Anda di halaman 1dari 16

IDENTIFIKASI MASALAH FINANSIAL BADAN PENYELENGGARA

JAMINAN SOSIAL (BPJS)

OLEH

KELOMPOK 9

BAYU PRABU PANGESTU AYATULLAH

DEBERTU L. BARRANG

SRI PRATIWI LAMALAT

KONSENTRASI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya

pembangunan nasional yang diselenggarakan pada semua bidang

kehidupan. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar

terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dengan demikian,

pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya utama untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada gilirannya

mendukung percepatan pencapaian sasaran(Pohan & Halim, 2013)

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu

sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan

pendekatan paradigma sehat, sejak dalam kandungan sampai usia lanjut.

Selain itu pembangunan di bidang kesehatan juga diarahkan untuk

meningkatkan dan memelihara mutu lembaga pelayanan kesehatan melalui

pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan, dan sarana

prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan yang dapat

dijangkau oleh masyarakat(Putra, Arifin, Nurhayani, & Amir, 2013)

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan tata cara

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang dilaksanakanm oleh

pemerintah bersama seluruh elemen bangsa dalam rangka untuk

meningkatkan tercapainya pembangunan kesehatan dalam mewujudkan

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Indonesia telah menerapkan


sistem kesehatan nasional/National Health System(NHS) sejak tahun 1982

dan terus mengalami perubahan sampai akhirnya disahkan Undang

Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN ( Sistem Jaminan Sosial

Nasional). Sistem kesehatan terdiri dari enam subsistem yaitu subsistem

upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan,

obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen

kesehatan. Diakui masing masing mempunyai peran yang sangat berarti

dalam pembangunan kesehatan nasional, akan tetapi subsitem pembiayaan

kesehatan yang mempunyai peran penting dan vital dalam

penyelenggaraan jaminan sosial(Mas’udin, 2017)

Pembiayaan kesehatan di indonesia masih terhambat beberapa

masalah, National Health Sistem yang diadopsi oleh pemerintah belum

berjalan secara maksimal. Hal ini dipengaruhi oleh minimnya anggaran

kesehatan dan pembiayaan kesehatan, sedangkan upaya diagnosis dini

sampai rehabilitasi memerlukan biaya yang cukup besar. Dalam kondisis

seperti ini maka skema asuransi sosial menjadi solusi terbaik untuk saat

ini karena resiko biaya berobat dapat di transfer kepada orang lkain dengan

cara membayar iuran, oleh karena itu pemerintah membuat suatu

kebijakan yang tertuang dalam undang undng nomor 40 tahun 2004

tentang SJSN. Dalam upaya menindaklanjuti SJSN maka pemerintah

menerbitkan undang undang nomor 24 tahun 2011 dan menetapkan Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial yang juga hasil transformasi PT. Askes, PT.
Jamsostek sebagai bdan penyelenggara SJSN dan di implementasikan

secara resmi sejak 1 januari 2014 (Retnaningsih, 2017)

Tujuan pelayanan kesehatan sebagaimana amanat Undang-Undang

Kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

hidup sehat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang

produktif secara sosial dan ekonomi. Jaminan kesehatan merupakan

jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat

pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan

dasar kesehatan. Peserta program jaminan kesehatan meliputi setiap orang

termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di

Indonesia. Peserta program JKN meliputi peserta penerima bantuan iuran

(PBI) dan peserta non-PBI. Peserta PBI terdiri dari fakir miskin dan orang

tidak mampu, sedangkan peserta non PBI terdiri dari pekerja penerima

upah (PPU) dan anggota keluarganya seperti PNS, anggota TNI/ POLRI,

pejabat negara, karyawan perusahaan swasta, pekerja bukan penerima

upah (PBPU) dan anggota keluarganya atau pekerja mandiri, bukan

pekerja dan anggota keluarganya seperti pemberi kerja/ pengusaha,

investor, para pensiunan, veteran, dan lain sebagainya(Mas’udin, 2017)

BPJS Kesehatan yang mulai beroperasi pada 1 Januari 2014,

hingga kini jumlah pesertanya terus meningkat. Berdasarkan data BPJS

Kesehatan, sekarang ini telah lebih dari 70% penduduk Indonesia menjadi

peserta BPJS Kesehatan. Perkembangan jumlah peserta BPJS Kesehatan


dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada tahun 2014 jumlah peserta BPJS

Kesehatan adalah 133.432. 635 orang. Jumlah ini meningkat menjadi

156.790.287 orang pada tahun 2015. Kemudian pada tahun 2016 jumlah

peserta BPJS Kesehatan meningkat lagi menjadi 171.939.254 orang, dan

pada tahun 2016 jumlah peserta meningkat menjadi 177.697.336 orang.

