Anda di halaman 1dari 12

INSTITUSI SISTEM PERADILAN PIDANA LEMBAGA PEMASYARAKATAN

A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi


masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam
rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang
dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi
kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan
ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan
membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan
kejahatan. 1
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang
lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural
syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana,
dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya
dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural
syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 2
Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal
Justice System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam
kerangka penegakan hukum pidana materil. Philip. P. Purpura menyatakan bahwa
sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang
terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan
yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat,
mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap
pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang,
memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan
dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. 3
Sistem peradilan pidana yang sudah dipunyai sebagaimana tergambar
dalam KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981), adalah gambaran betapa

1
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung,
2007), hal 4.
2
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), hal. 13
3
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Press, 2005), hal 2.
komponen hukum pidana yang dipunyai kurang mampu diharapkan untuk
mengawal penegakan hukum pidana materil. 4 Kelemahan mendasar yang terlihat
dari KUHAP adalah terabaikannya hak-hak tersangka/ terdakwa/ terpidana dan
korban kejahatan yang harus diperhatikan kemungkinan mendapatkan
perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan, tidak mendapat
pengaturan yang memadai. Kekerasan baik fisik maupun psikis seringkali dialami
oleh tersangka/ terdakwa/ terpidana ketika mereka harus mengikuti prosedur tetap
yang dimainkan oleh aparat penegak hukum dengan dalih semua perbuatan aparat
penegak hukum sudah menjalankan tugas dan kewajiban penegakan hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini KUHAP. Pada
dasarnya, asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan
administrasi peradilan mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah
asas sederhana, cepat dan murah. Namun demikian, penyelesaian perkara di
Pengadilan sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu : faktor substansi
perkara, faktor pencari keadilan, faktor kuasa hukum, faktor kesiapan alat-alat
bukti, faktor sarana dan prasarana, faktor budaya hukum, faktor komunikasi
dalam persidangan, faktor pengaruh dari luar, faktor aparat pengadilan,
faktor hakim, dan faktor manajeman. 5 Walaupun faktor-faktor diatas mempunyai
pengaruh, namun pelaksanaan asas sederhana, cepat, murah, masih merupakan
faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pelayanan administrasi peradilan yang
benar-benar sederhana, cepat dan murah.
Sederhana dimaknai bahwa dalam peradilan pidana diharapkan sebagai
proses yang tidak bertele-tele, berbeli-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas,
lugas, mudah dipahami,mudah diterapkan, sistematis, baik untuk pencari keadilan
maupun aparat penegak hukum. Namun dalam praktek nyata, sering kali asas
tersebut dipahami secara beragam oleh aparat penegak hukum disemua tingkatan.
Pemahaman oleh aparat penegak hukum lebih dimaksudkan sebagai proses
birokrasi yang wajib dilalui oleh pencari keadilan, dan dipihak lain aparat penegak
hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkannya sesuai dengan pemahaman
aparat penegak hukum sendiri.
Kesederhanaan seharusnya dipahami tidak sebatas pada persoalan
administrasi saja, namun juga harus menjadi jiwa dan semangat motivasi aparat
penegak hukum dalam gaya dan pola kehidupan sehari-hari. Konsistensi dan
komitmen aparat penegak hukum dalam menjalankan asas sederhana juga harus

