Anda di halaman 1dari 86

AL-BAHR FÎ AL-QUR’ÂN: TELAAH TAFSIR ILMI

KEMENTERIAN AGAMA RI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:
Khanifatur Rahma
11140340000015

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
ABSTRAK

Khanifatur Rahma
Al-Baẖr fî al-Qur’ân: Telaah Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI

Keberadaan tafsir ilmi melahirkan perdebatan di kalangan para ulama yang


terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok yang mendukung dan
kelompok yang menolak tafsir ilmi. Posisi tafsir ilmi Kemenag RI sejatinya
memang berada di pihak kelompok yang mendukung tafsir ilmi, namun hal ini
lebih dianggap sebagai usaha untuk mengembangkan misi dakwah Islam di tengah
kemajuan ilmu pengetahuan. Fungsi teori ilmiah yang terdapat dalam tafsir ilmi
berfungsi sebagai alat untuk memahami ayat-ayat kauniyah yang terdapat di
dalam al-Qur’an. Skripsi ini bertujuan untuk menguraikan penafsiran ayat-ayat
mengenai laut dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI dan menjelaskan perbedaan
penafsiran dalam kitab ini dengan kitab tafsir ilmi lainnya.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif yang menggunakan
metode analisis-deskriptif untuk memaparkan gambaran umum tafsir ilmi
Kemenag RI dan termasuk dalam penelitian library research (studi kepustakaan).
Sedangkan untuk mengumpulkan data, penulis mencari beberapa penelitian
terdahulu yang relevan dengan skripsi ini. Setelah data terkumpul, penulis
mengklasifikasikannya ke dalam dua sumber, yaitu sumber primer dan sekunder.
Pertama, sumber primer dalam penelitian ini adalah buku Tafsir Ilmi Kemenag
RI yang bertema tentang laut. Kedua, sumber sekunder dalam penelitian ini terdiri
dari buku-buku dan tulisan ilmiah lainnya yang berupa skripsi, tesis, disertasi,
jurnal, dan artikel yang relevan dengan skripsi ini. Adapun teknik penulisan yang
digunakan dalam penelitian ini berpedoman pada Surat Keputusan Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah penafsiran yang disajikan oleh tim
penyusun tafsir ilmi Kemenag RI mencakup uraian sains yang mendalam terkait
penafsiran ayat-ayat tentang laut; fakta seputar laut yang ada di Indonesia yang
merupakan bentuk sosialisasi pemerintah Indonesia. Penjelasan inilah yang
merupakan ciri khas dan kelebihan yang dimiliki tafsir ilmi Kemenag RI dan tidak
ditemukan pada kitab-kitab tafsir bercorak ilmi lainnya; dan penafsiran ulama
tafsir yang berkaitan dengan laut untuk menguatkan penafsiran ilmiah yang
dilakukan oleh tim penyusun. Selain itu, penulis menemukan beberapa penafsiran
yang berbeda dengan kitab tafsir ilmi lainnya, yaitu kitab al-Taẖrîr wa al-Tanwîr
karya Ibn ‘Âsyûr dan Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah karya Zaglul dan al-Kahil.
Perbedaan tersebut terletak pada penafsiran QS. al-Takwîr [81] ayat 6, QS. al-
Infiṯâr [82] ayat 3, dan QS. Ibrâhîm [14] ayat 32.

Kata kunci: tafsir ilmi Kemenag RI, laut.

v
KATA PENGANTAR

Bismillâh, alhamdulillâh rabb al-‘âlamîn, laka al-hamd wa laka al-syukru,


segala puja dan puji syukur hanya patut dipersembahkan kepada Allah Swt. Tuhan
pencipta alam raya dengan segala keagungan-Nya. Atas kehendak dan bimbingan-
Nya, skripsi ini bisa terselesaikan meski melalui berbagai lika-liku di dalam proses
pembuatannya. Shalawat serta salam beriring kerinduan senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw., seorang tauladan terbaik bagi umat manusia dalam
menempuh kehidupan ini dan kepada para sahabat serta keluarganya yang selalu
setia menyertai pahit dan manisnya perjuangan beliau.
Dengan penuh kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tersusunnya
skripsi ini tidaklah berarti apa-apa tanpa bantuan, motivasi, dan doa dari orang-
orang tercinta, maka dari itu penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah: Prof. Dr. Dede
Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Lilik Ummi Kaltsum,
MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, dan Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
2. Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA. selaku dosen pembimbing yang selalu
sabar, meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis hingga
dapat menyelesaikan skripsi ini. Jazâhumullâh ahsanal jazâ’.
3. Dr. Eva Nugraha, MA. yang telah meluangkan waktunya untuk mengoreksi
dan memberi masukan kepada penulis atas kekurangan skripsi ini sebelum
disidangkan.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin khususnya para dosen yang telah
mengajarkan dan memberikan banyak ilmu kepada penulis selama
perkuliahan.
5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin, Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Iman Jama’, dan Pusat Studi al-Qur’an sebagai tempat mencari
referensi dari berbagai buku dan menjadi tempat yang nyaman bagi penulis
dalam menyusun skripsi ini.

vi
6. Yang tercinta kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Sutaman dan Ibunda
Nuriyati Diana yang tak henti-hentinya memotivasi dan mendoakan penulis.
Mereka yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang yang utuh walaupun
terhalang oleh jarak yang jauh, tetapi cinta dan kasih sayang itu tersampaikan
lewat lantunan doa yang selalu beliau kirimkan tanpa diminta sekalipun. Semoga
penulis selalu mendapatkan ridha mereka dalam setiap langkah yang akan dilalui
dan bisa berbakti kepada keduanya.
7. Kepada Mas Ibnu Septiyarudin, sosok kakak yang dengan ikhlas membiayai
perjalanan hidup penulis selama di perantauan. Semoga selalu diberi
keberkahan atas rezekinya dan mendapat balasan yang berlipat ganda dari
Allah yang Maha Kaya. Terimakasih juga untuk semua keluarga besar yang
ada di Malang dan Blitar atas doa-doanya sehingga penulis mampu
menyelesaikan studi ini.
8. Teristimewa untuk keluarga LTTQ Fathullah. Terimakasih sudah
membersamai dan menjadi tempat yang paling nyaman selama empat tahun
ini. Banyak kisah yang menyisakan canda, tawa, bahagia, dan lain-lain yang
tak akan mudah untuk dilupakan. Terimakasih untuk kakak-kakak yang sabar
membimbing, teman-teman, dan adik-adik yang senantiasa menemani
perjuangan mengabdi di lembaga ini. Semoga LTTQ selalu sukses dalam
memasyarakatkan al-Qur’an.
9. Kepada teman-teman mulazamah PP. Nurul Hikmah dan Rumah Tahfizh
Alif, khususnya Alif 2. Terimakasih sudah menjadi obor penyemangat bagi
penulis untuk ikut ber-fastabiqulkhoirot dalam memperjuangkan al-Qur’an.
10. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu. Terimakasih atas kebaikan, kebersamaan, sharing, support, dan
segalanya. Semoga tali persaudaraan ini akan tetap terjaga hingga kapanpun.
11. Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung ikut serta
membantu penyelesaian skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih yang tak
terhingga, semoga segala bantuan dan doa dari semua pihak mendapat balasan
dari Allah Swt.

vii
Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi pengembangan ilmu
pengetahuan nantinya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak
menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk penulisan yang lebih baik dan sebagai
pengembangan kajian di waktu yang akan datang.

Ciputat, 4 Oktober 2018


24 Muharram 1440 H
Ttd,

Khanifatur Rahma
Penulis

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman


pada Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507
Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ت‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j je

‫ح‬ ẖ h dengan garis bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r er

‫ز‬ z zet

‫س‬ s es

‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis bawah

‫ض‬ d de dengan garis bawah

‫ط‬ t te dengan garis bawah

‫ظ‬ z zet dengan garis bawah

‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q qi

‫ك‬ k ka

ix
‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w We
‫ھ‬ h ha
‫ء‬ ’ apostrof
‫ي‬ y ye

2. Vokal
Vokal dalam Bahasa Arab seperti vokal Bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


َ- A Fatẖah

َ- I Kasrah

َ- U Ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah


sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ ي‬--- ai a dan i

‫ و‬--- au a dan u

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) yang dalam Bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

nâ a dengan topi di atas


nî i dengan topi di atas
nû u dengan topi di atas

x
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.

5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan tanda (َ-) dalam alih aksaran ini dilambangkan

dengan huruf, yaitu menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak beraku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata

(‫ )الضرورة‬tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat


pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh 2). Namun, jika
huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
ṯarîqah

al-jâmiʻah al-islâmiyyah

waẖdat al-wujûd

7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

xi
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
Al-Ghazâlî, al-Kindî bukan Al-Kindî, kecuali penulisan kata al-Qur’an baik
di awal, tengah, atau akhir kalimat, bukan Al-Qur’an.

8. Cara Penulisan Kata


Setiap kata baik kata kerja (fiʻl), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam Bahasa Arab dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu

tsabata al-ajru
al-ẖarakah al-‘asriyyah

asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh


Maulânâ Malik al-Sâliẖ

yu’atstsirukum Allâh

al-maẕâhir al-‘aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka,
nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muẖammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Faḏl al-
Raẖmân.

xii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN` ......................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................................................6
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................................6
D. Manfaat Penelitian .............................................................................................6
E. Tinjauan Pustaka................................................................................................7
F. Metode Penelitian ..............................................................................................10
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................11

BAB II TAFSIR ILMI


A. Pengertian Tafsir Ilmi ........................................................................................13
B. Sejarah Perkembangan Tafsir Ilmi ....................................................................17
C. Syarat-Syarat dan Adab bagi Mufassir Tafsir Ilmi ............................................21

BAB III GAMBARAN UMUM TAFSIR ILMI KEMENAG RI TENTANG


LAUT
A. Mengenal Tafsir Ilmi Kemenag RI ....................................................................27
1. Sejarah Singkat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an ..............................27
2. Latar Belakang Pembuatan Tafsir Ilmi ........................................................28
B. Studi Kitab Tafsir Ilmi Kemenag RI .................................................................33
1. Sistematika Kitab Tafsir Ilmi Kemenag RI .................................................33
2. Klasifikasi Data dalam Kitab Tafsir Ilmi tentang Laut ................................34

xiii
BAB IV TELAAH TAFSIR ILMI KEMENAG RI TENTANG LAUT
A. Telaah Penafsiran Mengenai Laut dalam al-Qur’an ..........................................37
1. Sumber, Metode, dan Corak Penafsiran .....................................................37
2. Penafsiran Ayat-Ayat tentang Laut .............................................................40
a. Manfaat Laut untuk Kehidupan .............................................................45
b. Fenomena Laut ......................................................................................50
c. Sosialisasi Pemerintah Indonesia ke dalam Tafsir Ilmi .........................55
3. Perbedaan Penafsiran Tafsir Ilmi Kemenag RI dengan Kitab
Tafsir Ilmi Lainnya ......................................................................................60
a. Penafsiran QS. al-Takwîr [81] ayat 6 ....................................................60
b. Penafsiran QS. al-Infiṯâr [82] ayat 3 ......................................................64
c. Kemudahan Kapal Berlayar (taskhîr al-fulk) ........................................65

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................67
B. Saran ..................................................................................................................68

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................69

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai ilmu pengetahuan, al-Qur’an sebagai kitab suci


umat Islam sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan bahkan memberikan
penghargaan terhadap generasi ulûl albâb dan kaum cendekiawan yang
memanfaatkan akalnya untuk merenungi dan memperhatikan ilmu. Isyarat ini
terbukti dari berbagai derivasi kata ilmu yang termuat dalam al-Qur’an hingga
ratusan kali. Perintah iqra’ merupakan ayat pertama yang turun dengan indikasi
bahwa manusia diperintahkan Allah Swt. untuk melihat alam dengan
mengunggulkan ilmu. Telah dijelaskan pula dalam surah al-Baqarah bahwa
keistimewaan manusia hingga mampu mengungguli malaikat guna menjadi
khalifah di bumi adalah dengan ilmu yang diberikan oleh Allah Swt. Hal ini
menunjukkan potensi manusia untuk mengetahui rahasia alam dan
memanfaatkannya guna mengemban amanah tersebut.1
Al-Qur’an memiliki perhatian besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat-ayat kauniyah (yang
membicarakan tentang alam) tersebar di dalam al-Qur’an. Dari keseluruhan ayat
al-Qur’an yang berjumlah 6200-an2, ada sekitar 750-1000 ayat-ayat kauniyah.
Jumlah ini cukup banyak apabila dibandingkan dengan ayat-ayat hukum yang
hanya berjumlah sekitar 250 ayat.3 Dari sinilah diperlukan karya-karya ilmuwan
muslim untuk melahirkan sebuah pemahaman berupa tafsir ilmi yang bertujuan
untuk mengekspolari ayat-ayat kauniyah.

1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 408.
2
Ulama berbeda pendapat mengenai jumlah keseluruhan ayat al-Qur’an. Terdapat tujuh
macam pendapat, diantaranya: ulama Madînah awal terbagi menjadi dua versi, yaitu riwayat ahl
Kuffah dari ahl Madînah berpendapat bahwa seluruh ayat al-Qur’an berjumlah 6217 ayat, sedangkan
riwayat ahl Basrah dari Warsy berpendapat 6214 ayat; ulama Madînah akhir berpendapat 6214 ayat;
ulama Makkah berpendapat 6210 ayat; ulama Basrah berpendapat 6204 ayat; ulama Damaskus ada
yang berpendapat 6226 ayat dan ada yang berpendapat 6227 ayat; ulama Hims berpendapat 6232
ayat; dan ulama Kuffah berpendapat 6236 ayat. Lihat: ‘Abd al-Fattâẖ ibn ‘Abd al-Ghanî al-Qâḏî, al-
Farâid al-Hisân fî ‘Add Ây al-Qur’ân, juz 1 (Madînah: Maktabah al-Dâr, 1983), h. 25-27.
3
Keterangan ini diperoleh dari Zaglul al-Najjar yang dikutip oleh Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2013), h. xxiii.

1
2

Tafsir ilmi merupakan ijtihad mufassir untuk mengungkap hubungan


ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur’an dengan penemuan ilmiah yang bertujuan
untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an.4 Namun, keberadaan tafsir ilmi
menuai perdebatan di kalangan para ulama. Perdebatan ini terbagi menjadi dua
kelompok besar, yakni kelompok yang mendukung hadirnya tafsir ilmi di tengah
atmosfer kajian keilmuan dan kelompok yang menolak kehadiran tafsir
hasinilmi sebagai suatu usaha memaksakan penafsiran ayat al-Qur’an dengan
penemuan ilmiah. Di antara ulama yang mendukung keberadaan tafsir ilmi
adalah Abû Hâmid al-Ghazâlî yang menyatakan bahwa semua pemahaman dari
al-Qur’an yang terdiri atas berbagai teori tentang alam merupakan petunjuk dari
al-Qur’an yang dapat diperoleh melalui usaha orang-orang yang ingin
memahami rahasia-Nya dan mempunyai kedalaman ilmu sehingga tersingkaplah
segala rahasia al-Qur’an.5
Selanjutnya al-Suyûṯî dalam kitabnya juga menukil beberapa teks al-
Qur’an, hadis nabawî, dan atsar yang menunjukkan bahwa al-Qur’an mencakup
semua bidang ilmu pengetahuan.6 Kemudian Muẖammad ‘Abduh
merealisasikan tafsir ilmi ke dalam penafsirannya pada QS. al-Fîl. Beliau
menafsirkan kata al-ṯair ( ) dengan makna mikroba dan kata al-hijârah

( ) ditafsirkan menjadi bakteri penyakit. Contoh ini sebagaimana yang

dijelaskan oleh ‘Abd al-Majîd al-Muẖtasib dalam kitabnya.7


Di samping itu, tafsir ilmi juga menuai banyak protes yang tajam dari
sejumlah ulama, diantaranya adalah Abû Isẖâq al-Syâṯibî yang dianggap sebagai
pimpinan para ulama klasik yang kontra terhadap tafsir ilmi. Menurut beliau,
ulama salaf pada zaman Nabi Saw., sahabat, tâbiʻîn, dan generasi setelahnya
merupakan orang-orang yang paling memahami al-Qur’an dan ilmu-ilmu di
dalamnya, tetapi mereka tidak menyampaikan tentang ketetapan ilmu-ilmu

4
Quraish Shihab, et. al., Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 183.
5
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1 (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, t.th.), h. 303.
6
Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979),
h.125-126.
7
‘Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm al-Muẖtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Râhin (‘Amân:
Maktabah al-Nahḏah al-Islâmiyyah, 1982), h. 265-267.
3

modern seperti pada masa ini. Selain itu, tujuan al-Qur’an adalah untuk
menguraikan hukum-hukum Islam dan segala yang berkenaan dengan akhirat.8
Dalam kitabnya, ‘Abd al-Majîd al-Muẖtasib juga menjelaskan beberapa
ulama yang menolak adanya tafsir ilmi, antara lain pendapat Maẖmûd Syalṯût
yang hampir sama dengan al-Syâṯibî bahwa manusia hanya diberi ilmu yang
sedikit untuk mengetahui rahasia Allah sehingga al-Qur’an bukanlah kitab yang
harus berisi dengan penjelasan hakikat-hakikat alam, tetapi merupakan kitab
hidayah, penyempurna kitab-kitab samawi sebelumnya, dan berisi syariat-
syariat Islam. Hal ini beliau landaskan pada QS. al-Isrâ’ [17] ayat 85.9
Selanjutnya ‘Izzah Darwazah, penulis kitab al-Tafsîr al-Hadîts yang menilai
bahwa persoalan menafsirkan al-Quran dengan teori-teori ilmiah dan
semacamnya bisa melampaui batas hingga dapat menjadikan al-Qur’an keluar
dari kesakralan dan tujuannya.10
Selain itu, ada pula kubu yang dianggap moderat dalam menyikapi
keberadaan tafsir ilmi, yakni Yûsuf al-Qaraḏâwî yang berpendapat bahwa
seorang peneliti tafsir ilmi tidak boleh memaksakan asumsi yang masih menjadi
perdebatan dan belum valid untuk digunakan sebagai sebuah penafsiran. Hal
tersebut dikhawatirkan apabila teori tersebut di hari kemudian telah terbukti
tidak benar, maka dampak negatifnya akan berpengaruh terhadap al-Qur’an.11
Dalam hal ini, penulis menyimpulkan bahwa Yûsuf al-Qaraḏâwî sejatinya
berada di pihak kelompok yang mendukung adanya tafsir ilmi, namun beliau
memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam menafsirkan al-
Qur’an dari sisi ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kesalahan yang fatal.
Dari perdebatan ulama terhadap tafsir ilmi oleh dua kelompok tersebut,
faktor yang mempengaruhi terjadinya perdebatan itu adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dijadikan sebagai penafsiran atas ayat-ayat
kauniyah. Kelompok yang menolak adanya tafsir ilmi berargumen bahwa
karakteristik ilmu pengetahuan yang bersifat tidak tetap dan berubah-ubah

8
Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâṯibî, al-Muwâfaqât, juz 2 (Dâr Ibn ‘Affân, 1997), h. 127.
9
Al-Muẖtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Râhin, h. 306-307.
10
Al-Muẖtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Râhin, h. 308-309.
11
Yûsuf al-Qaraḏâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 323.
4

sehingga tidak pantas jika disandingkan dengan al-Qur’an yang bernilai absolut.
Sedangkan bagi kelompok yang mendukung tafsir ilmi, mereka menilai bahwa
tafsir ilmi bertujuan untuk membangun kesatuan paradigma bahwa antara al-
Qur’an dan ilmu pengetahuan tidak saling bertentangan.12
Berdasarkan rangkaian perdebatan tafsir ilmi di atas, Muchlis Hanafi
sebagai salah satu penyusun buku tasfir ilmi Kemenag RI menjelaskan bahwa
tafsir ilmi Kemenag RI sebagai salah satu upaya pengembangan kajian tafsir di
Indonesia sejatinya memang berada di pihak kelompok yang berpihak pada tafsir
ilmi, namun hal ini lebih dianggap sebagai formula kompromistik untuk lebih
mengembangkan misi dakwah Islam di tengah kemajuan ilmu pengetahuan.13
Hal ini dikuatkan dengan apa yang telah ditulis oleh M. Quraish Shihab bahwa
banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk mempergunakan akal
pikiran dalam mencapai hasil yang dimaksudkan pada ayat tersebut,14 salah satu
upayanya adalah dengan membuktikan kebenaran ayat-ayat tersebut dengan
penemuan ilmiah. Di sisi lain, kekhawatiran terhadap tafsir ilmi terletak pada
kesalahan mufassir dalam mencocok-cocokkan penemuan ilmiah yang belum
valid terhadap ayat al-Qur’an yang dibahas. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa tafsir adalah sebuah ijtihad yang dilakukan oleh mufassir, maka bisa jadi
ia benar atau salah. Adapun untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut,
mufassir harus bersikap lebih hati-hati dalam mengaitkan penafsiran al-Qur’an
dengan ilmu pengetahuan dan memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran yang
telah ditetapkan oleh ulama.

