebelumnya kejadian tersebut, pelaku sudah sering
melakukan perbuatan cabul terhadap korban dan untuk pertama
kalinya pada tanggal 13 Januari 2017, kedua kalinya pada tanggal
19 Januari 2017 dan yang ketiga kalinya pada tanggal 07 Pebruari
2017 yang mana dilakukan di rumah sepupu pelaku dan biasanya
sebelum pel aku mengajak korban melakukan hal tersebut pelaku
selalu mengatakan “kalau kamu tidak mau lagi berhubungan sama
saya, saya akan memberitahu temanmu” karena korban pun takut
makanya korban mau mengikuti semuanya.
Bahwa adanya perbuatan cabul yang dilakukan oleh pelaku
kepada korban dikuatkan dengan keterangan yang termuat dalam
Visum Et Repertum dari Rumah Sakit Bhayangkara Makassar
Nomor: VeR/084/II/2017/Forensik tangga 14 Pebruari 2017 yang
ditandatangani oleh dr. Mauluddin. M. Sp. F, dengan hasil
pemeriksaan yang pada intinya sebagai berikut:
 Serambi kemaluan (vestibulum vagine): tampak jelas
kemerahan pada sisi kanan dan kiri.
 Selaput dara (hymen): tampak luka robek lama pada arah
jam 1,5,8 dan 11 disertai luka lecet geser pada sisi kanan.
 Liang senggama (introitus vagine): jelas kemerahan pada
sisi kanan dan bawah.
Kesimpulan:
Ditemukan luka robek lama dan luka lecet geser pada
selaput dara dan jelas kemerahan pada serambi kemaluan
dan liang senggama akibat persentuhan tumpul.
Perbuatan pelaku Anak sebagaimana terurai di atas, diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 82 Jo. Pasal 76E UU RI No. 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.

3. Tuntutan Penuntut Umum

Tuntutan Penuntut Umum adalah permohonan Penuntut

Umum kepada Majelis Hakim ketika hendak mengadili suatu

64
perkara. Adapun tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum yang

dituangkan dalam Surat Tuntutan Nomor: PDM-

04/Sunggu/Euh.2/05/2017 yang pada pokoknya meminta kepada

Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk

memutus sebagai berikut:

a. Pelaku Anak MF telah terbukti secara sah dan meyakinkan


bersalah melakukan tindak pidana pencabulan sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 Jo. Pasal 76E
UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana dakwaan tunggal;
b. Menjatuhkan pidana terhadap pelaku Anak MF dengan
pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan di
LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kelas II B di
Maros dikurangkan sepenuhnya selama Anak berada dalam
tahanan dengan perintah agar Anak tetap ditahan dan
pelatihan kerja selama 6 (enam) bulan pada LPKA
(Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kelas II B di Maros;
c. Barang bukti berupa:
- 1 (satu) lembar baju kaos warna pink.
- 1 (satu) lembar baju lengan panjang kotak-kotak.
- 1 (satu) lembar celana training warna hitam garis
merah.
Dirampas untuk dimusnahkan
d. Memerintahkan supaya Anak tetap ditahan;
e. Membebani Anak untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).

4. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan

pada tindak pidana pencabulan anak yang dilakukan oleh anak

dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Sgm, berdasarkan

beberapa pertimbangan hakim memeriksa dan menjatuhkan

putusan berpedoman pada surat dakwaan. Setelah hakim

mendengar pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa atau Penuntut

65
Umum, maka hakim selanjutnya memeriksa apakah tindak pidana

yang dituduhkan terbukti atau tidak. Oleh karena itu, dalam perkara

ini telah diidentifikasi berdasarkan bukti-bukti sebagai berikut:

1) Keterangan saksi-saksi dipersidangan yaitu: Saksi Korban

NPA, Saksi Amir bin Muhammad Yunus, Saksi Ira S. Binti H.

Husada, Saksi Murni Dg. Rango, Saksi Wanda Anggraeni

Amir Alias Wanda Binti Amir.

2) Keterangan Terdakwa yaitu Anak yang berinisial MF.

3) Barang bukti berupa 1 (satu) lembar baju kaos warna pink, 1

(satu) lembar baju lengan panjang kotak-kotak bergaris

putih, 1 (satu) lembar celana training warna hitam bergaris

merah.

Selain alat bukti dan barang bukti, hakim juga melihat

pertimbangan yuridis yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal

76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak yang dikaitkan dengan fakta-fakta hukum dipersidangan.

Adapun unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 76E Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah

sebagai berikut:

1) Setiap orang;
2) Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak;
3) Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

1) Unsur setiap orang

66
 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang”
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
adalah orang perseorangan atau korporasi;
 Menimbang, bahwa unsur “setiap orang” merujuk pada
subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban,
meliputi subjek hukum orang/pribadi (natuurlijke persoon)
maupun badan hukum (recht persoon) yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan
yang dilakukannya;
 Menimbang, bahwa unsur ini perlu dipertimbangkan agar
tidak terjadi kesalahan mengenai orangnya (error in
persona);
 Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan
yang diperoleh dari keterangan Saksi-Saksi dan keterangan
Anak telah menunjuk kepada subjek hukum orang
perseorangan yaitu Anak MF yang setelah dicocokkan
identitasnya dipersidangan sebagaimana ketentuan Pasal
155 Ayat (1) KUHAP, ternyata Anak memenarkan dan telah
sesuai pula dengan identitas Anak dalam surat dakwaan
Penuntut Umum dan Saksi-Saksi yang didengar
keterangannya dipersidangan juga mengakui bahwa Anak
yang diajukan dipersidangan dalam perkara ini adalah benar
MF sehingga Hakim berkeyakinan unsur “setiap orang” ini
telah terpenuhi menurut hukum;
 Menimbang, bahwa mengenai apakah terhadap Anak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana tentunya Hakim perlu
mempertimbangkan tentang unsur berikutnya.

2) Unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, atau membujuk Anak

 Menimbang, bahwa Pembuat Undang-Undang tidak


memberikan batasan tentang arti “Kesengajaan”, namun
menurut Memorie Van Toelichting (MVT) yang dimaksud
dengan “Kesengajaan” adalah Willen en Wetten yaitu
seseorang melakukan perbuatan harus menghendaki
(Willen) terjadinya tindak pidana dan akibat dari
dilakukannya tindak pidana terseut, serta harus mengetahui
(Wetten) bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan
suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-

67
undangan akan tetapi pelaku tetap melakukan perbuatan
tersebut;
 Menimbang, bahwa terhadap frase selanjutnya mengandung
beberapa elemen unsur atau kualifikasi perbuatan yang
bersifat alternatif yaitu melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk Anak, hal tersebut terlihat dari
penggunaan kata “atau” dan “tanda koma” dalam pemisahan
setiap elemen unsur atau kualifikasi perbuatan tersebut, hal
ini berarti sudah cukup bila salah satu perbuatan saja
terbukti dan tidak perlu seluruh alternatif perbuatan tersebut
dibuktikan dengan kata lain apabila salah satu elemen unsur
telah terpenuhi, maka unsur kedua telah terpenuhi, dan
elemen unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi, dengan
demikian Hakim akan langsung membuktikan elemen unsur
yang terpebuhi;
 Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur “melakukan
kekerasan” artinya menggunakan tenaga kekuatan fisik,
sedangkan ancaman kekerasan artinya ada daya upaya
sehingga menimbulkan tekanan jiwa sedemikian rupa;
 Menimbang, bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 55.K/Pid/1994 yang menyatakan
bahwa kekerasan atau ancaman memaksa tidak harus
ditafsirkan dengan kekerasan lahiriah (fisik) saja namun
harus ditafsirkan secara lebih luas, yaitu termasuk pula
pschische dwang (paksaan/tekanan pschis kejiwaan) yang
sedemikian rupa sehingga korban menjadi tidak bebas lagi
sesuai kehendaknya yang akhirnya menuruti saja kemauan
pemaksa, sedangkan yang dimaksud dengan melakukan
tipu muslihat adalah melakukan perbuatan atau perkataan
yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan
maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari
untung, selanjutnya melakukan serangkaian kebohongan
adalah menyampaikan serangkaian hal yang tidak sesuai
dengan hal atau keadaan yang sebenarnya, sedangkan
yang dimaksud dengan membujuk yaitu menanamkan
pengaruh terhadap orang lain sehingga orang tersebut mau
berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak si pelaku, padahal
apabila orang itu mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya, maka ia tidak akan mau melakukan perbuatan
tersebut;
 Menimbang, bahwa unsur pasal ini mengatur bahwa pihak
yang menjadi korban peristiwa haruslah seorang Anak,
selanjutnya yang dimaksud dengan Anak sebagaimana
ketentuan Pasa 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah

68
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah Seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
Anak yang masih dalam kandungan;
 Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dan
Anak bahwa pada hari Minggu tangga 12 Februari tahun
2017, sekitar pukul 13.30 Wita dirumah Anak yang terletak di
Kaccilolo, Kel. Malino, Kec. Tinggimoncong, Kab. Gowa,
berawal ketika Anak dan Saksi Korban berjanji untuk
bertemu, lalu Anak menjemput Saksi Korban didekat
Mushallah yang terletak didekat rumah Saksi Korban
kemudian Anak mengajak Saksi Korban ke rumah Anak.
Sesampai di rumah Anak, Saksi Korban bersama dengan
Anak berbincang-bincang di ruang tamu kurang lebih 30
(tiga puluh) menit bersama dengan Nenek dan tante Anak
(Saksi Murni), lalu setelah Saksi Murni pergi ke rumah
temannya, Anak mengajak Saksi Korban masuk kedalam
kamar dengan mengatakan “ayo mi” namun Saksi Korban
menjawab “tidak mau ja masuk biar mi saya disini” lalu Anak
mengatakan “sini mi masuk, ka capek ka, saya mau tidur”
sehingga Saksi Korban ikut masuk kedalam kamar dan
langsung menonton TV sambil berbaring ditempat tidur
bersama dengan Anak, tidak lama kemudian Anak mengajak
Saksi Korban berhubungan layaknya suami istri dengan
mengatakan “ayo mi” dan Saksi Korban mengatakan “ayo
apa?” lalu Anak mengatakan “ayo begitu” namun Saksi
Korban menolak selanjutnya Anak memeluk sambil
mencium pipi dan bibir Saksi Korban, lalu Anak meraba-raba
payudara dan vagina korban, setelah itu Anak memasukkan
jari tengah tangan kiri Anak kedalam vagina Saksi Korban,
selanjutnya Anak membuka seluruh pakaiannya, kemudian
Anak menyuruh Saksi Korban untuk membuka celananya
namun Saksi Korban tidak mau membuka celananya
sehingga Anak yang membuka celana Saksi Korban sampai
ke lututnya lalu Anak berusaha memasukkan penisnya yang
sudah tegang kedalam vagina korban namun Saksi Korban
mendorong tubuh Anak dan mengatakan sakit, sehingga
Anak menggosok-gosokkan penisnya ke vagina Saksi
Korban, setelah itu Anak menggoyang-goyangkan pantatnya
ke vagina Saksi Korban namun penis Anak tidak sampai
masuk kedalam vagina Saksi Korban selama kurang lebih 5
(lima) menit, setelah itu Anak meemgang penisnya lalu
mengocok-ngocok hingga mengeluarkan cairan putih
(sperma), kemudian Saksi Korban dan Anak membersihkan
cairan putih tersebut dan langsung memakai pakaiannya

69
kembali setelah itu Anak dan Saksi Korban tidur bersama
sampai magrib;
 Menimbang, bahwa jika perbuatan Anak tersebut
dihubungkan dengan arti dengan sengaja sebagaimana
telah diuraikan diatas, maka telah nyata bahwa perbuatan
Anak membujuk Saksi Korban untuk masuk kedalam kamar
Anak dengan mengatakan “sini mi masuk, ka capek ka saya
mau tidur” lalu setelah Saksi Korban masuk kedalam kamar,
Anak mengajak Saksi Korban berhubungan layaknya suami
istri namun Saksi Korban menolak selanjutnya Anak
memeluk korban sambil mencium pipi dan bibir Saksi
Korban, lalu Anak meraba-raba payudara dan vagina
korban, setelah itu Anak memasukkan jari tengah tangan kiri
Anak kedalam vagina Saksi Korban kemudian Anak
berusaha memasukkan penisnya yang telah tegang kedalam
vagina Saksi Korban adalah suatu perbuatan yang
dikehendaki Anak yang mana perbuatan tersebut Anak
lakukan dengan tujuan untuk memuaskan nafsunya karena
Anak merasa enak pada saat melakukan hal tersebut;
 Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dan
keterangan Anak yang bersesuaian pula dengan Kutipan
Akta Kelahiran Nomor 784/IST/CS/2012 tertanggal 8 Maret
2012 yang menerangkan bahwa NPA adalah Anak
perempuan dari Amir, S. Sos dan Ira yang lahir pada tanggal
27 Juli 2003, dengan demikian Saksi Korban pada tanggal
12 Februari 2017 masih berusia 13 tahun sehingga masih
terkategori sebagai Anak sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut diatas, Hakim berkeyakinan bahwa
unsur dengan sengaja membujuk Anak telah terpenuhi.

3) Unsur melakukan kekerasan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul

 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur


“melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain dengan tujuan memenuhi hasrat
kebutuhan biologisnya dengan jalan meraba-raba seluruh
tubuh korban, mencium tubuh korban dan menggesek-gesek

70
kemaluannya pada tubuh korban dengan tujuan agar pelaku
mendapatkan kepuasan yang kesemuanya itu dalam lingkup
nafsu birahi;
 Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para Saksi,
keterangan Terdakwa, dihubungkan dengan barang bukti,
Visum Et Repertum yang bersesuaian satu dengan yang
lain, didapati fakta-fakta persidangan bahwa Anak mengajak
Saksi Korban masuk kedalam kamar kemudian Anak
mengajak Saksi Korban berhubungan layaknya suami istri
namun Saksi Korban menolak selanjutnya Anak memeluk
Saksi Korban sambil mencium pipi dan bibir Saksi Korban,
lalu Anak meraba-raba payudara dan vagina Saksi Korban,
setelah itu Anak memasukkan jari tengah tangan kiri Anak
kedalam vagina Saksi Korban, selanjutnya Anak membuka
seluruh pakaiannya, kemudian Anak menyuruh Saksi
Korban untuk membuka celananya namun Saksi Korban
tidak mau membuka celananya sehingga Anak yang
membuka celana Saksi Korban sampai ke lututnya lalu Anak
berusaha memasukkan penisnya yang sudah tegang tegang
kedalam vagina korban namun Saksi Korban mendorong
tubuh Anak dan mengatakan sakit, sehingga Anak
menggosok-gosokkan penisnya ke vagina Saksi Korban,
setelah itu Anak menggoyang-goyangkan pantatnya ke
vagina Saksi Korban namun penis Anak tidak sampai masuk
kedalam vagina Saksi Korban selama kurang lebih 5 (lima)
menit, setelah itu Anak memegang penisnya lalu mengocok-
ngocok hingga mengeluarkan cairan putih (sperma),
kemudian Saksi Korban dan Anak membersihkan cairan
putih tersebut dan langsung memakai pakaiannya kembali
setelah itu tidur bersama-sama sampai magrib;
 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut diatas, maka unsur “untuk melakukan
perbuatan cabul” telah terpenuhi;
 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut
diatas, Hakim berkeyakinan bahwa unsur melakukan
perbuatan cabul telah terpenuhi;
 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut diatas telah nyata bahwa unsur-unsur
untuk adanya perbuatan pidana dalam Pasal 82 Jo. Pasal
76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana dalam dakwaan Penuntut
Umum tersebut telah terpenuhi, pembuktian mana telah
memenuhi syarat minimum pembuktian (bewijs minimum)
maka Anak harus dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam pasal
tersebut;

71
 Menimbang, bahwa dalam persidangan Hakim tidak
menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan
pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar
dan atau alasan pemaaf oleh karena itu Anak harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya;
 Menimbang, bahwa oleh karena Anak mampu
bertanggungjawab, maka harus dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana;
 Menimbang, bahwa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 69
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa terhadap Anak
hanya dapat dijatuhi pidana atau tindakan yang ditentukan
dalam undang-undang ini;
 Menimbang, bahwa pengertian pasal diatas adalah dalam
penjatuhan sanksi kepada Anak, Hakim dapat memilih jenis
sanksi yang ada, yaitu penjatuhan pidana atau penjatuhan
tindakan;
 Menimbang, bahwa tujuan dari penjatuhan hukuman adalah
bukan sebagai tujuan balas dendam bagi si pelaku, namun
lebih dititikberatkan untuk pembinaan bagi si pelaku yaitu
untuk menyadarkan bagi si pelaku atas segala perbuatannya
agar dimasa yang akan datang si pelaku tidak mengulangi
perbuatannya;
 Menimbang, bahwa dengan memperhatikan tujuan dari
pemidanaan, maka Hakim dalam menjatuhkan hukuman
yang sesuai terhadap Anak, harus pula memperhatikan
ketentuan yang berlaku, khususnya yang menyangkut
kepentingan terbaik bagi Anak;
 Menimbang, bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas,
maka untuk menjatuhkan hukuman yang pantas bagi Anak,
Hakim harus mempertimbangkan penelitian kemasyarakatan
dari Pembimbing Kemasyarakatan, sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 60 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dalam hal
mana telah diutarakan sebagai berikut: Berdasarkan hasil
konsultasi dalam siding Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP) Bapas Klas I Makassar, Pembimbing
Kemasyarakatan berpendapat bahwa terhadap Klien MF
direkomendasikan untuk diberikan bimbingan agama,
kepribadian serta keterampilan di Lembaga Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial;
 Menimbang, bahwa memperhatikan hasil Penelitian
Kemasyarakatan yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan
Klas I Makassar terhadap diri Anak, Hakim dapat memahami
bahwa terhadap Anak perlu diperbaiki dalam kehidupan
tingkah laku serta perilaku kehidupannya, maka Hakim akan

