KEMENTERIAN AGAMA RI
Skripsi
Oleh:
Khanifatur Rahma
11140340000015
Khanifatur Rahma
Al-Baẖr fî al-Qur’ân: Telaah Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI
v
KATA PENGANTAR
vi
6. Yang tercinta kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Sutaman dan Ibunda
Nuriyati Diana yang tak henti-hentinya memotivasi dan mendoakan penulis.
Mereka yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang yang utuh walaupun
terhalang oleh jarak yang jauh, tetapi cinta dan kasih sayang itu tersampaikan
lewat lantunan doa yang selalu beliau kirimkan tanpa diminta sekalipun. Semoga
penulis selalu mendapatkan ridha mereka dalam setiap langkah yang akan dilalui
dan bisa berbakti kepada keduanya.
7. Kepada Mas Ibnu Septiyarudin, sosok kakak yang dengan ikhlas membiayai
perjalanan hidup penulis selama di perantauan. Semoga selalu diberi
keberkahan atas rezekinya dan mendapat balasan yang berlipat ganda dari
Allah yang Maha Kaya. Terimakasih juga untuk semua keluarga besar yang
ada di Malang dan Blitar atas doa-doanya sehingga penulis mampu
menyelesaikan studi ini.
8. Teristimewa untuk keluarga LTTQ Fathullah. Terimakasih sudah
membersamai dan menjadi tempat yang paling nyaman selama empat tahun
ini. Banyak kisah yang menyisakan canda, tawa, bahagia, dan lain-lain yang
tak akan mudah untuk dilupakan. Terimakasih untuk kakak-kakak yang sabar
membimbing, teman-teman, dan adik-adik yang senantiasa menemani
perjuangan mengabdi di lembaga ini. Semoga LTTQ selalu sukses dalam
memasyarakatkan al-Qur’an.
9. Kepada teman-teman mulazamah PP. Nurul Hikmah dan Rumah Tahfizh
Alif, khususnya Alif 2. Terimakasih sudah menjadi obor penyemangat bagi
penulis untuk ikut ber-fastabiqulkhoirot dalam memperjuangkan al-Qur’an.
10. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu. Terimakasih atas kebaikan, kebersamaan, sharing, support, dan
segalanya. Semoga tali persaudaraan ini akan tetap terjaga hingga kapanpun.
11. Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung ikut serta
membantu penyelesaian skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih yang tak
terhingga, semoga segala bantuan dan doa dari semua pihak mendapat balasan
dari Allah Swt.
vii
Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi pengembangan ilmu
pengetahuan nantinya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak
menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk penulisan yang lebih baik dan sebagai
pengembangan kajian di waktu yang akan datang.
Khanifatur Rahma
Penulis
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
خ kh ka dan ha
د d de
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q qi
ك k ka
ix
ل l el
م m em
ن n en
و w We
ھ h ha
ء ’ apostrof
ي y ye
2. Vokal
Vokal dalam Bahasa Arab seperti vokal Bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
َ- I Kasrah
َ- U Ḏammah
ي--- ai a dan i
و--- au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) yang dalam Bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
x
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dengan huruf, yaitu menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak beraku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
6. Ta Marbûtah
al-jâmiʻah al-islâmiyyah
waẖdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
xi
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
Al-Ghazâlî, al-Kindî bukan Al-Kindî, kecuali penulisan kata al-Qur’an baik
di awal, tengah, atau akhir kalimat, bukan Al-Qur’an.
tsabata al-ajru
al-ẖarakah al-‘asriyyah
yu’atstsirukum Allâh
al-maẕâhir al-‘aqliyyah
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka,
nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muẖammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Faḏl al-
Raẖmân.
xii
DAFTAR ISI
COVER ......................................................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN` ......................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................................................6
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................................6
D. Manfaat Penelitian .............................................................................................6
E. Tinjauan Pustaka................................................................................................7
F. Metode Penelitian ..............................................................................................10
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................11
xiii
BAB IV TELAAH TAFSIR ILMI KEMENAG RI TENTANG LAUT
A. Telaah Penafsiran Mengenai Laut dalam al-Qur’an ..........................................37
1. Sumber, Metode, dan Corak Penafsiran .....................................................37
2. Penafsiran Ayat-Ayat tentang Laut .............................................................40
a. Manfaat Laut untuk Kehidupan .............................................................45
b. Fenomena Laut ......................................................................................50
c. Sosialisasi Pemerintah Indonesia ke dalam Tafsir Ilmi .........................55
3. Perbedaan Penafsiran Tafsir Ilmi Kemenag RI dengan Kitab
Tafsir Ilmi Lainnya ......................................................................................60
a. Penafsiran QS. al-Takwîr [81] ayat 6 ....................................................60
b. Penafsiran QS. al-Infiṯâr [82] ayat 3 ......................................................64
c. Kemudahan Kapal Berlayar (taskhîr al-fulk) ........................................65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................67
B. Saran ..................................................................................................................68
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 408.
2
Ulama berbeda pendapat mengenai jumlah keseluruhan ayat al-Qur’an. Terdapat tujuh
macam pendapat, diantaranya: ulama Madînah awal terbagi menjadi dua versi, yaitu riwayat ahl
Kuffah dari ahl Madînah berpendapat bahwa seluruh ayat al-Qur’an berjumlah 6217 ayat, sedangkan
riwayat ahl Basrah dari Warsy berpendapat 6214 ayat; ulama Madînah akhir berpendapat 6214 ayat;
ulama Makkah berpendapat 6210 ayat; ulama Basrah berpendapat 6204 ayat; ulama Damaskus ada
yang berpendapat 6226 ayat dan ada yang berpendapat 6227 ayat; ulama Hims berpendapat 6232
ayat; dan ulama Kuffah berpendapat 6236 ayat. Lihat: ‘Abd al-Fattâẖ ibn ‘Abd al-Ghanî al-Qâḏî, al-
Farâid al-Hisân fî ‘Add Ây al-Qur’ân, juz 1 (Madînah: Maktabah al-Dâr, 1983), h. 25-27.
3
Keterangan ini diperoleh dari Zaglul al-Najjar yang dikutip oleh Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2013), h. xxiii.
1
2
4
Quraish Shihab, et. al., Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 183.
5
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1 (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, t.th.), h. 303.
6
Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979),
h.125-126.
7
‘Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm al-Muẖtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Râhin (‘Amân:
Maktabah al-Nahḏah al-Islâmiyyah, 1982), h. 265-267.
3
modern seperti pada masa ini. Selain itu, tujuan al-Qur’an adalah untuk
menguraikan hukum-hukum Islam dan segala yang berkenaan dengan akhirat.8
Dalam kitabnya, ‘Abd al-Majîd al-Muẖtasib juga menjelaskan beberapa
ulama yang menolak adanya tafsir ilmi, antara lain pendapat Maẖmûd Syalṯût
yang hampir sama dengan al-Syâṯibî bahwa manusia hanya diberi ilmu yang
sedikit untuk mengetahui rahasia Allah sehingga al-Qur’an bukanlah kitab yang
harus berisi dengan penjelasan hakikat-hakikat alam, tetapi merupakan kitab
hidayah, penyempurna kitab-kitab samawi sebelumnya, dan berisi syariat-
syariat Islam. Hal ini beliau landaskan pada QS. al-Isrâ’ [17] ayat 85.9
Selanjutnya ‘Izzah Darwazah, penulis kitab al-Tafsîr al-Hadîts yang menilai
bahwa persoalan menafsirkan al-Quran dengan teori-teori ilmiah dan
semacamnya bisa melampaui batas hingga dapat menjadikan al-Qur’an keluar
dari kesakralan dan tujuannya.10
Selain itu, ada pula kubu yang dianggap moderat dalam menyikapi
keberadaan tafsir ilmi, yakni Yûsuf al-Qaraḏâwî yang berpendapat bahwa
seorang peneliti tafsir ilmi tidak boleh memaksakan asumsi yang masih menjadi
perdebatan dan belum valid untuk digunakan sebagai sebuah penafsiran. Hal
tersebut dikhawatirkan apabila teori tersebut di hari kemudian telah terbukti
tidak benar, maka dampak negatifnya akan berpengaruh terhadap al-Qur’an.11
Dalam hal ini, penulis menyimpulkan bahwa Yûsuf al-Qaraḏâwî sejatinya
berada di pihak kelompok yang mendukung adanya tafsir ilmi, namun beliau
memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam menafsirkan al-
Qur’an dari sisi ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kesalahan yang fatal.
