Anda di halaman 1dari 11

Nama : Keitaro Lazuardi Borneo Rafi

NIM : 1801035200
Jurusan : Akuntansi
Kelas : Seminar Akuntansi AK/D

PENGUKURAN KINERJA NON FINANSIAL DALAM MENINGKATKAN


KINERJA FINANSIAL : STUDY LITERATUR

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat kajian literatur tentang penggunaan
kinerja non-keuangan untuk mengukur kinerja dan hubungan kinerja non keuangan
dengan kinerja keuangan. Dalam beberapa tahun terakhir penggunaan informasi non
finansial telah meningkat untuk mengukur kinerja organisasi. Eccles (1991) adalah
penulis pertama yang menyoroti penggunaan informasi non-finansial untuk tujuan
kinerja organisasi profit.
Setelah artikel tersebut tersebar, studi mengenai masalah ini semakin banyak
bermunculan namun kebanyakan studi ini tidak dilakukan secara ilmiah. Kebanyakan
dari mereka hanya mewakili ide-ide penulis dan pengalaman praktis dalam
menggunakan informasi non-finansial untuk tujuan pengukuran ( Morissette, 1996: 2)
Tapanya (2007) meneliti pengukuran kinerja yang menggunakan indikator kualitatif
dalam konteks Balanced Scorecarad pada Bank di Thailand dimasa terjadinya krisis
finansial tahun 1997. Penelitiannya menunjukkan bahwa indikator non finansial pada
strategy reactor, analyzer dan prospector berpengaruh terhadap kinerja jangka
panjang. Sedangkan pada jangka pendek sebagian besar lebih berpengaruh pada
kinerja finansial.
Pembahasan
Pengukuran Finansial
Menurut Atkinson et al. (1997) pengukuran kinerja terutama didasarkan pada
ukuran kinerja finansial kurang fokus dan ketahanan yang dibutuhkan untuk
manajemen internal dan kontrol. Langkah-langkah ini berasal dari sistem akuntansi
yang menghasilkan dan mengkomunikasikan informasi finansial untuk mendukung
hubungan kontrak dan pasar modal yang dihasilkan dari pemisahan pemilik dan
manajer dalam perusahaan modern.

Keterbatasan Pengukuran Finansial


gukuran Financial Munculnya tindakan-tindakan non-finansial berkaitan erat
dengan ketidakmampuan langkah-langkah finansial untuk menyediakan semua
informasi yang dibutuhkan untuk mengelola perusahaan dalam dunia bisnis baru.
Pengukuran finansial menunjukkan dampak moneter dari keputusan masa lalu.
Biasanya peristiwa yang dihasilkan terlalu lama, seharusnya mereka memantau
peristiwa tersebut untuk kontrol sehari-hari (Mc Arthur, 1996:44). Pengukuran
finansial juga bukan cara yang valid untuk menetapkan tujuan masa depan, karena
biaya historis aset yang dijadikan dasar dalam perencanaan tindakan di masa depan
(Dearden, 1987: 85).
Ukuran kinerja finansial tradisional sebagian besar mengabaikan pelanggan dan
perspektif yang kompetitif, sehingga ukuran tersebut gagal untuk menghasilkan
sinyal peringatan dini dari perubahan di pasar (Hoffecker dan Goldenberg, 1994: 5).

Alasan Penggunaan Kinerja – Non Financial


Pengukuran nonfinansial dipercaya dapat meningkatkan kinerja finansial masa
yang akan datang. Pengukuran nonfinansial diusulkan oleh perusahaan dalam
mencapai competitive advantage dan dapat mengurangi cost lebih banyak. Fokus
pada value added produk dan pelayanan pada konsumen.
Meskipun beberapa alasan mendorong mendukung penggunaan informasi
nonfinansial untuk pengukuran kinerja dan tujuan kompensasi , peneliti-peneliti juga
menyoroti kelemahan penggunaan ukuran yang beragam untuk mengelola kinerja
bisnis dan kompensasi. Bukti menunjukkan banyak perusahan yang merubah sistem
pengukuran kinerja mereka dengan menelusuri kinerja nonfinansial dan mengevaluasi
strategi kompetitif baru (Joshi, 2005). Para ahli dan praktisi menggunakan alasan
yang beragam untuk menjelaskan penggunaan informasi nonfinansial untuk
mengukur kinerja manajerial. Alasan yang paling umum didasarkan pada gagasan
bahwa kinerja nonfinansial merupakan tindakan manajerial yang memfokuskan
perhatian pada jangka panjang dan langkah untuk mencapainya berisi informasi
tentang kinerja yang tidak terdapat pada indikator finansial (Brancato, 1995; Fisher,
1995a; Ittner dan Larcker, 1998).

Keuntungan Pengukuran Non Financial


Ukuran kinerja yang digunakan perusahaan berubah tergantung pada industri ,
budaya , dan misi. Perusahaan harus menghubungkan langkah-langkah untuk faktor-
faktor seperti strategi perusahaan , value drivers, tujuan organisasi dan lingkungan
yang kompetitif ( Kapuge dan Smith 2007)

Pengukuran Kinerja Non Financial


Perhatian terhadap pengukuran non finansial muncul sekitar tahun 90-an
dikembangkan oleh berbagai peneliti menawarkan beberapa model, diantaranya
adalah Eccles (1991) menggunakan suatu model non-finansial information untuk
tujuan performance. Dalam artikel “The Performance Measurement Manifesto”,
Eccles menyebut “revolution” dan “a new philosophy” untuk informasi non-finansial
dalam performance measurement. Fisher berkomentar bahwa perusahaan yang
menggunakan model baru memiliki kelebihan yaitu: (a) pengukuran non-finansial
lebih langsung dapat ditelusuri terhadap strategies mengukur tindakan.
Keterbatasannya (a) pengukuran non-finansial itu memungkinkan untuk jumlah
perbaikan dalam pengukuran non-finansial; (b) tanpa theoretical framework,
pengukuran non-finansial menimbulkan konflik dan membuat trade-offs yang sulit
ditentukan. Fisher mengklaim pengertian terhadap kekuatan dan kelemahan dan
trade-offs dalam sistem non-finansial membutuhkan pengembangan dari keseluruhan
framework yang menjelaskan interrelationships dan ketidakpastian yang dihadapi
perusahaan dalam implementasi sistem non-finansial akan hilang setelah kerangka
kerja yang diterima dikembangkan (Fisher, 1992: 36-38).

Balanced Scorecard
Konsep balanced scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan
implementasinya. Balanced scorecard terdiri dari dua yaitu kartu skor (scorecard) dan
berimbang (balanced). Kartu score adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor
hasil kinerja seseorang. Kartu skor ini dapat juga digunakan untuk merencanakan
skor yang hendak dicapai atau yang diwujudkan personel di masa depan. Kata
berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personel diukur secara
berimbang dari dua aspek: finansial dan nonfinansial, jangka pendek dan jangka
panjang, intern dan ekstern. Balanced scorecard digunakan untuk menyeimbangkan
usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja finansial dan non finansial, serta kinerja
jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa
untuk mengukur kinerja eksekutif masa depan, diperlukan ukuran yang komprehensif
yang mencakup empat perspektif: finansial, konsumen, proses bisnis/intern, dan
pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut dengan balanced scorecard.
Melalui pengukuran finansial berdasarkan pendekatan balanced scorecard,
perusahaan didorong untuk tidak hanya memberikan perhatian pada proses yang ada,
tetapi berusaha mencari metode proses baru yang memberikan value lebih baik bagi
pelanggan dan pemegang saham untuk strategi yang telah direncanakan. Berikut ini
akan dibahas masing-masing perspektif pengukuran kinerja berdasarkan balanced
scorecard.
Penelitian Terdahulu Mengenai Hubungan Pengukuran Kinerja Non Finansial
dengan Kinerja Finansial
Said, Hassab Elnaby, and Wier (2003) mengkaji implikasi dari ukuran kinerja
non finansial termasuk dalam kontrak kompensasi pada saat ini dan kinerja masa
depan. Temuan penelitian ini mendukung anggapan bahwa perusahaan-perusahaan
yang menggunakan kombinasi ukuran kinerja finansial dan non finansial memiliki
tingkat rata-rata secara signifikan lebih tinggi dari pengembalian aset dan tingkat
yang lebih tinggi market return.
Davis dan Albright (2004) menguji dampak kinerja non finansial pada bank
yang mengimplementasikan balanced scorecard dan yang tidak
mengimplementasikan balanced scorecard. Hasil penelitiannya menemukan bank
yang mengimplementasikan balanced scorecard memiliki finansial performance yang
lebih tinggi.
Yoo dan Park (2007) menguji hubungan kualitas pelayanan, kepuasan
pelanggan dan kinerja finansial perusahaan. Penelitian menggunakan sampel
sebanyak 129 hotel, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan karyawan
memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan yang dirasakan. Sebuah pemahaman
bersama karyawan memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan
yang dirasakan. Selain itu, kepuasan pelanggan memediasi hubungan kualitas
pelayanan yang dirasakan dan kinerja finansial

