Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MAKALAH ASWAJA

“MADZHAB DAN KHILAFIYAH”

Di susun oleh kelompok 6:


Rinta Novanika (1130018051)
Firda Pebrianty (1130018097)
Asyrofi Mudtaqin (1130018112)

Dosen Pembimbing:

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah
Aswaja dengan judul “ MADZHAB DAN KHILAFIYAH”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada Dosen aswaja kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Surabaya, 28 februari 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG...........................................................................................1
2. RUMUSAN MASALAH......................................................................................1
3. TUJUAN................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1. KONSEP MADZHAB DAN BERMADZHAB....................................................3
2. SISTEM, FUNGSI DAN KEGUNAAN BERMADZHAB..................................3
3. EMPAT TOKOH MADZHAB FIQIH..................................................................5
4. KONSEP KHILAFIYAH......................................................................................7
5. SEBAB-SEBAB TERJADINYA KHILAFAH.....................................................8
6. CONTOH SISTEM BERMADZHAB DAN CONTOH KHILAFIYAH.............8
BAB III PENUTUP
1. KESIMPULAN...................................................................................................18
2. SARAN................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak dapat dipungkiri lagi, rata-rata penduduk Indonesia adalah warga
negara yang menyandang status muslim. Bahkan riset membuktikan bahwa
jumlah muslim terbanyak di seluruh dunia salah satunya adalah negara
Indonesia dan mayoritas dari mereka bermazhab pada Imam Syafi’i.
Namun tidak semua dari mereka yang benar-benar tahu dan memahami
islam secara hakikat. Parahnya, ada sebagian dari mereka yang belum
tahupula tentang bermazhab. Pada akhirnya mereka lebih memilih sekedar
ikut-ikutan dengan orang yang lebih pintar (menurut mereka).
Selain itu, banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu
berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecahnya umat lain dalam
sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri
dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab.
Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman
dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih.
Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan
representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam
tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk
bisa kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama
Mas Paijo, Mas Paimin, Mas Tugirin dan Mas Wakijan bersikap yang anti
mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah
saja, tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka masing-masing sudah
menciptakan sebuah mazhab baru, memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah.
Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu,
pada hakikatnya sedang bermazhab.
Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada,
maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri. Walhasil,
tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang
bermazhab, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah
dan Al-Wakijaniyah.
Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara
seseorang dalam baik pada orang lain maupun pada diri sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konsep madzhab dan bermadzhab
2. Sebutkan sistem, fungsi dan kegunaan bermadzhab
3. Sebutkan empat tokoh madzhab fiqih
4. Bagaimanakah konsep khilafiyah
5. Sebutkan sebab – sebab terjadinya khilafiyah

1
6. Sebutkan contoh sistem bermadzhab dan contoh khilafiyah
C. TUJUAN
1. Mengetahui bagaimana konsep madzhab dan bermadzhab
2. Mengetahui sistem, fungsi dan kegunaan bermadzhab
3. Mengetahui empat tokoh madzhab fiqih
4. Mengetahui konsep khilafiyah
5. Mengetahui sebab- sebab terjdinya khilafiyah
6. Mengetahui contoh sistem bermadzhab dan contoh khilafiyah

2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsep madzhab dan bermadzhab
Hal mendasar yang perlu diketahui adalah pengertian mazhab, baik
menurut bahasa maupun istilah. Menurut bahasa, mazhab berarti pendirian
(al-mu‘taqad), jalan atau sistem (tariqah) dan sumber atau pendapat yang kuat
(al-asl). Sedangkan menurut istilah fikih, mazhab berarti pendapat salah
seorang imam tentang hukum masalah-masalah ijtihadiah dan kaidah-kaidah
istinbat (kaidah-kaidah yang diperlukan untuk menggali hukum) yang
dirumuskan oleh seorang imam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
mazhab berarti hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu
masalah, atau tentang kaidah-kaidah istinbat.
Bermadzhab bisa dikatakan sebagai kendali. Tokoh-tokoh yang hebat
sekalipun, dalam ijtihadnya masih harus di kendalikan dengan metode
tertentu, dengan kaidah-kaidah tertentu, yang disebut mazhab. Setiap
mujtahid(pelaku ijtihad) mempunyai metode sendiri-sendiri,mempunyai
mazhab sendiri-sendiri. Empat orang tokoh mahzab yang paling tinggi nilai
ijtihadnya, Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali paling luas tersebar di
seluruh dunia, karena paling lengkap dicatat oleh para pengikut dari dulu
sampai dulu.
Di Indonesia, yang paling banyak diikuti adalah mazhab Syafi’i,baik qauli
maupun manhajidnya. Saking besarnya jumlah pengikut mazhab Syafi’i,
sampai –sampai mazhab lain seakan bukan ahlusunnah waljamaah. Padahal
keempat mazhab itu tergolong Aswaja. Bahkan beberapa mazhab lain yang
kurang dikenal seperti mazhab Imam Nakhai seolah berada diluar Aswaja.
Bagi org awam madzhab adalah semata untuk memudakan mereka untuk
mengikuti ajaran Agama, sebab mereka tidak perlu mencari setiap ada
permasalahan dari sumbar aslinya yaitu Alqur’an dan hadis, namun mereka
cukup membaca dan memahami tatacara beribadah dari madzhab madzhab
tersebut. Bisa dibayangkan bagai mana sulitnya beribadah bagi orang awam
jika semua harus mencari dan mempelajari secara langsung dari sumber
aslinya. Dasar yang dipakai orang NU untuk bermadzhab ini meliputi,
Pertama :
‫ هل هو واجـب‬. ‫كان سـيدى علي الخـواص رحمه هللا إذا سـأله إنسـان عن التقيـد بمذهـب معيـن الآلن‬
‫أو ال؟ يقول له يجـب عليـك التقيـد بمذهـب ما دمـت لم تصل إلى شـهود عين الشـريعة األولى خوفا من‬
‫الوقـوع فى الضـالل وعليه عمـل النـاس اليـوم‬
“Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawas r.a ditanya seseorang tentang
mengikuti madzhab tertentu sekarang ini – apakah wajib atau tidak? Beliau
berkata: Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum
mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan. Dan ia
harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.”

3
2. Sistem, fungsi dan kegunaan bermadzhab
Dalam komunitas NU istilah madzhab sudah lama dikenal. NU yang selalu
bergulat dengan fiqh secara tegas menyatakan bahwa dirinya berpegang pada
salah satu madzhab yang empat, yakni madzhab hanafi, maliki, syafi’i dan
hambali.
Dalam al-kamus al-mulhild, yang ditulis oleh fairuz abadi dinyatakan
bahwa madzhab menurut bahasa berarti al- thariqah (jalan). Sedangkan
pengertian istilah menurut Zainal ‘Abidin Dimyathi, madzhab adalah hukum-
hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini, dan dipilih oleh para
imam mujtahid.
Dalam kitab akhkam Al-fuqaha’ dinyatakan ; wajib hukumnya bagi umat
islam mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab yang ada dan
tersohor berikut aliran madzhabnya telah di kodifikasikan
Adapun 4 mazhab itu secara lengkap ialah :
a. Mazhab Hanafi. Yaitu mazhab imam Abu Hanifah al-Nu’man bin
Tsabit (lahir di kufah pada tahun 80 H, dan meninggal pada tahun 150
H)
b. Mazhab Maliki. Yaitu mazhab imam malik bin anas bin malik, (lahir
di madinah tahun 90 H dan meninggal pada tahun 179 H)
c. Mazhab Syafi’i. Yaitu mazhab imam abu abdillah bin idris bin syafi’i,
(lahir di ghazzah pada tahun 150 H, dan meninggal pada tahun 204 H)
d. Mazhab Hambali. Yaitu mazhab imam ahmad bin hanbal, (lahir di
marwaz padatahun 164 H, dan meninggal pada tahun 241 H)
Pada hakikatnya , sistem bermadzhab, tidak mempertentangkan antara
sistem ijtihad dan sistem taqlid, tetapi mengkaitkan keduanya pada
satu proposi yang serasi.
Adapun fungsi mengetahui hukum madzhab adalah agar kita terhindar dari
taqlid buta dan kita bisa mendudukan ketetapan hukum sesuai fungsinya.
Dimana terjadi perbedaan istinbath dalam hadist yang waktu itu belum
terkodifikasi secara sistematis.sehingga ada Hadist yang diterima oleh satu
madzhab, sementara madzhab yang lain belum mendapatkannya.
Bagi org awam madzhab adalah semata untuk memudakan mereka untuk
mengikuti ajaran Agama, sebab mereka tidak perlu mencari setiap ada
permasalahan dari sumbar aslinya yaitu Alqur’an dan hadis, namun mereka
cukup membaca dan memahami tatacara beribadah dari madzhab madzhab
tersebut. Bisa dibayangkan bagai mana sulitnya beribadah bagi orang awam
jika semua harus mencari dan mempelajari secara langsung dari sumber
aslinya.
Dasar yang dipakai orang NU untuk bermadzhab ini meliputi, Pertama :
‫ هل هو واجـب‬. ‫كان سـيدى علي الخـواص رحمه هللا إذا سـأله إنسـان عن التقيـد بمذهـب معيـن الآلن‬
‫أو ال؟ يقول له يجـب عليـك التقيـد بمذهـب ما دمـت لم تصل إلى شـهود عين الشـريعة األولى خوفا من‬
‫الوقـوع فى الضـالل وعليه عمـل النـاس اليـوم‬

4
“Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawas r.a ditanya seseorang tentang
mengikuti madzhab tertentu sekarang ini – apakah wajib atau tidak? Beliau
berkata: Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum
mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan. Dan ia
harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.”
3. Empa tokoh madzhab fiqh
1. Imam Hanafi
Imam Hanafi adalah seorang imam yang agung, yang memiliki nama
lengkap Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit Bin Zuutha At-Taimiy Al-
Kufiy. Beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80H/699M dan beliau wafat di
Baghdad pada tahun 150H/767M. Beliau di gelari Abu Hanifah (suci dan
lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak kecil. Gelar ini
merupakan berkah do’a dari doa Ali bin Abi Thalib yang mendoakan bahwa
kelak keturunan Tsabit akan menjadi orang yang utama di zamanya. Terbukti
dengan lahirnya Imam Hanafi. Beliau memperdalam ilmunya dalam belajar
Al-Qur’an, aktif mempelajari ilmu fiqh, dan mempelajari hadits. Imam
Hanafi dikenal sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu dan sangat
teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik akan jabatan rezmi
kenegaraan. Imam Hanafi meinggal saat umur 70 tahun yang bertepatan
dengan lahirnya Imam Syafi’i. Dan dimakamkan dipemakaman Khirza.
Didirikanlah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
Pokok fiqih madzhab hanafi bersumber pada tiga hal:
1. Sumber-sumber naqliyyah, yang meliputi Al-Qur’an, Al-Sunnah,
ijma’,dan pendapat para sahabat.
2. Sumber-sumebr ijtihadiyya, yaitu dengan menggunakan qiyas dan
istihsan.
3. Al-A’raf, yakni adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nas,
terutama dalam masalah perdagangan. Abu hanifahbahkan
menganjurkan beramal dengan ‘urf.
Madzhab Imam Hanafi tersebar dan berkembang di Syam, Iraq, India,
Afganistan, Kaukaus, Turki, Balkan dan di sebagian penduduk Turki Usmany
dan Albania.
2. Imam Malik
Imam Malik mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn
Malik ibn Abi Amir ibn Amar ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr
ibn al-Haris al-Ashabi al-Madani. Lahir pada 93H. Sebagai tokoh madzhab
Maliki. Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Imam Malik
sudah hafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, beliau juga menyusun
beberapa kitab, kitab yang terkenal adalah kitab Al-Muwatha. Imam Malik
mempelajari fiqih, teori-teori kajian hukum dan mempelajari hadis-hadis
Nabi. Salah satu dalil hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah
ijma ulama Madinah. Imam Malik lebih mengutamakan ajma dan amal
Madinah daripada qiyah, khabar ahad, dan qaul sahabat.