Dari perdebatan ulama terhadap tafsir ilmi oleh dua kelompok tersebut,
faktor yang mempengaruhi terjadinya perdebatan itu adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dijadikan sebagai penafsiran atas ayat-ayat
kauniyah. Kelompok yang menolak adanya tafsir ilmi berargumen bahwa
karakteristik ilmu pengetahuan yang bersifat tidak tetap dan berubah-ubah
8
Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâṯibî, al-Muwâfaqât, juz 2 (Dâr Ibn ‘Affân, 1997), h. 127.
9
Al-Muẖtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Râhin, h. 306-307.
10
Al-Muẖtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Râhin, h. 308-309.
11
Yûsuf al-Qaraḏâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 323.
4
sehingga tidak pantas jika disandingkan dengan al-Qur’an yang bernilai absolut.
Sedangkan bagi kelompok yang mendukung tafsir ilmi, mereka menilai bahwa
tafsir ilmi bertujuan untuk membangun kesatuan paradigma bahwa antara al-
Qur’an dan ilmu pengetahuan tidak saling bertentangan.12
Berdasarkan rangkaian perdebatan tafsir ilmi di atas, Muchlis Hanafi
sebagai salah satu penyusun buku tasfir ilmi Kemenag RI menjelaskan bahwa
tafsir ilmi Kemenag RI sebagai salah satu upaya pengembangan kajian tafsir di
Indonesia sejatinya memang berada di pihak kelompok yang berpihak pada tafsir
ilmi, namun hal ini lebih dianggap sebagai formula kompromistik untuk lebih
mengembangkan misi dakwah Islam di tengah kemajuan ilmu pengetahuan.13
Hal ini dikuatkan dengan apa yang telah ditulis oleh M. Quraish Shihab bahwa
banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk mempergunakan akal
pikiran dalam mencapai hasil yang dimaksudkan pada ayat tersebut,14 salah satu
upayanya adalah dengan membuktikan kebenaran ayat-ayat tersebut dengan
penemuan ilmiah. Di sisi lain, kekhawatiran terhadap tafsir ilmi terletak pada
kesalahan mufassir dalam mencocok-cocokkan penemuan ilmiah yang belum
valid terhadap ayat al-Qur’an yang dibahas. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa tafsir adalah sebuah ijtihad yang dilakukan oleh mufassir, maka bisa jadi
ia benar atau salah. Adapun untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut,
mufassir harus bersikap lebih hati-hati dalam mengaitkan penafsiran al-Qur’an
dengan ilmu pengetahuan dan memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran yang
telah ditetapkan oleh ulama.
Salah satu kitab tafsir ilmi yang menarik untuk dikaji adalah buku seri
tafsir ilmi hasil karya ulama dan ilmuwan Indonesia dengan berbagai macam
tema yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI sejak tahun 2010 hingga 2016 yang
berjumlah 21 seri.15
12
Muchlis M. Hanafi, “Kata Pengantar” dalam Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-
Qur’an dan Sains, xxiii.
13
Muchlis M. Hanafi, “Kata Pengantar” dalam Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-
Qur’an dan Sains, h. xxv.
14
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2013), h. 60.
15
Hal ini berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis. Uraian selengkapnya telah
dijelaskan di bab III.
5
Penelitian ini bermaksud mengkaji salah satu tema kitab tafsir ilmi
Kemenag RI, yaitu tentang laut. Adapun ketertarikan penulis mengkaji tafsir ilmi
Kemenag RI adalah: Pertama, tim penyusun telah menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an berdasarkan tema-tema yang telah ditentukan atau menggunakan metode
mauḏûʻî16 sehingga penjelasan yang dipaparkan bisa fokus dengan tema
tersebut. Kedua, upaya menafsirkan ayat kauniyah dengan temuan ilmiah yang
dilakukan tim penyusun sejak 2010 hingga 2016 telah menghasilkan puluhan
buku yang menurut penulis merupakan sebuah usaha yang serius dalam
mengungkap makna ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an. Ketiga, alasan penulis
memilih tema laut adalah manusia sangat bergantung dan tidak bisa terlepas dari
air. Secara kuantitatif, 97 % air yang ada di bumi berasal dari laut sehingga laut
memiliki peran besar bagi kehidupan manusia di bumi17 sebagaimana firman
Allah dalam QS. al-Baqarah [2] : 164 yang berbunyi:
Penggunaan kata laut dalam al-Qur’an yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah term al-baẖr yang dapat diartikan dengan kumpulan air asin atau tawar.
Selain itu, al-baẖr disebut sebagai laut karena kedalaman airnya dan wilayahnya
16
Mauḏûʻî secara bahasa adalah al-waḏʻu yaitu menempatkan sesuatu. Sedangkan secara
istilah tafsir mauḏûʻî merupakan salah satu metode tafsir yang membahas tentang suatu persoalan
dalam al-Qur’an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya
yang kemudian dilakukan sebuah analisis menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat tertentu
pula untuk menjelaskan maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubungkannya
antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Lihat Musṯafâ Muslim, Mabâẖits fî al-Tafsîr al-Mauḏûʻî
(Dimasyq: Dâr al-Qalam, 2000), h.16.
17
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 26.
6
yang sangat luas.18 Maka dari itu, penelitian ini akan khusus membahas ayat-
ayat yang membicarakan tentang al-baẖr.
Dari sekian banyak penelitian yang mengkaji tentang tafsir ilmi
Kemenag RI, penulis akan membahas tema khusus tentang laut. Sejauh
pencarian yang penulis lakukan, belum ada penelitian yang membahas tentang
telaah kitab tafsir ilmi Kemenag RI yang dikhususkan pada tema laut, sehingga
penelitian ini merupakan karya pertama yang membahas hal tersebut. Maka dari
itu judul penelitian ini adalah al-Baẖr fî al-Qur’ân: Telaah Tafsir Ilmi
Kementerian Agama RI.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan telaah atau penafsiran ayat-
ayat mengenai laut dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI dan menjelaskan
perbedaan penafsiran ayat-ayat tentang laut dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI
dengan kitab tafsir ilmi lainnya.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan
praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah melengkapi apa yang telah
ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya terkait kitab tafsir ilmi Kemenag RI
maupun penafsiran ayat-ayat tentang laut pada umumnya. Sedangkan manfaat
praktis dari penelitian ini adalah diharapkan mampu memberikan tambahan
informasi bahan ajar pada mata kuliah Literatur Tafsir Indonesia.
18
Ibn Manẕûr, Lisân al-ʻArab, juz 4 (Beirut: Dâr Sadr, 1414 H), h. 41.
7
E. Tinjauan Pustaka
19
Jurnal ini ditulis oleh Annas Rolli Muchlisin dan Khairun Nisa (mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), “Geliat Tafsir Ilmi di Indonesia dari Tafsir al-Nûr hingga Tafsir Salman”,
Millatî: Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 2, no. 2 (2017): 239.
20
Tesis ini ditulis oleh Erma Sauva Asvia, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: 2018).
21
Skripsi ini ditulis oleh Ai Sahidah, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2017).
22
Skripsi ini ditulis oleh Lathifatul Masula, mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab, dan
Dakwah IAIN Tulungagung (Tulungagung: 2017).
23
Skripsi ini ditulis oleh Ayu Aulia Munika, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel (Surabaya: 2016).
8
24
Skripsi ini ditulis oleh Moh. Mufid Muwaffaq, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2015).
25
Skripsi ini ditulis oleh Ahmad Syafi’in Aslam, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2014).
26
Skripsi ini ditulis oleh oleh Milcha Qurrotul Aini, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Sunan Ampel (Surabaya: 2018).
27
Skripsi ini ditulis oleh oleh Adelina Qurrotul A., mahasiswa Fakultas Ushuluddin STAIN
Kudus (Kudus: 2016).
9
28
Skripsi ini ditulis oleh Nuri Qomariah Maritta, mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah (Jakarta: 2010).
29
Faizin, mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, “Integrasi Agama dan Sains dalam Tafsir
Ilmi Kementerian Agama RI”, Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no.1 (2017): 19.
30
Ahmad Muttaqin, mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
“Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI: Melacak Unsur Kepentingan Pemerintah dalam Tafsir”,
Religia, vol. 19, no. 2 (2016): 74.
31
Skripsi ini ditulis oleh oleh Muhamad Ariful Amri, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2017).
10
prinsip-prinsip tafsir ilmi yang telah dijelaskan di awal oleh pihak Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an.
