Anda di halaman 1dari 10

Nama : Keitaro Lazuardi Borneo Rafi

NIM : 1801035200
Jurusan : Akuntansi
Kelas : Seminar Akuntansi AK/D

ANALISIS PENGARUH PERJANJIAN UTANG, KEPEMILIKAN


INSTITUSIONAL, DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP
MANAJEMEN LABA RIIL PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG
TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perjanjian utang,


kepemilikan institusional, dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba ril
dengan menggunakan data yang terdapat pada BEI dan sampel 156 perusahaan untuk
periode 2012 – 2014.
Tujuan dari pelaporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi bagi para
pengguna laporan keuangan. Dalam hal ini laba adalah hal yang diperlukan agar bisa
menilai perubahan potensi sumber daya ekonomi yang mungkin dapat dikendalikan
pada masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan
merumuskan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan
tambahan sumber daya. Oleh karena itu, pemilihan metode akuntansi sangat penting
untuk memberikan informasi laba lebih baik.
Manajemen laba riil menjadi alternatif lain bagi manajer yang dapat dilakukan
untuk mengelola laba selain manajemen laba akrual yang mudah terdeteksi. Graham
et al. (2005) menambahkan bahwa eksekutif keuangan menyatakan pentingnya
mencapai target laba dan ramalan analis. Untuk itu, mereka memutuskan untuk
memanipulasi aktivitas riil guna mencapai target dibandingkan bergantung pada
manipulasi laba akrual. Selain itu yang menjadi alasan manajer melakukan
manajemen laba adalah untuk kepentingan agar pihak investor dapat memercayai
kinerja perusahaan juga meningkatkan relasi dengan pihak kreditur.
Scott (2009) mengungkapkan bahwa perusahaan yang memiliki perjanjian
utang dan perjanjian lainnya cenderung memiliki keinginan untuk meminimalkan
berbagai biaya perjanjian utang terkait dengan kontraknya (contracting theory) yang
dianggap merugikan, seperti biaya negosiasi, biaya pengawasan kinerja kontrak,
biaya kemungkinan negosiasi ulang, dan biaya perkiraan jika bangkrut atau kegagalan
pembayaran lain. Hal ini disebabkan biaya perjanjian utang merupakan biaya yang
sangat merugikan perusahaan sehingga sangat ditakuti dan dihindari oleh manajemen.

Landasan Teori
Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan adalah sebuah kontrak
antara satu atau lebih principal (investor/pemilik) dan agent (manajemen). Hubungan
keagenan ini dilakukan dengan adanya pelaksanaan hubungan kontraktual dimana
pihak pemilik mendelegasikan keputusan keputusan yang akan di otorisasi oleh agen
agar dapat menyelaraskan kepentingan diantara keduanya dan menghindari terjadinya
benturan kepentingan seperti perbedaan informasi yang diterima oleh principal lebih
sedikit dibandingkan informasi yang diterima oleh agen (Jensen dan Meckling, 1976).

Hipotesis
Perjanjian Utang
Berdasarkan teori akuntansi positif, Scott (2009, p. 287) menjelaskan bahwa
adanya insentif untuk melakukan manajemen laba yang timbul karena perjanjian
utang disebut hipotesis perjanjian utang (debt covenant hypothesis). Semakin dekat
suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian utang, manajer memiliki kecenderungan
untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang
ke periode berjalan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah atau menunda
pelanggaran perjanjian utang dan mengurangi probabilitas kegagalan teknis yang
membebankan perusahaan dengan biaya yang dianggap cukup merugikan.
Perusahaan akan meminimalkan atau menghindari biaya perjanjian, seperti biaya
negosiasi, pengawasan kinerja perjanjian, biaya kemungkinan negosiasi ulang atau
pelanggaran perjanjian dari kejadian yang tidak diantisipasi selama perjanjian, dan
biaya kebangkrutan dan kesulitan keuangan lainnya. Berdasarkan pembahasan diatas
dapat ditarik kesimpulan hipotesis 1
H1 : Perjanjian utang berpengaruh pada manajemen laba riil.

Kepemilikan Institusional
Rahmawati (2012, p.186) menjelaskan bahwa kepemilikan institusional
umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang mengawasi perusahaan. Perusahaan
dengan kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk
memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional, semakin efisien
pemanfaatan aktiva perusahaan dan dipercaya mampu memengaruhi jalannya
perusahaan yang akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai
tujuan perusahaan, sehingga dapat diharapkan juga dapat bertindak sebagai
pencegahan terhadap pemborosan dan tindakan manipulasi yang dilakukan oleh
manajemen. Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan hipotesis 2
H2 : Kepemilikan institusional berpengaruh pada manajemen laba riil.