5
Madzahb Maliki mendasarkan fiqihnya pada 12 pokok:
1. Qur’an: zdahirnya, dalilnya, mafhumnya, dan illt-nya.
2. Al-Sunnah: al-mutawatirah dan al-masyhirah. Bila zdahirnya sunnah
bertentangan al-qur’an, di dahulukan Al- Sunnah.
3. Ijma’ penduduk madinah ijma’ secara naql. Ijma’ sebelum terbunuhnya
‘Ustman,ijma’ mutakhir: masing-masing denagn kekuatan hukum yang
berbeda.
4. Fatwa sahaba
5. Khabar Ahad
6. Qiyas
7. Istihsan
8. Mashalih mursalah
9. Sadd Al- Dzara.i
10. Mura’at khilaf al-mujtahid
11. Istishab
12. Syar’uman qoblana
Imam Maliki wafat pada hari ahad tanggal 10 Rabi’ul al-Awwal tahun 179
H (798 M), dalam usia 87 tahun. Dimakamkan di Baqi’ Madinah.
Madzhabnya tersebar dan berkembang di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli,
Libya, juga sebagian di Irak, Palestina, Hijas, dan lain-lain.
3. Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’i gelar beliau abu abdillah.
Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun
204 H. Imam Syafi’i adalah orang yang cakap rupa parasnya. Dalam riwayat
hidupnya Imam Syafi’i adalah ulama besar yang mampu mendalami serta
menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan Abu Hanifah, beliau
sangat hati-hati dalam berfatwa. Pada masa sekarang ini,  madzhab Asy-
Syafi’i berkembang di Palestina, Yodania, Libanon, Syiria, Irak, Pakistan,
India, Indonesia, Persia, dan Yaman yang sunni. Sekitar 100 juta umat Islam
menganut madzhab Asy-Syafi’i.
Pokok-pokok fiqih Syafi’i ada lima:
1. Al-Qur’an dan Al-Sunnah
2. Al-Ijma’
3. Pendapat yang tidak ada yang menentangnya
4. Ikhtilaf sahabat Nabi
5. Qiyas
Imam Syafi’i wafat pada hari kamis 29 Rajab tahun 204 H (820M) .
Dimakamkan dipekuburan Banu Zahrah, tepatnya di Qarafah Shughra di
bawah kaki gunung “Al-muqaththam” Mesir.
Madzhab Imam Syafi’i tersebar dan berkembang di Mesir, Palestina,
Armenia, Ceylon, Persia, Tiongkok, Philipina, Indonesia, Australia, Hijaz,
Kurdi, Yaman, Hadramaut, Aden dan lain-lain.
4. Imam Ahmad Ibn Hanbal

6
Nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Usd bin Idris bin Idris
bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Lahir pada
164 H. Beliau adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam
pengaruh kebendaan, berwawasan luas, sangat dalam pemahamannya
terhadap ruh syariat. Beliau menguasai seluruh ilmu. Dalam pesantrennya,
setiap selesai sholat ashar, beliau membiasakan memberi fatwa dan bersama
para peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh
para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian Al-Qur’an dan
tafsirnya.
Pokok-pokok fiqih madzhab Hambali:
1. Al-Nushush
2. Fatwa sahabat
3. Ikhtilaf sahabat
4. Hadis mursal dan dha’if
5. Qiyas
Imam Hambali wafat pada hari jum’at 12 Rai’ul al- Awwal, tahun 241 H
(855 M). Dalam usia 77 tahun. Ia dimakamkan di pekuburan Bab Harb di
Kota Baghdad. Madzhabnya berkembang di Mesir, Bahrain, Dailam, dan
Rahab. Sedikit berkembang di Hijaz, bahkan di Mesir pun semakin habis,
ditinggalkan orang.
4. Konsep Khilafiyah
Khilafiyah/ikhtilaf merupakan term yang diambil dari bahasa arab yang
berarti berselisih, tidak sepaham. Sedangkan secara terminologis khilafiyah
adalah perselisihan paham atau pendapat di kalangan para ulama fiqih sebagai
hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hokum
tertentu. Dengan demikian masalah khilafiyah merupakan masalah ijtihad
sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.
Dalam literature lain disebutkan bahwa khilaf  berarti perbedaan,
perselisihan, dan pertentangan. Khilafiyahberarti masalah-masalah fiqh yang
diperselisihkan, dipertentangkan, diperdebatkan status hukumnya di kalangan
ulama atau fuqaha` akibat dari pemahaman dan penafsiran mereka terhadap
nash yang masih zhanni dilalahnya maupun hasil ijtihad dalam masalah-
masalah yang belum ditunjuki nash secara langsung.
Masalah khilafiyyah sudah ada dan muncul di zaman sahabat, jadi bukan
barang baru dan aneh. Khilafiyyah itu dalam perkembangannya semakin
banyak dan meluas di kalangan umat Islam pada masa-masa berikutnya
hingga zaman sekarang. Khilafiyyah terjadi hampir dalam semua bidang, baik
dalam soal politik, aqidah, tashawwuf, kalam, dan juga dalam lapangan fiqih.
Akan tetapi, khilafiyah dalam lapangan hukum islam ( fiqih ) selain dalam
hal-hal yang ada ketegasannya dalam Al-Qur an dan Hadits, tidak membawa
keburukan, karena perselisihan tersebut merupakan kelanjutan studi yang
mendalam dan pemahaman maksud-maksud Al-Qur ‘an dan hadist serta
pengambilan hukum (istinbat) dari padanya. Sepanjang sejarah hukum islam