Kesimpulan Pembahasan
Berdasarkan literatur-literatur diatas bahwa perusahaan yang hanya
mempertimbangkan ukuran finansial atau non-finansial telah banyak mengalami
masalah. Ukuran finansial sangat penting untuk mengukur masa lalu, yaitu hasilnya.
Namun, tindakan-tindakan non-finansial menjadi keputusan penting untuk proyek dan
benar di dunia di mana perubahan yang lebih cepat dan lebih cepat. Sebuah sistem
pengukuran kinerja yang baik harus menyeimbangkan ukuran finansial dan non-
finansial dalam rangka mencapai tujuan, misi dan strategi yang ditetapkan oleh
perusahaan. Literatur terdahulu menyebutkan bahwa penggunaan ukuran finansial
saja dalam mengukur kinerja perusahaan telah menunjukkan kegagalan. Ukuran
finansial yang didasarkan pada informasi historis tidak dapat dijadikan dasar untuk
memprediksi kinerja masa depan perusahaan. Penelitian-penelitian terdahulu telah
menunjukkan bahwa penggunaan ukuran kinerja non finansial berhubungan positif
dengan kinerja finansial perusahaan, yang berarti penggunaan kinerja finansial dapat
meningkatkan kinerja finansial perusahaan.
PENGARUH PRESPEKTIF DAN JENIS UKURAN DALAM BALANCED
SCORECARD TERHADAP EVALUASI KINERJA

. Penelitian ini bertujuan menginvestigasi apakah evaluator mempunyai


kecenderungan untuk memberi bobot lebih pada ukuran kinerja keuangan umum
dibanding ukuran kinerja keuangan unik dan ukuran kinerja nonkeuangan umum
ketika mengevaluasi kinerja. Penelitian ini menindaklanjuti penelitian yang dilakukan
oleh Lipe dan Salterio (2000) serta Cardinaels dan Veen-Dirks (2010) untuk
mengidentifikasi kemungkinan adanya bias (kemungkinan kepercayaan, prasangka)
dalam evaluasi kinerja. Lipe dan Salterio (2000) menemukan adanya “bias umum”
dalam evaluasi kinerja menggunakan BSC. Artinya, manajer perusahaan cenderung
menggunakan ukuranukuran umum dan mengabaikan ukuran - ukuran unik dalam
mengevaluasi kinerja. Hanya saja, mereka tidak meneliti apakah manajer juga
cenderung menggunakan ukuran-ukuran kinerja umum dibanding ukuran-ukuran
kinerja unik dalam perspektif yang sama dalam BSC. Sebagaimana dikatakan oleh
Kaplan dan Norton (1992, 1993, 1996a, 1996b, dan 2001), perusahaan dalam
membangun ukuran-ukuran BSC tersebut seharusnya menghubungkan ukuran -
ukuran tersebut dengan strategi dan tujuan perusahaan. Dengan kata lain, strategi dan
tujuan perusahaan seharusnya termanifestasi dalam ukuran-ukuran BSC. Dengan
demikian, hanya berfokus dengan menggunakan ukuran - ukuran tertentu dan meng
abaikan ukuran-ukuran yang lain dalam BSC ketika melakukan evaluasi kinerja akan
menghambat tercapainya tujuan organisasi karena individu yang terevaluasi merasa
bahwa kinerjanya tidak dievaluasi secara komprehensif.
Landasan Teori

