Anda di halaman 1dari 19

DEFINISI TEORI-TEORI KOTA

1. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa kota adalah tempat dimana konsentrasi penduduk lebih padat
dari wilayah sekitarnya karena terjadinya pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan
kegiatan atau aktivitas penduduknya.

2. Menurut Permendagri 2 tahun 1987 kota merupakan pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang
mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundangan, serta permukiman
yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan.

3. Menurut Permendagri No.4 Tahun 1980 kota adalah suatu wadah yang memiliki batasan administrasi
wilayah seperti kotamadya dan kota administratif. Kota juga berarti suatu lingkungan kehidupan
perkotaan yang mempunyai ciri non agraris.

4. Menurut Bintarto, kota diartikan sebagai suatu sistim jaringan kehidupan yang ditandai
dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan
bercorak materialistis. Masyarakat kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan pendatang.

5. Menurut UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kota adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

6. Menurut Louis Wirth, kota adalah pemukiman yang berpenduduk relatif besar dengan kepadatan
tinggi, memiliki luas area terbatas, serta pada umumnya bersifat non-agraris.

7. Menurut Jorge E. Hardoy, suatu pemukiman dapat disebut kota jika

8. Menurut Max Weber, kota adalah tempat yang penghuninya dapat memenuhi sebagian besar
kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Ciri kota adalah adanya pasar sebagai benteng serta memiliki
sistem hukum tersendiri

9. Ir Sutami menyatakan bahwa kota adalah tempat koldip (Koleksi, distribusi, dan produksi)

10. Amos Rappoport membagi definisi kota menjadi dua, yaitu klasik dan modern.

Klasik Kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari
kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosiaL. Modern Kota adalah suatu permukiman
yang dirumuskan bukan dari ciri morfologi kota tetapi dari suatu fungsi yang menciptakan ruang-ruang
efektif melalui pengorganisasian ruang dan hierarki tertentu

11. Menurut Alan S. Burger, kota adalah suatu permukiman yang permanen dengan penduduk
heterogen. Kota juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang terintegrasi membentuk suatu sistem
sosial.
12. National Urban Development Strategy mendefinisikan kota sebagai pusat pelayanan, kegiatan
produksi, distribusi, dan jasa yang mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya.

13. Menurut John Brickerhoff Jackson, kota adalah suatu tempat tinggal manusia yang merupakan
manifestasi dari perencanaan dan perancangan yang dipenuhi oleh berbagai unsur seperti bangunan,
jalan, dan ruang terbuka hijau.

14. Djoko Sujarto mengartikan kota sebagai pemukiman yang memiliki karakteristik berikut

Demografis: Pemusatan penduduk tinggi dengan kepadatan yang lebih tinggi   dibandingkan dengan


daerah sekitarnya

Sosiologis: Adanya sifat heterogen yang melingkupi kehidupan sosial masyarakat

Ekonomi: Adanya proporsi lapangan pekerjaan yang dominan di sektor non pertanian seperti industri,
perdagangan, pelayanan, dan transportasi

Fisik: Didominasi wilayah terbangun dan struktur binaan

Administrasi: Memiliki wilayah wewenang yang dibatasi dan ditetapkan oleh peraturan yang berlaku

Kesimpulan
Ternyata definisi kota dari para ahli cukup banyak ya, cukup sulit menghafalkan mereka semua.

Namun jika kita cermati, semua definisi tersebut dapat dirangkum menjadi satu definisi umum
mengenai perkotaan yaitu

“Sebuah wilayah yang menjadi pusat aktivitas wilayah, memiliki banyak penduduk dengan kepadatan
tinggi, memiliki sifat penduduk yang heterogen dan memiliki wilayah wewenang yang terbatas oleh
suatu peraturan atau konvensi”

Terkadang kita bertanya-tanya, mengapa di definisi kota sering kali tercantum pernyataan “Mayoritas
aktivitas ekonomi non-agraris”, padahal sebenarnya banyak kota yang cukup menggantungkan dirinya
pada aktivitas-aktivitas yang dianggap agraris, contohnya Malang.