72
menjatuhkan hukuman yang setimpal dan yang terbaik bagi
kepentingan Anak;
 Menimbang, bahwa dalam menjatuhkan putusan Hakim
tentunya tidaklah semata-mata mengutamakan kepentingan
Anak, namun perlu pula diperhatikan nilai keadilan dari
sudut pandang korban, yang mana sebagaimana telah
diuraikan dalam pertimbangan diatas yang juga merupakan
seorang Anak dengan perspektif yang sama dengan Anak,
selain itu penjatuhan pidana terhadap Anak juga
dimaksudkan sebagai upaya peringatan sekaligus preventif
atau pencegahan terhadap orang lain yang bermaksud
untuk melakukan tindak pidana yang sama, dengan
demikian hukuman yang akan dijatuhkan kepada Anak
dipandang tepat demi kepentingan masa depan Anak kelak
dan diharapkan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak;
 Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 82 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
selain ancaman pidana penjara ditetapkan pula ancaman
pidana denda, namun dalam ketentuan Pasal 71 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang menjadi acuan dalam
menyidangkan perkara Anak dijelaskan apabila dalam
hukum materiil diancam hukuman kumulatif berupa penjara
dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja
sehingga terhadap Anak akan dikenai pula pelatihan kerja
yang lamanya serta tempatnya akan ditentukan dalam amar
putusan;
 Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap Anak telah
dikenakan penangkapan dan penahanan yang sah, masa
masa penangkapan dan penahanan tersebut harus
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
 Menimbang, bahwa oleh karena pidana yang akan
dijatuhkan kepada Anak lebih lama dari masa penahanan
yang telah dijalani Anak, maka perlu ditetapkan agar Anak
tetap berada dalam tahanan;
 Menimbang, bahwa barang bukti berupa 1 (satu) lembar
baju kaos warna pink, 1 (satu) lembar baju lengan panjang
kotak-kotak, 1 (satu) lembar celana training warna hitam
garis merah seluruhnya merupakan milik Saksi Korban yang
berinisial NPA sehingga perlu ditetapkan agar barang bukti
tersebut dikembalikan kepada yang berhak yakni Saksi
Korban NPA;
 Menimbang, bahwa oleh karena Anak telah dinyatakan
terbukti bersalah dan harus dihukum, maka kepada Anak

73
tersebut supaya dibebani untuk membayar biaya perkara
yang akan ditetapkan dalam amar putusan ini.

Adapun fakta-fakta hukum dalam persidangan yang

diperoleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungguminasa yang

memeriksa dan mengadili terdakwa dalam perkara ini setelah

mendengarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat

bukti dan barang bukti dipersidangan adalah sebagai berikut:

 Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 12 Februari tahun


2017, sekitar pukul 13.30 Wita di rumah Anak yang terletak
di Kaccilolo, Kel. Malino, Kec. Tinggimoncong, Kab. Gowa,
berawal ketika Anak dan Saksi Korban berjanji untuk
bertemu, lalu Anak menjemput Saksi Korban didekat
mushallah yang berada didekat rumah Saksi Korban
kemudian Anak mengajak Saksi Korban ke rumahnya.
Sesampai di rumah Anak, Saksi Korban bersama dengan
Anak ngobrol di ruang tamu kurang lebih 30 (tiga puluh)
menit bersama dengan Nenek dan tante Anak (Saksi Murni),
lalu setelah Saksi Murni pergi ke rumah temannya, Anak
mengajak Saksi Korban masuk kedalam kamar dengan
mengatakan “ayo mi” namun Saksi Korban menjawab “tidak
mau ja masuk biar mi saya disini” lalu Anak mengatakan
“sini mi masuk, ka capek ka saya mau tidur” sehingga Saksi
Korban ikut masuk kedalam kamar dan langsung menonton
TV sambil berbaring ditempat tidur bersama dengan Anak;
 Bahwa tidak lama kemudian Anak mengajak Saksi Korban
berhubungan layaknya suami istri dengan mengatakan “ayo
mi” lalu Saksi Korban mengatakan “ayo apa?” dan Anak
mengatakan “ayo begitu” namun Saksi Korban menolak
selanjutnya Anak memeluk korban sambil mencium pipi dan
bibir Saksi Korban, lalu Anak meraba payudara dan juga
vagina korban, setelah itu Anak memasukkan jari tengah
tangan kiri kedalam vagina Saksi Korban, selanjutnya Anak
membuka seluruh pakaiannya hingga telanjang, setelah itu
Anak menyuruh Saksi Korban untuk membuka celananya
namun Saksi Korban tidak mau membuka celananya
sehingga Anak membuka celana Saksi Korban sampai ke
lututnya lalu berusaha memasukkan penisyan yang sudah
tegang kedalam vagina korban namun Saksi Korban
mendorong tubuh Anak dan mengatakan sakit, sehingga
Anak menggosok-gosokkan penisnya ke vagina Saksi

74
Korban, setelah itu Anak menggoyang-goyangkan pantatnya
ke vagina Saksi Korban namun penis Anak tidak sampai
masuk kedalam vagina Saksi Korban selama kurang lebih 5
(lima) menit, setelah itu Anak memegang penisnya lalu
mengocok-ngocok hingga Anak mengeluarkan cairan putih
(sperma), kemudian Saksi Korban dan Anak membersihkan
cairan putih tersebut dan langsung memakai pakaiannya
kembali setelah itu tidur bersama-sama sampai magrib;
 Bahwa sekitar pukul 19.00 Wita Anak dan Saksi Korban
keluar dari rumah Anak untuk jalan-jalan sampai pukul 23.00
Wita, lalu karena Saksi Korban takut pulang ke rumahnya,
Saksi Korban kembali ke rumah Anak sampai pukul 05.00
Wita. Setelah itu Saksi Korban dan Anak melanjutkan lagi
perjalanan ke Sungguminasa dan akhirnya sampai ke
daerah Limbung di rumah Tante dari Anak;
 Bahwa Saksi Korban dan Anak baru berkenalan sekitar 2
(dua) bulan lamanya melalui Facebook (FB);
 Bahwa Anak dan Saksi Korban melakukan perbuatan cabul
sebanyak 4 (empat) kali pada tempat yang berbeda-beda;
 Bahwa Anak dan Saksi Korban melakukan perbuatan cabul
pertama kali sekitar bulan Januari 2017 di rumah teman
Anak yang bernama Ria dan yang terakhir yaitu tanggal 12
Februari 2017 di rumah Anak;
 Bahwa adapun cara Anak melakukan perbuatan cabul
tersebut sama yaitu dengan cara Anak memeluk Anak
sambil mencium pipi dan bibir Saksi Korban, lalu Anak
meraba payudara dan juga vagina korban, setelah itu Anak
memasukkan jari tengah Anak kedalam vagina Saksi
Korban;
 Bahwa akibat kejadian tersebut Saksi Korban mengalami
rasa sakit pada vagina, trauma, takut dan malu;
 Bahwa benar barang bukti yang diperlihatkan yaitu: 1 (satu)
lembar baju kaos warna pink, 1 (satu) lembar baju lengan
panjang kotak-kotak bergaris putih, 1 (satu) lembar celana
training warna hitam bergaris merah adalah milik Saksi
Korban;
 Bahwa setelah kejadian tersebut Anak dan Saksi Korban
dijemput oleh ibu kandung Anak yang langsung membawa
Anak dan Saksi Korban ke Kantor Polisi karena orang tua
Saksi Korban dan Anak telah melapor tentang kehilangan
Anak dan Saksi Korban.

Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, terdapat

pula hal-hal yang menjadi pertimbangan subjektif hakim dalam

75
menjatuhkan putusan terhadap perkara Nomor 8/Pid.Sus-

Anak/2017/PN. Sgm yaitu sebagai berikut:

1) Hal-hal yang memberatkan:


 Perbuatan Anak dikhawatirkan dapat menghancurkan
masa depan Saksi Korban serta menimbulkan trauma
yang berkepanjangan.

2) Hal-hal yang meringankan:


 Anak masih berusia Anak;
 Anak mengakui perbuatannya secara terus terang,
menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan
mengulangi perbuatannya;
 Anak belum pernah dihukum.

Dalam perkara ini, Majelis Hakim menilai bahwa terdakwa

yang berinisial MF adalah orang yang memiliki kemampuan untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya, serta tidak didapati

dasar untuk menghapuskan pidana atas dasar diri terdakwa, baik

alasan pemaaf ataupun alasan pembenar sehingga terdakwa

dinyatakan bersalah dan harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

5. Amar Putusan Hakim

Dalam perkara Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN. Sgm

Majelis Hakim memutuskan:

M E N G A D I L I:

1. Menyatakan Anak MF tersebut diatas, telah terbukti secara


sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“dengan sengaja membujuk Anak untuk melakukan
perbuatan cabul” sebagaimana dakwaan tunggal Penuntut
Umum;
2. Menjatuhkan pidana kepada Anak MF dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dan

76
pelatihan kerja di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus
Anak) Kelas II B di Maros selama 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani oleh Anak dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan;
4. Menetapkan Anak tetap ditahan;

5. Menetapkan barang bukti berupa:


- 1 (satu) lembar baju kaos warna pink.
- 1 (satu) lembar baju lengan panjang kotak-kotak.
- 1 (satu) lembar celana training warna hitam garis
merah.
Dikembalikan kepada yang berhak;
6. Membebankan kepada Anak membayar biaya perkara
sejumlah Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).

6. Analisis Penulis

Berhasilnya suatu proses penegakan hukum sangat

bergantung pada penerapan hukum pidana, dimana peran penegak

hukum salah satunya adalah bagaimana mengaktualisasikannya

dengan baik didunia nyata.

Surat dakwaan merupakan dasar bagi Jaksa Penuntut

Umum untuk menyusun sebuah surat tuntutan dan merupakan

dasar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku

tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, dalam membuat surat

dakwaan, Penuntut umum dituntut untuk mengaplikasikan ilmunya

sebagai sarjana hukum dalam pembuatan surat dakwaan tersebut,

bukan saja keahlian di bidang hukum pidana formil tapi juga

mengenai hukum pidana materiil seperti unsur-unsur dari

perbuatan yang akan didakwakan apakah telah terpenuhi atau

77
tidak. Seorang terdakwa hanya dapat dijatuhkan hukuman karena

telah dibuktikan dalam persidangan bahwa ia telah melakukan

tindak pidana seperti apa yang disebutkan jaksa dalam surat

dakwaannya.

Dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP, pada dasarnya

menentukan bahwa surat dakwaan itu harus berisi :

a. Suatu uraian yang cermat, jelas dan lengkap mengenai

tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa;

b. Suatu penyebutan yang tepat mengenai waktu dilakukannya

tindak pidana yang didakwakan kepada para terdakwa;

c. Suatu penyebutan yang tepat mengenai tempat

dilakukannya tindak pidana yang didakwakan kepada

terdakwa atau para terdakwa.

Dalam kasus yang diteliti oleh Penulis, menurut Penulis

bahwa surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum

telah sesuai dengan apa yang diatur di dalam Pasal 143 Ayat (2)

KUHAP, yang dalam hal ini selain memenuhi unsur dalam Pasal

143 Ayat (2) poin a, poin b, dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut

Umum juga menguraikan secara jelas mengenai kronologis dari

kejadian itu sendiri serta penyebutan waktu dan tempat kejadian

perkara.

Dalam dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum

tersebut, Jaksa menggunakan dakwaan tunggal, yaitu melanggar

78
Pasal 82 Jo. Pasal 76E UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

Rumusan surat dakwaan tersebut telah sesuai dengan hasil

pemeriksaan penyidikan untuk kemudian diajukan dalam

persidangan. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum telah sesuai dengan

Pasal-Pasal yang dipersangkakan kepada Terdakwa yang

berinisial MF dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan terbukti

bahwa terdakwa melanggar dakwaan tunggal yakni Pasal 82 Jo.

Pasal 76E UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU

RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan

sesuai dengan posisi kasus disertai dengan alat bukti yang sah

seperti keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat bukti

surat yakni Visum Et Repertum serta petunjuk-petunjuk yang

didapatkan selama persidangan berlangsung bila semuanya saling

dihubungkan ditemukan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa

seluruh unsur-unsur dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah

terpenuhi. Adapun unsur-unsur dari dakwaan tersebut yaitu

sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Dengan sengaja;

79
3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau

membujuk;

4) Anak;

5) Untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan

cabul.

1) Unsur “setiap orang”

Yang dimaksud dengan setiap orang identik dengan unsur

barang siapa, yaitu rumusan kata “barang siapa” selalu diartikan

sebagai orang atau subjek hukum yang diajukan kepersidangan

sebagai terdakwa yang sehat jasmani dan rohani dan dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana apabila perbuatannya

memenuhi semua unsur dari pasal yang didakwakan.

Yang dimaksudkan dengan unsur “setiap orang” dalam

perkara ini berdasarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti surat,

petunjuk serta barang bukti yang ada, dan keterangan terdakwa

dipersidangan, menunjuk pada MF yang diajukan oleh Penuntut

Umum sebagai terdakwa dimana identitas tersebut telah

ditanyakan oleh Majelis Hakim dipersidangan dan dibenarkan pula

oleh terdakwa.

Selama dipersidangan, terungkap pula fakta bahwa

Terdakwa MF menunjukkan sebagai pribadi yang berjiwa sehat

serta tidak ditemukan fakta bahwa terdakwa mengalami kecacatan

jiwa baik dalam pertumbuhan maupun karena penyakit serta

80
mengerti dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan

baik yang diajukan oleh Majelis Hakim maupun Penuntut Umum

sehingga terdakwa dipandang memiliki kemampuan

bertanggungjawab. Dengan demikian unsur “setiap orang” telah

terpenuhi.

