Anda di halaman 1dari 3

Tasawuf di Mata Orientalis

By Redaksi Fajarpos.com

September 14, 2018

Tasawuf dalam kacamata Islam dianggap sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan yang
Maha Esa: Allah S.w.t. Tetapi dalam perjalanannya, tradisi ini dianggap – oleh beberapa golongan – tidak
berakar pada tradisi Islam itu sendiri. Melainkan Islam mencaplok dari tradisi yang justru tidak Islamis.
Apakah anggapan ini benar? Bagaimana argument golongan yang mengiyakan statement ini? Mari kita
lihat lebih dekat.

Omid Safi, seorang Profesor Studi Keagamaan di University of North Carolina dan Co-Chair dari Grup
Mistisisme Islam di American Academy of Religion, dalam sebuah karya pendeknya yang berjudul “Is
Islamic Mysticism Really Islam?”, mencoba mengurai sebab-sebab statemen seperti di atas muncul.
Yaitu dengan mengatakan bahwa, ada beberapa sebab yang membuat anggapan ini muncul dan
berkembang. Salah satunya bermula pada hasil penelitian para orientalis.

Islam memiliki beberapa aspek. Salah satunya adalah tradisi tasawuf atau dikenal dengan mistisisme
dalam Islam. Hal ini menjadi ladang penelitian para orientalis. Baik yang atas dasar ingin tahu, maupun
yang memiliki maksud lain. Kristenisasi misalnya. Mereka mencoba menelisik bagaimana tradisi tasawuf
ini mula-mula muncul dalam dunia Islam. Lalu mereka mencoba mencari sumber-sumber yang
sekirannya dapat membantu mereka dalam mendekati objek mereka: Tasawuf Islam.

Annemarie Schimmel mengatakan bahwa sumber primer para orientalis dalam mendekati tradisi
tasawuf Islam adalah syair-syair Persi yang notabene merupakan karya para sufi seperti misalnya Rumi.
Sebagai bukti, A. Schimmel menjelaskan bagaimana syair yang pertama kali diterjemahkan, yaitu Al-
Hafizh ke dalam bahasa Inggris dijadikan sebagai rujukan oleh beberapa orientalis dalam
mempersepsikan dan memandang tasawuf Islam. Karena mereka mengenal tasawuf Islam versi syair
Persi, bukan bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits, hal ini mempengaruhi persepsi mereka yang
bermacam-macam terhadap tasawuf Islam.

Selain faktor di atas, faktor lain yang juga mempengaruhi kesalah pahaman para orientalis dalam
memahami tasawuf Islam yaitu kurangnya pemahaman tentang hakikat Islam sesungguhnya. Ditambah
imej Islam yang pada abad ke-20 dipandang hina oleh dunia Barat. Kedua faktor ini menjadikan dunia
Islam berikut tradisinya, dipandang dengan pandangan sinis. Mereka sudah kadung tidak yakin bahwa
ajaran yang ada dalam agama Islam tidak mungkin melahirkan keindahan karya seperti yang telah ditulis
oleh para sufi tadi. Paradigma inilah yang kemudian menjadi indikator terhadap kekeliruan dalam
memahami tasawuf Islam.

Konsekuensi logis dari pendekatan-pendekatan orientalis di atas, menyebabkan banyak anggapan. Salah
satunya adalah keyakinan bahwa tasawuf Islam sejatinya tidak berasal dari tradisi Islam. Melainkan dari
tradisi Hindu, Buddha, Zoroaster, Kristen, neo-Platonisme dan juga Yahudi (Lihat: Omid Safi, “Is Islamic
Mysticism Really Islam?”). Mereka menolak anggapan yang mengatakan bahwa tradisi tasawuf yang
salah satunya adalah zuhud, telah dicontohkan oleh nabi terakhir umat Muslim, Muhammad S.a.w.
Dengan dalih penelitian ilmiah, asumsi macam ini dianggap tak dapat diterima. Padahal penelitan
mereka, jika kita mau lebih teliti, tidak bersandar pada sumber-sumber primer. Yaitu Al-Qur’an dan
Hadits. Tetapi lebih kepada syair Persi.