Ternyata agraris yang dimaksud disini adalah pertanian tanpa diolah.

Ketika hasil pertanian sudah diolah menjadi setengah jadi atau bahkan menjadi barang jadi seperti
makanan kaleng dan susu kemasan, ia sudah berubah menjadi sektor manufaktur, yaitu industri
pertanian.
A. TEORI KONSENTRIS (THE CONSENTRIC THEORY)

Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar tudy kasusnya mengenai
morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke
arah luar di semua bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar.
Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang dihasilkan
akan  berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya.

Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti suatu pola konsentris ini
adalah sebagai berikut:

a.   Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB). 

Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah ini terdapat
bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan baik sosial, ekonomi, poitik dan budaya.
Contohnya : Daerah pertokoan, perkantoran, gedung kesenian, bank dan lainnya.

b.   Daerah Peralihan.

Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu dalam kehidupan sosial-
ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman),
terutama ditinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri
ringan, sebagai perluasan dari KPB.

c.   Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.

Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini. Kondisi perumahannya
sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan, hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja
yang tinggal di sini adalah dari golongan pekerja kelas rendah.

d.   Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya.

Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding dengan penduduk yang
menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau dari pemukimannya maupun dari
perekonomiannya.

e.    Daerah Penglaju.

Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup daerah pedesaan
disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan
ciri-ciri kehidupan pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan
merupakan pekerja-pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah
penduduk yang bekerja di bidang pertanian.
B.    TEORI SEKTOR

Teori sector ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999), dinyatakan bahwa
perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan
kembali karakter yang dipunyai oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama
didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah
atau sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap
KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau
tempat terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu
dan bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan KPB
mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari KPB.
Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek
yang lainnya.

Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga tunggal dan semakin lama
akan didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social,
ekonomi dan politik.

Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup tersedia ruang-ruang
kosong untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya.

Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi karena adanya
kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal,
karena perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi.
Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini terutama dipengaruhi oleh
adanya jalur transportasi yang menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada diluarnya.

Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini tidak mengikuti arah jalur
transportasi yang ada, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu
dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan menarik penduduk untuk bertempat
tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana
perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota yang ada. Oleh karena jarak antara
pusast kegiatan yang baru dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh, maka
pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama dengan pusat yang baru akan bergabung
menjadi satu.

Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi karena adanya gabungan
dari perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terus-menerus
dan bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-
pusat tersebut satu kesatuan kegiatan.
C.    TEORI PERTUMBUHAN KOTA 

Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk, sedangkan
bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan
budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi
bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned.

Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan
pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.

Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu
segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi,
sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern,
bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan
non geometrik.

Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara biologis
seperti organ tubuh manusia, yaitu :

1.        Square, open space sebagai paru-paru.

2.       Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).

3.     Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.

4.     Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.

5.     Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.

6.     Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan.

Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan
sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak
teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan
pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan
non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan
akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini terjadi secara berulang-
ulang.

Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota yang terlihat
sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar
mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan
perilaku yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan keseimbangan yang
ada, menurutnya bentuk fisik organik :
Membentuk pola radial dengan unit terbatas.

- Memiliki focused centre.


- Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang membentuk
lengkung tak beraturan.
- Material alami.
- Kepadatan sedang sampai rendah.
- Dekat dengan alam

Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit
yang memiliki fungsi masing-masing. Kota terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan
kualitas karena perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masyarakat
penghuni kota ini bermacam-macam yang merupakan percampuran antara berbagai macam manusia
dalam suatu tempat yang memiliki keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling
menyimpang tetapi juga saling mendukung satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada
kerjasama pemeliharan lingkungan sosial oleh masyarakat.