2) Unsur “dengan sengaja”

Menurut Memorie Van Toelichting (MVT) yang dimaksud

dengan “Kesengajaan” adalah Willen en Wetten yaitu seseorang

melakukan perbuatan harus menghendaki (Willen) terjadinya tindak

pidana dan akibat dari dilakukannya tindak pidana tersebut, serta

harus mengetahui (Wetten) bahwa tindakan yang dilakukannya

merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan

perundang-undangan akan tetapi pelaku tetap melakukan

perbuatan tersebut.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sengaja dapat

diartikan dalam 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu:

1. Terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu (yang sesuai

dengan perumusan undang-undang hukum pidana), adalah

betul-betul sebagai perwujudan dari maksud dan

pengetahuan pelaku.

2. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan. Yang

menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau

81
kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang

merupakan salah satu unsur dari suatu delik yang terjadi.

3. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan. Adalah

sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang

tindakan dan akibat terlarang (beserta tindakan atau akibat

lainnya) yang mungkin akan terjadi.

Pengertian Sub unsur “dengan sengaja” dalam perkara ini

merujuk pada konsep kesengajaan yang secara umum maknanya

meliputi arti dari istilah “menghendaki” dan “mengetahui” dalam arti

bahwa pelaku memang menghendaki terjadinya perbuatan

melawan hukum serta mengetahui pula akibat yang timbul dari

perbuatan tersebut.

3) Unsur “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,


memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk”

Unsur ini adalah bersifat aternatif yaitu apabila salah satu

pilihan unsur telah terpenuhi maka dianggap sudah memenuhi

rumusan unsur ini. Bahwa yang dimaksud unsur “melakukan

kekerasan” artinya menggunakan tenaga kekuatan fisik, sedangkan

”ancaman kekerasan” artinya ada daya upaya sehingga

menimbulkan tekanan jiwa sedemikian rupa.

Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor: 55.K/Pid/1994 yang menyatakan bahwa

kekerasan atau ancaman memaksa tidak harus ditafsirkan dengan

82
kekerasan lahiriah (fisik) saja namun harus ditafsirkan secara lebih

luas, yaitu termasuk pula pschische dwang (paksaan/tekanan

pschis kejiwaan) yang sedemikian rupa sehingga korban menjadi

tidak bebas lagi sesuai kehendaknya yang akhirnya menuruti saja

kemauan pemaksa. Sedangkan yang dimaksud dengan melakukan

tipu muslihat adalah melakukan perbuatan atau perkataan yang

tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk

menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Selanjutnya

melakukan serangkaian kebohongan adalah menyampaikan

serangkaian hal yang tidak sesuai dengan hal atau keadaan yang

sebenarnya, sedangkan yang dimaksud dengan membujuk yaitu

menanamkan pengaruh terhadap orang lain sehingga orang

tersebut mau berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak si pelaku,

padahal apabila orang itu mengetahui duduk persoalan yang

sebenarnya, maka ia tidak akan mau melakukan perbuatan

tersebut.

Jika perbuatan terdakwa dalam kasus tersebut dihubungkan

dengan unsur “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk”, maka telah nyata bahwa perbuatan terdakwa yang

dengan sengaja membujuk korban untuk masuk kedalam

kamarnya dengan mengatakan “sini mi masuk, ka capek ka saya

mau tidur” lalu setelah korban masuk kedalam kamar, terdakwa

83
mengajak korban berhubungan layaknya suami istri namun korban

menolak selanjutnya terdakwa memeluk korban sambil mencium

pipi dan bibir, lalu meraba-raba payudara dan vagina korban,

setelah itu terdakwa memasukkan jari tengah tangan kiri kedalam

vagina korban kemudian berusaha memasukkan penisnya yang

telah tegang kedalam vagina korban adalah suatu perbuatan yang

dikehendaki terdakwa yang mana perbuatan tersebut terdakwa

lakukan dengan tujuan untuk memuaskan nafsunya karena merasa

enak pada saat melakukan hal tersebut. Dengan demikian unsur

“melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk” khususnya unsur “dengan sengaja membujuk” telah

terpenuhi.

4) Unsur “Anak”

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35

tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun termasuk anak dalam kandungan.

Berdasarkan keterangan para Saksi dan keterangan

Terdakwa yang bersesuaian pula dengan Kutipan Akta Kelahiran

Nomor 784/IST/CS/2012 tertanggal 8 Maret 2012 yang

menerangkan bahwa NPA adalah Anak perempuan dari Amir, S.

Sos dan Ira yang lahir pada tanggal 27 Juli 2003, dengan demikian

84
Korban pada tanggal 12 Februari 2017 masih berusia 13 tahun

sehingga masih terkategori sebagai Anak sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI Nomor 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah

dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian unsur “Anak” telah

terpenuhi.

5) Unsur “melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan


cabul”

Yang dimaksud dengan unsur “melakukan atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul” adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan tujuan

memenuhi hasrat kebutuhan biologisnya dengan jalan meraba-raba

seluruh tubuh korban, mencium tubuh korban dan menggesek-

gesek kemaluannya pada tubuh korban dengan tujuan agar pelaku

mendapatkan kepuasan yang kesemuanya itu dalam lingkup nafsu

birahi.

Berdasarkan keterangan para Saksi, keterangan Terdakwa,

dihubungkan dengan barang bukti, Visum Et Repertum yang

bersesuaian satu dengan yang lain, didapati fakta-fakta

persidangan bahwa Anak mengajak Saksi Korban masuk kedalam

kamar kemudian Anak mengajak Saksi Korban berhubungan

layaknya suami istri namun Saksi Korban menolak selanjutnya

85
Anak memeluk Saksi Korban sambil mencium pipi dan bibir Saksi

Korban, lalu Anak meraba-raba payudara dan vagina Saksi

Korban, setelah itu Anak memasukkan jari tengah tangan kiri Anak

kedalam vagina Saksi Korban, selanjutnya Anak membuka seluruh

pakaiannya, kemudian Anak menyuruh Saksi Korban untuk

membuka celananya namun Saksi Korban tidak mau membuka

celananya sehingga Anak yang membuka celana Saksi Korban

sampai ke lututnya lalu Anak berusaha memasukkan penisnya

yang sudah tegang tegang kedalam vagina korban namun Saksi

Korban mendorong tubuh Anak dan mengatakan sakit, sehingga

Anak menggosok-gosokkan penisnya ke vagina Saksi Korban,

setelah itu Anak menggoyang-goyangkan pantatnya ke vagina

Saksi Korban namun penis Anak tidak sampai masuk kedalam

vagina Saksi Korban selama kurang lebih 5 (lima) menit, setelah itu

Anak memegang penisnya lalu mengocok-ngocok hingga

mengeluarkan cairan putih (sperma), kemudian Saksi Korban dan

Anak membersihkan cairan putih tersebut dan langsung memakai

pakaiannya kembali setelah itu tidur bersama-sama sampai magrib.