Jadi, anggapan sebagian orientalis yang mengatakan bahwa tasawuf Islam bukan berasal dari dunia
Islam menjadi terbantahkan. Pengetahuan mereka yang minim tentang Islam dan sumber mereka yang
tidak primer, adalah beberapa bukti bahwa penelitian yang mereka lakukan menjadi rancu dan tidak
dapat sepenuhnya diterima. Penolakan ini juga bukan karena orientalis tidak Muslim, penekanannya
adalah pada kebenaran dari sumber dan pengetahuan peneliti akan objek yang dikaji. (FNI)

Penyamaan antara tasawuf dengan mistisisme lainnya dalam studi filsafat perennial merupakan bagian
dari kajian orientalis terhadap khazanah Islam. Kalangan orientalis, mengatakan bahwa tasawuf
terpengaruh dengan sumber-sumber asing, sebagaimana yang dikaji oleh Nicholson bahwa tasawuf
Islam sangat terpengaruh oleh mistisme Kristen, Gnosisme Yunani dan agama Budha.[25] Dari kajian
model ini dimanfa’atkan dan dikembangkan oleh kalangan perennialis untuk menjustifikasi bahwa
Tasawuf adalah gerakan dalam Islam di mana semua kebenaran agama-agama bertemu. Sehingga dapat
disimpulkan, bahwa arah dari kajian perennialisme dalam tasawuf tidak lain adalah model dari kajian di
dalam kalangan orientalis.

Pandangan bahwa tasawuf memiliki pengaruh dari luar, sudah diklarifikasi oleh Abu al-Wafa’ al-
Ghaynami al-Taftazani, yang menyebutkan bahwa beberapa istilah dalam tasawuf memang memiliki
keterpengaruhan terhadap sumber asing seperti kalimat Lahut dan Nasut yang merupakan istilah dari
Kristen. Akan tetapi hal ini tidak serta merta dikatakan bahwa ide tasawuf terpengaruh oleh sumber
luar, karena tasawuf adalah pengalaman kemanusiaan yang semua manusia dapat merasakannya. Dan
tidak dapat dipungkiri bahwa sumber utama tasawuf adalah al-Quran dan al-Hadits, serta ide yang
dikandungnya adalah hasil dari interpretasi atas keduanya.[26] Sehingga dapat dikatakan bahwa gerakan
sufisme merupakan pengalaman kemanusiaan yang transcendent yang bersumber dari teks ke-Islaman.
Maka pada dasarnya pandangan yang mempertemukan kebenaran antar agama melalui tasawuf tidak
dapat dibenarkan. Tapi dapat dimungkinkan jika hanya berupa kajian dari sudut pandang ilmu jiwa, yang
membahas tentang praktek manusia ketika ia berdialog dengan Tuhannya.

Di sinilah dapat dilihat bahwa kajian-kajian yang menggunakan perspektif perennialisme, memiliki
asumsi dasar bahwa semua agama pasti dapat dipertemukan. Pertemuan ini diyakini sebagai sesuatu
yang final, lalu menjadi sebuah dogma bahwa kebenaran agama-agama adalah relative akan tetapi
karena ia berasal dari yang absolute maka mereka juga memiliki nilai absoluditas (relatively absolute).
Dan nilai yang relative ini dapat dicapai ke-absoluditasnya melalui mistisme atau sufisme, di mana
pengetahuan yang esensial mungkin dicapai. Dalam hal ini pembahasan filsafat perennial selalu
membagi wilayah-wilayah yang relative dalam tataran eksoterik, dan kemudian dicari titik temunya pada
wilayah yang absolute dalam tataran esoteris, yaitu pada wilayah yang absolutely absolute, atau yang
absoluditasnya tidak perlu dipertanyakan lagi.[27]

Lalu yang menjadi pertanyaan dari pembahasan filsafat perennial, “apakah benar doktrin dari
tasawuf mengamini kebenaran yang plural (pluralisme) dalam tataran agama-agama?” tentunya
masalah ini perlu diurai dari kajian yang beredar dikalangan perennialis terhadap tasawuf, sehingga
dapat dilihat keabsahan serta kebenaran dari pernyataan yang mereka ucapkan terhadap kaum sufi.
Oleh karena itu pada berikutnya akan diuraikan perihal mengenai kajian-kajian penggiat perennialisme
terhadap tas}awuf dengan melihat aspek-aspek objektifitas dari kajian-kajian terhadap tas}awuf disatu
sisi dan memahami pembacaan terhadap konsep-konsep tas}awuf disisi lain. Maka, dalam tulisan ini
akan dibahas tokoh dalam tasawuf yang sering dikutip oleh kalangan perennialisme yaitu Ibn ‘Arabi, al-
Rumi dan al-Jilli dalam mempertemukan diversitas agama-agama.

https://inpasonline.com/distorsi-pembacaan-kaum-perennialis-terhadap-tasawuf/

https://www.fajarpos.com/kolom/14/09/2018/tasawuf-di-mata-orientalis/

https://tasawufpsikoterapi.fuda.iainkediri.ac.id/tasawuf-sebagai-landasan-ilmu-pengetahuan/

Anda mungkin juga menyukai