D.    TEORI TEORI PERTUMBUHAN KOTA 

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan suatu kawasan dan sekitarnya sebagai
bagian dari suatu kawasan perkotaan yang lebih luas, menurut Gallion dalam buku ¨The Urban Pattern¨
disebutkan bahwa perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak geografis suatu kota.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan akibat pertumbuhan daerah di kota tersebut, apabila
terletak di daerah pantai yang landai, pada jaringan transportasi dan jaringan hubungan antar kota,
maka kota akan cepat tumbuh sehingga beberapa elemen kawasan kota akan cepat berubah.
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam
lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal
yang bisa diamati yaitu :

1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus menerus.
2.  Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui kapan dimulai dan
kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari kekuatan-kekuatan yang melatar belakanginya.
3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental yang berlangsung
tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang komprehensif dan berkesinambungan.
4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam
populasi pendukung.
5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan), optimalnya kawasan, penataan
yang maksimal pada kawasan dengn fungsi-fungsi yang mendukung, penggunaan struktur yang
sesuai pada bangunan serta komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A New
Theory Of Urban Design, 1987, 14:32-99).
Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang berada di kawasan bencana alam,
yaitu adanya perubahan pola tata ruang lingkungan permukiman (kampung kota) mengarah kepada
tatanan kawasan mitigasi bencana alam yang nantinya melalui tahapan proses terus menerus yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan manusianya.

Dalam kaitanya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki dua aspek yaitu aspek diakronik
yang berkaitan dengan perubahan ide dalam sejarah dan aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian
dalam kurun waktu tertentu yang dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah
individual dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam analisis morfologi.

Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kehidupan dasar masyarakat
menurut makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport, 1969). Keseragaman dan keberagaman sebagai
ungkapan perwujudan fisik yang terbentuk yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna
sebagai pembentuk citra suatu tempat (place).

Ada tiga komponen struktural yang dapat dikaji (Schultz, 1984) :


„X Tipologi : menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian ruang (spatial organization)
yang dalam hal ini menyangkut ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak.
„X Morfologi : menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat
dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan yang lainya.

Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat
mengenai bagian-bagian arsitektur. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometris,
sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai
ruang sangat berkaitan dengan organisasi ruang, hubungan ruang dan bentuk ruang, perwujudan spasial
fisik merupakan produk kolektif perilaku budaya masyarakat serta pengaruh ¨kekuasaan¨ tertentu yang
melatarbelakanginya.

Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu lingkungan binaan tertentu bukan
hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis, melainkan menyerap dan menghasilkan
makna berbagai kekhasan suatu tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi
bangunan dengan ruang publik serta kehidupan masyarakat setempat.

Perubahan morfologi tidak lepas dari pendukung kegiatan (activity support) karena adanya
keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kawasan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut
penggunaan ruang yang menunjang keberadaan ruang-ruang umum. Kegiatan dan ruang-ruang umum
merupakan hal yang saling mengisi dan melengkapi, keberadaan pendukung kegiatan mulai muncul dan
tumbuh, bila berada diantara dua kutub kegiatan yang ada di kawasan tersebut keberadaan pendukung
kegiatan tidak lepas dari tumbuhnya fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang
kawasan, semakin dekat dengan pusat kegiatan semaking tinggi intensitas dan keberagaman kegiatan.
 E.   ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA

Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat
ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra
lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut
adalah :

a.    Tata Guna Tanah

Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk, tata guna lahan
perlu mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street
level) yang akan menciptakan ruang yang manusiawi.

Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang
terkait, bagaimana seharusnya daerah zona dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning
ordinace merupakan suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design,
penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar bangunan dan
kualitas lingkungan.

Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya
dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga
membentuk kualitas hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi.

b.    Bentuk dan Massa Bangunan

Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran,
floor area ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala
proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis
dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya.

Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi :

1.    Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar.

2.     Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang.

3.     Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun
untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil.

c.     Sirkulasi Dan Parkir

Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga
prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi adalah :
1. Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual yang positif.
2. Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi
jelas terbaca.
3. Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

d.     Ruang Terbuka Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut :

1. Ruang terbuka sebagai sumber produksi.


2. Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam, daerah
budaya dan sejarah).
3. Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan.
Ruang terbuka memiliki fungsi :
a. Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota.
b. Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane)
terutama dikawasan pusat kota yang padat.
c. Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus.
d. Melindungi fungsi ekologi kawasan.
e. Memberikan bentuk solid foid pada kawasan.
f. Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area
pengembangan).

 Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik, visual ruang, lingkage dan
kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor :

1.       Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat)
tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal).

2.      Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada.

3.      Aktifitas utama.

4.      Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian)
dan kualitas (estetika visual) ruang.

5.      Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain.


e.            Jalur Pejalan Kaki

Sistem pejalan kaki yang baik adalah :

1.       Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.

2.      Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.

3.      Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara.

f.              ACTIVITY SUPPORT

Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang
menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota.
Kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi.
Pada dasarnya activity support adalah :

1       Aktifitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement).

2       Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent).

 Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang
mendominasi penggunaan ruang-ruang umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi
intensitas dan keberagamannya.

Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan
umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya,
kawasan PKL, pedestrian ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi
kepentingan umum.

g.            Simbol Dan Tanda

Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk :

1.       Menciptakan kesesuaian.

2.       Mengurangi dampak negatif visual.

3.      Dalam waktu bersamaan menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas
atau tanda umum yang penting.

4.      Tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan
menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis.

5. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban
place, sama seperti tempat atau bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang
berlangsung di tempat itu.
F.             TEORI DESAIN SPASIAL KOTA

Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara figure ground, linkage
dan palce. Figure ground menekankan adanya public civics space atau open space pada kota sebagai
figure.

Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang
merupakan elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi
oleh figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding
ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem
ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang
yang mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup
sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut
seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan
keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang
menyatu.

Dalam ¨lingkage theory¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang meruakan
kontribusi yang sangat penting. Menurut Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu
suatu kegiatan yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota, dalam
teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu : Composition form, Megaform dan
groupform. Teori linkage yang dapat diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri
khas dari bentuk-bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak terbentuk secara
langsung tetapi selalu dihubungkan dengan karakteristik fisik skala manusia, rentetan-rentetan space
yang dipertegas oleh bangunan, dinding, pentu gerbang, dan juga jalan yang membentuk fasade suatu
lingungan perkampungan. Linkage theory ini dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan
dalam penataan suatu kawasan (lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan
hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro, dengan atau tanpa
aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik
(danarti Karsono, 1996).

Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan masa
bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi
kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat
membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut.

Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik , dalam place
theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi
integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan
utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat.

Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu
daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni
(masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu
(linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat
penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting
dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa
datang, teori ini memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan
kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota.

 G.            KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN

Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan
aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu
wilayah perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek
spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana
sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep
pengembanan wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai
daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu
meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan
wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.

Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu konsep pusat
pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all,
Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan
pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau
wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat
pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini
di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.

Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara
berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu
kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang
lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari
sumberdana dan sumberdaya manusia.

Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini muncullah beberapa konsep
untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain people center approach yang
menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development yang
menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based
development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan
menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.

Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan
sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan
mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan
meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan
wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk
mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas.

Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola
pembangunan di wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi
dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang
dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis.
Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan
faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter,
ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).

Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan
perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah
(1999) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap
wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang
murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih
keunggulan daya saing melalui empat hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi,
kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.

Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang
mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar
tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu
sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja tersebut akan
berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah.
Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari
wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain
apabila salah didalam mengelola spatial network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses
disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan
keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu
memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif
kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.

H.            INTERGRASI KAWASAN PERTUMBUHAN PERKOTAAN

Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan
demografis, ekonomi dan fisik-spaial. Secara fisik kota tumbuh ekspansif  ke arah luar/pinggiran bahkan
melampaui batas wilayah administasi Kota. Dikaitkan dengan keterbatasan daya dukung, terutama lahan
dan sumber daya air, kebutuhan sarana-prasarana dasar perkotaan yang semakin meningkat menjadi
persoalan yang semakin serius untuk ditangani. Ditinjau dari aspek spasial, struktur dan pola
pemanfaatan ruang kota/kawasan perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif  dan 
menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin tidak terkendali, mengkonversi lahan-lahan pertanian
subur dengan berbagai dampaknya. Hal ini jelas jauh berbeda dengan konsep dan prinsip compact
city atau pendekatan kompaksi perkotaan (urban compaction) yang diyakini di negara-negara maju
mencerminkan kota yang berkelanjutan. Namun dalam konteks negara berkembang, debat mengenai
pengembangan compact city adalah sejauhmana konsep tersebut dapat diterapkan padahal kota-kota di
negara berkembang kondisinya jauh berbeda dengan di negara maju,  sebagai manifestasi proses
urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang berbeda pula.

