Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi

secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang

berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan

oleh gangguan peredaran darah otak (World Health Organization, 2010). Stroke

adalah istilah klinis untuk hilangnya perfusi di otak secara akut sesuai dengan

teritorial vascular. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah,

misalnya syok atau hiperviskositas darah dan gangguan aliran darah akibat bekuan

atau embolus infeksi (Price and Anderson, 2005).

Stroke merupakan masalah kesehatan utama di Inggris, sekitar 110.000 orang

di Inggris, 11.000 orang di Wales dan 4.000 orang di Irlandia Utara mengalami

serangan stroke yang pertama ataupun yang berulang (National Institute for Care

Exellence, 2013). Angka kejadian stroke di Indonesia sekitar 8 dari 1000 orang

dengan proporsi 15,4% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Berdasarkan data dinas kesehatan Provinsi Bali, jumlah pasien infark cerebral

yang menjalani rawat inap di Bali pada tahun 2010 sebanyak 968 orang dan hasil

laporan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, jumlah pasien stroke non hemoragik

yang menjalani rawat inap rata-rata tiap bulannya sebanyak 37 orang pada tahun

2012.

1
2

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit Umum

Daerah Badung, jumlah kasus stroke non hemoragik yang rawat inap pada tahun

2012 sebanyak 164 orang per tahun dibandingkan dengan kasus stroke hemoragik

sebanyak 57 orang per tahun dengan rentang usia antara 45 sampai 65 tahun.

Rata-rata pasien stroke non hemoragik yang rawat inap tiap bulannya sekitar 7-20

orang dibandingkan dengan pasien stroke hemoragik sekitar 5-14 orang selama

kurang lebih 2 minggu. Hasil data yang telah didapatkan menunjukkan bahwa

lama perawatan pasien stroke non hemoragik di RSUD Badung mencapai kurang

lebih 2 minggu dibandingkan di RSUP Sanglah yang hanya 1 minggu.

Proses patologik yang mendasari stroke dapat berupa aterosklerosis dan

thrombosis serta robeknya dinding pembuluh darah. Pada stroke, hipoksia serebral

yang menyebabkan cedera dan kematian sel neuron dapat terjadi. Aliran darah

otak banyak mengandung zat makanan yang penting bagi fungsi normal otak,

apabila terhenti beberapa detik saja akan mengakibatkan gejala disfungsi

serebrum (Price, 2005).

Klasifikasi umum stroke yaitu stroke non hemoragik dan hemoragik. Stroke

non hemoragik terjadi akibat adanya bekuan darah di arteri serebri (trombus) atau

adanya bekuan darah yang mengalir ke otak (embolus), sedangkan stroke

hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga menyebabkan

penurunan aliran darah (iskemia) dan akan terjadi penurunan oksigen di jaringan

(hipoksia) (Corwin, 2009). Dua kategori dasar gangguan sirkulasi yang

menyebabkan stroke adalah iskemia-infark dan perdarahan intrakranium yang


3

masing-masing menyebabkan 80% sampai 85% dan 15% sampai 20% dari semua

kasus stroke (Price, 2005).

Stroke non hemoragik terjadi akibat obstruksi atau bekuan pada arteri besar

di sirkulum serebrum yang terjadi pada satu sisi atau lebih. Obstruksi disebabkan

adanya pembentukan plak aterosklerosis di pembuluh darah otak sehingga

terjadinya penyempitan atau stenosis (Price, 2005). Stroke non hemoragik

biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari

tetapi tidak terjadi perdarahan namun menimbulkan hipoksia (Muttaqin, 2008).

Sebagian besar stroke non hemoragik tidak menimbulkan nyeri karena

jaringan otak tidak peka terhadap nyeri. Terdapat empat klasifikasi dasar pada

stroke non hemoragik yaitu stroke lakunar, thrombosis pembuluh besar, embolik,

dan kriptogenik. Penyebab lain stroke non hemoragik adalah vasospasme yang

merupakan respon vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara

lapisan araknoid dan piamater meningen (Price, 2005).

Secara umum keterbatasan yang disebabkan oleh stroke non hemoragik

adalah hemiparesis atau kelemahan. Pasien yang mengalami penurunan fungsi

motorik biasanya akan mengalami intoleransi aktifitas dan disuse atrofi otot.

Kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik terjadi pada salah satu sisi

tubuh yang menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang

berlawanan dari otak (Muttaqin, 2008).

Disuse atrofi otot berhubungan dengan hantaran saraf yang terputus dan

imobilisasi yang terlalu lama. Selama imobilisasi proses metabolisme terjadi

perubahan, yang secara potensial akan mengalami atrofi jaringan pada hari ke 4
4

atau 5. Penurunan kekuatan otot dapat terjadi sekitar 5% tiap harinya akibat tidak

digunakan (disuse) sehingga mengganggu proses ambulasi dan upaya rehabilitasi

harus dilakukan sedini mungkin.

Disuse atrofi otot terjadi pada ekstremitas yang terlalu lama mengalami

imobilisasi, akibat penurunan suplai darah yang merusak metabolisme di dalam

sel sehingga tidak bisa mempertahankan aktivitas jaringan. Otot tidak akan

mampu mempertahankan ukuran otot normal jika kehilangan suplai saraf dan

tidak mampu untuk berkontraksi. Faktor penyebab terjadinya atrofi otot adalah

keadekuatan pengaturan posisi, reposisi, intoleransi ortostatik, keadekuatan

asupan nutrisi (Carpenito, 2009).