(Retnaningsih, 2017)

Sejak BPJS Kesehatan beroperasi pada awal 2014, pelayanan

kesehatan untuk peserta BPJS Kesehatan juga terus meningkat. Pada tahun

2014 pemanfaatan fasilitas kesehatan sebanyak 92,3 juta dengan rincian

jumlah perserta Program JKN-KIS yang berobat di Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas, dokter praktik, dan klinik

pertama sebanyak 66,8 juta orang; Peserta JKN-KIS yang berobat di

Poliklinik Rawat Jalan RS sebanyak 21,3 juta orang; dan jumlah peserta

JKN-KIS yang menggunakan fasilitas Rawat Inap RS sebanyak 4,2 juta

orang. Selama tahun 2015 ada 146,7 juta orang yang menggunakan

fasilitas kesehatan dengan rincian 100,6 juta di FKTP; 39,8 juta orang di

Poliklinik Rawat Jalan RS; dan 6,3 orang di Rawat Inap RS. Sedangkan

selama tahun 2016, jumlah peserta BPJS Kesehatan yang menggunakan

fasilitas kesehatan sebanyak 177,8 juta orang dengan rincian 120,9 juta

orang di FKTP; 49,3 juta orang di Poliklinik Rawat Jalan RS, dan 7,6 juta

orang di Rawat Inap RS(Retnaningsih, 2017)

BPJS Kesehatan telah dilaksanakan sejak 1 Januari 2014. dalam

pelaksanaan implementasi program BPJS banyak sekali hambatan –


hambatan yang dialami salah satunya potensi defisit pendanaan yang tiap

tahun meningkat. Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan Tahun 2014

BPJS mengalami defisit sebesar 1,94 Triliun, pada akhir tahun 2015 BPJS

mengalami defisit sebesar 5,85 Triliun dan menurut Direktur perencanaan

pengembangan BPJS Kesehatan Mundiharno potensi defisit di tahun 2016

sekitar 9,2 Triliun. Direktur Utama Badan Jaminan Kesehatan (BPJS)

Kesehatan Fachmi Idris dalam pemaparan publik BPJS Kesehatan Tahun

2015, Rabu 13 April 2016 menjelaskan defisit terjadi karena secara

aktuaria besaran iuran peserta lebih rendah dibandingkan dengan biaya

kesehatan yang dikeluarkan(Simanjuntak & Darmawan, 2016)

Berdasarkan uraian diatas penulis ingin mengangkat argumentasi

terkait deffisit Badan Penyelenggra Jaminan Sosial dengan Judul

“Identifikasi masalah Finansial pada Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial”
BAB II

POKOK PEMBAHASAN

A. Jaminan Kesehatan Nasional

Hak asasi rakyat Indonesia atas kesehatan tercantum dalam

falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 dan juga

termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU

No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang

Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang

mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya

di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,

bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai

kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Untuk

mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah

bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat

melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.

Pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan

bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan,

Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri

atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS


Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara

operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah

dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101

Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden

No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN

(Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional) (Kemenkes RI, 2013)

Jaminan Kesehatan Nasional merupakan pembiayaan pra upaya

artinya pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan sebelum atau tidak

dalam kondisi sakit. Pola pembiayaan pra-upaya menganut hukum

jumlah besar dan perangkuman resiko. Supaya resiko dapat disebarkan

secara luas dan direduksi secara efektif, maka pola, pembiayaan ini

membutuhkan jumlah besar peserta. Oleh karena itu, pada

pelaksanaannya, JKN mewajibkan seluruh penduduk Indonesia menjadi

peserta agar hukum jumlah besar tersebut dapat dipenuhi. Perangkuman

resiko terjadi ketika sejumlah individu yang beresiko sepakat untuk

menghimpun resiko kerugian dengan tujuan mengurangi beban

termasuk biaya kerugian/klaim yang harus ditanggung masing-masing

individu (Murti, 2000).