Kajian empirik yang menyangkut relevansi penerapan kompaksi perkotaan di Indonesia dalam kaitannya
dengan aspek keberlanjutan perkotan dapat dikatakan belum pernah dilakukan secara khusus. Dalam
kondisi seperti itu, perumusan kebijakan yang menyangkut rencana struktur dan pola ruang kota yang
sebagian telah mengarah pada penerapan konsep compact city, seperti banyak dilakukan dalam
perencanaan pembangunan perkotaan,  sebenarnya cenderung bersifat spekulatif karena tidak/ belum
didukung hasil kajian empirik yang memadai. Dalam hal ini pemahaman terhadap relevansi kompaksi
perkotaan untuk diterapkan serta potensi dan kendala penerapannya  belum menjadi landasan bagi
pengembangan kebijakan perencanaan tata ruang kota.   

Dalam konteks di atas, yang menjadi persoalan dalam pekerjaan ini adalah belum adanya kajian empirik
tentang kompaksi perkotaan sebagai struktur dan pola ruang kawasan perkotaan berkelanjutan yang
didasarkan pada keterkaitan antara bentuk perkotaan (urban form) dengan keberlanjutannya  secara
ekonomi, sosial dan lingkungan.            

Secara konseptual, kompaksi perkotaan (urban compaction) merupakan alternatif atau strategi untuk
mewujudkan stuktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Penerapannya dalam
konteks pertumbuhan fisik/ kawasan terbangun saat ini di berbagai kota besar atau Kawasan
Pertumbuhan Perkotaan yang cenderung ekspansif dengan pola sprawl yang tidak terkendali,
mempunyai potensi untuk untuk mengurangi ecological footprint, terutama yang disebabkan oleh 
segregasi spasial berbagai aktivitas perkotaan dan implikasinya terhadap kebutuhan transportasi.
Sasaran kompaksi perkotaan adalah:

Minimasi/reduksi footprint kota

Perlindungan terhadap penyusutan lahan pertanian

Peningkatan penggunaan transportasi umum

Peningkatan efisiensi kawasan perkotaan

Pengurangan ketidakseimbangan perkembangan kawasan di pusat dan kawasan perumahan di pinggiran


kota.

DEFINISI TEORI TEORI PERMUKIMAN


Menurut Doxiadis dalam Kuswartojo, T., & Salim, S. (1997), permukiman merupakan sebuah
system yang terdiri dari lima unsur, yaitu: alam, masyarakat, manusia, lindungan dan jaringan. Bagian
permukiman yang disebut wadah tersebut merupakan paduan tiga unsur: alam (tanah, air, udara),
lindungan (shell) dan jaringan (networks), sedang isinya adalah manusia dan masyarakat. Alam
merupakan unsur dasar dan di alam itulah ciptakan lindungan (rumah, gedung dan lainnya) sebagai
tempat manusia tinggal serta menjalankan fungsi lain.

Jaringan, seperti misalnya jalan dan jaringan utilitas merupakan unsur yang memfasilitasi hubungan
antar sesama maupun antar unsur yang satu dengan yang lain. Secara lebih sederhana dapat dikatakan,
bahwa permukiman adalah paduan antara unsur manusia dengan masyarakatnya, alam dan unsur
buatan sebagaimana digambarkan Doxiadis melalui ekistiknya (Kuswartojo, T., & Salim, S. (1997):

Untuk menjawab sebagian isu perkembangan permukiman dan pendekatan terkini penyelenggaraan
permukiman Heinz Frick (2006) menegaskan bahwa rumah tinggal bukan hanya sebuah bangunan dalam
arti fisik, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak,
dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat.