4
Ibid
5
Ibid
dimulai dalam diri sendiri, kemudian pada insitusi dalam semua tingkatan
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat).
Cepat, dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem
peradilan pidana sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya / tercapainya
keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan. Baik cepat
dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan
tingkat produktifitas institusi peradilan (kepolisian, kejakasaan, pengadilan,
lembaga pemasyarakatan, dan advokat). Satu saja komponen tidak berfungsi maka
unsur cepat tidak akan tercapai. 6 Kecepatan proses, hasil, dan evaluasi tersebut
menggunakan ukuran parameter dari prinsip tepat dan cermat.
Tepat dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dipergunakan sebagai dasar yuridis keputusannya (tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal seperti lex specialis de
rogat lex generalis dan lainnya), tepat dalam memilih dan memilah Pasal-Pasal
yang dipergunakan sebagai dasar dalam pertimbangan keputusannya, tepat dalam
mengolah dan memahami secara filosofis (bersandar pada nilai-nilai keadilan
yang berkembang di masyarakat maupun yang terkandung dalam hukum positif)
terhadap keputusannya, tepat dalam menentukan kerangka sosiologis (menjamin
rasa keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial,
mempunyai manfaat). Demikian juga tindakan penegak hukum harus cermat,
dalam arti mengandung unsur kehati-hatian, ketelitian, kesungguhan, dalam
proses, hasil maupun evaluasinya.
Murah, mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga
peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan
di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak
dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-
nilai lain yang dapat mengaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat
diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan
merupakan kata dengan sejuta pesimisme, keadilan tidak dapat dikuantifikasikan
dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia
yang hidup di dunia secara universal.
Apabila asas sederhana, cepat, murah sebagaimana telah diuraikan diatas
menjadi semangat para penegak hukum, maka sistem peradilan pidana yang
efektif dan efisien dapat diwujudkan. Persoalan kualifikasi sumber daya manusia
yang menjadi penegak hukum dalam hal ini, memang menjadi kendala yang

6
Abdussalam dan DPM Sitompul., Op. cit
serius. Pembenahan sistem peradilan pidana akhirnya tidak dapat hanya
bergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas
sederhana, cepat, dan murah saja, namun lebih dari itu semua adalah nurani
penegak hukum, pencari keadilan, penguasa, legislatif dan sistem yang
membingkai institusi peradilan juga menjadi faktor dominan. Di Indonesia,
peradilan pidana mengacu pada kodifikasi pidana formil yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan melalui Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981. Tetapi belum ada upaya yang sistematis dan
signifikan dalam rangka untuk mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum
pidana formil yang hanya mendasarkan pada acuan Undang-Undang No. 8 Tahun
1981. Payung hukum untuk menutupi kekosongan dan kelemahan tersebut adalah
apa yang disebut dengan kebijakan pidana.
Sementara itu tuntutan perkembangan sistem informasi dan teknologi,
semakin sulit untuk dikejar dan diimbangi hanya dengan Undang-Undang ini.
Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus
mengacu pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat
ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut,
yang tersebar dalam Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana). Namun terjadi masalah yang sering menjadi penghalang
tercapainya peradilan yang diharapkan.
Apabila dicermati, muara persoalan tersebut mengarah kepada tiga hal
yaitu : tidak ada sanksi apabila prosedur yang ditetapkan tersebut dilanggar,
termasuk pelanggaran terhadap hak-hak yang telah dirumuskan, kurang efektif
dan efisien dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena terdapat tahapan
proses yang tidak diperlakukan dan mubazir serta berbelit dan sia-sia, formulasi
Pasal-Pasal sangat memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda, yang
kemudian dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. 7
Berbagai kendala dan kelemahan yang terjadi, juga tidak diiringi dengan
mekanisme pengawasan yang baik dan transparan. Walaupun ada lembaga pengawas,
biasanya juga tidak berjalan dengan efektif. Kehadiran lembaga – lembaga
pengawas tidak memberikan arti dan makna yang cukup berarti dalam menjamin
terwujudnya penegakan hukum. Banyak pengaduan, laporan, dan desakan baik secara
demokratis dan tidak jarang dapat mengundang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan
masyarakat atas ketidakpuasan kinerja lembaga- lembaga pengawas tersebut.

7
Ibid., hal. 22
B. Fungsi dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Pelaksanaan sistem peradilan pidana masih memiliki banyak kelemahan


dalam berbagai aspek. Kelemahan tersebut salah satunya bersumber dari
perangkat hukum positif yang belum sepenuhnya mendukung terciptanya sistem
peradilan pidana yang transparan, akuntabel. Kelemahan-kelemahan tersebut
dapat turut mempengaruhi kegagalan sistem peradilan pidana dalam mencapai
tujuannya. Pada gilirannya, akan menghambat upaya pengendalian kejahatan di
masyarakat karena pada dasarnya, menurut Mardjono Reksodiputro, sistem
peradilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan
terjadinya kejahatan agar berada dalam batas toleransi yang dapat diterimanya. 8
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya juga merupakan masalah sosial.
Hulsman mengungkapkan, terdapat empat alasan yang menunjukkan bahwa
sistem peradilan pidana merupakan masalah sosial (social problem), yaitu: 9
1. The criminal justice system inflict suffering
2. The criminal justice system does not work in terms of its own declared
aims
3. Fundamental uncontrollability of criminal justice system
4. Criminal justice approach is fundamentally flawed.