Dengan demikian unsur “untuk melakukan perbuatan cabul” telah

terpenuhi.

Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan

hakim harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan

keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-

86
mata melainkan persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan

kepentingan individu para pencari keadilan dan itu berarti keadilan

menurut hukum sering diartikan dengan kemenangan dan

kekalahan oleh pencari keadilan. Penting kiranya untuk

memberikan pemahaman bahwa sebuah keadilan itu bersifat

abstrak, tergantung dari sisi mana kita memandangnya.

Putusan hakim merupakan pernyataan hakim sebagai

pejabat Negara yang diberi wewenang untuk memutuskan

penjatuhan pidana jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti

secara sah dan meyakinkan. Dalam upaya membuat putusan serta

menjatuhkan sanksi pidana, hakim harus mempunyai pertimbangan

yuridis yang terdiri dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum,

keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat bukti dan pasal-

pasal yang dilanggar. Adapun pertimbangan non-yuridis yang

terdiri dari latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan

terdakwa, kondisi terdakwa pada saat melakukan perbuatan serta

hal-hal lain yang terkait dalam tindak pidana yang dilakukan

terdakwa. Hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan

mengaitkan keyakinan itu dengan alat-alat bukti yang sah serta

menciptakan hukum yang berdasarkan keadilan yang tentunya

tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala

hukum. Putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan bagi semua

87
pihak. Untuk itu sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim

harus memperhatikan aspek keadilan dari :

a) Sisi pelaku kejahatan

b) Sisi korban kejahatan (dampak bagi korban)

c) Sisi kepentingan msyarakat pada umumnya.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi

terdakwa. Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah

atau tidak, hakim harus berpedoman pada sistem pembuktian

sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang


kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”.

Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal

184 Ayat (1) KUHAP terdiri dari:

a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.

Dalam perkara ini alat bukti yang sah untuk dijadikan

sebagai bahan pertimbangan bagi hakim, yakni keterangan saksi,

keterangan terdakwa, alat bukti surat yakni Visum Et Repertum,

serta petunjuk. Selain itu, juga dihubungkan dengan barang bukti

yang diajukan dalam persidangan. Kesesuaian antara masing-

88
masing alat bukti serta barang bukti, maka akan diperoleh fakta

hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk memperoleh

keyakinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP,

penulis menganggap bahwa keseluruhan alat bukti yang diajukan

dipersidangan berupa keterangan saksi, alat bukti surat, petunjuk

serta keterangan terdakwa menunjukkan kesesuaian satu sama

lain.

Selanjutnya mengenai pertimbangan hakim tentang alasan

pemberian pidana penjara bagi terdakwa yang tergolong anak,

berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu hakim

yang menangani perkara ini yakni Yulianti Muhidin, S.H. pada

tanggal 17 April 2018 menyatakan bahwa:

“Dalam kasus ini, terdakwa sebagai anak, yang mana


korbannya juga adalah anak, sehingga hakim harus berada
diposisi netral. Melihat umur terdakwa sebagai anak yaitu
14 tahun, maka kami menilai telah terdapat potensi yang
memungkinkan bagi terdakwa untuk melakukan tindak
pidana. Serta melihat implikasi bagi korban yang juga anak
kedepannya, maka untuk memberi keadilan bagi korban,
terdakwa kami beri pidana penjara dan pelatihan kerja di
LPKA”.

Dalam mempertimbangkan hal tersebut, hakim melihat

bahwa pemidanaan bukanlah sebagai salah satu alat pembalasan

sebagaimana yang dimaksud dalam teori pemidanaan absolut,

namun mendasarkan pada teori pemidanaan relatif yang melihat

bahwa pemidanaan bukanlah sebagai alat untuk membalaskan

perbuatan terdakwa melainkan untuk memperbaiki terdakwa agar

89
tidak melakukan tindak pidana lagi, apalagi melihat bahwa

terdakwa disini masih anak-anak. Atas dasar itu hakim kemudian

memutuskan perkara tersebut dengan pidana penjara selama 1

(satu) tahun 8 (delapan) bulan dan pelatihan kerja selama 6 (enam)

bulan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kelas II B di

Maros.

Selanjutnya mengenai pertimbangan hakim tentang alasan

penjatuhan sanksi pidana yang lebih ringan dibandingkan dengan

tuntutan Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan hasil wawancara

penulis dengan hakim sebelumnya menyatakan bahwa:

“Penjatuhan sanksi pidana yang lebih ringan daripada


tuntutan Jaksa Penuntut Umum didasarkan pada keadaan
yang meringankan terdakwa, yakni terdakwa masih berusia
Anak, terdakwa mengakui perbuatannya secara terus
terang, menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan
mengulangi perbuatannya, dan Anak belum pernah
dihukum”.

Dalam perkara ini terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut

Umum dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam)

bulan dan pelatihan kerja selama 6 (enam) bulan di LPKA

(Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kelas II B di Maros. Namun

Majelis Hakim menjatuhkan sanksi yang lebih ringan atas dasar

keadaan yang meringankan terdakwa yaitu pidana penjara selama

1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan dan pelatihan kerja selama 6

(enam) bulan di LPKA Kelas II B di Maros.

90
Menurut Penulis, Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi

bukan hanya mempertimbangkan sisi pelaku saja tetapi juga harus

mempertimbangkan kerugian dari sisi korban (seberapa besar

dampak yang diderita oleh korban), dimana hal tersebut berkaitan

dengan keadaan yang memberatkan. Adapun keadaan yang

memberatkan terdakwa dalam perkara ini adalah bahwa

“perbuatan terdakwa dikhawatirkan dapat menghancurkan masa

depan korban serta menimbulkan trauma yang berkepanjangan”.