Secara garis besar, rumah memiliki empat fungsi pokok sebagai tempat tinggal yang layak dan sehat bagi
setiap manusia, yaitu: (American Public Health association. Basic Principles of Healthful Housing. New
York 1960. dikutip dari Heinz: 2006)

1. Rumah harus memenuhi kebutuhan pokok jasmani manusia:

a. Dapat memberi perlindungan terhadap gangguan-gangguan cuaca atau keadaan iklim yang kurang
sesuai dengan kondisi hidup manusia, misalnya panas, dingin, angin hujan, dan udara yang lembab

b. Dapat memenuhi kebutuhan penghuninya untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan rumah tangga
sehari-hari, antara lain: a. Kegiatan kerja yang ringan misalnya memasak, menjahit, belajar, dan menulis
b. Kegiatan rutin untuk memenuhi kesehatan jasmani bagi kelangsungan hidup, yakni antara lain: mandi,
makan, tidur. c. Dapat digunakan sebagai tempat istirahat yang tenang di waktu lelah atau sakit

2. Rumah harus memenuhi kebutuhan pokok rohani manusia. Rumah yang memberi perasaan aman dan
tentram bagi seluruh keluarga sehingga mereka dapat betah berkumpul dan hidup bersama, dan dapat
mengembangkan karakter kepribadian yang sehat

3. Rumah harus melindungi manusia dari penularan penyakit. Rumah yang dapat menjauhkan segala
gangguan kesehatan bagi penghuninya.

4. Rumah harus melindungi manusia dari gangguan luar. Rumah harus kuat dan stabil sehingga dapat
memberi perlindungan terhadap gangguan keamanan yang disebabkan bencana alam, kerusuhan atau
perampokan.

Dan berdasarkan surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum pada tahun 1980 tentang Pedoman Teknik
Pembangunan Rumah Sederhana Tidak Bersusun ada beberapa hal yang relevan untuk digunakan dalam
rangka membuat suatu kawasan permukiman yang sehat, aman dan berlanjut, seperti:
1. Kriteria Pemilihan lokasi, dimana lokasi yang dipilih sebagai lahan hunian bebas dari pencemaran air,
pencemaran udara, dan kebisingan baik yang berasal dari sumber daya buatan atau sumber daya alam
(gas beracun, sumber air beracun). Terjaminnya kualitas lingkungan hidup bagi pembinaan individu dan
masyarakat penghuninnya. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%,
sehingga dapat dibuat sistem air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya dukung yang
memungkinkan untuk dibangun permukiman serta terjamin adanya kepastian hukum bagi masyarakat
penghuni terhadap tanah dan bangunan diatasnya yang sesuai dengan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku.

2. Kepadatan lingkungan, dimana suatu lingkungan permukiman rata-rata 50 unit rumah/ha dan
maksimum luas perencanaan yang tertutup bangunan adalah 40% dari luas seluruh lingkungan
permukiman.

3. Prasarana lingkungan permukiman seperti

a. Jalan,

b. Air limbah (Jika kemungkinan membuat tangki septik tidak ada, maka lingkungan permukiman harus
dilengkapi dengan sistem pembuangan limbah lingkungan atau harus dapat disambung pada sistem
pembuangan air limbah kota dengan pengolahan tertentu), dan

c. Pembuangan air hujan

4. Utilitas Umum

a. Air bersih b. Pembuangan sampah c. Jaringan Listrik

5. Fasilitas Sosial, kebutuhan fasilitas ini disesuaikan dengan keadaan kawasan permukiman yang akan
dibangun

a. Umum b. Fasilitas Pendidikan c. Fasilitas Kesehatan d. Fasilitas Niaga e. Fasilitas Pemerintahan dan
Pelayanan Umum f. Fasilitas Peribadatan g. Fasilitas Rekreasi dan Kebudayaan h. Fasilitas olahraga dan
lapangan terbuka