7
seorang faqih selalu memakai mutiara pikiran yang telah dicapai oleh faqih
lain. Perbedaan dalam hal ini lebih tepat dikatakan sebagai perbedaan tinjauan
, yang perbedaan ini dapat disebut sebagai rahmat atau anugrah bagi kaum
muslimin, sebab jika sekiranya hanya satu pendapat saja yang ada tentulah
kam muslimin akan kesulitan dalam hidupnya. Dan bagaimanapun juga
perselisihan dalam lapangan tersebut hanya berkisar sampai bidang pendapat
dan pikiran yang tidak sampai pada persoalan fisik.[3] 
5. Sebab – sebab terjadinya khilafiyah
Diantara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:
 Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash
 Keshahihan suatu nash kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama
yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang
menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam
menilai tsiqat ( terpercaya )tidaknya seorang perowi, lemah tidaknya
matan dan sanad suatu hadist jik dibandingkan dengan matan dan
sanad lain.
 Perbedaan dalam memahami nash
 Dalam suatu nash, baik Al-Qur’an maupun hadist kadang-kadang
terdapat suatu kata yang mengandung makna ganda (musytarak) dan
kata majazi /kiasan, sehingga arti yang terkandung dalam nash itu
tidak jelas. Terhadap nash yang demikian itu, para ulama berbeda-
beda dalam memahaminya. Missal kata quru’ dalam surah Al-
Baqoroh (2) ayat 228 mempunyai 2 arti yakni suci dan haid, sehingga
berapa lama iddah wanita yang dicerai boleh memilih apakah 3 kali
sucian atau 3 kali haid. 
 Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash
yang saling bertentangan.
 Dalam suatu masalah kadang terdapat dua atau lebih nash yang
bertentangan, sehingga hokum yang sebenarnya dari masalah tersebut
sulit diputuskan.untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih
nash yang lebih kuat atau mencari titik temu dari nash nash tersebut.
Dalam mengambil keputusn inilah biasanya terjadi khilafiyah dari
kalangan para ulama.
 Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath
 Para mujtahid dalam memilih suatu hadist tau mencari suatu dalil,
mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda.
 Perbedaan dalam perbendaharaan hadist
 Diantara para sahabat kemngkinan besar banyak yang koleksi
hadistnya tidak sama, oleh karena itu perbedaan hadis yang dimiliki
para mujtahid kan menyebabkan mereka berbeda pendapat.
 Perselisihan tentang illah dri suatu hukum

8
 Perselisihan para mujtahid mengenai illat dari suatu hokum juga
merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
fiqih. 
6. Contoh bermadzhab dan contoh khilafiyah
A. Contoh bermadzhab
1. Madzhab Hanafi
Membaca surat Al Fatihah dalam madzhab Hanafi bukanlah bagian dari
rukun yang harus dikerjakan, namun ulama madzhab Hanafi memotivasi agar
pengikutnya membaca surat Al Fatihah saat shalat jenazah. Tertulis dalam
kitab fiqih Al Hanafi ,Maraqi Al Falah,”….dan boleh membaca Al Fatihah
dengan tujuan memberikan pujian, demikian hal ini telah dinashkan bagi
madzhab kita, dan di Al Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma,
bahwa ia menshalatkan janazah lalu membaca Al Fatihah dan berkata,’Agar
mereka mengetahui bahwa hal itu sunnah.’ Dan hadits itu dishahihkan oleh
At Tirmidzi. Dan para imam kita berkata bahwa memperhatikan perkara
khilaf mustahab, sedangkan hal itu (membaca Al Fatihah) fardhu menurut
Asy Syafi’I Rahimahullah Ta’ala, maka tidak mengapa membacanya dengan
tujuan membaca Al Qur`an untuk keluar dari khilaf.” (Maraqi Al Falah, hal.
227)
Dalam madzhab Hanafi tidak diwajibkan wudhu bagi siapa yang
mengusung jenazah. Namun Imam Ahmad berpendapat wajib berwudhu bagi
siapa yang telah mengusung jenazah, maka dalam hal ini Ath Thahthawi
berkata,”Maka disunnahkan wudhu, untuk keluar dari khilaf, juga untuk
mengamalkan hadits.” (Hasyiyah ATh Thahthawi, 1/55)