4. Skripsi: Konsep Penciptaan Alam Semesta (Studi Komparatif Antara Teori-
M Stephen Hawking dengan Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya Kementerian
Agama RI).32 Skripsi ini membahas tentang perbandingan antara teori
penciptaan alam dari Stephen Hawking dan Tafsir Ilmi Kemenag RI yang
hasilnya adalah keduanya sama-sama penganut creation exhilo, yaitu
menciptakan alam dari sesuatu yang tidak ada serta mendukung teori Big
Bang, yaitu bermulanya alam semesta ini dari ledakan yang sangat besar.
Sedangkan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa tafsir ilmi Kemenag
RI menjelaskan bahwa yang menciptakan alam ini adalah Allah, sedangkan
Stephen meyakini bahwa alam ini menciptakan dirinya sendiri karena
adanya hukum fisika yang bekerja.
Dari semua penelusuran yang penulis sajikan di atas, penulis belum
menemukan penelitian yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat tentang laut
dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI sehingga skripsi ini merupakan penelitian
pertama yang membahas tentang hal tersebut. Selain itu, penulis juga akan
menjelaskan perbedaan penafsiran ayat-ayat laut dalam tafsir ilmi Kemenag RI
dengan beberapa kitab tafsir ilmi lainnya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
mencoba memahami fenomena dalam seting dan konteks naturalnya di
mana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati33
atau bisa juga dikatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk
hitungan lainnya.34 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
32
Skripsi ini diitulis oleh Nida Ulkhusna, mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayataullah (Jakarta: 2013).
33
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar (Jakarta: PT Indeks, 2012), h. 7.
34
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Terj. M. Shodiq
dan Imam Muttaqien (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 4.
11
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab terbagi
menjadi beberapa sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-
masing yang berkaitan satu sama lain.
Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini penulis membahas latar
belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
35
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
h. 3.
12
Tafsir ilmi merupakan salah satu corak tafsir yang populer atau diminati
di kalangan para ulama masa kini. Kepopuleran tafsir ilmi telah menyebar di
masa kontemporer di mana para cendekiawan mempunyai perhatian yang besar
terhadap ilmu yang berkembang saat ini. Hal ini merupakan pengaruh dari
kecenderungan paradigma ilmu pengetahuan yang mendominasi pada diri
mufassir untuk menafsirkan al-Qur’an dengan penemuan ilmiah.1 Sebelum
penulis menjelaskan lebih lanjut mengenai tafsir ilmi, ada baiknya apabila kita
mengetahui pengertian tafsir dan ilmi secara terpisah.
“Tafsir adalah ilmu yang dibutuhkan dalam rangka memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan menjelaskan makna-maknanya,
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya dan semua itu merujuk
1
Muẖammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2 (Kuwait: Dâr al-
Nawâdir, 2010), h. 497.
2
Ibn Manẕûr, Lisân al-‘Arab, juz 5 (Beirut: Dâr Sadr, 1414 H), h. 55.
3
Muẖammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1 (Beirut: Dâr
al-Ma’rifah,1391 H), h. 13.
13
14
dari ilmu bahasa, naẖwu dan saraf, ilmu bayân, usûl fiqh, dan qira’ât. Seorang
ahli tafsir juga membutuhkan pengetahuan terhadap asbâb al-nuzûl, nâsikh, dan
mansûkh”.
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, tafsir merupakan hasil
pemikiran manusia tentang penjelasan maksud firman-firman Allah Swt. yang
sesuai dengan kemampuan manusia yang dipengaruhi oleh beberapa hal
sehingga banyak terjadi perbedaan-perbedaan penafsiran baik dari masa ke masa
atau dari satu tempat ke tempat lain.4
Sementara kata ilmi di sini merupakan kata sifat yang bernisbat pada
kata ilmu. Ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu ‘alima – yaʻlamu – ‘ilman dengan
wazn faʻila – yafʻalu – faʻlan yang berarti mengerti, memahami benar-benar.
Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut science yang diambil dari bahasa Latin
yaitu scientia (pengetahuan) – scire (mengetahui). Jadi, pengertian ilmu adalah
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut
metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu.5 Terkait sains dan ilmu, Mulyadhi Kartanegaraberpendapat bahwa
keduanya merupakan dua hal yang berbeda, namun memiliki kemiripan. Hal ini
bisa terlihat dari pengertian sains dan pengetahuan yang ia kemukakan. Sains
menurut Mulyadhi adalah any organized knowledge (pengetahuan yang
tersistem), sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.
Secara sepintas dapat dikatakan bahwa ilmu dalam epistemologi Islam
mempunyai kemiripan makna dengan sains dalam epistemologi Barat.
Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa sains dibatasi pada bidang-bidang
fisik sedangkan ilmu lebih bebas hingga pada bidang-bidang nonfisik atau
metafisika.6
4
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 364.
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 12.
6
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan 2003), h. 1.
15
bahwa tafsir ilmi adalah ijtihad mufassir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat
kauniyah di dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang
bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an.7 Dari penjelasan di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir ilmi adalah upaya menafsirkan al-
Qur’an dengan teori-teori ilmiah di mana antara al-Qur’an dan sains terdapat
kesesuaian sehingga mufassir dapat mengkompromikan keduanya melalui
sebuah karya yang disebut tafsir ilmi. Objek dari tafsir ilmi ini adalah ayat-ayat
kauniyah, yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan isyarat tentang realita
alam semesta atau penciptaan segala sesuatu yang bersifat ilmiah.
7
M. Quraish Shihab, et. al., Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 183.
8
Abdul Majid bin Aziz al-Zindani, et.al., Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang
IPTEK, jilid 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 22.
16
9
Zoologi adalah ilmu tentang kehidupan binatang dan pembuatan klasifikasi aneka macam
bentuk binatang dunia. Lihat Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Dep.Pendidikan
Nasional, 2008), h. 1826.
10
Botani adalah cabang dari biologi yang menyelidiki kehidupan tumbuh-tumbuhan. Lihat
Kamus Bahasa Indonesia, h. 218.
11
Geologi adalah ilmu tentang komposisi, struktur, dan sejarah bumi. Lihat Kamus Bahasa
Indonesia, h. 473.
12
Oseanologi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek yang berhubungan dengan laut
dan lautan (seperti, tanaman, binatang laut). Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 1094.
13
Vulkanologi adalah ilmu pengetahuan tentang gunung berapi, gempa, dan sebagainya.
Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 1803.
14
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, Terj. Zaenal Arifin dkk. (Jakarta:
Zaman, 2014), h. 717.
15
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Manusia, Terj. Tim Penerbit Bahasa Indonesia, jilid 1 (Jakarta: PT Lentera
Abadi, 2012), h. iv.
17
16
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 40-41.
17
Ahmad Syirbasi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985), h. 130.
18
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 475.
19
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 477.
18
langit, bumi, hewan, tumbuhan, permata, dan logam. Kitab ini ditulis oleh
Muẖammad ibn Aẖmad al-Iskandarî, seorang dokter yang mahir dan terampil.
Beliau merupakan ulama pada abad 13 H. Kitab ini terdiri dari 3 jilid besar,
dicetak pertama kali di Mesir pada tahun 1297 H oleh penerbit Dâr al-Kutub al-
Misriyyah.20
20
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 497-498.
21
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 498.
19
Swt. ʻAbd al-‘Azîz Ismâʻîl juga berpendapat bahwa ilmu modern yang kekinian
dapat membantu mengungkap makna sebagian ayat-ayat al-Qur’an sehingga al-
Qur’an akan tetap eksis seiring dengan berkembangnya zaman.22
Sedangkan kitab tafsir ilmi yang disusun sesuai dengan tema-tema yang
diinginkan oleh mufassir adalah al-Iʻjâz al-‘Ilmî fî al-Qur’ân wa al-Sunnah
karya Prof. Dr. Zaglul al-Najjar dan Dr. Abdul Daim al-Kahil. Mereka adalah
22
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 502.
23
Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 397-398.
24
Taẖlîlî secara harfiah berarti menjadi lepas atau terurai. Secara istilah tafsir taẖlîlî adalah
metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan dengan mendeskripsikan uraian makna yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tertib urutan surat dan ayat al-Qur’an
(tartîb mushafî) dengan melakukan analisis di dalamnya. Lihat M. Amin Suma, Ulumul Qur’an,
(Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 379. Quraish menambahkan hal-hal yang dianalisis dalam
penafsiran metode taẖlîlî ini adalah pengertian umum kosakata ayat, munâsabah/hubungan ayat
dengan ayat sebelum dan sesudahnya, sabab al-nuzûl, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik
dari ayat tersebut dari pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambahkan uraian tentang qirâ’ât,
iʻrab, serta keistimewaan susunan kata-katanya. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 378.
25
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 505.