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2000 tanggal 21 Februari 2000 tentang
Pedoman Penyusunan Amdal Kegiatan Permukiman Terpadu, bab I menyatakan bahwa pengembangan
wilayah dibangun berdasarkan konsep permukiman terpadu, yaitu pembangunan prasarana
permukiman beserta fasilitas penunjangnya. Selanjutnya keputusan menteri tersebut menegaskan
adanya 5 prinsip utama dari konsep perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan yang
harus dikembangkan sesuai kondisi awal yang ada:

1. Mempertahankan Dan Memperkaya Ekosistem Yang Ada.

Termasuk di dalamnya adalah berlanjutnya ekosistem yang ada. Perubahan yang dilakukan terhadap
unsur ekosistem karena adanya pembangunan gedung dan prasarananya harus diimbangi dengan
peningkatan kemampuan dari unsur ekosistem baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang
memperkaya ekosistem secara keseluruhan

2. Penggunaan Energi Yang Minimal.

Baik secara makro maupun mikro perumahan dan permukiman harus memanfaatkan sistem iklim yang
ada dan perancangan bangunan yang memanfaatkan prinsip yang sama ditambah dengan sistem radian
yang dapat meningkatkan efektifitasnya dibandingkan dengan sistem pasif. Pemilihan bahan bangunan,
cara membangun dan rancangan bentuk dapat berpengaruh terhadap keutuhan energi, baik jangka
pendek maupun jangka panjang.

3. Pengendalian Limbah Dan Pencemaran

Limbah yang harus dihasilkan mulai dari yang dihasilkan oleh jamban, kamar mandi, dapur, dan rumah
sampai akibat dari pemakaian beberapa peralatan listrik, bahan bakar fosil dan sebagainya. Limbah ini
harus dikelola dengan baik dan jelas dengan prinsip produksi bersih.

4. Menjaga Kelanjutan Sistem Sosial-Budaya Lokal

Gaya hidup yang berlaku sudah secara mantap diterjemahkan ke dalam berbagai tatanan dan bentuk
bangunan serta peralatan yang dipakai sehari-hari. Kaidah dan pola dari warisan budaya dan pola hidup
ini harus menjadi dasar awal untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan baru yang
diciptakan oleh pembangunan yang maju dan berhasil tanpa melupakan keberlanjutan

5. Peningkatan Pemahaman Konsep Lingkungan

Permukiman terbentuk melalui proses yang berlangsung terus. Dalam pengembangan proses ini selalu
akan terjadi pergantian pemukim baik secara alami maupun proses lahir dan batin, maupun karena
mobilitas penduduk antara yang datang dan pergi.

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2000 tanggal 21 Februari 2000,
penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :

1. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia,

2. Dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;

3. Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan
teratur;

4. Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional;

5. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lain.

Perumahan dan permukiman yang ramah lingkungan atau berwawasan lingkungan adalah suatu
lingkungan perumahan dan permukiman yang dibangun dengan mempertimbangkan dan memadukan
ekosistim. Artinya tidak hanya membangun suatu perumahan dan permukiman dengan rumah-rumah
atau gedung bertingkat yang megah, mewah dan artistik saja, tetapi bagaimana bangunan tersebut
dirancang untuk sesedikit mungkin menimbulkan polusi dan hemat dalam penggunaan energi serta
penggunaan air.

Pembangunan berwawasan lingkungan mensyaratkan adanya sejumlah kawasan yang tetap


dipertahankan berada dalam status alaminya. Ini berguna untuk menjaga kualitas air, perlindungan
sumberdaya plasma nutfah, perlindungan kawasan berpemandangan indah, kesempatan untuk
menikmati lingkungan alami sehingga menjamin kelestarian sumberdaya alam. Adanya pembangunan
tanpa disadari telah berdampak pada munculnya masalah-masalah perkotaan, seperti terbatasnya air
bersih, polisi udara, asap, masalah drainase dan banjir, pengelolaan sampah yang belum professional
dan berbagai permasalahan lingkungan lainnya.

Pembangunan berkelanjutan di sektor permukiman menurut Joko Kirmanto (2007) -Menteri Pekerjaan
Umum- diartikan sebagai pembangunan permukiman termasuk di dalamnya pembangunan kota secara
berkelanjutan sebagai upaya berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas
lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang. Intinya pembangunan permukiman yang
berkelanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan.

Sedangkan menurut Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) konsep pembangunan permukiman yang
berwawasan lingkungan adalah permukiman yang menunjang perkembangan kehidupan yang
berkelanjutan, dimana dapat menopang dan ditopang oleh tercapainya tujuan ekonomi, sosial dan
ekologi (KMNLH, 1999). Definisi permukiman berwawasan lingkungan menurut KLH akan digunakan
sebagai definisi operasional dalam penelitian ini.

Beberapa definisi lain mengenai permukiman berkelanjutan adalah:

1. Pembangunan yang berkelanjutan adalah peningkatan kualitas hidup secara berkelanjutan dan untuk
itu perlu peningkatan kualitas permukiman itu sendiri (Brundland, 1987:342).

2. Segala upaya yang terus menerus dilakukan, untuk menyerasikan, memadukan dan meningkatkan
nilai ekonomi-sosial serta ekologi; dapat disebut sebagai pengembangan perumahan dan permukiman
yang berwawasan lingkungan dan pengembangan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan
(Kuswartojo, T., & Salim, S., 1997)

Dalam upaya meningkatkan kepedulian dan sebagai penghargaan terhadap usaha dan komitmen para
pengembang permukiman dalam upaya pengelolaan lingkungan di pemukiman, Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Perumahan dan Permukiman
menyelenggarakan Program Penghargaan Rumah Lestari.

tjauh dari itu, makna lestari dapat diartikan sebagai ‘terjaganya keberlangsungan (sustainability)’.
Rumah lestari, dengan demikian, mempunyai makna bahwa fungsi rumah dengan segala konsepsi nilai
dan norma yang terkait di dalamnya harus tetap terjaga.

Konsep permukiman berwawasan lingkungan atau rumah lestari yang ditawarkan KLH dan Menpera
belum banyak menyentuh penataan lokasi permukiman. Lokasi permukiman seharusnya mendukung
upaya kebelanjutan lingkungan, namun beberapa dari permukiman yang diberikan penghargaan
tersebut belum memperhatikan penataan lokasi seperti jauh dari transportasi umum, belum
terpenuhinya perbandingan antara lokasi terbangun dengan lokasi yang terbiarkan, belum memiliki jalur
sepeda atau trotoar yang memadai untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Atau juga
lokasi permukiman ditempat strategis yang peruntukkannya lebih baik untuk ruang terbuka hijau kota.

Beberapa pakar arsitektur mengatakan konsep pembangunan permukiman horizontal membutuhkan


lahan yang besar. Namun dengan hadirnya konsep rumah vertical seperti rumah susun atau apartemen,
kekhawatiran kekurangan lahan dapat terbantahkan. Hanya saja konsep rumah vertical sampai saat
inipun masih menjadi perdebatan. Poin utama mengapa rumah vertical belum banyak diterima
masyarakat adalah berkurangnya interaksi sosial antara penghuni karena rumah vertical tidak
menyediakan ruang sebagai tempat berkumpulnya para penghuni. Oleh karena itu, sampai saat ini
rumah horizontal masih menjadi pilihan utama masyarakat.

Menurut Heksanto Sekretaris Jenderal Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia (IALI), permukiman
berwawasan lingkungan mesti memiliki air bersih, pohon besar peneduh, bebas polusi udara dan suara,
serta keseluruhan lansekapnya nyaman. Ciri lain, hunian berwawasan lingkungan dikembangkan secara
terpadu dengan konsep one stop living. Artinya hunian yang dilengkapi fasilitas pendidikan, kesehatan,
komersial, dan ibadah yang berkualitas. Termasuk syarat sirkulasi udara yang baik dan lancar, serta
penetrasi cahaya ke dalam rumah.

DEFINISI TEORI KOTA DAN PERMUKIMAN

Anda mungkin juga menyukai