2. Madzhab Maliki
Bagi madzhab Maliki, membaca basmalah sebelum Al  Fatihah adalah
perkara yang mubah, dan shalatnya sah, sedangkan bagi madzhab Asy
Syafi’i, tidak sah shalat jika tidak membacanya, karena itu bagian dari Al
Fatihah. An Nafrawi pun berkata,”Yang disepakati lebih baik daripada yang
tidak disepakati, telah berkata Imam Al Qarrafi (Maliki), dan Ibnu Rusyd
(Maliki) dan Al Ghazali bahwa bagian dari kehati-hatian keluar dari khilaf
dengan membaca basmalah dalam shalat.” (Al Fawaqih Ad Dawani, hal. 409)

3. Madzhab Syafi’i
Dalam madzhab  Syafi’i tidak diperlukan niat bagi siapa yang
memandikan jenazah. Namun, mustahab untuk meniatkannya, dalam rangka
keluar dari khilaf, dikarenakan Imam Malik mewajibkan niat bagi yang
memandikan jenazah. (lihat, Tuhfah Al Habib, 2/516)
Meski dalam madzhab Asy Syafi’i dinyatakan sah shalat sendiri di
belakang shaf, namun disunnahkan menarik seseorang dari shaf depan untuk
shalat bersamanya di belakang. Hal itu dikarenakan Imam Ahmad menilai

9
bahwa shalat sendirian di belakang shaf tidak sah. (Hasyiyah Al Bujairimi,
1/322)
Dalam madzhab Asy Syafi’i i’tikaf sah dilakukan di masjid meski bukan
masjid jami’, namun Imam Asy Syriazi berkata,”Dan lebih utama beri’tikaf di
masjid jami’, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak pernah
beri’tikaf kecuali di masjid jami’, juga karena di masjid jami’ lebih banyak
jama’ah shalatnya, juga dalam rangka keluar dari khilaf, dimana Az Zuhri
menyatakan tidak boleh i’tikaf kecuali di masjid jami’.” (Al Majmu’, 6/504)
Meskipun dalam madzab Asy Syafi’i sah melakukan i’tikaf kurang dari
satu hari, namun Imam Asy Syafi’i berkata,”Lebih utama, ia tidak kurang dari
satu hari, karena tidak pernah dinukil dari Rasulullah Shallallahu Alihi
Wasallam dan para sahabatnya bahwasannya mereka beri’tikaf kurang dari
satu hari dan dalam rangka keluar dari khilaf Abu Hanifah dan lainnya yang
mensyarakan i’tikaf satu hari atau lebih.” (Al Majmu’, 6/513)

4. Madzhab Hanbali
Takbir dalam shalat jenazah diriwayatkan dari Imam Ahmad beberapa
riwayat, yang menunjukkan jumlah takbir lebih dari empat takbir, namun
Ibnu Qudamah mengatakan,”Lebih utama tidak lebih dari empat, karena hal
itu keluar dari khilaf, dan mayoritas ahlul ilmi berpendapat bahwa takbir
empat kali.” Diantara ulama yang berpendapat takbir empat kali adalah Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i (Asy Syarh Al Kabir, 2/352).
Apa yang disebutkan hanya merupakan beberapa contoh dari upaya keluar
dari khilaf, dan masih ada ratusan masalah lainnya, yang tertulis dalam kitab-
kitab fiqih empat madzhab. Tentu hal ini menjadi bukti bahwa madzhab
empat, meski berbeda pendapat namun tetap toleransi terhadap madzhab lain.
Jika demikian, klaim bahwa adanya madzhab merupakan sumber perpecahan
juga tidak benar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
B. Contoh khilafiyah
Berikut adalah salah satu contoh tentang perbedaan khilafiyah tentang
boleh / tidaknya perempuan yang sedang haid / seseorang yang sedang junub
untuk masuk atau berdiam di Mesjid. Kenapa hal ini saya kemukakan, karena
saat ini Ghirah mempelajari ilmu agama sedang dalam puncaknya, sehingga,
kadangkala ada beberapa ukhti yang sedang Haid, namun sangat ingin
mendengarkan pengajian yang berlangsung, bahkan ingin pula berinteraksi
untuk melakukan Tanya jawab terhadap nara sumber.
PERTANYAAN:

10
Bolehkah bagi perempuan yang haid dan seorang yang junub untuk
masuk dan berdiam diri di mesjid?
JAWABAN:
Jumhur ulama dari empat imam dan yang lainnya - kecuali Adz-Dzahiri -
berpendapat diharamkan berdiam diri di mesjid bagi wanita yang sedang
mengalami haid, nifas atau janabah, ini adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu
Mas'ud dari kalangan sahabat. (Al Majmu’ (2/184), Al Mughni (1/145), Al
Lubab Syarh Al Kitab (1/43), Imam Syafi’I dan Imam Ahmad
membolehkan untuk melewati masjid bukan tinggal didalamnya, Al
Muhalla (2/184) dst). Ulama yang "tidak membolehkan" menggunakan dalil-
dalil berikut:
Firman Allah Ta'ala, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (silo); sapulah mukamu
dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
(Qs. An-Nisaa' 4 : 43)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat adalah tempat
untuk shalat, yaitu mesjid. Jadi dalam ayat itu ditunjukkan seorang yang
junub dilarang untuk memasuki mesjid kecuali ketika safar, kemudian mereka
mengqiyaskan orang yang haid dan nifas seperti orang yang junub.
Adapun kelompok yang "membolehkan" menjawab bahwa tafsiran seperti
itu adalah salah satu dari dua pendapat di kalangan salaf, akan tetapi tafsiran
lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat itu sendiri, sehingga
maknanya, `Jangan mendekati shalat ketika junub sampai engkau mandi

