PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak (World Health Organization, 2010). Stroke
adalah istilah klinis untuk hilangnya perfusi di otak secara akut sesuai dengan
misalnya syok atau hiperviskositas darah dan gangguan aliran darah akibat bekuan
di Inggris, 11.000 orang di Wales dan 4.000 orang di Irlandia Utara mengalami
serangan stroke yang pertama ataupun yang berulang (National Institute for Care
Exellence, 2013). Angka kejadian stroke di Indonesia sekitar 8 dari 1000 orang
Berdasarkan data dinas kesehatan Provinsi Bali, jumlah pasien infark cerebral
yang menjalani rawat inap di Bali pada tahun 2010 sebanyak 968 orang dan hasil
laporan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, jumlah pasien stroke non hemoragik
yang menjalani rawat inap rata-rata tiap bulannya sebanyak 37 orang pada tahun
2012.
1
2
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit Umum
Daerah Badung, jumlah kasus stroke non hemoragik yang rawat inap pada tahun
2012 sebanyak 164 orang per tahun dibandingkan dengan kasus stroke hemoragik
sebanyak 57 orang per tahun dengan rentang usia antara 45 sampai 65 tahun.
Rata-rata pasien stroke non hemoragik yang rawat inap tiap bulannya sekitar 7-20
orang dibandingkan dengan pasien stroke hemoragik sekitar 5-14 orang selama
kurang lebih 2 minggu. Hasil data yang telah didapatkan menunjukkan bahwa
lama perawatan pasien stroke non hemoragik di RSUD Badung mencapai kurang
thrombosis serta robeknya dinding pembuluh darah. Pada stroke, hipoksia serebral
yang menyebabkan cedera dan kematian sel neuron dapat terjadi. Aliran darah
otak banyak mengandung zat makanan yang penting bagi fungsi normal otak,
Klasifikasi umum stroke yaitu stroke non hemoragik dan hemoragik. Stroke
non hemoragik terjadi akibat adanya bekuan darah di arteri serebri (trombus) atau
penurunan aliran darah (iskemia) dan akan terjadi penurunan oksigen di jaringan
masing-masing menyebabkan 80% sampai 85% dan 15% sampai 20% dari semua
Stroke non hemoragik terjadi akibat obstruksi atau bekuan pada arteri besar
di sirkulum serebrum yang terjadi pada satu sisi atau lebih. Obstruksi disebabkan
biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari
jaringan otak tidak peka terhadap nyeri. Terdapat empat klasifikasi dasar pada
stroke non hemoragik yaitu stroke lakunar, thrombosis pembuluh besar, embolik,
dan kriptogenik. Penyebab lain stroke non hemoragik adalah vasospasme yang
motorik biasanya akan mengalami intoleransi aktifitas dan disuse atrofi otot.
Kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik terjadi pada salah satu sisi
tubuh yang menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
Disuse atrofi otot berhubungan dengan hantaran saraf yang terputus dan
perubahan, yang secara potensial akan mengalami atrofi jaringan pada hari ke 4
4
atau 5. Penurunan kekuatan otot dapat terjadi sekitar 5% tiap harinya akibat tidak
Disuse atrofi otot terjadi pada ekstremitas yang terlalu lama mengalami
sel sehingga tidak bisa mempertahankan aktivitas jaringan. Otot tidak akan
mampu mempertahankan ukuran otot normal jika kehilangan suplai saraf dan
tidak mampu untuk berkontraksi. Faktor penyebab terjadinya atrofi otot adalah
Konsep rehabilitasi pada pasien stroke hemoragik atau pun stroke non
hemoragik tidak ada perbedaan yang signifikan, hanya saja waktu pelaksanaan
rehabilitasi yang berbeda (Sudoyo, 2006). Pada stroke non hemoragik dapat
atau luasnya perdarahan di otak. Tindakan untuk mencegah terjadinya atrofi otot
dapat dilakukan beberapa latihan, salah satunya adalah Brief Repetition Isometric
otot secara maksimal selama 6-10 detik sebanyak 6-12 kali gerakan (repetisi)
dengan jarak antara kontraksi 20 detik sekali sehari yang dilakukan selama 12 hari
Latihan kekuatan kontraksi otot yang dilakukan secara adekuat dengan frekuensi
yang cukup dapat mempertahankan kekuatan, massa otot serta ketahanan dari
disuse atrofi otot pada pasien stroke. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengangkat
masalah disuse atrofi otot yang mengalami kelemahan sebagai masalah utama
B. Rumusan Masalah
Maximum Exercise terhadap pencegahan disuse atrofi otot pada pasien Stroke
C. Tujuan Penelitian
Exercise terhadap pencegahan disuse atrofi otot pada pasien Stroke Non
D. Manfaat Penelitian
1.1. Praktis
pada otot yang efektif untuk mencegah disuse atrofi agar dapat diterapkan dalam
khusus.
1.2. Teoritis
mencegah disuse atrofi pada pasien stroke non hemoragik serta dapat menjadi
E. Keaslian Penelitian
1.1. Pohl, Patricia S et. al, (2002) dalam penelitiannya berjudul “ Rate of
stroke “
yang berada pada rentang usia 50-90 tahun, yang terdiri dari 39 orang
digunakan.
set dan BRIME 3 set terhadap pencegahan disuse atrofi otot quadrisep
Rancangan penelitian randomize control pre test – post test design, sampel
data yang digunakan adalah non parametric with Wilcoxon test dan Mann
Whitney test menyatakan BRIME 3 set lebih efektif dari pada BRIME 1
set untuk mencegah disuse atrofi otot quadricep dengan tingkat kemaknaan
8
p < 0,05. Perbedaan dengan penilaian ini adalah pada variable terikatnya,