20
para pakar yang telah diakui oleh dunia internasional karena telah banyak
meneliti mukjizat ilmiah yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadis selama
berpuluh-puluh tahun. Di Indonesia, karya mereka telah diterjemahkan menjadi
sebuah ensiklopedia mukjizat ilmiah yang tersusun dari enam seri berdasarkan
judul tertentu, yaitu: 1) Penciptaan Manusia; 2) Syariat Islam; 3) Penciptaan
Langit dan Alam Semesta; 4) Penciptaan Planet Bumi; 5) Gaya Hidup,
Kesehatan, dan Pengobatan; 6) Penciptaan Hewan dan Tumbuhan.26
Sedangkan di Indonesia, kitab tafsir bercorak ilmi yang disusun secara
tematik juga telah menghiasi khazanah keilmuan oleh para cendekiawan
muslim. Diawali dengan sebuah karya dari Dr. Mochtar Na’im, ilmuwan
Indonesia tamatan Institute of Islamic Studies di McGill University, telah
menghasilkan sebuah buku yang berjudul “Kompendium Himpunan Ayat-Ayat
al-Qur’an”. Buku ini pertama kali diterbitkan pertama kali di Jakarta oleh Gema
Insani Press pada tahun 1996. Buku ini memuat banyak seri diantaranya adalah
himpunan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Biologi dan Kedokteran;
Botani dan Zoologi; Geografi dan Fisika; Ekonomi; Hukum; Teologi; Etika dan
Sosial-Budaya; Kisah-Kisah Sejarah; Akhirat, Surga dan Neraka; dan Doa-Doa
dalam al-Qur’an.27
Selanjutnya Kementerian Agama RI juga mengambil peran untuk
menerbitkan beberapa kitab tafsir bercorak ilmi mengenai tema-tema tertentu
sejak tahun 2010 hingga 2016 yang disusun secara kolektif dengan melibatkan
para ulama dan ilmuwan yang terdiri dari Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an,
dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Semua yang terlibat
melakukan tugasnya masing-masing sehingga dapat melahirkan sebuah
penafsiran yang memiliki perpaduan lengkap dan seimbang antara kajian ilmu-
ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan.28
26
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis, (Jakarta: Lentera Abadi, 2012).
27
Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996).
28
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. xxvii.
21
29
‘Alî Iyyâzî, al-Mufassirûn, juz 1, h. 127.
30
Rubini, “Tafsir Ilmi”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, vol. 2, no. 2 (2016): 93.
31
Mannâʻ Khalîl al-Qaṯṯân, Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Madînah: Maktabah al-Ma’ârif,
2000), h. 340-342. Lihat juga al-Suyûṯî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 2, h. 467-472. Lihat juga
Nûr al-Dîn ‘Itr, ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, juz 1 (Dimasyq: Maṯba’ al-Sabâẖ, 1993), h. 250.
22
2. Bersih dari hawa nafsu, karena hawa nafsu dapat mendorong seorang
mufassir untuk membela kepentingan mazhabnya sendiri sehingga ia mampu
menipu manusia dengan perkataan yang halus dan penjelasan yang menarik.
3. Memulai penafsiran dengan tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân, karena bisa jadi
suatu ayat memiliki makna global, namun sebenarnya telah dijelaskan
rinciannya pada ayat yang lain.
4. Mencari penafsiran al-Qur’an dari sunnah Nabi Saw, karena beliau adalah
penjelas al-Qur’an pertama dan utama. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa
ketetapan Rasulullah Saw. berasal dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:
32
Khâlid ‘Abd al-Raẖmân al-Ak, Usûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduh, (Beirut: Dâr al-Nafîs,
1986), h. 224. Lihat juga Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, (Jakarta:
Amzah, 2007), h. 146-157.
24
33
Sayyid Muẖammad ‘Alî Iyyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtihim wa Munhajihim (Teheran:
Wizârah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1386 H), h. 129.
25
Tafsir Ilmi
34
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, h. 12-13.
26
35
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, h. 13.
BAB III
1
Muhammad Shohib, dkk., Profil Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2013), h.
2-3.
27
28
2
Muhammad Shohib, dkk., Profil Lajnah...., h. 4.
3
Muhammad Shohib, dkk., Profil Lajnah...., h. 42.
4
Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an” dalam
Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, h. xiii.
29
Penyusunan kitab tafsir ilmi ini didukung oleh kerjasama yang baik
antara Kementerian Agama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dalam upaya menjelaskan ayat-ayat kauniyah untuk penyempurnaan buku
al-Qur’an dan Tafsirnya. Hasil kajian ayat-ayat kauniyah ini dimasukkan ke
dalam tafsir tersebut sebagai tambahan penjelasan atas tafsir yang ada. Tim
kajian dan penyusunan tafsir ilmi ini terdiri dari para pakar yang dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu: (1) Tim syarʻi yang menguasai persoalan kebahasaan dan
hal lain terkait penafsiran al-Qur’an, seperti asbâb al-nuzûl, munâsabah al-âyât,
riwayat-riwayat dalam penafsiran, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya; (2) Tim
kauni yang menguasai persoalan-persoalan saintifik, seperti fisika, kimia,
geologi, biologi, astronomi, dan sebagainya. Kedua kelompok ini bersinergi
dalam membentuk ijtihâd jamâʻi (ijtihad kolektif) untuk menafsirkan ayat-ayat
kauniyah dalam al-Qur’an.5
Susunan tim penyusun tafsir ilmi sejak tahun 2011 terdiri dari:
Pengarah:
1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
2. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an
Narasumber:
1. Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt., M. Sc.
2. Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA.
3. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar
4. Prof. Dr. H. Muhammad Kamil Tajudin
5. Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA.
Ketua:
Prof. Dr. H. Hery Harjono
Wakil Ketua:
Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA.
Sekretaris:
Prof. Dr. H. Muhammad Hisyam
5
Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah ....”, h. xiii-xiv.
30
Anggota:
1. Prof. Dr. Thomas Djamaluddin
2. Prof. Dr. Ir. Arie Budiman, M. Sc.
3. Prof. Safwan Hadi, Ph. D.
4. Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA.
5. Prof. Dr. H. M. Darwis Hude, M. Si.
6. Prof. Dr. H. E. Syibli Syarjaya, MM.
7. Dr. H. Moedji Raharto
8. Prof. Dr. H. Soemanto Imamkhasani
9. Dr. Ir. H. Hoemam Rozie Sahil
10. Dr. Ir. M. Rahman Djuwansah
11. Dr. Ali Akbar
12. Dra. Endang Tjempakasari, M. Lib.
Selain bekerjasama dengan LIPI, beberapa instansi juga turut
membantu penyusunan buku ini, diantaranya adalah Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN), Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dan
Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB).6
Berikut ini judul-judul kitab tafsir ilmi yang telah diterbitkan oleh
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an sejak tahun 2010 hingga 2016, yaitu:
6
Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah.....”, h. xiv-xv.
31
Di dalam buku tafsir ilmi Kemenag RI, tim penyusun juga memaparkan
prinsip-prinsip dasar tafsir ilmi yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya
adalah7:
a. Memperhatikan arti dan kaidah-kaidah kebahasaan.
b. Memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan, sebab-sebab ayat dan surah al-
Qur’an, bahkan kata dan kalimatnya saling berkolerasi serta memahami
secara komprehensif atau tidak parsial.
c. Memperhatikan hasil-hasil penafsiran dari Nabi Saw., para sahabat, tâbiʻîn
dan ulama tafsir serta memahami ilmu-ilmu al-Qur’an seperti nâsikh-
mansûkh, asbâb al-nuzûl, dan sebagainya.
d. Tidak menggunakan ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmu untuk
menghukumi benar atau salahnya sebuah hasil penemuan ilmiah.
e. Memperhatikan kemungkinan satu kata atau ungkapan yang mengandung
banyak makna.
Muchlis M. Hanafi, “Kata Pengantar” dalam Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-
7
8
Al-Qaraḏâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 328.
9
Muẖammad Kâmil ‘Abd al-Samad, Mukjizat Ilmiah dalam al-Qur’an, Terj. Alimin &
Uzair Hamdan (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), h. 6-7.
33
manusia, melainkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dari Sang
Pencipta dan Pemilik alam semesta ini.10
a. Judul buku: Tafsir Ilmi Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains
b. Penerbit: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI
c. Tempat terbit: Jakarta
d. Tahun terbit: 2013
e. Jumlah halaman:
(1) 19 halaman berisi sambutan-sambutan dan kata pengantar oleh
Menteri Agama, yaitu Drs. Suryadharma Ali, M.Si; Kepala Badan
litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, yaitu Prof. Dr. Machasin,
M.A.; Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian
Agama RI, yaitu Drs. Muhammad Shohib, MA.; Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu Prof. Dr. Lukman Hakim;
dan kata pengantar dari salah satu perwakilan tim penyusun, yaitu
Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA.
(2) 131 halaman isi buku yang terdiri dari: tujuh bab (Pendahuluan;
Penciptaan Samudra; Peran Laut untuk Kehidupan Bumi; Laut
sebagai Tanda Kemahakuasaan Allah; Laut sebagai Rahmat Allah;
Bencana Kelautan; dan Penutup), Daftar Pustaka, dan Indeks.
f. Tebal buku: 2 cm
g. Panjang x lebar buku: 17,5 cm x 25 cm
10
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 497.
34
Dalam sub bab ini, penulis memaparkan klasifikasi data pada setiap bab
yang terdapat pada buku tafsir ilmi Kemenag RI tentang laut. Klasifikasi ini
terdiri dari pengantar, teks al-Qur'an utama yang merupakan landasan dari inti
penjelasan pada bab tersebut, argumen (terdiri dari ayat al-Qur’an penjelas,
hadis, dan hasil analisis penyusun), dan rujukan yang terdiri dari kitab-kitab
tafsir yang dirujuk oleh penyusun dalam menafsirkan ayat. Lebih jelasnya,
penulis menyajikannya dalam bentuk tabel sebagai berikut
Argumen
Teks al-
Pengantar Hasil Analisis Rujukan
Qur’an Ayat Hadis
Penyusun
Perumpamaan
kuasa Allah:
Pengulangan
Al-Kahf [18] : 109
ayat tentang
laut dalam al-
Pendahuluan
Al-Raẖmân [55] :
bertujuan - - laut di bumi -
18-25
untuk
menunjukkan
Kerusakan alam
kekuasaan
akibat ulah
Allah.
manusia:
Al-Rûm [30] : 41
Semua yang hidup - Tahapan - Tafsir al-
berasal dari air: terjadinya laut Qusyairi
Al-Anbiyâ’ [21] : - Fenomena - Tafsir al-
30 gunung api di Alûsî
bawah laut - Tafsir al-
Manfaat hujan: - Fenomena Muntakh
Al-Mu’minûn [23] : pangea yang ab
18 terpecah
Penciptaan Samudra
Semua benda di
alam bergerak dan
bertasbih:
Al-Isrâ’ [17] : 44
Al-Naml [27] : 88
35
sumber air Qâf [50] ayat Al-Jâtsiyâh [45] : menjadi bahan Qur’ân
melimpah 9-11 12 obat (Sayyid
adalah bentuk Ibrâhim [14] :32 - Gaya air yang Quṯb)
BAB V
Bintang sebagai
petunjuk arah:
Al-Anʻâm [6] : 97
Kapal:
Al-Mu’minûn [23] :
27
Yûnus [10] : 22
36
1
Tafsîr bi al-ma’tsûr yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya,
dengan hadis Nabi Muhammad Saw., perkataan sahabat, dan pendapat para tâbiʻîn. Model ini juga
bisa disebut dengan penafsiran menggunakan riwayat dan atsar-atsar. Lihat Mannâʻ al-Qaṯṯân,
Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 358.
2
Tafsîr bi al-ra’y, yaitu menjelaskan makna al-Qur’an atas pemahaman dan kesimpulan
yang diambil dari pemikiran seorang mufassir. Model ini bisa disebut dengan penafsiran yang
menggunakan rasio. Lihat Mannâʻ al-Qaṯṯân, Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 362.
3
Tafsîr bi al-isyârî atau al-sûfiyah, yaitu pemafsiran ayat al-Qur’an yang dipengaruhi
dengan pemikiran tasawuf yang berdasarkan pada penyucian jiwa, zuhud, kesederhanaan, dan
ibadah. Model ini bisa disebut dengan penafsiran yang menggunakan intuisi. Tafsîr bi al-isyârî
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, karena ada yang menganggapnya tidak termasuk ke
dalam sumber penafsiran, melainkan masuk ke dalam corak tafsir. Lihat Mannâʻ al-Qaṯṯân,
Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 366.
4
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
h. 55-56.
5
Metode Taẖlîlî adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan mendeskripsikan uraian
makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tertib urutan surat dan ayat al-
Qur’an (tartîb mushafî) dengan melakukan analisis di dalamnya yang meliputi pengertian umum
kosakata ayat, munâsabah, sabab al-nuzûl, qirâ’ât, iʻrab, dan sebagainya. Lihat Amin Suma,
Ulumul Qur’an, h. 379. Lihat juga Quraish, Kaidah Tafsir, h. 378.
6
Metode Ijmâlî adalah metode penafsiran yang hanya menguraikan makna-makna umum
yang terkandung pada ayat yang ditafsirkan. Mufassir langsung menjelaskan kandungan ayat secara
umum atau hukum dan hikmah yang dapat ditarik dari ayat yang ditafsirkan. Lihat Quraish, Kaidah
Tafsir, h. 381.
7
Metode muqâran adalah metode penafsiran yang membandingkan antara perbedaan ayat-
ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi berbeda, namun kandungannya sama; perbedaan ayat al-
Qur’an dengan hadis Nabi Saw.; dan perbedaan pendapat para mufassir terkait penafsiran ayat yang
sama. Lihat Quraish, Kaidah Tafsir, h. 382.
8
Metode mauḏûʻî merupakan metode penafsiran yang membahas tentang suatu persoalan
dalam al-Qur’an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya
yang kemudian dilakukan sebuah analisis menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat tertentu
37
38
Selanjutnya adalah corak tafsir atau biasa disebut dengan laun al-tafsîr
yaitu kecenderungan atau spesifikasi keilmuan seorang mufassir yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, dan mazhab yang
dianutnya. Apabila seorang mufassir adalah ahli bahasa, maka dia akan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui pendekatan kebahasaan atau disebut
dengan corak lughâwî. Apabila seorang mufassir adalah pakar ilmu
pengetahuan, maka ia akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui paradigma
ilmu pengetahuan atau biasa disebut dengan corak ‘ilmî.9
13
Musṯafâ Muslim, Mabâẖits fî al-Tafsîr al-Mauḏûʻî, h.15-16.
14
M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 391.
15
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 117.
40
Apabila dilihat dari corak atau laun al-tafsîr, tafsir ilmi Kemenag RI
sudah jelas termasuk ke dalam corak ilmi, yakni corak yang mengarahkan
penafsirannya kepada teori dan istilah ilmiah sebagai upaya untuk menjelaskan
ayat-ayat kauniyah.16 Maka dari itu, teori ilmiah hanya merupakan alat untuk
membantu mufassir dalam memahami ayat-ayat kauniyah yang dituangkan
menjadi sebuah penafsiran. Corak ilmi ini memberi kesempatan yang sangat luas
bagi mufassir untuk mengembangkan potensi keilmuan yang ada di dalam al-
Qur’an dan mengeksplorasi semua wawasan terkait ilmu pengetahuan yang
digeluti oleh mufassir dalam rangka membuktikan kebenaran al-Qur’an.
16
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 474.
17
Muẖammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur’ân al-Karîm
(Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1984), h. 774.
18
Abu Mansûr al-Azharî, Tahdzîb al-Lughah, juz 15 (Beirut: Dâr Iẖyâ’ al-Turâts al-‘Arabî,
2001), h. 460.
19
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 2.
20
Al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur’ân al-Karîm, h. 114.
21
Ibn Manẕûr, Lisân al-ʻArab, juz 4, h. 41.
41
2. 2 Al-Baqarah 164
3. 5 Al-Mâ’idah 96
22
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Manusia, h. 117-118.
23
Zaglul dan Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah..., h. 30.
42
4. 6 Al-Anʻâm 59
5. 6 Al-Anʻâm 63
6. 6 Al-Anʻâm 97
7. 7 Al-A’râf 138
8 7 Al-A’râf 163
9. 10 Yûnus 22
10. 10 Yûnus 90
11. 14 Ibrâhim 32
43
12. 16 Al-Naẖl 14
13. 17 Al-Isrâ’ 66
14. 17 Al-Isrâ’ 67
15. 17 Al-Isrâ’ 70
16. 18 Al-Kahfi 61
17. 18 Al-Kahfi 63
18. 18 Al-Kahfi 79
19.
18 Al-Kahfi 109
20.
21. 20 Ṯâhâ 77
22. 22 Al-Hajj 65
23. 24 Al-Nûr 40
44
24. 26 Al-Syuʻarâ’ 63
25. 27 Al-Naml 63
26. 30 Al-Rûm 41
27. 31 Luqmân 27
28. 31 Luqmân 31
29. 42 Al-Syûrâ 32
30. 44 Al-Dukhân 24
31. 45 Al-Jâtsiyah 12
32. 52 Al-Ṯûr 6
33. 55 Al-Raẖmân 24
2. 18 Al-Kahfi 60
45
3. 25 Al-Furqân 53
4. 27 Al-Naml 61
5. 55 Al-Raẖmân 19
2. 81 Al-Takwîr 6
3. 82 Al-Infiṯâr 3
24
Indarto, Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), h. 5-6.
25
Hudzaifah Ismail, Kerajaan al-Qur’an, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 269.
26
Ekosistem adalah komunitas makhluk hidup dan lingkungan fisiknya yang saling
berinteraksi. Lihat Mien A. Rifai, Kamus Biologi, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), h. 95.
47
Hewan buruan laut yang dimaksud dalam ayat ini adalah semua hewan
yang berada dan tinggal di laut, kecuali jenis katak dan kura-kura. Kedua
hewan ini diharamkan untuk dimakan karena merupakan hewan yang
tinggal di dua alam, yakni laut dan darat. Sedangkan makna adalah
makanan yang berasal dari laut termasuk juga di dalamnya hewan yang
telah mengapung di permukaan atau yang sudah menjadi bangkai. Hal ini
27
didasarkan pada hadis Nabi saw. (laut
27
Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î al-Kubrâ, juz 3 (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1991), h. 163.
28
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 7 (Tûnis: Dâr al-Suhnûn
li al-Nasyr wa al-Tauzîʻ, 1997), h. 51.
48
Ayat ini menerangkan bahwa penyebutan daging yang segar adalah ikan-
ikan yang berada di laut. Manusia juga dapat menikmati keindahan mutiara
yang berasal dari kerang/tiram yang berada di laut. Ada pula karang/koral
yang tumbuh di dasar laut.29 Ada juga terumbu karang yang merupakan
kumpulan polip karang, yakni binatang kecil dengan rangka keras yang
tersusun dari kalsium karbonat. Ganggang kecil tumbuh di dalam rangka
tersebut. Manfaat terumbu karang antara lain adalah: pemecah gelombang
alami, melindungi pantai, tempat yang sangat cocok bagi bibit ikan, dan
menjadi rumah bagi organisme kecil di lautan. Sedangkan di bidang
pariwisata, keindahan terumbu karang dapat memberikan sumber
pendapatan yang tinggi dengan cara dikunjungi oleh para wisatawan dari
mancanegara. Yang lebih hebat lagi, para ilmuwan telah menemukan
bahan kimia yang terkandung di dalam karang dapat menyembuhkan
penyakit HIV.30
3) Laut juga menjadi sumber mata pencaharian bagi para nelayan.
Kemudahan para nelayan untuk menangkap ikan di lautan terjadi akibat
adanya angin darat. Nelayan pergi ke laut ketika ada angin darat, yakni
angin berhembus dari darat ke laut yang terjadi pada malam hari. Mereka
berangkat dengan membawa lentera dan jala. Selain gerakan angin yang
dapat memudahkan nelayan bergerak ke tengah laut, menangkap ikan di
malam hari lebih mudah daripada di siang hari karena lentera yang nelayan
bawa merupakan sumber cahaya di mana plankton akan bergerak ke arah
cahaya sehingga ikan-ikan pun berkumpul di sekitar plankton untuk
memakannya. Pada kesempatan inilah nelayan bisa langsung menangkap
ikan dengan jala yang mereka bawa.31 Selain itu, laut juga bisa dijadikan
tempat pariwisata yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pekerjaan dan
pendapatan bagi manusia.32 Hal ini menunjukkan bahwa laut dapat
dijadikan pula sebagai sarana transportasi untuk mengantarkan manusia
29
Tantâwî Jauharî, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, juz 8 (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.th.), h. 73-74.
30
Evan Brothers Limited, Kelestarian Laut, Terj. Liliy Nurulia (Solo: Tiga Serangkai,
2009), h. 12.
31
Hudzaifah Ismail, Kerajaan al-Qur’an, h. 152.
32
Evan Brothers Limited, Kelestarian Laut, h. 6-7.
49
dari satu tempat ke tempat lain. Semua ini tertuang dalam firman-Nya yang
berbunyi:
Dalam hal ini manusia harus sadar bahwa Allah telah menundukkan
laut agar bisa dijadikan tempat berlayar bagi manusia. Penundukan laut
oleh Allah ini diantaranya adalah kapal dapat berjalan dengan bantuan
angin yang digerakkan oleh Allah33, sebagaimana yang dijelaskan pada
QS. Yûnus [10] ayat 22, yaitu:
.
Artinya: Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,
(dan berlayar) di lautan sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan
meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di
dalamnya) dengan tiupan angin yang baik.
33
Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta, (Bandung: Mizan, 2015), h. 523.
34
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 81.
50
b. Fenomena Laut
Topik selanjutnya yang sering muncul dalam pembahasan tafsir ilmi
adalah fenomena laut. Dalam buku tafsir ilmi Kemenag RI, fenomena laut ini
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: batas dua laut, ombak di atas ombak,
laut yang berlapis-lapis, dan api di bawah dasar laut. Penjelasan selengkapnya
akan penulis paparkan sebagai berikut.
1) Batas dua laut
35
Sahala Hutabarat & Stewart M. Evans, Pengantar Oseanografi, (Jakarta: UI Press, 1985),
h. 54-55.
36
Kasijan Romimohtarto & Sri Juwana, Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut, (Jakarta: Djambatan, 2007), h. 20.
51
Salah satu ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang batas dua laut
ini adalah QS. al-Furqân [25] ayat 53 yang berbunyi:
Ayat lain yang juga membicarakan fenomena ini adalah QS. al-Raẖmân [55]
ayat 19-20, QS. Fâṯir [35] ayat 12, dan QS. al-Naml [27] ayat 61.
Berdasarkan penelitian, para ahli kelautan berhasil menyingkap
adanya batas antara dua lautan yang berbeda. Mereka menemukan adanya
pemisah yang dinamakan front (jabhah). Di antara pertemuan dua laut
tersebut, terdapat lapisan-lapisan air pembatas yang berfungsi memelihara
karakteristik khas tiap laut dalam hal kadar berat jenis, kadar garam, biota
laut, suhu, dan kemampuan melarutkan oksigen.37 Hal ini juga bisa disebut
dengan “tegangan permukaan”, di mana antara dua laut tersebut tidak akan
pernah bercampur satu sama lain karena partikel tiap-tiap air menarik diri dari
yang lain sehingga menimbulkan semacam ketegangan di permukaan kedua
laut.38
Secara saintifik, batas dua laut dapat berupa batas horizontal, yaitu
ketika massa air laut yang satu berada di atas massa air laut yang lain, atau
batas vertikal, yaitu ketika massa air laut yang satu berada di sisi massa air
laut yang lain. Contoh pertemuan dua laut yang membentuk bidang pemisah
horizontal adalah pertemuan antara Laut Tengah atau Laut Mediterania yang
asin dengan salinitas39 38 ppt, dengan Lautan Atlantik Utara bagian timur
yang kurang asin dengan salinitas 36 ppt. Massa air Laut Mediterania yang
lebih berat bergerak di bawah masssa Lautan Atlantik Utara yang lebih
ringan. Contoh lainnya adalah pertemuan laut air tawar dan segar dengan laut
37
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 40.
38
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, h. 532.
39
Salinitas adalah ukuran konsentrasi total garam yang terlarut dalam air laut. Lihat Mien
A. Rifai, Kamus Biologi, h. 414.
52
air asin dan pahit ditemui pada Laut Cina Selatan dengan Lautan Pasifik di
perairan Laut Jawa.
Sedangkan pertemuan dua laut yang membentuk bidang pemisah
vertikal ditemui di sebelah timur Kepulauan Jepang. Tempat terjadinya di
pertemuan antara arus Oyashio yang dingin bergerak ke selatan dengan arus
Kuroshio yang hangat dan bergerak ke utara. Hal serupa juga ditemukan di
perairan Laut Agulhas, tempat terjadinya pertemuan massa air Lautan
Atlantik Selatan yang kurang asin dengan massa air Lautan Hindia yang
asin.40
40
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 43.
53
41
Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 18, h. 257.
42
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 43-45.
43
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, h. 542.
54
(kedalaman 0-80 m), lapisan disphotic atau twilight zone (kedalaman 80-
200 m), dan lapisan aphotic atau midnight zone (kedalaman lebih dari 200
m). Lapisan euphotic merupakan lapisan yang mendapat sinar matahari
yang cukup banyak. Lapisan disphotic merupakan lapisan yang kurang
mendapat sinar matahari, dan lapisan aphotic adalah lapisan yang tidak
mendapat sinar matahari. Inilah yang diungkapkan dalam ayat al-Qur’an
di atas sebagai “gelap gulita yang bertindih-tindih”. 44
Artinya: Dan laut yang di dalam tanahnya ada api. (QS. al-Ṯûr [52]:6).
Bagi sebagian orang, ayat di atas hanya bisa dibenarkan dengan
keimanan saja, terlebih lagi pada masa ayat itu diturunkan. Hal ini terbukti
masyarakat Arab mengenal makna sajara sebagai menyalakan tungku
pembakaran hingga membuatnya panas atau mendidih, sehingga dalam
persepsi mereka bahwa api dan air adalah sesuatu yang bertentangan dan
tidak mungkin bisa menyatu.45 Namun, dengan kemajuan IPTEK, lokasi
panas di dasar laut banyak dijumpai oleh para ilmuwan, yakni adanya
gunung api di dasar laut yang disebabkan oleh pertemuan dua lempeng
tektonik yang berimpitan dengan punggungan tengah samudra. 46 Hal ini
diperkuat lagi dengan adanya rangkaian gunung berapi (volcanic mountain
chain) yang membentang berpuluh-puluh ribu kilometer di dasar samudra.
Salah satu contohnya adalah gunung berapi di dasar Laut Merah dengan
suhu panasnya yang melebihi 1000º C yang berisi magma bebatuan yang
mampu menimbulkan pendidihan di dasar samudra.47
44
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 51-52.
45
Zaglul al-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunah, Terj. Zainal Abidin & Syakirun Ni’am,
(Jakarta: Amzah, 2006), h. 154.
46
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 47.
47
Zaglul al-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunah, h. 156-157.
55
48
.
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada yang menyebrangi laut
kecuali orang-orang yang berhaji, umroh, atau berperang di jalan Allah.
Sesungguhnya di bawah lautan terdapat api dan di bawah api terdapat
lautan”.
48
Abû Dâwud al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, juz 3 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 6.
49
Abû Ṯayyib Muhammad Syams al-Haq, ‘Aun al-Maʻbûd, (Madinah: al-Maktabah al-
Salafiyah, 1968), jilid 7, h. 167.
50
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, h. 539.
56
51
Machasin, “Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI” dalam Tafsir Ilmi:
Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, h. xi.
52
Atol adalah pulau karang yang rendah berbentuk cincin dengan bagian laut terkurung di
dalamnya menyerupai sebuah danau; rangkaian pulau karang kecil-kecil yang tersusun seperti
lingkaran. Lihat Mien A. Rifai, Kamus Biologi, h. 37.
53
Beting adalah bukit pasir yang tenggelam di laut dangkal dekat pantai. Lihat Mien A.
Rifai, Kamus Biologi, h. 56.
54
Kasijan Romimohtarto & Sri Juwana, Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut, h. 4.
55
Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1123.
57
danau dan sungai yang berada di Kalimantan, Jawa, dan Sumatera yang
bermuara ke Laut Cina Selatan dan Selat Makassar. Sedangkan Paparan
Sahul berada diantara Papua dan Australia serta mencakup Laut Arafuru
dan Laut Timor.56
Selain paparan, Indonesia juga memiliki banyak selat57 yang
terbentuk akibat pergerakan lempeng-lempeng tektonik, diantaranya
adalah Selat Sunda yang memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera serta
Selat Makassar yang memisahkan Pulau Sulawesi dan Pulau
Kalimantan.58
56
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 16-17.
57
Selat adalah laut di antara pulau-pulau. Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 1389.
58
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 20.
59
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 81.
60
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 74-75.
58
pelagis61 besar sekitar 1.165 juta ton, pelagis kecil sekitar 3.605 juta ton,
demersal62 sekitar 0,145 juta ton, udang dan cumi-cumi sekitar 0,128 juta
ton.63 Selain memiliki hasil laut yang melimpah ruah, Indonesia juga
memiliki taman-taman laut yang indah sehingga banyak dijadikan tempat
wisata, contohnya Laut Banda di Maluku, Bunaken dan Wakatobi di
Sulawesi, Raja Ampat di Papua, Pulau Seribu di Jakarta, dan beberapa
laut yang ada di Bali dan Lombok.64
61
Pelagis adalah ikan yang hidup di permukaan atau perairan pantai. Lihat Kamus Bahasa
Indonesia, h. 1141.
62
Demersal adalah ikan yang hidup di dekat dasar laut, tetapi mampu berenang secara
bebas aktif. Lihat Mien A. Rifai, Kamus Biologi, h. 78.
63
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 61.
64
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h, 57.
65
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 101-102.
59
66
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 103-106.
67
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 109-110.
68
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 111.
69
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 115.
60
70
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 118.
71
Nama lengkapnya adalah Muẖammad Ṯâhir Ibn ‘Asyûr, lahir di Tûnis pada tahun 1296
H//1878 M dan wafat pada tahun 1393 H/1973 M. Beliau menulis kitab al-Tahrîr wa al-Tanwîr ini
pada tahun 1340 H-1380 H. Kitab ini terdiri dari 30 juz dalam 15 jilid yang disusun secara taẖlîlî.
(Lihat ‘Alî Iyyâzî, al-Mufassirûn, juz 1, h. 358-359). Kitab ini dapat dikategorikan kitab tafsir ilmi
karena beliau termasuk mufassir yang menerapkan teori-teori ilmiah dalam memahami ayat
terutama yang terkait dengan iptek dan alam. Hal ini bisa diperhatikan dalam kitab tafsir beliau
ketika menerangkan ayat-ayat kauniyah. Lihat Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-Kitab
Tafsir (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013).
72
Alasan penulis memilih Zaglul dan al-Kahil adalah karena beliau merupakan profesor di
bidang geologi yang memiliki banyak kajian ilmiah yang bericirikan keseimbangan, proporsional,
dan menjauhi sikap ekstrem. Lihat Yûsuf al-Qaraḏâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, h. 324.
73
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 27-32.
61
74
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 43.
62
75
Muslim al-Naisâbûrî, Saẖîẖ Muslim, Terj. Masyhari, dkk., jilid 2 (Jakarta: Almahira,
2012), h. 709-710.
76
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 44.
63
api pada ayat (QS. al-Ṯûr ayat 6) atau dengan air (banjir) pada
77
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 455.
78
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 451.
64
penafsiran Zaglul dan Ibn ‘Âsyûr memiliki kesamaan di mana penafsiran QS.
al-Takwîr ayat 6 diartikan dengan meluapnya air laut sehingga menyebabkan
banjir. Zaglul menambahkan bahwa penyebab meluapnya air laut ini
dikarenakan adanya letusan gunung berapi di dasar laut yang menyembur
hingga ke permukaan.
79
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspekif al-Qur’an dan Sains,
h. 16
80
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 481.
81
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 483.
65
yang sama dengan makna pada QS. al-Infiṯâr yang artinya sama-sama
dipenuhi dengan air atau juga bisa dikatakan banjir.82 Dari sini, penulis
menyimpulkan bahwa penafsiran yang dilakukan tim penyusun tafsir ilmi
Kemenag RI kurang memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan dan
menafsirkan ayat tersebut secara parsial dan tidak komprehensif. Dalam hal ini,
QS. al-Infiṯâr ayat 3 yang ditafsirkan dengan penjelasan ke-Indonesia-an terkait
adanya paparan atau laut dangkal di Indonesia tidak sesuai dengan konteks ayat
yang membicarakan tentang peristiwa yang terjadi pada hari kiamat.
c. Kemudahan Kapal Berlayar (taskhîr al-fulk) pada QS. Ibrâhîm [14] ayat 32
Dalam tafsir ilmi kemenag RI, kemudahan kapal melaju di atas air
dijelaskan karena air laut yang bersifat kohesif, yakni lunak dan mudah terurai
maksudnya adalah air mudah ditembus oleh kapal sehingga kapal tersebut
mudah melaju membelah permukaan air laut. Gaya kohesi pada air ini
merupakan gaya tarik-menarik antarmolekul yang sama. Molekul pada air laut
ini terdiri dari atom hidrogen dan oksigen yang membentuk ikatan kovalen83
dengan rumus kimia H₂O. Air memiliki gaya kohesi lebih lemah daripada
benda padat sehingga berpengaruh pada kerapatan dan jarak antarmolekulnya.