11
kecuali orang yang dalam keadaan safar, maka shalatlah dengan tayamum,
oleh karenanya dikatakan pada kalimat berikutnya, "Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu." Kemudian mengqiyaskan orang yang haid dengan orang yang
junub perlu dicermati, sebab orang yang haid dimaafkan, tidak mungkin
baginya mandi sebelum suci, dia juga tidak bisa mengangkat haidnya,
berbeda dengan seorang yang junub dia bisa mandi.
Hadits Jasrah binti Dujajah dari Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda, "Aku
tidak menghalalkan mesjid untuk orang yang haid atau junub. (Dhaif, HR.
Abu Daud (232), Baihaqi (2/442), Ibnu Khuzaimah (2/284) dam lihat At
al Irwa’ (193).
Ulama yang "membolehkan" menyatakan bahwa hadits ini dhaif dan tidak
bisa dijadikan sebagai dalil lantaran adanya Jasrah yang haditsnya diragukan
manakala meriwayatkannya sendiri.
Hadits Ummu Athiyah, bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk
membawa keluar para gadis dan wanita-wanita yang haid pada shalat ied agar
mereka bisa ikut serta menyaksikan kebaikan, dan doa bersama kaum
muslimin, dan para wanita yang haid hendaknya menjauhkan diri dari tempat
shalat."(Shahih Al Bukhari (324) dan Muslim (890)). Mereka menyatakan,
"Jika tempat shalat ied saja hendaknya dijauhi, maka mesjid lebih utama
untuk dijauhi."
Ulama yang "membolehkan" menjawab, "Yang dimaksud dengan tempat
shalat dalam hadits tersebut adalah shalat itu sendiri, sebab dahulu Nabi SAW
dan para sahabat melakukan shalat ied di tanah lapang, dan bukan di mesjid,
dan bumi semuanya adalah mesjid, maka tidak boleh mengkhususkan
sebagian tempat mesjid untuk larangan dan sebagian yang lain tidak.

12
Kemudian dalam lafadz hadits itu sendiri pada sebuah riwayat disebutkan,
"Hendaknya wanita yang haid menjauhi shalat." Yaitu dalam Shahih Muslim
dan lainnya.
Hadits Aisyah, dia berkata, "Nabi SAW dahulu memasukkan kepalanya
(melongok) kepadaku, saat beliau berada di mesjid, aku menyisimya dalam
keadaan haid."(Shahih Al Bukhari (2029). Mereka mengatakan bahwa
Aisyah tidak menyisirnya di mesjid karena semata-mata dia dalam keadaan
haid.
Ulama yang "membolehkan" menjawab, "Hadits itu sebenarnya tidak
sharih untuk menjadi dalil mereka, bisa jadi alasan tidak masuknya ke mesjid
adalah alasan lain dan bukan karena haid, seperti keberadaan banyak lelaki di
mesjid dan sebagainya.
Adapun ulama yang membolehkan orang yang haid dan junub memasuki
mesjid, mereka membawakan dalil sebagai berikut:
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh, manakala dalil yang melarang tidak
sah maka dikembalikan kepada hukum asal yaitu boleh, seorang Muslim
diperbolehkan melakukan shalat di mana saja ketika waktu shalat tiba. Telah
ditetapkan bahwa orang-orang musyrik pernah memasuki mesjid, dan Nabi
SAW menahan mereka di dalamnya. Allah SWT berfirman, "...Sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati
mesjidil Haram sesudah tahun ini   (At-Taubah [9]: 28)
Adapun orang Muslim adalah suci dalam keadaan apapun, berdasarkan
sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak najis” Bagiamana
mungkin seorang Muslim dilarang masuk mesjid sementara orang kafir
dibolehkan?!
Ulama yang "melarang" menjawab, "Syariat telah membedakan antara
seorang Muslim dengan kafir, dalil yang melarang tinggal di mesjid bagi
orang junub atau haid telah jelas! dan dalil penahanan terhadap orang kafir

13
waktu itu juga jelas. Apabila syariat telah membedakan, maka tidak boleh
disamakan, adapun qiyas dengan adanya nash adalah qiyas yang batil! Aku
katakan, "Hal ini karena keberadaan nash telah jelas dan tidak samar!"
Hadits Aisyah bahwa dahulu ada seorang perempuan hitam milik sebuah
perkampungan Arab, kemudian mereka membebaskannya, dan dia datang
kepada Rasulullah serta masuk Islam, hingga dia dibuatkan sebuah tenda di
mesjid."(Shahih, Al Bukhari). Mereka menyatakan, adalah seorang
perempuan yang tinggal di mesjid Nabi SAW, sementara kebiasaan wanita
mengalami haid, Nabi SAW tidak melarangnya tinggal di mesjid, dan tidak
memerintahkannya untuk menjauhi mesjid pada saat haid."
Ulama yang "melarang" menjawab, "Yang nampak dalam riwayat tersebut
bahwa wanita ini tidak mempunyai keluarga atau tempat, selain mesjid, jadi
tinggalnya di mesjid adalah sebuah keadaan terpaksa. Maka tidak bisa
diqiyaskan kepada selainnya, sebab ini merupakan kasus yang khusus, dan
dalil yang sharih tidak dapat menyalahinya! Hadits Abu Hurairah yang
berbicara tentang wanita yang mengurus (membersihkan) mesjid, kemudian
meninggal dunia dan Rasulullah SAW menanyakan beritanya..." (Al
Hadits)" (Shahih, Al Bukhari (485), Muslim (956), tapi pada keduanya
ada keraguan, apakah ia seorang lelaki atau seorang wanita, namun
keberadaannya sebagai seorang wanita dikuatkan pada riwayat Ibnu
Khuzaimah dan Al Baihaqi (4/48), dengan sanad hasan.). Kondisi
perempuan ini bukan karena terpaksa, setiap waktu membersihkan mesjid dan
Nabi SAW tidak melarangnya agar menjauhi mesjid ketika haid.
Hadits Abu Hurairah tentang kelompok Ahlu Shuffah yang bermalam di
mesjid pada masa Rasulullah SAW. (Shahih, Al Bukhari (2/645) dan At-
Tirrnidzi (479)
Ulama yang "tidak membolehkan" menjawab, "Ahlu Shuffah tidak punya
keluarga dan harta, sebagaimana telah jelas disebutkan dalam nash hadits