Peserta Jaminan Kesehatan Nasional dibedakan menjadi 2

kelompok

1.         Penerima bantuan iuran (PBI) yaitu meliputi fakir miskin dan

orang tidak mampu.Iuran PBI dibayarkan oleh pemerintah


2.         Bukan penerima bantuan Iuran (Non-PBI) meliputi pekerja formal

dan informal beserta keluarganya

Iuran jaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara

teratur oleh peserta, pemberi kerja dan atau pemerintah untuk program

jaminan kesehatan. Atas dasar iuran yang dibayarkan setiap peserta

berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan

kesehatan perorangan, mencangkup pelayanan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis

habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan

Pola pembayaran dalam JKN menggunakan sistem pembayaran

prospektif. Untuk di puskesmas dan fasilitas kesehatan tingkat pertama

lainnya, pola pembayarannya adalah dengan mekanisme kapitasi.

Kapitasi adalah pola pembayaran yang diterapkan di tingkat

puskesamas dan dokter primer dimana penyedia pelayanan dibayar

tetap per pasien tanpa memperlihatkan jumlah/sifat layanan yang

diberikan. sedangkan untuk di rumah sakit pola pembayaran

diberlakukan menggunakan tarif INA CBGs, yaitu pola pembayaran

berdasarkan pengelompokkan penyakit berdasarkan diagnosis (kasus

yang relatif sama) dan sumber daya yang meliputi seluruh komponen

medis maupun nonmedis yang diberikan kepada seorang pasien selama

satu episode perawatan, termasuk jasa pelayanan, prosedur/tindakan,

obat/bahan habis pakai, pemeriksaan penunjang serta ruang perawatan.

Perubahan mekanisme pembayaran ini bertujuan untuk mendorong


fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang lebih efektif dan efisien

dengan tetap mengutamakan kualitas pelayanan (Irianto,2014).

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional ada 2 (dua) manfaat

Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan dan Manfaat

non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya

diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi

tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Paket manfaat yang

diterima dalam program JKN ini adalah komprehensif sesuai kebutuhan

medis. Dengan demikian pelayanan yang diberikan bersifat paripurna

(preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh

besarnya biaya premi bagi peserta. Promotif dan preventif yang

diberikan dalam konteks upaya kesehatan perorangan (personal care).

Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif

namun masih ada yang dibatasi

Namun dalam perjalannannya, BPJS mengalami beberapa hambatan

dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, berdasarkan laporan BPJS

pada tahun 2014 BPJS mengalami defisit sebesar 3,3 Triliun Rupiah,

kemuidan meningkat menjadi 5,7 Triliun Rupiah pada tahun 2015 pada

tahun2016 meningkat menjadi 9,7 Triliun Rupiah, pada tahun 2017

menjadi 11,2 Triliun Rupiah. Hal ini tidak sejalan disaat program

masih berbentuk Askes, yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara.

Bahkan Askes mampu memberikan Dividen kepada negara meskipun

tidak terlalu besar. Berdasarkan hasil analisis penulis yang didasarkan


pada beberapa literatur bahwa permasalahan defisit BPJS disebabkan

oleh :

1. Adanya ketidakjelasan badan hukum BPJS

Berdasarkan UU nomor 2 4 tahun 2011 tentang BPJS, BPJS dinyatakan

sebagai badan hukum publik yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan

BPJS Ketenagakerjaan. Sejauh ini tidak ada kejelasan mengenai status

BPJS apakah berbentuk BUMN atau BLU jika ditelisik lebih lanjut

BPJS didirikan dengan melebur beberapa asuransi sosial yang pernah

ada seperti Askes, Jamsostek, Asabri,dan lain lain yang secara

perundang undangan jelas berbentuk BUMN, sehingga kita Badan

Badan tersebut dilebur tanpa Likuidasi dan digantikan oleh BPJS yang

hanya berbentuk badan publik tanpa spesifikasi yang jelas akan

mengundang persoalan baru dikemudian hari, selain itu ciri khas dari

BPJS itu sendiri . Sejauh ini tidak ada kejelasan mengenai status BPJS

apakah berbentuk BUMN atau BLU jika ditelisik lebih lanjut BPJS

didirikan dengan melebur beberapa asuransi sosial yang pernah ada

seperti Askes, Jamsostek, Asabri,dan lain lain yang secara perundang

undangan jelas berbentuk BUMN, sehingga kita Badan Badan tersebut

dilebur tanpa Likuidasi dan digantikan oleh BPJS yang hanya berbentuk

badan publik tanpa spesifikasi yang jelas akan mengundang persoalan

baru dikemudian hari, selain itu ciri khas dari BPJS itu sendiri yang

dipimpin oleh Direksi dan memiliki fasilitas serta penunjang spserti

BUMN dan memiliki kewenangan seperti Lembaga Negara lainnya


yang berwenang membuat perundang undangan selain itu juga BPJS

memiliki karkateristik seperti Badan Layanan Umum yang bersifat

nirlaba atau non profit yang mengindikasikan ketidakjelasan status

badan Hukum BPJS itu sendiri.