Inilah yang menyebabkan air mudah dipisah atau ditembus oleh benda padat,
sehingga kapal mudah melaju membelah permukaan air.84
Sedangkan yang dijelaskan oleh Zaglul dan al-Kahil dalam bukunya,
kemudahan kapal berlayar berkaitan dengan perintah dan wahyu Allah kepada
Nabi Nuh untuk membuat kapal dari kayu. Mereka menjelaskan bahwa kayu
adalah bahan terbaik untuk membuat kapal karena kayu memiliki sifat yang
ringan jika ia berada di atas air. Tatacara membuat kapal adalah kayu dibeber
seperti papan agar bertambah lebar serta daya tekannya bertambah. Kemudian
kayu tadi diperkuat dengan paku dan benda-benda yang bisa mencegah resapan
82
Ibn Manẕûr, Lisân al-‘Arab, juz 4, h. 345.
83
Kovalen adalah reaksi yang disebabkan oleh gabungan pasangan elektro antara dua atom.
Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 817.
84
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 69-70.
66
air sehingga kapal tidak tenggelam.85 Selain itu, rahasia kapal bisa mengapung
di permukaan laut karena adanya bagian kapal yang tenggelam di dalam laut
sesuai dengan ukuran besar/kecilnya kapal tersebut. Dalam hal ini berlaku
hukum Archimedes bahwa tekanan (daya tolak) bertambah dengan
bertambahnya ukuran benda yang tenggelam di air. Dalam hal ini, Allah
menganalogikan kapal dengan gunung sebagaimana terdapat pada QS. al-
Syûrâ [42]:32. Gunung bagaikan pasak yang sebagiannya tampak di atas bumi
dan bagian yang lain berada di bawah bumi. Begitu juga dengan kapal, ia
membutuhkan bagian yang tenggelam di dalam air untuk menjaga
keseimbangan dan menjauhkannya dari bahaya tenggelam.86
Menurut Ibn ‘Âsyûr, kemudahan berlayarnya kapal disebabkan karena
Allah memberi ilham kepada manusia untuk merancang kapal dengan bentuk
dan sistem yang memudahkannya bergerak di air tanpa hambatan. Maka,
penggunaan kata taskhîr yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang
transportasi laut diartikan sebagai kemudahan untuk mengarungi laut lepas.87
Penafsiran Zaglul dan Ibn ‘Âsyûr tentang taskhîr al-fulk sama-sama
dikaitkan dengan kondisi dan bentuk kapal yang baik sehingga ia mudah
berlayar di laut. Sedangkan tafsir ilmi Kemenag RI menafsirkan taskhîr al-fulk
dengan sifat air laut yang mudah ditembus oleh kapal. Apabila dilihat secara
sekilas, kedua penafsiran di atas memang saling berkaitan dalam memudahkan
kapal berlayar, namun apabila dilihat dari redaksi taskhîr al-fulk yang secara
bahasa diartikan dengan penundukan kapal, maka penjelasan air yang memiliki
sifat kohesif tidak termasuk ke dalam pengertian taskhîr al-fulk. Dalam hal ini,
penafsiran tim penyusun Kemenag RI kurang memperhatikan pendapat ulama
tafsir sehingga hasil penafsirannya terlihat bertentangan.
85
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 120.
86
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 121-122.
87
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 13, h. 425.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari telaah yang penulis lakukan atas kitab tafsir ilmi Kementerian
Agama RI ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Penafsiran yang dilakukan oleh tim penyusun tafsir ilmi ini mencakup:
a. Uraian sains yang mendalam mengenai penafsiran ayat-ayat tentang
laut, baik dari hasil riset/penelitian orang lain yang dimasukkan ke
dalam penjelasan di dalam buku ini maupun hasil penelitian yang
dilakukan oleh tim LIPI.
b. Fakta seputar laut di Indonesia yang merupakan bentuk sosialisasi
pemerintah Indonesia terkait lautan yang ada di negeri ini. Adanya
penjelasan ini merupakan ciri khas dan kelebihan yang dimiliki oleh
kitab tafsir ilmi Kemenag RI dibanding kitab-kitab tafsir bercorak ilmi
lainnya. Penjelasan ini merupakan salah satu upaya tim penyusun dalam
memperkaya penafsiran ayat-ayat tentang laut yang kemudian dikaitkan
dengan realitas yang ada di Indonesia.
c. Penafsiran ulama tafsir dalam beberapa ayat yang berkaitan dengan
samudra untuk menguatkan penafsiran ilmiah yang telah dijelaskan oleh
tim penyusun.
2. Dari beberapa penafsiran terkait ayat-ayat kauniyah dalam buku ini, penulis
menemukan beberapa perbedaan penafsiran dengan kitab tafsir bercorak
ilmi lainnya, diantaranya terdapat pada penafsiran QS. al-Takwîr [81] ayat
6, QS. al-Infiṯâr [82] ayat 3, dan taskhîr al-fulk. Analisis ini diperoleh dari
perbandingan penafsiran buku tafsir ilmi Kemenag RI dengan penafsiran
Ibn ‘Âsyûr dalam kitab al-Taẖrîr wa al-Tanwîr dan penafsiran Zaglul serta
al-Kahil dalam I’jâz al-‘Ilmî fî al-Qur’ân wa al-Sunnah.
67
68
B. Saran
Setelah mengkaji kitab tafsir ilmi Kemenag RI, khususnya tema tentang
laut, penulis menyadari bahwa masih banyak celah dalam penelitian ini hingga
membutuhkan kajian lebih lanjut tentang tafsir ilmi tersebut. Berdasarkan
penelusuran yang penulis lakukan pada tinjauan pustaka, masih sedikit
penelitian yang membahas tentang tafsir ilmi Kemenag RI, padahal ada sekian
banyak tema yang diusung oleh tim penyusun Kemenag RI. Peneliti selanjutnya
dapat memilih salah satu tema dari tema-tema tersebut dan bisa dikomparasikan
dengan kitab tafsir ilmi lainnya sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang
beragam dan kaya akan pengetahuan.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan dari awal hingga akhir,
tentulah masih banyak kekurangan, baik yang berkaitan dengan ide, sistematika
penulisan dan pemilihan kata-kata. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman demi
kesempurnaan penelitian ini dan penelitian-penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-ʻAk, Khâlid ‘Abd al-Raẖmân. Usûl al-Tafsîr wa Qawâ’iduh. Beirut: Dâr al-
Nafîs. 1986.
Anshori. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Al-Azharî, Abu Mansûr. Tahdzîb al-Lughah. Beirut: Dâr Iẖyâ’ al-Turâts al-‘Arabî.
2001.
Faizin. “Integrasi Agama dan Sains dalam Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI”.
Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no.1 (2017): 19-33.
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Beirut: Dâr al-Maʻrifah. t.th.
Hakim, Husnul IMZI. Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir. Depok: Lingkar Studi al-
Qur’an. 2013.
69
Kartanegara, Mulyadhi. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan. 2003.
Limited, Evan Brothers. Kelestarian Laut. Terj. Liliy Nurulia. Solo: Tiga
Serangkai. 2009.
Al-Najjar, Zaglul. Pembuktian Sains dalam Sunah. Terj. Zainal Abidin & Syakirun
Ni’am. Jakarta: Amzah. 2006.
Al-Najjar, Zaglul dan Abdul Daim al-Kahil. Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-
Qur’an dan Hadis: Penciptaan Manusia. Terj. Tim Penerbit Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Lentera Abadi. 2012.
Al-Nasâ’î, Abû ‘Abd al-Rahmân. Sunan al-Nasâ’î al-Kubrâ. Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah. 1991.
Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Dep. Pendidikan
Nasional. 2008.
Al-Qâḏî, Abd al-Fattâẖ ibn ‘Abd al-Ghanî. al-Farâid al-Hisân fî ‘Add Ây al-
Qur’ân. Madînah: Maktabah al-Dâr. 1983
70
Al-Qaraḏâwî, Yûsuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan.
Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani. 1998.
Romimohtarto, Kasijan & Sri Juwana. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. Jakarta: Djambatan. 2007.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah.
2007.
Rubini. “Tafsir Ilmi”. Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, vol. 5, no. 2
(2016): 89-115.
________., et. al. Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2013.
Al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr al-Fikr. t.th.
Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Fikr. 1979.
71
Syirbasi, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1985.
Thayyarah, Nadiah. Buku Pintar Sains dalam al-Quran. Terj. Zaenal Arifin dkk.
Jakarta: Zaman. 2014.
Al-Zindani, Abdul Majid bin Aziz, et.al. Mukjizat al-Qur’an dan As-Sunnah
tentang IPTEK. Jakarta: Gema Insani Press. 1997.
72