14
yang dimaksud." Telah ditetapkan sebuah riwayat yang shahih bahwa Ibnu
Umar dahulu pernah tidur di mesjid pada saat masih lajang dan belum
mempunyai keluarga." (Shahih, Al Bukhari (3530) dan Muslim (2479)
Seorang pemuda terkadang pasti bermimpi junub, namun dia tidak dilarang
tinggal di mesjid pada saat junub.
Ulama yang "melarang" mengatakan, "Tidak ada yang menyebutkan
bahwa Nabi SAW mengetahui dan mengiyakan hal itu!" Sedangkan ulama
yang membolehkan membantah, "Kalaupun perihal Ibnu Umar tidak
diketahui oleh Rasulullah, tetapi diketahui oleh Allah SWT, dan pastilah akan
dikabarkan kepadanya melalui wahyu untuk melarangnya." Pernyataan ini
dikomentari lagi, "Tidak harus diturunkan wahyu untuk memberitahukan
setiap kesalahan yang terjadi dari seorang sahabat, berapa banyak sahabat
yang melakukan kesalahan pada masa Nabi SAW karena mereka belum
mengetahui hukum yang diturunkan pada masa tersebut."
Ketika Aisyah RA mengalamai haid saat melaksanakan ibadah haji,
Rasulullah memperbolehkannya untuk melakukan seluruh manasik yang
dilakukan seorang yang tengah melaksanakan ibadah haji, tidak ada larangan
apapun selain thawaf di Ka'bah, (Shahih, Al Bukhari (1650)), ini
menunjukkan bahwa Aisyah diperbolehkan masuk mesjid, karena orang yang
berhaji boleh memasukinya.
Ulama yang "melarang" mengatakan bahwa Nabi SAW ingin mengajarkan
kepada Aisyah bahwa bagi orang yang haid boleh melakukan manasik haji
selain thawaf, adapun hukum memasuki mesjid sudah diketahui oleh Aisyah
bahwa hal itu tidak boleh, sebab dialah yang meriwayatkan haditsnya.
Kemudian Nabi SAW tidak melarangnya melakukan shalat padahal dia dalam
keadaan haid -orang yang berhaji melakukan shalat-, apakah itu artinya dia
boleh melakukan shalat dalam keadaan haid?

15
Penulis kitab ini berkata, "Ini adalah jawaban yang mengarah, tetapi kalau
saja hadits pelarangan telah tetap, padahal haditsnya adalah dha’if. Hadits
Aisyah, dia berkata, "Rasulullah SAW berkata kepadaku, Ambilkan tikar
kecil di mesjid 'Aku menjawab, `Aku sedang haid.' Beliau bersabda,
"Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu (tidak dalam kekuasanmu). (HR.
Muslim (298), Abu Daud (261), At-Tirmidzi (134), An-Nasal (2/192)).
Riwayat ini memberikan pengertian kepada kita bahwa tikar kecil itu berada
di dalam mesjid, dan Nabi SAW tetap menghendaki agar Aisyah masuk ke
dalam mesjid untuk mengambilnya.
Ulama yang "melarang" mengomentari bahwa hadits ini dengan lafadz
yang lain: Ketika Rasulullah SAW berada di mesjid, beliau berkata, "Wahai
Aisyah ambilkan untukku sebuah pakaian. "Dia menjawab, "Aku sedang
haid." maka Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya haidmu bukan di
tanganmu. '(HR. Muslim (299) dan An-Nasa'i (1/192)). Riwayat ini
menjelaskan bahwa Nabi SAW berada di dalam mesjid, sedangkan Aisyah
dan tikar kecil itu di luar mesjid, maka Nabi SAW memerintahkannya untuk
memasukkan tangannya saja, dan tidak perlu masuk ke dalam mesjid."
Aku (Penulis kitab ini) katakan: Hadits ini mempunyai beberapa
kemungkinan, maka sebaiknya digugurkan dari keberadaannya sebagai dalil
dari kedua pendapat. Atsar dari Atha' bin Yasar, dia berkata, "Aku melihat
sekelompok sahabat Rasulullah SAW sedang duduk di mesjid dalam keadaan
junub, kemudian mereka berwudhu layaknya wudhu untuk shalat."
Aku (Penulis kitab ini) katakan: Setelah memaparkan berbagai macam
dalil dan hujjah ulama yang melarang dan yang membolehkan, sekarang yang
nampak olehku bahwa dalil-dalil ulama yang melarang tidak sampai
menghasilkan hukum haram secara pasti, meskipun penulis kitab ini sendiri
abstain dalam hal ini.