Balanced Scorecard, Implementasi, dan Konsekuensi, Balanced scorecard


pertama kali diper- kenalkan oleh Kaplan dan Norton (1992) sebagai seperangkat
pengukuran kinerja yang memberi manajemen puncak pandangan yang cepat dan
komprehensif tentang perusahaan. BSC memasukkan ukuran - ukuran finansial yang
memberi hasil yang telah dilakukan dan melengkapinya dengan ukuran - ukuran
operasional diantaranya kepuasan pelanggan, proses internal dan inovasi dan
perkembangan. BSC memiliki karakteristik karakteristik tertentu yang harus ada agar
dapat dikatakan BSC. Pertama, mengkombinasi ukuran finansial dan nonfinansial
(Kaplan dan Norton, 1992). Kedua, menyelaraskan ukuran - ukuran dengan strategi
perusahaan (Kaplan dan Norton; 1996a dan 1996b). Ketiga, mempunyai hubungan
cause and effect antara ukuran-ukuran dalam perspektif - perspektif BSC (Kaplan dan
Norton, 2001; Kaufmann dan Becker, 2005). Penerapan BSC juga sering diteliti
berkaitan dengan kinerja perusahaan. Davis dan Albright (2004) menemukan bahwa
divisi yang menggunakan BSC memiliki kinerja yang meningkat dua tahun setelah
penerapan BSC. Braam dan Nijssen (2004) menyatakan bahwa penggunaan BSC
tidak secara otomatis akan meningkatkan kinerja perusahaan tetapi juga tergantung
pada cara menggunakan, yang mana penggunaan BSC yang selaras dengan strategi
akan berpengaruh positif terhadap kinerja dan yang tidak selaras mungkin justru akan
menurunkannya.

Isu Kognotif Balanced Scorecard, Isu keterbatasan kognitif dalam evaluasi


kinerja menggunakan BSC yang banyak mendapat perhatian saat ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Lipe dan Salterio (2000). Lipe dan Salterio (2000) secara khusus
telah meneliti tentang perbandingan antara ukuran kinerja yang umum (common
measures) dan ukuran kinerja yang unik (unique measures). Penelitian tersebut
dilakukan menggunakan metode eksperimen dengan mahasiswa sebagai subjek
(desain eksperimen 2 X 2 between subject dan 2 level within subject). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa partisipan cenderung lebih mempertimbangkan
ukuran kinerja yang umum dibandingkan ukuran kinerja yang unik dalam
pengambilan keputusan. Itner et al. (2003a) menguji tentang bagaimana tipe
pengukuran kinerja yang berbeda dalam BSC digunakan dalam pertimbangan bonus
pada perusahaan jasa keuangan. Hipotesis yang diajukan oleh penulis dikembangkan
dari dua teori yaitu teori ekonomi dan teori psikologi. Hasil penelitian menemukan
bahwa dalam pertimbangan evaluasi kinerja menggunakan BSC, seorang atasan lebih
menggunakan informasi finansial dibandingkan dengan informasi non-finansial.
Begitupun dalam penentuan bonus, kinerja keuangan menjadi penentu utama bonus.
Sebagai tambahan, subjektivitas dalam perencanaan BSC memungkinkan atasan
tersebut untuk memasukkan faktor-faktor selain ukuran-ukuran BSC dalam evaluasi
kinerja, mengubah kriteria evaluasi kinerja dari kuartal ke kuartal, mengabaikan
ukuran-ukuran kinerja yang memicu kinerja keuangan masa depan dan juga
mempertimbangkan ukuran-ukuran yang tidak berkaitan dengan hasil yang kita
inginkan. Penelitian lain tentang isu kognitif dalam evaluasi kinerja yang terbaru
dilakukan oleh Cardinaels dan VeenDirks (2010). Mereka membandingkan dua
framing pengukuran kinerja, satu frame dibuat dalam bentuk BSC dan frame yang
lain diformat tidak dalam bentuk BSC. Mereka ingin mengetahui apakah ketika
pengukuran kinerja diformat dalam bentuk BSC, manajer akan cenderung untuk lebih
menitikberatkan ukuran finansial daripada ukuran nonfinansial dibandingkan ketika
pengukuran tidak diformat dalam bentuk BSC. Hasilnya, partisipan cenderung
menitikberatkan ukuran finansial dibandingkan ukuran non-finansial dalam format
BSC.