Ukuran Perusahaan
Deegan (2000, p. 230) mengatakan bahwa ukuran perusahaan sering kali
digunakan sebagai indikasi kekuatan pasar dan menarik perhatian badan regulator.
Perusahaan yang berukuran besar terkadang berada di bawah pengawasan berbagai
kelompok, misalnya pemerintahan, kelompok karyawan, konsumen, dan kelompok
lingkungan. Pemerintahan dan kelompok kepentingan lainnya mungkin mendorong
pandangan bahwa organisasi tertentu (umumnya berukuran besar) menghasilkan
kelebihan laba dan tidak membayar segmen lainnya secara adil, misalnya upah yang
dibayarkan terlalu rendah, harga produk terlalu tinggi, dan pembayaran pajak terlalu
rendah.
Asnawi (2005, p. 274) menjelaskan bahwa ukuran perusahaan merupakan
variabel kontrol yang dipertimbangkan dalam banyak penelitian atau makalah. Hal ini
disebabkan dugaan banyaknya putusan atau hasil keuangan dipengaruhi oleh ukuran
perusahaan. Secara umum, ukuran perusahaan diproksikan dengan total aset. Karena
nilai total aset biasanya sangat besar dibandingkan variabel keuangan lainnya, dengan
maksud mengurangi peluang heterokedastis, variabel aset diperhalus menjadi Log
(aset) atau Ln (aset). Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan
hipotesis 3
H3 : Ukuran perusahaan berpengaruh pada manajemen laba riil.

Kompensasi Bonus
Kompensasi bonus merupakan kebijakan perusahaan memberikan bonus
kepada manajer berdasarkan hasil kerjanya guna tercapainya tujuan perusahaan
(Arfan & Muhammad, 2013). Aprina & Khairunnisa (2015) menyatakan kompensasi
bonus merupakan pemberian penghargaan oleh pemilik perusahaan kepada
manajemen yang mengelola perusahaan atas pencapaian hasil yang baik dan melebihi
dari capaian yang telah ditentukan. Dengan kata lain, semakin besar pencapaian yang
diperoleh melebihi target yang ada maka akan semakin besar juga kemungkinan
perusahaan untuk memberikan bonus. Besaran bonus yang diberikan tergantung pada
jumlah laba yang tercapai pada tahun tersebut, semakin besar laba yang dihasilkan
maka semakin besar juga jumlah kompensasi yang diterima (Sosiawan, 2012).
Adanya pemberian bonus berdasarkan capaian target laba dapat membuat sifat
opportunistic manajemen muncul untuk memaksimalkan pencapaian bonus dengan
melakukan manajemen laba. Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan hipotesis 3
H3: Terdapat pengaruh signifikan positif antara kompensasi bonus terhadap
manajemen laba.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis linear berganda, dengan
menggunakan data sampel dari perusahaan manufaktur yang terdapat pada BEI dan
sampel 156 perusahaan untuk periode 2012 – 2014.

Hasil Penelitian
Variabel perjanjian utang tidak berpengaruh pada manajemen laba riil. Hal ini
berarti manajer perusahaan tidak berinisiatif untuk melakukan manajemen laba riil
guna menghindari kegagalan teknis perjanjian utang.
Variabel kepemilikan institusional berpengaruh pada manajemen laba riil. Hal
ini berarti semakin besar tingkat kepemilikan institusional semakin efektif
pengawasan terhadap manajemen perusahaan guna membatasi motivasi manajer
untuk melakukan manajemen laba yang menguntungkan dirinya sendiri.
Ukuran perusahaan berpengaruh pada manajemen laba riil. Hal ini berarti
perusahaan besar cenderung memiliki dorongan yang lebih besar untuk melakukan
manajemen laba riil karena perusahaan besar menjadi subjek pengawasan ketat dari
pemerintah dan masyarakat luas serta tekanan dari stakeholders. Untuk memenuhi
harapan pihak terkait proses politik tersebut, manajemen perusahaan cenderung
melakukan manajemen laba riil.
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN YANG MELANGGAR
PERJANJIAN UTANG

Penelitian ini bertujuan untuk mencari bukti empiris tentang manajemen laba
pada perusahaan yang melanggar perjanjian utang dengan populasi penelitian adalah
perusahaan manufaktur yang terdapat pada BEI meliputi 17 perusahaan yang
melanggar perjanjian hutang dan 22 perusahaan mematuhi perjanjian hutang.
Sebagian besar perusahaan menggunakan utang sebagai sumber pendanaan karena
dapat meningkatkan kinerja manajer akibat kekhawatiran kehilangan pekerjaan dan
jika kinerjanya meningkat, pemegang saham bersedia membayar harga saham
perusahaan lebih mahal (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Utama, 2000).

Perusahaan yang memiliki kontrak utang maupun kontrak yang lain pasti
berkeinginan untuk meminimalkan berbagai kos kontrak yang terkait dengan kontrak-
kontraknya. Oleh karena itu, diperlukan suatu alat untuk menilai kinerja perusahaan
sebagai upaya untuk melindungi kepentingan kedua belah pihak yang terikat kontrak
(meminimalkan konflik kepentingan). Alat tersebut berupa suatu informasi keuangan
yang dihasilkan secara internal oleh perusahaan.

Kontrak dikatakan efisien apabila mendorong pihak yang berkontrak


melaksanakan apa yang diperjanjikan tanpa perselisihan dan para pihak mendapatkan
hasil (outcome) yang paling optimal dari berbagai kemungkinan alternatif tindakan
yang dapat dilakukan agen (Suwardjono, 2005). Perusahaan yang memenuhi
perjanjian utangnya akan mendapatkan penilaian kinerja yang baik dari kreditur.
Ketika suatu perjanjian dilanggar maka sebaliknya, perusahaan akan mendapatkan
penilaian kinerja yang buruk dari kreditur Angka-angka akuntansi dapat dipengaruhi
dengan melakukan manajemen laba.

Teori keagenan mengatakan bahwa agen biasanya bersikap oportunis dan tidak
menyukai risiko (risk averse). Karena itu, perusahaan khususnya manajer perusahaan
yang mendekati atau telah melanggar perjanjian utang akan berusaha untuk
mementingkan kepentingannya sendiri dan menghindari risiko yang ada. Debt-
covenant hypothesis menyatakan bahwa jika semua hal lain tetap sama, semakin
dekat perusahaan dengan pelanggaran perjanjian utang yang berbasis akuntansi, lebih
mungkin manajer perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi yang memindahkan
laba yang dilaporkan dari periode masa datang ke periode saat ini. Manajemen laba
diyakini muncul sebagai konsekuensi langsung dari upaya-upaya manajer atau
pembuat laporan keuangan untuk melakukan manajemen informasi akuntansi,
khususnya laba (earnings), demi kepentingan pribadi dan/atau perusahaan (Gumanti,
2003).

Landasan Teori

Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan adalah sebuah kontrak


antara satu atau lebih principal (investor/pemilik) dan agent (manajemen). Hubungan
keagenan ini dilakukan dengan adanya pelaksanaan hubungan kontraktual dimana
pihak pemilik mendelegasikan keputusan keputusan yang akan di otorisasi oleh agen
agar dapat menyelaraskan kepentingan diantara keduanya dan menghindari terjadinya
benturan kepentingan seperti perbedaan informasi yang diterima oleh principal lebih
sedikit dibandingkan informasi yang diterima oleh agen (Jensen dan Meckling, 1976).
Dalam teori keagenan, agen biasanya dianggap sebagai pihak yang ingin
memaksimumkan dirinya tetapi ia tetap selalu berusaha memenuhi kontrak. Dalam
hal kontrak utang, perusahaan merupakan agen dan kreditur sebagai prinsipal.
Dengan begitu, perusahaan sebagai agen berkeinginan memaksimumkan dirinya
tetapi ia tetap selalu berusaha memenuhi kontrak. Dalam pelaksanaannya, terdapat
dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu perjanjian utang dipenuhi sesuai dengan
yang diperjanjikan atau perjanjian utang dilanggar.

Temuan penelitian-penelitian sebelumnya tersebut menunjukkan pola


manajemen laba yang dilakukan manajemen perusahaan bergantung pada motivasi
dilakukannya manajemen laba. Apabila motivasi manajemen perusahaan adalah
untuk mempertahankan posisi/pekerjaannya di perusahaan untuk mengurangi
intervensi oleh dewan direksi perusahaan, agensi pengatur, untuk menghindari
dan/atau menangguhkan kos pelanggaran maka teori perjanjian utang mengatakan
bahwa manajer perusahaan akan menggunakan manajemen laba yang meningkatkan
laba yang dilaporkan (Watts dan Zimmerman, 1986).

Sedangkan apabila motivasi manajemen perusahaan adalah untuk menunjukkan


kesulitannya supaya memperoleh jangka waktu yang lebih baik dalam negosiasi
ulang kontrak utang (DeAngelo et al., 1994; Saleh dan Ahmed, 2005) atau adanya
jaminan bahwa kreditur akan memberikan pembebasan tuntutan pelanggaran
perjanjian utang (Jaggi dan Lee, 2001) maka manajer perusahaan akan menggunakan
manajemen laba yang menurunkan laba yang dilaporkan. Maka dapat disimpulkan
hipotesis 1

H1: manajemen perusahaan yang melanggar perjanjian utang termotivasi


untuk melakukan manajemen laba melalui discretionary accruals yang
meningkatkan laba.

Saleh dan Ahmed (2005) menguji manajemen laba perusahaan yang mengalami
tekanan keuangan yang melakukan negosiasi maupun yang tidak melakukan
negosiasi dengan kreditur baik melalui pengawasan pemerintah maupun tidak selama
Malaysia mengalami krisis Asia. Sampel mencakup 153 perusahaan yang dipilih
berdasarkan perusahaan yang secara aktual gagal pada pembayaran utang dan
mengalami negosiasi ulang utang dengan kreditur selama periode 1998-1999. Untuk
mengontrol kinerja yang terkait dengan variabel-variabel yang diabaikan, Saleh dan
Ahmed (2005) membandingkan discretionary accruals perusahaan yang kinerjanya
jelek yang tidak melakukan renegosiasi utang dengan kreditur dan memberikan bukti
empiris bahwa perusahaan yang melakukan negosiasi ulang utangnya memiliki
discretionary accruals lebih negatif secara signifikan daripada perusahaan yang
memiliki kinerja buruk tapi tidak melakukan negosiasi ulang utangnya.

Andriyani (2004) menguji hipotesis perjanjian utang yaitu dengan meneliti


keberadaan indikasi manajemen laba pada perusahaan yang memiliki perjanjian
kontrak utang. Mekanisme perjanjian yang digunakan adalah penerbitan obligasi.
Penelitian Andriyani (2004) memberikan bukti empiris tentang adanya manajemen
laba lebih besar pada perusahaan yang terikat perjanjian daripada yang tidak terikat
perjanjian.

Kondisi-kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa kepentingan manajemen


terancam seperti penilaian negatif dari pihak investor, kreditur dan pemakai laporan
keuangan lainnya sehingga dapat berakibat pada ketidakamanan posisi manajemen.
Dalam rangka untuk mempertahankan posisinya di perusahaan, maka manajer
perusahaan akan selalu berupaya untuk memperlihatkan kinerja perusahaan yang
baik. Karena hal itu berarti peningkatan value perusahaan.

Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa manajemen perusahaan yang


melanggar perjanjian utang akan lebih berusaha untuk menunjukkan kinerja
perusahaan yang lebih baik supaya tidak berlanjut pada pelanggaran yang lebih berat
sehingga manajemen perusahaan tersebut kemungkinan besar akan melakukan
manajemen laba lebih besar daripada perusahaan yang tidak melanggar perjanjian
utang. Maka dapat disimpulkan hipotesis kedua adalah.

H2: manajemen laba perusahaan yang melanggar perjanjian utang lebih besar
daripada manajemen laba perusahaan yang tidak melanggar perjanjian utang.
Metode Penelitian

Populasi penelitian ini terdiri dari semua perusahaan manufaktur yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan melakukan uji T dan metode pengambilan
sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut: 1)
Perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode amatan 2000-2008.
Sampel dibatasi hanya perusahaan manufaktur 2) Perusahaan yang melakukan
pelanggaran perjanjian utang serta menyatakannya di catatan laporan keuangannya
atau dinyatakan dalam laporan auditor independen. 3) Perusahaan yang
mengungkapkan perjanjian utang-rasio keuangan dan menyatakan kepatuhan
memenuhi perjanjian utang.

Hasil

Hasil pengujian hipotesis pertama periode sebelum-saat melanggar perjanjian


utang menunjukkan bahwa rata-rata akrual diskresioner periode sebelum melanggar
secara statistis signifikan lebih besar daripada rata-rata akrual diskresioner periode
saat perusahaan melanggar perjanjian utang. Hasil ini mendukung penelitian
terdahulu seperti DeFond dan Jiambalvo (1994); Sweeney (1994); dan Rosner (2003).
Motivasi yang melatarbelakangi adalah manajer perusahaan berusaha untuk
menghindari atau menunda pelanggaran perjanjian utang atau kebangkrutan.

Hasil pengujian hipotesis kedua pada periode sebelum dan saat melanggar
perjanjian utang menunjukkan bahwa rata-rata akrual diskresioner perusahaan yang
melanggar perjanjian utang secara statistis lebih besar daripada rata-rata akrual
diskresioner perusahaan kontrol. Dengan kata lain, manajemen perusahaan yang
melanggar perjanjian utang melakukan manajemen laba lebih besar daripada
manajemen perusahaan yang memenuhi perjanjian utang pada periode sebelum dan
saat terjadi pelanggaran utang.

Anda mungkin juga menyukai