16
Kesimpulan dari hasil pembahasan diatas adalah, jangan saling
“menjelekkan, memandang salah setiap bentuk Ijtihad dari saudara kita
sesama muslim”, dalam hal permasalahan yang bersifat khilafiyah diantara
ulama. Karena tentunya setiap ulama (yang benar tentunya dan tsiqah), Insya
Allah telah berusaha mencari dalil dari setiap permasalahan yang ada, tinggal
dari sudut pandang mana mereka mengambil kesimpulan hokum tersebut.
Dan yang terakhir yang tidak kalah penting, dalam mengikuti pendapat suatu
ulama (hasil ijtihad mereka), jangan hanya mengambil “enaknya” saja
(maunya yang menguntungkan pribadi kita saja). Selalu berusaha
mempelajari dalil dan alasan, kenapa ulama tersebut mengambil kesimpulan
hukum yang mengakibatkan terjadinya perbedaan dalil hukum (khilafiyah).

17
BAB III
PENUTUP
  
A. Kesimpulan
Bagi orang awam madzhab adalah semata untuk memudakan mereka
untuk mengikuti ajaran Agama, sebab mereka tidak perlu mencari setiap ada
permasalahan dari sumbar aslinya yaitu Alqur’an dan hadis, namun mereka
cukup membaca dan memahami tatacara beribadah dari madzhab madzhab
tersebut. Bisa dibayangkan bagai mana sulitnya beribadah bagi orang awam
jika semua harus mencari dan mempelajari secara langsung dari sumber
aslinya.
Adapun fungsi mengetahui hukum madzhab adalah agar kita terhindar dari
taqlid buta dan kita bisa mendudukan ketetapan hukum sesuai fungsinya.
Dimana terjadi perbedaan istinbath dalam hadist yang waktu itu belum
terkodifikasi secara sistematis.sehingga ada Hadist yang diterima oleh satu
madzhab, sementara madzhab yang lain belum mendapatkannya.
Dalam komunitas NU istilah madzhab sudah lama dikenal. NU yang selalu
bergulat dengan fiqh secara tegas menyatakan bahwa dirinya berpegang pada
salah satu madzhab yang empat, yakni madzhab hanafi, maliki, syafi’i dan
hambali.
Khilafiyah/ikhtilaf merupakan term yang diambil dari bahasa arab yang
berarti berselisih, tidak sepaham. Sedangkan secara terminologis khilafiyah
adalah perselisihan paham atau pendapat di kalangan para ulama fiqih sebagai
hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hokum
tertentu. Dengan demikian masalah khilafiyah merupakan masalah ijtihad
sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.
Diantara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:
 Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash

18
 Keshahihan suatu nash kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama
yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang
menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam
menilai tsiqat ( terpercaya )tidaknya seorang perowi, lemah tidaknya
matan dan sanad suatu hadist jik dibandingkan dengan matan dan
sanad lain.
 Perbedaan dalam memahami nash
 Dalam suatu nash, baik Al-Qur’an maupun hadist kadang-kadang
terdapat suatu kata yang mengandung makna ganda (musytarak) dan
kata majazi /kiasan, sehingga arti yang terkandung dalam nash itu
tidak jelas. Terhadap nash yang demikian itu, para ulama berbeda-
beda dalam memahaminya. Missal kata quru’ dalam surah Al-
Baqoroh (2) ayat 228 mempunyai 2 arti yakni suci dan haid, sehingga
berapa lama iddah wanita yang dicerai boleh memilih apakah 3 kali
sucian atau 3 kali haid.  
 Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash
yang saling bertentangan.
 Dalam suatu masalah kadang terdapat dua atau lebih nash yang
bertentangan, sehingga hokum yang sebenarnya dari masalah tersebut
sulit diputuskan.untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih
nash yang lebih kuat atau mencari titik temu dari nash nash tersebut.
Dalam mengambil keputusn inilah biasanya terjadi khilafiyah dari
kalangan para ulama.
 Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath
 Para mujtahid dalam memilih suatu hadist tau mencari suatu dalil,
mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda.
 Perbedaan dalam perbendaharaan hadist
 Diantara para sahabat kemngkinan besar banyak yang koleksi
hadistnya tidak sama, oleh karena itu perbedaan hadis yang dimiliki
para mujtahid kan menyebabkan mereka berbeda pendapat.
 Perselisihan tentang illah dri suatu hukum
Perselisihan para mujtahid mengenai illat dari suatu hokum juga
merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
fiqih.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat. semoga makalah ini dapat
bermanfaat kepada pembaca khususnya pemakalah, untuk itu kami minta
maaf jika dalam penulisan makalah ataupun penyampaian makalah  terdapat
kesalahan, karena kita sama-sama dalam proses belajar. kesempurnaan
hanyalah milik Allah. Kritik dan saran akan kami tunggu untuk memperbaiki
makalah kami.

19
DAFTAR PUSTAKA
 Rakhma, J. 2002. Dahulukan Akhlak di atas Fiqih. Bandung:Mizan Media
Utama (MMU)
 Harist, B.2010. Islam NU. Surabaya:Khalista
 Haidir, Abdullah. 2004. Mazhab fiqh. King Fahd National Cataloging-In-
Publication Data.

20

Anda mungkin juga menyukai