Dalam hal fungsi sistem peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan, Noval
Morris berpendapat, bahwa: 10
The Criminal Justice System is best seen as a crime conteinment system,
one of the method that society uses to keep crime at whatever level each
particular culture is willing to eccept. But, to a degree, the criminal justice
system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say,
in trying to reduce criminality among those who have been convicted of
crimes and trying by deterrent processes of detection, convistion, and
punishment to reduce the commission of crime by those who are so
mended and so acculturated.

8
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994), hal. 140.

9
Muladi, Op. cit hal. 1
10
UNAFEI, Criminal Justice System: The Quest for an Integrated Approach, (Unafei,
1982), hal. 5.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana
2. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang
hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan
dalam konteks politik criminal (criminal policy)
3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial
(social policy). 11

Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa tujuan sistem


peradilan pidana adalah (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b)
menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan agar
mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan. 12
Sedangkan fungsi dan tujuan dari SPPT seperti yang digambarakan oleh
Davies, Croall, and Tyrer sebagai berikut: 13
1. protecting the public by preventing and dettering crime, by rehabilitating
offenders in incapacitating others who continue a persistant threat to the
community.
2. upholding and promoting the rule of law and respect for the law, by
ensuring due process and proper treatment of suspect, arrestees,
defendand and those held in custody, successfully prosecuting criminal
and acquitting innoncent people accused of a crime
3. maintaining law and order.
4. punishing criminals with regard to the principles of just deserts.
5. registering social disapproval of censured behaviour by punishing
criminals.
6. aiding and

11
Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga
Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995), hal. 54
12
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia.., op.cit., hal.84
13
Davies, Croall, and Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and
Wales, (London: Longman, 1995), hal. 4.
7. advising the victims of crime.

Dengan bahasa yang lebih sederhana Loebby Loqman berpendapat tujuan


sistem peradilan pidana adalah menghilangkan kejahatan (bukan penjahatnya)
untuk mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan. 14

C. Model dan Sistem Peradilan Pidana

Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) untuk


menggantikan HIR yang dipandang sudah tidak sesuai dengan cita-cita nasional
Indonesia., membawa perubahan fundamental terhadap tata cara penyelesaian
perkara pidana di Indonesia secara konsepsional maupun implemental.
KUHAP meletakkan dasar humanisme didalamnya sehingga tujuan utama
yang hendak dicapai bukanlah ketertiban dan kepastian hukum tetapi
perlindungan atas hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Perlindungan hak
asasi seorang tersangka atau terdakwa diharapkan dilaksanakan pada setiap
tingkat pemeriksaan perkara pidana yaitu mulai dari seorang tersangka ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili di pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 juga terkandung harapan untuk memberikan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan bertanggung jawab dalam memeriksa dan memutuskan suatu
perkara pidana.
Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction,
mengungkapkan ada dua model dalam proses peradilan pidana (Two Models of
The criminal Process), yaitu crime control model (model pengendalian kejahatan)
dan due process model (model perlindungan hak). 15
Crime control model adalah bentuk pendekatan yang memandang pelaku
kejahatan sebagai objek dalam pemeriksaan perkara sedangkan due process model
adalah bentuk pendekatan yang memandang pelaku kejahatan sebagai subjek
dalam pemeriksaan perkara.
Karakteristik dari crime control model adalah efesiensi bekerjanya proses
pemeriksaan perkara yaitu cepat tangkap dan cepat diadili serta digunakannya
asas praduga bersalah sedangkan karakteristik due process model adalah

14
Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta, Datacom,
2002, hal 22-23
15
Herbert L. Packer dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Op. cit, hal. 56.
perlindungan hak-hak tersangka dan untuk menentukan kesalahan seseorang harus
melalui suatu persidangan yang adil dan tidak memihak.
Berdasarkan makna yang terkandung dalam KUHAP yaitu perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia dapat diketahui bahwa pendekatan yang
digunakan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah pendekatan due
process model.

D. Peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memiliki empat sub sistem,
yaitu: Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan
Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah
Mahkamah Agung serta Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen
Kehakiman. Lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan
pidana mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sub sistem
lainnya.
Sebagai lembaga pembinaan, perannya sangat strategis dalam
merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan
resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan
(suppression of crime). Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan
oleh lembaga pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-kemungkinan
penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu dapat positif
manakala pembinaan narapidana mencapai hasil maksimal, yaitu bekas
narapidana itu menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian itu
dapat negatif apabila bekas narapidana yang pernah dibina itu menjadi penjahat
kembali. Kegagalan lembaga pemasyarakatan dalam membina narapidana
merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Fakta ini telah mensahkan
kegagalan tugas lembaga pemasyarakatan.
Beban yang sangat menghimpit dalam menjalankan tugasnya adalah tidak
sebanding falsafah pembinaan yang baru berupa pemasyarakatan sebagai proses,
dengan sistem pemasyarakatan sebagai metodenya yang masih memakai
Gestichten Reglemen (Reglemen Penjara) 1917 No. 708; dengan sebagian sarana
fisik berupa bangunan penjara sudah tidak memenuhi persyaratan kesehatan
maupun peralaan kerja, terlebih sarana personalia berupa tenaga pembina yang
sangat minim.
Di lain pihak, sistem pemasyarakatan itu mempunyai tujuan akhir:
“memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi sosial) warga binaan dengan/
ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka
melalui suatu proses (proses pemasyarakatan/ pembinaan) yang melibatkan unsur-
unsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat”.
Dapat dibayangkan bahwa yang paling banyak melakukan hubungan
dengan narapidana saat menjalani hukuman adalah para petugas yang tingkat
pendidikannya sekolah menengah ke bawah, sedangkan karakteristik pendidikan
narapidana berbeda-beda pula. Jadi dalam hal ini, usaha pembinaan narapidana
lebih banyak ditentukan oleh kemampuan petugas untuk memberikan pengarahan
dan bimbingan yang bersifat psikologis serta pribadi.
Dengan tidak mengecilkan arti kemampuan petugas Pembina yang
berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas, tetapi merupakan suatu fakta
kalau dikatakan bahwa petugas Pembina dalam melakukan pembinaan di dalam
lembaga lebih banyak mengandalkan pendekatan ketertiban.
Oleh karena itu, lembaga pemasyarakatan membutuhkan tenaga-tenaga
yang berkualitas, seperti apa yang dikatakan oleh Karsono Adisumarto, bahwa
pelaksanaan pemasyarakatan pada hakikatnya memerlukan tenaga-tenaga ahli
seperti psikiater, psikolog, sosiolog, dokter, insinyur, ahli perusahaan dan lain-
lain, sesuai dengan kebutuhan teknis operasional lembaga pemasyarakatan. Hal ini
berarti bahwa sifat pekerjaan pemasyarakatan memerlukan kualitas personil
tertentu.
Memahami keberadaan lembaga pemasyarakatan sebagai penerima orang-
orang yang dinyatakan sebagai penjahat, secara psikologis memiliki beban yang
cukup berat bagi sub sistem lainnya yang dalam tugasnya mau menentukan atau
menyatakan seeorang itu bersalah. Hal seperti di atas terjadi dan dialami oleh
lembaga pemasyarakatan. Beban berat yang diberikan kepada lembaga ini
sekaligus menampakkan dirinya sebagai sub sistem yang punya potensi
melakukan rehabilitasi.
Ketidaktenteraman di dalam penjara merupakan suatu gambaran
ketidakstabilan kerja para personilnya dalam menjalankan sistem yang ada.
Ketidakstabilan personil yang melakukan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain kesejahteraan yang kurang memadai jika dibandingkan
dengan tugas dan tanggung jawabnya yang cukup berat. Bahkan kalau terjadi
perkelahian atau penyimpangan bahkan pelarian narapidana, maka hal ini akan
berakibat terhadap kondisi kepegawaiannya. Di samping itu faktor pendidikan dan
mentalitas petugas pun sangat mempengaruhi.

Anda mungkin juga menyukai