2. Ketidakjelasan Pengelolaan keuangan

Undang undang nomor 24 Tahun2011 tentang BPJS mengatur tentang

Keuangan BPJS Kesehatan bersifat nirlaba, sifat ini hanya dimiliki oleh

Lembaga negara yang berbentu Badan Layanan Umum (Rumah Sakit,

Pendidikan, Puskesmas) hal ini terdapat celah untuk melakukan

pengelolaan keuangan secara tidak professioanl, tanpa berorientasi pada

profit

3. Ketidak jelasan mekanisme Pertanggung jawaban.

Dalam hal ini BPJS dipimpin oleh direksi yang mana Direksi akan

langsung bertangung jawab dibawah presiden dan DJSN (Tanpa

Legislatif ) dalam artian DPR hanya sebagai Mitra Kerja BPJS, nmaun

tidak diatur sistem pertanggung jawaban DJSN dan Presiden. Selain itu

sistem pertanggung jawaban direksi juga kurang memberikan

pengawasan internal (terutama DPR) karena UU nomor 24tahun 2014

memberikan kewenagna kepada Dewan Direksi Untuk Mengatur

mekanisme kerjanya sendiri melalui dewan pengawas dan peraturan

direksi, sehingga pemerintah tidak dapat mengevaluasi langsung kinerja

operasional BPJS.
4. Sistem Pengawasan terhadap pembayaran iuran serta penerimaan

peserta baru yang belum maksimal.

Sistem Pembiayaan peserta JKN-KIS bertumpu pada gotong royong

dalam artian masyarakat mampu membantu menutupi pembiayaan

masyarakat yang kurang mampu serta subsisdi pemerintah, dalam hal

ini jika terjadi tunggakan yang melebihi batas akan mempengaruhi

kinerja pelayanan serta roda pembiayaan BPJS

Rekomendasi :

1. Revisi Regulasi BPJS yaitu Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011

2. Rasionalisai Iuran Peserta PBI dan Non PBI karena dianggap selama ini

Pemerintah terlalu membrikan gap yang terlalu tinggi untuk subsidi

sehingga berpotensi membuka peluang defisit

3. Evaluasi sistem pembiayan INA-CBGs dan sistem Kapitasi


DAFTAR PUSTAKA

Mas’udin. (2017). Identifikasi permasalahan finansial pada jaminan sosial

kesehatan nasional. Identifikasi Permasalahan Finansial Pada Jaminan

Sosial Kesehatan Nasional, 111–119.

Pohan, M., & Halim, R. (2013). ANALISIS KETERSEDIAAN

INFRASTRUKTUR KESEHATAN DAN AKSEBILITAS TERHADAP

PEMBANGUNAN KESEHATAN PENDUDUK DI PROVINSI

SUMATERA UTARA MUKMIN, (2002), 77–91.

Putra, R. S. P., Arifin, M. A., Nurhayani, & Amir, M. Y. (2013). No Title.

ANALISIS BIAYA SATUAN (UNIT COST) PERJENIS TINDAKAN

BERDASARKAN RELATIVE VALUE UNIT (RVU) PADA BAGIAN

PERSALINAN RSUD AJJAPANGE KABUPATEN SOPPENG TAHUN 2011

THE, 2(1).

Retnaningsih, H. (2017). DEFISIT BPJS KESEHATAN DAN WACANA

SHARING COST PESERTA JKN-KIS MANDIRI, IX(22).

Simanjuntak, J., & Darmawan, E. S. (2016). ANALISIS PERUBAHAN

KEBIJAKAN PERATURAN PRESIDEN NO . 19 TAHUN 2016

TENTANG JAMINAN KESEHATAN MENJADI PERATURAN

PRESIDEN NO . 28 TAHUN 2016 TENTANG JAMINAN KESEHATAN,

5(4), 194–200.

Anda mungkin juga menyukai