Salah satu kitab tafsir ilmi yang menarik untuk dikaji adalah buku seri
tafsir ilmi hasil karya ulama dan ilmuwan Indonesia dengan berbagai macam
tema yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI sejak tahun 2010 hingga 2016 yang
berjumlah 21 seri.15

12
Muchlis M. Hanafi, “Kata Pengantar” dalam Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-
Qur’an dan Sains, xxiii.
13
Muchlis M. Hanafi, “Kata Pengantar” dalam Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-
Qur’an dan Sains, h. xxv.
14
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2013), h. 60.
15
Hal ini berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis. Uraian selengkapnya telah
dijelaskan di bab III.
5

Penelitian ini bermaksud mengkaji salah satu tema kitab tafsir ilmi
Kemenag RI, yaitu tentang laut. Adapun ketertarikan penulis mengkaji tafsir ilmi
Kemenag RI adalah: Pertama, tim penyusun telah menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an berdasarkan tema-tema yang telah ditentukan atau menggunakan metode
mauḏûʻî16 sehingga penjelasan yang dipaparkan bisa fokus dengan tema
tersebut. Kedua, upaya menafsirkan ayat kauniyah dengan temuan ilmiah yang
dilakukan tim penyusun sejak 2010 hingga 2016 telah menghasilkan puluhan
buku yang menurut penulis merupakan sebuah usaha yang serius dalam
mengungkap makna ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an. Ketiga, alasan penulis
memilih tema laut adalah manusia sangat bergantung dan tidak bisa terlepas dari
air. Secara kuantitatif, 97 % air yang ada di bumi berasal dari laut sehingga laut
memiliki peran besar bagi kehidupan manusia di bumi17 sebagaimana firman
Allah dalam QS. al-Baqarah [2] : 164 yang berbunyi:

Artinya: Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam


dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi
manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu
dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya
bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.

Penggunaan kata laut dalam al-Qur’an yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah term al-baẖr yang dapat diartikan dengan kumpulan air asin atau tawar.
Selain itu, al-baẖr disebut sebagai laut karena kedalaman airnya dan wilayahnya

16
Mauḏûʻî secara bahasa adalah al-waḏʻu yaitu menempatkan sesuatu. Sedangkan secara
istilah tafsir mauḏûʻî merupakan salah satu metode tafsir yang membahas tentang suatu persoalan
dalam al-Qur’an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya
yang kemudian dilakukan sebuah analisis menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat tertentu
pula untuk menjelaskan maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubungkannya
antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Lihat Musṯafâ Muslim, Mabâẖits fî al-Tafsîr al-Mauḏûʻî
(Dimasyq: Dâr al-Qalam, 2000), h.16.
17
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 26.
6

yang sangat luas.18 Maka dari itu, penelitian ini akan khusus membahas ayat-
ayat yang membicarakan tentang al-baẖr.
Dari sekian banyak penelitian yang mengkaji tentang tafsir ilmi
Kemenag RI, penulis akan membahas tema khusus tentang laut. Sejauh
pencarian yang penulis lakukan, belum ada penelitian yang membahas tentang
telaah kitab tafsir ilmi Kemenag RI yang dikhususkan pada tema laut, sehingga
penelitian ini merupakan karya pertama yang membahas hal tersebut. Maka dari
itu judul penelitian ini adalah al-Baẖr fî al-Qur’ân: Telaah Tafsir Ilmi
Kementerian Agama RI.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah


Dengan mengacu kepada latar belakang di atas, penulis membatasi
penelitian ini dengan membahas salah satu tema yang disajikan oleh tim
penyusun tafsir ilmi Kemenag RI, yaitu laut. Maka, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah bagaimana telaah atau penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
mengenai laut dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI dan di mana letak perbedaan
penafsiran ayat-ayat tentang laut dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI dengan
kitab tafsir ilmi lainnya?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan telaah atau penafsiran ayat-
ayat mengenai laut dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI dan menjelaskan
perbedaan penafsiran ayat-ayat tentang laut dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI
dengan kitab tafsir ilmi lainnya.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan
praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah melengkapi apa yang telah
ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya terkait kitab tafsir ilmi Kemenag RI
maupun penafsiran ayat-ayat tentang laut pada umumnya. Sedangkan manfaat
praktis dari penelitian ini adalah diharapkan mampu memberikan tambahan
informasi bahan ajar pada mata kuliah Literatur Tafsir Indonesia.

18
Ibn Manẕûr, Lisân al-ʻArab, juz 4 (Beirut: Dâr Sadr, 1414 H), h. 41.
7

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, penulis menyajikan beberapa tinjauan pustaka


yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu penelitian mengenai tafsir illmi, tafsir
tentang ayat-ayat laut, dan tafsir ilmi Kemenag RI. Pertama, yaitu penelitian-
penelitian yang membahas tentang tafsir ilmi secara umum, antara lain:
1. Artikel jurnal: Geliat Tafsir Ilmi di Indonesia dari Tafsir al-Nûr hingga Tafsir
Salman.19 Artikel ini membahas tentang perjalanan tafsir ilmi di Indonesia
sejak era 1960-an hingga sekarang. Penulis artikel ini juga menjelaskan
transformasi tafsir ilmi seiring dengan lajunya perkembangan sains dan
teknologi khususnya di Indonesia.
2. Tesis: Telaah Epistemologi Penafsiran Agus Mustofa (Studi Ayat-Ayat
Akhirat dalam Tafsir Ilmi).20 Tesis ini menjelaskan pemahaman terhadap
ayat-ayat tentang akhirat yang dilakukan Agus Mustofa dalam bukunya,
Ternyata Akhirat Tidak Kekal, yang menggunakan metode sains di mana
secara validitas belum koheren dan tidak konsisten dalam menggunakan
sumber pengetahuan.
3. Skripsi: Tafsir Salman dalam Wacana Tafsir Ilmi.21 Skripsi ini menjelaskan
ciri-ciri penafsiran juz ‘amma oleh tim tafsir ilmiah ITB, tipologi tafsir, dan
penilaian ulama lain terhadap tafsir tersebut.
4. Skripsi: Raḏâʻah dalam al-Qur’an (Tafsir Ilmi atas Konsep Laktasi).22
Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana wawasan al-Qur’an tentang
raḏâʻah, urgensinya, dan manfaat ASI dalam tinjauan ilmu gizi.
5. Skripsi: Kontroversi Tafsir Ilmi (Telaah Penafsiran Ṯanṯâwî Jauharî terhadap
Sabʻa Samâwât dalam Surah al-Baqarah ayat 29).23 Skripsi ini menjelaskan

19
Jurnal ini ditulis oleh Annas Rolli Muchlisin dan Khairun Nisa (mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), “Geliat Tafsir Ilmi di Indonesia dari Tafsir al-Nûr hingga Tafsir Salman”,
Millatî: Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 2, no. 2 (2017): 239.
20
Tesis ini ditulis oleh Erma Sauva Asvia, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: 2018).
21
Skripsi ini ditulis oleh Ai Sahidah, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2017).
22
Skripsi ini ditulis oleh Lathifatul Masula, mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab, dan
Dakwah IAIN Tulungagung (Tulungagung: 2017).
23
Skripsi ini ditulis oleh Ayu Aulia Munika, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel (Surabaya: 2016).
8

penafsiran Ṯanṯâwî Jauharî yang secara umum menggunakan corak ilmi,


namun kali ini beliau juga menjelaskan ayat tersebut secara lughâwî.
6. Skripsi: Orientasi Ilmi dalam Tafsir al-Ibriz Karya Bisyri Mustafâ.24 Skripsi
ini menjelaskan adanya indikasi corak ilmi dalam kitab Tafsir al-Ibriz. Hal
ini terbukti ketika Bisyri Mustafâ menafsirkan QS. Fussilat ayat 11 dan
Yûnus ayat 5. Adanya corak ilmi dalam kitab tafsirnya dipengaruhi oleh
kitab-kitab yang menjadi rujukan Bisyri Mustafâ sebelum menulis kitab
tafsirnya.
7. Skripsi: Pemikiran Tafsir Ilmi Yûsuf al-Qaraḏâwî (Telaah atas Kitab Kaifa
Natʻâmal maʻa al-Qur’ân al-‘Aẕîm).25 Skripsi ini menjelaskan posisi Yûsuf
al-Qaraḏâwî dalam menyikapi pro dan kontra di tengah-tengah perdebatan
ulama mengenai tafsir ilmi. Penulis skripsi ini juga menjelaskan bagaimana
pandangan Yûsuf al-Qaraḏâwî terhadap tafsir ilmi dalam kitabnya yang
berjudul Kaifa Natʻâmal maʻa Al-Qur’ân al-‘Aẕîm.
Kedua, penelitian-penelitian tentang ayat-ayat laut (al-baẖr). Penulis
menemukan beberapa penelitian yang membahas penafsiran ayat yang bertema
laut, yaitu:
1. Skripsi: Makna al-Baẖr al-Masjûr dalam Surah al-Ṯûr Ayat 6 Menurut
Mufassir dan Relevansinya dengan Teori Sains.26 Penulis skripsi ini
menjelaskan perbedaan penafsiran para mufassir mengenai ayat tersebut.
Teori sains yang relevan dengan ayat tersebut adalah adanya lempeng
tektonik ada dasar laut yang membentuk rangkaian gunung api di bawah laut.
2. Skripsi: Pertemuan Dua Laut dalam QS. al-Raẖmân (Analisis QS. al-
Raẖmân [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin al-Râzî dalam Kitab Tafsir
Mafâtîẖ al-Ghaib).27 Penulis skripsi ini menjelaskan tentang penafsiran al-
Râzî mengenai dua laut yang tidak saling bercampur karena mempunyai

24
Skripsi ini ditulis oleh Moh. Mufid Muwaffaq, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2015).
25
Skripsi ini ditulis oleh Ahmad Syafi’in Aslam, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2014).
26
Skripsi ini ditulis oleh oleh Milcha Qurrotul Aini, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Sunan Ampel (Surabaya: 2018).
27
Skripsi ini ditulis oleh oleh Adelina Qurrotul A., mahasiswa Fakultas Ushuluddin STAIN
Kudus (Kudus: 2016).
9

karakteristik yang berbeda. Selanjutnya penulis mengaitkannya dengan teori


sains.
3. Skripsi: Konsep Geologi Laut dalam al-Qur’an dan Sains (Analisa Surah al-
Raẖman [55]:19-20, Surah al-Naml [27]:61, dan Surah al-Furqân [25]:53).28
Penulis skripsi ini menjelaskan fenomena laut yang diterangkan dalam ayat
al-Qur’an kemudian menguatkannya dengan teori sains yang berkenaan
dengan hal tersebut.
Ketiga, penelitian-penelitian tentang tafsir ilmi Kemenag RI. Penulis
menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang tafsir ilmi Kemenag
RI, yaitu:
1. Artikel jurnal: Integrasi Agama dan Sains dalam Tafsir Ilmi
KementerianAgama RI29 yang menjelaskan bahwa Tafsir Ilmi Kemenag RI
merupakan bentuk implementasi integrasi agama dan sains. Karya ini
berusaha untuk memadukan antara agama dan sains sehingga menegaskan
bahwa agama dan sains tidak bertentangan.
2. Artikel jurnal: Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI: Melacak Unsur
Kepentingan Pemerintah dalam Tafsir30 yang menerangkan bahwa secara
validitas, beberapa penafsiran tidak sesuai dengan dengan prinsip-prinsip
tafsir ilmi. Di sisi lain, tafsir ilmi Kemenag RI ini memperhatikan fakta dan
problem keindonesiaaan yang dijadikan sebagai usaha maksimalisasi
kebijakan pemerintah.
3. Skripsi: Epistemologi Tafsir ‘Ilmî Kementerian Agama RI dalam Penafsiran
Penciptaan Manusia.31 Skripsi ini menjelaskan aspek-aspek epistemologi
pada tafsir ilmi Kemenag RI dilihat dari sumber penafsiran, metode
penafsiran, dan validitas penafsiran. Secara validitas, tafsir ilmi Kemenag
RI tidak koheren karena di beberapa tempat isi dari buku tidak sesuai dengan

28
Skripsi ini ditulis oleh Nuri Qomariah Maritta, mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah (Jakarta: 2010).
29
Faizin, mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, “Integrasi Agama dan Sains dalam Tafsir
Ilmi Kementerian Agama RI”, Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no.1 (2017): 19.
30
Ahmad Muttaqin, mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
“Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI: Melacak Unsur Kepentingan Pemerintah dalam Tafsir”,
Religia, vol. 19, no. 2 (2016): 74.
31
Skripsi ini ditulis oleh oleh Muhamad Ariful Amri, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2017).
10

prinsip-prinsip tafsir ilmi yang telah dijelaskan di awal oleh pihak Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an.
4. Skripsi: Konsep Penciptaan Alam Semesta (Studi Komparatif Antara Teori-
M Stephen Hawking dengan Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya Kementerian
Agama RI).32 Skripsi ini membahas tentang perbandingan antara teori
penciptaan alam dari Stephen Hawking dan Tafsir Ilmi Kemenag RI yang
hasilnya adalah keduanya sama-sama penganut creation exhilo, yaitu
menciptakan alam dari sesuatu yang tidak ada serta mendukung teori Big
Bang, yaitu bermulanya alam semesta ini dari ledakan yang sangat besar.
Sedangkan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa tafsir ilmi Kemenag
RI menjelaskan bahwa yang menciptakan alam ini adalah Allah, sedangkan
Stephen meyakini bahwa alam ini menciptakan dirinya sendiri karena
adanya hukum fisika yang bekerja.
Dari semua penelusuran yang penulis sajikan di atas, penulis belum
menemukan penelitian yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat tentang laut
dalam kitab tafsir ilmi Kemenag RI sehingga skripsi ini merupakan penelitian
pertama yang membahas tentang hal tersebut. Selain itu, penulis juga akan
menjelaskan perbedaan penafsiran ayat-ayat laut dalam tafsir ilmi Kemenag RI
dengan beberapa kitab tafsir ilmi lainnya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
mencoba memahami fenomena dalam seting dan konteks naturalnya di
mana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati33
atau bisa juga dikatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk
hitungan lainnya.34 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

32
Skripsi ini diitulis oleh Nida Ulkhusna, mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayataullah (Jakarta: 2013).
33
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar (Jakarta: PT Indeks, 2012), h. 7.
34
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Terj. M. Shodiq
dan Imam Muttaqien (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 4.
11

analisis-deskriptif untuk memaparkan gambaran umum tentang tafsir ilmi


Kemenag RI.
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan studi
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang didasarkan pada
metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah
bahan penelitian.35 Studi ini digunakan untuk mencari beberapa penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
Setelah data terkumpul, penulis mengklasifikasikannya ke dalam dua
sumber, yaitu sumber primer dan sekunder. Pertama, sumber primer dalam
penelitian ini adalah buku Tafsir Ilmi Kemenag RI yang bertema tentang
laut. Kedua, sumber sekunder dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku
dan tulisan ilmiah lainnya yang berupa skripsi, tesis, disertasi, dan artikel
jurnal yang relevan dengan penelitian ini.
3. Metode Penulisan
Dalam menulis penelitian ini, penulis mengacu kepada Surat
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017
tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk transliterasi juga
mengacu pada pedoman di atas, khusus untuk teknik penulisan al-Qur’an
ditulis dengan “a” kecil diikuti tanda pemisah (-) dan huruf “Q” besar
kemudian terdapat tanda apostrof (’) antara huruf r dan a.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab terbagi
menjadi beberapa sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-
masing yang berkaitan satu sama lain.
Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini penulis membahas latar
belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

35
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
h. 3.
12

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab I


ini merupakan gambaran umum dari isi skripsi.
Bab II merupakan pembahasan tafsir ilmi. Sebagai kerangka teori, bab
ini menjelaskan tafsir ilmi secara umum, mulai dari pengertiannya, sejarah awal
munculnya hingga perkembangannya, dan syarat-syarat dan adab bagi mufassir
tafsir ilmi.
Bab III adalah gambaran umum kitab tafsir ilmi tentang laut. Bagian ini
meliputi sejarah singkat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an dan latar
belakang pembuatan tafsir ilmi. Selanjutnya penulis akan membahas mengenai
studi kitab tafsir ilmi Kemenag RI yang terdiri dari sistematika kitab tersebut
dan pengklasifikasian data terhadap isi kitab tersebut. Bab ini menjadi bahan
untuk melakukan analisis pada bab IV.
Bab IV merupakan telaah tafsir ilmi Kemenag RI tentang laut. Pada
bagian ini penulis menjelaskan beberapa pembahasan yang sering muncul pada
setiap bab dalam buku tafsir ilmi Kemanag RI yang bertema tentang laut. Hal ini
dapat dilihat dari klasifikasi data yang telah dibuat pada bab III. Selain itu,
penulis juga membahas perbedaan penafsiran tafsir ilmi Kemenag RI dengan
kitab-kitab tafsir bercorak ilmi lainnya.
Bab V adalah penutup. Penulis memberikan kesimpulan yang
merupakan jawaban dari rumusan masalah penelitian dan saran-saran yang
dibutuhkan untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TAFSIR ILMI

A. Pengertian Tafsir Ilmi

Tafsir ilmi merupakan salah satu corak tafsir yang populer atau diminati
di kalangan para ulama masa kini. Kepopuleran tafsir ilmi telah menyebar di
masa kontemporer di mana para cendekiawan mempunyai perhatian yang besar
terhadap ilmu yang berkembang saat ini. Hal ini merupakan pengaruh dari
kecenderungan paradigma ilmu pengetahuan yang mendominasi pada diri
mufassir untuk menafsirkan al-Qur’an dengan penemuan ilmiah.1 Sebelum
penulis menjelaskan lebih lanjut mengenai tafsir ilmi, ada baiknya apabila kita
mengetahui pengertian tafsir dan ilmi secara terpisah.

Pengertian tafsir menurut bahasa, Ibn Manẕûr menjelaskan pada bab


( ) 2:

“Al-fasr adalah penjelasan dan menerangkan. Al-fasr juga berarti


memperlihatkan yang tertutup, sedangkan tafsir adalah mengungkapkan makna
dari lafaz yang sulit”.

Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama menyatakan sebagaimana


berikut:
Al-Zarkasyî dalam al-Burhân berkata3:

“Tafsir adalah ilmu yang dibutuhkan dalam rangka memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan menjelaskan makna-maknanya,
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya dan semua itu merujuk
1
Muẖammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2 (Kuwait: Dâr al-
Nawâdir, 2010), h. 497.
2
Ibn Manẕûr, Lisân al-‘Arab, juz 5 (Beirut: Dâr Sadr, 1414 H), h. 55.
3
Muẖammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1 (Beirut: Dâr
al-Ma’rifah,1391 H), h. 13.

13
14

dari ilmu bahasa, naẖwu dan saraf, ilmu bayân, usûl fiqh, dan qira’ât. Seorang
ahli tafsir juga membutuhkan pengetahuan terhadap asbâb al-nuzûl, nâsikh, dan
mansûkh”.
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, tafsir merupakan hasil
pemikiran manusia tentang penjelasan maksud firman-firman Allah Swt. yang
sesuai dengan kemampuan manusia yang dipengaruhi oleh beberapa hal
sehingga banyak terjadi perbedaan-perbedaan penafsiran baik dari masa ke masa
atau dari satu tempat ke tempat lain.4

Sementara kata ilmi di sini merupakan kata sifat yang bernisbat pada
kata ilmu. Ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu ‘alima – yaʻlamu – ‘ilman dengan
wazn faʻila – yafʻalu – faʻlan yang berarti mengerti, memahami benar-benar.
Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut science yang diambil dari bahasa Latin
yaitu scientia (pengetahuan) – scire (mengetahui). Jadi, pengertian ilmu adalah
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut
metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu.5 Terkait sains dan ilmu, Mulyadhi Kartanegaraberpendapat bahwa
keduanya merupakan dua hal yang berbeda, namun memiliki kemiripan. Hal ini
bisa terlihat dari pengertian sains dan pengetahuan yang ia kemukakan. Sains
menurut Mulyadhi adalah any organized knowledge (pengetahuan yang
tersistem), sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.
Secara sepintas dapat dikatakan bahwa ilmu dalam epistemologi Islam
mempunyai kemiripan makna dengan sains dalam epistemologi Barat.
Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa sains dibatasi pada bidang-bidang
fisik sedangkan ilmu lebih bebas hingga pada bidang-bidang nonfisik atau
metafisika.6

Setelah mengetahui pengertian tafsir dan ilmi secara terpisah, maka


penulis akan menjabarkan pengertian tafsir ilmi secara kolektif. Adapun
pengertian tafsir ilmi menurut Fahd ‘Abd al-Raẖmân, sebagaimana yang dikutip
oleh M. Quraish Shihab dkk dalam buku Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân, menjelaskan

4
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 364.
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 12.
6
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan 2003), h. 1.
15

bahwa tafsir ilmi adalah ijtihad mufassir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat
kauniyah di dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang
bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an.7 Dari penjelasan di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir ilmi adalah upaya menafsirkan al-
Qur’an dengan teori-teori ilmiah di mana antara al-Qur’an dan sains terdapat
kesesuaian sehingga mufassir dapat mengkompromikan keduanya melalui
sebuah karya yang disebut tafsir ilmi. Objek dari tafsir ilmi ini adalah ayat-ayat
kauniyah, yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan isyarat tentang realita
alam semesta atau penciptaan segala sesuatu yang bersifat ilmiah.

Tak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an berisi mukjizat ilmiah yang


terkandung dalam isyarat ayat-ayat kauniyah. Apa yang telah diisyaratkan al-
Qur’an 1400 abad yang lalu merupakan fakta ilmiah yang telah diuji oleh para
ilmuwan masa kini. Hal ini menunjukkan sisi keagungan al-Qur’an yang
menghadirkan sesuatu yang sebelumnya belum diketahui manusia pada
umumnya dan terbukti kebenarannya melalui penemuan ilmiah yang telah teruji.
Pada abad ini, isyarat ayat kauniyah menjadi nyata karena dibuktikan oleh
penemuan ilmiah yang mendukung kebenaran ayat al-Qur’an. Pada abad ini
pula, ilmu pengetahuan terus dijunjung tinggi oleh manusia hingga mereka
berhasil menghasilkan penemuan-penemuan yang memberikan bukti tentang
hakikat ilmu yang diwahyukan dalam al-Qur’an.8 Allah berfirman:

Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran)


Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa
Tuhan-mu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fussilat [41] :53)
Apabila diteliti lebih jauh, tidak ada kontradiksi dalam al-Qur’an
dengan penemuan-penemuan sains modern yang menyangkut ilmu astronomi,

7
M. Quraish Shihab, et. al., Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 183.
8
Abdul Majid bin Aziz al-Zindani, et.al., Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang
IPTEK, jilid 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 22.
16

kedokteran, fisika, gizi, kesehatan, zoologi9, botani10, geologi11, oseanologi12,


vulkanologi13, dan sebagainya. Semuanya sejalan dengan apa yang al-Qur’an
sebutkan.14 Inilah sisi kemukjizatan al-Qur’an dan kelebihannya dari kitab-kitab
samawi lainnya di mana kitab-kitab tersebut hanya berlaku pada kaum tertentu,
sedangkan al-Qur’an berlaku untuk semua umat manusia hingga akhir zaman,
baik pada masa Nabi Muhammad Saw., masa kini, hingga masa yang akan
datang.

Kesesuaian al-Qur’an dengan penemuan sains modern juga diutarakan


oleh para pakar sains yang memiliki karya di bidang tafsir ilmi, yaitu Zaglul al-
Najjar dan Abdul Daim al-Kahil. Mereka mengatakan dalam muqaddimah karya
tafsir ilminya dengan memberikan ulasan mengenai apa yang dimaksud dengan
mukjizat ilmiah:
“Penisbatan kata mukjizat dengan kata ilmiah adalah penisbatan terhadap
ilmu pengetahuan yang bertitik tolak dari praktik dan penelitian ilmiah
tentang fenomena-fenomena yang tampak di dalam alam semesta dan diri
manusia menurut ilmu pengetahuan, hingga akhirnya sampai pada ketentuan-
ketentuan hukum alam yang sistem kerjanya dapat dijelaskan secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan mukjizat ilmiah menurut kami adalah semua
penemuan ilmiah yang kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah dan tidak
perlu diragukan lagi. Kebenaran ilmiah tersebut sesuai dengan kebenaran
yang ada dalam al-Qur’an dan sama sekali tidak ada pertentangan. Hal ini
sekaligus merupakan bukti tentang kenabian Nabi Muhammad Saw. dan
kebenaran risalahnya, juga untuk membuktikan bahwa Islam merupakan
agama terakhir dan satu-satunya agama yang kitab sucinya tidak mengalami
perubahan.”15

9
Zoologi adalah ilmu tentang kehidupan binatang dan pembuatan klasifikasi aneka macam
bentuk binatang dunia. Lihat Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Dep.Pendidikan
Nasional, 2008), h. 1826.
10
Botani adalah cabang dari biologi yang menyelidiki kehidupan tumbuh-tumbuhan. Lihat
Kamus Bahasa Indonesia, h. 218.
11
Geologi adalah ilmu tentang komposisi, struktur, dan sejarah bumi. Lihat Kamus Bahasa
Indonesia, h. 473.
12
Oseanologi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek yang berhubungan dengan laut
dan lautan (seperti, tanaman, binatang laut). Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 1094.
13
Vulkanologi adalah ilmu pengetahuan tentang gunung berapi, gempa, dan sebagainya.
Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 1803.
14
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, Terj. Zaenal Arifin dkk. (Jakarta:
Zaman, 2014), h. 717.
15
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Manusia, Terj. Tim Penerbit Bahasa Indonesia, jilid 1 (Jakarta: PT Lentera
Abadi, 2012), h. iv.
17

B. Sejarah Perkembangan Tafsir Ilmi

Apabila dilihat dari rekam jejak sejarahnya, perkembangan tafsir ilmi


ini tak lepas dari perkembangan ilmu dalam khazanah Islam di mana keilmuan
umat Islam menunjukkan masa kejayaannya pada zaman Dinasti Umayyah dan
Dinasti Abbasiyah. Hal ini ditunjukkan pada masa Khalifah al-Mansûr melalui
proses penerjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam Bahasa Arab yang
berjalan dengan pesat. Penerjemahan ini terus berlangsung hingga masa
Khalifah al-Ma’mûn di mana muncul banyak para penerjemah yang telah
menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan
Archimedes.16 Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin memang telah
berupaya menciptakan hubungan erat antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-
Quran. Usaha seperti itu ternyata di kemudian hari semakin meluas dan tidak
dapat disangkal lagi memang telah mendatangkan hasil yang banyak
faedahnya.17

Sebagaimana yang telah dijelaskan Husain al-Dzahabî bahwa eksistensi


tafsir ilmi mulai muncul dari kultur karya ulama mutaqaddimîn, contohnya yang
telah dilakukan oleh al-Ghazâlî dalam kitab Iẖyâ’ ʻUlûm al-Dîn yang
menerangkan bahwa ilmu adalah bentuk manifestasi perbuatan dan sifat Allah,
sedangkan al-Qur’an yang berisi banyak ilmu menjadi sebuah wadah untuk
menjelaskan Dzat, afʻâl (perbuatan), dan sifat-sifat Allah.18 Al-Suyûṯî juga telah
membahasnya pada kitab al-Itqân di mana banyak ayat al-Qur’an, hadis,
maupun atsar yang menunjukkan bahwa al-Qur’an mencakup berbagai disiplin
ilmu.19 Selanjutnya, perkembangan tafsir ilmi mengalami kemajuan pesat
sehingga menjadi tema yang populer di kalangan para ulama. Kitab tafsir
pertama yang memuat perincian ayat-ayat kauniyah adalah Kasyf al-Asrâr al-
Nûrâniyyah al-Qur’âniyyah yang berisi berbagai uraian tentang benda-benda

16
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 40-41.
17
Ahmad Syirbasi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985), h. 130.
18
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 475.
19
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 477.
18

langit, bumi, hewan, tumbuhan, permata, dan logam. Kitab ini ditulis oleh
Muẖammad ibn Aẖmad al-Iskandarî, seorang dokter yang mahir dan terampil.
Beliau merupakan ulama pada abad 13 H. Kitab ini terdiri dari 3 jilid besar,
dicetak pertama kali di Mesir pada tahun 1297 H oleh penerbit Dâr al-Kutub al-
Misriyyah.20

Selanjutnya ada sebuah kitab yang berjudul Ṯabâiʻ al-Istibdâd wa


Masâriʻ al-Istiʻbâd ditulis oleh ‘Abd al-Raẖman al-Kawâkibî. Kitab ini
merupakan kumpulan makalah beliau yang dijadikan satu sehingga menjadi
sebuah karya yang agung. Kitab ini pertama kali dipublikasikan di Mesir pada
tahun 1318 H. Dalam kitab ini terdapat sebuah ungkapan yang disifatkan kepada
al-Qur’an, yakni “Syams al-‘Ulûm wa Kanz al-Hikam (Matahari Ilmu dan
Himpunan Hikmah)” yang menunjukkan bahwa al-Qur’an menjadi sumber
segala ilmu. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu di alam ini mengalami
pembaruan setiap harinya sesuai dengan perkembangan zaman. Jika umat Islam
tidak ingin tertinggal dengan pemikiran ilmuwan Barat, maka seharusnya Islam
membutuhkan para peneliti al-Qur’an yang mampu membuktikan bahwa al-
Qur’an berisi pernyataan dan isyarat yang benar walaupun telah ditulis sejak
ribuan abad yang lalu.21

Kemudian muncul sebuah karya dari seorang dokter terkenal, yaitu


‘Abd al-‘Azîz Ismâʻîl. Karyanya adalah al-Islâm wa al-Ṯib al-Hadîts yang
merupakan kumpulan makalah beliau yang disebarkan di majalah al-Azhar.
Setelah dikumpulkan menjadi satu, karya ini dijadikan sebuah kitab yang dicetak
oleh percetakan al-Iʻtimâd pada tahun 1357 H. Dalam kitab tersebut, beliau
mengatakan bahwa penjelasan di dalam buku-buku kedokteran, arsitektur, dan
astronomi mengarah kepada sunnatullah yang terjadi di alam ini. Hal ini
menunjukkan bahwa di dalam buku-buku tersebut tidak hanya berisi teori-teori
rumit yang berkaitan dengan ilmu-ilmu, tetapi segala kejadian di alam ini baik
dari segi kedokteran, seni/arsitektur, astronomi, dan sebagainya, merupakan
ketentuan-ketentuan yang berjalan secara teratur sesuai dengan kehendak Allah

20
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 497-498.
21
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 498.
19

Swt. ʻAbd al-‘Azîz Ismâʻîl juga berpendapat bahwa ilmu modern yang kekinian
dapat membantu mengungkap makna sebagian ayat-ayat al-Qur’an sehingga al-
Qur’an akan tetap eksis seiring dengan berkembangnya zaman.22

Tak berhenti hingga di situ, perkembangan tafsir ilmi terus melaju


hingga corak ilmi menjadi sesuatu yang populer di kalangan ulama kontemporer.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kitab-kitab tafsir ilmi yang mewarnai
kehidupan di masa itu, diantaranya: al-Tafsîr al-‘Ilmî li al-Âyât al-Kauniyyah fî
al-Qur’ân karya Hanafî Aẖmad diterbitkan di Mesir oleh Dâr al-Fikr; Tafsîr al-
Âyât al-Kauniyyah karya ‘Abd Allâh Syahatah diterbitkan di Mesir oleh Dâr al-
Iʻtisâm tahun 1400 H/1980 M; al-Isyârât al-‘Ilmiyyah fî al-Qur’ân al-Karîm
karya Dr. Muẖammad Syauqî al-Fanjârî, diterbitkan oleh Maktabah Gharîb
tahun 1413 H/1992 M.23

Seiring dengan perkembangannya, kitab tafsir yang bercorak ilmi dapat


ditemui dengan penyusunan yang urut mulai dari surah al-Fâtiẖah hingga surah
al-Nâs atau disusun sesuai tema-tema yang diinginkan oleh mufassir. Contoh
kitab tafsir bercorak ilmi yang disusun urut mulai dari surah al-Fâtiẖah hingga
surah al-Nâs adalah al-Jawâhir karya Ṯanṯâwî al-Jauharî, sebuah kitab yang
terdiri dari 25 jilid, diterbitkan pertama kali di Mesir pada kisaran tahun 1341 H
– 1351 H. Kitab ini disusun secara taẖlîlî24 dengan penjelasan yang kaya
mengenai ilmu pengetahuan pada tiap ayatnya.25

Sedangkan kitab tafsir ilmi yang disusun sesuai dengan tema-tema yang
diinginkan oleh mufassir adalah al-Iʻjâz al-‘Ilmî fî al-Qur’ân wa al-Sunnah
karya Prof. Dr. Zaglul al-Najjar dan Dr. Abdul Daim al-Kahil. Mereka adalah

22
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 502.
23
Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 397-398.
24
Taẖlîlî secara harfiah berarti menjadi lepas atau terurai. Secara istilah tafsir taẖlîlî adalah
metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan dengan mendeskripsikan uraian makna yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tertib urutan surat dan ayat al-Qur’an
(tartîb mushafî) dengan melakukan analisis di dalamnya. Lihat M. Amin Suma, Ulumul Qur’an,
(Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 379. Quraish menambahkan hal-hal yang dianalisis dalam
penafsiran metode taẖlîlî ini adalah pengertian umum kosakata ayat, munâsabah/hubungan ayat
dengan ayat sebelum dan sesudahnya, sabab al-nuzûl, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik
dari ayat tersebut dari pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambahkan uraian tentang qirâ’ât,
iʻrab, serta keistimewaan susunan kata-katanya. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 378.
25
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 505.
20

para pakar yang telah diakui oleh dunia internasional karena telah banyak
meneliti mukjizat ilmiah yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadis selama
berpuluh-puluh tahun. Di Indonesia, karya mereka telah diterjemahkan menjadi
sebuah ensiklopedia mukjizat ilmiah yang tersusun dari enam seri berdasarkan
judul tertentu, yaitu: 1) Penciptaan Manusia; 2) Syariat Islam; 3) Penciptaan
Langit dan Alam Semesta; 4) Penciptaan Planet Bumi; 5) Gaya Hidup,
Kesehatan, dan Pengobatan; 6) Penciptaan Hewan dan Tumbuhan.26
Sedangkan di Indonesia, kitab tafsir bercorak ilmi yang disusun secara
tematik juga telah menghiasi khazanah keilmuan oleh para cendekiawan
muslim. Diawali dengan sebuah karya dari Dr. Mochtar Na’im, ilmuwan
Indonesia tamatan Institute of Islamic Studies di McGill University, telah
menghasilkan sebuah buku yang berjudul “Kompendium Himpunan Ayat-Ayat
al-Qur’an”. Buku ini pertama kali diterbitkan pertama kali di Jakarta oleh Gema
Insani Press pada tahun 1996. Buku ini memuat banyak seri diantaranya adalah
himpunan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Biologi dan Kedokteran;
Botani dan Zoologi; Geografi dan Fisika; Ekonomi; Hukum; Teologi; Etika dan
Sosial-Budaya; Kisah-Kisah Sejarah; Akhirat, Surga dan Neraka; dan Doa-Doa
dalam al-Qur’an.27
Selanjutnya Kementerian Agama RI juga mengambil peran untuk
menerbitkan beberapa kitab tafsir bercorak ilmi mengenai tema-tema tertentu
sejak tahun 2010 hingga 2016 yang disusun secara kolektif dengan melibatkan
para ulama dan ilmuwan yang terdiri dari Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an,
dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Semua yang terlibat
melakukan tugasnya masing-masing sehingga dapat melahirkan sebuah
penafsiran yang memiliki perpaduan lengkap dan seimbang antara kajian ilmu-
ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan.28

26
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis, (Jakarta: Lentera Abadi, 2012).
27
Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996).
28
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. xxvii.
21

C. Syarat-Syarat dan Adab bagi Mufassir Tafsir Ilmi

Tafsir yang bercorak ilmi merupakan ijtihad seorang mufassir dalam


mengungkap sejumlah ilmu yang diisyaratkan di dalam al-Qur’an. Dengan
sejumlah ilmu yang nantinya dapat dikembangkan menjadi ilmu kedokteran,
astronomi, bintang, biologi, dan lain-lain sehingga membuat al-Qur’an menjadi
sempurna dengan beragam ayat-ayat kauniyah di dalamnya.29
Abdul Mustaqim berpendapat dalam bukunya yang berjudul Dinamika
Sejarah Tafsir al-Qur’an, sebagaimana yang dikutip oleh Rubini, bahwa corak
ilmi merupakan corak penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan
teori-teori ilmiah untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara
mengenai alam. Tafsir bercorak ilmi dimaksudkan untuk menggali isyarat-
isyarat ilmiah yang terkandung dalam al-Qur’an. Tafsir ini berangkat dari
paradigma al-Qur’an yang tidak bertentangan dengan akal sehat dan ilmu
pengetahuan sehingga antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan dapat saling
dikompromikan.30
Begitu banyaknya penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an
mengindikasikan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh orang
sembarangan tanpa mempunyai dasar ilmu, karena al-Qur’an mempunyai
keotentikan yang tinggi sehingga tidak mungkin dan tidak pantas apabila
penafsiran terhadap ayat-ayatnya dikaitkan dengan percobaan-percobaan ilmiah
yang belum valid. Sebelum penulis menjabarkan bagaimana adab yang benar
dalam menafsirkan al-Qur’an dengan teori ilmiah, ada baiknya jika penulis
menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an secara umum, diantaranya adalah31:
1. Memiliki akidah yang benar, karena akidah memiliki pengaruh yang besar
terhadap jiwa seorang mufassir. Apabila akidahnya salah, seorang mufassir
bisa jadi mengubah teks-teks al-Qur’an maupun hadis dan tidak jujur dalam
penyampaian berita.

29
‘Alî Iyyâzî, al-Mufassirûn, juz 1, h. 127.
30
Rubini, “Tafsir Ilmi”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, vol. 2, no. 2 (2016): 93.
31
Mannâʻ Khalîl al-Qaṯṯân, Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Madînah: Maktabah al-Ma’ârif,
2000), h. 340-342. Lihat juga al-Suyûṯî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 2, h. 467-472. Lihat juga
Nûr al-Dîn ‘Itr, ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, juz 1 (Dimasyq: Maṯba’ al-Sabâẖ, 1993), h. 250.
22

2. Bersih dari hawa nafsu, karena hawa nafsu dapat mendorong seorang
mufassir untuk membela kepentingan mazhabnya sendiri sehingga ia mampu
menipu manusia dengan perkataan yang halus dan penjelasan yang menarik.
3. Memulai penafsiran dengan tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân, karena bisa jadi
suatu ayat memiliki makna global, namun sebenarnya telah dijelaskan
rinciannya pada ayat yang lain.
4. Mencari penafsiran al-Qur’an dari sunnah Nabi Saw, karena beliau adalah
penjelas al-Qur’an pertama dan utama. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa
ketetapan Rasulullah Saw. berasal dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Quran) kepadamu


(Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara
manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah
engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang yang berkhianat. (QS. al-Nisâ’ [4]:105)

5. Apabila tidak didapati penafsiran al-Qur’an melalui sunnah, maka merujuk


kepada perkataan sahabat karena mereka terlibat dalam kondisi ketika ayat-
ayat al-Qur’an diturunkan. Mereka juga mempunyai pemahaman yang
sempurna, ilmu yang sahih, dan amal yang saleh.
6. Apabila tidak pula didapati penafsiran dari perkataan sahabat, maka merujuk
kepada perkataan tâbiʻîn. Sebagian tâbiʻîn ada yang menerima seluruh
penafsiran sahabat, namun juga ada yang berpegang pada isṯinbâṯ dan istidlâl
(penalaran dalil atas ijtihadnya sendiri).
7. Mengetahui perbendaharaan Bahasa Arab dan cabang-cabangnya karena al-
Qur’an diturunkan ke dalam Bahasa Arab. Pemahaman yang baik terhadap
al-Qur’an bergantung pada pengetahuan dalam menjelaskan mufradât, lafaz-
lafaz, dan pengertian-pengertian sesuai dengan struktur kalimat. Selain itu,
makna yang bermacam-macam dikarenakan terdapat perbedaan iʻrâb (fungsi
kata dalam kalimat), maka atas dasar ini diperlukan pengetahuan mengenai
ilmu naẖwu dan tasrîf di mana dengan ilmu ini akan diketahui bentuk-bentuk
dan perubahan kata. Ada juga ilmu yang membahas keindahan kalimat, yakni
ilmu balâghah (retorika) yang terbagi menjadi tiga cabang: maʻânî, bayân,
dan badîʻ. Semua ini adalah syarat penting yang harus dimiliki oleh seorang
23

mufassir, sebab dalam menafsirkan al-Qur’an harus memelihara


kemukjizatan al-Qur’an dengan mengetahui ilmu-ilmu yang telah dijelaskan
di atas.
8. Mengetahui ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan al-Qur’an, seperti ilmu
qirâ’ât (ilmu untuk mengetahui cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an dan
memilih bacaan yang râjiẖ di antara banyak ragam bacaan dari para imam
qirâ’ât); ilmu tauhid sehingga seorang mufassir mampu mena’wilkan ayat-
ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hak-hak dan sifat-sifat Allah; ilmu
usûl al-tafsîr untuk mendalami kaidah-kaidah yang dapat memperjelas makna
ayat, seperti persoalan asbâb al-nuzûl, nâsikh-mansûkh, dan sebagainya.
9. Memiliki pemahaman yang dalam agar mufassir dapat mengokohkan makna
ayat yang sedang ditafsirkan dan menyimpulkan makna sesuai nas-nas
syariat.
Setelah mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan
al-Qur’an secara umum, berikut ini penulis akan menjelaskan persyaratan yang
harus dimiliki dan dilakukan oleh para mufassir dalam mengkaji ayat-ayat
kauniyah, diantaranya32:
1. Tetap memelihara kaidah syarat-syarat menafsirkan al-Qur’an yang telah
disebutkan di atas.
2. Dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyah harus sesuai dengan makna susunan
al-Qur’an (naẕm al-Qur’ân).
3. Tidak keluar dari batas-batas menafsirkan al-Qur’an dengan teori ilmiah yang
terlalu berlebihan.
4. Seorang mufassir hendaknya menetapkan teori ilmiah yang berasal dari
isyarat-isyarat al-Qur’an yang terkait dengan ayat-ayat kauniyah.
5. Memperhatikan kesesuaian antara penafsiran al-Qur’an dengan teori ilmiah,
sebab jika teori tersebut sesuai dengan makna ayat-ayat al-Qur’an maka hal
tersebut menjadi sebuah penemuan yang menakjubkan, namun jika tidak ada
kesesuaian, maka jangan dipaksakan untuk mensinkronkan antara keduanya.

32
Khâlid ‘Abd al-Raẖmân al-Ak, Usûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduh, (Beirut: Dâr al-Nafîs,
1986), h. 224. Lihat juga Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, (Jakarta:
Amzah, 2007), h. 146-157.
24

6. Menjadikan kandungan ayat-ayat kauniyah sebagai dasar bagi penjelasan dan


penafsiran yang dilakukan mufassir.
7. Seorang mufassir harus berpegang kepada makna kebahasaan terhadap ayat-
ayat yang ingin dijelaskan isyarat ilmiahnya karena ayat-ayat al-Qur’an
tersusun dari Bahasa Arab sehingga tidak mungkin jika aspek ini dihilangkan
dalam sebuah penafsiran.
8. Tidak menyalahi isi syariat Islam dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyah.
9. Penafsirannya harus sesuai (muṯâbiqah) tanpa ada pengurangan atau
penambahan yang diperlukan dalam menjelaskan makna isyarat ayat.
10. Memelihara susunan antarayat dan memelihara munâsabah ayat sehingga
terjalin ikatan antarayat agar memiliki satu tema yang terpadu.
11. Menyeimbangkan antara bidang spesialisasi ilmu yang dimiliki oleh
mufassir dengan kemampuan dirinya dalam menjelaskan makna ayat.

Poin-poin di atas mungkin tak jauh berbeda dengan persyaratan


mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya, namun dalam
tafsir ilmi seorang mufassir harus memperhatikan dua disiplin ilmu sekaligus,
yaitu bidang ilmu pengetahuan yang akan ditelitinya dan ‘ulûm al-Qur’ân serta
perbendaharaan Bahasa Arab. Menurut Alî Iyyâzî bahwa sebuah penafsiran
ilmiah yang baik merupakan hasil kerjasama antara pakar tafsir dan pakar sains
atau bisa juga dikatakan bahwa tafsir ilmi membutuhkan dua gabungan
paradigma, yaitu paradigma ilmu-ilmu al-Qur’an dan paradigma ilmu
pengetahuan.33
Menurut Andi Rosadisastra dalam bukunya yang berjudul “Metode
Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial” dijelaskan mengenai tatacara yang benar
dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyah, diantaranya adalah seorang peneliti
ilmiah harus memahami hakikat ilmu pengetahuan yang sedang ditelitinya,
menentukan fokus penelitiannya, melakukan kerja metodologis sesuai dengan
bidang ilmu pengetahuan yang ditelitinya dengan memperhatikan tujuan dan
mengkaji teori-teori yang sudah muncul sebelumnya. Selanjutnya, seorang
mufassir menentukan kajian ilmiah yang tepat berdasarkan ayat al-Qur’an yang

33
Sayyid Muẖammad ‘Alî Iyyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtihim wa Munhajihim (Teheran:
Wizârah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1386 H), h. 129.
25

akan ditafsirkannya sambil memilah atau menggabungkan beberapa metode


pemahaman suatu teks yang tepat dan selanjutnya menganalisis teks yang
dimaksud dengan selalu berpegang teguh pada tatacara/adab dalam menafsirkan
al-Qur’an. Lebih jelasnya, ia merumuskan langkah-langkah tersebut ke dalam
sebuah peta konsep sebagai berikut34:

Tafsir Ilmi

Paradigma Ilmu dan Paradigma Tafsir al-


Realitas Qur’an

Menentukan Sub-bahasan Menentukan Ayat-Ayat


yang Relevan

Memahami Hakikat Ilmu Memilih Metode


dan Realitas Pemahaman Teks

Kerja Observasi dan Menganalisis Teks dengan


Lapangan Konteks dan Hakikat Ilmu

Landasan Teori atau


Praktek Ilmu dan Realitas
Qur’ani

Rangkaian langkah-langkah di atas mengindikasikan bahwa seseorang


yang ingin menafsirkan ayat al-Qur’an dan dihubungkan dengan teori ilmiah
tetap harus berada pada jalur atau adab dalam menafsirkan al-Qur’an secara
benar. Ia tidak boleh menghilangkan unsur-unsur menafsirkan al-Qur’an pada
umumnya, hanya mungkin terdapat beberapa tambahan yang harus lebih
diperhatikan oleh seorang peneliti tafsir ilmi.

34
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, h. 12-13.
26

Penawaran konsep di atas dapat mengeksplorasi fungsi-fungsi dalam


menafsirkan ayat-ayat kauniyah, diantaranya adalah35:
a. Tabyîn, yaitu menjelaskan teks al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
b. Iʻjâz (mengungkap kemukjizatan al-Qur’an), yaitu pembuktian atas
kebenaran teks al-Qur’an menurut ilmu pengetahuan dan teknologi yang
selanjutnya dapat memberikan dorongan atau stimulan yang nantinya dapat
ditindaklanjuti oleh para ilmuwan dalam meneliti dan mengobservasi ilmu
pengetahuan lewat penafsiran teks-teks al-Qur’an.
c. Istikhrâj al-‘ilm, yaitu adanya isyarat penemuan teori ilmu pengetahuan baru
di mana teks ayat-ayat al-Qur’an berisi isyarat-isyarat ilmiah yang dapat
diteliti oleh para ilmuwan.

35
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, h. 13.
BAB III

GAMBARAN UMUM TAFSIR ILMI KEMENAG RI TENTANG LAUT

A. Mengenal Kitab Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI


1. Sejarah Singkat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an dibentuk sebagai wujud
perhatian pemerintah dalam menjamin kesucian teks al-Qur’an dari berbagai
kesalahan dan kekurangan dalam penulisannya. Pada tahun 1957, pemerintah
membentuk sebuah lembaga kepanitiaan yang bertugas mentashih
(memeriksa/mengoreksi) setiap mushaf al-Qur’an yang akan dicetak dan
diedarkan kepada masyarakat Indonesia. Keberadaan lembaga ini tidak muncul
dalam struktur yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari Puslitbang
Lektur Keagamaan yang kemudian diberi nama Lajnah Pentashihan Mushaf al-
Qur’an.
Seiring berjalannya waktu, tugas-tugas lajnah semakin banyak dan
beragam. Pada tahun 1982, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982
dikeluarkan dalam rangka menguraikan secara resmi tugas-tugas Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an, diantaranya adalah: (1) Meneliti dan menjaga
mushaf al-Qur’an, rekaman bacaan al-Qur’an, terjemah, dan tafsir al-Qur’an
secara preventif dan represif; (2) Mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf
al-Qur’an, al-Qur’an untuk tunanetra (Braille), bacaan al-Qur’an dalam kaset,
piringan hitam dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di Indonesia; (3)
Menyetop peredaran mushaf al-Qur’an yang belum ditashih oleh Lajnah
Pentashih Mushaf al-Qur’an.1

Tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh lajnah hingga tahun 2007.


Namun seiring berjalannya waktu, tugas-tugas lajnah menjadi semakin meluas.
Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama serta untuk meningkatkan dayaguna dan hasil guna

1
Muhammad Shohib, dkk., Profil Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2013), h.
2-3.

27
28

pelaksanaan tugas di bidang pentashihan dan pengkajian al-Qur’an, maka


terbitlah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2007
tentang Organisasi dan Tata Kerja Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an.

Di dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 tahun 2007 Bab 1


pasal 1, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an adalah Unit Pelaksanaan Teknis
Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan yang
berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Kepala Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI. Sejak terbitnya Peraturan Menteri Agama
(PMA) tersebut, Organisasi dan Tata Kerja Lajnah Pentashihan Mushaf al-
Qur’an turut berubah sesuai dengan tugas dan fungsi lajnah dalam diktum
sehingga lajnah mencakup tiga bidang, yaitu (1) Bidang Pentashihan, (2) Bidang
Pengkajian al-Qur’an, dan (3) Bidang Bayt al-Qur’an dan Dokumentasi.2

Berdasarkan fungsi lajnah di atas, kajian tafsir merupakan hasil kerja


dari bidang pengkajian al-Qur’an yang muncul karena masyarakat Islam
Indonesia tidak saja memerlukan mushaf al-Qur’an yang benar dari sisi
penulisannya, tetapi juga benar dari sisi pemahamannya. Apabila dirinci, tugas
Bidang Pengkajian al-Qur’an adalah melaksanakan pengembangan dan
pengkajian al-Qur’an, penerbitan mushaf, terjemah, dan tafsir al-Qur’an; serta
melakukan sosialisasi dan pelaporan hasil pengkajian al-Qur’an.3

2. Latar Belakang Pembuatan Tafsir Ilmi


Salah satu kegiatan Bidang Pengkajian al-Qur’an adalah menyusun
tafsir al-Qur’an. Tafsir pertama yang dibuat adalah tafsir tematik yang
menitikberatkan pembahasannya pada persoalan akidah, akhlak, ibadah, dan
sosial. Tak hanya itu saja, Bidang Pengkajian al-Qur’an juga melakukan kajian
dan penyusunan tafsir ayat-ayat kauniyah, yang dikenal dengan sebutan tafsir
ilmi. Tafsir ini memfokuskan pada kajian saintifik terhadap ayat-ayat kauniyah
dalam al-Qur’an.4

2
Muhammad Shohib, dkk., Profil Lajnah...., h. 4.
3
Muhammad Shohib, dkk., Profil Lajnah...., h. 42.
4
Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an” dalam
Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, h. xiii.
29

Penyusunan kitab tafsir ilmi ini didukung oleh kerjasama yang baik
antara Kementerian Agama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dalam upaya menjelaskan ayat-ayat kauniyah untuk penyempurnaan buku
al-Qur’an dan Tafsirnya. Hasil kajian ayat-ayat kauniyah ini dimasukkan ke
dalam tafsir tersebut sebagai tambahan penjelasan atas tafsir yang ada. Tim
kajian dan penyusunan tafsir ilmi ini terdiri dari para pakar yang dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu: (1) Tim syarʻi yang menguasai persoalan kebahasaan dan
hal lain terkait penafsiran al-Qur’an, seperti asbâb al-nuzûl, munâsabah al-âyât,
riwayat-riwayat dalam penafsiran, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya; (2) Tim
kauni yang menguasai persoalan-persoalan saintifik, seperti fisika, kimia,
geologi, biologi, astronomi, dan sebagainya. Kedua kelompok ini bersinergi
dalam membentuk ijtihâd jamâʻi (ijtihad kolektif) untuk menafsirkan ayat-ayat
kauniyah dalam al-Qur’an.5

Susunan tim penyusun tafsir ilmi sejak tahun 2011 terdiri dari:
Pengarah:
1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
2. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an
Narasumber:
1. Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt., M. Sc.
2. Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA.
3. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar
4. Prof. Dr. H. Muhammad Kamil Tajudin
5. Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA.
Ketua:
Prof. Dr. H. Hery Harjono
Wakil Ketua:
Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA.
Sekretaris:
Prof. Dr. H. Muhammad Hisyam

5
Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah ....”, h. xiii-xiv.
30

Anggota:
1. Prof. Dr. Thomas Djamaluddin
2. Prof. Dr. Ir. Arie Budiman, M. Sc.
3. Prof. Safwan Hadi, Ph. D.
4. Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA.
5. Prof. Dr. H. M. Darwis Hude, M. Si.
6. Prof. Dr. H. E. Syibli Syarjaya, MM.
7. Dr. H. Moedji Raharto
8. Prof. Dr. H. Soemanto Imamkhasani
9. Dr. Ir. H. Hoemam Rozie Sahil
10. Dr. Ir. M. Rahman Djuwansah
11. Dr. Ali Akbar
12. Dra. Endang Tjempakasari, M. Lib.
Selain bekerjasama dengan LIPI, beberapa instansi juga turut
membantu penyusunan buku ini, diantaranya adalah Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN), Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dan
Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB).6
Berikut ini judul-judul kitab tafsir ilmi yang telah diterbitkan oleh
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an sejak tahun 2010 hingga 2016, yaitu:

No. Judul Buku Tahun Terbit


1. Penciptaan Jagat Raya dalam Perspektif al-Qur’an
2010
dan Sains
2. Penciptaan Bumi dalam Perspektif al-Qur’an dan
2010
Sains
3. Penciptaan Manusia dalam Perspektif al-Qur’an dan
2010
Sains
4. Air dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2010
5. Tumbuhan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2010
6. Kiamat dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2010
7. Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2012
8. Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim dalam Perspektif al-
2012
Qur’an dan Sains
9. Seksualitas dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2012

6
Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah.....”, h. xiv-xv.
31

10. Manfaat Benda-Benda Langit dalam Perspektif al-


2012
Qur’an dan Sains
11. Makanan dan Minuman dalam Perspektif al-Qur’an
2013
dan Sains
12. Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2013
13. Waktu dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2013
14. Jasad Renik dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2015
15. Kepunahan Makhluk Hidup dalam Perspektif al-
2015
Qur’an dan Sains
16. Eksistensi Kehidupan di Alam Semesta dalam
2015
Perspektif al-Qur’an dan Sains
17. Cahaya dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2016
18. Gunung dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains 2016
19. Fenomena Kejiwaan Manusia dalam Perspektif al-
2016
Qur’an dan Sains
20. Penciptaan Manusia dalam Perspektif al-Qur’an dan
2016
Sains (Edisi Revisi)
21. Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains (Edisi
2016
Revisi)

Di dalam buku tafsir ilmi Kemenag RI, tim penyusun juga memaparkan
prinsip-prinsip dasar tafsir ilmi yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya
adalah7:
a. Memperhatikan arti dan kaidah-kaidah kebahasaan.
b. Memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan, sebab-sebab ayat dan surah al-
Qur’an, bahkan kata dan kalimatnya saling berkolerasi serta memahami
secara komprehensif atau tidak parsial.
c. Memperhatikan hasil-hasil penafsiran dari Nabi Saw., para sahabat, tâbiʻîn
dan ulama tafsir serta memahami ilmu-ilmu al-Qur’an seperti nâsikh-
mansûkh, asbâb al-nuzûl, dan sebagainya.
d. Tidak menggunakan ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmu untuk
menghukumi benar atau salahnya sebuah hasil penemuan ilmiah.
e. Memperhatikan kemungkinan satu kata atau ungkapan yang mengandung
banyak makna.

Muchlis M. Hanafi, “Kata Pengantar” dalam Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif al-
7

Qur’an dan Sains, h. xxvi.


32

f. Mengetahui objek bahasan ayat termasuk penemuan-penemuan ilmiah yang


berkaitan dengannya.
g. Sebagian ulama menyarankan untuk tidak menggunakan penemuan-
penemuan ilmiah yang masih bersifat teori dan hipotesis, tetapi menggunakan
penemuan yang telah mencapai tingkat kebenaran ilmiah yang tidak bisa lagi
ditolak oleh akal manusia.
Penyusunan kitab tafsir ilmi ini bertujuan untuk menjadikan al-Qur’an
sebagai kitab suci yang memberikan makna spiritual. Melalui karya tafsir ilmi
ini, masyarakat diajak untuk mengamati dan memperhatikan alam semesta
dengan pendekatan teori-teori ilmu pengetahuan yang telah teruji sehingga dapat
mengagungkan Allah sebagai pencipta alam. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan
dari mendalami ayat-ayat kauniyah adalah sebagai perantara dalam menguatkan
ketauhidan seseorang. Setiap ayat yang menyeru untuk menyembah Allah dan
mentauhidkan-Nya selalu diiringi dengan perintah berpikir atau meneliti bukti-
bukti keagungan Ilahi yang tersebar di alam raya ini. Yûsuf al-Qaraḏâwî juga
sependapat dengan hal ini bahwa tafsir ilmi dapat memberikan manfaat bagi
umat Islam dalam upaya peneguhan iman mereka, menghilangkan keraguan, dan
mempertebal hidayah yang mereka dapatkan. Selain itu, tafsir ilmi juga bisa
menjadi perantara untuk meyakinkan orang-orang nonmuslim agar beriman,
meyakini Allah sebagai Tuhan pencipta alam semesta ini.8

Kemunculan tafsir ilmi juga merupakan apresiasi Islam terhadap


perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus menjadi bukti bahwa al-Qur’an dan
ilmu pengetahuan tidak saling bertentangan.9 Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Husain al-Dzahabî bahwa tafsir ilmi adalah sebuah upaya
membahas ilmu pengetahuan dalam penuturan ayat-ayat al-Qur’an serta
berusaha menggali dimensi keilmuan dan menyingkap rahasia kemukjizatan al-
Qur’an mengenai informasi-informasi sains yang mungkin belum dikenal
manusia pada saat ayat tersebut diturunkan dan dapat dibuktikan kebenarannya
pada zaman sekarang sehingga terbukti bahwa al-Qur’an bukan karangan

8
Al-Qaraḏâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 328.
9
Muẖammad Kâmil ‘Abd al-Samad, Mukjizat Ilmiah dalam al-Qur’an, Terj. Alimin &
Uzair Hamdan (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), h. 6-7.
33

manusia, melainkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dari Sang
Pencipta dan Pemilik alam semesta ini.10

B. Studi Kitab Tafsir Ilmi Kemenag RI tentang Laut

1. Sistematika Kitab Tafsir Ilmi Kemenag RI

a. Judul buku: Tafsir Ilmi Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains
b. Penerbit: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI
c. Tempat terbit: Jakarta
d. Tahun terbit: 2013
e. Jumlah halaman:
(1) 19 halaman berisi sambutan-sambutan dan kata pengantar oleh
Menteri Agama, yaitu Drs. Suryadharma Ali, M.Si; Kepala Badan
litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, yaitu Prof. Dr. Machasin,
M.A.; Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian
Agama RI, yaitu Drs. Muhammad Shohib, MA.; Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu Prof. Dr. Lukman Hakim;
dan kata pengantar dari salah satu perwakilan tim penyusun, yaitu
Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA.
(2) 131 halaman isi buku yang terdiri dari: tujuh bab (Pendahuluan;
Penciptaan Samudra; Peran Laut untuk Kehidupan Bumi; Laut
sebagai Tanda Kemahakuasaan Allah; Laut sebagai Rahmat Allah;
Bencana Kelautan; dan Penutup), Daftar Pustaka, dan Indeks.
f. Tebal buku: 2 cm
g. Panjang x lebar buku: 17,5 cm x 25 cm

10
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 497.
34

2. Klasifikasi Data dalam Kitab Tafsir Ilmi tentang Laut

Dalam sub bab ini, penulis memaparkan klasifikasi data pada setiap bab
yang terdapat pada buku tafsir ilmi Kemenag RI tentang laut. Klasifikasi ini
terdiri dari pengantar, teks al-Qur'an utama yang merupakan landasan dari inti
penjelasan pada bab tersebut, argumen (terdiri dari ayat al-Qur’an penjelas,
hadis, dan hasil analisis penyusun), dan rujukan yang terdiri dari kitab-kitab
tafsir yang dirujuk oleh penyusun dalam menafsirkan ayat. Lebih jelasnya,
penulis menyajikannya dalam bentuk tabel sebagai berikut

Argumen
Teks al-
Pengantar Hasil Analisis Rujukan
Qur’an Ayat Hadis
Penyusun
Perumpamaan
kuasa Allah:
Pengulangan
Al-Kahf [18] : 109
ayat tentang
laut dalam al-
Pendahuluan

Batas dua laut:


Qur’an Data rill kondisi
BAB I

Al-Raẖmân [55] :
bertujuan - - laut di bumi -
18-25
untuk
menunjukkan
Kerusakan alam
kekuasaan
akibat ulah
Allah.
manusia:
Al-Rûm [30] : 41
Semua yang hidup - Tahapan - Tafsir al-
berasal dari air: terjadinya laut Qusyairi
Al-Anbiyâ’ [21] : - Fenomena - Tafsir al-
30 gunung api di Alûsî
bawah laut - Tafsir al-
Manfaat hujan: - Fenomena Muntakh
Al-Mu’minûn [23] : pangea yang ab
18 terpecah
Penciptaan Samudra

Al-Naẖl [16] :65 - Keberadaan


Perdebatan Laut Merah dan
mengenai awal Fenomena laut: Laut Mati
BAB II

mula - Al-Ṯûr [52] : 6 - - Macam-macam


munculnya air Al-Infiṯâr [82] : 3 jenis lautan di
di bumi. wilayah
Laut sebagai rekam Indonesia
jejak sejarah: (paparan, selat,
Al-Baqarah [2] : 50 dan lain-lain)

Semua benda di
alam bergerak dan
bertasbih:
Al-Isrâ’ [17] : 44
Al-Naml [27] : 88
35

Al-Baqarah Manfaat laut/air - Laut sebagai


[2] : 164 yang berasal dari sumber utama
Peran Laut untuk Kehidupan laut: siklus air
(tentang Al-Naẖl [16] : 14 - Laut sebagai
Manfaat laut manfaat laut Al-Sajdah [32] : 27 pengatur iklim
BAB III

yang sangat yang global


Bumi

besar bagi menunjukkan Fenomena laut: - -


kehidupan di kebesaran Al-Takwîr [81] : 6
bumi. Allah dan
bertujuan agar
manusia
berpikir)

Manusia yang Al-Baqarah Taskhîr laut: Fenomena laut: Tafsir al-


berakal akan [2] : 164 Ibrâhim [14] : 32 batas dua laut, Muntakhab
dapat ombak di atas
Kemahakuasaan Allah
Laut sebagai Tanda

merenungkan (tentang Fenomena laut: ombak, laut yang


kemahakuasaa manfaat laut Al-Furqân [25] :53 berlapis-lapis, dan
BAB IV

n Allah yang Al-Nûr [24] : 40 api di bawah dasar


dengan menunjukkan Al-Ṯûr [52] : 6 - laut
terciptanya kebesaran
lautan yang Allah
luas dan bertujuan agar
memiliki manusia
banyak berpikir)
manfaat
Manfaat air hujan: - Manfaat - Tafsir al-
Al-Wâqiʻah [56] : diturunkannya Muntakh
68-70 air hujan ab
Al-Furqân [25] : 48- - Manfaat laut - Tafsir
50 - Banyak taman- Ibn
Al-Mu’minûn [23] : taman laut yang Âsyûr
18-20 ada di Indonesia - Pendapat
- Kandungan gizi al-
Taskhîr laut: ikan Zamakhs
Al-Naẖl [16] : 14 - Penjelasan yarî
Lautan yang Luqmân [31] : 31 spesies biota - Tafsir Fî
merupakan Al-Isrâ’ [17] : 66 laut yang bisa Ẕilâl al-
Laut sebagai Rahmat Allah

sumber air Qâf [50] ayat Al-Jâtsiyâh [45] : menjadi bahan Qur’ân
melimpah 9-11 12 obat (Sayyid
adalah bentuk Ibrâhim [14] :32 - Gaya air yang Quṯb)
BAB V

rahmat dan (tentang Al-Hajj [22] : 65 kohesif


-
nikmat yang keberkahan air - Sejarah kapal
dikaruniakan yang Allah Pemanfaatan Nabi Nuh
oleh Allah turunkan) sumber daya laut: - Indonesia
untuk Al-Mâidah [5] : 96 negara maritim
penduduk Fâṯîr [35] : 12 - Cara kerja kapal
bumi. Al-Anbiyâ’ [21] : 82

Bintang sebagai
petunjuk arah:
Al-Anʻâm [6] : 97

Kapal:
Al-Mu’minûn [23] :
27
Yûnus [10] : 22
36

Laut dapat Al-Rûm [30] : Bahaya kegelapan - Macam-macam - Tafsir


menjadi 41 laut: bencana dari Ibn
potensi Al-Nur [24] : 40 laut Âsyûr
bencana bagi (tentang - Dampak
manusia. kerusakan Allah penyelamat bencana laut
Bencana Kelautan

Kejadian ini alam akibat dari segala bencana: bagi wilayah di


Al-Anʻâm [6] : 63
BAB VI

dapat ulah manusia) Indonesia


diakibatkan Al-Isrâ’ [17] : 67 -
oleh ulah
manusia atau
kuasa Ilahi
yang
menunjukkan
ketidakberday
aan manusia.
Samudra
merupakan
salah satu
tanda Pelajaran yang
BAB VII
Penutup

kekuasaan dapat diambil dari


- - - -
Allah dilihat pembahasan tafsir
dari ilmi tentang laut
manfaatnya
yang banyak.
BAB IV

TELAAH TAFSIR ILMI KEMENAG RI TENTANG LAUT

A. Telaah Penafsiran Mengenai Laut dalam al-Qur’an


1. Sumber, Metode, dan Corak Penafsiran
Sumber penafsiran merupakan rujukan yang diambil oleh mufassir
dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, bisa berasal dari tafsîr bi al-ma’tsûr1, tafsîr
bi al-ra’y2, dan tafsîr bi al-isyârî.3
Sedangkan metode tafsir atau biasa disebut dengan manhaj tafsir adalah
cara yang ditempuh oleh mufassir untuk mencapai pemahaman yang benar
tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Metode tafsir
ini berisi kaidah-kaidah yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an.4 Ada beberapa metode yang lazim digunakan oleh para ulama tafsir,
diantaranya adalah metode tafsir tahlîlî5, ijmâlî6, muqâran7, dan maudûʻî8.

1
Tafsîr bi al-ma’tsûr yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya,
dengan hadis Nabi Muhammad Saw., perkataan sahabat, dan pendapat para tâbiʻîn. Model ini juga
bisa disebut dengan penafsiran menggunakan riwayat dan atsar-atsar. Lihat Mannâʻ al-Qaṯṯân,
Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 358.
2
Tafsîr bi al-ra’y, yaitu menjelaskan makna al-Qur’an atas pemahaman dan kesimpulan
yang diambil dari pemikiran seorang mufassir. Model ini bisa disebut dengan penafsiran yang
menggunakan rasio. Lihat Mannâʻ al-Qaṯṯân, Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 362.
3
Tafsîr bi al-isyârî atau al-sûfiyah, yaitu pemafsiran ayat al-Qur’an yang dipengaruhi
dengan pemikiran tasawuf yang berdasarkan pada penyucian jiwa, zuhud, kesederhanaan, dan
ibadah. Model ini bisa disebut dengan penafsiran yang menggunakan intuisi. Tafsîr bi al-isyârî
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, karena ada yang menganggapnya tidak termasuk ke
dalam sumber penafsiran, melainkan masuk ke dalam corak tafsir. Lihat Mannâʻ al-Qaṯṯân,
Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 366.
4
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
h. 55-56.
5
Metode Taẖlîlî adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan mendeskripsikan uraian
makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tertib urutan surat dan ayat al-
Qur’an (tartîb mushafî) dengan melakukan analisis di dalamnya yang meliputi pengertian umum
kosakata ayat, munâsabah, sabab al-nuzûl, qirâ’ât, iʻrab, dan sebagainya. Lihat Amin Suma,
Ulumul Qur’an, h. 379. Lihat juga Quraish, Kaidah Tafsir, h. 378.
6
Metode Ijmâlî adalah metode penafsiran yang hanya menguraikan makna-makna umum
yang terkandung pada ayat yang ditafsirkan. Mufassir langsung menjelaskan kandungan ayat secara
umum atau hukum dan hikmah yang dapat ditarik dari ayat yang ditafsirkan. Lihat Quraish, Kaidah
Tafsir, h. 381.
7
Metode muqâran adalah metode penafsiran yang membandingkan antara perbedaan ayat-
ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi berbeda, namun kandungannya sama; perbedaan ayat al-
Qur’an dengan hadis Nabi Saw.; dan perbedaan pendapat para mufassir terkait penafsiran ayat yang
sama. Lihat Quraish, Kaidah Tafsir, h. 382.
8
Metode mauḏûʻî merupakan metode penafsiran yang membahas tentang suatu persoalan
dalam al-Qur’an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya
yang kemudian dilakukan sebuah analisis menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat tertentu

37
38

Selanjutnya adalah corak tafsir atau biasa disebut dengan laun al-tafsîr
yaitu kecenderungan atau spesifikasi keilmuan seorang mufassir yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, dan mazhab yang
dianutnya. Apabila seorang mufassir adalah ahli bahasa, maka dia akan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui pendekatan kebahasaan atau disebut
dengan corak lughâwî. Apabila seorang mufassir adalah pakar ilmu
pengetahuan, maka ia akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui paradigma
ilmu pengetahuan atau biasa disebut dengan corak ‘ilmî.9

Apabila dilihat dari sumber penafsirannya, tafsir ilmi Kemenag RI ini


termasuk ke dalam tafsir bi al-ra’y. Secara bahasa, ra’yu berarti al-iʻtiqâd
(keyakinan), al-‘aql (akal), dan al-tadbîr (perenungan). Maka dari itu, tafsir bi
al-ra’y juga disebut dengan tafsir bi al-‘aql dan bi al-ijtihâd.10 Sedangkan secara
istilah, tafsir bi al-ra’y adalah upaya mufassir dalam memahami teks al-Qur’an
atas dasar ijtihad dengan tetap memperhatikan Bahasa Arab dari segala sisinya,
lafaz-lafaz Arab dan dalalah-nya, syair-syair Arab, asbâb al-nuzûl, nâsikh-
mansûkh, dan menguasai ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh seorang
mufassir.11

Maksud dari ijtihad yang dilakukan mufassir dalam penafsirannya


adalah berusaha keras untuk memahami makna teks al-Qur’an dan
mengungkapkan maksud kata-katanya serta makna yang terkandung di
dalamnya. Ijtihad ini meliputi semua teks al-Qur’an baik pada ranah kebahasaan
maupun syariat atau bisa juga dikatakan bahwa ijtihad yang dimaksud adalah
menjelaskan kandungan teks al-Qur’an, baik berupa hukum-hukum syariat,
hikmah-hikmahnya, nasihat-nasihatnya, contoh-contoh teladan, dan lain
sebagainya.12
Dalam hal ini, ijtihad para penyusun tafsir ilmi Kemenag RI dalam
menafsirkan ayat-ayat kauniyah adalah berdasarkan perkembangan ilmu

pula untuk menjelaskan maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubungkannya


antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Lihat Musṯafâ Muslim, Mabâẖits fî al-Tafsîr al-
Mauḏûʻî, h.16.
9
Anshori, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 217-218.
10
‘Abd al-Raẖmân al-ʻAk, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ’iduh, h. 167.
11
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 1, h. 222.
12
‘Abd al-Raẖmân al-ʻAk, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ’iduh, h. 176-177.
39

pengetahuan dan teknologi. Pada zaman dahulu, ayat-ayat kauniyah mungkin


hanya bisa dipahami oleh keimanan seorang muslim saja karena tidak ada alat
yang mendukung untuk membuktikan kebenaran ilmiah yang telah disampaikan
oleh Allah melalui ayat-ayat kauniyah. Hal ini jauh berbeda dengan zaman
sekarang di mana ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat
sehingga tidak sedikit penelitian yang dilakukan untuk membuktikan isyarat
ilmiah yang ada di dalam al-Qur’an sehingga manusia dapat memahami ayat-
ayat kauniyah tersebut melalui penemuan ilmiah yang telah teruji oleh para
peneliti.

Sedangkan dilihat dari metode atau manhaj tafsirnya, tafsir ilmi


Kemenag RI menggunakan metode mauḏûʻî. Mauḏûʻî secara bahasa adalah al-
waḏ’u yaitu menempatkan sesuatu. Sedangkan secara istilah tafsir mauḏûʻî
merupakan salah satu metode tafsir yang membahas tentang suatu persoalan
dalam al-Qur’an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara
menghimpun ayat-ayat kemudian menganalisis ayat tersebut untuk menjelaskan
maknanya dengan saling menghubungkan antara ayat yang satu dengan yang
lain.13 Metode mauḏûʻî ini juga bisa disebut dengan metode tauhidi.14 Menurut
Quraish, metode mauḏûʻî memiliki dua model, yaitu15:
a. Menafsirkan ayat al-Qur’an yang terdapat pada satu surah dengan
menjelaskan tujuannya, baik secara umum atau khusus, serta hubungan dari
persoalan yang beragam pada surah tersebut. Dengan demikian, semua
persoalan tersebut akan saling berkaitan satu sama lain.
b. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari
berbagai surah al-Qur’an kemudian menjelaskan ayat-ayat tersebut secara
menyeluruh sebagai jawaban atas persoalan yang menjadi pokok
pembahasan.
Tafsir ilmi Kemenag RI termasuk ke dalam model kedua. Tim penyusun
menentukan berbagai tema kemudian mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan tema tersebut.

13
Musṯafâ Muslim, Mabâẖits fî al-Tafsîr al-Mauḏûʻî, h.15-16.
14
M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 391.
15
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 117.
40

Apabila dilihat dari corak atau laun al-tafsîr, tafsir ilmi Kemenag RI
sudah jelas termasuk ke dalam corak ilmi, yakni corak yang mengarahkan
penafsirannya kepada teori dan istilah ilmiah sebagai upaya untuk menjelaskan
ayat-ayat kauniyah.16 Maka dari itu, teori ilmiah hanya merupakan alat untuk
membantu mufassir dalam memahami ayat-ayat kauniyah yang dituangkan
menjadi sebuah penafsiran. Corak ilmi ini memberi kesempatan yang sangat luas
bagi mufassir untuk mengembangkan potensi keilmuan yang ada di dalam al-
Qur’an dan mengeksplorasi semua wawasan terkait ilmu pengetahuan yang
digeluti oleh mufassir dalam rangka membuktikan kebenaran al-Qur’an.

2. Penafsiran Ayat-Ayat tentang Laut


Terdapat dua term kata laut di dalam Bahasa Arab, yaitu al-yamm dan
al-baẖr. Kata al-yamm diulang sebanyak delapan kali di dalam tujuh ayat al-
Qur’an, diantaranya terdapat pada QS. al-Aʻrâf [7] ayat 136; Ṯâhâ [20] ayat 39,
78, dan 97; QS. al- Qasas [28] ayat 7 dan 40; QS. al-Dzâriyât [51] ayat 40.17
Kata al-yamm ini merupakan bentuk tunggal dan tidak pernah didualkan
(mutsanna) atau dijamakkan. Kata yamm berarti laut yang tidak terlalu dalam.
Kata yamm berasal dari Bahasa Suryani yang kemudian dijadikan Bahasa Arab
untuk mengungkapkan sungai yang lebar dan airnya yang tawar.18 Apabila
dilihat dari ayat-ayat yang terdapat kata al-yamm, semuanya membicarakan
tentang kisah Nabi Musa. Meskipun dalam Bahasa Indonesia al-yamm sering
diartikan dengan laut, namun tampaknya lebih cocok jika diartikan sebagai
sungai yang lebar yang hampir menyerupai laut.19
Kata selanjutnya yang bermakna laut adalah al-baẖr. Kata al-baẖr
diulang sebanyak 41 kali baik dalam bentuk mufrad, mutsanna, ataupun jamak.
20
Al-Baẖr sendiri memiliki makna kumpulan air asin atau tawar. Selain itu, kata
al-baẖr disebut laut karena kedalaman airnya dan wilayahnya yang sangat luas.21

16
Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 474.
17
Muẖammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur’ân al-Karîm
(Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1984), h. 774.
18
Abu Mansûr al-Azharî, Tahdzîb al-Lughah, juz 15 (Beirut: Dâr Iẖyâ’ al-Turâts al-‘Arabî,
2001), h. 460.
19
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 2.
20
Al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur’ân al-Karîm, h. 114.
21
Ibn Manẕûr, Lisân al-ʻArab, juz 4, h. 41.
41

Walaupun dalam Bahasa Indonesia kata al-yamm sering disamakan


dengan al-baẖr yang berarti laut, namun keduanya memiliki perbedaan, yakni
sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa al-yamm lebih cocok diartikan
sungai yang lebar, sedangkan al-baẖr merupakan wilayah perairan asin atau
tawar yang sangat luas dan dalam sehingga dinamakan laut. Al-Baẖr pun sering
diartikan dengan samudra, tetapi makna laut dan samudra ternyata berbeda.
Samudra adalah lautan berapi yang memanjang dari titik pusatnya. Maka, tidak
semua lautan merupakan samudra, namun hanya beberapa laut saja yang bisa
dikategorikan sebagai samudra. Contohnya adalah Laut Merah di mana titik
rekahan atau belahan api yang berada di tengah dasar laut akan semakin
memanjang seiring berjalannya waktu.22 Belahan api Laut Merah mengalami
perluasan 3 cm dalam setahun.23 Maka dari itu, perbedaan samudra dan laut
adalah dilihat dari ada atau tidaknya rekahan api yang semakin memanjang pada
bagian tengah dasar laut.
Berikut ini penulis akan menyertakan ayat-ayat yang menghimpun kata
al-baẖr dalam bentuk tabel sebagaimana berikut:
1. Kata al-baẖr dalam bentuk mufrad
Nomor Nomor
No. Nama surah Potongan Ayat
surah Ayat
1. 2 Al-Baqarah 50

2. 2 Al-Baqarah 164

3. 5 Al-Mâ’idah 96

22
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Manusia, h. 117-118.
23
Zaglul dan Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah..., h. 30.
42

4. 6 Al-Anʻâm 59

5. 6 Al-Anʻâm 63

6. 6 Al-Anʻâm 97

7. 7 Al-A’râf 138

8 7 Al-A’râf 163

9. 10 Yûnus 22

10. 10 Yûnus 90

11. 14 Ibrâhim 32
43

12. 16 Al-Naẖl 14

13. 17 Al-Isrâ’ 66

14. 17 Al-Isrâ’ 67

15. 17 Al-Isrâ’ 70

16. 18 Al-Kahfi 61

17. 18 Al-Kahfi 63

18. 18 Al-Kahfi 79

19.
18 Al-Kahfi 109
20.
21. 20 Ṯâhâ 77

22. 22 Al-Hajj 65

23. 24 Al-Nûr 40
44

24. 26 Al-Syuʻarâ’ 63

25. 27 Al-Naml 63

26. 30 Al-Rûm 41

27. 31 Luqmân 27

28. 31 Luqmân 31

29. 42 Al-Syûrâ 32
30. 44 Al-Dukhân 24
31. 45 Al-Jâtsiyah 12

32. 52 Al-Ṯûr 6
33. 55 Al-Raẖmân 24

2. Kata al-baẖr dalam bentuk mutsanna (baẖrân dan baẖrain)


Nomor Nomor
No. Nama surah Potongan Ayat
surah Ayat
1. 35 Fâṯir 12

2. 18 Al-Kahfi 60
45

3. 25 Al-Furqân 53

4. 27 Al-Naml 61

5. 55 Al-Raẖmân 19

3. Kata al-baẖr dalam bentuk jamak (abẖur dan biẖâr)


Nomor Nomor
No. Nama surah Potongan Ayat
surah Ayat
1. 31 Luqmân 27

2. 81 Al-Takwîr 6
3. 82 Al-Infiṯâr 3

Selanjutnya, berdasarkan klasifikasi data yang dibuat pada bab III,


penulis menyimpulkan bahwa hampir setiap bab pada buku tafsir ilmi Kemenag
RI menjelaskan beberapa topik yang menjadi pembahasan penting, diantaranya
adalah:

a. Manfaat Laut untuk Kehidupan


Keberadaan laut sangat memberi manfaat yang sangat besar bagi
kehidupan di bumi. Mulai dari proses pendinginan bumi yang awalnya sangat
panas, ketersediaan air bagi makhluk hidup, sarana transportasi, siklus air
hujan, terciptanya sumber industri, dan masih banyak lainnya. Di antara
manfaat laut bagi kehidupan adalah:
1) Laut sebagai tempat utama dalam melakukan siklus air atau disebut juga
dengan siklus hidrologi. Tahapan-tahapan siklus air ini akan dijelaskan
sebagai berikut:
Sinar matahari yang dipancarkan ke bumi mengakibatkan suhu air laut
menjadi panas sehingga wujud air yang berupa cairan berubah menjadi
gas/uap air. Proses ini disebut evaporasi. Selanjutnya, uap air naik ke
46

atmosfer dan menjadi dingin serta mengalami proses kondensasi sehingga


membentuk partikel-partikel di udara yang menjadi awan. Apabila awan
sudah cukup menampung partikel-partikel uap air, maka awan akan
melepas uap air yang ada di dalamnya menjadi bentuk hujan, salju, atau
hujan es. Proses ini dinamakan presipitasi. Air hujan yang turun akan
diserap oleh tanaman agar bisa berfotosintesis. Selain itu, air hujan juga
akan diserap oleh permukaan tanah yang selanjutnya bisa tersimpan dan
keluar sebagai mata air atau mengalir ke sungai hingga kembali ke lautan.
Siklus air ini berlangsung secara kontinu sehingga semua makhluk hidup
bisa tetap bertahan hidup di bumi.24 Allah berfirman pada QS. al-Aʻrâf
[7]:57 yaitu:

Artinya: Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira,


mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu
membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu
Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan
hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami
membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil
pelajaran.

Siklus air ini merupakan bentuk pemeliharaan Allah terhadap kehidupan


di bumi. Dengan adanya siklus ini, air selalu diperbarui dan dibersihkan,
dapat menstabilkan cuaca, menyaring air laut yang asin dan pahit menjadi
tawar sehingga bisa digunakan untuk mengairi sawah, menumbuhkan
rerumputan untuk makan hewan ternak, mengganti air tanah yang dipompa
keluar untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan air yang baru, dan
masih banyak lagi manfaatnya.25
2) Laut yang sangat luas menyimpan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Aneka biota laut terus melangsungkan kehidupannya secara alamiah
sehingga keseimbangan ekosistem26 laut tetap terjaga. Berbagai jenis ikan

24
Indarto, Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), h. 5-6.
25
Hudzaifah Ismail, Kerajaan al-Qur’an, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 269.
26
Ekosistem adalah komunitas makhluk hidup dan lingkungan fisiknya yang saling
berinteraksi. Lihat Mien A. Rifai, Kamus Biologi, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), h. 95.
47

yang tersedia melimpah di lautan mengandung sumber protein bagi


manusia. Kehalalannya pun sudah telah dijamin oleh Allah sebagaimana
firman-Nya dalam QS. al-Mâ’idah [5] ayat 96:

Artinya: Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang


berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-
orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap)
hewan darat selama kamu sedang ihram. Bertakwalah kepada Allah yang
kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali).

Hewan buruan laut yang dimaksud dalam ayat ini adalah semua hewan
yang berada dan tinggal di laut, kecuali jenis katak dan kura-kura. Kedua
hewan ini diharamkan untuk dimakan karena merupakan hewan yang
tinggal di dua alam, yakni laut dan darat. Sedangkan makna adalah

makanan yang berasal dari laut termasuk juga di dalamnya hewan yang
telah mengapung di permukaan atau yang sudah menjadi bangkai. Hal ini
27
didasarkan pada hadis Nabi saw. (laut

itu suci airnya dan halal bangkainya).28


Selain itu, ada juga kerang mutiara yang dapat dipakai menjadi
perhiasan oleh manusia bahkan bisa menjadi hasil laut yang memiliki
komoditas ekonomi paling tinggi. Allah berfirman pada QS. al-Naẖl [16]
ayat 14:

Artinya: Dan Dia-lah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu


dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya dan (dari lautan itu)
kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat
perahu berlayar padanya agar kamu mencari sebagian karunia-Nya dan
agar kamu bersyukur.

27
Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î al-Kubrâ, juz 3 (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1991), h. 163.
28
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 7 (Tûnis: Dâr al-Suhnûn
li al-Nasyr wa al-Tauzîʻ, 1997), h. 51.
48

Ayat ini menerangkan bahwa penyebutan daging yang segar adalah ikan-
ikan yang berada di laut. Manusia juga dapat menikmati keindahan mutiara
yang berasal dari kerang/tiram yang berada di laut. Ada pula karang/koral
yang tumbuh di dasar laut.29 Ada juga terumbu karang yang merupakan
kumpulan polip karang, yakni binatang kecil dengan rangka keras yang
tersusun dari kalsium karbonat. Ganggang kecil tumbuh di dalam rangka
tersebut. Manfaat terumbu karang antara lain adalah: pemecah gelombang
alami, melindungi pantai, tempat yang sangat cocok bagi bibit ikan, dan
menjadi rumah bagi organisme kecil di lautan. Sedangkan di bidang
pariwisata, keindahan terumbu karang dapat memberikan sumber
pendapatan yang tinggi dengan cara dikunjungi oleh para wisatawan dari
mancanegara. Yang lebih hebat lagi, para ilmuwan telah menemukan
bahan kimia yang terkandung di dalam karang dapat menyembuhkan
penyakit HIV.30
3) Laut juga menjadi sumber mata pencaharian bagi para nelayan.
Kemudahan para nelayan untuk menangkap ikan di lautan terjadi akibat
adanya angin darat. Nelayan pergi ke laut ketika ada angin darat, yakni
angin berhembus dari darat ke laut yang terjadi pada malam hari. Mereka
berangkat dengan membawa lentera dan jala. Selain gerakan angin yang
dapat memudahkan nelayan bergerak ke tengah laut, menangkap ikan di
malam hari lebih mudah daripada di siang hari karena lentera yang nelayan
bawa merupakan sumber cahaya di mana plankton akan bergerak ke arah
cahaya sehingga ikan-ikan pun berkumpul di sekitar plankton untuk
memakannya. Pada kesempatan inilah nelayan bisa langsung menangkap
ikan dengan jala yang mereka bawa.31 Selain itu, laut juga bisa dijadikan
tempat pariwisata yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pekerjaan dan
pendapatan bagi manusia.32 Hal ini menunjukkan bahwa laut dapat
dijadikan pula sebagai sarana transportasi untuk mengantarkan manusia

29
Tantâwî Jauharî, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, juz 8 (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.th.), h. 73-74.
30
Evan Brothers Limited, Kelestarian Laut, Terj. Liliy Nurulia (Solo: Tiga Serangkai,
2009), h. 12.
31
Hudzaifah Ismail, Kerajaan al-Qur’an, h. 152.
32
Evan Brothers Limited, Kelestarian Laut, h. 6-7.
49

dari satu tempat ke tempat lain. Semua ini tertuang dalam firman-Nya yang
berbunyi:

Artinya: Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu


berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang
yang sangat sabar dan banyak bersyukur. (QS. Luqmân [31]:31).

Dalam hal ini manusia harus sadar bahwa Allah telah menundukkan
laut agar bisa dijadikan tempat berlayar bagi manusia. Penundukan laut
oleh Allah ini diantaranya adalah kapal dapat berjalan dengan bantuan
angin yang digerakkan oleh Allah33, sebagaimana yang dijelaskan pada
QS. Yûnus [10] ayat 22, yaitu:

.
Artinya: Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,
(dan berlayar) di lautan sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan
meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di
dalamnya) dengan tiupan angin yang baik.

4) Laut dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif.


Seiring dengan perkembangan zaman, maka semakin beragam pula
kebutuhan dalam hidup manusia. Manusia akan lebih banyak
membutuhkan bahan dari sumber daya alam yang ada demi memenuhi
kebutuhannya. Di sini, laut yang luasnya hampir memenuhi 70%
permukaan bumi memiliki peran untuk menghasilkan energi. Laut dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik, baik itu berasal
dari energi gelombang laut, energi panas laut, energi pasang surut air laut,
energi arus, dan energi bahan bakar nabati atau biofuel dari rumput laut.34

33
Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta, (Bandung: Mizan, 2015), h. 523.
34
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 81.
50

Ini merupakan sebuah terobosan baru sebagai pengembangan sumber


energi alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
5) Laut sebagai alat penetralisir polutan yang dibuang ke laut, baik dari
limbah, sampah, dan kotoran lainnya.
Air laut merupakan zat pelarut yang mampu melarutkan zat-zat lain yang
masuk ke dalam laut, termasuk di dalamnya polutan. Sifat ini dapat dilihat
dari unsur-unsur pokok yang terkandung dalam air laut, diantaranya adalah
ion klorida, sulfat, bikarbonat, bromid, borat, fluorid, sodium, magnesium,
kalsium, potassium, dan strontium. Selain itu, proses penetralisiran
polutan dapat dibantu dengan adanya gelombang/arus air laut dan ombak
yang terus mengalir membersihkan polutan.35
6) Garam yang terdapat pada air laut memberikan manfaat yang besar, salah
satunya dijadikan sebagai bahan makanan dengan gizi yang tinggi serta
mudah dijangkau oleh manusia. Asal-usul zat garam yang terdapat pada
air laut berasal dari dasar laut melalui proses outgassing, yaitu rembesan
dari kulit bumi di dasar laut yang berbentuk gas hingga bercampur dengan
air laut. Kikisan kerak bumi, gas, dan air laut saling bercampur dan terlarut
hingga membentuk garam di laut. Zat-zat terlarut yang membentuk garam
diantaranya terdiri dari konstituen utama (klorida, natrium, sulfat, dan
magnesium), gas terlarut (karbon dioksida, nitrogen, dan oksigen), unsur
hara, dan unsur runut.36

b. Fenomena Laut
Topik selanjutnya yang sering muncul dalam pembahasan tafsir ilmi
adalah fenomena laut. Dalam buku tafsir ilmi Kemenag RI, fenomena laut ini
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: batas dua laut, ombak di atas ombak,
laut yang berlapis-lapis, dan api di bawah dasar laut. Penjelasan selengkapnya
akan penulis paparkan sebagai berikut.
1) Batas dua laut

35
Sahala Hutabarat & Stewart M. Evans, Pengantar Oseanografi, (Jakarta: UI Press, 1985),
h. 54-55.
36
Kasijan Romimohtarto & Sri Juwana, Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut, (Jakarta: Djambatan, 2007), h. 20.
51

Salah satu ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang batas dua laut
ini adalah QS. al-Furqân [25] ayat 53 yang berbunyi:

Artinya: Dan Dia-lah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan);


yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit; dan Dia
jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus.

Ayat lain yang juga membicarakan fenomena ini adalah QS. al-Raẖmân [55]
ayat 19-20, QS. Fâṯir [35] ayat 12, dan QS. al-Naml [27] ayat 61.
Berdasarkan penelitian, para ahli kelautan berhasil menyingkap
adanya batas antara dua lautan yang berbeda. Mereka menemukan adanya
pemisah yang dinamakan front (jabhah). Di antara pertemuan dua laut
tersebut, terdapat lapisan-lapisan air pembatas yang berfungsi memelihara
karakteristik khas tiap laut dalam hal kadar berat jenis, kadar garam, biota
laut, suhu, dan kemampuan melarutkan oksigen.37 Hal ini juga bisa disebut
dengan “tegangan permukaan”, di mana antara dua laut tersebut tidak akan
pernah bercampur satu sama lain karena partikel tiap-tiap air menarik diri dari
yang lain sehingga menimbulkan semacam ketegangan di permukaan kedua
laut.38
Secara saintifik, batas dua laut dapat berupa batas horizontal, yaitu
ketika massa air laut yang satu berada di atas massa air laut yang lain, atau
batas vertikal, yaitu ketika massa air laut yang satu berada di sisi massa air
laut yang lain. Contoh pertemuan dua laut yang membentuk bidang pemisah
horizontal adalah pertemuan antara Laut Tengah atau Laut Mediterania yang
asin dengan salinitas39 38 ppt, dengan Lautan Atlantik Utara bagian timur
yang kurang asin dengan salinitas 36 ppt. Massa air Laut Mediterania yang
lebih berat bergerak di bawah masssa Lautan Atlantik Utara yang lebih
ringan. Contoh lainnya adalah pertemuan laut air tawar dan segar dengan laut

37
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 40.
38
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, h. 532.
39
Salinitas adalah ukuran konsentrasi total garam yang terlarut dalam air laut. Lihat Mien
A. Rifai, Kamus Biologi, h. 414.
52

air asin dan pahit ditemui pada Laut Cina Selatan dengan Lautan Pasifik di
perairan Laut Jawa.
Sedangkan pertemuan dua laut yang membentuk bidang pemisah
vertikal ditemui di sebelah timur Kepulauan Jepang. Tempat terjadinya di
pertemuan antara arus Oyashio yang dingin bergerak ke selatan dengan arus
Kuroshio yang hangat dan bergerak ke utara. Hal serupa juga ditemukan di
perairan Laut Agulhas, tempat terjadinya pertemuan massa air Lautan
Atlantik Selatan yang kurang asin dengan massa air Lautan Hindia yang
asin.40

2) Ombak di atas ombak


Ayat al-Qur’an yang mendasari fenomena laut ini adalah QS. al-
Nûr [24]:40 yang berbunyi:

Artinya: Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan


yang dalam yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada
(lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia
mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa
tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai
cahaya sedikit pun.