Konsep rehabilitasi pada pasien stroke hemoragik atau pun stroke non

hemoragik tidak ada perbedaan yang signifikan, hanya saja waktu pelaksanaan

rehabilitasi yang berbeda (Sudoyo, 2006). Pada stroke non hemoragik dapat

dilakukan rehabilitasi setelah hari ke 3 pasca awitan, sedangkan pada stroke

hemoragik setelah 2 minggu pasca awitan yang dipengaruhi oleh penyumbatan

atau luasnya perdarahan di otak. Tindakan untuk mencegah terjadinya atrofi otot

dapat dilakukan beberapa latihan, salah satunya adalah Brief Repetition Isometric

Maximun Exercise (BRIME), latihan ini dilakukan dengan cara mengkontraksikan

otot secara maksimal selama 6-10 detik sebanyak 6-12 kali gerakan (repetisi)

dengan jarak antara kontraksi 20 detik sekali sehari yang dilakukan selama 12 hari

dengan pembagian 5 hari pertama, kemudian diistirahatkan 2 hari, dan dilanjutkan

kembali hingga 5 hari.


5

Berdasarkan hasil penelitian Artana, (2013), upaya untuk mencegah

komplikasi disuse atrofi otot adalah dengan memberikan pelatihan isometric

berulang pada kelompok otot quadriceps dengan kekuatan penuh (BRIME).

Latihan kekuatan kontraksi otot yang dilakukan secara adekuat dengan frekuensi

yang cukup dapat mempertahankan kekuatan, massa otot serta ketahanan dari

kelompok otot yang dilatih.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Badung,

perawat di Ruang Penyakit Dalam mengatakan jarang memberikan latihan otot

karena keterbatasan kemampuan sehingga hanya diberikan edukasi saja. Akibat

kurangnya latihan otot yang diberikan, sehingga menimbulkan permasalahan

disuse atrofi otot pada pasien stroke. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengangkat

masalah disuse atrofi otot yang mengalami kelemahan sebagai masalah utama

dalam penelitian ini yang diberikan latihan BRIME.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis mengangkat rumusan

masalah yaitu “ Apakah ada pengaruh pemberian Brief Repetition Isometric

Maximum Exercise terhadap pencegahan disuse atrofi otot pada pasien Stroke

Non Hemoragik di RS Umum Daerah Badung ? “

C. Tujuan Penelitian

1.1. Tujuan Penelitian Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian Brief Repetition Isometric Maximum

Exercise terhadap pencegahan disuse atrofi otot pada pasien Stroke Non

Hemoragik di RS Umum Daerah Badung ?


6

1.2. Tujuan Penelitian Khusus

1.2.1. Untuk mengukur perubahan lingkar otot sebelum dan setelah

diberikan Brief Repetition Isometric Maximum Exercise pada pasien

Stroke Non Hemoragik pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol di RS Umum Daerah Badung.

1.2.2. Untuk mengetahui besarnya perubahan disuse atrofi otot pada

pasien Stroke Non Hemoragik antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol di RS Umum Daerah Badung.

1.2.3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian Brief Repetition Isometric

Maximum Exercise terhadap pencegahan disuse atrofi otot pada pasien

Stroke Non Hemoragik di RS Umum Daerah Badung.

D. Manfaat Penelitian

1.1. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai BRIME

pada otot yang efektif untuk mencegah disuse atrofi agar dapat diterapkan dalam

penyusunan standar operasional prosedur di RS Umum Daerah Badung secara

khusus.

1.2. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peningkatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Ilmu Keperawatan

khususnya Keperawatan Medikal Bedah dalam hal pemberian latihan untuk

mencegah disuse atrofi pada pasien stroke non hemoragik serta dapat menjadi

acuan bagi peniliti berikutnya.


7

E. Keaslian Penelitian

1.1. Pohl, Patricia S et. al, (2002) dalam penelitiannya berjudul “ Rate of

isometric knee extension strength development and walking speed after

stroke “

Rancangan penelitian quasi experiment, sampel diambil menggunakan

metode sampel random sampling dengan jumlah sampel 83 responden

yang berada pada rentang usia 50-90 tahun, yang terdiri dari 39 orang

perempuan dan 44 orang laki-laki. Analisa data yang digunakan adalah

regression analysis menyatakan tidak ada hubungan antar variabel,

bahkan tidak ditemukan masalah yang berarti antara kecepatan berjalan

dengan latihan isometrik. Perbedaan dengan penilaian ini adalah pada

variable bebasnya, metode pengumpulan data dan jenis uji yang

digunakan.

1.2. Artana, Made (2013) dalam penelitiannya berjudul “ Efektifitas BRIME 1

set dan BRIME 3 set terhadap pencegahan disuse atrofi otot quadrisep

pada pasien fraktur femur dengan traksi “

Rancangan penelitian randomize control pre test – post test design, sampel

diambil menggunakan metode sampel consecutive sampling dengan

jumlah sampel 32 responden yang dibagi menjadi dua kelompok. Analisa

data yang digunakan adalah non parametric with Wilcoxon test dan Mann

Whitney test menyatakan BRIME 3 set lebih efektif dari pada BRIME 1

set untuk mencegah disuse atrofi otot quadricep dengan tingkat kemaknaan
8

p < 0,05. Perbedaan dengan penilaian ini adalah pada variable terikatnya,

analisa data yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai