1
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung,
2007), hal 4.
2
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), hal. 13
3
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Press, 2005), hal 2.
komponen hukum pidana yang dipunyai kurang mampu diharapkan untuk
mengawal penegakan hukum pidana materil. 4 Kelemahan mendasar yang terlihat
dari KUHAP adalah terabaikannya hak-hak tersangka/ terdakwa/ terpidana dan
korban kejahatan yang harus diperhatikan kemungkinan mendapatkan
perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan, tidak mendapat
pengaturan yang memadai. Kekerasan baik fisik maupun psikis seringkali dialami
oleh tersangka/ terdakwa/ terpidana ketika mereka harus mengikuti prosedur tetap
yang dimainkan oleh aparat penegak hukum dengan dalih semua perbuatan aparat
penegak hukum sudah menjalankan tugas dan kewajiban penegakan hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini KUHAP. Pada
dasarnya, asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan
administrasi peradilan mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah
asas sederhana, cepat dan murah. Namun demikian, penyelesaian perkara di
Pengadilan sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu : faktor substansi
perkara, faktor pencari keadilan, faktor kuasa hukum, faktor kesiapan alat-alat
bukti, faktor sarana dan prasarana, faktor budaya hukum, faktor komunikasi
dalam persidangan, faktor pengaruh dari luar, faktor aparat pengadilan,
faktor hakim, dan faktor manajeman. 5 Walaupun faktor-faktor diatas mempunyai
pengaruh, namun pelaksanaan asas sederhana, cepat, murah, masih merupakan
faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pelayanan administrasi peradilan yang
benar-benar sederhana, cepat dan murah.
Sederhana dimaknai bahwa dalam peradilan pidana diharapkan sebagai
proses yang tidak bertele-tele, berbeli-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas,
lugas, mudah dipahami,mudah diterapkan, sistematis, baik untuk pencari keadilan
maupun aparat penegak hukum. Namun dalam praktek nyata, sering kali asas
tersebut dipahami secara beragam oleh aparat penegak hukum disemua tingkatan.
Pemahaman oleh aparat penegak hukum lebih dimaksudkan sebagai proses
birokrasi yang wajib dilalui oleh pencari keadilan, dan dipihak lain aparat penegak
hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkannya sesuai dengan pemahaman
aparat penegak hukum sendiri.
Kesederhanaan seharusnya dipahami tidak sebatas pada persoalan
administrasi saja, namun juga harus menjadi jiwa dan semangat motivasi aparat
penegak hukum dalam gaya dan pola kehidupan sehari-hari. Konsistensi dan
komitmen aparat penegak hukum dalam menjalankan asas sederhana juga harus
4
Ibid
5
Ibid
dimulai dalam diri sendiri, kemudian pada insitusi dalam semua tingkatan
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat).
Cepat, dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem
peradilan pidana sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya / tercapainya
keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan. Baik cepat
dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan
tingkat produktifitas institusi peradilan (kepolisian, kejakasaan, pengadilan,
lembaga pemasyarakatan, dan advokat). Satu saja komponen tidak berfungsi maka
unsur cepat tidak akan tercapai. 6 Kecepatan proses, hasil, dan evaluasi tersebut
menggunakan ukuran parameter dari prinsip tepat dan cermat.
Tepat dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dipergunakan sebagai dasar yuridis keputusannya (tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal seperti lex specialis de
rogat lex generalis dan lainnya), tepat dalam memilih dan memilah Pasal-Pasal
yang dipergunakan sebagai dasar dalam pertimbangan keputusannya, tepat dalam
mengolah dan memahami secara filosofis (bersandar pada nilai-nilai keadilan
yang berkembang di masyarakat maupun yang terkandung dalam hukum positif)
terhadap keputusannya, tepat dalam menentukan kerangka sosiologis (menjamin
rasa keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial,
mempunyai manfaat). Demikian juga tindakan penegak hukum harus cermat,
dalam arti mengandung unsur kehati-hatian, ketelitian, kesungguhan, dalam
proses, hasil maupun evaluasinya.
Murah, mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga
peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan
di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak
dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-
nilai lain yang dapat mengaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat
diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan
merupakan kata dengan sejuta pesimisme, keadilan tidak dapat dikuantifikasikan
dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia
yang hidup di dunia secara universal.
Apabila asas sederhana, cepat, murah sebagaimana telah diuraikan diatas
menjadi semangat para penegak hukum, maka sistem peradilan pidana yang
efektif dan efisien dapat diwujudkan. Persoalan kualifikasi sumber daya manusia
yang menjadi penegak hukum dalam hal ini, memang menjadi kendala yang
6
Abdussalam dan DPM Sitompul., Op. cit
serius. Pembenahan sistem peradilan pidana akhirnya tidak dapat hanya
bergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas
sederhana, cepat, dan murah saja, namun lebih dari itu semua adalah nurani
penegak hukum, pencari keadilan, penguasa, legislatif dan sistem yang
membingkai institusi peradilan juga menjadi faktor dominan. Di Indonesia,
peradilan pidana mengacu pada kodifikasi pidana formil yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan melalui Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981. Tetapi belum ada upaya yang sistematis dan
signifikan dalam rangka untuk mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum
pidana formil yang hanya mendasarkan pada acuan Undang-Undang No. 8 Tahun
1981. Payung hukum untuk menutupi kekosongan dan kelemahan tersebut adalah
apa yang disebut dengan kebijakan pidana.
Sementara itu tuntutan perkembangan sistem informasi dan teknologi,
semakin sulit untuk dikejar dan diimbangi hanya dengan Undang-Undang ini.
Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus
mengacu pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat
ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut,
yang tersebar dalam Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana). Namun terjadi masalah yang sering menjadi penghalang
tercapainya peradilan yang diharapkan.
Apabila dicermati, muara persoalan tersebut mengarah kepada tiga hal
yaitu : tidak ada sanksi apabila prosedur yang ditetapkan tersebut dilanggar,
termasuk pelanggaran terhadap hak-hak yang telah dirumuskan, kurang efektif
dan efisien dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena terdapat tahapan
proses yang tidak diperlakukan dan mubazir serta berbelit dan sia-sia, formulasi
Pasal-Pasal sangat memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda, yang
kemudian dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. 7
Berbagai kendala dan kelemahan yang terjadi, juga tidak diiringi dengan
mekanisme pengawasan yang baik dan transparan. Walaupun ada lembaga pengawas,
biasanya juga tidak berjalan dengan efektif. Kehadiran lembaga – lembaga
pengawas tidak memberikan arti dan makna yang cukup berarti dalam menjamin
terwujudnya penegakan hukum. Banyak pengaduan, laporan, dan desakan baik secara
demokratis dan tidak jarang dapat mengundang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan
masyarakat atas ketidakpuasan kinerja lembaga- lembaga pengawas tersebut.
7
Ibid., hal. 22
B. Fungsi dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Dalam hal fungsi sistem peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan, Noval
Morris berpendapat, bahwa: 10
The Criminal Justice System is best seen as a crime conteinment system,
one of the method that society uses to keep crime at whatever level each
particular culture is willing to eccept. But, to a degree, the criminal justice
system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say,
in trying to reduce criminality among those who have been convicted of
crimes and trying by deterrent processes of detection, convistion, and
punishment to reduce the commission of crime by those who are so
mended and so acculturated.
8
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994), hal. 140.
9
Muladi, Op. cit hal. 1
10
UNAFEI, Criminal Justice System: The Quest for an Integrated Approach, (Unafei,
1982), hal. 5.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana
2. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang
hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan
dalam konteks politik criminal (criminal policy)
3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial
(social policy). 11
11
Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga
Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995), hal. 54
12
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia.., op.cit., hal.84
13
Davies, Croall, and Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and
Wales, (London: Longman, 1995), hal. 4.
7. advising the victims of crime.
14
Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta, Datacom,
2002, hal 22-23
15
Herbert L. Packer dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Op. cit, hal. 56.
perlindungan hak-hak tersangka dan untuk menentukan kesalahan seseorang harus
melalui suatu persidangan yang adil dan tidak memihak.
Berdasarkan makna yang terkandung dalam KUHAP yaitu perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia dapat diketahui bahwa pendekatan yang
digunakan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah pendekatan due
process model.