Makna dari ayat di atas adalah sebuah pemisalan bagi orang-orang


kafir yang merupakan peringatan dari Allah di mana pemisalan kesesatan
orang-orang kafir diibaratkan sebagai kegelapan; amalan yang diusahakan
oleh orang-orang kafir diibaratkan sebagai laut yang mampu menampung
amalan baik maupun buruk; amalan baik yang pernah mereka lakukan
diibaratkan sebagai gelombang pertama, sedangkan amalan buruk seperti
mempersembahkan sesajian untuk berhala diibaratkan sebagai gelombang
kedua yang dapat membenamkan gelombang pertama; keburukan orang-
orang kafir ini diibaratkan sebagai awan yang menutupi cahaya yang
datang dari langit; dan keinginan orang-orang kafir untuk mengambil

40
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 43.
53

manfaat dari amalan mereka diibaratkan dengan ketidakmampuan melihat


tangan yang mereka keluarkan dalam kegelapan.41 Dapat ditarik
kesimpulan bahwa makna ayat ini adalah sebanyak apapun amalan baik
yang dilakukan oleh orang kafir akan sia-sia dan tidak akan menghasilkan
manfaat sedikitpun dikarenakan kekafiran yang masih melekat pada diri
mereka sehingga dapat menghalangi petunjuk Allah yang turun kepada
mereka.
Sedangkan menurut penjelasan sains, ombak tidak hanya terjadi di
atas permukaan laut namun juga terjadi di bawah permukaan laut. Di
permukaan laut ombak terjadi akibat pengaruh angin, energi dari angin
ditransfer ke permukaan laut sehingga menimbulkan ombak atau
gelombang laut. Sedangkan gelombang yang terjadi di bawah permukaan
laut disebut juga dengan gelombang internal. Hal ini terjadi akibat
gangguan pada bidang antara (interface) yang memisahkan dua lapisan air
yang mempunyai densitas berbeda. Gelombang internal ini dapat terjadi di
daerah-daerah yang memiliki bukit bawah laut (sill) yang dipengaruhi oleh
arus pasut. Contoh gelombang internal ini terjadi di Selat Lombok yang
bergerak ke arah utara (ke arah Laut Flores) dan ke arah selatan (ke arah
Lautan Hindia) karena perubahan arah arus pasut.42
Selain membicarakan tentang ombak yang berlapis-lapis, ayat di
atas juga membicarakan tentang kegelapan yang berlapis-lapis disebabkan
kadar cahaya yang masuk hingga ke dasar laut semakin sedikit. Dalam
buku Marine Optics karya Nils Gunnar, sebagaimana yang dikutip oleh
Nadiah Thayyarah, bahwa pada kedalaman 35 meter tingkat pencahayaan
air laut bisa turun mencapai 10% dari cahaya yang ada di permukaan. Pada
kedalaman 85 meter mencapai 1%, pada kedalaman 135 meter mencapai
0,1%, dan pada kedalaman 190 meter mencapai 0,01%.43 Dengan
demikian, lapisan laut berdasarkan ketersediaan cahayanya bisa dibagi
menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan euphotic atau disebut juga sunlight zone

41
Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 18, h. 257.
42
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 43-45.
43
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, h. 542.
54

(kedalaman 0-80 m), lapisan disphotic atau twilight zone (kedalaman 80-
200 m), dan lapisan aphotic atau midnight zone (kedalaman lebih dari 200
m). Lapisan euphotic merupakan lapisan yang mendapat sinar matahari
yang cukup banyak. Lapisan disphotic merupakan lapisan yang kurang
mendapat sinar matahari, dan lapisan aphotic adalah lapisan yang tidak
mendapat sinar matahari. Inilah yang diungkapkan dalam ayat al-Qur’an
di atas sebagai “gelap gulita yang bertindih-tindih”. 44

3) Api di Bawah Dasar Laut


Ayat al-Qur’an yang mendasari fenomena laut ini adalah QS. al-
Ṯûr [52] ayat 6 yang berbunyi:

Artinya: Dan laut yang di dalam tanahnya ada api. (QS. al-Ṯûr [52]:6).
Bagi sebagian orang, ayat di atas hanya bisa dibenarkan dengan
keimanan saja, terlebih lagi pada masa ayat itu diturunkan. Hal ini terbukti
masyarakat Arab mengenal makna sajara sebagai menyalakan tungku
pembakaran hingga membuatnya panas atau mendidih, sehingga dalam
persepsi mereka bahwa api dan air adalah sesuatu yang bertentangan dan
tidak mungkin bisa menyatu.45 Namun, dengan kemajuan IPTEK, lokasi
panas di dasar laut banyak dijumpai oleh para ilmuwan, yakni adanya
gunung api di dasar laut yang disebabkan oleh pertemuan dua lempeng
tektonik yang berimpitan dengan punggungan tengah samudra. 46 Hal ini
diperkuat lagi dengan adanya rangkaian gunung berapi (volcanic mountain
chain) yang membentang berpuluh-puluh ribu kilometer di dasar samudra.
Salah satu contohnya adalah gunung berapi di dasar Laut Merah dengan
suhu panasnya yang melebihi 1000º C yang berisi magma bebatuan yang
mampu menimbulkan pendidihan di dasar samudra.47

44
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 51-52.
45
Zaglul al-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunah, Terj. Zainal Abidin & Syakirun Ni’am,
(Jakarta: Amzah, 2006), h. 154.
46
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 47.
47
Zaglul al-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunah, h. 156-157.
55

Fenomena ini juga didukung oleh hadis Nabi:

48
.
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada yang menyebrangi laut
kecuali orang-orang yang berhaji, umroh, atau berperang di jalan Allah.
Sesungguhnya di bawah lautan terdapat api dan di bawah api terdapat
lautan”.

Dalam kitab ‘Aun al-Maʻbûd syarẖ Sunan Abî Dâwud dijelaskan


bahwa fenomena api di bawah laut ini merupakan kuasa Allah. Al-
Khaṯṯabî menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan kedahsyatan laut
dilihat dari hal yang mengerikan berupa api yang terletak di dasar laut.49
Melihat fenomena ini, manusia akan dibuat terkagum-kagum dengan
ketelitian ilmiah dan bahasa yang tinggi oleh al-Qur’an di mana Allah
memilih kata al-masjûr (pada QS. al-Ṯur [52]:6) yang berarti sesuatu yang
dipanaskan dan disifatkan kepada laut. Selain itu, manusia juga akan
dibuat takjub pada Nabi yang ummi, namun memiliki kemampuan ilmiah
mengenai fenomena ini yang diiisyaratkan melalui hadis di atas. Ini
merupakan bukti kebenaran risalah dan kenabian Rasulullah Saw.50

c. Sosialisasi Pemerintah Indonesia ke dalam Tafsir Ilmi

Hampir setiap bab dalam buku tafsir ilmi Kemenag RI ditemukan


berbagai penjelasan ke-Indonesia-an yang terkait dengan laut. Hal ini
menandakan bahwa terdapat upaya sosialisasi pemerintah Indonesia terkait
hal-hal yang berkaitan dengan laut yang ada di Indonesia.
Perihal ini dibuktikan pada konteks ke-Indonesia-an bahwa
penyusunan tafsir ilmi ini tidak terlepas dari sebuah langkah konkret dari

48
Abû Dâwud al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, juz 3 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 6.
49
Abû Ṯayyib Muhammad Syams al-Haq, ‘Aun al-Maʻbûd, (Madinah: al-Maktabah al-
Salafiyah, 1968), jilid 7, h. 167.
50
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Quran, h. 539.
56

pengamalan amanat pasal 29 UUD 1945 bahwa pemerintah menaruh


perhatian besar terhadap upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama,
salah satunya adalah peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan
agama yang diwujudkan dengan penyediaan kitab suci al-Qur’an dan
tafsirnya bagi umat Islam.51 Hal ini yang mungkin mendasari beberapa
penjelasan mengenai laut diwarnai oleh konteks wilayah Indonesia dan
beberapa hal juga akan berkaitan dengan sosialisasi kebijakan pemerintah.
Penulis akan mengelompokkan penjelasan ini menjadi 3 macam, diantaranya:
(1) Ragam Bentuk Wilayah Laut Indonesia
Laut bagi Indonesia merupakan sesuatu yang sangat berharga
karena dua pertiga dari wilayah Indonesia ditutupi oleh laut. Letak
Indonesia yang berada di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia
menyebabkan Indonesia memiliki wilayah perairan yang beragam.
Hampir semua bentuk dasar laut dapat ditemukan, seperti paparan,
lereng, cekungan yang jeluk berupa basin dan palung, kenaikan dasar laut
berupa punggung-punggung atau tanggul-tanggul, terumbu karang,
atol52, beting53, gosong, dan lain-lain.54
Salah satu bentuk laut di Indonesia yang dijelaskan dalam tafsir
ilmi yang disusun oleh Kemenag RI adalah paparan. Paparan merupakan
dasar laut yang datar dan dangkal.55 Dahulunya, paparan merupakan
sebuah daratan yang menggabungkan beberapa wilayah. Namun seiring
berjalannya waktu, air laut meluap dan menggenangi daratan tersebut
sehingga terbentuklah sebuah paparan. Indonesia memiliki dua wilayah
perairan dangkal yang terletak di barat dan timur. Dangkalan yang
terletak di barat dinamakan Paparan Sunda dan yang di bagian timur
dinamakan Paparan Sahul. Wilayah Paparan Sunda mencakup sejumlah

51
Machasin, “Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI” dalam Tafsir Ilmi:
Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, h. xi.
52
Atol adalah pulau karang yang rendah berbentuk cincin dengan bagian laut terkurung di
dalamnya menyerupai sebuah danau; rangkaian pulau karang kecil-kecil yang tersusun seperti
lingkaran. Lihat Mien A. Rifai, Kamus Biologi, h. 37.
53
Beting adalah bukit pasir yang tenggelam di laut dangkal dekat pantai. Lihat Mien A.
Rifai, Kamus Biologi, h. 56.
54
Kasijan Romimohtarto & Sri Juwana, Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut, h. 4.
55
Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1123.
57

danau dan sungai yang berada di Kalimantan, Jawa, dan Sumatera yang
bermuara ke Laut Cina Selatan dan Selat Makassar. Sedangkan Paparan
Sahul berada diantara Papua dan Australia serta mencakup Laut Arafuru
dan Laut Timor.56
Selain paparan, Indonesia juga memiliki banyak selat57 yang
terbentuk akibat pergerakan lempeng-lempeng tektonik, diantaranya
adalah Selat Sunda yang memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera serta
Selat Makassar yang memisahkan Pulau Sulawesi dan Pulau
Kalimantan.58

(2) Indonesia Negara Maritim


Luas perairan yang meliputi hampir 60% dari total luas wilayah
Indonesia sebesar 1.929.317 km² menyebabkan Indonesia layak disebut
sebagai negara maritim. Hal ini diperkuat dengan kondisi bentangan laut
dari timur ke barat sepanjang 5.150 km dan bentangan utara ke selatan
sepanjang 1.930 km.59
Sebagai negara maritim, Indonesia tak lepas dari sejarah
Kerajaan Sriwijaya yang sangat mengandalkan kekuatan armada lautnya
dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, dan membangun
kawasan strategis sebagai pangkalan armada laut. Hal ini menunjukkan
sejak dahulu laut dijadikan sebagai sarana transportasi oleh penduduk
Indonesia untuk mendukung kegiatan perdagangan kerajaan saat itu.60
Pemanfaatan laut selain sebagai sarana transportasi juga bisa
dinikmati berbagai hasil pangannya. Hal ini dibuktikan dengan hasil laut
Indonesia yang amat melimpah sebagaimana data dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan menyebutkan potensi sumber daya ikan laut
Indonesia diperkirakan sebesar 6.408 juta ton per tahun, yang terdiri dari

56
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 16-17.
57
Selat adalah laut di antara pulau-pulau. Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 1389.
58
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 20.
59
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 81.
60
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 74-75.
58

pelagis61 besar sekitar 1.165 juta ton, pelagis kecil sekitar 3.605 juta ton,
demersal62 sekitar 0,145 juta ton, udang dan cumi-cumi sekitar 0,128 juta
ton.63 Selain memiliki hasil laut yang melimpah ruah, Indonesia juga
memiliki taman-taman laut yang indah sehingga banyak dijadikan tempat
wisata, contohnya Laut Banda di Maluku, Bunaken dan Wakatobi di
Sulawesi, Raja Ampat di Papua, Pulau Seribu di Jakarta, dan beberapa
laut yang ada di Bali dan Lombok.64

(3) Bencana Kelautan di Indonesia


Lautan luas yang meliputi Indonesia menyebabkan negeri ini
sering mengalami bencana yang berasal dari laut. Di antara beberapa
bencana tersebut adalah:
a. Gelombang badai
Gelombang badai terbesar yang pernah menimpa Indonesia
adalah gelombang badai pasang dengan tinggi 2-6 meter disertai
kecepatan angin 49 km/jam telah menerjang 11 provinsi (Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali) pada 18 Mei
2007 lalu.65
b. Tsunami
Informasi yang didapat dari Katalog Tsunami Indonesia
menunjukkan setidaknya telah terjadi 110 kali bencana tsunami di
Indonesia, 100 diantaranya disebabkan oleh gempa bumi, 9 kali
akibat letusan gunung berapi, dan 1 kali akibat tanah longsor.
Tercatat bahwa tsunami tertinggi yang melanda Indonesia
adalah tsunami Oma pada tahun 1674 yang terjadi di Laut Banda

61
Pelagis adalah ikan yang hidup di permukaan atau perairan pantai. Lihat Kamus Bahasa
Indonesia, h. 1141.
62
Demersal adalah ikan yang hidup di dekat dasar laut, tetapi mampu berenang secara
bebas aktif. Lihat Mien A. Rifai, Kamus Biologi, h. 78.
63
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 61.
64
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h, 57.
65
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 101-102.
59

dengan tinggi mencapai 80 meter dan menewaskan 2.970 orang.


Selanjutnya tsunami Krakatau pada tahun 1883 dengan tinggi 63
meter yang menewaskan 36.714 orang. Yang terakhir adalah
tsunami Aceh dengan tinggi sekitar 30 meter yang menewaskan
283.000 orang dan merusak pantai Thailand, India, dan Srilanka.66
c. Pencemaran laut
Pencemaran laut dapat menyebabkan tertutupnya permukaan
laut dan menurunkan kualitas air serta mengganggu stabilitas
populasi organisme lainnya termasuk menyebabkan kematian ikan
dalam jumlah besar seperti yang pernah terjadi di Teluk Jakarta.67
Selat Malaka juga menjadi tempat yang sangat rawan akan tumpahan
minyak karena merupakan jalur pelayaran kapal-kapal tanker. Pada
29 Agustus hingga 3 November 2009 Laut Timor juga tercemar oleh
tumpahan minyak mentah akibat meledak dan terkabarnya unit
pengeboman West Atlas milik ladang minyak Montara.68
d. Bencana iklim
Bencana iklim yang dimaksud adalah fenomena El-Nino dan
La-Nina. Kedua fenomena ini dapat menyebabkan curah hujan yang
tinggi sehingga menyebabkan banjir atau sebaliknya dapat
menyebabkan kekeringan karena kurangnya jumlah curah hujan dan
penguapan yang besar.69 Selain itu, banjir juga dapat disebabkan
karena melimpahnya air laut yang terjadi akibat perubahan tinggi
muka air laut sehingga dapat menggenangi daerah pesisir yang
topografinya lebih rendah daripada muka laut rata-rata, seperti

66
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 103-106.
67
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 109-110.
68
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 111.
69
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 115.
60

pesisir utara Jakarta (Muara Baru dan Muara Angke) dan


Semarang.70

3. Perbedaan Penafsiran Tafsir Ilmi Kemenag RI dengan Kitab Tafsir


Ilmi Lainnya

Di antara penafsiran ayat-ayat laut yang dijelaskan oleh tim penyusun


tafsir ilmi Kemenag RI, ada beberapa perbedaan penafsiran dengan beberapa
kitab tafsir lainnya yang sama-sama mempunyai corak ilmi. Penulis melakukan
perbandingan antara penafsiran tim penyusun tafsir ilmi Kemenag RI dengan
kitab al-Taẖrîr wa al-Tanwîr karya Ibn ‘Asyûr71 dan kitab I’jâz al-‘Ilmî fî al-
Qur’ân wa al-Sunnah karya Zaglul al-Najjâr dan al-Kahil.72

a. Penafsiran QS. al-Takwîr [81] ayat 6 ( )


Tafsir ilmi Kemenag RI dalam menafsirkan ayat tersebut
mengaitkannya dengan manfaat laut sebagai pengatur iklim global. Hal ini
terjadi akibat interaksi air laut dan atmosfer yang terjadi di ekuator Samudra
Pasifik yang dikenal dengan ENSO (El-Nino Southern Oscillation), yaitu
gerakan kolam air hangat di ekuator Samudra Pasifik yang berdampak pada
cuaca dan iklim lokal maupun global. Manfaat laut sebagai pengatur iklim
global ini dijelaskan dalam empat macam peristiwa, yaitu73:
1) El-Nino merupakan fenomena meningkatnya suhu muka laut di sekitar
Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator sehingga menyebabkan
adanya pemanasan dalam skala besar yang mempengaruhi perubahan

70
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 118.
71
Nama lengkapnya adalah Muẖammad Ṯâhir Ibn ‘Asyûr, lahir di Tûnis pada tahun 1296
H//1878 M dan wafat pada tahun 1393 H/1973 M. Beliau menulis kitab al-Tahrîr wa al-Tanwîr ini
pada tahun 1340 H-1380 H. Kitab ini terdiri dari 30 juz dalam 15 jilid yang disusun secara taẖlîlî.
(Lihat ‘Alî Iyyâzî, al-Mufassirûn, juz 1, h. 358-359). Kitab ini dapat dikategorikan kitab tafsir ilmi
karena beliau termasuk mufassir yang menerapkan teori-teori ilmiah dalam memahami ayat
terutama yang terkait dengan iptek dan alam. Hal ini bisa diperhatikan dalam kitab tafsir beliau
ketika menerangkan ayat-ayat kauniyah. Lihat Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-Kitab
Tafsir (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013).
72
Alasan penulis memilih Zaglul dan al-Kahil adalah karena beliau merupakan profesor di
bidang geologi yang memiliki banyak kajian ilmiah yang bericirikan keseimbangan, proporsional,
dan menjauhi sikap ekstrem. Lihat Yûsuf al-Qaraḏâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, h. 324.
73
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 27-32.
61

iklim. Peristiwa El-Nino ini dapat menyebabkan Indonesia mengalami


kekeringan panjang yang berlangsung 9-12 bulan.
2) La-Nina merupakan fenomena yang terjadi akibat penguatan angin pasat
di atas kondisi rata-rata yang membuat temperatur laut berada pada kisaran
1-3º C di bawah normal sepanjang ekuator Pasifik Tengah dan Pasifik
Timur. Peristiwa ini dapat menyebabkan Indonesia mengalami curah hujan
lebih banyak dari biasanya atau bisa dikatakan bahwa La-Nina merupakan
fenomena kebalikan dari El-Nino.
3) Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan fenomena yang mirip ENSO,
tetapi terjadi di Samudra Hindia. Peristiwa IOD ini terjadi akibat tekanan
udara yang terjadi antara wilayah barat Sumatera dan wilayah timur Afrika
sehingga menyebabkan curah hujan yang tinggi atau kekeringan yang
berkepanjangan tergantung temperatur permukaan di kedua wilayah
tersebut.
4) Sirkulasi Thermolin-Conveyor Belt atau disebut dengan sistem sirkulasi
arus lapisan dalam. Sirkulasi ini merupakan bagian dari sistem transpor
panas yang dilakukan oleh laut. Untuk mempertahankan temperatur bumi,
laut mentranspor setengah jumlah panas dari daerah tropis ke lintang
tinggi. Contohnya, panas yang dibawa oleh arus di Teluk Meksiko dapat
berfungsi menghangatkan Eropa.

Apabila dibandingkan dengan buku mukjizat ilmiah karya Zaglul al-


Najjar dan Abdul Daim al-Kahil, QS. al-Takwîr ayat 6 ini dikaitkan dengan
peristiwa yang terjadi pada hari kiamat, yakni meluapnya air laut karena
adanya letusan gunung berapi di bawah laut. Zaglul dan al-Kahil menjelaskan
lebih lanjut bahwa peristiwa ini didukung oleh hadis Nabi yang menerangkan
tentang adanya api yang keluar dari Kota ‘Adn yang akan menggiring semua
manusia ke Mahsyar.74 Berikut ini redaksi hadisnya:

74
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 43.
62

Artinya: ‘Ubaid Allâh ibn Mu’âdz al-‘Anbarî menyampaikan kepada kami


dari ayahnya, dari Syuʻbah, dari Furât al-Qazzâz, dari Abî al-Ṯufail, dari Abî
Sarîẖah Hudzaifah ibn Usaid berkata, “Suatu saat Nabi berada dalam kamar,
sedangkan kami berada lebih rendah dari beliau. Lalu beliau melihat kami dan
bertanya, ‘Apa yang sedang kalian perbincangkan?’ Kami menjawab,
‘Tentang kiamat.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya hari kiamat tidak akan
terjadi hingga muncul sepuluh tanda: gerhana di timur, gerhana di barat,
gerhana di Jazirah Arab, al-dukhân, dajjâl, ya’jûj dan ma’jûj, terbitnya
matahari di tempat terbenamnya, api yang keluar di ujung ‘Adn yang
menggiring umat manusia.”
Syuʻbah berkata, ‘Abd al-‘Azîz ibn Rufaiʻ menyampaikan kepada kami dar Abî
al-Tufail, dari Abî Sarîẖah, dengan matan seperti hadis sebelumnya. Namun
‘Abd al-‘Azîz tidak menyebutkan Nabi Saw. dalam sanadnya. Salah seorang di
antara keduanya berkata tentang tanda kesepuluh, “Turunnya Nabi Isa putra
Maryam.” Sementara yang lain berkata, “Angin yang melemparkan umat
manusia ke laut.”75

Dalam menjelaskan hadis di atas, Zaglul dan al-Kahil menceritakan


sejarah terbentuknya Kota ‘Adn dan menampilkan posisi Kota’Adn yang
terletak di lautan al-Muẖîṯ pada peta. Mereka memberikan kesimpulan dari
riset yang dilakukan oleh Ma’ruf ‘Uqbah dengan judul ‘Adn al-Buʻd al-Târikhî
wa al-Haḏarî dengan beberapa penjelasan, yaitu76:
1. Rasulullah memberitahukan bahwa ‘Adn merupakan kota berbentuk cekung
seperti lembah. Bentuk tersebut akan terlihat jelas jika dilihat menggunakan
pesawat atau satelit.

75
Muslim al-Naisâbûrî, Saẖîẖ Muslim, Terj. Masyhari, dkk., jilid 2 (Jakarta: Almahira,
2012), h. 709-710.
76
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 44.
63

2. Rasulullah memberitahukan bahwa Kota ‘Adn berdiri di atas gunung berapi


yang padam. Namun, salurannya sampai pada inti bumi. Pada zaman
dahulu, gunung berapi ini mengeluarkan lahar api ketika terjadi erupsi besar
di dekat pesisir laut al-Muẖîṯ. Peristiwa ini membentuk gunung besar yang
di atasnya terdapat kawah yang sekarang merupakan Kota ‘Adn. Suatu saat,
gunung berapi ini bisa mengeluarkan lahar yang lebih besar dari sebelumnya
sehingga dapat menggiring manusia. Lautan pun tidak mampu mencegah
lahar panas tersebut karena lautan juga akan mengeluarkan lahar dari
gunung api di bawah laut pada hari kiamat.

Selanjutnya, apabila dilihat penafsiran Ibn ‘Asyûr bahwa QS. al-Takwîr


ayat 6 ini menjelaskan tentang keadaan laut yang meluap sehingga membanjiri
sebagian wilayah bumi. Hal ini membuat binatang-binatang menyelamatkan
diri hingga berkumpul ke suatu tempat yang aman dari banjir tersebut. Ayat ini
juga berkaitan dengan QS. al-Ṯûr yang sama-sama menggunakan lafaz sajara
yang berarti membanjiri.77 Selain itu, peristiwa ini juga identik dengan hari
kiamat karena surah al-Takwîr ini digunakan sebagai salah satu penamaan hari
kiamat sebagaimana yang dijelaskan Ibn ‘Âsyûr pada pendahuluan sebelum
menafsirkan surah al-Takwîr.78

Dari uraian di atas, penulis melihat adanya perbedaan penafsiran antara


tim penyusun tafsir ilmi Kemenag RI, Zaglul dan al-Kahil, serta Ibn ‘Âsyûr.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan meneliti makna kata sajara dalam Lisân al-
‘Arab. Menurut Ibn Manẕûr, makna sajara adalah menjadi penuh, baik dengan

api pada ayat (QS. al-Ṯûr ayat 6) atau dengan air (banjir) pada

ayat (QS. al-Takwîr ayat 6).

Penulis menyimpulkan bahwa penafsiran yang dilakukan tim penyusun


buku tafsir ilmi samudra mengenai QS. al-Takwîr ayat 6 diartikan dengan
interaksi laut dan atmosfer yang dapat mengatur iklim global, telah keluar dari
makna ayat sesuai arti kata sajara yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan

77
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 455.
78
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 451.
64

penafsiran Zaglul dan Ibn ‘Âsyûr memiliki kesamaan di mana penafsiran QS.
al-Takwîr ayat 6 diartikan dengan meluapnya air laut sehingga menyebabkan
banjir. Zaglul menambahkan bahwa penyebab meluapnya air laut ini
dikarenakan adanya letusan gunung berapi di dasar laut yang menyembur
hingga ke permukaan.

Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa penafsiran pada buku tafsir


ilmi tentang samudra oleh Kemenag RI kurang memperhatikan makna
kebahasaan dari suatu kata. Dalam hal ini, tim penyusun tafsir ilmi samudra
tidak memberikan penjelasan kebahasaan lafaz sajara pada ayat ini padahal
ketika ditelusuri makna sajara memiliki dua kemungkinan arti, yaitu penuh
dengan air (banjir) atau penuh dengan api tergantung dari konteks ayat.
Penafsiran dari tim penyusun tafsir ilmi samudra tidak memuat salah satu dari
dua kemungkinan di atas sehingga penafsirannya keluar dari makna aslinya.

b. Penafsiran QS. al-Infiṯâr [82] ayat 3 ( )


Pada buku tafsir ilmi samudra oleh Kemenag RI, ayat ini dimasukkan
pada pembahasan munculnya paparan atau laut dangkal di Indonesia. Pada
mulanya, Paparan Sunda yang menggabungkan Pulau Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan merupakan sebuah daratan. Seiring dengan berjalannya waktu,
daratan tersebut digenangi oleh air sehingga membentuk laut dangkal. Hal ini
didasarkan pada peristiwa laut yang dapat meluap pada QS. al-Infiṯâr ayat 3.79
Apabila dilihat secara konteks, ayat tersebut terletak pada QS. al-Infiṯâr
yang identik dengan peristiwa hari kiamat. Hal ini sesuai dengan hadis al-
Tirmîdzî, al-Bukhârî, dan pendapat al-Suyûṯî bahwa penamaan surah al-Infiṯâr
merujuk pada hari kiamat. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn
‘Âsyûr dalam pendahulan menafsirkan QS. al-Infiṯâr.80 Ibn ‘Âsyûr
menafsirkan ayat ini dengan menyebarnya air dari tempat asalnya sehingga

menimbulkan banjir.81 Makna pada QS.al-Takwîr memiliki makna

79
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspekif al-Qur’an dan Sains,
h. 16
80
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 481.
81
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 27, h. 483.
65

yang sama dengan makna pada QS. al-Infiṯâr yang artinya sama-sama

dipenuhi dengan air atau juga bisa dikatakan banjir.82 Dari sini, penulis
menyimpulkan bahwa penafsiran yang dilakukan tim penyusun tafsir ilmi
Kemenag RI kurang memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan dan
menafsirkan ayat tersebut secara parsial dan tidak komprehensif. Dalam hal ini,
QS. al-Infiṯâr ayat 3 yang ditafsirkan dengan penjelasan ke-Indonesia-an terkait
adanya paparan atau laut dangkal di Indonesia tidak sesuai dengan konteks ayat
yang membicarakan tentang peristiwa yang terjadi pada hari kiamat.

c. Kemudahan Kapal Berlayar (taskhîr al-fulk) pada QS. Ibrâhîm [14] ayat 32

Dalam tafsir ilmi kemenag RI, kemudahan kapal melaju di atas air
dijelaskan karena air laut yang bersifat kohesif, yakni lunak dan mudah terurai
maksudnya adalah air mudah ditembus oleh kapal sehingga kapal tersebut
mudah melaju membelah permukaan air laut. Gaya kohesi pada air ini
merupakan gaya tarik-menarik antarmolekul yang sama. Molekul pada air laut
ini terdiri dari atom hidrogen dan oksigen yang membentuk ikatan kovalen83
dengan rumus kimia H₂O. Air memiliki gaya kohesi lebih lemah daripada
benda padat sehingga berpengaruh pada kerapatan dan jarak antarmolekulnya.
Inilah yang menyebabkan air mudah dipisah atau ditembus oleh benda padat,
sehingga kapal mudah melaju membelah permukaan air.84
Sedangkan yang dijelaskan oleh Zaglul dan al-Kahil dalam bukunya,
kemudahan kapal berlayar berkaitan dengan perintah dan wahyu Allah kepada
Nabi Nuh untuk membuat kapal dari kayu. Mereka menjelaskan bahwa kayu
adalah bahan terbaik untuk membuat kapal karena kayu memiliki sifat yang
ringan jika ia berada di atas air. Tatacara membuat kapal adalah kayu dibeber
seperti papan agar bertambah lebar serta daya tekannya bertambah. Kemudian
kayu tadi diperkuat dengan paku dan benda-benda yang bisa mencegah resapan

82
Ibn Manẕûr, Lisân al-‘Arab, juz 4, h. 345.
83
Kovalen adalah reaksi yang disebabkan oleh gabungan pasangan elektro antara dua atom.
Lihat Kamus Bahasa Indonesia, h. 817.
84
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains,
h. 69-70.
66

air sehingga kapal tidak tenggelam.85 Selain itu, rahasia kapal bisa mengapung
di permukaan laut karena adanya bagian kapal yang tenggelam di dalam laut
sesuai dengan ukuran besar/kecilnya kapal tersebut. Dalam hal ini berlaku
hukum Archimedes bahwa tekanan (daya tolak) bertambah dengan
bertambahnya ukuran benda yang tenggelam di air. Dalam hal ini, Allah
menganalogikan kapal dengan gunung sebagaimana terdapat pada QS. al-
Syûrâ [42]:32. Gunung bagaikan pasak yang sebagiannya tampak di atas bumi
dan bagian yang lain berada di bawah bumi. Begitu juga dengan kapal, ia
membutuhkan bagian yang tenggelam di dalam air untuk menjaga
keseimbangan dan menjauhkannya dari bahaya tenggelam.86
Menurut Ibn ‘Âsyûr, kemudahan berlayarnya kapal disebabkan karena
Allah memberi ilham kepada manusia untuk merancang kapal dengan bentuk
dan sistem yang memudahkannya bergerak di air tanpa hambatan. Maka,
penggunaan kata taskhîr yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang
transportasi laut diartikan sebagai kemudahan untuk mengarungi laut lepas.87
Penafsiran Zaglul dan Ibn ‘Âsyûr tentang taskhîr al-fulk sama-sama
dikaitkan dengan kondisi dan bentuk kapal yang baik sehingga ia mudah
berlayar di laut. Sedangkan tafsir ilmi Kemenag RI menafsirkan taskhîr al-fulk
dengan sifat air laut yang mudah ditembus oleh kapal. Apabila dilihat secara
sekilas, kedua penafsiran di atas memang saling berkaitan dalam memudahkan
kapal berlayar, namun apabila dilihat dari redaksi taskhîr al-fulk yang secara
bahasa diartikan dengan penundukan kapal, maka penjelasan air yang memiliki
sifat kohesif tidak termasuk ke dalam pengertian taskhîr al-fulk. Dalam hal ini,
penafsiran tim penyusun Kemenag RI kurang memperhatikan pendapat ulama
tafsir sehingga hasil penafsirannya terlihat bertentangan.

85
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 120.
86
Zaglul al-Najjar dan Abdul Daim Kahil, Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan
Hadis: Penciptaan Planet Bumi, h. 121-122.
87
Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 13, h. 425.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari telaah yang penulis lakukan atas kitab tafsir ilmi Kementerian
Agama RI ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Penafsiran yang dilakukan oleh tim penyusun tafsir ilmi ini mencakup:
a. Uraian sains yang mendalam mengenai penafsiran ayat-ayat tentang
laut, baik dari hasil riset/penelitian orang lain yang dimasukkan ke
dalam penjelasan di dalam buku ini maupun hasil penelitian yang
dilakukan oleh tim LIPI.
b. Fakta seputar laut di Indonesia yang merupakan bentuk sosialisasi
pemerintah Indonesia terkait lautan yang ada di negeri ini. Adanya
penjelasan ini merupakan ciri khas dan kelebihan yang dimiliki oleh
kitab tafsir ilmi Kemenag RI dibanding kitab-kitab tafsir bercorak ilmi
lainnya. Penjelasan ini merupakan salah satu upaya tim penyusun dalam
memperkaya penafsiran ayat-ayat tentang laut yang kemudian dikaitkan
dengan realitas yang ada di Indonesia.
c. Penafsiran ulama tafsir dalam beberapa ayat yang berkaitan dengan
samudra untuk menguatkan penafsiran ilmiah yang telah dijelaskan oleh
tim penyusun.
2. Dari beberapa penafsiran terkait ayat-ayat kauniyah dalam buku ini, penulis
menemukan beberapa perbedaan penafsiran dengan kitab tafsir bercorak
ilmi lainnya, diantaranya terdapat pada penafsiran QS. al-Takwîr [81] ayat
6, QS. al-Infiṯâr [82] ayat 3, dan taskhîr al-fulk. Analisis ini diperoleh dari
perbandingan penafsiran buku tafsir ilmi Kemenag RI dengan penafsiran
Ibn ‘Âsyûr dalam kitab al-Taẖrîr wa al-Tanwîr dan penafsiran Zaglul serta
al-Kahil dalam I’jâz al-‘Ilmî fî al-Qur’ân wa al-Sunnah.

67
68

B. Saran

Setelah mengkaji kitab tafsir ilmi Kemenag RI, khususnya tema tentang
laut, penulis menyadari bahwa masih banyak celah dalam penelitian ini hingga
membutuhkan kajian lebih lanjut tentang tafsir ilmi tersebut. Berdasarkan
penelusuran yang penulis lakukan pada tinjauan pustaka, masih sedikit
penelitian yang membahas tentang tafsir ilmi Kemenag RI, padahal ada sekian
banyak tema yang diusung oleh tim penyusun Kemenag RI. Peneliti selanjutnya
dapat memilih salah satu tema dari tema-tema tersebut dan bisa dikomparasikan
dengan kitab tafsir ilmi lainnya sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang
beragam dan kaya akan pengetahuan.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan dari awal hingga akhir,
tentulah masih banyak kekurangan, baik yang berkaitan dengan ide, sistematika
penulisan dan pemilihan kata-kata. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman demi
kesempurnaan penelitian ini dan penelitian-penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-ʻAk, Khâlid ‘Abd al-Raẖmân. Usûl al-Tafsîr wa Qawâ’iduh. Beirut: Dâr al-
Nafîs. 1986.
Anshori. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers. 2016.

‘Âsyûr, Muhammad al-Tâhir Ibn. al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Tûnis: Dâr al-Suhnûn li


al-Nasyr wa al-Tauzîʻ. 1997.

Al-Azharî, Abu Mansûr. Tahdzîb al-Lughah. Beirut: Dâr Iẖyâ’ al-Turâts al-‘Arabî.
2001.

Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


2002.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2012.

Al-Bâqî, Muẖammad Fu’âd ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur’ân al-


Karîm. Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah. 1984.

Al-Dzahabî, Muẖammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kuwait: Dâr al-


Nawâdir. 2010.

Faizin. “Integrasi Agama dan Sains dalam Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI”.
Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no.1 (2017): 19-33.

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Beirut: Dâr al-Maʻrifah. t.th.

Hakim, Husnul IMZI. Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir. Depok: Lingkar Studi al-
Qur’an. 2013.

Al-Haq, Abû Ṯayyib Muhammad Syams. ‘Aun al-Maʻbûd. Madinah: al-Maktabah


al-Salafiyah. 1968.
Hutabarat, Sahala & Stewart M. Evans. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI Press.
1985.
Indarto. Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Jakarta: PT
Bumi Aksara. 2010.

Ismail, Hudzaifah. Kerajaan al-Qur’an. Jakarta: Almahira. 2012.

Iyyâzi, Sayyid Muẖammad ‘Alî. al-Mufassirûn: Hayâtihim wa Munhajihim.


Teheran: Wizârah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî. 1386 H.
Jauharî, Tantâwî. al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr. t.th.

69
Kartanegara, Mulyadhi. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan. 2003.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. Samudra dalam Perspektif al-Qur’an dan


Sains. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. 2013.

Limited, Evan Brothers. Kelestarian Laut. Terj. Liliy Nurulia. Solo: Tiga
Serangkai. 2009.

Manẕûr, Ibn. Lisân al-ʻArab. Beirut: Dâr Sadr. 1414 H.

Al-Muẖtasib, ‘Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm. Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Râhin.


‘Amân: Maktabah al-Nahḏah al-Islâmiyyah. 1982.
Muslim, Musṯafâ. Mabâẖits fî al-Tafsîr al-Mauḏûʻî. Dimasyq: Dâr al-Qalam. 2000.

Muttaqin, Ahmad. “Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI: Melacak Unsur


Kepentingan Pemerintah dalam Tafsir”. Religia, vol. 19, no. 2 (2016): 74-88.

Naim, Mochtar. Kompendium Himpunan Ayat-Ayat al-Qur’an. Jakarta: Gema


Insani Press. 1996.

Al-Naisâbûrî, Muslim. Saẖîẖ Muslim. Terj. Masyhari, dkk. Jakarta: Almahira.


2012.

Al-Najjar, Zaglul. Pembuktian Sains dalam Sunah. Terj. Zainal Abidin & Syakirun
Ni’am. Jakarta: Amzah. 2006.
Al-Najjar, Zaglul dan Abdul Daim al-Kahil. Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-
Qur’an dan Hadis: Penciptaan Manusia. Terj. Tim Penerbit Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Lentera Abadi. 2012.

__________. Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah al-Qur’an dan Hadis: Penciptaan


Planet Bumi. Terj. Tim Penerbit Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Lentera
Abadi. 2012.

Al-Nasâ’î, Abû ‘Abd al-Rahmân. Sunan al-Nasâ’î al-Kubrâ. Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah. 1991.

Purwanto, Agus. Nalar Ayat-Ayat Semesta. Bandung: Mizan. 2015.

Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Dep. Pendidikan
Nasional. 2008.

Al-Qâḏî, Abd al-Fattâẖ ibn ‘Abd al-Ghanî. al-Farâid al-Hisân fî ‘Add Ây al-
Qur’ân. Madînah: Maktabah al-Dâr. 1983

70
Al-Qaraḏâwî, Yûsuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan.
Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani. 1998.

Al-Qaṯṯân, Mannâʻ Khalîl. Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Madinah: Maktabah Aa-


Ma’ârif. 2000.

Rifai, Mien A. Kamus Biologi. Jakarta: Balai Pustaka. 2004.

Romimohtarto, Kasijan & Sri Juwana. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. Jakarta: Djambatan. 2007.

Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah.
2007.

Rubini. “Tafsir Ilmi”. Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, vol. 5, no. 2
(2016): 89-115.

Al-Samad, Muẖammad Kâmil ‘Abd. Mukjizat Ilmiah dalam al-Qur’an. Terj.


Alimin & Uzair Hamdan. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2002.
Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: PT Indeks. 2012.

Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2013.

________. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2011.

________. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2013.

________., et. al. Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2013.

Shohib, Muhammad, dkk. Profil Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan


Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI. 2013.

Al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr al-Fikr. t.th.

Strauss, Anselm & Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Terj. M.


Shodiq dan Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.

Suma, M. Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Press. 2014.

Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Fikr. 1979.

Al-Syâṯibî, Abû Ishâq Ibrâhîm. Al-Muwâfaqât. Dâr Ibn ‘Affân. 1997.

71
Syirbasi, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1985.

Thayyarah, Nadiah. Buku Pintar Sains dalam al-Quran. Terj. Zaenal Arifin dkk.
Jakarta: Zaman. 2014.

Al-Zarkasyî, Muẖammad ibn ‘Abd Allâh. Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut:


Dâr al-Ma’rifah. 1391 H.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


2008.

Al-Zindani, Abdul Majid bin Aziz, et.al. Mukjizat al-Qur’an dan As-Sunnah
tentang IPTEK. Jakarta: Gema Insani Press. 1997.

72

Anda mungkin juga menyukai