Dalam persidangan diperoleh fakta hukum bahwa akibat dari

kejadian tersebut korban mengalami trauma, takut dan malu. Selain

itu, menurut Penulis seharusnya yang ikut dipertimbangkan juga

yaitu seperti niat terdakwa. Dalam perkara ini, berdasarkan posisi

kasus diatas dapat dipahami bahwa terdakwa sebenarnya ingin

menyetubuhi korban. Hal ini dapat diketahui dari niat terdakwa

yang berusaha memasukkan penisnya kedalam vagina korban

namun hal tersebut tidak terwujud karena korban mendorong tubuh

terdakwa dan mengatakan sakit. Perbuatan terdakwa tersebut juga

bukan hanya sekali dilakukan tetapi sudah dilakukan selama 4

(empat kali). Hal ini dapat diketahui dari salah satu fakta hukum

yang diperoleh dipersidangan yang menyatakan bahwa Anak dan

Saksi Korban melakukan perbuatan cabul sebanyak 4 (empat) kali

pada tempat yang berbeda-beda. Menurut penulis ini juga

harusnya ikut dipertimbangkan hakim untuk memberatkan

91
hukuman si terdakwa. Kemudian yang di rusak bukan hanya

mental si korban, namun juga bisa mengancam masa depan

korban. Selain itu akibat peristiwa ini keluarga korban juga merasa

malu karena peristiwa tersebut sudah menjadi aib keluarga.

Berdasarkan uraian serta hasil wawancara di atas, maka

Penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan putusan pada perkara ini masih terdapat beberapa

kekurangan-kekurangan seperti yang Penulis uraikan di atas,

terutama pada pertimbangan subyektifnya yaitu pada pertimbangan

hal-hal yang memberatkan terdakwa. Padahal dalam Pasal 5 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman mewajibkan hakim menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Artinya bahwa hakim juga harus mempertimbangkan

kerugian dari sisi korban kejahatan dan masyarakat pada

umumnya, bukan hanya mempertimbangkan dari sisi pelaku

kejahatan saja.

92
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan

di atas, maka Penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kualifikasi perbuatan tindak pidana pencabulan terhadap anak

dalam pandangan hukum pidana dapat dikualifikasikan dalam

Pasal 290-296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

sebagai lex generalis serta Pasal 76E dan Pasal 82 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagai

lex specialis. Berhubung kasus yang penulis teliti adalah kasus

Anak maka yang lebih tepat digunakan adalah Undang-Undang

Perlindungan Anak yakni Pasal 76E dan Pasal 82 yang memenuhi

unsur sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan atau membujuk Anak;

93
3) Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Jika unsur-unsur tersebut terpenuhi maka seseorang akan

diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Jika pelakunya adalah

Anak maka sanksi yang dapat dijatuhkan ada 2 (dua) yakni sanksi

pidana dan sanksi tindakan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Selain itu pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak

paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana

penjara bagi orang dewasa dan apabila Anak yang melakukan

tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan denda

maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

2. Penerapan hukum pidana materiil oleh Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Sungguminasa pada perkara Nomor 8/Pid.Sus-

Anak/2017/PN.Sgm yang menyatakan bahwa terdakwa MF telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana pencabulan terhadap anak dengan korban NPA yang diatur

dalam Pasal 82 Jo. Pasal 76E UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak sudah tepat. Hal itu sesuai dengan Dakwaan Tungal Jaksa

Penuntut Umum dan telah didasarkan pada fakta-fakta di

persidangan, alat bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum

berupa keterangan saksi, alat bukti surat berupa Visum Et

94
Repertum, keterangan terdakwa serta barang bukti yang saling

bersesuaian. Terdakwa juga dianggap sehat jasmani dan rohani

sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan

perbuatannya. Selain itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Sungguminasa dalam pertimbangannya masih terdapat beberapa

kekurangan-kekurangan, terutama dalam pertimbangan

subyektifnya, yaitu pada pertimbangan hal-hal yang memberatkan

terdakwa.

B. Saran

Adapun saran yang dapat Penulis berikan sehubungan dengan

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih berhati-hati dan jeli dalam mempertimbangkan

hal-hal yang memberatkan ataupun yang meringankan terdakwa

serta sanksi pidana yang dijatuhkannya. Bagaimanapun juga hakim

mempunyai andil besar dalam menurunnya atau meningkatnya

angka kriminalitas yang terjadi dimasyarakat. Artinya bahwa hakim

harus mampu memberikan efek jera bagi terdakwa agar tidak

melakukan kembali perbuatannya maupun efek pencegahan bagi

masyarakat agar takut melakukan tindak pidana.

2. Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan seharusnya tidak hanya

berorientasi kepada pelaku tindak pidana saja tetapi juga perlu

dipertimbangkan sejauh mana dampak perbuatan pelaku tersebut

bagi korban dan masyarakat pada umumnya.

95
3. Seluruh orang tua termasuk anak-anak sepatutnya waspada

terhadap kemungkinan terjadinya tindak pidana khususnya

pencabulan terhadap anak karena tindak pidana pencabulan dapat

terjadi bagi siapa, kapan dan dimana saja tanpa melihat lingkungan

dan latar belakang ekonomi serta pendidikannya.

4. Diharapkan kepada aparat penegak hukum dan masyarakat untuk

memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum secara aktif dan

menyeluruh khusunya kepada anak dibawah umur mengenai

dampak dalam melakukan tindak pidana yang akibatnya merugikan

diri anak itu sendiri.

96
DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Restu Agung. Jakarta.

Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis). PT.
Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta.

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada.


Jakarta.

. 2007. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Raja Grafindo


Persada. Jakarta.

. 2010. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan &


Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Amir Ilyas. 2012. Asas-asas Hukum Pidana. Rangkang Education


Yogyakarta. Yogyakarta.

Andi Hamzah. 2009. Delik-delik Tertentu (Special Delicten) di dalam


KUHP. Sinar Grafika. Jakarta.

Andi Sofyan dan Nur Azisa. 2016. Hukum Pidana. Pustaka Pena Press.
Makassar.

HB. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Gramedia Pustaka


Utama. Surakarta.

Ismantoro Dwi Yuwono. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus


Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.

Leden Marpaung. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Sinar Grafika.


Jakarta.

. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori,
Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya. Citra Aditya
Bakti. Bandung.

Moch Anwar. 1982. Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid II. Alumni.
Bandung.

97
Moeljatno. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bumi
Aksara. Jakarta.

Muhammad Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontenporer. PT. Citra


Aditya Bakti. Jakarta.

P.A.F. Lamintang. 2011. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra


Aditya Bakti. Bandung. Cetakan ke-4.

R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta


Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
Bogor.

Tanti Yuniar. 2012. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Agung Media


Mulia. Jakarta.

Wagiati Soetodjo. 2006. Hukum Pidana Anak. PT. Refika Aditama.


Bandung.

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

98
99

Anda mungkin juga menyukai