Hipotesis

Kaplan dan Norton (1992) menyatakan bahwa manajer seharusnya tidak memilih
hanya salah satu antara ukuran kinerja keuangan dan ukuran operasional tetapi
manajer seharusnya menggunakan kedua ukuran dalam pengukuran kinerja. BSC
terdiri atas ukuran yang multiperspektif (finansial, pelanggan, proses bisnis internal,
dan pertumbuhan dan pembelajaran) yang menggambarkan visi dan strategi unit
bisnis tertentu (Kaplan dan Norton, 1996a). Konsekuensinya, semua ukuran-ukuran
tersebut harus dipertimbangkan dalam pengukuran kinerja. Namun demikian,
individu dibatasi oleh ketersediaan informasi dalam memori mereka (Tversky dan
Kahneman, 1973 dan 1974). Informasi keuangan telah dikenal dan digunakan sejak
lama sehingga ketika individu diminta untuk mengevaluasi kinerja menggunakan
informasi keuangan dan non keuangan maka mereka akan cenderung untuk
menggunakan informasi keuangan daripada non keuangan. Kecenderungan untuk
menggunakan informasi keuangan dibandingkan nonkeuangan juga dipengaruhi oleh
priming effect (Baron dan Byne, 1997 dalam Kliger dan Kudryavtsev, 2010). Priming
effect mengarahkan para individu untuk berfikir bahwa para pe- megang saham
adalah tujuan utama sehingga mengarahkan mereka untuk lebih mempertimbangkan
informasi keuangan dibandingkan informasi nonkeuangan. Penelitian Slovic dan
MacPhillamy (1974) dan Lipe dan Salterio (2000) memperoleh temuan yang sama
yaitu individu cenderung untuk lebih memperhatikan ukuran-ukuran yang umum
dibandingkan ukuran-ukuran yang unik. Berdasarkan literatur-literatur sebelumnya
penelitian ini menyimpulkan bahwa ukuran-ukuran finansial dan ukuran-ukuran
umum akan lebih diperhatikan daripada ukuran-ukuran nonfinansial dan ukuran-
ukuran unik. Maka dapat disimpulkan hipotesis 1

H1: Ketika melakukan evaluasi kinerja menggunakan BSC, manajer akan lebih
memperhatikan ukuran finansial yang umum dibanding dengan ukuran
finansial yang unik

H2: Ketika melakukan evaluasi kinerja menggunakan BSC, manajer akan lebih
memperhatikan ukuran finansial yang umum dibandingkan ukutan
nonfinansial yang umum
Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, Partisipan diminta untuk


membaca kasus kasus yang mana mereka diminta untuk berperan sebagai direktur
pada perusahaan yang bernama Harapan Garmen (perusahaan pakaian wanita). Kasus
yang dibaca bercerita tentang direktur akan menhadiri seminar BSC dan akan
menerapkannya pada perusahaannya, kasus tersebut memberi gambaran tentang visi
busana yang berspesialisasi pada pakaian remaja dan busana kerja yang
berspesialisasi pada seragam kerja wanita. Perusahaan tersebut memiliki target yang
berbeda beda untuk tiap visi. Partisipan dalam penelitian ini adalah 100 mahasiswa
S1 FEKON UNMUH Yogyakarta dan 50 mahasiswa FEKON Universitas Teknologi
Yogyakarta yang telah menempuh matkul akuntansi manajemen.

Hasil

Ada dua implikasi penting dari penelitian ini. Pertama, bukti bahwa finansial
unik kurang diperhatikan dalam evaluasi kinerja manajer akan memiliki implikasi
yang signifikan pada keputusan strategi manajer setelahnya. Holmstrom dan Milgrom
(1991) menunjukkan bahwa keputusan agen dipengaruhi oleh evaluasi kinerja dan
kompensasi. Mereka juga menunjukkan bahwa item yang tidak dimasukkan dalam
evaluasi kinerja dan kompensasi atas agen akan memiliki dampak yang kecil dalam
keputusan agen. Hal ini akan mendorong manajer untuk lebih memperhatikan ukuran
finansial umum dibandingkan ukuran finansial unik dalam setiap strategi
keputusannya kemudian. Kedua, BSC terdiri atas lagging dan leading indicators.
Lagging indicators umumnya termanifestasi pada perspektif keuangan sedangkan
leading indicators pada perspektif-perspektif yang lain. Fokus pada ukuran-ukuran
keuangan akan mengabaikan leading indicators yang menjadi penunjang tercapainya
ukuran-ukuran keuangan. Ketiga, evaluasi yang tidak komprehensif terhadap manajer
divisi akan mengakibatkan misalokasi sumber daya perusahaan sehingga akan
menyimpang dari tujuan yang diinginkan oleh perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai